• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana Dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

UUF ROUF NIM : 1612048000006

K O N S E N T R A S I H U K U M K E L E M B A G A A N N E G A R A PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAPOR TINDAK PIDANA DAN

SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum ( S.H)

Oleh: Uuf Rouf NIM : 1612048000006

Dibawah Bimbingan

Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.

Jakarta, Januari 2014

(5)

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 97

Berbagai kasus serius dan terorganisir, seperti korupsi misalnya menyebabkan dampak negatif dalam berbagai sektor. Permasalahan tersebut mebutuhkan suatu solusi jitu untuk pencegahan dan pemberantasannya, yaitu dengan cara mengikut sertakan pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Namun keadaan saat ini menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum maksimal. Oleh karenanya penulis akan mengkaji kebijakan legislatif yang ideal tentang perlindungan hukum terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborator). Tujuan penulisan penelitian ini adalah bagaimana mengetahui subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan legislatif perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, baik hukum ynag berlaku sekarang (ius contitutum) maupun hukum yang dicita-citakan (ius contituendum) melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Penulis menggunakan metode penelitian normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan persepsional. Data-data yang diperoleh keudian diolah dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif dan komparatif dalam mengelaborasi pengaturan serta praktek perlindungan whistle blower dan justice collaborator di negara lain sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran bagi Indonesia.

Perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator belum maksimal, dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum menghapuskan tuntutan terhadap whistle blower dan justice collaborator, dampaknya adalah para whistle blower dan justice collaborator tidak mendapat perlindungan oleh hukum sehingga turut dijadikan tersangka dalam kasus yang dilaporkannya. Dalam konsep keadilan restoratif tidak mengenal metode pembalasan, akan tetapi lebih menitikberatkan pada pemulihan. Kontribusi whistle blower dan justice collaborator dalam mengungkap kasus tindak pidana serius dan terorganisir membedakannya dengan kasus biasa, sehingga menjadi dasar untuk menghindarkannya dari pemidanaan. Kebijakan teknis perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator meliputi: kualifikasi dan syarat perlindungan hukum, jenis perlindungan hukum, model perlindungan kolaboratif, model perlindungan komprehensif, putusan yang bersifat integratif dan pembebasan bersyarat.

Kata kunci : Whistle Blower, Justice Collaborator, Restorative Justice Pembimbing : Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PELAPOR TINDAK PIDANA DAN SAKSI PELAKU YANG

BEKERJASAMA”, tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai

pihak baik secara moril maupun materil.

Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta doa. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

(7)

vii

3. Bapak Dr. Sodikin, S.H., M.H., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai.

4. Bapak Dr. Alfitra S.H., M.H sebagai penguji I dan bapak Dedi Nursyamsi, S.H., M.Hum sebagai penguji II, penulis ucapkan terima kasih atas perbaikan dan saran-saran yang membangun atas skripsi penulis.

5. Ketua dan seluruh staf Perpustakaan Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

6. Seluruh civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Program Double Degree Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.

(8)

viii

8. Om Johar, Om Samiin, kakak ipar Kholid, dan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Raudhatul Mubtadiin, terimakasih atas wejangan dan inspirasinya. Tidak lupa pula untuk guruku sekaligus Om Bapak Dr. KH. A. Juaini Syukri, BA, Drs. Lc, MA, terima kasih atas petuah dan bantuannya baik moril maupun materiil, semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan di murahkan rizkinya. 9. Teman-teman seperjuangan jurusan Peradilan Agama kelas (A) angkatan 2009,

terimakasih atas kebersamaannya selama empat tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan.

10.Sahabat karibku Helmi, Farhan, Asep, Fajar, Waisul, Ihsan, Didin, Adi, Andre, Nisa, Dewi, terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi. 11.Especially Listiani Fansela, seorang yang telah banyak membantu dan

memberikan semangat kepada penulis, sehingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah Swt semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah Swt.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah Swt, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan dalam bidang hukum pada masa-masa berikutnya, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada era globalisasi ini.

Jakarta, 30 Januari 2014

(9)

ix

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIAN UJIAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ...vi

DAFTAR ISI ...ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

G. Kerangka Teori ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II Tinjauan Teoretik Kebijakan Legislatif, dan Perlindungan Pelapor Tindak Pidana serta Saksi Pelaku Yang Bekerjasama A. Kebijakan Hukum Pidana dan Kebijakan Legislatif ... 18

B. Bentuk-Bentuk Keadilan ... 25

(10)

x

D. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana ... 44 E. Perlindungan Hukum Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ... 49 BAB III Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Sebagai Kebijakan Legislatif

A. Pengertian Perlindungan Hukum ... 55 B. Latar Belakang dan Sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006 ... 57 C. Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang

Bekerjasama... 59 BAB IV Analisis Kebijakan Legislatif Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama

A. Pentingnya Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ... 67 B. Bentuk Kebijakan Legislatif Dalam Membuat Undang-Undang Yang

Mengatur Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama ... 72 C. Konsep Ideal Perlindungan Hukum Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama ... 74 BAB V Penutup

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, yang dinyatakan dengan jelas dan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimuatnya konsep negara hukum dalam konstitusi negara Indonesia yang merupakan sumber dari segala norma, menunjukkan bahwa Indonesia ingin menjadikan hukum sebagai panglima di negaranya. Namun pada kenyataannya, apa yang di idealkan (das sollen) tidak selalu sesuai dengan realita yang terjadi dalam masyarakat (das sein).

Tingkat kejahatan tindak pidana serius dan terorganisir di Indonesia selama dekade terakhir ini sangat memprihatinkan, misalnya tindak pidana korupsi, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, narkotika/psikotropika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang, kehutanan dan lain sebagainya. Pada tahun 2012 saja, Indonesia menduduki peringkat ke-118 sebagai negara paling korup dari 182 negara.1

Hal ini berarti, kondisi buruk korupsi di Indonesia masih belum banyak berubah dari tahun ke tahun. Peningkatan korupsi di Indonesia kini tidak hanya terjadi dari segi kuantitas, namun kualitas korupsi di Indonesia juga semakin

1

(12)

2

meningkat. Maraknya pemberitaan mengenai jual-beli perkara, mafia hukum, mafia peradilan, mafia pajak, dan makelar kasus, mengindikasikan bahwa bahaya laten korupsi telah menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri. Korupsi di Indonesia saat ini menjadi semakin sistematis dan terorganisir karena melibatkan para aparat penegak hukum.2 Hal ini menjadi sangat ironis, sebab aparat penegak hukum yang seharusnya berfungsi menegakkan hukum justru mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi dan golongan.

Salah satu upaya revolusioner menanggulangi tindak pidana serius dan terorganisir adalah dengan melibatkan peran pelapor tindak pidana (whistle blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator). Whistle blower diartikan sebagai pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan justice collaborator merupakan orang yang mengungkapkan pelanggaran atau kejahatan yang turut dilakukannya.

Di Indonesia hakikat whistle blower dan justice collaborator sekilas secara parsial telah diatur dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistle blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (justice collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama lima penegak hukum.

2

(13)

Dalam Peraturan perundang-undangan tersebut, whistle blower dan justice collaborator belum mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal. Lemahnya perlindungan yang diberikan kepada whistle blower dan justice collaborator ini akan menjadi preseden buruk. Sebab, masyarakat yang berpotensi menjadi whistle blower dan justice collaborator akan menjadi takut untuk melapor dan bekerjasama. Padahal, whistle blower dan justice collaborator memiliki potensi dan peran yang sangat strategis dalam mengungkap kasus-kasus serius dan terorganisir.

Kebijakan legislasi pada prinsipnya merupakan kebijakan yang menentukan arah dan penguatan politik hukum nasional. Oleh karenanya kebijakan legislasi tersebut harus mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan legislasi tersebut, maka perlu adanya alternatif cara pandang baru untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan masalah hukum yang ada saat ini.

(14)

4

Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat, pelaku dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.3

Lahirnya undang-undang kebijakan yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku (justice collaborator) dengan penegak hukum diperkenalkan pertama kali di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia). Untuk kejahatan terorisme, penggunaan justice collaborator dipraktikkan di Italia (1979), Portugal (1980), Irlandia Utara, Spanyol (1981), Prancis (1986) dan Jerman (1989) sedangkan untuk kejahatan narkoba diterapkan di Yunani (1970), Perancis, Luxemburg dan Jerman. Kemudian dalam negara-negara tersebut terminologis justice collaborator dipergunakan berbeda seperti supergrasses (Irlandia), pentiti atau pentito (Italia) yang berarti mereka telah bertobat atau disebut Collaboratore della giustizia.

3

(15)

Pada asasnya, whistle blower dan juga justice collaborator dapat berperan besar untuk mengungkapkan praktik-praktik koruptif lembaga publik, pemerintahan maupun perusahaan swasta. Hal ini dikemukakan oleh Abdul Haris Semendawai dan kawan- kawan sebagai berikut:4

“Peran whistle blower di Indonesia perlu terus didorong, disosialisasikan, dan diterapkan, baik diperusahaan, lembaga pemerintah, dam isntitusi publik lain. Bagaimana peran whistle blower di Indonesia dibangun dan dikembangkan memang membutuhkan waktu dan sebuah proses. Namun praktik pelaporan dan perlindungan terhadap whistle blower bukan tanpa tantangan. Di tengah minimnya perlindungan hukum Indonesia, seorang whistle blower dapat terancam karena laporan atau kesaksiannya atas dugaan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan kemungkinan besar akan memberikan perlawanan untuk mencegah whistle blower memberikan laporan atau kesaksian. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka yang merasa dirugikan dapat mengancam dan melakukan pembalasan dendam. Untuk itu, agar praktik pelaporan dan pengungkapan fakta oleh whistle blower dapat berjalan lebih efektif, dibutuhkan perubahan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 penting untuk diterapkan oleh semua hakim dalam memutus perkara dan selalu dimonitor pelaksanaannya”.

Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa peran whistle blower dan justice collaborator sangat penting, namun perlindungan hukum terhadap mereka masih sangat lemah, oleh sebab itu penulis merekomendasikan solusi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator berupa konsep perlindungan dan pengaturan perlindungan dalam kebijakan legislatif hukum pidana. Solusi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk perumusan Undang-undang khusus tentang whistle blower dan justice collaborator, atau menjadi masukan revisi

4

(16)

6

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013.

Oleh karena itu upaya untuk memperjuangkan optimalisasi perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice callabolator dengan menggunakan pendekatan restorative justice ini harus dimaknai sebagai upaya refilosofi penegakan hukum pidana, atau dengan bahasa sederhana “kembali ke Khittoh” falsafah bangsa Indonesia yaitu musyawarah mufakat.5 Dalam konteks inilah penulisan penelitian skripsi ini penulis angkat dalam judul Kebijakan Legislatif Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelapor Tindak Pidana dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama”.

B. Pembatasan Masalah

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah masalah kebijakan perlindungan hukum terhadap whistle blower dan justice collaborator, oleh karena itu pendekatan yang digunakan terhadap masalah ini adalah pendekatan yang berorientasi pada kebijakan.

Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak melebar dan meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penulisan ini, penulis memfokuskan dan membatasi pembahasan hanya

5

(17)

dalam ruang lingkup penelitian terhadap subtansi hukum yang berkaitan dengan kebijakan legislatif perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator, berupa Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas, dalam penelitian skripsi ini dapat rumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut:

1. Bagaimana kebijakan legislatif tentang perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban?

2. