• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon termoregulasi dan tingkah laku bernaung sapi perah dara peranakan fries holland pada energi ransum yang berbeda"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

FRI

R

SE

INS

IES HOLL

RANSUM

AZH

EKOLAH

STITUT P

LAND

PAD

YANG BE

HAR AM

H PASCAS

ERTANIA

2010

DA ENER

ERBEDA

MIR

SARJANA

AN BOGO

RGI

A

(2)

AZHAR AMIR. Termoregulatory response and shade occupation behaviour of dairy heifers PFH offered diet content. Under supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and IDAT GALIH PERMANA

(3)

Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Dibimbing oleh

BAGUS PRIYO PURWANTO dan IDAT GALIH PERMANA.

Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu

faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan

genetisnya. Ternak sapi Fries Holland (FH) yang tidak tahan terhadap panas,

produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu

ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam

kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas.

Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak

berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam

tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Sejak lama diketahui bahwa pakan

yang dikonsumsi berpengaruh meningkatkan laju produksi panas dalam tubuh atau

biasa juga disebut efek kalorigenik pakan (EKP).

Tujuan penelitian adalah mempelajari dan mengetahui kandungan energi

ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai

efek kalorigenik (respon termoregulasi). Mempelajari hubungan lingkungan mikro

dan konsumsi energi ternak sapi perah.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010 di

Laboratorium Lapang, Kandang Sapi Perah Blok B, Fakultas Peternakan, Institut

Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin

(RBSL) 4x4 dengan perlakuan TDN konsentrat A (55%), B (60%), C (65%) dan D

(70%). Parameter iklim mikro yang diukur yaitu suhu lingkungan (SL), kelembaban

udara (Rh), Temperature Humidity Index (THI), kecepatan angin (v), dan radiasi

matahari (RM). Respons termoregulasi yang diukur yaitu suhu rektal (t

r

), suhu

permukaan kulit (t

s

), suhu tubuh (t

b

), denyut jantung (Hr) dan frekeuensi respirasi

(Rr), konsumsi BK, dan PBB ternak sapi. Tingkah laku ternak yang diamati yaitu

lama bernaung, ingestive (makan dan minum), lying (berbaring), ruminasi, standing

not grazing (berdiri), frekuensi defekasi, urinasi, agonistik, allelomimetik dan playing

(bermain). Data dianalisis secara statistik untuk mendapatkan rataan, standar deviasi,

analisisi sidik ragam, deskripsi dan analisis regresi.

(4)

7.4 kg. Perlakuan B dan C menunjukkan pertambahan bobot badan yang sama.

Konsumsi TDN ransum A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 2.9-5.3 kg,

3.2-5.4 kg, 3.8-5.8 kg dan 3.7-5.3 kg. Konsumsi protein kasar (PK) untuk perlakuan

A, B, C dan D untuk BB rendah ke tinggi yaitu 510-860 g, 560-810 g, 660-850 g dan

630-850 g. Konsumsi BK ransum mendukung pertumbuhan sapi yang optimal, pada

sapi perah dara PFH pada BB 240-354 kg, lebih efesien mencapai BB yang optimal

pada konsumsi TDN 3.2-4.3 kg dan protein kasar 660-850 g yang diperoleh pada

perlakuan C dengan TDN 65% dan PK 13%. Tidak ada perbedaan PBB yang nyata

antar perlakuan, meskipun demikian hasil PBB dari perlakuan D (0.55 kg/ekor/hari)

jauh lebih rendah dari perlakuan lain A (0.63 kg/ekor/hari), B (0.68 kg/ekor/hari) dan

C (0.65 kg/ekor/hari).

Pada penelitian ini, pengamatan respon termoregulasi dilakukan pada setiap 2

jam mulai pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Konsumsi energi ransum

pada penelitian ini menyebabkan respon termoregulasi seperti Tr, Ts, Tb, Hr, Rr

mengalami peningkatan dari perlakuan A ke perlakuan D (P<0.01). Terdapat

hubungan linier antara Tb dan Rr (P<0.01,r

2

:0,90). Respon termoregulasi mulai

meningkat dan mencapai puncak antara pukul 12.00-13.00 serta menurun menjelang

sore hari. Respons termoregulasi tertinggi ditunjukkan pada pengamatan pukul 12.00

WIB yang disebabkan suhu lingkungan yang tinggi dan terjadi proses metabolisme

energi di dalam tubuh 2-5 jam setelah ternak makan.

Pengamatan tingkah laku di area penggembalaan antara pukul 09.00-15.00

WIB menunjukkan lama bernaung (LB) dipengaruhi oleh energi ransum yaitu

perlakuan C memberikan waktu LB yang lebih (210 menit selama pengamatan 6 jam)

dari perlakuan lainnya. Terdapat hubungan regresi LB dan TDN

 

(LB = -691.6 +

532.3 TDN -109.1 TDN

2

+ 7.7 TDN

3

),

 

r

2

: 0.985 konsumsi TDN berpengaruh nyata

(P<0.01) terhadap lama bernaung sapi perah dara.

(5)

FRIES HOLLAND

PADA ENERGI

RANSUM YANG BERBEDA

AZHAR AMIR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama : Azhar Amir NIM : D151080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr.Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(7)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2010

(8)
(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

Puji dan syukur penulis ungkapkan kepada Allah SWT atas pemberian nikmat kesehatan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2009 ini ialah fisiologi, dengan judul Respon Termoregulasi dan Tingkah Laku Bernaung Sapi Perah Dara Peranakan Fries Holland pada Energi Ransum yang Berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Januari 2010 di kandang sapi perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. dan Bapak Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sejak awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Sc. yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah memberikan bimbingan, masukan dalam proses belajar/akademik di IPB tercinta.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayah dan Ibu serta seluruh keluarga atas dukungan dan doa restunya. Kepada Ri Dzikriyah Vanis tercinta dan keluarga yang selalu berdoa dan memberikan semangat. Kepada teman dan sahabat mahasiswa (i) SPS IPB mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP) 2008 yang telah membantu. Kiranya Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca. Apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan selama pelaksanaan penelitian dan perjalanan penyusunan tesis ini, penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Wabillahi taufiq wal hidayah, wassalam

Bogor, Mei 2010

(11)

Penulis dilahirkan di Bulukumba pada tanggal 7 Mei 1984 dari Ayah Amiruddin Bolong dan Ibu Hasirah. Penulis merupakan putra bungsu dari dua bersaudara.

(12)

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Hijauan dan Konsentrat ... 3

Pertumbuhan Sapi Dara ... 5

Produksi panas Ternak dalam Kandang ... 7

Faktor Indeks Suhu dan Kelembaban (THI) ... 10

Termoregulasi ... 12

Suhu Rektal ... 14

Denyut Jantung ... 15

Respirasi ... 16

Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak ... 16

Kandang dan Naungan ... 19

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ... 21

Materi Penelitian ... 21

Metode Penelitian ... 23

Rancangan Penelitian ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian ... 27

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB ... 30

(13)

Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung (Hr) ... 39

Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi (Rr) ... 40

Tingkah Laku Ternak ... 42

Hubungan antara Lama Bernaung (LB) Sapi Perlakuan Dengan Suhu Lingkungan (SL) dan Radiasi Matahari (RM) ... 47

Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Respon Termoregulasi ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(14)

1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara ... 6

2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara ... 7

3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH ... 9

4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi Pakan ... 9

5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan ... 11

6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan ... 12

7 Karakteristik sapi dara ... 20

8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat ... 22

9 Skema perlakuan penelitian ... 25

10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang ... 27

11 Rataan konsumsi BK ransum dan PBB sapi perah dara selama Perlakuan ... 31

12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal ... 34

13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit ... 36

14 Pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh ... 38

15 Pengaruh perlakuan terhadap denyut jantung ... 39

16 Pengaruh perlakuan terhadap frekuensi respirasi ... 41

17 Pengamatan tingkah laku ternak di area penggembalaan selama 6 jam (pukul 09.00-15.00) ... 43

(15)

1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara ... 4 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara ... 8 3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan

produksi panas ... 14 4 Prosedur kerja per penelitian ... 26 5 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (a) suhu lingkungan,

(b) kelembaban udara dan (c) temperature humidity index (THI)

Pada lokasi penelitian ... 28 6 Rataan pola perubahan lingkungan mikro; (d) kecepatan

angin, (e) energi radiasi matahari pada lokasi penelitian ... 29 7 Rataan pola konsumsi BK ransum perlakuan sepanjang periode ... 32 8 Pola perubahan lama bernaung per pengamatan perlakuan

energi ransum ... 47 9 Persamaan regresi antara konsumsi TDN dengan suhu tubuh

(Tb) ternak sapi dari perlakuan energi ransum ... 49 10 Persamaan regresi antara suhu tubuh (Tb) dan frekuensi

respirasi (Rr) ternak sapi dari perlakuan energi ransum ... 50 11 Persamaan regresi kubik antara lama bernaung (LB) dan

(16)

1 Gambar area penelitian ... 57

2 Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit ... 58

3 Komposisi nutrien bahan pakan ... 59

4 Data hasil pengukuran konsumsi ransum dan PBB ... 60

5 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu rektal ... 62

6 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu kulit ... 63

7 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam suhu tubuh ... 65

8 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Hr ... 66

9 Data hasil penggukuran dan analisis sidik ragam Rr ... 68

10 Analisis regresi Tb (Y) dan konsumsi TDN (X) ... 69

11 Analisis regresi Rr (Y) dan Tb (X) ... 70

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian besar sapi perah yang ada di Indonesia adalah sapi bangsa Fries Holland (FH), yang didatangkan dari negara-negara Eropa yang memiliki iklim sedang (temperate) dengan kisaran suhu udara 13-18oC (Pennintong & van Devender 2004), 5-25oC (McNeilly 2001). Kondisi asal iklim tersebut, sapi perah Fries Holland (FH) sangat peka terhadap perubahan iklim mikro terutama suhu dan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan sapi perah akan mengalami cekaman panas dan berakibat pada menurunnya produktivitas. Strategi mengurangi cekaman panas dapat dilakukan dengan perbaikan pakan, perbaikan konstruksi kandang, pemberian naungan pohon dan air minum ad libitum (Velasco et al. 2002).

Di daearah tropis, daya tahan ternak terhadap panas merupakan salah satu faktor yang sangat penting agar ternak dapat berproduksi optimal sesuai kemampuan genetis yang dimiliki. Ternak yang tidak tahan terhadap panas, produktivitasnya akan turun akibat dari menurunnya konsumsi pakan. Sementara itu ternak yang tahan terhadap panas dapat mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran yang normal tanpa mengalami perubahan status fisiologis dan produktivitas (Tyler & Enseminger 2006).

(18)

Penelitian mengenai sifat daya tahan panas telah banyak dilakukan pada ternak berdasarkan pada sumber panas dari luar tubuh, sedangkan sumber panas dari dalam tubuh seperti pakan belum banyak dilakukan. Panas ini memberikan makna yang esensial untuk mempertahankan suhu tubuh dan laju metabolisme yang tinggi pada sapi perah sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang normal. Sebaliknya, di lingkungan dengan suhu yang tinggi, EKP merupakan tambahan beban panas dan menurunkan produksi susu (West 2003; Pennintong & van Devender 2004).

Pada ternak yang digembalakan, cekaman panas dapat dikurangi dengan pemberian naungan pada ternak perah. Akses dan ketepatan penyiapan penggunaan naungan pada sapi perah yang baik, dapat meringankan pengaruh negatif dari beban panas tubuh ternak sapi perah (Kendall et al. 2006; Tucker et al. 2008). Terdapat bukti bahwa pada musim panas, akses sapi perah pada naungan menunjukkan tingkah laku berdiri yang rendah dan bernaung dengan tingkah laku berbaring yang tinggi (Schütz et al. 2008). Beradasar uraian diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai manajemen pakan dan pemberian naungan dalam kaitannya respons termoregulasi dan tingkah laku sapi perah pada kondisi lingkungan di Indonesia.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

1. Mempelajari dan mengetahui konsumsi energi ransum yang mempengaruhi kondisi fisiologi sapi perah dan pengaruh pakan sebagai efek kalorigenik (respon termoregulasi).

2. Mempelajari mengenai hubungan lingkungan mikro dan konsumsi energi ternak sapi perah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain : 1. Sebagai informasi mengenai metode pemberian pakan yang baik untuk

kebutuhan hidup pokok dan respon termoregulasi sapi perah.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Hijauan dan Konsentrat

Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan produktivitas dan keuntungan sapi perah. Menurut Tyler dan Enseminger (2006) pakan merupakan kontributor utama terbesar sebagai biaya produksi dalam industri peternakan yaitu sekitar 45-55%. Menurut Sudono et al. (2003), menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Kondisi tersebut menyarankan pemberian pakan yang baik akan sangat menguntungkan bagi para peternak.

Pemberian pakan pada ternak hendaknya memperhatikan dua hal yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan bobot badan (PBB). Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan adalah kecukupan bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan energi (TDN). Pakan sapi perah yang ideal ditinjau dari segi biologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai tambahan. Pakan sapi perah yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai produksi yang tinggi. Akan tetapi apabila pakan sapi perah hanya terdiri konsentrat saja, produksinya akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan ada kemungkinan terjadinya gangguan pencernaan yang menjuruskan sapi perah ke arah penggemukan. Padahal penggemukan ini bertentangan dengan efesiensi produksi susu (Sudono et al. 2003).

(20)

air tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang laktasi, harus selalu cukup tersedia (Agenậs et al. 2006).

Hijauan

Gambar 1. Hubungan antara tujuan dan kebutuhan pakan sapi perah (Tyler & Enseminger, 2006)

Berkenaan hubungan antara konsumsi pakan dengan faktor iklim, hal yang harus diperhatikan adalah pengaruh iklim terhadap tingkat konsumsi. Rahardja (2007) menyatakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed intake), pengambilan dan penggunaan water intake (air minum), efesiensi penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air liur. Pengaruh tidak langsung iklim terhadap tingkat konsumsi adalah ketersediaan sumber makanan di wilayah tersebut.

Jumlah zat-zat makanan yang dibutuhkan

Formulasi ransum

Sapi Perah

Air Minum

Pokok Hidup :

• Pengganti sel-sel tubuh yang sudah rusak

• Basal metabolis

• Regulasi suhu tubuh

Produksi :

• Pertumbuhan

• Penggemukan

• Reproduksi

• Produksi susu Konsentrat

(21)

Pertumbuhan Sapi Dara

Usaha pembesaran sapi dara di tingkat peternakan rakyat masih belum banyak dilakukan karena dipandang belum menguntungkan dan biayanya mahal. Pemeliharaan sapi dara merupakan bagian penting dalam upaya pengembangan sapi perah karena merupakan calon penghasil bakalan. Peningkatan efisiensi usaha pemeliharaan sapi perah dara perlu dilakukan melalui efisiensi biaya pakan. Perkembangan organ reproduksi terjadi selama masa pertumbuhan sehingga status fisiologis sapi dara harus benar–benar diperhatikan, karena kekurangan gizi dapat menyebabkan tidak berfungsinya ovarium sebaliknya bisa mengalami gangguan reproduksi seperti terjadinya kegagalan kebuntingan dan terjadinya kemajiran bila berat badan meningkat secara berlebihan (McNeilly 2001).

Pembesaran sapi dara berhubungan erat dengan efisiensi reproduksi; keberhasilannya tergantung pada pola pemeliharaan yang 95% dipengaruhi oleh pakan, kesehatan dan faktor lingkungan. Keberhasilan reproduksi dan produksi sapi dara diharapkan berat badan saat kawin sekitar 250 kg–300 kg, namun menurut Sudono et al. (2003) berat badan minimal 250 kg pada waktu kawin pertama jarang tercapai pada umur 15 bulan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh rendahnya potensi pertumbuhan calon induk atau kurang terpenuhinya pakan.

Menurut Abeni et al. (2000) pertumbuhan ideal untuk sapi dara dengan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) 0.5 kg/hari membutuhkan protein kasar sekitar 291 g dan energi metabolis sebesar 5.99 Mkal bila berat badannya 100 kg. Bila target PBBH 0.5 kg/hari tersebut, maka berat badan minimal ideal untuk kawin pertama yakni sebesar 250 kg akan terpenuhi pada umur ± 16.5 bulan sehingga sapi dara langsung dapat dikawinkan untuk pertama kali, dengan demikian umur beranak pertama adalah pada umur 27 bulan.

(22)

energi dan protein bahan pakan selama pertumbuhan. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dihitung dari deposit net energi. Pemakaian energi dapat dinyatakan dengan bermacam cara antara lain; DE (Digestible Energy), ME (Metabolizable Energy), NE (Netto Energy) dan TDN (Total Digestible Nutrient). Konversi energi dapat dikalkulasi nilai yang sama dari TDN yaitu :

o DE (Mkal/kg) = 0.04409 x TDN(%)

o ME (Mkal/kg) = 1.01x DE (Mkal/kg) – 0.45

o NEL (Mkal/kg) = 0.0245 x TDN(%) – 0.12

Berdasarkan penghitungan BK, kandungan protein kasar dan TDN yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pertumbuhan telah ditentukan (NRC 2001) yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan nutrisi harian sapi perah dara

No Berat Badan (kg) PBB (kg/hari) BK (kg/hari) TDN (%) PK (%) 1. 100 0.5 4.1 58.4 13.0

0.7 4.2 61.7 14.9

0.9 4.2 65.3 16.9

1.1 4.2 69.2 18.9

2. 200 0.5 5.1 58.4 11.9

0.7 5.2 61.7 13.4

0.9 5.2 65.3 15.0

1.1 5.2 69.2 16.6

3. 250 0.5 6.0 58.4 11.1

0.7 6.1 61.7 12.4

0.9 6.2 65.3 13.7

1.1 6.2 69.2 15.1

4. 300 0.5 6.9 58.4 10.6

0.7 7.0 61.7 11.7

0.9 7.1 65.3 12.9

1.1 7.1 69.2 14.1

5. 350 0.5 7.8 58.4 10.2

0.7 7.9 61.7 11.2

0.9 8.0 65.3 12.3

1.1 8.0 69.2 13.3

Sumber : National Research Council (NRC) (2001).

(23)

(diekskresikan) oleh tubuh ternak. Prediksi jumlah intake pakan yang diperlukan untuk kebutuhan pemeliharaan sapi perah dara ini harus mempertimbangkan kebutuhan energi untuk proses metabolisme, aktifitas dan regulasi temperatur. Pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan energi dihitung berdasarkan kehilangan panas relatif untuk produksi panas ternak, temperatur harian, isolasi internal dan eksternal (kandang dan penggembalaan), kecepatan angin, warna dan ketebalan bulu, dan kondisi fisiologi (NRC 2001).

Penelitian Fox dan  Tylutki (1998) yang ditunjukkan pada Tabel 2, memprediksi pengaruh lingkungan terhadap kebutuhan nutrisi sapi perah yang mempertimbangkan bobot badan ternak untuk beberapa daerah di Amerika Serikat.

Tabel 2 Prediksi pengaruh lingkungan terhadap performans sapi dara

Peubah

Netrala Northernb SouthWestc

1 1 2 3 4 1 2 3 4 PBB kg/d 0.94 0.88 0.60 0.53 0.68 0.88 0.88 0.78 0.88 Umur, bulan 20.3 21.1 28.5 28.5 25.9 20.7 20.7 22.4 20.7 BB, kg 603 588 560 501 574 580 580 561 580

Sumber : Fox dan Tylutki (1998)

a

setara kebutuhan pemeliharaan NRC (1996, 2001)

b pertengahan temperatur perbulan antara daerah central utara dan tenggara Amerika

Serikat. Situasi 1 = cerah dan kemarau, 2 = iklim sedang, 3 = kondisi 2 plus 10 cm mud dari November sampai Maret dan 4 = Kondisi 1 plus kecepatan angin 16 kph.

c

temperatur daerah barat daya Amerika Serikat

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk pertumbuhan tergantung oleh interaksi antara DMI/bahan kering, tambahan panas dari pakan, insulasi ternak dengan variabel yang dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, angin, produksi dan kehilangan panas ternak. Lingkungan yang menyebabkan stress akan menunda pubertas pada ternak, sehingga waktu melahirkan pertama sapi dengan interval yang lebih lama. Bobot badan induk melahirkan pertama menurun jika terjadi lingkungan yang stres.

Produksi Panas Ternak dalam Kandang

(24)

kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan kemudian dilepas oleh tubuh hewan terdiri atas sensible heat (panas sensibel) dan latent heat (panas laten). Panas sensibel dan panas laten yang dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur kandang.

Perolehan panas dari heat gain (luar tubuh) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi heat loss (kehilangan panas tubuh) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara

sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) Brown-Brandl et al. (2006a).

Gambar 2 Diagram produksi panas sapi perah pada suhu lingkungan.

Pada sapi perah FH, penampilan produksi terbaik akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3oC dengan kelembaban 55%. Secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan; 2) peningkatan konsumsi minum; 3) penurunan metabolisme dan peningkatan

 

Dingin

 

Panas

  

optimun

Batas suhu 

Nyaman

Cekaman panas 

Cekaman panas 

Puncak

produksi

Regulasi  produksi panas  

Mati

 

Mat

i

 

Produksi Panas 

Terendah  Batas kritis suhu 

maksimum

Batas kritis suhu 

maksimum 

‐15oC  13oC 18oC  27o

Pro

duk

si

Pan

a

s

(25)

katabolisme; 4) peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6) peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001); dan 7) perubahan tingkah laku (Philips 2002) dan 8) meningkatnya intensitas berteduh sapi (Schütz et al. 2008). Respons fisiologis sapi FH akibat cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 yang menunjukkan respon yang berbeda pada temperatur yang nyaman dan temperatur tinggi.

Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi penapasan sapi FH

Parameter

Suhu Lingkungan

Sumber Netral Cekaman

Suhu Rektal (oC) 38.7 40.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

38.8 39.8 Purwanto et al. (1993) Denyut Jantung (kali per

menit)

77.0 79.0 McNeilly (2001) Schutz et al. (2008)

64.0 67.0 Purwanto et al. (1993) Pernapasan (kali per menit) 48.0 87.0 McNeilly (2001)

Schutz et al. (2008)

31.0 75.0 Purwanto et al. (1993)

Sumber : 1. sapi FH dengan suhu netral 24oC (McNeilly 2001) dan cekaman 32oC (Schutz

et al. 2008)

2. Purwanto et al. (1993) sapi FH dengan suhu netral 15oC dan cekaman 30oC

Tabel 4 Produksi susu, volume urine, konsumsi air minum, konsumsi pakan

Parameter

Suhu lingkungan 18oC 30oC Produksi susu (kg/d) 19.5 15.0 Volume urine (ml) 10.0 13.6 Konsumsi air minum (kg/d) 57.9 74.7 Konsumsi konsentrat (kg/d) 9.7 8.4 Konsumsi hay (kg/d) 5.8 4.2 Evaporasi melalui (g m-2hari-1) :

- Permukaan tubuh - Respirasi

94.6 60.6

150.6 90.9

(26)

Faktor Suhu, Index Suhu dan Kelembaban (THI)

Menurut Rahardja (2007) bahwa faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap produksi dan konsumsi. Suhu lingkungan yang naik sampai ± 27oC bagi sapi FH menyebabkan produksi susu menurun. Kemerosotan atau menurunnya produksi ini disebabkan oleh rendahnya napsu makan. Apalagi di masa ini, isu tentang global warming (pemanasan global) sangat memungkinkan naik dan turunnya produksi susu secara drastis sehingga dapat merugikan peternak tentunya. Di lingkungan yang suhu tergolong tinggi, meningkatkan pengeluaran panas dan bila diberikan pakan maka efek kalorigenik pakan (EKP) merupakan tambahan beban panas sehingga dapat menurunkan produksi susu sapi tersebut.

Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah (FH serta PFH) pada suhu lingkungan yang naik di atas normal, lebih dari 30oC misalnya, merupakan lingkungan yang kritis. Suhu yang tinggi akan memaksa sapi yang tinggal di lingkungan tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan yang bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan berkurang sehingga produksi susu menurun (Rahardja 2007).

Stres panas terjadi apabila temperatur lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di atas zona termonetral (ZTN). Pada kondisi ini, toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Stres panas ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi dan laktasi sapi perah termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi susu dan komposisi susu (Bond & McDowell 2008).

(27)

Kemampuan berproduksi susu sapi perah FH menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur. Seperti halnya penelitian pengaruh stres panas yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan.

Temperatur (oC)

Perkiraan konsumsi dan produksi susu Konsumsi bahan

kering (lb)

Produksi susu (lb) Konsumsi air (Galon)

20 40.1 59.5 18.0 25 39.0 55.1 19.5 30 37.3 50.7 20.9 35 36.8 39.7 31.7 40 22.5 26.5 28.0

Sumber : Pennington dan van Devender (2004)

Tabel 5 menunjukkan perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu dan konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan. Temperatur lingkungan yang semakin tinggi membuat konsumsi air meningkat, mengurangi napsu makan seekor sapi sehingga berpengaruh terhadap produksi susunya. Perubahan temperatur lingkungan dari 95oF ke 104oF (35 ke- 40oC) menyebabkan ternak tersebut mengalami stres panas yang ditunjukkan produksi susu menurun drastis secara signifikan. Stres panas harus ditangani dengan serius, agar tidak memberikan pengaruh negatif yang lebih besar dengan usaha yang dapat dilakukan yaitu memodifikasi lingkungan agar ternak nyaman dengan kondisi tempat tinggalnya seperti perbaikan pakan, manajemen dan temperatur yang sesuai (Pennington & van Devender 2004).

(28)

membutuhkan temperatur nyaman 13 – 18 oC atau Temperature Humidity Index (THI) < 72. THI > 72 akan mengalami stress, dimana THI > 84 memungkinkan terjadi kematian pada sapi perah (West 2003 ; Pennington & van Devender 2004). Hubungan THI dengan tingkatan stress dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan

Sumber : Pennington dan van Devender, 2004.

Aspek Fisiologi Termoregulasi

Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan, atau suatu proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak, suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar (Isnaeni 2006). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan suhu. Suhu mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah temperatur (Tyler

(29)

produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2) dan faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah ukuran tubuh, spesies dan bangsa, lingkungan, pakan dan air.

Menurut Brown-Brandl et al. (2006b), bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas dengan secara sensible, menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible (evaporasi). Menurut Short et al. (1990) dalam lfarez-Rodrīguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas secara evaporasi dengan panting dan sweating. Schütz et al. (2008) menyatakan, evaporasi pada dasarnya dikontrol oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba dapat segera menyebabkan proses fisiologis pada sapi. Pada saat istirahat, hewan lebih toleransi pada suhu tinggi.

Produksi panas tubuh ternak diukur dengan kalorimetri langsung dan tidak langsung. Kehilangan panas diketahui melalui kehilangan non evaporasi dan evaporasi (Martini 2007). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas dengan mengurangi evaporasi. Keseimbangan panas, menurut Isnaeni (2006), dipengaruhi oleh panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan), dan panas yang hilang atau diperoleh dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi dan radiasi.

(30)

Dipengaruhi oleh : Dipengaruhi oleh : Sumber : Luas permukaan tubuh Hormon kalorigenik Makanan Penutup tubuh Produksi : cadangan tubuh Pertukaran air susu fermentasi rumen/ Aliran darah daging sekum

Lingkungan : wool Lingkungan Suhu aktivitas otot

Kecepatan angin kebutuhan pokok Kelembaban

Sensible non sensible Radiasi evaporasi Konveksi - respirasi Konduksi - kulit

[ Pelepasan panas ] [ Pelepasan panas ]

Hipotermia Hipertermia

Normal

[image:30.612.98.519.72.508.2]

Suhu tubuh, oC

Gambar 3 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan produksi panas.

Suhu Rektal

(31)

Suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada hewan, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 oC dan ternak dibawah satu tahun berkisar 38.6-39.8 oC (De Rensis & Scaramuzzi 2003).

Denyut Jantung

Jantung adalah struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, parturition, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, olahraga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, temperatur lingkungan (Frandson 1992). Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal.

Denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55-80 kali/menit, sedangkan pada pedet 100-120 kali/menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa. Pada sapi jika dalam kondisi tenang, denyut jantung dapat dideteksi dari arteri pada rahang bawah, arteri median, arteri koksigeal bagian tengah pada ekor, ± 10 cm dibawah anus (Seath & Miller 2008).

(32)

Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen kedalam tubuh serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstaseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat mengatur kelembaban dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri dari paru-paru dan saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru-paru. Pusat respirasi pada burung dan mamalia adalah medulla yang sensitive terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Frandson 1992).

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespon kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma), observasi aktivitasrespirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similiritas pergerakan kedua sisi (Isnaeni 2006).

Kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. mekanisme respirasi dikontrol oleh medulla yang sensitive terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika

tekanan meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen yaitu setelah olahraga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi dan kegemukan (Frandson 1992).

Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak

(33)

tingkah laku sapi perah memberikan produkrivitas yang maksimal pada kawanan sapi. Tingkah laku ternak merupakan hasil yang bersumber dari genetik, simple learning (latihan dan pengalaman), dan suatu pembelajaran yang kompleks (inteligen) (Tyler & Ensminger 2006).

Tingkah laku merupakan reaksi ternak untuk beberapa rangsangan atau cara dimana mereka memberi reaksi terhadap lingkungan. Melewati beberapa tahun, tingkah laku sapi perah disambut dengan sedikit perhatian dibanding kuantitas dan kualitas susu yang diproduksi. Tetapi baru-baru ini, terdapat pembaharuan perhatian yang menarik dalam tingkah laku terutama sebafai faktor yang menghasilkan efesiensi dan produksi yang maksimal (Tyler & Ensminger 2006). Menurut Philips (2002) bahwa peningkatan frekuensi di kandang, banyak sapi menimbulkan ekspresi tingkah laku abnormal termasuk kehilangan nafsu makan, pica, kurang pergerakan, prilaku maternal yang buruk, sifat agresif yang berlebihan, dan beberapa gangguan tingkah laku yang lain.

Kita membutuhkan bangsa sapi perah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan buatan. Suatu kandang tidak hanya membatasi tetapi juga mengganggu habitat dan organisasi sosial dimana sapi beradaptasi. Beberapa tahun belakangan ini, sebagian besar aktivis kesejahteraan ternak, melihat peternakan modern sebagai hal yang tak wajar dan kondusif untuk kesejahteraan ternak. Beberapa sistem produksi intensif adalah kejam dan tidak kebal hukum. Selanjutnya, aktivis mempertahankan bahwa setiap ternak akan diberikan perlindungan moral yang sama selama bermanfaat untuk manusia. Ternak memerlukan kebutuhan esensial baik secara fisik dan tingkah laku, jika tidak maka menyebabkan menderita dan stres (Tyler & Enseminger, 2006). Hak-hak ternak yang berkaitan dengan kesejahteraannya yaitu bebas dari lapar dan dahaga; bebas dari luka, rasa sakit, dan penyakit; bebas dari rasa takut dan penderitaan; bebas dari rasa panas dan tidak nyaman; dan bebas untuk mengeksperesikan tingkah laku normal dan alaminya.

(34)

memadai dengan fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku ternak dan adanya teman untuk berinteraksi sosial. Menghindari ketidaknyamanan dan cekaman panas dengan memberikan naungan atau tempat berteduh, tempat untuk beristirahat dan fasilitas yang sesuai dengan perilaku hewan. Selain itu juga memberikan pakan dan air minum dalam jumlah yang cukup, higienis dan memenuhi kandungan gizi yang sesuai dengan keperluan masing-masing hewan. Pemberian pakan harus tepat dan proporsional sehingga pertumbuhan hewan dapat maksimal dan dapat berproduksi sebagaimana mestinya (Philips 2002).

Banyak peternakan rakyat yang masih belum memaksimalkan kenyamanan pada sapi perah. Perlu diketahui bahwa observasi dan pengalaman menunjukkan bahwa sapi yang berada di kandang yang nyaman, memproduksi lebih banyak susu dan secara umum lebih sehat dan hidup lebih lama. Pakan dan minum yang cukup, udara yang bersih, permukaan bedding yang empuk dan bersih harus tersedia bagi ternak sapi, sehingga sapi dapat berdiri dan berbaring dengan nyaman, karna sapi menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan berbaring.

Menurut Schützet al. (2009) bahwa sapi biasanya berbaring sekitar 14 jam sehari dan selama waktu itu ternak hanya tidur selama 30 menit. Saat permukaan

bedding tidak nyaman, sapi akan mengurangi waktu istirahat. Jika tidak dapat berbaring, sapi akan berdiri terlalu lama sehingga akan mengganggu siklus tingkah laku naturalnya. Sapi butuh untuk berbaring karena pengurangan waktu berbaring, akan mengurangi produksi susu. Selain itu, sapi bisa beristirahat dan ruminasi saat berbaring. Menurut Acatincăi et al. (2009) menyatakan bahwa pengamatan pada sapi perah selama 48 jam pada suhu 31.6oC selama musim panas di Rumania, menunjukkan waktu ruminasi selama 350.60 menit dengan rata-rata 24.81 menit pada frekuensi berkisar 14-18 kali.

Kandang dan Naungan

(35)

lingkungan tidak berpengaruh terhadap sapi perah. Kandang yang terintegrasi dalam suatu sistem peternakan sapi perah dengan demikian dapat dan harus berfungsi secara maksimum untuk mencapai efisiensi optimum.

Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara secara intensif adalah radiasi matahari yang mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang. Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi yang digembalakan. Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan menggunakan naungan untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran (Schutz et al. 2008). Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung sinar matahari dalam pembuatan naungan sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang memantulkan dan menyerap radiasi langsung tersebut, sehingga dapat mengurangi pengahantaran panas ke tubuh ternak. Bahan-bahan lokal yang dapat digunakan sebagai naungan di area penggembalaan yaitu rumbia, seng, genteng dan paranet. Data tentang penggunaan bahan naungan tersebut masih kurang, sehingga dianggap perlu untuk mengkaji dalam pengaruhnya terhadap respon fisiologi dan tingkah laku ternak.

Di dekat kandang peternak sapi perah dianjurkan menanam pohon pelindung dan membuat saluran irigasi. Lantai semen terasa sangat dingin saat temperatur lingkungan rendah dan kelembaban tinggi; jadi, perlu dipasang alas lantai serbuk gergaji, jerami, atau karpet karet. Di Indonesia, sebaiknya kandang mempunyai dinding setengah. Bahan atap dapat memakai daun rumbia, daun alang-alang, ijuk, genting, seng, asbes, kaca, sirap, dan lain-lain. Kelebihan atap daun rumbia dan alang-alang adalah harganya relatif murah dan dapat menahan panas. Peternak sapi perah di Indonesia hingga saat ini paling banyak menggunakan atap genting. Atap genting mudah didapat, murah, dan tahan api. Seng dapat dipakai sebagai atap dan tahan api, tetapi tidak dapat menahan panas. Atap asbes lebih baik menahan panas dari genting, tetapi sayangnya asbes menghasilkan zat kimia berbahaya dan debu pada waktu diganti. Atap kaca tidak menghalangi sinar matahari masuk ke dalam kandang; kelemahannya adalah mudah pecah.

(36)

aktifitasnya disiang hari. Sedangkan areal tertutup berfungsi sebagai tempat beristirahat hewan di malam hari. Sapi yang dipelihara dalam sistem feedlot lebih sering mengalami stres dibandingkan sapi yang dilepas disuatu ranch. Kendala pemeliharaan ternak di areal penggembalaan ternak di Indonesia adalah radiasi matahari sehingga memerlukan perhatian yang lebih besar pula dalam hal kebutuhan naungan (Schütz et al. 2008, 2009). Berbagai macam peneduh digunakan dalam pemeliharaan feedlot. Pada naungan yang terbuka, dibutuhkan luas sekitar 3-5 m2 untuk tiap satuan ternak. Kandangnya dapat dibangun sederhana, mudah dibersihkan dan harganya pun tidak terlalu mahal.

(37)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen IPTP dan analisis proksimat rumput gajah dan pakan dilakukan di Laboratorium Analisa Bahan Makanan Ternak, Departemen INTP Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Penelitian Ternak

Penelitian ini menggunakan empat ekor sapi perah dara PFH dengan karakteristik ternak ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Karakteristik sapi dara

No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg)

1. KT 82 31 156 297

2. KT 84 25 147 253

3. KT 87 20 126 164

4. KT 88 19 132 188

Ransum

(38)
[image:38.612.115.497.138.615.2]

Pemberian air minum disediakan secara ad libitum. Kandungan nutrien bahan pakan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat (%)

Bahan Pakan Konsentrat

A B C D

Onggok 21.6 24.04 26.2 30.4

Dedak halus 20 20 20 20

Dedak kasar 20.18 17.7 - 0.24

Mollases 4 3 3 28.56

Bungkil kelapa 30.13 23.11 15.61 5

Bungkil sawit - - 16 5

Pollard - 8 12 5

Bungkil kedele - - - 10

Urea 1.7 1.37 2.4 0.3

Garam 1.69 1.4 2.4 -

CaCO3 1.7 1.38 2.39 0.5

Analisis (%):

Bahan kering 86 86 86.7 86 Protein kasar 12 12 13 15

Abu 8.348 7.519 5.747 6.374

Lemak 6.299 5.847 5.305 5.833

Beta-N 45.92 46.457 44.951 43.179 Serat kasar 12.84 11.747 9.954 10.39

TDN 55 60 65 70

Ca 0.83 0.821 0.335 0.33

P 0.25 0.309 0.803 0.81

Harga (Rp) 1863.83 1823.36 2550.03 2639.08

Peralatan

(39)

(Anritsu Hl-2000, Tokyo), termometer bola hitam (black globe thermometer) atau pyranometer dan display, kabel termokopel, pengukur waktu (stopwatch Alba, Tokyo), stetoskop (Stetoscope, Japan), pita ukur, BTU-psychrometer, timbangan rumput 110 kilogram dengan kepekaan 500 gram, timbangan konsentrat kapasitas lima kilogram dengan kepekaan 20 gram.

Naungan

Naungan digunakan untuk melindungi sapi dari sinar matahari langsung. Bahan naungan yang digunakan adalah paranet 75%. Pemberian naungan diarea penggembalaan untuk ternak sapi perah dilakukan pada setiap akhir perlakuan pemberian ransum, diantara pemberian pakan dengan pengamatan pada pukul 09.00-15.00 WIB. Pemberian naungan ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan mikro, daya tahan panas dan konsumsi energi ransum dengan mengamati lama bernaung pada ternak. Fasilitas naungan tersebut berada di suatu padang penggembalaan dengan luas 650 m2. Struktur bangunan naungan mempunyai luas 27 m2 (9x3 m), dengan tinggi bangunan 2,3 m. Pada area penggembalaan ternak, menyediakan air minum secara ad libitum dan meniadakan hijauan. Deskripsi penelitian ini, dapat dilihat pada Lampiran 1.

Metode Penelitian

Pemeliharaan Ternak

Sapi dipelihara pada tiap tiap periode perlakuan selama 21 hari, masa adaptasi dua pekan (14 hari) dengan setiap hari pengamatan yang dilanjutkan untuk pengumpulan data 7 hari terakhir.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati terdiri atas faktor iklim dan respons fisiologis ternak sapi. Faktor iklim yang diukur meliputi suhu udara bola basah dan bola kering (DBT-WBT), kelembaban (RH), kecepatan angin, menghitung temperature humidity index (THI) dan jumlah radiasi. Pengamatan faktor iklim tersebut dilakukan setiap hari pada pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60 menit.

(40)

denyut jantung (Hr). Pencatatan suhu permukaan kulit (Ts), suhu rektal (Tr), suhu tubuh (Tb), frekuensi pernapasan (Rr) dan denyut jantung (Hr) setiap hari pada pukul 10.00, 12.00 dan 14.00 WIB. Konsumsi pakan diukur setiap hari pada pukul 06.30 WIB. Pemberian naungan pada dua hari terakhir periode perlakuan untuk menghitung lama bernaung ternak akibat adanya radiasi matahari, tingkah laku ingestif, ruminasi, lying behaviour (berbaring), agonistik dan allelomimetik. Pengamatan tingkah laku antara pukul 09.00 – 15.00 WIB dengan interval 60 menit.

Metode Pengukuran Parameter

Faktor iklim. Suhu udara dan kelembaban diukur dengan termometer bola basah dan bola kering. Pengukuran dilakukan dibawah kandang dan naungan. Indeks suhu kelembaban (THI) dihitung dengan rumus yaitu :

THI = DBT + 0.36DP + 41.2 dengan ;

DBT : suhu bola kering (oC) dan DP : dew point (oC)

Kecepatan angin diukur dengan menggunakan anemometer digital diluar kandang. Radiasi diukur dengan menggunakan pyranometer dimana mempunyai satuan watt/m2.

Respons fisiologis sapi. Suhu permukaan kulit diukur pada empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (a), dada (b), tungkai atas (c) dan tungkai bawah (d). rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu :

Ts = 0.25 (a + b) + 0.32 c + 0.18 d

Suhu rektal (Tr) diukur dengan memasukkan thermometer klinis ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama tiga menit. suhu tubuh (Tb) dihitung menggunakan data Ts dan Tr berdasarkan rumus McLean et al. (1983) yaitu :

Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts.

(41)

Rancangan Penelitian

Terdapat dua faktor dalam percobaan ini yaitu individu sapi dan perlakuan, sehingga digunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin 4 X 4. Perlakuan yang diujikan yaitu :

A (Hijauan + konsentrat TDN 55%) B (Hijauan + konsentrat TDN 60%) C (Hijauan + konsentrat TDN 65%) D (Hijauan + konsentrat TDN 70%)

Pola pengacakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Skema perlakuan penelitian

Periode

Kode Ternak Sapi

KT 82 KT 84 KT 87 KT88

I C D A B II D C B A III B A D C IV A B C D

Model matematika dalam rancangan percobaan ini adalah (Steel & Torrie 1995):

Yijk = µ +

α

i +

β

j

+

τ

k +

ε

ijk

Keterangan :

Yijk : pengamatan dari perlakuan pakan ke-k dalam sapi ke-i dan waktu ke-j

µ : nilai rataan umum

αi : pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris)

βj

: pengaruh aditif dari kondisi ternak (efek kolom)

τ

k : pengaruh aditif dari urutan perlakuan

εijk : galat percobaan pada perlakuan ke-k dalam sapi ke-j dan periode ke-i

Analisis Data

(42)

7

perlakuan pakan diketahui melalui uji Beda Nyata Terkecil. Tingkah laku bernaung dianalisis secara statistik menggunakan korelasi, regresi. Data pengamatan lama bernaung yang diperoleh, diuji dengan menggunakan analisis regresi berganda (Walpole 1995) untuk mengetahui hubungan masing-masing variabel yaitu :

Y = βo + β1 x1 + β2 x2 + ε

Keterangan :

Y = intensitas lama bernaung

βo = konstanta

β1…β2 = koefisien masing-masing regresi

β1 = Koefisien suhu lingkungan

β2 = Koefisien radiasi matahari

ε = galat

                 

waktu pengamatan (hari)

   

[image:42.612.101.542.60.704.2]

Keterangan :

Gambar 4. Prosedur kerja per periode penelitian

21 14

0 18

Pengukuran BB

Awal Periode Pengukuran BB

Akhir Periode

Kandang : Pengamatan respon termoregulasi (1-18) Masa adaptasi (1-14)

Tingkah laku Pengamatan lingkungan mikro (1-21)

Respons Termoregulasi : Pkl 10; 12 dan 14 WIB Suhu Rektal

Suhu Kulit Suhu Tubuh Denyut Jantung Frekuensi Respirasi

Tingkah Laku Ternak : Pukul 09.00-15.00 WIB Bernaung Berbaring Ruminasi Ingestive Berdiri Agonistik, dll. Lingkungan Mikro :

Pukul 09.00-15.00 WIB

Suhu Lingkungan Kelembaban Udara Kecepatan Angin THI

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

Berdasarkan pengamatan selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 09.00 pagi sampai pukul 15.00 sore WIB, data yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi lingkungan mikro suhu lingkungan berkisar antara 27.4-33.2oC, kelembaban udara antara 59.1-89.7%, THI (Temperature Humidity Index) antara 77.1-82.7, kecepatan angin 0.35-1.10 meter/detik dan energi radiasi matahari berkisar antara 210.8-459.9 watt/m2. Nilai pengamatan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan rataan kisaran nilai optimum untuk tingkat kenyamanan sapi perah. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa ternak mengalami cekaman panas pada kondisi lingkungan tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah tropis basah yang mempunyai sirkulasi angin yang rendah, suhu lingkungan maupun energi radiasi sinar matahari serta kelembaban udara yang tinggi pula. Rataan kondisi iklim mikro dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Data rataan iklim lingkungan mikro kandang Periode

Pengamatan

Parameter Lingkungan Mikro

Ta (oC) RH (%) THI Va (m/s) SR (watt/m2) Periode I 30.1±1.27 73.6±3.69 79.9±1.34 0.7±0.07 315.3±82.29 Periode II 30.3±1.50 72.5±6.35 80.1±1.52 0.7±0.21 308.2±83.06 Periode III 31.6±1.68 64.5±5.63 81.2±1.62 0.8±0.22 357.6±90.92 Periode IV 30.1±2.14 74.7±5.19 79.2±1.53 0.6±0.19 338.7±109.65

Rataan 30.5±0.72 71.4±4.64 80.1±0,85 0.7±0.08 329.9±22.60

Keterangan :

Ta = Suhu lingkungan Va = Kecepatan angin RH = Kelembaban relatif SR = Energi radiasi matahari THI = Temperature Humidity Index

(44)
[image:44.612.87.498.122.661.2]

c k G 60.0 65.0 70.0 75.0 80.0 85.0 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. cekaman pa kategori med

Gambar 5 R k l Suhu   Lin g kun g an   ( O C)   Kelem b a b an   ud ara   (% )   T e m p e rat ur e   Humid ity   In dex (THI)   79.6 0 0 0 0 0 0 9.00 1 77.4 0 0 0 0 0 0 0 9.00 anas (Tabel

dium stress (

Rataan pola kelembaban lokasi peneli (a)  (b)  (c)  6 72.0 6 10.00 11.00 4 79.7 8 10.00 11.00

6) bahwa k (cekaman se

perubahan l udara dan (c itian. W 68.6 66.8 12.00 13 81.0 81.5

0 12.00 13

kondisi pene edang) yang

lingkungan m c) temperatu

Waktu Pengam

67.3 70 3.00 14.00 81.3 80 3.00 14.00

elitian ini se berpotensi te

mikro; (a) su

ure humidity

matan (WIB)

0.8 74.5 15.00 0.5 79.2 15.00 ecara umum erjadi pada s

uhu lingkung

y index (THI)

(45)
[image:45.612.90.498.71.499.2]

G y ( b p h l d m 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Gambar 6 Pada yang berfluk (Ta), THI da baku yaitu p pada pukul 1 hari. Naik lingkungan d dua faktor menyebabka Kece p atan   an g in   (m/s)   Rad ias i   ma ta h a ri   (watt /m

2 ) 

0.5 3 4 5 6 7 8 9 9.00 Rataan pola energi radi

a Gambar 5 ktuasi pada l an energi rad pola paraboli

12.00-13.00 turunnya e dan kelemba iklim yan an perubahan (d)  (e)  0.6 10.00 11.00 a perubahan asi matahari

dan 6 menu lokasi peneli diasi mataha ik. Nilai Ta dan 13.00-1 energi total aban udara ( ng mempeng

n keseimban

W

0.7

0.8

0 12.00 1

n lingkungan i pada lokasi

unjukkan po itian. Pada ari (SR) men a (oC), THI d 14.00 WIB d radiasi mat (RH). Suhu garuhi prod ngan panas d

Waktu Pengam

0.9

0

13.00 14.00

n mikro; (d) i penelitian.

ola perubaha Gambar ters ngilustrasika dan SR (watt dan menurun tahari sanga

dan kelemb duksi sapi dalam tubuh

matan (WIB)

0.7

0.7

15.00

) kecepatan

an kondisi ik sebut, suhu l an pola perub t/m2) menca n setelah mej at mempeng baban udara m

perah, kar h ternak, kes

(46)

air, keseimbangan energi dan keseimbangan tingkah laku ternak. Iklim mikro di suatu tempat yang tidak mendukung bagi kehidupan ternak membuat potensi genetik seekor ternak tidak dapat ditampilkan secara optimal. (McNeilly 2001; Pennington &  van Devender 2004).

