• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

TAMBAHAN PEMULIHAN (PMT-P) DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH NURUL HAYATI NIM : 109101000022

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

(2)
(3)

ii Nurul Hayati, NIM: 109101000022

Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

xvi + 194 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 8 lampiran

ABSTRAK

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gizi kurang adalah salah satu masalah gizi terbanyak di Indonesia yang terjadi pada balita. Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan salah satu kegiatannya adalah Pemberian Makanan Tambahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014, dilakukan pada bulan Agustus-November tahun 2014, menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam dengan informan utama (ibu dari balita penerima PMT-P yang berat badannya tidak meningkat minimal satu tahun) dan informan pendukung (keluarga balita penerima PMT-P, kader Posyandu, dan staff Puskesmas yang terlibat langsung dalam program PMT-P).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita penerima PMT-P karena informan tidak membentuk pola makan balita dan hanya mengikuti pola makan balita yang suka jajan yang mengakibatkan ketersediaan pangan keluarga dan asupan makan balita menjadi buruk, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Selain itu, disebabkan pula oleh frekuensi makan balita yang buruk, PMT-P tidak digunakan dengan tepat, adanya penyakit infeksi yang diderita, upaya sanitasi yang kurang, dan pengetahuan informan yang buruk mengenai pemberian makan dan penyakit infeksi.

Disarankan kepada petugas Puskesmas agar memberikan pengetahuan dan informasi tentang kesehatan dan gizi seperti jumlah, jenis, porsi, frekuensi, dan cara penyajian makanan yang seharusnya diberikan untuk balita. Karena sebagian besar informan hanya menamatkan SD maka sebaiknya petugas Puskesmas memberikan pengetahuan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh informan, sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan dipraktikkan di rumah.

Daftar bacaan : 61 (1995-2014)

(4)

iii Nurul Hayati, NIM: 109101000022

The Background is Not Increased Weight Gain After Getting Toddler Feeding Recovery (PMT-P) in Puskesmas Pamulang at 2014

xvi + 194 Pages, 8 tables, 2 charts, 8 attachments

ABSTRACT

Children under five years old (infants) are vulnerable to health and nutrition problems. Malnutrition is one of the biggest nutritional problem in Indonesia, which often occur in children under five. The government has sought to develop a nutritional problem prevention efforts Family Nutrition Improvement (UPGK) and one of the activities is Feeding.

This study aims to determine the background is not increased body weight infants after a PMT-P in Puskesmas Pamulang 2014, took place in August-November 2014, using a qualitative approach with case study research strategy. Data was collected by means of observation and in-depth interviews with key informants that mothers of children under five recipients PMT-P whose weight is not increased by at least one year and a supporter of the family informant toddler PMT-P receiver, health cadres, and health center staff who are directly involved in PMT-P program.

Based on this research, it is known that the background is not increased body weight infants after a PMT-P is due to key informants did not form a toddler diet and just follow the diet toddler who likes to snack, resulting in the availability of family food and toddler food intake for the worse in terms of both quality and quantity. In addition, also caused by poor eating frequency toddlers, PMT-P is not used properly, the presence of an infectious disease that affects, attempts poor sanitation, and poor knowledge of the informant feeding and infectious diseases.

So it is advisable to health center staff to be able to provide knowledge and information about health and nutrition such as the number, type, portion, frequency, and method of food preparation that should be given to toddlers. Because most of the informants simply completing the primary health worker should provide the knowledge to use language that is easily understood by the informant, so that the information submitted well received and practiced at home.

Reading list: 61 (1995-2014)

(5)
(6)
(7)

vi PERSONAL DATA

Nama : Nurul Hayati

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Bireuen, 21 Juli 1990 Status Menikah : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jln. Kertamukti No.103c Rt 01 Rw 08 Kelurahan Pisangan, Ciputat Kota Tangerang Selatan

Nomor Handphone : 0852 6023 8238

Email : rhully_ayumi@yahoo.com

PENDIDIKAN FORMAL

1994-1996 : TK Pocut Baren Padang Tiji 1996 – 2002 : SD Negeri No.1 Padang Tiji 2002 – 2005 : SMP YPPU Unggul Sigli

(8)

vii

Bismillahirrahmanirrahim...

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan skripsi ini hingga selesai.

Penulis sadar bahwa akan banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi

dengan judul “Latar Belakang Tidak Meningkatnya Berat Badan Balita Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014.” Shalawat beserta salam selalu tercurahkan untuk sahabat dan kekasih terindah Allah

SWT yaitu baginda Rasulullah Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat, dan para

pengikut setianya hingga akhir zaman. Semoga kelak kita semua mendapatkan

syafa’atnya. Amiinn...

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai

dengan baik tanpa bantuan doa, dukungan, bimbingan, dan motivasi dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini perkenankan penulis

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat yang tak terbatas, kesehatan,

dan kemudahan dalam menjalankan aktivitas setiap harinya.

2. Orang tua (Ayah dan Umi) tercinta serta abang, kakak, dan adik penulis yang

(9)

viii

3. Bapak Prof. Dr (HC) dr. MK. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ibu Febrianti, SP, M.Si dan Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA selaku

pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan waktu dan kesabaran serta

keikhlasan dalam membimbing penulis selama proses penyusunan laporan skripsi

ini.

6. Pimpinan beserta staff Puskesmas Pamulang dan Kader Posyandu setempat,

khususnya yang bertugas dalam program Pemberian Makanan Tambahan

Pemulihan (PMT-P) yang telah meluangkan waktunya dan membantu serta

memberikan informasi guna melengkapi penyusunan laporan skripsi ini.

7. Para Ibu balita penerima PMT-P beserta keluarga yang telah bersedia menjadi

informan dan meluangkan waktu serta membiarkan penulis melihat kegiatan

sehari-hari informan. Semoga Ibu dan keluarga selalu diberikan kesehatan dan

(10)

ix dan masukan.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan skripsi ini, baik

secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu. Thanks a lot... Penulis mendo’akan agar kiranya kebaikan yang telah

kalian berikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amiiinn..

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga

penyusunan laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, November 2014

(11)

x

Pernyataan Keaslian Karya………i

Abstrak………..ii

Abstract...……….iii

Lembar Persetujuan………..…………iv

Daftar Riwayat Hidup Penulis………...vi

Kata Pengantar………...….vii

Daftar Isi………....x

Daftar Tabel………xiv Daftar Bagan………....xv Daftar Lampiran……….xvi

BAB I PENDAHULUAN………...………..1

1.1 Latar Belakang……….1

1.2 Rumusan Masalah………7

1.3 Pertanyaan Penelitian………...8

1.4 Tujuan Penelitin………...…………8

1.4.1 Tujuan Umum………8

1.4.2 Tujuan Khusus………...8

1.5 Manfaat Penelitian………...9

1.5.1 Bagi Peneliti………...………9

1.5.2 Bagi Puskesmas………..9

(12)

