PENANGGULANGAN KEJAHATAN TRAFFICKING MELALUI
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
TESIS
Oleh
HOTLARISDA GIRSANG
097005052/HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENANGGULANGAN KEJAHATAN TRAFFICKING MELALUI
UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program
Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara
Oleh
HOTLARISDA GIRSANG
097005052/HK
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : PENANGGULANGAN KEJAHATAN TRAFFICKING MELALUI UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
NAMA MAHASISWA : HOTLARISDA GIRSANG
NIM : 097005052
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) K e t u a
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal 28 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS
ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Pengaturan pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.
Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Prinsip penelusuran dana hasil kejahatan guna mendapatkan pelaku tindak pidana asal diharapkan dapat menjadi senjata yang ampuh dalam memberantas kejahatan trafficking. Selama ini banyak kasus kejahatan trafficking yang tidak dapat dibuktikan dan pelakunya tidak dapat dijangkau oleh hukum, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak dapat dengan maksimal mengakomodir segala bentuk kejahatan trafficking. Berdasarkan pemikiran bahwa biasanya pelaku kejahatan pasti akan selalu berusaha untuk menyembunyikan, menyamarkan asal-usul harta kekayaannya melalui upaya pemanfaatan layanan penyedia jasa keuangan guna menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum atau yang sekarang dikenal dengan pencucian uang
(money laundering). Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan undang-undang terbaru sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur dalam pasalnya bahwa perdagangan orang merupakan salah satu predicate
crime dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalah dalam penelitian ini
yakni : Pertama, bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedua, bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Ketiga, bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersumber dari data pustaka (libray research).
Bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia
implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking adalah undang-undang itu sendiri yang kurang tegas, lambannya informasi transaksi keuangan mencurigakan, kurangnya kerjasama antara lembaga penyedia jasa keuangan dengan aparat penegak hukum. Kemudian adanya kecendrungan profit
orinted bagi pihak penyedia jasa keuangan, juga dengan PJTKI/PPTKIS sehingga
terkadang tidak melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan.
ABSTRACT
Setting money laundering as criminal act is the base for the law enforcement to expropriate the proceeds of crime during this common law can not confiscate the proceeds of crime because of the difficulty to track the presence of the crime or even the proceeds of crime has been transferred to third countries.
Money laundering activities can do through to the stages of placement, transfer, and using property (integration). The principles of tracing proceeds of crime in order to obtain the criminal origins are expected to become the powerfull weapon in combating the criminal of trafficking, many cases of trafficking crime which can not be prevent and the perpetrators can not be reached by the law, Law No. 21/2007 concerning the crime of trafficking not able to accomodate all forms of trafficking crimes. Based on the premise that offenders usually muts be trying to hide, disguise proceeds of crime utilization services of financial system providers in oder to avoid tracting efforts by law enforcement officers or known as money laundering. Law No. 8/2010 on the prevention and combating money laundering whic is the lates legislation in lieu of Law No. 15/2002 and then amended with Law No. 25/2003 on Money Laundering, set in the article that human trafficking is one of the predicate crime of money laundering. Formulating of the problem in this study are first, how the crime of trafficking in a system of laws and regulations of Indonesian. Second, how the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to tackle the crime of the trafficking. Third, how the obstacles to the implementation of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking. This is normative research methods, which is sourched from library research.
Crime of trafficking in Indonesian legislation system of migrant workers, divided into two namely the internal migrants and international migrants, child labour, trafficking of children through adoptions, wedding and bride in orders, implantasi organs. Implementasi on act prevention and combating money laundering as a means for trackling crime in trafficking can be done by applying the principlesss in the financial system that recognized the principles of service user (cuctomer due diligence) and identification of suspicious transactions, and also with the provisions of the expansion of the complainant. Constraints in the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking is the law itself, which is less strick, financial transactioninfoemation to steak, the lack of cooperation betwen institution of financial services providers with law enforcement. Then the trend oriented profit for financial services providers, also PJTKI/PPTKIS that sometimes did not carry out compliance with the regulation that should be run.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih
karuniaNYA sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Adapun judul Tesis ini adalah ”Penanggulangan Kejahatan Trafficking
Melalui Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang”.
Dalam penyusunan Tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan baik
berupa pengajaran, bimbingan maupun semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih. Rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya secara khusus saya sampaikan kepada Komisi
Pembimbing yaitu Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS., Bapak Prof. Dr. Bismar
Nasution, SH., MH., dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., yang telah bekenan
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, dorongan semangat, serta
koreksi untuk penyelesaian Tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
penulis untuk mengikuti pendidikan di program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Pimpinan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah
memberikan beasiswa (BPPS) kepada penulis selama menjalani Pendidikan di
Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan.
3. Prof. Dr. Baltazar Kambuaya, MSc, selaku Rektor pada Universitas
Cenderawasih Papua yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan studi.
4. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
5. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus selaku penguji atas
kesediaannya memberikan arahan demi kesempurnaan Tesis ini.
6. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku penguji yang telah berkenan
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan demi kesempurnaan Tesis ini.
7. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara.
8. Seluruh Dosen di lingkungan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
9. Kepada sahabatku Maria, Ika, Rahmadany, Halimah, Meyer, Erni, Andry Mahyar
dan rekan-rekan yang lain di Program Studi Ilmu Hukum yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan yang indah selama ini.