Pada Gambar 5c, ternak mulai mengalami stres ringan pada pukul 09.00 pagi dan stres sedang mulai pada pukul 11.00-14.00 siang. Peningtong and van Devender (2004) bahwa THI>72 mengindikasikan ternak mengalami stress dan THI 83 memberikan pengaruh yang buruk terhadap produksi susu dan kondisi fisiologi ternak. Kondisi iklim seperti ini harus diperhatikan oleh peternak di Indonesia khususnya Bogor untuk mengurangi pengaruh iklim mikro dengan beberapa cara yang disarankan oleh Velasco et al. (2002) melalui perbaikan sirkulasi kandang, manajemen pakan, imbangan nutrisi dan pemberian air minum

ad libitum. Berbeda halnya dengan kecepatan angin (Gambar 6d), justru pada saat THI yang tinggi, angin berada pada kecepatan yang rendah. Yani dan Purwanto (2006) bahwa hal ini tentu mengurangi fungsi angin dalam membantu pengeluaran panas. Menurut Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa pemberian kecepatan angin 1.12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi cekaman panas.

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum dan PBB

Pemberian pakan sapi perah ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Sudono et al. (2003) pakan yang diberikan ke sapi perah harus memenuhi setidaknya tiga macam kebutuhan nutrisi pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar (PK), dan Total Digestible Nutrient (TDN). Selama penelitian berlangsung kebutuhan nutrisi pakan bervariasi antar ternak. Variasi ini muncul dikarenakan adanya perbedaan bobot badan sapi dara yang digunakan serta periode lingkungan mikro penelitian. Faktor penting dalam penyusunan ransum dan tingkat konsumsi pakan adalah bobot badan sapi.

(47)
[image:47.612.114.513.163.471.2]

BK per hari. Pada kondisi cekaman panas, efesiensi penggunaan energi akan berkurang karena meningkatnya energi untuk hidup pokok dan energi untuk aktivitas termoregulasi.

Tabel 11 Rataan konsumsi BK, TDN, PK ransum dan analisis ragam PBB sapi perah dara selama perlakuan

Peubah A B C D Perlakuan

Bahan Kering (kg) :

Hijauan 4.2±1.17 4.0±0.98 4.3±0.16 4.1±0.57 Konsentrat 3.2±1.17 3.3±0.98 3.0±0.84 2.9±0.96 TDN (kg) :

Hijauan 2.4±0.49 2.3±0.43 2.5±0.05 2.3±0.23 Konsentrat 1.8±0.64 1.9±0.58 1,9±0.55 2.0±0.68 Protein Kasar (kg) :

Hijauan 0.33±0.06 0.34±0.08 0.36±0.01 0.34±0.03 Konsentrat 0.37±0.08 0.37±0.09 0.4±0.1 0.39±0.01 Lemak Kasar (kg) :

Hijauan 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 0.05±0.01 Konsentrat 0.2±0.07a 0.19±0.06ab 0.16±0.04b 0.17±0.05ab Serat Kasar (kg) :

Hijauan 1.6±0.45 1.5±0.38 1.6±0.06 1.5±0.22 Konsentrat 0.4±0.14b 0.38±0.11b 0.30±0.08a 0.30±0.08a Beta-N (kg) :

Hijauan 1.0±0.29 1.0±0.25 1.0±0.04 1.0±0.14 Konsentrat 1.5±0.54 1.5±0.45 1.38±0.38 1.1±0.77 PBB (kg) 0.63±0.08ab 0.68±0.05b 0.65±0.06ab 0.55±0.08a

Superskrip berbeda pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05)

A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%.

(48)
[image:48.612.144.475.192.378.2]

t p N k p G p t t s u r r d a c m d t terhadap ko peningkatan NRC untuk kasar (LK), perlakuan en

Gambar 7 R r

Sumb protein. Kar tanpa nitrog ternak non-r sumber ene unggas, bab ruminansia rumput yan dalam rume asam propi cenderung m meningkatka dalam rumen terbang (VF K o nsum si    BK   (k g /h a ri )   nsumsi BK, n konsumsi sapi perah serat kasar nergi ransum

Rataan pola k ansum A,

ber energi u rbohidrat ter gen (Beta-N/

ruminansia d ergi. Sumbe bi) adalah B

adalah serat ng tinggi da en, sedangka onat perse meningkatkan an produksi n kurang dar FA). Tabel

, TDN dan PK dengan dara. Sela (SK) dan B m konsumsi L

konsumsi BK ransum

untuk ternak rdiri atas 2 (d

/pati). Terd dan ruminan er energi u Beta-N, sed t kasar. Tyl alam ransum

an bila pers entasenya d n kadar lema susu. Asam ri 40% atau l 11 menun

Wakt

PK. Tetap rataan 750 ain itu, dilak eta-N. Terd LK dan SK k

K ransum pe m B, r

k adalah zat dua) fraksi, y dapat perbed

nsia dalam m utama untuk dangkan sum

ler dan Ense m dapat me

entase kons dapat meleb

ak susu, sed m lemak sus u lebih besar njukkan kon

u Pengamata

i pada perla gram yang kukan pengu dapat perbed konsentrat (P erlakuan sep ansum C,

makanan k yaitu serat k daan yang sa menggunakan k ternak no mber energi eminger (20 eningkatkan sentrat tingg bihi asam dangkan asam su akan men r dari 60% d nsumsi hijau

an (hari) 

akuan C me masih sesu ujian konsu daan yang ny

P<0.01).

anjang perio ransum

karbohidrat, kasar dan bah

angat menda n zat makan on-ruminans i utama un 006), bahwa

produksi a gi dalam ran

asetat. Asa m propionat nurun bila a dalam total a uan yang le

enunjukkan uai batasan umsi lemak yata antara ode. m D. lemak dan han ekstrak asar antara nan sebagai sia (seperti ntuk ternak persentase sam asetat nsum maka

(49)

sehingga produksi asam propionat lebih rendah dibandingkan dengan produksi asam asetat. Gambar 7 menunjukkan pola konsumsi BK ransum yang mengindikasikan konsumsi konsentrat seragam dan konsumsi hijauan yang bervariasi. Pengamatan pada setiap periode (hari 1-21), pemberian ransum dengan TDN rendah menunjukkan pola konsumsi BK yang meningkat dan pemberian ransum TDN tinggi menunjukkan pola konsumsi yang menurun, hal ini mengindikasikan terjadi proses adaptasi ternak untuk memperoleh panas tubuh dan atau energi yang berasal dari ransum. 

Energi di dalam tubuh sapi maupun hewan lainnya berperan dalam pemasukan makanan (feed intake), karena hewan pada umumnya, aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Rahardja (2007), kekurangan energi pada hewan muda dapat memperlambat pertumbuhan dan menunda pencapaian pubertas, sedangkan kekurangan energi pada sapi laktasi dapat menurunkan produksi susu dan bobot badan. Semakin tinggi energi ransum yang diberikan maka tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan mikro yang tropis basah, sehingga ternak mengatur suhu tubuhnya (termoregulasi) dengan mengurangi konsumsi energi yang berlebihan bagi kondisi suhu tubuhnya.

Pertambahan bobot badan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan energi ransum (P>0.05). Meskipun demikian, rataan PBB dari perlakuan D dengan TDN konsentrat 70% jauh lebih rendah dibanding dari perlakuan lainnya yaitu sebesar 0.55 kg per hari. Kondisi tersebut disebabkan tingkat konsumsi BK yang rendah dibanding dengan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan energi ransum yang tinggi menjadi tambahan panas selain suhu lingkungan sehingga ternak mengurangi konsumsi sebagai akibat menghindari produksi panas. Sebagai tambahan, konsumsi energi yang tinggi, tubuh bekerja ekstra dalam fungsi termoregulasi yang meyebabkan penurunan energi yang tercerna serta pelepasan panas dengan menurunkan laju metabolisme energi melalui peningkatan defekasi dan urinasi.