xi

2.1 Status Gizi………11

2.1.1 Penilaian Status Gizi………...13

2.1.2 Indeks Status Gizi………...………14

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi……….17

2.2 Gizi Kurang Pada Balita……….………..19

2.2.1 Penyebab Gizi Kurang………...………..…20

2.3 Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P)……….45

2.4 Kerangka Teori……….…47

BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH……….48

3.1 Kerangka Pikir………....….48

3.2 Definisi Istilah……….….50

BAB IV METODE PENELITIAN……….….52

4.1 Jenis Penelitian……….…52

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………...52

4.3 Informan Penelitian……….53

4.4 Instrumen Penelitian………53

4.5 Teknik Pengumpulan Data………..54

4.6 Validasi Data………....55

4.7 Pengolahan dan Analisis Data……….55

BAB V HASIL………57

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian………..57

(13)

xii

5.3.2 Informan Pendukung………...………..60

5.4 Hasil Penelitian………63

5.4.1 Gambaran Asupan Makanan……….63

5.4.2 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Asupan Makanan……..89

5.4.2.1 Ketersediaan Makanan………..90

5.4.2.2 Pemberian Makan………...106

5.4.2.3 Pengetahuan Tentang Pemberian Makan Balita……….122

5.4.3 Gambaran Penyakit Infeksi……….128

5.4.4 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Infeksi……..138

5.4.4.1 Sanitasi dan Hygiene………...138

5.4.4.2 Pelayanan Kesehatan………...………...150

5.4.4.3 Pengetahuan Tentang Penyakit Infeksi dan

Pemeliharaan Kesehatan……….163

BAB VI PEMBAHASAN……….170

6.1 Gambaran Asupan Makanan……….170

6.2 Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Asupan Makanan…………..174

6.2.1 Ketersediaan Makanan………174

6.2.2 Pemberian Makan………177

6.2.3 Pengetahuan Tentang Pemberian Makan………180

6.3 Gambaran Penyakit Infeksi………...182

6.4 Gambaran Yang Mempengaruhi Penyakit Infeksi………184

(14)

xiii

Kesehatan………188

6.5 Keterbatasan Penelitian……….189

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………...191

7.1 Simpulan………191

7.2 Saran………..193

(15)

xiv

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita……….15

Tebel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Bayi dan Balita……….24

Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita………28

Tabel 2.4 Anjuran Pemberian Makanan Sehari Anak Usia 3-5 Tahun Menurut

Kecukupan Energi………...31

Tabel 3.1 Definisi Istilah……….50

Tabel 5.1 Karakteristik Ibu Dari Balita Yang Tidak Mengalami Peningkatan

Berat Badan Setelah Mendapat PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2014………...…….59

Tabel 5.2 Karakteristik Informan Pendukung Dari Keluarga Balita

Yang Berat Badannya Tidak Meningkat Setelah Mendapat PMT-P

di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014………61

tabel 5.3 Karakteristik Informan Pendukung Dari Staff Puskesmas dan Kader

Posyandu Yang Terlibat Langsung Dalam Program PMT-P di Wilayah

(16)

xv

Bagan 2.1 Penyebab Gizi Kurang……….47

(17)

xvi

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Utama (Ibu Balita)

Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

Lampiran 2 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Pendukung (Keluarga

Balita) Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Tahun 2014

Lampiran 3 : Pedoman Wawancara Mendalam Bagi Informan Pendukung (Staff

Puskesmas dan Kader Posyandu) Yang Terlibat Langsung Dalam

Program PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014

Lampiran 4 : Pedoman Observasi

Lampiran 5 : Foto Hasil Observasi

Lampiran 6 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Utama (Ibu

Balita Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Tahun 2014

Lampiran 7 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Pendukung

(Keluarga Balita) Penerima PMT-P di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2014

Lampiran 8 : Matriks Hasil Wawancara Mendalam Dengan Informan Pendukung

(Staff Puskesmas dan Kader Posyandu) Yang Terlibat Langsung Dalam

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok yang

rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi. Gizi kurang adalah salah satu

masalah gizi terbanyak di Indonesia yang sering terjadi pada anak balita

akibat kekurangan Energi Protein (KEP). Kekurangan Energi Protein (KEP)

adalah salah satu penyakit gangguan gizi yang penting bagi negara yang

sedang berkembang seperti Indonesia. Karena, pada penyakit KEP

ditemukan berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh

kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam.

Akibat kekurangan tersebut akan timbul keadaan KEP derajat sangat ringan

sampai berat (Pudjiadi, 2005). Anak balita paling mudah terkena masalah

gizi karena pada usia ini balita sedang aktif dan tumbuh, sehingga

memerlukan asupan zat gizi yang lebih besar.

Meskipun sering luput dari perhatian, masalah penyakit dan

kematian balita masih saja dilatarbelakangi oleh masalah gizi. Menurut

UN-SC on Nutrition, (2008) hasil observasi WHO tahun 2003 menunjukkan 60% dari 10,9 juta kematian balita di dunia setiap tahunnya, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung disebabkan oleh gizi kurang atau

(19)

Asia dan 29% di Afrika. Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia

yang memberi 90% kontribusi masalah gizi dunia (BAPPENAS, 2011).

Hasil Riskesdas memperlihatkan prevalensi gizi kurang secara

umum menurut indikator BB/U di Indonesia adalah sebesar 13,0% pada

tahun 2007 dan 2010 meningkat menjadi 13,9%. Untuk provinsi Banten,

prevalensi gizi kurang tahun 2007 sebesar 12,2% meningkat menjadi 13,7%

pada tahun 2010. Keadaan tersebut berpengaruh pada masih tingginya

angka kematian bayi karena menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi

dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah

gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat (Kemenkes, 2011). Data status

gizi balita menurut indeks BB/U dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang 8,51% tahun 2011 turun

menjadi 7,34% di tahun 2012. Meskipun terjadi penurunan, dan prevalensi

gizi kurang di Kota Tangerang Selatan berada di bawah rata-rata nasional,

namun masalah ini merupakan masalah kesehatan masyarakat dan jika tidak

ditanggulangi maka angka prevalensi gizi kurang di Kota Tangerang Selatan

dapat meningkat dengan cepat.

Menurut Depkes (2005), di samping dampak langsung terhadap

kesakitan dan kematian, gizi kurang juga berdampak pada pertumbuhan,

perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang kekurangan gizi

pada usia balita akan tumbuh pendek dan mengalami gangguan

pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya

tingkat kecerdasan. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ

(20)

Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan” tahun 2013 juga disebutkan

dampak buruk dalam jangka pendek yang ditimbulkan akibat kurang gizi

adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan

pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan,

dalam jangka panjang dapat menimbulkan penurunan kemampuan kognitif

dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit,

bahkan dapat menyebabkan kematian. Sehingga akan menurunkan kualitas

sumber daya manusia Indonesia, produktifitas, dan daya saing bangsa. Oleh

karena itu, permasalahan gizi kurang harus dapat dicegah dan ditanggulangi

agar tercipta generasi penerus yang berkualitas.

Menurut Meriani (2010), kurangnya pengetahuan orang tua,

khususnya ibu tentang gizi dan kesehatan merupakan salah satu penyebab

terjadinya kurang gizi pada balita. Pengetahuan dasar yang seharusnya

dimiliki dan diketahui oleh seorang ibu diantaranya mengenai kebutuhan

gizi, cara pemberian makan, dan jadwal pemberian makan balita, sehingga

akan menjamin balita agar tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Kurang gizi pada balita dapat juga disebabkan perilaku ibu dalam pemilihan

bahan makanan yang tidak benar. Pemilihan bahan makanan, tersedianya

jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi

oleh tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Selain itu,

masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah yaitu

ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizi. Bila konsumsi

selalu kurang dari kecukupan gizi maka seseorang akan menderita gizi

(21)

akan menderita gizi lebih (Depkes RI, 1999). Pengetahuan gizi ibu sebagai

pengasuh dan penyedia makanan sangat berpengaruh terhadap praktek

dalam pemberian dan penyajian makanan sehari-hari yang kemudian

berdampak pada keadaan gizi keluarga.

Masalah gizi berhubungan erat dengan pola konsumsi balita, karena

pada masa ini balita sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.

Oleh sebab itu balita perlu mendapat perhatian dan perawatan dalam

pemberian makanan serta menerapkan pola kebiasaan makan yang baik

(Amos, 2000). Hasil penelitian Ida (1997) yang dikutip Sa’adah (2008),

menunjukkan bahwa balita yang perilaku makannya kurang baik yaitu

dengan asupan makanan <80% lebih banyak menderita KEP sebesar 64%,

dibandingkan balita yang perilaku makannya baik yaitu dengan asupan

makanan ≥80% sebesar 10%. Pada usia balita sering mengalami kesulitan

makan sehingga mengakibatkan asupan makanannya kurang. Oleh sebab

itu, diperlukan ketelatenan, kegigihan, dan kreativitas ibu sebagai pengasuh

dalam hal pemberian makan pada balita tertutama untuk meningkatkan

nafsu makan balita.

Masalah gizi bukanlah masalah yang sederhana, tetapi multi

kompleks karena penyebabnya terdiri dari beberapa faktor. Menurut Unicef

(1998), tahapan penyebab kurang gizi pada anak balita adalah penyebab

langsung, penyebab tidak langsung, dan akar masalah di masyarakat.

Pertama, penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang

mungkin di derita anak. Kurang gizi timbul tidak hanya karena makanan

(22)

yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan

kesehatan dan kesehatan lingkungan. Faktor-faktor penyebab tidak langsung

tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan

keterampilan keluarga. Ketiga adalah akar masalah yang ada di masyarakat

yang bersifat nasional yaitu adanya krisis ekonomi, politik, dan keresahan

sosial yang menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga miskin dan

pengangguran (Hasanudin, 2001).

Dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

(Bab VIII) disebutkan bahwa Upaya Perbaikan Gizi memiliki tujuan untuk

meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. Upaya Perbaikan

Gizi dilakukan melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan

perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan

kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, serta dilaksanakan

secara bertahap dan berkesinambungan sesuai dengan pentahapan dan

prioritas pembangunan nasional (Kemenkes, 2012).

Pemerintah telah mengupayakan penanggulangan masalah gizi

dengan mengembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Kegiatan

utama UPGK adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan

masyarakat. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah melalui Keluarga

Sadar Gizi (Kadarzi). Tujuan dari program Kadarzi adalah meningkatkan

pengetahuan dan perilaku keluarga untuk mengatasi masalah gizi. Indikator

keluarga sadar gizi antara lain status gizi anggota keluarga khususnya ibu

dan anak baik, tidak ada lagi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada

(23)

ibu memberikan hanya Air Susu Ibu (ASI) saja pada bayinya sampai usia 6

bulan dan semua balita yang ditimbang naik berat badannya sesuai usianya

(Depkes, 2004).

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan salah satu

komponen penting Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan program

yang dirancang oleh pemerintah. PMT sebagai sarana pemulihan gizi dalam

arti kuratif, rehabilitatif dan sebagai sarana untuk penyuluhan merupakan

salah satu bentuk kegiatan pemberian gizi berupa makanan dari luar

keluarga, dalam rangka program UPGK. PMT ini diberikan setiap hari,

sampai keadaan gizi penerima makanan tambahan ini menunjukkan

perbaikan dan hendaknya benar-benar sebagai penambah dengan tidak

mengurangi jumlah makanan yang dimakan setiap hari dirumah. Pada saat

ini program PMT tampaknya masih perlu dilanjutkan mengingat masih

banyak balita dan anak-anak yang mengalami kurang gizi bahkan gizi

buruk. Apabila Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) ini

dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu, memenuhi syarat gizi, dan tidak

disertai penyakit kronis diharapkan dapat memperbaiki status gizi balita

(Depkes, 1999).

Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (BB/U) Kota Tangerang

Selatan tahun 2013 tercatat ada 21 (1,8%) balita menderita gizi buruk dan

107 (9,15%) dari 1.169 balita yang ditimbang di wilayah Puskesmas

Pamulang menderita gizi kurang. Untuk mengatasi masalah gizi buruk agar

tidak semakin meningkat, maka jumlah balita yang menderita gizi kurang

(24)

keadaan gizi pada anak golongan rawan gizi yang menderita gizi kurang.

Namun, berdasarkan hasil evaluasi program PMT-P selama tiga bulan

memperlihatkan bahwa 26 balita (74,28%) dari 35 balita tidak mengalami

perubahan status gizi atau masih tetap menderita gizi kurang meski sudah

mendapatkan PMT-P.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada awal Maret

2014 melalui wawancara mendalam dengan 7 ibu balita dari 26 ibu yang

berat badan balitanya tidak meningkat, ternyata ditemukan 5 balita yang

sudah lebih dari satu tahun mendapat PMT-P namun berat badannya tidak

meningkat atau masih dengan status gizi kurang. Hasil wawancara dengan

Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) Puskesmas Pamulang, menyatakan bahwa

balita yang tidak mengalami peningkatan berat badan dikarenakan pola

pemberian makan yang kurang baik oleh ibu balita atau karena penyakit

infeksi yang diderita balita. Mempertimbangkan dari hal-hal di atas peneliti

tertarik ingin meneliti dan menggali lebih dalam informasi mengenai latar

belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan adanya program pemberian PMT-P di Puskesmas Pamulang

diharapkan dapat memperbaiki keadaan gizi pada anak yang menderita gizi

kurang. Namun, diketahui bahwa 26 balita (74,28%) dari 35 balita penerima

(25)

melalui wawancara mendalam dengan tujuh ibu yang balitanya tidak

mengalami peningkatan berat badan menunjukkan bahwa sebagian besar

balita masih menderita gizi kurang meskipun sudah mengikuti program

PMT-P selama lebih dari satu tahun.

Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti dan menggali lebih

dalam informasi mengenai latar belakang tidak meningkatnya berat badan

balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun

2014.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah latar belakang tidak meningkatnya berat badan balita setelah

mendapat PMT-P minimal satu tahun di wilayah kerja Puskesmas pamulang

tahun 2014?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui latar belakang tidak meningkatnya berat badan

balita setelah mendapat PMT-P minimal satu tahun di wilayah kerja

Puskesmas pamulang tahun 2014

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran asupan makanan dan faktor yang

mempengaruhi asupan makanan (meliputi ketersediaan pangan,

(26)

yang tidak mengalami peningkatan berat badan setelah mendapat

PMT-P di wilayah kerja Puskesmas pamulang tahun 2014

2. Mengetahui gambaran penyakit infeksi dan faktor yang

mempengaruhi penyakit infeksi (meliputi sanitasi dan hygiene, pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang penyakit infeksi dan

pemeliharaan kesehatan) pada balita yang tidak mengalami

peningkatan berat badan setelah mendapat PMT-P di wilayah

kerja Puskesmas pamulang tahun 2014

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti

1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai latar belakang

tidak meningkatnya berat badan balita setelah mendapat PMT-P

2. Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian

serta sebagai pengembangan kompetensi diri dan disiplin ilmu yang

diperoleh selama perkuliahan

1.5.2 Manfaat Bagi Puskesmas

1. Menjadi salah satu sumber yang menginformasikan permasalahan

yang ada di masyarakat pada masa sekarang ini

2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam upaya

penanggulangan masalah gizi terutama pada anak balita

1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan referensi dan pertimbangan untuk penelitian

(27)

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang berjudul “latar belakang tidak meningkatnya berat

badan balita setelah mendapat PMT-P di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2014” ini dilakukan di Puskesmas Pamulang pada bulan

Agustus-November tahun 2014 dengan jenis penelitian kualitatif.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam

(Indepth Interview) dan teknik observasi menggunakan pedoman observasi, serta pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data

profil Puskesmas Pamulang dan data-data terkait masalah gizi kurang yang

diperoleh dari Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan Puskesmas

Pamulang.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam

bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil

akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga

perwujudan manfaatnya (Supariasa, 2002). Sedangkan menurut Riyadi

(1995), status gizi dapat didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh

seseorang atau sekelompok yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan

(absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan. Penggunaan zat gizi dapat dinilai melalui konsumsi makanan, penelitian laboratorium, uji

fisik, dan penilaian medis.

Soetjiningsih (2001) mengatakan bahwa balita merupakan anak

dengan usia di bawah 5 tahun, memiliki karakteristik pertumbuhan cepat pada

usia 0-1 tahun dimana pada usia 5 bulan berat badan naik 2 kali berat badan

lahir, pada usia 1 tahun 3 kali berat badan lahir, dan usia 2 tahun menjadi 4

kali berat badan lahir. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah (3-5

tahun), yaitu kenaikan berat badan kurang lebih 2 kg per tahun, kemudian

(29)

Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang

pesat. Sehingga, kebutuhan akan zat gizi yang tinggi harus terpenuhi baik dari

segi kualitas maupun kuantitas. Beberapa manfaat zat gizi bagi balita adalah

untuk proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, memelihara

kesehatan dan memulihkan kesehatan apabila sedang sakit, melaksanakan

berbagai aktivitas, dan mendidik kebiasaan makan yang baik dengan

menyukai makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh.

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan

yang pesat, namun kelompok ini merupakan kelompok tersering yang

menderita kurang gizi (Lailiyana, dkk, 2010).

Pemantauan tumbuh kembang anak dapat mendeteksi secara dini

adanya kelainan pertumbuhan maupun perkembangan pada anak.

Pertumbuhan yang melambat merupakan tanda kurang gizi dengan ciri-ciri

kondisi tubuh anak kurus kering jauh dari normal, diagnosis berdasarkan

berat badan yang rendah berdasarkan tinggi badan, lingkar lengan atas kecil,

pertumbuhan kerdil, pertumbuhan tinggi badan lamban dibandingkan anak

seusianya, anak lebih kurus dan lebih pendek dari normal (Nurlinda, 2013).

Masalah gizi pada balita dapat dicegah dengan melakukan

pemantauan pertumbuhan anak melalui kartu menuju sehat (KMS), dan

mengatasi penyebab masalah gizi dengan berbagai pendekatan seperti

penyuluhan, memberikan pendidikan gizi, atau dengan konseling (Lailiyana,

(30)

2.1.1 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dapat dilakukan

secara langsung maupun secara tidak langsung. Penilaian status gizi

secara langsung dilakukan melalui empat penilaian berikut :

a) Antropometri, yaitu pengukuran berbagai macam dimensi dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi untuk melihat

ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Hal ini dapat terlihat

dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh.

b) Klinis, yaitu metode yang didasarkan atas perubahan-perubahan

yang terjadi yang dikaitkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Metode

ini dilakukan untuk survei klinis secara cepat, sehingga tanda-tanda

klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dapat

terdeteksi dengan cepat.

c) Biokimia, yaitu pemeriksaan spesimen pada berbagai macam

jaringan tubuh dan diuji secara laboratoris. Biasanya digunakan

sebagai peringatan kemungkinan akan terjadi malnutrisi yang lebih

parah lagi.

d) Biofisik, yaitu penentuan status gizi dengan melihat kemampuan

fungsi dan perubahan struktur dari jaringan. Umumnya digunakan

pada situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik yang

(31)

Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat

dilakukan dengan tiga cara berikut :

a) Survei konsumsi makanan, yaitu survei yang dapat mengidentifikasi

kelebihan dan kekurangan zat gizi dengan melihat jumlah dan jenis

zat gizi yang dikonsumsi melalui pengumpulan data konsumsi

makanan pada masyarakat, keluarga, dan individu.

b) Statistik vital, yaitu pengukuran yang dilakukan dengan

menganalisis data statistik kesehatan yang berhubungan dengan gizi

karena hal itu merupakan indikator tidak langsung pengukuran status

gizi masyarakat.

c) Faktor ekologi, menurut Bengoa malnutrisi merupakan masalah

ekologi hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis, dan

lingkungan budaya.

Hasil pengukuran tidak langsung tanpa disertai hasil

pengukuran langsung hanya akan menggambarkan apakah seseorang

memiliki risiko yang tinggi untuk kekurangan gizi atau tidak. Hanya

dengan pengukuran langsung yang bisa memastikan seseorang

benar-benar telah mengalami kekurangan gizi atau tidak (Syafiq, dkk, 2006).

2.1.2 Indeks Status Gizi

Supariasa (2002), parameter antropometri merupakan dasar

dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter disebut

(32)

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

mengkategorikan status gizi anak balita seperti pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

BB/U

Menurut Supariasa (2002), berat badan merupakan salah satu

indikator pengukuran antropometri yang memberi gambaran tentang

massa tubuh yaitu otot dan lemak. Massa tubuh sangat sensitif terhadap

perubahan yang mendadak, seperti saat terserang penyakit infeksi,

menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang

dikonsumsi. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat

labil. Oleh karena itu, indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi

(33)

Penggunaan indeks BB/U memiliki beberapa kelebihan,

diantaranya :

a) Lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum

b) Sensitif terhadap perubahan status gizi jangka pendek

c) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis

d) Dapat mendeteksi kegemukan

e) Berat badan dapat berfluktuasi

Di samping itu, indeks BB/U juga memiliki kekurangan, yaitu:

a) Dapat berakibat terjadinya kekeliruan interpretasi status gizi jika

terdapat edema

b) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak balita

c) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh

pakaian dan gerakan anak saat penimbangan

d) Di daerah pedesaan yang masih terpencil, umur sering sulit ditaksir

secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik

e) Secara operasional, sering mengalami hambatan karena masalah

sosial dan budaya setempat, misalnya orang tua yang tidak mau

menimbang anaknya karena dianggap seperti barang dagangan, dan

(34)

Status gizi dapat dinilai dengan persentase media dan standar

deviasi (Z-Score). Perhitungan untuk mencari nilai Z-Score

(Supariasa, 2002) adalah sebagai berikut :

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Hasdianah, dkk (2014), ada dua faktor yang mempengaruhi

status gizi seseorang, yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung.

Faktor langsung adalah tidak sesuainya jumlah gizi yang diperoleh dari

makanan dengan kebutuhan tubuh. Sedangkan faktor tidak langsung,

yaitu :

a) Pengetahuan, yaitu hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang, dengan bertambahnya usia maka tingkat pengetahuan

seseorang juga akan bertambah karena pengalaman yang

diperolehnya. Gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga

yang berpenghasilan kurang, bahkan dapat ditemukan juga pada

keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini dikarenakan

ketidaktahuan akan manfaat makanan bagi kesehatan tubuh serta

kurangnya keterampilan dibidang memasak dapat menurunkan

(35)

b) Persepsi, bahan makanan yang tinggi nilai gizi tetapi tidak

digunakan atau hanya digunakan secara terbatas yang dikarenakan

persepsi yang tidak baik terhadap bahan makanan tersebut. Di

beberapa daerah penggunaan bahan makanan tersebut dapat

menurunkan harkat keluarga, seperti jenis sayuran genjer, daun turi,

bahkan daun singkong yang kaya akan zat besi, vitamin A, dan

protein.

c) Kebiasaan atau pantangan, larangan terhadap anak untuk makan

makanan tertentu seperti telur, ikan, atau daging hanya berdasarkan

kebiasaan yang tidak ada datanya dan hanya diwarisi secara turun

temurun, padahal anak sangat memerlukan bahan makanan tersebut

untuk pertumbuhan tubuhnya.

d) Kesukaan jenis makanan tertentu (faddisme), kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu akan

mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang

diperlukan.

e) Jarak kelahiran yang terlalu rapat, banyak penelitian membuktikan

bahwa anak yang menderita gangguan gizi dikarenakan ibunya hamil

lagi atau adik baru telah lahir, sehingga ibu tidak dapat merawat

dengan baik. Padahal anak di bawah usia 2 tahun masih sangat

memerlukan perawatan ibunya, baik makanan kesehatan, mau pun

kasih sayang.

f) Penyakit infeksi, infeksi dapat menurunkan nafsu makan sehingga

(36)

menghabiskan sejumlah kalori dan protein yang seharusnya

digunakan untuk pertumbuhan anak.

g) Sosial ekonomi, keterbatasan pendapatan keluarga turut menentukan

mutu makanan yang disajikan, baik kualitas mau pun jumlah

makanan.

h) Produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, gagal panen yang

dikarenakan daerah yang kekeringan atau musim kemarau panjang

menyebabkan persediaan pangan di tingkat rumah tangga menurun

sehingga asupan gizi kurang.

2.2 Gizi Kurang Pada Balita

Khaidirmuhaj (2009) mengatakan bahwa gizi kurang merupakan

gangguan kesehatan akibat ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk

kehidupan seperti pertumbuhan, aktivitas berfikir, dan lain-lain (Hasdianah,

2014). Sedangkan balita gizi kurang menurut Kementerian Kesehatan (2012)

adalah balita dengan status gizi kurang yang dilihat berdasarkan indikator

BB/U dengan nilai z-score adalah <-2 SD sampai dengan -3 SD.

Anak dengan asupan gizi kurang akan mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang terhambat daripada anak dengan asupan gizi cukup.

Seperti pada pertumbuhan yang meliputi rendahnya tinggi badan, berat badan,

perkembangan otak, tingkat kecerdasan, serta psikisnya pun rendah dan

(37)

Tumbuh kembang serta perkembangan otak anak sangat pesat pada

usia balita. Bahkan, fase cepat tumbuh (growth spurt) otak ternyata hanya terjadi sampai usia 18 bulan (1,5 tahun). Meskipun kemudian otak masih

terus berkembang sampai anak berusia 5 tahun, namun kecepatannya sudah

mulai menurun (Khomsan, 2004).

2.2.1 Penyebab Gizi Kurang

Menurut Unicef (1998), gizi kurang pada anak balita disebabkan

oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan sebagai penyebab

langsung, penyebab tidak langsung, pokok masalah di masyarakat, dan

akar masalah.

1) Penyebab langsung

a. Asupan makanan anak yang tidak memadai

Jika asupan makanan yang diberikan pada anak tidak

cukup baik, maka dapat menurunkan daya tahan tubuh (imunitas)

anak, sehingga anak mudah terserang penyakit infeksi dan dapat

mengurangi nafsu makan, akhirnya anak dapat menderita gizi

kurang. Semakin bertambahnya usia anak, maka semakin

bertambah pula kebutuhannya.

Di dalam keluarga, konsumsi makanan dipengaruhi oleh

jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam

keluarga, dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga

tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan

(38)

Menurut Kemenkes (2012) Gizi seimbang merupakan

makanan yang dikonsumsi dalam satu hari beragam dan

mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur sesuai

dengan kebutuhan tubuhnya. Keadaan ini tercermin dari derajat

kesehatan dan tumbuh kembang balita yang optimal. Sedangkan

konsep dasar gizi seimbang adalah pemberian makanan yang

sebaik-baiknya yang harus memperhatikan kemampuan tubuh

seseorang untuk mencerna makanan, umur, jenis kelamin, jenis

aktivitas, dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Jadi,

untuk mencapai masukan zat gizi yang seimbang tidak mungkin

dipenuhi hanya oleh satu jenis bahan makanan, melainkan harus

terdiri dari aneka ragam bahan makanan.

Prinsip nutrisi yang perlu diperhatikan dalam pemberian

makanan pada balita (Barasi, 2009) adalah :

a) Harus mencapai angka referensi gizi untuk kelompok usia

yang bersangkutan

b) Tidak dianjurkan diet rendah lemak

c) Perhatikan densitas nutrient, terutama yang beresiko defisiensi

seperti kalsium, zat besi, zink, vitamin A, dan vitamin C

d) Hindari gula dari sumber selain susu, atau makanan berlemak

(39)

Sedangkan zat gizi yang dibutuhkan balita menurut Pandi

(2008) adalah :

1) Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang terdiri dari

dua jenis yaitu karbohidrat sederhana (gula pasir, gula merah,

jagung manis, madu, susu sapi, ASI, rumput laut, asparagus,

ubi jalar) sedangkan karbohidrat kompleks (tepung, beras,

gandum, pisang, daging has, apel, jambu biji, serealia).

2) Protein untuk pertumbuhan, terdapat pada ikan, susu, telur,

kacang-kacangan, tahu, dan tempe.

3) Lemak terdapat pada margarin, mentega, minyak goreng,

lemak hewan atau lemak tumbuhan.

4) Vitamin adalah zat-zat organik yang kompleks yang

dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya

dapat dibentuk oleh tubuh.

a. Vitamin A untuk pertumbuhan tulang, mata, dan kulit juga

mencegah kelainan bawaan, vitamin A terdapat dalam susu,

keju, mentega, kuning telur, minyak ikan, sayuran dan

buah-buahan segar seperti wortel, pepaya, mangga, daun

singkong, daun ubi jalar.

b. Vitamin B untuk menjaga sistem susunan saraf agar

berfungsi normal, mencegah penyakit beri-beri dan anemia,

vitamin ini terdapat di dalam nasi, roti, susu, daging, dan

(40)

c. Vitamin C berguna dalam pembentukan integritas jaringan

dan peningkatan penyerapan zat besi, untuk menjaga

kesehatan gusi, banyak terdapat mangga, jeruk, pisang,

nangka.

