• Tidak ada hasil yang ditemukan

kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di waduk Ir. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di waduk Ir. H. Juanda Purwakarta, Jawa Barat"

Copied!
325
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN ORGANIK DI WADUK IR. H. JUANDA

PURWAKARTA, JAWA BARAT

ASMIKA HARNALIN SIMARMATA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul :”KAJIAN KETERKAITAN ANTARA CADANGAN OKSIGEN DENGAN BEBAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DI WADUK IR. H. JUANDA PURWAKARTA , JAWA BARAT” adalah benar merupakan tulisan disertasi berdasarkan hasil penelitian saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun . Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, November 2007

(3)

Waduk Ir. H. Juanda adalah salah satu waduk terbesar di Indonesia. Sejak tahun 1976 di waduk Ir. H. Juanda telah dimulai kegiatan usaha budidaya ikan di karamba jaring apung (KJA). Kegiatan budidaya ikan ini mengalami perkembangan setiap tahunnya. Pada tahun 1999 jumlah karamba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda 2357 unit (2260 yang operasional) dan pada tahun 2003 jumlah KJA telah mencapai 3216 unit.

Kegiatan budidaya ikan di KJA memberikan limbah berupa sisa pakan dan kotoran ikan yang potensial mengakibatkan deplesi oksigen. Menurut Mc Donald et al., (1996) 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25% − 30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Ini berarti jumlah yang cukup besar masuk ke badan air. Hal ini terlihat sewaktu terjadi umbalan terdapat kematian massal ikan yang di duga disebabkan oleh kekurangan oksigen.

Beban limbah yang masuk ke perairan harus dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung asimilasi perairan yaitu ketersediaan cadangan oksigen di hipolimnion. Dengan kata lain keseimbangan antara in put (sumber) dan out put (kehilangan atau pemakaian) oksigen penting untuk menjaga agar tidak terjadi deplesi oksigen yang mengakibatkan defisit oksigen di perairan. Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji keterkaitan antara ketersediaan cadangan oksigen dengan keberadaan bahan organik sebagai dasar penentu beban masukan limbah dari kegiatan usaha budidaya KJA.

Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta Jawa Barat, dari bulan Juni 2003 sampai Mei 2004. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif survei post facto. Berdasarkan gradien longitudinal waduk ditentukan stasiun penelitian yaitu: L1, L2 dan L3 (zona lakustrin), stasiun T1, T2 dan T3 (zona transisi) dan stasiun R1 dan R2 zona riverin. Sampling vertikal yaitu : permukaan, kedalaman 7 m, 15 m, 25 m, 35 m, 45 m dan dasar perairan. Parameter yang diamati meliputi parameter utama dan penunjang. Parameter utama yaitu : oksigen terlarut (DO), bahan organik total (BOT), dan koefisien peluruhan (K2). Parameter penunjang antara lain : suhu, kecerahan, alkalinitas, nutrien (nitrogen dan orthofosfat), serta H2S. Pengukuran dan analisa kualitas

air mengacu pada metode menurut APHA (1989) dan koefisien peluruhan (K2) diukur dengan prinsip metode BOD5. Analisa laboratorium dilakukan di Loka

Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur dan laboratorium Fisika Kimia bagian Produktifitas Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor.

(4)

Konsentrasi bahan organik total selama pengamatan berfluktuasi. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada bulan Juni dan terendah pada bulan November. Di zona transisi bahan organik total rata-rata terendah ditemukan pada musim hujan sedangkan di lakustrin antara musim kemarau − hujan. Antar kedalaman, konsentrasi BOT tidak berbeda nyata tetapi antar waktu konsentrasi BOT berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa musim mempengaruhi jumlah beban bahan organik di perairan.

Dari nilai koefisien peluruhan, konsentrasi DO dan BOT diperoleh perubahan DO temporal (antar waktu) dan antar kedalaman. Perubahan DO positif artinya terjadi peluruhan (peluruhan > beban) dan negatif artinya terjadi penambahan beban (peluruhan < beban). Perubahan DO temporal umumnya menunjukkan penambahan beban baik di zona lakustrin maupun transisi. Sementara perubahan DO antar kedalaman (spasial) umumnya terjadi penambahan beban kecuali pada bulan November pada kedalaman 0-7 m terjadi peluruhan. Ini artinya makin ke arah dasar perairan, cadangan oksigen yang tersedia tidak cukup untuk proses dekomposisi bahan organik.

Selama pengamatan terjadi defisit oksigen aktual di semua zona pengamatan. Defisit oksigen rata-rata terbesar ditemukan pada musim kemarau yaitu 6.11 mg/L di lakustrin, 6.52 mg/L di transisi dan 6.22 mg/L di riverin dan terkecil pada musim hujan (5.08 mg/L di lakustrin dan 5.06 mg/L di transisi). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau beban relatif lebih besar dibanding musim hujan.

Profil vertikal DO pada musim kemarau menunjukkan kondisi zona transisi telah anoksik. Selanjutnya pada musim hujan dan antara musim kemarau − hujan, lapisan oksik lebih dalam dibanding musim kemarau. Sementara antar zona, lapisan oksik di zona lakustrin relatif lebih dalam dibanding zona transisi.

Bahan organik total di transisi merupakan beban potensial yang akan diterima di zona lakustrin. Hasil perhitungan diperoleh konsentrasi BOT aman di zona transisi yaitu 4.48 mg/l pada musim kemarau, 7.76 mg/L antar musim kemarau − hujan dan 4.24 mg/L pada musim hujan. Pengamatan konsentrasi BOT aktual di zona transisi telah melebihi dari konsentrasi aman yang diijinkan kecuali pada musim antara kemarau − hujan. Ini berarti bahwa beban di waduk telah melebihi daya dukungnya. Selanjutnya dari perhitungan konsentrasi BOT aman dan defisit oksigen menunjukkan waktu yang relatif aman untuk aktifitas budidaya adalah antara musim kemarau − hujan yaitu dari Oktober sampai Januari. Hal ini didukung oleh kedalaman lapisan oksik perairan, yang berkisar antara 3.54− 3.62 m dan kualitas air yang lain seperti, konsentrasi H2S (0.0128

sampai 0.1148 mg/L), PO4-P (0.0336 − 0.1655 mg/L) , dan NH3-N (0 − 0.1035

mg/L) antara musim kemarau − hujan; relatif kecil dibanding musim kemarau dan musim hujan.

(5)

aktifitas KJA per waktu (pola tanama). Disarankan jumlah unit KJA yang operasional dikurangi sesuai dengan ketersediaan oksigen di waduk. Pada saat tinggi muka air minimum (pada musim kemarau) sebaiknya padat tebar ikan di KJA dikurangi atau diganti dengan ikan yang lebih toleran terhadap kualitas air yang kurang baik .

(6)

ASMIKA HARNALIN SIMARMATA. The relationship between the stability of the reserved dissolved oxygen and the organic matter load in the Juanda Reservoir Purwakarta, West Java. Under the supervision of ENAN M. ADIWILAGA, BIBIANA W. LAY, and TRI PRARTONO.

The Juanda reservoir is one of the large reservoirs in Indonesia. The extensively floating cage culture developed in these reservoir since 1976, has created negative impact to aquatic environment due to the excessively feed remain and fish fecal matter. Mortalities in cultured organisms futher contributed to organic waste loading. The objective of this research was the receiving capability of the organic loading within reservoir.

This study used an approach on dissolved oxygen in epilimnion and reserved oxygen in hypolimnion. Due to the limited of dissolved oxygen in hypolimnion, the organic load must be limited according to the reserved oxygen.

The research was conducted in the Juanda Reservoir from June 2003 until May 2004 based on the post facto survey. Sample collection was designed spatially and temporally, and it was located in these representative zone (lacustrine, transition and riverine). Each zone has three station of observation and about maximum of seven layer depth for each sampling collection. Dissolved oxygen, total organic matter, and BOD were observed. NO3-N, NH3-N,

PO4-P, H2S, pH, and temperature were observed to support the study.

It was observed that oxygen deficits tended to occur within lacustrine and transition zone. The average actual deficits at dry seasons was 6.11 mg/L in lacustrine zone, 6.52 mg/L in transition zone and 6.22 mg/L in riverine The minimum actual deficit was found at rainy season in all zone (lacustrine, transition and riverine zone). The profile vertical dissolved oxygen showed the oxic layer in lacustrine zone more thick than transition zone, and the oxic layer at rainy season was thicker than that observed at dry season. In addition it was showed that the total organic matter was exceeded than their carrying capacity especially during dry and rainy seasons.

(7)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

ASMIKA HARNALIN SIMARMATA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Nama : Asmika Harnalin Simarmata NRP : C016010011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua

Prof. Dr. Drh. Bibiana W. Lay, MSc. Dr. Ir. Tri Prartono, MSc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. H. Enang Harris , MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Puji syukur penulis panjatkan pada Allah Bapa Yang Maha Pengasih karena atas kasihNya, penulisan disertasi dengan judul ”Kajian kertekaitan Antara Kemantapan Cadangan Oksigen Dengan Beban Masukan Bahan Organikdi Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta - Jawa Barat” dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai ketua komisi pembimbing, Ibu Prof. Dr. Drh. Bibiana W. Lay, MSc dan Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, MSc selaku anggota komisi pembimbing.

2. Bapak Dr. Ir. Heffni Efendi, Prof Dr. Ir. Otong Suhara Djunaedi dan Ibu Dr. Ir. Gadis Sri Haryani selaku dosen penguji.

3. Dirjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana pendidikan BPPS.

4. Yayasan Supersemar, Yayasan DAMANDIRI dan PT Indofood Sukses Makmur atas bantuan dana penelitiannya.

5. Yayasan Misereor − APTIK atas bantuan beasiswa yang diberikan.

6. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar. 7. Dekan FPIK − UNRI dan Rektor UNRI.

8. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur beserta staf. 9. Perum Otorita Jatiluhur, Purwakarta.

10. Laboratorium Produktifitas Perairan, MSP − FPIK IPB. 11. Laboratorium mikrobiologi ICBB.

12. Laboratorium bakteri FKH − IPB.

13. Bapak Dr. Chaerul Muluk dan Bapak Dr. Kardiyo Praptokardio 14. Kepada orang tua penulis di Padang dan Salatiga

15. Untuk suami dan anak-anakku : abang dan adek

16. Pak Endi, Pak Wellem, Bu Niken, Bu Maya, Sri Pujiyati serta semua pihak yang telah ikut berperan dalam proses penyelesaian disertasi ini. Penulis menyadari penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran untuk perbaikan akan sangat penulis hargai. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2007

(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1967 di Samosir, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Benediktus Simarmata dan Fatimah Sipayoeng.

Penulis lulus dari SD Santa Theresia Padang pada tahun 1980, SMP Santa Maria pada tahun 1983, SMA Don Bosco Padang pada tahun 1986. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, kemudian tahun 1987 masuk Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perairan dan lulus tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 di program studi Ilmu Perairan diperoleh penulis pada Agustus 2001 atas biaya BPPS.

(12)

xii Halaman

DAFTAR TABEL .... ………. xiv

DAFTAR GAMBAR....……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang... ……… 1

Perumusan Masalah ………. 2

Tujuan dan Manfaat. ……….. 5

Hipotesa ……….…. 5

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 6

Tipologi Waduk Ir. H. Juanda ……….... 6

Keberadaan Oksigen Terlarut ……….. 8

Sumber Oksigen Terlarut ………... 8

Fotosintesis dan Respirasi Fitoplankton..………. 8

Difusi.……….. 8

Susupan Oksigen Terlarut (Interflow)……… 10

Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion.………... 12

Jenis, Beban dan Penguraian Bahan Organik ………... 13

Sumber Bahan Organik ……… 13

Autochtonous……….. 13

Allochtonous ……..……… 14

Beban Masukan Internal.……….. 14

Penguraian Bahan Organik ……… 15

Dekomposisi Aerobik.……… 17

Dekomposisi Anaerobik ..………. 19

Faktor Penentu Keberadaan Oksigen Terlarut. ……….. 21

Morfometrik dan Hidrodinamika……….………... 21

Stratifikasi Suhu dan Lama Stagnasi………..………... 23

Tingkat Eutrofikasi − Produksi Primer..……..………... 25

Tingkat Beban Masukan Bahan Organik…..………... 26

Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion….………... 27

Operasional ……….. 27

Oksigen Terlarut di Epilimnion-Eufotik . ………... 27

Beban Bahan Organik dari KJA …….………... 30

Oksigen Terlarut Hipolimnion ……….………... 31

METODE PENELITIAN ... 34

Waktu dan Tempat .………. 34

Desain Lokasi Pengambilan Contoh... 34

Bahan dan Metode ………. 37

Bahan ………... 37

Metode Pengukuran ……… 37

Metode di Lapangan.……….……….. 37

(13)

xiii

Uji Peluruhan Bahan Organik (K2)………... 40

Perhitungan Massa DO − BOT ... 43

Kedalaman lapisan fotik ... 44

Kedalaman lapisan oksik ... 44

Analisa Data………..……….... 44

Analisa deskripsi two way anova... 44

Analisa Keseimbangan Dinamik ... 44

Analisa Hubungan ... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN... ………. 47

Hidromorfometrik Waduk ……….. 47

Suhu……….. 49

Oksigen Terlarut ………... 52

Perubahan DO temporal dan spasial... 58

Defisit Oksigen...………. 62

Deplesi Oksigen ... 63

Bahan Organik Total………... 65

Kriteria Beban Kritis ……… 72

Parameter Penunjang... 73

Fosfat ………. 73

Hidrogen Sulfida (H2S) dan Bakteri SRB ... 76

Nitrogen dan Bakteri Nitrifikasi ……….. 79

Pembahasan Umum ……….. 96

SIMPULAN DAN SARAN.... ………. 107

(14)

xiv

Halaman

Tabel 1. Parameter, metode, unit dan tempat analisa selama

penelitian ... 38

Tabel 2. Volume,in flow, out flow, ∆ volume dan RT dari Juni 2003 − Mei 2004 ...

47

Tabel 3. Uji two way anova suhu antar kedalaman dan antar waktu di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

51

Tabel 4. Uji two way anova suhu antar stasiun dan antar waktu pada berbagai kedalaman di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

52

Tabel 5. Konsentrasi oksigen rata-rata (mg/L) per musim pada berbagai kedalaman di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

55

Tabel 6. Uji two way anova DO antar kedalaman dan antar waktu di zona di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

56

Tabel 7. Uji two way anova DO antar stasiun dan antar waktu pada berbagai kedalaman di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

57

Tabel 8. Perubahan oksigen terlarut temporal (antar waktu) selama pengamatan di zona lakustrin dan transisi Waduk

Ir. H. Juanda ... 59

Tabel 9. Perubahan oksigen terlarut spasial (antar strata) selama pengamatan di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

61

Tabel 10. Defisit aktual DO selama pengamatan di Waduk Ir. H. Juanda...

62

Tabel 11. Konsentrasi BOT rata-rata (mg/L) di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

67

Tabel 12. Uji two way anova BOT antar kedalaman dan antar waktu di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

68

Tabel 13. Uji two way anova BOT antar stasiun dan antar waktu di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

69

Tabel 14. Persamaan DO − BOT pada masing − masing musim di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

(15)

xv transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

Tabel 16. Konsentrasi H2S pada setiap musim di zona lakustrin dan

transisi Waduk Ir. H. Juanda ... 78

Tabel 17. BOT, daya dukung dan defisit DO di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

(16)

xvi Halaman Gambar 1. Diagram kajian keterkaitan antara kemantapan

cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda ...

4

Gambar 2. Gabungan diagram gaya (angin, gravitasi, evaporasi dan rotasi bumi) dan resultante arus air dan gelombang (Goldman dan Horne, 1983) ...

9

Gambar 3. In flow densitas ke waduk (Ford and Johnson dalam Thornton et al., 1990) ...

10

Gambar 4. Pooling (genangan di di titik jatuh (Knapp, 1942 dalam Thornton et al., 1990) ...

11

Gambar 5. Dekomposisi bahan organik di lingkungan akuatik (Sorokin dan Kadota, 1972) ...

18

Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen pada akhir stratifikasi musim panas danau-danau dengan volume hypolimnion yang berbeda (Thienemann, 1918

modifikasi Uhlmann,1979 dalam Ryding dan Rast, 1989) 22

Gambar 7. Variasi suhu dengan kedalaman di kolom air laut yang secara isothermal stabil ...

24

Gambar 8. Variasi suhu dan kedalaman di air tawar yang secara thermal stabil dimana suhu ≤ 4o

C ... 25

Gambar 9. Gradien potongan melintang faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas dan biomassa, kepentingan relatif autochtonous dan allochtonous di sepanjang longitudinal waduk (Kimmel et al., dalam Thornton et al., 1990) ...

28

Gambar 10. Variabilitas oksigen terlarut pada dua danau yang berbeda status trofiknya (Reproduksi oleh Gower, 1980, Copyright John Wiley& Sons Ltd. dalam Seller dan Markland, 1987) ...

30

Gambar 11. Peta Waduk Ir. H. Juanda,Purwakarta Jawa - Barat ... 35 Gambar 12. Denah lokasi stasiun pengambilan contoh di Waduk

Ir. H. Juanda ... 36

Gambar 13. Pengaruh laju kecepatan konstanta K terhadap BOD ... 41

(17)

xvii dari atas ke bawah stasiun zona lakustrin, stasiun zona

transisi dan stasiun zona riverin) dari Juni 2003 − Mei 2004... Gambar 16. Konsentrasi DO (mg/L) pada berbagai kedalaman dari

Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

54

Gambar 17. Konsentrasi DO (mg/L) dari Juni 2003 – Mei 2004 di zona riverin Waduk Ir. H. Juanda ...