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal (Tr)

(50)

mudah dilakukan pengukurannya daripada parameter suhu tubuh lainnya. Dari hasil pengukuran, pengaruh perlakuan terhadap suhu tubuh berkisar antara 38.6-39.2oC (Q1-Q3). Rataan suhu rektal ini masih tergolong pada suhu normal sapi

perah seperti yang dikemukakan Schütz et al. (2009) sebesar 38.2-39.1oC. Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) serta Kendall et al. (2006) melaporkan bahwa pada suhu lingkungan 30 oC serta 32.2 oC, suhu rektal dapat mencapai lebih dari 39.8oC serta 40 oC. Kondisi suhu yang tinggi tersebut, mengindikasikan fungsi tubuh bekerja secara ekstra untuk mencapai keseimbangan panas yang baik untuk pengeluaran panas. Selain suhu lingkungan, konsumsi energi yang berasal dari pakan perlu diperhatikan karena pakan merupakan tambahan beban panas bagi sapi perah. Ilustrasi tentang suhu rektal selama penelitian berlangsung, dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap suhu rektal (oC) (x ±SD) Waktu

Pengamatan

Perlakuan

A B C D

Pukul 10.00 38.6±0.11a 38.7±0.09a 38.8±0.15b 39.0±0.17c Pukul 12.00 38.8±0.07a 38.8±0.87ab 39.1±0.16b 39.2±0.09c Pukul 14.00 38.7±0.13a 38.8±0.05ab 38.9±0.16b 39.1±0.10c Rataan 38.7±0.11 38.7±0.10 38.9±0.09 39.1±0.12

Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01)

A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%

Data pengukuran suhu rektal sapi-sapi percobaan dianalisis per waktu pengamatan yaitu pukul 10.00, pukul 12.00 dan pukul 14.00 WIB. Hal tersebut dilakukan, karena pengamatan saat itu merupakan titik-titik kritis dengan suhu lingkungan dan radiasi matahari yang tinggi. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan energi ransum dalam pengaruhnya terhadap suhu rektal (P<0.01). Hasil tersebut bisa disebabkan oleh kesamaan atau keseragaman lingkungan mikro per periode sehingga data yang diperoleh, dipengaruhi oleh perlakuan energi ransum.

(51)

panas yang diperoleh ternak tinggi pula karena energi yang berasal dari ransum merupakan tambahan beban panas selain dari lingkungan mikro. Fungsi tubuh bekerja secara ekstra sebagai termoregulasi untuk menyeimbangkan produksi panas dan pengeluaran panas melalui konsumsi air minum, evaporasi serta aktivitas dalam hal tingkah laku ternak. Perlakuan D dengan energi ransum yang tinggi berpotensi mengakibatkan ternak berada kondisi cekaman panas dengan indikasi rataan suhu rektal lebih dari 39.1oC sementara yang lainnya A, B dan C tergolong kisaran pengaruh yang normal terhadap suhu rektal.

Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang ditransfer menjadi energi panas. Menurut Rahardja (2007) bahwa pada hewan yang lebih aktif, lebih banyak energi yang dikeluarkan untuk mendukung aktivitasnya dan faktor ekstrinsik yang paling besar mempengaruhi metabolisme adalah suhu lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, fluktuasi suhu lingkungan dapat mempengaruhi pola perubahan suhu tubuh dan suhu rektal, terutama pada sapi dara yang membutuhkan energi yang efisien untuk fokus pada pertumbuhan. Pada lain hal selain perlakuan, berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh dari efek baris (periode) dan efek kolom (ternak sapi dara) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pengamatan pada pukul 10.00, sapi dan periode berpengaruh sangat nyata. West et al. (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi produksi panas adalah energi pakan, ukuran tubuh, spesies, bangsa, lingkungan mikro dan pemberian air minum. Berdasarkan hasil yang diperoleh perbedaan yang nyata antar perlakuan pada setiap waktu pengamatan dan tidak berbeda nyata pada ternak sapi sebagai efek kolom dan periode sebagai efek baris terhadap suhu rektal.

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Kulit (Ts)

(52)

Pada penelitian ini terdapat hasil suhu kulit yang berbeda antar perlakuan energi ransum (P<0.05) per waktu pengamatan. Perlakuan A, B berbeda dengan perlakuan C dan D dalam pengaruhnya terhadap suhu permukaan kulit ternak sapi. Rataan suhu yang diperoleh dari total waktu pengamatan yaitu perlakuan A (36.7±0.14oC), B (36.8±0.10 oC), C (37.5±0.07 oC) dan D (37.8±0.14 oC) Berdasarkan analisis sidik ragam, ternak sebagai efek kolom tidak berpengaruh nyata dalam hasil suhu kulit yang diperoleh, berbeda dengan efek baris yaitu periode pada pukul 10.00 berpengaruh sangat nyata dan pukul 12.00 dan 14.00 berpengaruh nyata. Hal ini mungkin disebabkan adanya keseragaman lingkungan mikro selama penelitian berlangsung per periode.

Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap suhu kulit (oC) (x ±SD) Waktu

Pengamatan

Perlakuan

A B C D

Pukul 10.00 36.6±0.51a 36.7±0.62a 37.5±0.45b 37.7±0.30b Pukul 12.00 36.9±0.44a 36.9±0.60a 37.6±0.41b 37.9±0.23b Pukul 14.00 36.7±0.52a 36.8±0.51a 37.5±0.39b 37.8±0.19b Rataan 36.7±0.14 36.8±0.10 37.5±0.07 37.8±0.14 Keterangan :

Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P<0.01)

A = ransum konsentrat TDN 55%; B = ransum konsentrat TDN 60%; C = ransum konsentrat TDN 65%; D = ransum konsentrat TDN 70%

(53)

Pola perubahan suhu permukaan kulit ternak sapi, seirama dengan tingkat panas yang diterima. Kulit merupakan organ terluar penerima panas yang suhunya secara langsung mengikuti perubahan suhu lingkungan dan pada Gambar 8 yang menunjukkan level energi ransum yang berbeda mempengaruhi secara tidak langsung terhadap panas yang diproduksi oleh ternak. Isnaeni (2006), kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi Fungsi-fungsi proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), dan pembentukan vitamin D. Menurut Martini (2006) menyatakan bahwa kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) melalui dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah di pembuluh kapiler. Pada saat suhu tinggi, tubuh akan mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah (vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh.

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh (Tb)

Suhu tubuh merupakan perwujudan dari suhu organ-organ di dalam tubuh serta organ-organ diluar tubuh. Suhu di dalam tubuh diwakili oleh suhu rektal dan suhu di luar tubuh diwakili oleh suhu permukaan kulit. Rataan suhu tubuh ternak sapi selama perlakuan energi ransum berkisar antara 38.3oC sampai 39.06 oC yang disajikan pada Tabel 14. Nilai kisaran tersebut masih tergolong yang normal 38.3-38.6oC pada suhu lingkungan yang nyaman (Schütz et al. 2008), pengecualian suhu tubuh 39.06 oC mengindikasikan ternak mengalami cekaman panas. Nilai tersebut diperoleh pada waktu pengamatan pukul 12.00 WIB dengan perlakuan D energi TDN tinggi 70%.

(54)

kulit. Namun demikian, kulit berperan penting dalam menerima rangsangan panas atau rangsangan dingin untuk dihantarkan ke susunan syaraf pusat dan diteruskan ke hipotalamus bagian pre optic. Rangsangan su

Gambar

Gambar 3  Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas
Tabel 8  Komposisi pakan dan kandungan nutrien konsentrat (%)
Gambar 4.  Prosedur kerja per periode penelitian
Gambar 5   RG
+7

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan hasil studi pustaka, penelitian lapangan, dan karya saya sendiri dengan bimbingan Komisi Dosen Pembimbing yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Ketua Program

Dari hasil regresi pengaruh pendapatan daerah dan Kinerja Keuangan terhadap Kesejahteraan Masyarakat yang diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) adalah

Maka Ketetapan Waktu Iddah dari Ulama Sumatera Utara Terhadap Haid yang Direkayasa, mengikuti oleh ketua MUI SUMUT dengan alasan memiliki kesinambungan dengan

Berdaparkan hasil wawancara dengan Bpk. Barokah, S.Ag selaku guru agama pada hari Selasa tanggaI 18 Juli 2006 pada jam 08.30 dan observasi serta diperkuat dengan doktunentasi

Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) dari Halliday &amp; Matthiessen (2004) digunakan untuk menganalisis makna interpersonal pada teks bahasa (verbal) dan teori

Hadits Keempatpuluh dua 118.. Yang dimaksud perbuatan di sini adalah amal ibadah yang membutuhkan niat. Niat adalah keinginan dan kehendak hati... berdasarkan apa yang dia

First of all, the greatest praise and grateful to Allah SWT, the merciful and compassionate, and the prophet Muhammad SAW, the messenger, for blessing and guiding the researcher

penurunantertinggipada semua parameter uji tersebut terjadi pada waktu tinggal terlama dalam penelitian ini, yaitu 3 hari, dengan efisiensi penurunan TSS (76,5%), Amoniak (26,6%)