10.Kepada seluruh pegawai sekretariat Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara dan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu atas bantuannya selama ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada
Ayahanda T. Girsang dan Ibunda K. Sinaga, juga kepada Bapak Mertua N. Karo
Karo dan Ibu Mertua N. Girsang atas semua dukungan, semangat dan doa selama
ini. Ucapan terima kasih juga kepada suamiku Ribel Jaya P. Karo Karo, ST dan
putriku Desera Karo Karo yang senantiasa memberi semangat untuk menyelesaikan
Tesis ini.
Penulis berharap bahwa Tesis ini dapat memberikan konstribusi pemikiran
bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan masukan yang sifatnya
membangun guna menyempurnakan tulisan ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah, karunia dan kekuatan
lahir dan bathin kepada kita semua.
Medan, Juli 2011
Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hotlarisda Girsang
Tempat/Tanggal Lahir : Nagasaribu, 11 April 1977
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Jabatan/Pekerjaan : Dosen FH. Universitas Cenderawasih Papua
Alamat : Perumnas IV Jalan Potong, Hedam, Heram,
Jayapura
Pendidikan : SD Negeri II Gunung Bayu Tamat Tahun 1989
SMP Swasta PTPN IV Gunung Bayu Tamat Tahun
1992
SMK YPI Kartini P. Siantar Tamat tahun 1995
Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA) Tamat
Tahun 1999
Strata Dua (S2) Peogram Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
ABSTRACK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan... 10
C. Tujuan Penelitian... 11
D. Manfaat Penelitian... 11
E. Keaslian Penelitian... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsional... .. 13
1. Kerangka Teori... 13
2. Kerangka Konsepsional... 17
G. Metode Penelitian... 19
1. Jenis dan Sifat Penelitian... 19
2. Pendekatan Masalah... 19
3. Sumber Bahan Hukum... 20
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum... 22
BAB II : BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
A. Pengertian Trafficking ... 23
B. Bentuk-bentuk Trafficking... 33
C. Perbuatan Pidana Trafficking... 43
BAB III : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN
PEBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA UNTUK MENANGGULANGI TINDAK PIDANA TRAFFICKING
A. Konsep Dasar Tindak Pidana Pencucian Uang... 50
B. Tujuan Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang... 54
C. Trafficking sebagai Predicate Crime
Tindak Pidana Pencucian Uang... 74
D. Pemberantasan Trafficking melalui Undang-undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang... 78
1. Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
(Customer Due Diligence) dan Analisis Transaksi
Mencurigakan Untuk Menanggulangi Trafficking.... 80
BAB IV : HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING
A. Hambatan dari Sisi Materi Hukum ... 94
B. Hambatan Dari Sisi Struktur hukum... 97
C. Hambatan Dari Sisi Budaya Hukum... 104
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 106
B. Saran... 108
ABSTRAK
Pengaturan pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.
Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui tahapan penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta kekayaan (integration). Prinsip penelusuran dana hasil kejahatan guna mendapatkan pelaku tindak pidana asal diharapkan dapat menjadi senjata yang ampuh dalam memberantas kejahatan trafficking. Selama ini banyak kasus kejahatan trafficking yang tidak dapat dibuktikan dan pelakunya tidak dapat dijangkau oleh hukum, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak dapat dengan maksimal mengakomodir segala bentuk kejahatan trafficking. Berdasarkan pemikiran bahwa biasanya pelaku kejahatan pasti akan selalu berusaha untuk menyembunyikan, menyamarkan asal-usul harta kekayaannya melalui upaya pemanfaatan layanan penyedia jasa keuangan guna menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum atau yang sekarang dikenal dengan pencucian uang
(money laundering). Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan undang-undang terbaru sebagai pengganti Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur dalam pasalnya bahwa perdagangan orang merupakan salah satu predicate
crime dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalah dalam penelitian ini
yakni : Pertama, bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia. Kedua, bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Ketiga, bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif, dimana datanya bersumber dari data pustaka (libray research).
Bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia
implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking adalah undang-undang itu sendiri yang kurang tegas, lambannya informasi transaksi keuangan mencurigakan, kurangnya kerjasama antara lembaga penyedia jasa keuangan dengan aparat penegak hukum. Kemudian adanya kecendrungan profit
orinted bagi pihak penyedia jasa keuangan, juga dengan PJTKI/PPTKIS sehingga
terkadang tidak melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan.
ABSTRACT
Setting money laundering as criminal act is the base for the law enforcement to expropriate the proceeds of crime during this common law can not confiscate the proceeds of crime because of the difficulty to track the presence of the crime or even the proceeds of crime has been transferred to third countries.
Money laundering activities can do through to the stages of placement, transfer, and using property (integration). The principles of tracing proceeds of crime in order to obtain the criminal origins are expected to become the powerfull weapon in combating the criminal of trafficking, many cases of trafficking crime which can not be prevent and the perpetrators can not be reached by the law, Law No. 21/2007 concerning the crime of trafficking not able to accomodate all forms of trafficking crimes. Based on the premise that offenders usually muts be trying to hide, disguise proceeds of crime utilization services of financial system providers in oder to avoid tracting efforts by law enforcement officers or known as money laundering. Law No. 8/2010 on the prevention and combating money laundering whic is the lates legislation in lieu of Law No. 15/2002 and then amended with Law No. 25/2003 on Money Laundering, set in the article that human trafficking is one of the predicate crime of money laundering. Formulating of the problem in this study are first, how the crime of trafficking in a system of laws and regulations of Indonesian. Second, how the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to tackle the crime of the trafficking. Third, how the obstacles to the implementation of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking. This is normative research methods, which is sourched from library research.
Crime of trafficking in Indonesian legislation system of migrant workers, divided into two namely the internal migrants and international migrants, child labour, trafficking of children through adoptions, wedding and bride in orders, implantasi organs. Implementasi on act prevention and combating money laundering as a means for trackling crime in trafficking can be done by applying the principlesss in the financial system that recognized the principles of service user (cuctomer due diligence) and identification of suspicious transactions, and also with the provisions of the expansion of the complainant. Constraints in the implementations of the act prevention and combating money laundering as a means to combat crime of trafficking is the law itself, which is less strick, financial transactioninfoemation to steak, the lack of cooperation betwen institution of financial services providers with law enforcement. Then the trend oriented profit for financial services providers, also PJTKI/PPTKIS that sometimes did not carry out compliance with the regulation that should be run.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi yang semakin pesat senantiasa mempengaruhi
perkembangan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan kriminalitas. Pada
kenyataannya perkembangan kriminalitas tidak selalu dapat diimbangi oleh
perkembangan perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas
tersebut, hal ini menimbulkan kesenjangan yang sangat nyata yang pasti
mempengaruhi upaya memaksimalkan fungsi hukum.
Dikatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia.1 Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum
dan apabila masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya,
efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma.
Dalam pergaulan kehidupan masyarakat banyak ditemui konflik. Soerjono
Soekanto menyebutkan bahwa suatu masyarakat yang tanpa konflik merupakan
masyarakat yang mati, atau hanya merupakan masyarakat berdasarkan angan-angan
saja.2 Dalam hal terjadi konflik atau peristiwa konkrit berupa pelanggaran hukum,
maka hukum itu harus kembali ditegakkan.
1
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1
2
Soerjono Soekanto, “Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di
Penegakan hukum3 dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan,
bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang
dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah
ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya. Proses penegakan hukum tidak
akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal
atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan
masyarakat (social welfare).4
Salah satu bentuk konflik yang muncul dalam masyarakat dan telah mendapat
perhatian dari pemerintah adalah tindak pidana pencucian uang. Indonesia mulai
mengenal money laundering sejak dimasukkannya Indonesia untuk pertama kalinya
dalam Non-Cooperatif Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF (Financial
Action Task Force), dengan pertimbangan bahwa di Indonesia belum ada peraturan
perundang-undangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana,
loopholes dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-
3
Satjipto Rahardjo, “Membedah Hukum Progresif”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124 ”Penegakan hukum perlu dibedakan antara peraturan (gezetz, wet,rule) dan kaidah (recht,
norm). Apabila kita membaca undang-undang, maka yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal.
Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu dilupakan. Kaidah adalah merupakan spirit atau roh yang kemudian diterjemahkan melalui kata-kata atau kalimat dalam peraturan. Membaca kaidah, bukan peraturan adalah pedoman yang baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah berarti menyelam ke dalam roh, azas, dan tujuan hukum”.
4
Barda Nawawi Arief, “Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
bank, terbatasnya sumber daya yang dimiliki, serta minimnya kerjasama internasional
dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang.5
Upaya untuk merekomendasi FATF dilakukan dengan menyusun Rancangan
Undang Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang yang kemudian disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 17 April 2002,
kemudian dalam perkembangannya undang–undang ini diamandemen dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tanggal 22 Oktober
undang-undang ini dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Usaha ini
dilakukan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemberantasan pencucian uang di
Indonesia.
Pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana karena
pengaruhnya pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini memiliki dampak negatif,
baik bagi perekonomian nasional maupun perekonomian dunia. Hal ini terjadi karena
tidak efektifnya penggunaan sumber daya dan dana, misalnya dengan dilakukannya
“sterile investment” dalam bentuk property.6 Dana digunakan untuk kegiatan yang
tidak sah dan tidak bermanfaat, serta tidak memiliki sumbangan positif untuk
pertumbuhan ekonomi.
5
Tb. Irman S., “Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering”, (Jakarta: MQS Publishing & AYYCCS Group, 2006), hal. 2
6
Fluktuasi yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga juga merupakan bagian
dari akibat negatif dari pencucian uang.7 Hal ini sangat merugikan bagi pertumbuhan
ekonomi dan kegiatan usaha di dalam negeri.
Pengaturan bahwa pencucian uang sebagai tindak pidana merupakan dasar
bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyitaan hasil tindak pidana. Selama
ini sering terjadi penegak hukum tidak dapat menyita hasil tindak pidana karena
kesulitan melacak keberadaan hasil tindak pidana itu atau bahkan hasil tindak pidana
sudah dipindahtangankan ke pihak ketiga.
Dengan adanya penetapan pencucian uang sebagai tindak pidana maka
pelarian uang hasil tindak pidana dapat dicegah. Hal ini berarti bahwa orientasi
pemberantasan tindak pidana beralih dari “menindak pelakunya” ke arah menyita
“hasil tindak pidana”. Di banyak negara dengan dinyatakannya pencucian uang
sebagai tindak pidana merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidana pihak
ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.8
Alasan lain mengapa pencucian uang perlu ditetapkan sebagai tindak pidana
karena dengan adanya sistem pelaporan transaksi yang mencurigakan, maka ini dapat
lebih memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana sampai
kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.9
7
Ibid., hal. 2
8
Yunus Husein, “Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia”, http://Yunushusein.files.wordpress.com/2007/07/12_pencegahan-pemberantasan-tppu-x.pdf, hal.5, diakses pada tanggal 23 Februari 2011
9
Hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) tahun 2006 menyebutkan
implikasi negatif dari tindak pidana pencucian uang adalah :10
1. membiarkan masyarakat menikmati uang haram berarti mengizinkan
organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan
mereka menikmati hasil aktivitasnya;
2. praktek ini bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap money laundering, adalah suatu tindakan keliru yang turut berperan membangun etos persaingan usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan wibawa hukum secara drastis, serta menguatkan orientasi materialistik dan lain sebagainya;
3. praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya, karena semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian.
Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa tindak pidana pencucian uang
dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan berbangsa, karena dapat
menciptakan gangguan bagi stabilitas perekonomian nasional, karena itu maka
berbagai upaya dilakukan agar dapat memberantas tindak pidana ini.
Pada umumnya kegiatan pencucian uang dapat dilakukan dengan melalui
tahapan yaitu penempatan (placement), transfer (layering), dan menggunakan harta
kekayaan (integration).11
Penempatan (placement) merupakan upaya menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari
uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain,
10
Naskah Akademik, “RUU tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang, (Jakarta: 2006), hal. 13
11
menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang
diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
Transfer (layering) diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari
sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi
keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening
atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya melalui serangkaian
transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin
rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Menggunakan harta kekayaan (integration) yaitu upaya untuk menetapkan
suatu landasan yang sah hasil kejahatan. Uang yang di ”cuci” melalui placement
maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak
berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan yang merupakan penghasil uang
yang dicuci. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam
sirkulasi dana dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
Kejahatan pencucian uang ini memanfaatkan layanan penyedia jasa keuangan
baik bank maupun non bank dalam aksi perbuatan pidananya.
Tingginya tingkat perkembangan tekhnologi dan arus globalisasi di sektor
pencucian uang, hal ini terjadi karena adanya jaminan kerahasiaan bank dan karena
belum dikenalnya anti tipping off.12
Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih
difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau
transaksi keuangan, dengan kata lain penelusuran aliran dana melalui transaksi
keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan,
pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau
disamarkan.13
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Penucian
Uang mengatur 25 tindak pidana asal (predicate crime) tindak pidana pencucian
uang, selain itu juga menyebutkan bahwa setiap tindak pidana lain yang diancam
dengan pidana penjara 4 (empat) tahun juga termasuk sebagai predicate crime dari
tindak pidana pencucian uang.14
Salah satu predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang adalah
trafficking (perdagangan orang). Dalam Protokol PBB, untuk mencegah,
memberantas, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan
12
Anti tipping off adalah ketentuan bahwa direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dalam Pasal 12 ayat (1), ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit Penegak Hukum untuk melakukan pelacakan terhadap Pengguna Jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
13
Naskah Akademik, Ibid., hal. 14
14
anak Tahun 2000, Suplemen Konvensi PBB untuk melawan oganisasi kejahatan
lintas batas dikatakan :
Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pengiriman, menyembunyikan atau menerima seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh. Persetujuan koban perdagangan manusia yang membenarkan eksploitasi menjadi tidak relevan dimana kejahatan perdagangan manusia telah terjadi.
Dari defenisi ini Ruth Rosenbergh membuat kesimpulan bahwa terdapat tiga
unsur pokok sehingga suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai trafficking
(perdagangan orang) yaitu :15
a. Proses
Perbuatan yang termasuk sebagai proses adalah perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan
b. Jalan /Cara
Perbuatan yang memenuhi unsur jalan/cara adalah ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kecurangan atau kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan
c. Tujuan
Eksploitasi, eksploitasi disini dapat berupa eksploitasi seksual, kerja paksa atau pelayanan atau perbudakan atau yang dalam prakteknya dikategorikan sebagai perbudakan, pemindahan organ tubuh.
Isu perdagangan manusia atau trafficking dewasa ini semakin banyak
mendapat perhatian dari banyak kalangan, baik media massa, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) bahkan telah menjadi sorotan dunia.
15
Data International Organization of Migration (IOM) tahun 2005 sampai
dengan September 2010 ada 3.808 (tiga ribu delapan ratus delapan) Warga Negara
Indonesia (WNI) yang menjadi korban trafficking (perdagangan orang). Dari jumlah
tersebut 90,30% adalah perempuan atau sekitar 3.090 ( tiga ribu sembilan puluh)
orang korban yang dilarikan ke luar negeri dengan rincian 92,20% ke Malaysia,
2.14% ke Arab Saudi, 0.94% ke Singapura. Bahkan dari seluruh jumlah persentase
tersebut ada sebanyak 67,24% korban trafficking tersebut yang kejahatannya
dilakukan oleh Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) resmi.16
Disinyalir bahwa Asia Pasifik dan Timur Tengah menjadi tujuan utama buruh
migran perempuan. Negara tujuan antara lain Malaysia, Singapura, Brunei,
Hongkong, Taiwan, Jepang, Kuwait, Arab Saudi.17 Sedangkan Indonesia merupakan
salah satu negara pengirim buruh migran terbesar.18
Menyadari tingginya tingkat tindak pidana trafficking (perdagangan orang)
bahkan terus bertambah dari tahun ke tahun dengan tingkat perputaran uang yang
besar, dapat dikatakan meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) telah dibentuk tetapi
pada pelaksanaanya belum berjalan dengan optimal, maka perlu pemikiran yang
16
Risma, “Catatan Solidaritas Perempuan”, http://dk-insu.info/home/index-php?option=com_content&view=articke&id=331%3Acatatan-solidaritas-perempuan, hal. 2, diakses pada tanggal 16 Februari 2011
17
Rini Maryam, “Perdagangan Perempuan dan Anak Suatu Permasalahan Dan
Penanganannya”, http://www.pemantauperadilan.com/opini/38.PERDAGANGAN (TRAFFICKING)
Perempuan Dan Anak, hal. 1, diakses 9 Februari 2011
18
lebih mendalam mengenai sarana dan prasarana yang dapat dipakai untuk menjerat
pelaku tindak pidana trafficking (perdagangan orang).