57

Gambar 18. Profil vertikal DO (mg/L) dari Juni 2003 – Mei 2004 di Waduk Ir. H. Juanda (berturut-turut dari atas ke bawah : stasiun zona lakustrin, transisi dan riverin)...

64

Gambar 19. Konsentrasi BOT (mg/L) dari Juni 2003 − Mei 2004 di stasiun zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda

66

Gambar 20. Konsentrasi BOT (mg/L) dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona riverin Waduk Ir. H. Juanda ...

69

Waduk Ir. H. Juanda (dari atas ke bawah berturut-turut zona lakustrin, transisi dan riverin)...

74

Gambar 24. Profil vertikal H2S (mg/L) dari Juni 2003 – Mei 2004 di

stasiun L1 (lakustrin), T1 (transisi) dan R1 (riverin) Waduk Ir. H. Juanda...

77

Gambar 25. Histogram H2S (mg/L) dengan grafik kelimpahan SRB

(MPN) dari Juli 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin (atas), zona transisi (tengah) dan zona riverin

(bawah) ... 80

Gambar 26. Komposisi NO3-N, NO2-N dan NH3-N (%) pada berbagai

kedalaman di zona lakustrin Waduk Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004 ...

82

Gambar 27. Hubungan Nitrosomonas sp. dan konsentrasi NH3-N

dari Juli 2003 − Mei 2004 di stasiun L1 Waduk

Ir. H. Juanda... 83

Gambar 28. Hubungan Nitrobacter sp. dan konsentrasi NO2-N dari

Juli 2003 − Mei 2004 di stasiun L1 Waduk Ir. H. Juanda

(18)

xviii Gambar 29. Komposisi NH3-N, NO2-N dan NH3-N (%) pada berbagai

kedalaman di zona transisi Waduk Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004...

87

Gambar 30. Hubungan Nitrosomonas sp. dan konsentrasi NH3-N

dari Juli 2003 − Mei 2004 di stasiun T1 Waduk

Ir. H. Juanda ... 88

Gambar 31. Hubungan Nitrobacter sp. dan konsentrasi NO2-N

dari Juli 2003 − Mei 2004 di stasiun T1 Waduk

Ir. H. Juanda ... 90

Gambar 32. Komposisi NH3-N, NO2-N dan NH3-N (%) pada berbagai

kedalaman di zona riverin Waduk Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004...

91

Gambar 33. Hubungan Nitrosomonas sp. dan konsentrasi NH3-N

(kiri) dan Nitrobacter sp. dan konsentrasi NO2-N di zona

riverin ... 92

Gambar 34. Profil vertikal alkalinitas (mg/L) dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin (atas), zona transisi (tengah) dan zona riverin (bawah) Waduk Ir. H. Juanda ...

95

Gambar 35. Histogram lapisan fotik dan lapisan oksik dengan grafik kecerahan di stasiun zona lakustrin Waduk

Ir. H. Juanda ... 100

Gambar 36. Histogram lapisan fotik dan lapisan oksik dengan grafik kecerahan di stasiun zona transisi Waduk

(19)

xix Halaman Lampiran 1. Teknik penghitungan kelimpahan bakteri (MPN) ... 112 Lampiran 2. Volume (m3) masing-masing zona Waduk Ir. H. Juanda

dari Juni 2003 − Mei 2004 ... 113

Lampiran 3. Luas strata (m2) masing-masing zona Waduk

Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004 ... 114

Lampiran 4. Data curah hujan dan tinggi muka air dari Juni 2003 − Mei 2004 di Waduk Ir. H. Juanda ...

115

Lampiran 5. Beban Hidrolik (HL) dan laju pembilasan (FR) di Waduk Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004 ...

116

Lampiran 6. Profil vertikal suhu dari Juni 2003 − Mei 2004 di stasiun tetap Waduk Ir. H. Juanda ...

117

Lampiran 7. Konsentrasi oksigen terlarut dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

118

Lampiran 8. Uji lanjut konsentrasi DO antar kedalaman pada musim kemarau di stasiun L1 ...

119

Lampiran 9. Uji lanjut konsentrasi DO antar kedalaman pada musim antara kemarau − hujan di stasiun L1 ...

120

Lampiran 10. Uji lanjut konsentrasi DO antar kedalaman pada musim hujan di stasiun L1 ...

121

Lampiran 11. Profil vertikal DO (mg/L) dari Juni 2003 − Mei 2004 di stasiun tetap zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

122

Lampiran 12. Persamaan profil vertikal DO selama pengamatan di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

123

Lampiran 13. Dugaan kedalaman lapisan oksik (m) selama pengamatan di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

124

Lampiran 14. Kecerahan stasiun pengamatan dari Juni 2003 − Mei 2004 di waduk Ir. H. Juanda ...

125

Lampiran 15. Tabel konsentrasi BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

126

Lampiran 16. Profil vertikal BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin Waduk Ir. H. Juanda...

(20)

xx transisi Waduk Ir. H. Juanda...

Lampiran 18. Gambar hubungan massa DO dan BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona lakustrin Waduk Ir. H. Juanda ...

129

Lampiran 19. Gambar hubungan massa DO dan BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona transisi Waduk Ir. H. Juanda ...

130

Lampiran 20. Gambar hubungan massa DO dan BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di zona riverin Waduk

Ir. H. Juanda ... 131

Lampiran 21. Konsentrasi H2S (mg/L) selama pengamatan di zona

riverin Waduk Ir. H. Juanda ... 132

Lampiran 22. Tabel Konsentrasi nitrogen (mg/L) di zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004 ...

133

Lampiran 23 Tabel kualitas air dan kelimpahan bakteri nitrifikasi di zona lakustrin Waduk Ir. Juanda ...

134

Lampiran 24. Tabel kualitas kualitas air dan kelimpahan bakteri nitrifikasi di zona transisi Waduk Ir. Juanda ...

135

Lampiran 25. Tabel kualitas kualitas air dan kelimpahan bakteri nitrifikasi di zona riverin Waduk Ir. Juanda ...

136

Lampiran 26. Tabel Suhu stasiun pengamatan di Waduk

Ir. H. Juanda dari Juni 2003 − Mei 2004 ... 137

Lampiran 27. Konsentrasi BOT rata-rata di zona lakustrin dan transisi pada bulan tertentu ...

140

(21)

Latar Belakang

Danau atau waduk di Indonesia luasnya kurang lebih 2.1 juta ha, merupakan lahan potensial untuk pengembangan budidaya ikan dalam karamba jaring apung (Kartamihardja, 1998). Waduk Ir. H. Juanda adalah salah satu waduk terbesar di Indonesia dan memiliki fungsi sebagai waduk serbaguna.

Sejak tahun 1976 telah dilaksanakan kegiatan penelitian dan uji coba budidaya ikan di Waduk Ir. H. Juanda. Kegiatan budidaya ikan ini mengalami perkembangan setiap tahunnya. Pada tahun 1999 jumlah karamba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda 2357 unit (2260 yang operasional) dan pada tahun 2003 jumlah KJA telah mencapai 3216 unit (645 unit yang operasional).

Budidaya ikan dalam KJA merupakan usaha perikanan yang dapat dikembangkan secara intensif, dengan pemberian pakan tambahan (umumnya pakan buatan). Pemberian pakan tambahan dalam budidaya KJA menyebabkan akumulasi limbah organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa ekskresi. Di Waduk Ir. H. Juanda, pemberian pakan adalah dengan sistem pompa; yaitu pemberian pakan sebanyak-banyaknya (Kartamihardja, 1995 dalam Nastiti et al., 2001). Akibatnya terjadi pemberian pakan berlebih (over feeding). Sisa pakan yang tidak termakan dan ekskresi yang terbuang ke badan air memberi sumbangan bahan organik, yang mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa perikanan budidaya intensif dan pengkayaan nutrien berdampak potensial pada perubahan kualitas air (Philips et al., 1993; Boyd, 1999). Mc Donad et al., (1996) menyatakan bahwa 30% dari jumlah pakan yang diberikan tertinggal sebagai pakan yang tidak dikonsumsi dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Ini berarti jumlah yang cukup besar masuk ke badan air. Selanjutnya Barg (1992) menyatakan partikel bahan organik akan mengendap disekitar lokasi KJA jika kecepatan pengendapan partikel jauh lebih besar dari pada kecepatan arus.

(22)

menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup (Umaly and Cuvin, 1988). Sumber oksigen di perairan berasal dari: difusi atmosfir, fotosintesis,angin, dan susupan oksigen terlarut. Sedangkan penggunaan oksigen terlarut di perairan mencakup respirasi, dan dekomposisi aerobik bahan organik yang berasal dari luar maupun dari dalam perairan. Dari uraian diatas, bahan organik dan nutrien yang berasal dari luar dan dari kegiatan budidaya KJA akan mempengaruhi ketersediaan oksigen di perairan dan akhirnya akan mempengaruhi daya dukung perairan.