5) Mineral berguna untuk menumbuhkan dan memperkuat

jaringan serta mengatur keseimbangan cairan tubuh.

a. Zat besi, berguna dalam pertumbuhan sel-sel darah merah

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, zat ini terdapat dalam

daging, ikan, hati ayam, bayam, kedelai.

b. Kalsium berguna untuk pertumbuhan tulang dan gigi zat ini

terdapat dalam susu sapi, keju.

c. Yodium berguna untuk menyokong susunan saraf pusat

berkaitan dengan daya pikir dan mencegah kecacatan fisik

dan mental. Zat ini terdapat dalam rumput laut, serealia, dan

sea food.

Penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi.

Patokannya berdasarkan penentuan angka atau nilai asupan gizi

untuk mempertahankan orang tetap sehat sesuai kelompok umur

atau tahap pertumbuhan dan perkembangan, jenis kelamin,

aktivitas fisik, dan kondisi fisiologisnya (WNPG, 2004).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bayi

(41)

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Bayi dan Balita

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 2012

b. Penyakit infeksi

Faktor asupan makanan dan penyakit infeksi saling

berkaitan satu sama lain. Anak yang asupan makanannya baik

tetapi sering terserang penyakit, seperti diare atau demam, maka

anak tersebut dapat menderita gizi kurang. Karena, infeksi dapat

menyebabkan hilangnya nafsu makan, malabsorbsi, metabolisme

terganggu, dan perubahan perilaku, sehingga berpengaruh

terhadap pola makan anak. Penyakit infeksi disebabkan oleh

kurangnya sanitasi dan kebersihan, pola asuh anak yang tidak

memadai, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai

(Soekirman, 2000).

2) Penyebab tidak langsung

a. Ketahanan pangan di keluarga

Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan

seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik

jumlah maupun gizinya. Menurut Adisasmito (2007), ketahanan

(42)

pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan

kesehatan.

Selain itu, kebutuhan pangan yang bermutu gizi seimbang

menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan

lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat

pengatur (vitamin dan mineral). Tidak ada satu jenis pangan pun

yang dapat menyediakan gizi secara lengkap. Oleh karena itu,

konsumsi pangan yang beraneka ragam sangat penting agar dapat

saling melengkapi kekurangan zat gizi dalam pangan tersebut

(Khomsan, 2004).

b. Pola pengasuhan anak

Kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan

waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat

bertumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya secara fisik,

mental, dan sosial. Kurang baiknya pola pengasuhan anak karena

pengetahuan ibu yang kurang, terutama dalam pemberian

makanan pada anak mengakibatkan anak tidak mendapatkan

makanan sesuai kebutuhan

Menurut Adisasmito (2007), pola pengasuhan anak adalah

berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh dalam hal

kedekatannya dengan anak seperti, memberikan makan, merawat,

memberikan pendidikan, kebersihan, memberi kasih sayang, dan

sebagainya. Hal tersebut berhubungan dengan kesehatan fisik dan

(43)

keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam

keluarga atau masyarakat, pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan

keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari ibu atau pengasuh

anak.

Menurut Sayogyo (1993) pola asuh anak adalah praktek

pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan

dengan pengasuhan makan balita dan pemeliharaan kesehatan

(Veriyal, 2010). Sedangkan menurut Rahim (2014) pola

pengasuhan anak dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu

praktik mengasuh anak balita dilihat dari pemberian makan pada

anak, praktik kebersihan anak, dan praktik pengobatan anak.

Pola asuh makan merupakan praktik pengasuhan

pemberian makan yang diterapkan ibu terhadap anaknya

(Mariani, 2002). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk

memenuhi kebutuhan zat gizi demi kelangsungan hidup,

pemulihan kesehatan, aktivitas, pertumbuhan, dan perkembangan.

Pengasuhan makan contohnya menyediakan dan memberikan

makanan sesuai dengan mutu yang memadai. Asuhan makan

sering tidak menjadi optimal dikarenakan rendahnya daya beli,

harga pangan meningkat, serta krisis keuangan global (Nurlinda,

(44)

Soehardjo (1989) menyebutkan bahwa tujuan pemberian

makan anak dalam lingkup keluarga mencakup tiga aspek

(Nurlinda, 2013), yaitu :

a) Aspek fisiologis, yaitu memenuhi kebutuhan zat gizi untuk

proses metabolisme, kelangsungan hidup, aktivitas, dan

tumbuh kembang.

b) Aspek edukatif, yaitu mendidik anak supaya terampil dalam

mengonsumsi makanan, membina kebiasaan dan perilaku

makan, memilih dan menyukai makanan yang baik, sehat, dan

dibenarkan oleh agama/keyakinan masing-masing.

c) Aspek psikologis, yaitu memberikan kepuasan kepada anak

dan memberikan kenikmatan yang lain berkaitan dengan anak.

Anak usia 1-3 tahun memiliki pertumbuhan yang berbeda

dengan masa bayi. Pada masa ini aktifitasnya lebih banyak dan

golongan ini sangat rentan terhadap penyakit gizi dan infeksi.

Syarat makanan yang harus diberikan adalah makanan yang

mudah dicerna dan tidak merangsang (tidak pedas) serta dengan

jadwal pemberian makanan sama yaitu 3 kali makanan utama

(pagi, siang, malam) dan 2 kali makanan selingan (diberikan

diantara 2 kali makanan utama). Jenis jumlah dan frekuensi

makan pada bayi dan anak balita, hendaknya diatur sesuai dengan

perkembangan usia dan kemampuan organ pencernaannya

(45)

Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita

Umur Jenis/bentuk makanan Porsi Per hari Frekuensi 0 - 6 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan,

ASI di berikan setiap anak menangis, siang atau malam hari makin sering makin baik

Min 6x

6 - 9 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x MP-ASI

Makanan Lunak

Usia 6 bulan : 6 sdm (setiap kenaikan usia anak 1 bulan porsi di tambah 1 sdm)

2x

9-12 bulan ASI Disesuaikan dengan kebutuhan Min 6x Makanan Lembik 1 piring ukuran sedang

(7 sdm)

4-5x

Makanan Selingan 1 piring ukuran sedang 1 kali 1-2 tahun ASI Disesuaikan dengan kebutuhan

Makanan keluarga ½ porsi orang dewasa (10 sdm)

3x

Makanan selingan ½ porsi orang dewasa 2x > 24 bulan Makanan Keluarga Disesuaikan kebutuhan 3x

Makanan Selingan Disesuaikan kebutuhan 2x Sumber : Depkes RI, 2006

Pemilihan bahan pangan yang akan diberikan untuk bayi

dan balita hendaknya disesuaikan dengan usia, karena sistem

pencernaan yang relatif belum sempurna (Pandi, 2008).

a) Usia 4 – 6 bulan

Pada usia ini sudah dapat diberikan buah-buahan dan sayuran,

seperti pisang ambon, pepaya, alpukat, labu kuning, bayam,

wortel, dan lain-lain.

b) Usia 7 – 9 bulan

Pada usia ini dapat ditambahkan protein hewani, seperti kuning

(46)

c) Usia 9 – 12 bulan

Pada usia ini bahan makanan yang dapat diberikan seperti

makanan berbahan dasar tepung, yaitu pasta, roti, dan

sebagainya. Selain itu dapat pula diberikan protein hewani

seperti ayam, daging, susu, dan produk olahannya. Dapat

diberikan pula sayuran rebus dalam bentuk utuh untuk latihan

mengunyah, seperti brokoli, wortel, buncis, dan sebagainya.

d) Usia 1 – 2 tahun

Pada umumnya sudah dapat dimulai untuk makan makanan

orang dewasa yang tidak terlalu keras dan merangsang (terlalu

pedas atau terlalu asam).

e) Usia 2 – 3 tahun

Pada usia ini aktivitas anak sudah semakin meningkat. Oleh

karena itu, selain pemberian makanan utama dapat diberikan

pula makanan selingan (kudapan), seperti buah-buahan,

sandwich, yogurt, keju, atau pun makanan yang diolah sendiri.

f) Usia 3 – 5 tahun

Umumnya pada usia ini anak sudah dimasukkan ke taman

bermain atau taman kanak-kanak. Sehingga perlu diperhatikan

pemberian sarapan dan bekal makanannya. Bekal yang dapat

dipilih seperti buah-buahan, pasta, jus buah, sayuran, dan

lain-lain.

Saat menyiapkan dan memberikan makanan untuk balita,

(47)

pemilihan bahan pangan yang cocok (jenis, kualitas, dan

kuantitas), perlakuan terhadap bahan pangan, peralatan yang

digunakan, sanitasi dan hygiene, membuat makanan secukupnya, berikan makanan sebaik-baiknya, perkenalkan satu jenis makanan

saja setiap kali makan, sehingga dapat diketahui jika bayi tidak

dapat menerima suatu jenis makanan dan menimbulkan reaksi

alergi, variasikan makanan, berikan makanan selingan 2 kali

sehari di antara waktu makan, makan bersama anggota keluarga

yang lain, hindari pemberian makan dekat dengan waktu makan,

makanan berlemak menyebabkan rasa kenyang yang lama, dan

tetap berikan ASI sampai anak berusia 2 tahun.

Menurut Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012,

rata-rata yang dianjurkan per orang/hari kebutuhan energi anak usia

1-3 tahun adalah sebesar 1125 kkal dan kebutuhan protein 26 gram.

Sedangkan kebutuhan energi anak usia 4-6 tahun sebesar 1600

kkal dan kebutuhan protein 35 gram. Berikut adalah tabel porsi

makan dan contoh pembagian makanan anak usia 3-5 tahun

(48)

Tabel 2.4 Anjuran Pemberian Makanan Sehari Anak Usia 3-5 Tahun Menurut Kecukupan Energi

No. Bahan

*Keterangan : Sumber : Kurniasih, 2010

1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas = 100 gram = 175 kkal

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi

pemberian makanan pada balita (Suhardjo, 2005), yaitu :

a) Faktor Ekonomi. Masyarakat dengan pendapatan rendah harus

membagi pendapatannya untuk berbagai keperluan lain selain

makan keluarga, seperti pendidikan, transportasi, dan

(49)

untuk keperluan penyediaan makanan sangat kecil. Dengan

demikian besar kecilnya pendapatan mempengaruhi pola

konsumsi keluarga yang akhirnya berimbas pada keadaan gizi

keluarga, khususnya anak balita yang rawan gizi.

b) Faktor Budaya. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan

suatu kebiasaan penduduk yang kadang-kadang bertentangan

dengan prinsip-prinsip ilmu gizi, misalnya budaya masyarakat

tertentu yang menganggap suatu bahan makanan tabu untuk

dikonsumsi karena alasan tertentu. Budaya di masyarakat

masih ada yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu

untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan

yaitu umumnya kepala keluarga, sedangkan anggota keluarga

lainnya menempati urutan prioritas berikutnya, dan yang

paling umum mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu

rumah tangga. Apabila hal tersebut masih dianut dengan kuat

oleh suatu budaya, sedangkan pengetahuan gizi belum dimiliki

oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat menimbulkan

distribusi konsumsi pangan yang tidak baik di antara anggota

keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama maka

dapat mengakibatkan masalah gizi kurang dalam keluarga

tersebut, terutama pada golongan rawan seperti ibu hamil, ibu

menyusui, bayi dan anak balita.

c) Banyaknya Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga yang

(50)

khususnya keluarga miskin. Pemenuhan kebutuhan makan

keluarga akan lebih mudah jika anggota keluarganya sedikit.

Apabila keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak

akan berkurang. Ironisnya jumlah anggota keluarga yang

banyak sebagian besar ditemui pada keluarga miskin, sehingga

banyak anak-anak keluarga miskin menderita gizi kurang

bahkan gizi buruk karena konsumsi makanannya kurang, baik

dari segi jumlah maupun mutunya.

Selain itu, makanan yang diberikan pada anak juga harus

memenuhi kuantitas dan kualitas yang sesuai, serasi dengan tahap

perkembangan anak, cara pengaturan dan pemberian makanan

yang benar supaya menimbulkan selera makan, serta kebersihan,

kerapihan, dan keindahan seperti kombinasi warna dan suasana

saat makan perlu diperhatikan. Sehingga anak merasa makan

merupakan saat-saat menyenangkan baginya (Nurlinda, 2013).

Sedangkan menurut Khomsan (2004), wanita memiliki

peran yang sangat besar dalam menentukan nasib bangsa. Melatih

ibu untuk menjadi pengasuh anak yang baik akan menghasilkan

generasi baru yang berkualitas. Ibu yang kelihatan bahagia ketika

mengasuh anaknya akan memberikan pengaruh positif terhadap

tumbuh kembang anak yang optimal. Membentuk pola makan

yang baik untuk anak menuntut kesabaran seorang ibu. Pada usia

prasekolah, anak sering mengalami fase sulit makan dan jika

(51)

jumlah dan jenis gizi yang masuk dalam tubuhnya kurang.

Permasalahan makan bisa terjadi karena anak meniru pola makan

orang tuanya, seperti tidak suka sayur, suka pilih-pilih makanan,

bahkan yang mungkin sedang berdiet untuk menurunkan berat

badan. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada

perilaku makan anak.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ibu bisa memberikan

makanan pada anak dalam porsi kecil, jika sudah habis ibu bisa

menawarkan anak untuk menambahkan kembali. Karena ada anak

yang mual ketika melihat makanan dengan porsi besar tersaji di

depannya. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, beri

kesempatan anak untuk memilih makanan sendiri yang

disukainya disertai dengan pengawasan dari orang tua.

Sulistyoningsih (2011), kesulitan makan merupakan ciri

khas anak balita atau anak prasekolah, karena pertumbuhan

menjadi lebih lambat dibandingkan ketika masih bayi. Nafsu

makan anak tergantung pada aktivitas fisik dan kondisi kesehatan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan anak menjadi sulit makan,

yaitu :

a) Anak mengalami infeksi

b) Anak terlalu aktif sehingga kelelahan

c) Anak merasa kenyang, namun masih dipaksa untuk

menghabiskan makanannya

(52)

e) Anak sedang terganggu secara emosional, mencari perhatian,

dan terlalu mendapat perhatian berlebih

Adapun gejala sulit makan pada anak adalah

memuntahkan atau menghambur-hamburkan makanan yang

sudah masuk ke mulut, makan berlama-lama atau memainkan

makanan, menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua,

hanya mau makan makanan cair atau lumat, kesulitan menghisap,

mengunyah, menelan, atau langsung menelan tidak mengunyah

(Nurlinda, 2013).

Sulistyoningsih (2011) dalam bukunya yang berjudul gizi

untuk kesehatan ibu dan anak juga menjelaskan upaya yang dapat

dilakukan untuk mengatasi anak yang kesulitan makan. Upaya

tersebut adalah :

a) Hindari menghidangkan makanan terlalu banyak

b) Tidak memaksa anak mencoba makanan baru

c) Hidangkan makanan yang bervariasi, baik dari bentuk, rasa,

maupun cara penyajiannya

d) Tidak memarahi atau memberi hukuman jika makanan tidak

dihabiskan, dan beri pujian jika anak berhasil menghabiskan

makanan

e) Berikan kesempatan anak belajar makan sendiri

f) Biasakan untuk makan bersama dengan anggota keluarga yang

(53)

Menurut Hasdianah, dkk (2014), karakteristik pola makan

balita adalah sulit makan, nafsu makan berubah-ubah, cepat bosan

dengan cara makan sambil duduk, sehingga perlu dengan cara

bermain-main. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan nafsu

makan maka ciptakan suasana makan yang menyenangkan,

kembangkan kebiasaan makan yang baik dengan makanan yang

beragam dan pola makan yang teratur, hindari makanan yang

banyak mengandung minyak, pengawet, atau junk food lainnya. c. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan hygiene

Pelayanan kesehatan merupakan akses atau

keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan

penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi,

pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan

anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang

baik seperti posyandu, puskesmas, praktik bidan atau dokter,

rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan

pelayanan kesehatan dikarenakan jauh atau tidak mampu

membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan, merupakan

kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik

pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga

pada status gizi anak (Adisasmito, 2007).

Pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau serta kesehatan

lingkungan yang buruk menyebabkan anak rentan terhadap

(54)

makanan perlu mendapat perhatian khusus. Makanan yang kurang

bersih dan sudah tercemar dapat mengakibatkan diare atau

cacingan pada anak. Begitu pula dengan pembuat makanan dan

peralatan yang dipakai seperti sendok, mangkok, gelas, piring dan

sebagainya sangat menentukan bersih tidaknya makanan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan

makanan balita adalah :

a) Simpan makanan dalam keadaan bersih, hindari pencemaran

dari debu dan binatang

b) Peralatan makan dan memasak harus bersih

c) Ibu atau anggota keluarga yang memberikan makanan pada

balita harus mencuci tangan dengan sabun sebelum

memberikan makan

d) Makanan selingan sebaiknya dibuat sendiri

Selain kebersihan makanan, yang perlu diperhatikan juga

adalah kebersihan rumah dan lingkungan sekitar. Bahan

bangunan, kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi

syarat kesehatan merupakan faktor risiko dan sumber penularan

berbagai macam sumber penyakit. Penyediaan air bersih dan

sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi

faktor risiko penyakit diare. Faktor-faktor risiko lingkungan pada

bangunan rumah yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit

maupun kecelakaan antara lain ventilasi, pencahayaan, kepadatan

(55)

binatang penular penyakit, air bersih, limbah rumah tangga,

sampah, serta perilaku penghuni dalam rumah (Depkes, 2007)

Menurut Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes

RI tahun 2007 terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu

bangunan rumah untuk dapat dikatakan sebagai rumah sehat,

yaitu :

a) Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang

cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan

penghuni rumah.

b) Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar

penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan

tinja limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,

kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari

pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran,

disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.

c) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik

yang timbul karena pengaruh luar dan dalam rumah antara lain

persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi bangunan rumah,

bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah.

Sedangkan perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan

perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan

bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan

(56)

a) Perilaku pemeliharaan kesehatan, yaitu usaha seseorang dalam

memelihara atau menjaga kesehatannya agar tidak terkena

penyakit dan usaha untuk melakukan penyembuhan jika sakit.

b) Perilaku pencarian pengobatan, yaitu upaya atau tindakan

seseorang ketika menderita penyakit mulai dari pengobatan

sendiri sampai dengan pencarian pengobatan ke luar negeri.

c) Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu bagaimana seseorang

merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial

budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi

kesehatannya.

Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan

dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan

keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan

keterampilan, semakin besar pula kemungkinan baiknya tingkat

ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, sanitasi dan

hygiene serta semakin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, begitu pula sebaliknya.

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang

makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan,

makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan

penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi

dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat

(57)

Pengetahuan tentang gizi sangat penting. Karena, banyak

masyarakat tidak mengetahui bahwa makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi tidak selalu makanan yang mahal. Masyarakat

harus mengetahui bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan

gizi dengan mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan tingkat

pendapatan mereka (Heryati, 2005).

Menurut Indra (2013) tingkat pengetahuan gizi seseorang

berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan

makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi

yang bersangkutan. Pengetahuan gizi yang tidak memadai,

kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik dan

tentang kontribusi gizi dari berbagai jenis makanan akan

menimbulkan masalah kecerdasan dan produktivitas. Peningkatan

pengetahuan gizi dapat dilakukan melalui program pendidikan

gizi yang dilakukan oleh Pemerintah. Program pendidikan gizi

dapat memberikan pengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan

perilaku seseorang terhadap kebiasaan makannya. Ketidaktahuan

akan hubungan makanan dan kesehatan, prasangka buruk

terhadap bahan makanan tertentu, adanya kebiasaan atau

pantangan yang merugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis

makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak

kelahiran yang rapat juga berpengaruh pada pengetahuan tentang

Gambar

tabel 5.3 Karakteristik Informan Pendukung Dari Staff Puskesmas dan Kader
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Balita
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Bayi dan Balita
Tabel 2.3 Pengukuran Makanan Balita
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Ada pengaruh kegiatan Taman Pemulihan Gizi (TPG) terhadap peningkatan berat badan balita (12-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Jatiwates

melakukan kegiatan percobaan (experiment) untuk mengetahui pengaruh pemberian diet formula 100 terhadap berat badan dan status gizi pada balita yang mengalami

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Berat Badan Anak Usia Toddler ditinjau dari Pendidikan dan Pekerjaan Ibu dalam Kunjungan Ke Posyandu Balita

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik dan pola asuh keluarga yang memiliki balita dengan berat badan BGM di wilayah kerja

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran karakteristik dan pola asuh keluarga yang memiliki balita dengan berat badan BGM di wilayah kerja

Simpulan penelitian ini bahwa Pemberian makanan tambahan dengan konssep 4 bintang efektif menaikkan berat badan balita dengan gizi buruk di posyandu wilayah

pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang memadai. Pola

Penelitian tentang Pengaruh pemberian formula 100 dan tepung kacang merah terhadap kenaikan berat badan balita gizi buruk di posyandu TFC rawat jalan puskesmas bumijawa