Pendekatan paradigma pencucian uang yang menyatakan bahwa hasil dari
kejahatan (proceeds of crime) merupakan “blood of the crime”, artinya hasil
kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus
titik lemah dari mata rantai kejahatan.19 Dengan demikian maka perlu dikaji
kebijakan untuk memotong mata rantai kejahatan itu sendiri, dengan penegakan
hukum posistif yang ada.
B. Permasalahan
Dari latar belakang, maka dirumuskan isu hukum sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk kejahatan trafficking dalam sistem peraturan
perundang-undangan Indonesia?
2. Bagaimana implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan
trafficking?
3. Bagaimana hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana
untuk menanggulangi kejahatan trafficking?
19
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan isu hukum yang diangkat dalam tulisan ini, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan trafficking dalam sistem
perundang-undangan Indonesia.
2. Untuk mengetahui implementasi Undang-Undang Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan trafficking.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana
untuk menanggulangi kejahatan trafficking.
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan
secara praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi penelitian
lebih lanjut terhadap kejahatan trafficking sebagai predicate crime dan penelitian
ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan hukum
khususnya tindak pidana pencucian uang sebagai organized crime.
2. Secara Praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat
penegak hukum yang terkait untuk menindak pelaku kejahatan trafficking dan
memberi masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan yang berkaitan
dengan tindak pidana pencucian uang.
E. Keaslian Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini mengenai tindak pidana pencucian uang
dan trafficking adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh para
peneliti. Guna menghindari terjadi pengulangan penelitian terhadap masalah yang
sama, maka peneliti melakukan penelusuran kepustakaan (library research) terhadap
beberapa hasil penelitian yang memiliki kemiripan khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara Medan yang membahas tentang tindak pidana pencucian
uang. Dari hasil penelusuran peneliti maka didapatkan beberapa penelitian yang
memiliki kemiripan dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:
1. Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Melalui Rezim Anti Money Laundering
oleh Y. Ragil Heru Susetyo.
2. Penerapan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Money Laundering) Terhadap Kejahatan Kehutanan (Illegal
Logging) oleh Masdani.
3. Tinjauan Yuridis Terhadap peran PPATK dalam Mencegah dan Memberantas
Tindak Pidana pencucian Uang oleh Andry Mahyar.
Dari hasil penelusuran kepustakaan (libray research) juga ditemukan satu
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang” yang ditulis oleh Robinson
Perangin-angin dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan itu adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai
predicate crime dalam TPPU?
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak?
3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak?
Dari judul memang terdapat kesamaan dengan judul yang penulis angkat yaitu
Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi permasalahan yang diangkat
adalah berbeda, maka dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori merupakan suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk
berpikir tentang dunia itu bekerja.20
Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan kerangka pemikiran
mengenai tindak pidana yang memberikan fokus perhatian pada perbuatan dan sifat
melawan hukum dari tindak pidana pencucian uang.
20
Neuman dalam H.R. Otje Salman S., Arton F. Samson, “Teori Hukum Mengingat,
Pada dasarnya suatu tindak pidana menurut undang-undang terdiri dari tiga
bagian yaitu :21
a. Terdiri dari pasal-pasal yang mempunyai rumusan yang kompleks
b. Terdapat rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada
rumusan, yaitu kualifikasi
c. Ketentuan itu berisi ancaman pidana atau hukuman
Perbuatan akan dikaji tentang adanya delik komisi dan delik omisi. Delik
komisi adalah merupakan rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang
melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang
mengancam perbuatan itu dengan pidana. Kemudian delik omisi adalah rumusan yang
menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, maka
terciptalah ketentuan pidana yang mengancam keadaan tidak berbuat dengan pidana.
Dapat disimpulkan bahwa delik komisi melarang suatu perbuatan dilakukan
sedangkan delik omisi adalah mengharuskan suatu perbuatan dilakukan.
Selanjutnya dalam peraturan pidana dikatakan perbuatan yang dapat dipidana
adalah perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum yang berarti berkaitan
dengan azas legalitas yaitu bahwa suatu tindakan dikatakan melawan hukum jika
perbuatan itu telah terlebih dahulu ditentukan sebagai perbuatan yang dapat dipidana,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yaitu : ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali didasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
21
Makna yang terkandung didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini, yaitu :22
1. Berlaku azas non-retroaktif
2. Perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya
3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan
4. Tidak berlaku penafsiran analogi
Mengenai pengertian bersifat melawan hukum ini, Simons23 menyatakan
peristiwa pidana adalah merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan yang
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Langemeyer dalam Moeljatno24 mengatakan bahwa ”untuk melarang
perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu
tidak masuk akal”, yang menjadi soal adalah apakah ukuran dari keliru atau tidaknya
suatu perbuatan.
Mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama adalah apabila suatu
perbuatan bertentangan dengan undang-undang, maka sifat melawan hukumnya telah
jelas yaitu melanggar ketentuan undang-undang, pendirian ini disebut pendirian yang
formal. Pandangan yang kedua yaitu belum tentu perbuatan itu bertentangan dengan
undang-undang, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma atau
kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, maka dalam hal ini sifat melawan hukumnya
22
Alvi Syahrin, “Sifat Melawan Hukum (wederrechtelijk)”, http://alviprofdr.blogspot
.com/2010/11/melawan-hukum.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011
23
Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), , hal. 255
24
terdapat pada perbuatan yang bertentangan menurut norma-norma atau
kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, pendirian ini disebut pendirian materil.25
Sifat melawan hukum itu tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur
delik, walaupun ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang menyebutkannya secara tegas. Mengenai hal ini maka penganut
pendirian formal beranggapan jika dicantumkan sifat melawan hukum tersebut dalam
norma, maka hal itu berarti menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat
melawan hukum atau tidak. Sedangkan bagi penganut pendirian materil bahwa sifat
melawan hukum itu akan selalu ada dalam delik walaupun tidak dengan tegas
dirumuskan dalam pasal.
Selanjutnya penelitian ini akan dianalisis dengan teori Lawrence M.
Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari materi hukum
(substance of law), struktur hukum (structure of law) dan budaya hukum (legal
culture).26
Materi hukum (substance of law) adalah peraturan-peraturan yang dipakai
oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan hukum serta
melakukan hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum (structure of law) adalah
pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut
ketentuan formalnya di pengadilan, pembuatan hukum oleh para legislator, serta
proses hukum itu dijalankan. Kemudian budaya hukum (legal culture) adalah unsur
25
Ibid.
26
yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan
datangnya dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum. Budaya hukum
mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan
sistem hukum.
2. Kerangka Konsepsional
Untuk menghindar kesalahan persepsi dalam pembacaan dan pemahaman
penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberikan beberapa
kerangka konsepsional sebagai berikut :
Kejahatan adalah tindakan yang sengaja merugikan subjek hukum dan
penyimpangan terhadap norma atau kaedah yang telah ditentukan oleh hukum positif.
Trafficking (perdagangan orang) didefenisikan sebagai perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, dengan cara
ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain,
penculikan, penipuan, tipu muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
pemberian atau menerima bayaran atau manfaat untuk mendapatkan persetujuan dari
orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi seksual,
kerja paksa atau pelayanan, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, perhambaan
atau pemindahan organ tubuh.
Predicate crime merupakan istilah yang dipakai untuk merujuk pada tindak
pidana asal baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, yang mana
Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai predicate crime adalah trafficking
(perdagangan orang).27 Kegiatan trafficking (perdagangan orang), sebagai media
penghasil harta kekayaan, atau trafficking sebagai kegiatan illegal yang menghasilkan
harta kekayaan.
Tindak Pidana yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh
undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan
atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.28
Pencucian uang adalah perbuatan untuk menyamarkan atau menyembunyikan
identitas awal dari harta yang merupakan hasil dari proses illegal atau kejahatan,
kemudian menjadikannya sebagai harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari
sumber yang sah. 29
Penanggulangan adalah merupakan upaya untuk menguasai, melebihi dalam
hal, mengalahkan, membatasi, atau dapat dikatakan sebagai upaya untuk menekan
tindak pidana dan ada upaya untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan tindak
pidana tersebut.
Hambatan yaitu yang menjadi penghalang atau yang menghalangi
keefektifannya suatu peraturan, peraturan yang dimaksud disini adalah
27
Pasal 2 ayat (1) huruf a s/d y UU No. 8 Tahun 2010, diatur ada 25 (dua puluh lima) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana asal ditambah lagi dengan ketentuan yang memperluas cakupan predicate crime yaitu tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
28
R. Soesilo, “ Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-delik Khusus”, (Bogor: Politea, 1984), hal. 6
29
John Madinger and Sydney A. Zalopany, “Money Laundering A Guide For Criminal
Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan, tindakan mempraktekkan
suatu ketentuan terhadap suatu perbuatan, dalam tulisan ini merupakan pelaksanaan
atau penerapan aturan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang terhadap kejahatan trafficking.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif.30 Penelitian hukum normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan
Penanggulangan Kejahatan Trafficking melalui Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach).
30
Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan utama dalam
penelitian ini, karena yang menjadi pusat dalam penelitian ini adalah kejahatan
trafficking (perdagangan orang) dan pemakaian Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang guna menekan peningkatan kejahatan
trafficking tersebut. Dengan demikian penelitian ini menitikberatkan pada peraturan
perundang-undangan yang berkaitan kejahatan trafficking dan mengenai penerapan
undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking tersebut.
Pendekatan konseptual digunakan dalam rangka untuk lebih memahami
tentang kejahatan trafficking dan tindak pidana pencucian uang.
3. Sumber Bahan Hukum
Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini
terdiri dari bahan hukum primer,31 bahan hukum sekunder,32 dan bahan hukum
tersier.33 Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder.
Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan
tindak pidana pencucian uang (money laundering) yaitu Undang-Undang Nomor 8
31
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut.
32
Ibid, bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena buku teks berisi prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.
33
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles), kemudian undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana
trafficking (perdagangan orang) yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Nomor
9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Konvensi International Labour Organization (ILO),
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks, jurnal,
laporan penelitian, artikel, majalah, surat kabar, dan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan kejahatan
trafficking (perdagangan orang).