Daya dukung perairan adalah kemampuan perairan dalam menerima, mengencerkan dan mengasimilasi beban tanpa menyebabkan perubahan kualitas air atau pencemaran. Di lingkungan waduk, daya dukung ditentukan oleh keberadaan oksigen terlarut (DO) di epilimnion dan hipolimnion. Oksigen di lapisan epilimnion sangat dinamik, ditentukan oleh aerasi dan fotosintesis; sedangkan di hipolimnion oksigen merupakan cadangan yang tersedia saat terjadi umbalan, dan dimanfaatkan pada waktu periode stagnasi. Karena cadangan oksigen yang terbatas, maka beban bahan organik yang masuk harus dibatasi sesuai dengan ketersediaan oksigen di perairan. Apabila beban melampaui ketersediaan cadangan oksigen, akan terjadi deplesi, lalu defisit dan menyebabkan pencemaran. Hal ini dapat dilihat dari adanya gas-gas toksik. Defisit oksigen di hipolimnion diduga adalah penyebab kematian ikan saat terjadi umbalan di waduk Ir. H. Juanda. Sehubungan dengan hal itu, perlu dikaji pola distribusi keberadaan oksigen terlarut dan bahan organik, serta keterkaitan antara beban bahan organik dan cadangan oksigen, untuk dijadikan dasar penentuan tingkat beban yang masih aman di perairan.

Perumusan Masalah

(23)

Pada lapisan permukaan perairan terdapat (a) proses pembentukan biomassa dalam karamba, dan kotoran (ekskresi & feses) serta sisa pakan; (b) proses pembentukan, melalui fotosintesa, memanfaatkan unsur hara menjadi biomassa fitopankton+oksigen. Oksigen yang dihasilkan merambah ke lapisan lebih dalam secara difusi dan adveksi menjadi cadangan oksigen.

Di lapisan tengah terjadi proses mineralisasi sisa pakan/ kotoran ; membebaskan unsur hara. N, P, K, Si dengan memanfaatkan oksigen (DO), akibatnya cadangan DO berkurang, diindikasikan dengan adanya ODR (Oxygen Depletion Rate) atau HODR (Hypolimnion Oxygen Depletion Rate). ODR semakin tajam, perairan menjadi anaerob akibatnya keseimbangan DO menjadi defisit.

Di lapisan bawah atau dasar perairan, menampung akumulasi sisa pakan/kotoran ikan serta produk dekomposisi sisa pakan seperti : CO2, H2S,

NH3, CH4 pada kondisi anaerob. Konsekuensi dari dekomposisi ini peningkatan

unsur hara khususnya fosfat (apabila kondisi sedimen atau dasar reduktif akan menyebabkan pelepasan P ke kolom air). Peningkatan unsur hara (N, P, Si) tersebut potensial menunjang perkembangan fitoplankton (bloom), yang di dominasi oleh kelompok cyanophyceae Mycrocytis sp. Perkembangan fitoplankton tersebut akhirnya mengganggu keseimbangan DO di perairan.

Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi pada subtrat dan kolom air diatasnya. Akibatnya akan menambah kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan. Stadia kritis terjadi jika jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan organik, baik allochtonous atau autochtonous. Berdasarkan latar belakang penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan yang dikaji (Gambar 1.).

Tujuan dan Manfaat

(24)

ditentukan manajemen yang tepat dalam pengelolaan waduk yang berkelanjutan.

Hipotesa

(25)

Tipologi Waduk Ir. H. Juanda

Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dam melintasi sungai sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding dan Rast, 1989). Biasanya waduk memiliki drainase basin, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau.

Waduk Ir. H. Juanda merupakan waduk terbesar dari deretan waduk di DAS Citarum. Secara topografi, waduk ini terletak pada suatu cekungan pada ketinggian 111 m diatas permukaan laut. Luas permukaan air waduk 83 km2 dengan kedalaman maksimum 105 m dan daya tampung air 2.97 km3 (Lehmusluoto dan Machbub, 1995).

Berdasarkan ciri morfometrik, waduk Ir H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, tepian perairan dan daerah derodon sedang, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan luas dan produktifitas perairan umumya didominasi oleh fitoplankton (Suwignyo, 1996). Sumber air waduk ini dari aliran S. Cilalawi, S. Cisomang dan buangan dari waduk Cirata. Dari sumber ini allochtonous serta hara lainnya masuk ke waduk Ir. H. Juanda.

(26)

waktu tinggal (residence time) pendek, ketersediaan hara tinggi (allochtonous), serta penetrasi cahaya minimal dan umumnya membatasi produktivitas primer. Lingkungan aerobik karena zona ini umumnya dangkal dan teraduk dengan baik, meskipun degradasi bahan organik membutuhkan oksigen yang signifikan.

Sedimentasi yang nyata terjadi di zona transisi dan intensitas cahaya meningkat (Kennedy et al., 1982 dalam Thornton et al., 1990). Pada beberapa titik dalam lapisan mixed (epilimnion) di zona ini, titik kompensasi antara produksi dan dekomposisi bahan organik tercapai. Setelah titik ini, produksi autochtonous dari bahan organik di lapisan epilimnion mulai mendominasi. Sedimentasi partikulat inorganik rendah, penetrasi cahaya cukup mendukung produksi primer dengan nutrien terbatas, dan produksi bahan organik melebihi dekomposisi.

Sukimin (1999) menyatakan pola arus perairan waduk Ir. H. Juanda sangat dipengaruhi oleh gerakan angin. Pada musim yang berbeda terdapat kecenderungan pola sebaran arus yang berbeda baik pada lapisan permukaan (1.0 m), tengah (10.0 m) dan dekat dasar (30.0 m). Pada musim kemarau, arus permukaan bergerak dari zona mengalir (Warung Jeruk/in let dan S. Cilalawi) ke arah zona lakustrin menuju Dam dengan kecepatan arus berkisar 0.07 − 0.17 m/detik. Pada musim peralihan (September − November) arah arus di permukaan cenderung bergerak ke arah Dam dengan kecepatan arus yang lebih tinggi (0.12 − 1.36 m/detik). Sedangkan pada musim hujan (Desember) pola arus di permukaan cenderung berbalik arah. Arus bergerak berlawanan arah dengan jarum jam, yaitu dari daerah lakustrin cenderung menuju zona transisi dan mengalir, sedangkan di bagian barat waduk (kawasan jaring apung ) arah arus menuju ke zona mengalir.

(27)

Keberadaan Oksigen Terlarut Sumber Oksigen Terlarut

Fotosintesis dan Respirasi Fitoplankton

Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar di perairan karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (Alabaster dan Llyod. 1980 dalam Hamilton dan Schladow, 1994) dan perubahan kimia di sedimen-interfase (Mortimer,1971, Bostrim et al., 1982 dalam Hamilton dan Schladow, 1994).

Fotosintesis menghasilkan oksigen, yang merupakan input utama di perairan yang subur (Seller dan Markland, 1987; Thornton et al., 1990). Fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse oksigen di epilimnion waduk. Umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar rendah, lalu tinggi pada siang hari kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Perubahan oksigen terlarut lebih umum dekat zona riverine dibanding lakustrin, kecuali di teluk yang besar, dimana tanaman litoral dan blooming fitoplankton sering terjadi (Thornton et al., 1990).

Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen selama proses respirasi. Hal ini menghasilkan CO2, yang akan digunakan untuk

fotosintesis. Fotosintesis terjadi di zona fotik, tetapi respirasi terjadi dimana saja di dalam perairan (diseluruh kolom air bahkan sampai ke dasar perairan), sehingga hasil bersihnya adalah permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut, dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland, 1990).

Difusi

Sumber oksigen terlarut di perairan yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu : difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air terjun, turbulensi (Welch, 1952).

(28)

Gelombang gravitasi internal dengan panjang gelombang yang pendek menjadi tidak stabil dan pecah di tengah danau, dan menyebabkan pengadukan turbulen lokal, terjadi transfer massa air dari hipolimnion ke epilimnion. Pembentukan gelombang turbulen ini terutama terjadi di dekat dasar termoklin.

Pengadukan vertikal seperti halnya aliran horizontal disebabkan oleh angin dipermukaan. Spiral ekman dapat dianggap sebagai bagian dari gerakan air dengan berbagai kecepatan dan arah yang berbeda. Kontak diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan perpindahan vertikal massa air dan menghasilkan pengadukan diantara masing-masing bagian tersebut. Spiral Langmuir menyebabkan energi untuk pengadukan menjadi lebih terkendali dengan panjang gelombang kira-kira sama dengan kedalaman termoklin. Pada waktu tertentu evaporative cooling merupakan tenaga utama penyebab pengadukan vertikal. Gambar 2 menunjukkan pergerakan air di danau baik vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di danau. (Goldman dan Horne, 1983; Wetzel, 2001).

(29)

Di waduk Ir. H. Juanda, difusi atau reaerasi oksigen juga terjadi. Reaerasi oksigen terjadi oleh angin yang kuat sehingga terbentuk gelombang permukaan dan arus horizonatal kuat. Hal ini terlihat pagi hari pada pertengahan musim kemarau.

Susupan Oksigen Terlarut (Interflow)

Susupan oksigen terlarut ke badan air dapat terjadi karena inflow. Di waduk inflow yang utama masuk di bagian atas. Residence time tahunan rata-rata tidak dapat digunakan sebagai alat ukur yang tepat mengenai pengaruh inflow pada pengadukan waduk. Jika densitas inflow berbeda dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak di waduk sebagai arus densitas. Bell (1942) dalam Thornton et al., (1990) mendefinisikan arus densitas sebagai aliran gravitasi dari cairan atau gas, dibawah atau diatas aliran fluida yang densitasnya hampir sama.

Perbedaan densitas dapat disebabkan oleh suhu, total dissolved solid dan suspended solid. Di waduk perbedaan densitas terutama disebabkan oleh suhu. Arus densitas masuk ke epilimnion, metalimnion atau hipolimnion tergantung pada perbedaan densitas antara inflow dan waduk (Gambar 3). Jika densitas inflow lebih kecil dari pada permukaan maka inflow akan berada diatas (overflow). Kondisi ini terjadi selama musim semi ketika inflow dari sungai lebih hangat dibanding air waduk. Di waduk Ir. H. Juanda overflow ditemukan pada musim panas, ketika suhu air dari sungai lebih besar daripada suhu waduk.

(30)

Beberapa faktor menyulitkan analisis overflow. Pertama karena gaya penggerak melebihi tekanan hidrostatik, arus akan menyebar di segala arah tanpa halangan. Kedua perbedaan suhu (densitas) dengan cepat hilang karena panas memindahkan pada udara-air interfase. Ketiga wind shear langsung mengalir ke teluk atau mencegah mixing down reservoir. Dispersi horizontal juga akan ditingkatkan dari wind shear. Keempat, hasil mixing vertikal dari wind shear atau pendinginan konvektif mendistribusi arus densitas sepanjang kolom air. Jika densitas inflow lebih besar dari pada densitas air permukaan, inflow akan jatuh kebawah permukaan menjadi underflow (Gambar 4). Titik jatuh kadang-kadang dapat terlihat karena turbiditas atau debris yang mengapung, mengindikasikan titik stagnasi atau titik konvergens. Titik jatuh ditentukan oleh keseimbangan gaya adveksi, gradien tekanan yang melintasi interfase yang memisahkan sungai dan air waduk dan gaya resisten (wind bed friction). Posisi titik jatuh sangat dinamis dan berubah sesuai aliran dan densitas (Thornton et al., 1990).

Gambar 4. Pooling (genangan) di titik jatuh

(Knapp, 1942 dalam Thornton et al., 1990)

(31)

angin. Densitas interflow atau intrusi terjadi jika arus densitas yang meninggalkan dasar sungai, menyebar secara horizontal kedalam badan air yang terstratifikasi. Interflow biasa di waduk dan terjadi pada pertengahan musim panas, ketika suhu inflow lebih kecil dari air permukaan dan lebih besar dari pada suhu air hipolimnetik.

Intrusi berbeda dengan overflow dan underflow karena gerakan intrusi sepanjang waduk pada level di mana intrusi dan densitas waduk mirip. Intrusi membutuhkan inflow yang kontinu dan atau outflow untuk pergerakkan. Interflow akan memberi sumbangan oksigen terlarut ke badan air karena interflow membawa air yang sangat tinggi oksigennya (Hrbacek dan Starskraba, 1966 dalam Thornton et al., 1990). Atau jika zona eufotik meluas sampai ke metalimnion, komunitas fitoplankton akan bertambah banyak sehingga konsentrasi oksigen maksimum di hipolimnion; disebut juga metalimnetik oksigen maksima. Metalimnetik oksigen maksima sering terjadi awal musim panas, sebelum metalimnetik oksigen minima yang terjadi di akhir musim panas (Hutchinson, 1957 dalam Thornton et al., 1990). Karena densitas inflow secara kontinu berubah, level dimana intrusi bergerak sepanjang reservoir juga berubah. Khususnya selama badai, ketika densitas inflow berubah dengan cepat karena aliran yang meningkat, perubahan suhu, dan beban padatan.

Interflow telah diobservasi mengikuti thalweg saluran sungai tua dan tidak bercampur secara lateral (Ford dan Johnson, 1981 dalam Thornton et al., 1990). Gerakan ini sebagian disebabkan morfometri waduk, bentuk dendritik, perubahan kekasaran dasar, dan atau pembersihan kayu. Hal ini menyangkut variasi lateral kualitas air di waduk.

Sering diasumsikan bahwa sekali inflow jatuh dan membentuk underflow atau interflow, unsur pokok beban diisolasi dari permukaan air. Meskipun asumsi ini benar pada beberapa situasi, studi baru-baru ini menunjukkan bahwa mixing secara meteorologi dapat membawa inflow ke permukaan air. Entrainmen ini dapat terjadi karena mixing konveksi pada malam hari dan angin seperti gelombang internal (Carmack dan Gray , 1982 dalam Thornton et al., 1990).

Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion

(32)

rendah, densitas yang lebih tinggi, lebih kental dari pada lapisan atas, dimana gas-gas dan produk dekomposisi terakumulasi (Welch, 1952).

Waduk Ir. H. Juanda terletak di daerah tropis; meskipun terdapat stratifikasi suhu tetapi tidak sampai terbentuk termoklin. Perbedaan suhu antara permukaan (epilimnion) dan hipolimnion ada walaupun kecil. Hal ini berarti terdapat perbedaan densitas antara lapisan atas dan bawah. Sumber oksigen terlarut di hipolimnion waduk hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikkan massa air.

Di akhir musim panas dan gugur, suhu udara menurun, permukaan air mulai dingin dan menjadi lebih padat dibanding lapisan dibawahnya. Karena permukaan air tenggelam, teraduk oleh kombinasi arus konveksi dan angin menyebabkan sirkulasi epilimnetik. Penetrasi permukaan air kedalam metalimnion berlanjut. Akhirnya seluruh volume air tersirkulasi, dan fall turn over dimulai. Transisi dari stratifikasi musim panas yang lemah sampai sirkulasi musim gugur biasanya tiba-tiba dan dapat terjadi dalam beberapa jam, khususnya jika kecepatan angin tinggi (badai) Cadangan oksigen terlarut diperoleh pada saat periode sirkulasi ini (Wetzel, 2001).

Jenis, Beban dan Penguraian Bahan Organik Sumber Bahan Organik

Autochtonous

(33)

Autochtonous karbon organik di habitat akuatik umumnya dibentuk melalui produktivitas primer. Polymer tanaman yang utama meliputi selulosa, hemiselulosa, lignin. Lignin adalah yang paling resisten terhadap degradasi mikroba.

Allochtonous

Sumber bahan organik di dalam perairan (waduk) berasal dari eksternal (allochtonous) maupun internal (autochtonous). Sumber bahan organik yang berupa allochtonous berasal dari sumber titik di drainase basin, non point sources dan land usage (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Vollenweider (1968) dan Ahl (1973) dalam Landner (1976) menyatakan sumber eksternal dapat berupa run off permukaan, agricultural and forest drainage, atmosfir, urban run off, buangan domestik dan buangan dari limbah industri. Di waduk Ir. H. Juanda allochtonous tergantung dari aktivitas di daerah aliran sungai serta run off derah daerah sekitarnya. Dari inlet Cilalawi, masukan ke waduk berasal dari aktivitas pertanian di sekitarnya. Disamping itu waduk juga menerima limbah budidaya KJA dari Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang sangat besar.

Beban Masukan Internal

Beban masukkan internal adalah bahan organik yang dihasilkan oleh sirkulasi nutrien di perairan (waduk). Regenerasi nutrien dari biota yakni ekskresi alga, zooplankton, dan ikan secara langsung ke lapisan trofogenik adalah suplai nutrien yang penting untuk fitoplankton, juga dekomposisi bahan organik oleh bakteri di kolom air (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Selanjutnya Liaw (1993) menyatakan pencampuran pada kolom air selain menyebabkan pertukaran oksigen hipolimnetik juga pertukaran nutrien dari permukaan air. Nutrien inorganik oleh ekskresi atau pembusukan detrital dibawah lapisan mixed di difusi dengan laju yang lambat ke atas melewati termoklin. Pada akhir periode stratifikasi musim panas ditemukan konsentrasi nutrien yang sangat tinggi di hipolimnion dan sangat rendah di epilimnion. Hilangnya lapisan termoklin dan pencampuran epilimnetik dengan hipolimnetik mencampur nutrien permukaan sehingga memberi beban nutrien pada badan air (Liaw, 1993).

(34)

laju emisi dan kembali menjadi sama. Bubbles naik ke permukaan dan meledak, tidak sempat kembali ke bentuk larutan, karena dilepas ke atmosfir. Di alam, dekomposisi gas-gas (karbondioksida, methane, dan lain-lain) terakumulasi di dasar danau, yang dalam jumlah berlebihan naik melalui air dalam bentuk bubbles. Naiknya gas-gas ini dari deposit dasar merupakan proses kontinu, siang dan malam, dan secara kontinu juga membutuhkan oksigen terlarut (Welch, 1952).

Pelepasan oksigen terlarut dari epilimnion karena suhu tinggi pada musim panas. Air danau dengan konsentrasi oksigen maksimum dalam jangka pendek selama spring over turn, selanjutnya pemanasan permukaan air mengurangi jumlah kandungan oksigen terlarut di air.

Penguraian Bahan Organik

Wetzel dan Likens (1991) menyatakan bahan organik di ekosistem perairan berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat (POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Mayoritas bahan organik baik terlarut atau partikulat adalah detritus. Metabolisme bahan organik dan interaksi materi ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh ukuran bahan organik tersebut. Hanya sedikit bahan organik terlarut yang secara langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk partikulat adalah sumber makanan yang utama.

(35)

Beberapa senyawa DOM lebih stabil dari yang lain tetapi suhu yang lebih tinggi dan ketersediaan oksigen terlarut akan mengurangi retensi terhadap oksidasi/refraktility (Wetzel dan Likens, 1991).

Partikulat detritus dikolonisasi oleh berbagai mikroflora. Laju degradasinya tergantung pada : (1) komposisi (misal refraktility) dari subtrat spesifik dalam partikel (2) kemampuan mikroba untuk mengambil jaringan (misal ukuran partikel, luas permukaan) (3) laju metabolisme mikrobial sebagai kapasitas enzimatik, suhu, ketersediaan elektron penerima dan mineral nutrien.

Pengukuran laju dekomposisi bahan organik in situ sulit. Biasanya perubahan dalam berat kering dari jumlah POM yang diketahui diukur dalam waktu tertentu. Parameter seperti persen bobot yang hilang secara kontinu berubah dengan bertambahnya waktu dan hanya informasi panen akhir hasil dekomposisi. Proses dekomposisi adalah proses yang kontinu, tetapi lajunya bervariasi tergantung jumlah subtrat dan variabel lingkungan (Wetzel dan Likens, 1991).

Laju relatif dekomposisi k, dapat digambarkan sebagai hubungan sederhana terhadap variabel kontroling (Godshalk dan Wetzel dalam Wetzel dan Likens, 1991):

) (Re)(

) )( )( (

Sp Nu O T

k

α

(1)

Keterangan

T : suhu dalam batas biologi

O : konsentrasi oksigen terlarut atau elektron penerima

Nu : nutrien mineral yang dibutuhkan untuk metabolisme mikroba Re : inisial jaringan yang refraktil

Sp : ukuran partikel (ukuran partikel, luas permukaan)

(36)

Pengukuran suplai bahan organik ke ekosistem akuatik kompleks. Input dari produk fotosintesis fitoplankton dan flora litoral harus dievaluasi seperti halnya bahan organik dari allochtonous yang masuk ke ekosistem akuatik dari atmosfir dan drainase basin. Asumsi bahwa input allochtonous bahan organik kecil berhubungan dengan sintesa di danau, dan danau cukup besar untuk mengalami stratifikasi suhu. Produktivitas autotrofik dapat diestimasi secara tidak langsung dari perubahan jangka panjang defisit oksigen atau akumulasi DIC (Dissolved Inorganic Carbon). Asumsinya adalah bahan organik yang disintesa di zona trophogenik tenggelam ke zona hipolimnetik dan terurai disana. Perubahan oksigen atau DIC hipolimnetik menggambarkan laju loading bahan organik dan dekomposisi. Beberapa reaksi utama perkembangan anaerobik hipolimnia dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik (Wetzel, 1983 dan Schindler, 1985 dalam Wetzel dan Likens, 1991). Reaksi ini didasarkan pada molekul sederhana organik planktonik material :

CH2O + O2 →CO2 +H2O (stadia awal)

CH2O + 4 Fe (OH)3 + 8H+ → 4 Fe2+ + CO2 + 11 H2O

2 CH2O + SO42- → S2- +2 CO2+ 2 H2O

2 CH2O → CH4 + CO2

CO2 + NH3 + H2O → NH4 +

+ HCO3 -

Selanjutnya jika kondisi anaerobik, akumulasi ammonium-nitrogen, orthofosfat, H2S dan methane dapat terjadi (Gunnison et al., 1985).

Dekomposisi Aerobik

(37)

(polychaeta) mengaduk sedimen (bioturbasi) dan menyebabkan oksigenasi. Kebanyakan produk yang dapat larut oleh mikroba terdifusi ke atas di dalam air pore ke sedimen/air interfase dan dikembalikan ke kolom air (Killops, 1993).

Berdasarkan mikroorganisme yang berperan dekomposisi dibagi dalam dua kategori : (1) pemecahan secara hidrolitik bahan organik polymer tinggi yang merupakan bagian bagian utama dari tanaman dan hewan, menjadi senyawa dengan bobot molekul rendah, dan (2) pemecahan non hidrolitik dari molekul organik yang kecil, umumnya disertai konsumsi oksigen. Seterusnya proses terakhir (mineralisasi) molekul organik di lingkungan akuatik dikonversi menjadi senyawa inorganik yang digunakan sebagai nutrien tanaman (Gambar 5).

Gambar 5. Dekomposisi bahan organik di lingkungan akuatik

Panah titik-titik dan arsiran mengindikasikan proses dekomposisi di mana mikroorganisme ambil bagian (Sorokin dan Kadota,1972)

(38)

Dekomposisi bahan organik (mineralisasi) terjadi dengan cepat pada kondisi oksik. Laju suplai oksigen ke sedimen adalah faktor kritis dan dipengaruhi oleh ukuran partikel yang tersedimentasi. Ukuran pori butiran halus dari silt dan clay mengurangi dengan cepat sirkulasi air dalam sedimen dengan bertambahnya kedalaman, dan akhirnya, oksigen masuk ke air pore dengan difusi. Jumlah bahan organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara laju konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentari air pore dari kolom air overlying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi (Revsbech et al., 1980 dalam Killops dan Killops, 1993).

Gunnison et.al., (1985) menyatakan pada dekomposisi aerobik, mikroorganisme aerobik, mengkonversi bahan organik yang tersedia menjadi komponen inorganik, karbondioksida, nitrat, sulfat, dan fosfat, dan mengurangi oksigen di perairan. Pada kondisi tertentu aktivitas bakteri aerobik obligat (Actinomycetes dan beberapa species Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium dan Flavobacterium) sangat terbatas.

Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturbasi terhenti. Di danau eutrofik anoksiti biasanya berkembang di lapisan hipolimnion.

Dekomposisi Anaerobik.

Mineralisasi berlanjut pada kondisi anoksik, karena aktivitas bakteri anaerobik, secara keseluruhan lajunya lebih lambat. Di lingkungan waduk Ir. H. Juanda, penelitian mengenai proses dekomposisi anaerobik belum banyak dilakukan. Tetapi kasus kematian ikan dalam budidaya di karamba jaring apung mengindikasikan telah terjadi dekomposisi anaerobik di waduk.

(39)

ini juga mencakup anaerob fakultatif (bakteri yang biasanya aerobik tetapi dapat berfungsi pada kondisi anaerob). Pada kondisi tidak ada oksigen bakteri anaerob mengoksidasi bahan organik dengan menggunakan berbagai agen oksidasi (akseptor terminal elektron) : manganase (IV), nitrat, besi (III), sulfat dan bikarbonat. Proses ini melepas sedikit energi ke dekomposer dibanding degradasi aerobik dari bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Agen oksidasi degradasi anaerobik cenderung digunakan karena berkurangnya energi yang kembali. Beberapa bakteri (Clostridium, anaerob obligat, Bacillus, anaerob fakultatif) memecah komponen makromolekular detritus menjadi molekul yang lebih sederhana dengan hidrolisis dan proses fermentasi. Produk ini adalah subtrat untuk bakteri anaerobik yang menyempurnakan mineralisasi bahan organik. Jenis yang paling penting adalah bakteri pereduksi nitrat, pereduksi sulfat dan methanogen (penghasil methan).

Reduksi nitrat. Reduksi mikrobial nitrat dibagi menjadi dua kategori : asimilatori dan dissimilatori. Produk asimilatori reduksi nitrat adalah NH4+ yang

bergabung dalam sel (Payne, 1973 dalam Gunnison, 1985). Dissimilatori reduksi NO3- menjadi NH4+ telah dibuktikan penting di air laut maupun air tawar. Pada

dissimilatori NO3- menjadi NH4+ ,hasil reduksi dilepas (tidak bergabung dalam

sel), dan dihasilkan energi. Organisme yang membawa dissimilatori NO3

-menjadi NH4+ tidak di data, tetapi Sørensen (1978) dalam Gunnison et al. (1985)

mengindikasi bahwa Clostridium perfringens dan Paracoccus denitrificans mampu dalam proses ini.