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu yang mencakup bahan
hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah,
serta bahan-bahan dari bidang ilmu lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan-bahan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan
(library research). Bahan-bahan dokumen diperoleh dengan cara menginventarisasi
semua peraturan perundang-undangan serta dokumen yang berhubungan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai sarana yang digunakan
dalam menekan kejahatan trafficking (perdagangan orang).
5. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Bahan hukum yang telah diperoleh yaitu yang berkaitan dengan masalah
kejahatan trafficking (perdagangan orang) dan tindak pidana pencucian uang (money
laundering), kemudian diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat
disajikan dalam penulisan yang sistematis untuk dapat menjawab isu hukum yang
telah dirumuskan.
Cara pengolahan yang sedemikian rupa disebut sebagai pengolahan data
deskrtiptif analisis,34 yaitu yang menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan konkrit yang dihadapi sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan
solusi terhadap permasalahan.
34
BAB II
BENTUK KEJAHATAN TRAFFICKING DALAM
SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
A. Pengertian Trafficking
Kejahatan trafficking (perdagangan orang) atau yang dapat dikategorikan
sebagai “perbudakan modren” adalah merupakan persoalan global sangat serius.35
Hal ini merupakan suatu permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia menekankan bahwa setiap orang
dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan martabat yang sederajat, serta
berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi.
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia dalam sila kemanusiaan
yang adil dan beradab mengatur bahwa bangsa Indonesia mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa, kemudian wajib mengakui persamaan derajat, persamaan hak
dan kewajiban azasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan,
agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.36
Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya disebutkan
mengenai hak untuk tidak diperbudak.37 Untuk mewujudkan perlindungan hak tersebut,
35
Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and National Responses To The Cries for Freedom,” Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2
36
Pancasila sila ke-2, butir kesatu dan kedua
37
maka Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengaturan
tersendiri mengenai tindak pidana trafficking (perdagangan orang).
Secara universal juga telah diakui bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka
dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Setiap orang berhak atas kehidupan,
pekerjaan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi.38 Namun terkadang dalam upaya
memperoleh hak-hak tersebut diperhadapkan pada beragam tantangan dan perlakuan
yang melanggar Hak Asasi Manusia yang disertai dengan kekerasan fisik maupun
kekerasan seksual.
Trafficking (perdagangan orang) bukan merupakan bentuk kejahatan yang
baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi
yaitu melalui perbudakan atau perhambaan. Pada masa kerajaan, perdagangan
perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal.39
Perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada masa penjajahan
Belanda, hal ini terlihat dari adanya perbudakan tradisional dan perseliran untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang ini dapat berbentuk
38
Founding Father negara Indonesia mengatur tentang Hak Azasi Manusia (HAM) ini dalam pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, ini yang menjadi dasar bagi pelaksanaan perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia.
39
kerja rodi, penjualan anak perempuan untuk mendapatkan imbalan materi dan kawin
kontrak,40 demikian juga halnya dengan masa penjajahan Jepang.41
Pada awal perkembangan perdagangan orang belum merupakan tindak pidana,
sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan orang
tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan sebagai
tindakan yang melawan hukum. Hal ini dengan pemikiran bahwa perdagangan orang
tersebut telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yan terorganisir, antar
negara maupun internal negara, maka timbul keinginan pemerintah untuk mencegah
dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan upaya
pencegahan sejak dini, penindakan pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan
kerjasama.42
Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi perdagangan orang dengan Pasal
297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit mengatur
tentang perdagangan orang. Pasal itu mengatur bahwa memperniagakan perempuan
dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya
6 (enam) tahun. Pasal-pasal yang sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat
pelaku trafficking (perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324,
dan Pasal 506 KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan
agar dapat menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang.
40
Ibid., hal. 2
41
Ibid., hal. 3, pada masa ini Jepang bukan hanya memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, tetapi Jepang juga membawa perempuan dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong ke Jawa untuk melayani Perwira Tinggi Jepang.
42
Kebijakan pemerintah dilakukan dengan mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak, yang salah satu tujuan kuncinya adalah untuk
mendorong dan/atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perdagangan orang, khususnya perdagangan perempuan dan anak.
Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM)43
dinyatakan bahwa pengakuan martabat dan hak yang sama dan mutlak umat manusia
adalah dasar dari kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia, dan bahwa aspirasi
tertinggi rakyat adalah penikmatan kebebasan mengeluarkan pendapat, kepercayaan,
dan bebas dari rasa takut dan kekurangan.44
Lebih lanjut diatur juga bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat pekerjaan yang adil dan
menguntungkan.45 Kenyataannya dalam pelaksanaannya upaya masyarakat untuk
keinginan memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang layak menyebabkan banyak
yang terperangkap dalam sebuah perdagangan orang. Perdagangan orang terjadi
dengan tidak memandang jenis kelamin dan usia, baik laki-laki atau perempuan,
dewasa atau bahkan anak-anak.46
43
Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang merupakan standar umum mengenai pemajuan dan mendorong penghormatan terhadap hak dan kebebasan manusia sebagai landasan dari keadilan, kebebasan dan kedamaian.
44
Achie Sudiarti Luhulima, “ Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39
45
Ibid., hal 78
46
Daerah-daerah di Indonesia yang dulunya hanya sebagai daerah penerima
sekarang berubah menjadi daerah transit, bahkan sebagai daerah pengirim dan
sebaliknya. Perdagangan orang terjadi tidak hanya lintas daerah dalam wilayah
Indonesia namun telah meluas menjadi lintas negara atau antar negara.47
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (UU
HAM) dalam Pasal 65 diatur secara eksplisit mengenai kriminalisasi perdagangan
orang tersebut yaitu dengan menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari kegiatan ekploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa perbudakan merupakan salah satu kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik. Penjelasan pasal ini menyebutkan dengan tegas bahwa perbudakan adalah
termasuk tindakan perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.
Perkembangan selanjutnya yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO),
undang-undang ini semakin memperjelas pemahaman tentang tindak pidana ini.
47
Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi :
Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tersebut tereksploitasi.
Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdagangan
orang adalah bentuk modren dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga
merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan
martabat manusia.
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi ini dimanfaatkan
oleh orang atau sekelompok orang untuk melakukan atau mengembangkan
kejahatannya. Salah satu bentuk kejahataan yang berkembang itu adalah perbudakan
atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu perdagangan orang (trafficking),
yang beroperasi secara tertutup dan terorganisasi dan disertai dengan semakin
canggihnya peralatan dan modus operandinya.48
Monsignor Franklyn M, menyatakan bahwa :49
Human trafficking is not a new phenomenon. Since a decade or so, however, this appalling practice has reached epidemic proportions. Listed as one of the three most profitable organized crimes alongside the trafficking of weapons and drugs and intrinsically related to them, human trafficking is part of the dark side of reality virtually everywhere. The U.S. State Department's 2007 report on human trafficking estimates that 800,000 people
48
Karen E. Bravo, Op.Cit., hal. 2 49
are being trafficked across borders each year, with 80% of the victims being women and children, and up to 50% minors.
Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan
orang khusus perempuan dan anak, Suplemen Konvensi PBB untuk Melawan
Organisasi Kejahatan Transnasional, Protokol ini memberi pengertian perdagangan
orang adalah :
a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalagunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub alinea (a) ini tidak relevan jika salah satu dari cara-cara yang dimuat dalam subalinea (a) digunakan.
c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam subalinea (a) pasal ini.
d. Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 tahun.50
Dalam suplemen ini juga disebutkan maksud dibuatnya protokol ini yaitu :
untuk mencegah dan melawan perdagangan terhadap orang, memberi perlindungan
kepada perempuan dan anak-anak, untuk melindungi dan mendampingi korban
perdagangan orang dengan penuh kepedulian terhadap hak-hak azasi mereka.51
50
Farhana, Op.Cit., hal. 21
51
Kathleen K. Hogan dalam komentarnya mengatakan “Human trafficking is a
very profitable form of organized crime. It is the most profitable form of illegal trade
worldwide, second to the trafficking of arms and drugs. Criminal groups make more
than nine billion dollars in annual revenue globally from the trafficking of human
beings.52
Dengan demikian dapat dilihat bahwa Trafficking (perdagangan orang)
merupakan tindak pidana yang bisa dilakukan oleh perorangan dan sindikasi
(organised crime) yang sangat menguntungkan karena perputaran uang yang sangat
besar. Sebagai bukti bahwa kejahatan perdagangan orang adalah merupakan
kejahatan yang sangat menguntungkan, hal itu bisa dilihat dari perkembangan tindak
kejahatan ini dari tahun ke tahun.
Data International Organization of Migration (IOM) Indonesia, disebutkan
Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pengirim terbesar dengan
total persentase sebesar 99,71% (sembilan puluh sembilan koma tujuh puluh satu
persen), diikuti oleh negara Uzbekistan sebesar 0.24% (nol koma dua puluh empat
persen) dan Kamboja dan Ukraina masing-masing dengan persentase 0.03% (nol
koma nol tiga persen).53
52
Kathleen K. Hogan, “Comment Slavery In The 21st Century and In New York : What Has The State Legislature Done?”, (West law : Albany Law School, 2008), hal. 2
53
Data perdagangan orang dengan kategori provinsi pengirim atau daerah asal
di Indonesia, lima kota yang menduduki peringkat teratas adalah Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.54
Dari semua data kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang terjadi
sebagian besar kejahatan itu dilakukan ke luar negeri dengan negara tujuan Malaysia,
Saudi Arabia dan Singapura,55 ketiga negara ini menduduki 3 (tiga) peringkat teratas.
Dari penelitian yang dilakukan International Organization Migration (IOM)
Indonesian, dapat dilihat bahwa kejahatan trafficking (perdagangan orang) yang
dilakukan oleh agen sejumlah 2059 (dua ribu lima puluh sembilan) kasus atau
sebanyak 54.40 %, agen penyalur resmi sebanyak 736 (tujuh ratus tiga puluh enam)
kasus atau sebanyak 19.54 %, anggota keluarga sebanyak 260 (dua ratus enam puluh)
kasus atau sebanyak 6.87 %, teman 236 (dua ratus tiga puluh enam) kasus atau
sebanyak 6.24 %, tetangga sebanyak 232 (dua ratus tiga puluh dua) kasus atau
sebanyak 6.13 %, kontak pribadi ada 112 (seratus dua belas) kasus atau sebanyak
2.96 %, sedangkan yang tanpa data sebanyak 150 (seratus lima puluh) kasus atau
sekitar 3.96 %.56
Meskipun kejahatan trafficking (perdagangan orang) telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi aparat penegak hukum masih belum
bisa memaksimalkan perannya dalam memberantas trafficking, hal ini dapat terjadi
karena ringannya hukuman yang diberikan kepada para pelaku trafficking di
54
Ibid., hal. 2
55
Ibid., hal. 4
56