Di lingkungan anaerobik, reduksi respiratori NO3

menjadi N2 menyediakan

alternatif O2 respirasi untuk bakteri nitrifikasi, biasanya terjadi di bawah

permukaan dan mengurangi niche mikro dalam zona permukaan. Disini NH4+

dioksidasi menjadi NO2- atau NO3- di kolom air aerobik atau lapisan oksidasi di

permukaan; nitrogen oksida ionik ini kemudian terdifusi ke dalam zona oksigen yang lebih rendah dimana selanjutnya terjadi denitrifikasi. Di kedua sistem baik air tawar dan air laut, deplesi oksigen dibawah hampir 0.2 mg/L terjadi denitrikasi (Knowles, 1982 dalam Gunnison, 1985). Produk proses dissimilatori adalah N2O,NO dan N2. Langkah awal proses reduksi nitrat yaitu reduksi NO3- menjadi

NO2

-, oleh berbagai bakteri termasuk Bacillus, Clostridium, dan Pseudomonas. Kemampuan reduksi nitrat komplit menjadi N2O dan N2 juga dimiliki oleh

(40)

Hydrogenemonas, Pseudomonas dan Thiobacillus (Knowles, 1982 dalam Gunnison et al., 1985). Reduksi nitrat (denitrifikasi) umumnya dengan cepat diikuti deplesi oksigen dan hasilnya yaitu : CO2, air dan nitrogen (melalui nitrit).

Pereduksi nitrat (Pseudomonas, Bacillus, Micrococcus, Thiobacillus denitrificans) adalah anaerobik fakultatif dan menggunakan oksigen jika suplainya cukup. Luas vertikal dari zona reduksi nitrat di sedimen laut biasanya sangat terbatas karena konsentrasi nitrat di air pore sangat rendah. Reduksi sulfat menjadi penting jika nitrat terdeplesi; hasilnya CO2 , H2O dan H2S. Pereduksi sulfat

(Desulfovibrio, Desulfobacter) adalah anaerob obligat. Kedalaman zona reduksi sulfat tergantung pada jumlah bahan organik yang ada; tetapi dapat menempati beberapa meter di sedimen pelagik dengan kandungan organik yang lebih rendah. Methanogen (Methanobacillus, Methanococcus) juga anaerob obligat dan mensintesa methan dari produk fermentasi terkecil. Karbondioksida dan hidrogen adalah subtrat yang penting, tetapi beberapa species dapat menggunakan senyawa sederhana selain C1 (contoh methanol dan formate) atau

C1 yang telah siap (methylated amine). Sedimen air tawar terdiri dari 70%

methane hasil dari penggunaan asetat, sisanya terdiri dari CO2 dan H2 (Killops,

1993).

Faktor dan Penentu Keberadaan Oksigen Terlarut Morfometrik dan Hidrodinamika

(41)

Morfologi basin waduk. Kedalaman rata-rata keseluruhan badan air dan kedalaman hipolimnion secara subtansial memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrien waduk. Kandungan oksigen di hipolimnion selama periode stratifikasi suhu, dan proses yang berhubungan dengan kemunduran kualitas air dan regenerasi nutrien di lapisan ini, tergantung pada besarnya kedalaman rata-rata (Zh) hipolimnion. Untuk jumlah biomassa fitoplankton yang

sama yang dihasilkan di zona eufotik, konsumsi oksigen per unit volume kolom air hipolimnetik (yang disebabkan dekomposisi mikrobial dari biomassa alga) lebih besar pada badan air dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang kecil dibandingkan dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang besar (Gambar 6).

Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen pada akhir stratifikasi musim panas di danau-danau dengan volume hipolimnetik yang berbeda. (Thienemann, 1918 modifikasi Uhlmann,1979 dalam Ryding dan Rast, 1989).

(42)

H H H

Z L

R = (2)

Keterangan

LH : luas permukaan loading hipolimnion (g/m

2

day) ZH : kedalaman rata-rata hipolimnion (m)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen menjadi lebih kecil per unit volume jika kedalaman hipolimnion meningkat. Di danau-danau meromiktik atau oligomiktik dimana hipolimnion tidak mendapat cukup aerasi atmosfir selama periode pembalikkan , konsentrasi oksigen hipolimnetik pada akhir stagnasi dapat sangat rendah, sama jika RH juga sangat rendah. Jadi,

biasanya lebih banyak oksigen di hipolimnion pada perairan yang lebih dalam dibanding yang dangkal dengan produktifitas yang sama (Ryding dan Rast, 1989).

Bentuk longitudinal badan air juga mempengaruhi kualitas air. Sebagai contoh reservoir yang dibuat dari sungai yang berliku-liku dan floodplain sering menghasilkan badan air yang panjang, sempit dan dendritik, yang menerima mayoritas air dan nutrien dari satu anak sungai. Akibatnya waduk memperlihatkan gradien longitudinal kualitas air dan kondisi trofik (Jones dan Novak, 1981; Thorton et al., 1982 dalam Ryding dan Rast,1989).

Flushing juga akan mempengaruhi lama nutrien terakumulasi dalam badan air. Jika volume in flow (Q) danau atau waduk sangat tinggi dibanding volume basin (V), fitoplankton dapat tercuci dari badan air sebelum mereka tumbuh melimpah pada tingkat yang mengganggu. Selanjutnya disebutkan bahwa waktu tinggal hydraulik (tw) lebih besar dari tiga hari adalah prasyarat untuk

pertumbuhan fitoplankton yang melimpah (Ryding dan Rast, 1989). Disamping itu hidrodinamika air juga akan menentukan sinking fitoplankton di perairan.

Stratifikasi Suhu dan Lama Waktu Stagnasi

(43)

Moss (1998) menyatakan untuk danau-danau tropis dan temperate yang hangat, iklimnya adalah musim kering dan musim basah (hujan). Distribusi oksigen di perairan yang mengalami stratifikasi dikendalikan oleh kombinasi dari kondisi daya larut, hidrodinamika,input fotosintesis, dan kehilangan secara kimia dan oksidasi metabolik (Wetzel, 2001). Stratifikasi suhu di tropis mungkin terjadi pada musim panas.

Di air tawar suhu kolom air stabil akan menurun dengan bertambahnya kedalaman jika suhu air lebih besar 4oC. Di kebanyakan bagian samudra suhu potensial berkurang secara teratur dengan bertambahnya kedalaman. Gambar 7 menunjukkan karakteristik variasi suhu dengan kedalaman di badan air hipotetik. Kolom air karena pemanasan oleh radiasi sehingga suhu tertinggi di permukaan. Ombak dan turbulensi oleh angin menciptakan suhu yang hampir konstan dekat permukaan. Daerah ini disebut lapisan mixed atau epilimnion. Kedalaman lapisan epilimnion dapat sangat bervariasi tergantung kekuatan angin dan stabilitas kolom air. Umumnya di danau lapisan epilimnion hanya beberapa meter atau dalam selama waktu tertentu pada musim panas, tetapi mungkin seratus meter atau lebih dalam pada periode tertentu selama musim gugur atau dingin ketika kolom air tidak stabil. Daerah dimana suhu relatif berubah dengan cepat dibawah lapisan epilimnion disebut termoklin atau metalimnion. Di danau termoklin biasanya beberapa meter tebalnya, tergantung pada kedalaman danau (Goldman dan Horne, 1983). Dibawah termoklin dimana suhu relatif konstan disebut hipolimnion. Hipolimnion dapat besar atau kecil. Berkurangnya suhu dengan bertambahnya kedalaman akan stabil di samudra dan beberapa kolom air jika suhu >4oC (Gambar 7).

Gambar 7. Variasi suhu dengan kedalaman di kolom air laut yang secara thermal stabil atau di kolom air tawar dimana suhu ≥ 4o

(44)

Selanjutnya pada Gambar 8 menunjukkan variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang stabil dimana suhu < 4oC. Pada kasus ini kolom air lebih dingin dari pada diatasnya sehingga suhu yang lebih rendah ditemukan di permukaan. Kolom air meskipun demikan, stabil karena densitas air tawar meningkat dengan bertambahnya suhu pada suhu dibawah 4oC (Liaw, 1993). Ketika terjadi stratifikasi suhu musim panas, danau memasuki periode stagnan, di mana air hipolimnion menjadi stagnan selama musim panas dan paling tidak sampai awal musim gugur ( fall overturn) di daerah empat musim.

Gambar 8. Variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang secara thermal stabil dimana suhu ≤ 4o

C.

Tingkat Eutrofikasi − Produksi Primer

Eutrofikasi adalah istilah yang menggambarkan penuaan danau. Eutrofikasi secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Vollenweider (1968) dalam Landner (1976) menyatakan eutrofikasi adalah pengkayaan nutrien yang dikuti oleh kemunduran kualitas air. Definisi yang paling mendasar membatasi eutrofikasi dalam pengertian pengkayaan badan air dengan nutrien inorganik, khususnya nitrogen dan fosfor.

(45)

Di danau eutrofik, produksi autochtonous bahan organik meningkat dan vegetasi berakar menempati luas permukaan dengan persentase yang lebih besar, sebahagian menyebabkan laju pengendapan badan air. Hasil yang utama peningkatan kesuburan adalah meningkatnya biomassa autotrof. Peningkatan biomassa akan mengakibatkan oksigen super saturasi pada siang hari tetapi pada malam hari karena autototrof dan organisme akuatik lainnya berespirasi maka akan terjadi kekurangan oksigen. Kelimpahan biomassa akhirnya akan menyebabkan deplesi oksigen, karena dekomposisi fitoplanton yang mati (bahan organik) membutuhkan oksigen dengan cepat. Laju deplesi oksigen paling besar di musim panas ketika produksi primer mencapai puncak.

Tingkat Beban Masukan Bahan Organik

Tingkat beban masukan bahan organik akan mempengaruhi keberadaan oksigen terlarut di waduk. Beban masukan yang berasal dari dalam (internal) adalah bahan organik yang dihasilkan oleh waduk itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan proses dekomposisi dan respirasi bahan organik dan organisme yang dihasilkan atau dari luar perairan (Landner, 1976).

Thornton et al., ( 1990) menyatakan pelepasan musiman nutrien dari tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap status nutrien waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal minimal (Cooke et al., 1977 dalam Thornton et al., 1990). Jadi loading internal sedimen dihubungkan dengan status tropik, dinamika oksigen dan proses sedimentary. Kayu, sampah hutan dan detritus organik lain membutuhkan suplai oksigen. Kondisi anoksik berkembang segera setelah stratifikasi dan seluruh hipolimnion menunjukkan anoksia selama musim panas. Meskipun beban eksternal rendah, konsentrasi nutrien hipolimnetik tinggi selama periode awal, potensial dalam pertukaran bahan terlarut melintasi termoklin dengan difusi mixing. Pelepasan dari sedimen anoksik dan mixing turbulen menyebabkan masuknya nutrien ke permukaan air.

(46)

Akibatnya kandungan oksigen hipolimnion makin lama makin kurang, terutama di daerah basin danau dimana dekomposisi lebih intensif.

Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion

Menurut Welch (1952) selama stratifikasi musim panas, epilimnion secara kontinu mendapat oksigen. Oksigen ditambahkan dengan sirkulasi. Suhu udara turun di akhir musim gugur, air epilimnion secara lambat dingin, sehingga meningkatkan kapasitas oksigen sehingga sebelum permulaan fall overturn menunjukkan peningkatan oksigen yang lebih besar. Epilimnion merupakan volume yang produktif selama periode stagnasi musim panas.

Perubahan yang sangat besar terjadi di hipolimnion. Deposit dasar dan suspensi yang mengandung bahan organik mengalami dekomposisi bahkan pada suhu sangat rendah. Dekomposisi membutuhkan oksigen terlarut dari sekitarnya, mengurangi oksigen bahkan sampai hilang. Karena perkembangan musim panas, zona kurang oksigen menyangkut peningkatan volume air yang lebih besar, akhirnya mencapai batas lebih rendah dari termoklin dan seluruh hipolimnion tanpa oksigen terlarut. Waktu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan hasil ini bervariasi dan tergantung pada volume hipolimnion, suhu air hipolimnion, jenis, jumlah dan distribusi deposit organik dasar, pembusukkan bahan organik yang mati (semua jenis bahan partikulat) yang tenggelam dari air bagian atas, respirasi hewan dan tanaman yang hidup di air yang lebih dalam sampai diusir oleh kekurangan oksigen, bubbling ke permukaan dari gas-gas yang terakumulasi di dasar dan populasi bakteri.

Operasional

Oksigen Terlarut di Epilimnion − Eufotik

Oksigen terlarut di epilimion maksimum, dihubungkan dengan oksigen hasil fotosintesis oleh makrofita di zona litoral dan blooming fitoplankton di zona limnetik waduk. Waduk menunjukkan tingkat heterogenitas secara spasial dalam produktifitas dan biomassa fitoplankton karena adanya gradien longitudinal, kecepatan aliran, waktu tinggal, padatan tersuspensi dan ketersedian cahaya dan nutrien. Secara longitudinal terdapat tiga zona yang berbeda di waduk (Gambar 9).

(47)
(48)

Bagian atas waduk adalah zona riverin. Dicirikan oleh aliran yang lebih tinggi, residence time yang lebih pendek, ketersediaan nutrien yang lebih tinggi, suspended solid dan peredupan cahaya. Turbiditas abiogenik sering membatasi penetrasi cahaya dan karenanya membatasi kedalaman lapisan fotik. Meskipun biomassa fitoplankton dan produktifitas per unit volume zone fotik tinggi di zona riverin, kedalaman lapisan mixed (zm) biasanya melebihi lapisan fotik (zp) dan

akibatnya, luas produktifitas primer dibatasi oleh cahaya ( Thornton et al., 1990). Zona riverin di waduk Ir. Juanda ada dua, yaitu zona riverin inlet sungai Cilalawi, dan zona riverin inlet sungai Citarum. Zona transisi dicirikan oleh produktifitas yang lebih tinggi dan biomassa terjadi dihubungkan dengan peningkatan luas basin, berkurangnya kecepatan aliran, meningkatnya residence time, sedimentasi partikel silt dan clay dekat permukaan air, dan peningkatan penetrasi cahaya. Karena ketersediaan cahaya dan nutrien untuk fotosintesis yang cukup, zona transisi adalah yang paling subur di waduk. Zona transisi di waduk Ir. H. Juanda adalah daerah disekitar KJA antara inlet Cilalawi dan genangan utama serta zona transisi antara inlet Citarum dan genangan utama.

Zona lakustrin, paling dekat dam, dan biasanya residence time yang lebih panjang, konsentrasi nutrien terlarut yang lebih rendah dan partikel suspensi abiogenik, transparansi yang tinggi, dan lapisan fotik yang lebih dalam. Volumetrik produktifitas fitoplankton berkurang (karena keterbatasan nutrien) selama musim pertumbuhan dan didukung terutama siklus nutrien in situ daripada nutrien adveksi (Thornton et al., 1990). Kesuburan relatif lapisan mixed umumnya berkurang ke arah bawah karena suplai nutrien adveksi berkurang dengan meningkatnya gangguan dari inflow anak sungai dan produksi fitoplankton menjadi lebih tergantung pada regenerasi nutrien in situ.

(49)

Gambar 10. Variabilitas oksigen terlarut pada dua danau yang berbeda status trofiknya (Reproduksi oleh Gower, 1980, Copyright John Wiley& Sons Ltd. dalam Seller dan Markland, 1987)

Beban Bahan Organik dari KJA

Karamba menyangkut sebagian area dari danau atau waduk, biasanya berbentuk jaring apung. Pada awal budidaya, stok berukuran kecil dan pelet yang kaya nutrien ditambahkan dengan interval yang sering. Ikan tumbuh dengan cepat dan biasanya diakhir budidaya di panen. Karamba berkembang di banyak negara khususnya di Eropa. Karena penambahan nutrien yang dibutuhkan ikan (juga ekskresi dari ikan sendiri) menyebabkan percepatan eutrofikasi pada badan air (Ryding dan Rast, 1989). Pengaruh karamba terhadap lingkungan telah dipelajari di Swedia. Jumlah penambahan nutrien ke badan air dari karamba jaring apung tergantung pada densitas populasi ikan dalam karamba. Studi di Swedia mengindikasikan bahwa, untuk setiap ton ikan yang dihasilkan, resultante input nutrien ke badan air adalah 85 − 90 kg fosfor dan 12 − 13 kg nitrogen (Ryding dan Rast, 1989).

Gambar

Tabel 15. Konsentrasi PO4-P (mg/L) di stasiun zona lakustrin dan transisi Waduk Ir. H
Gambar 29. Komposisi NH3-N, NO2-N dan NH3-N (%) pada  berbagai kedalaman di zona transisi Waduk Ir
Tabel konsentrasi BOT dari Juni 2003 − Mei 2004 di
Gambar  hubungan massa DO dan BOT   dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memperjelas tentang thread atau multi-threading tersebut pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai sebuah aplikasi berbasis simulasi yang menerapkan konsep

Kemudian diambil topik tentang jenis ikan karena anak kurang mengerti perbedaan jenis ikan, selain itu board game dibuat sedemikian rupa agar menunjukkan bahwa anak yang

merupakan kerabat dekat, yaitu misalnya perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan sebagai sepupu (anak-anak dari dua orang yang bersaudara,

Kutipan cerita di atas menggambarkan latar ( setting ) di sebuah negeri yaitu di negeri Palembang. Peristiwa dalam cerita rakyat Baron Sekeber yang menunjukan kehidupan

Hasil penelitian ini sesuai dengan pen- dapat Hidayat (2010:77) yaitu dengan meningkatkan jumlah modal yang digunakan maka juga akan meningkatkan pendapatan karena semakin

Jiwa merupakan esensi dari diri manusia yang mampu mengarahkan individu untuk mencapai kesempurnaan hidup, atau bahkan menghinakan diri sendiri. Peran jiwa dalam

Peran guru pendidikan agama Islam (PAI) dalam membina sholat dhuha.. berjamaah di MAN Kota Blitar tahun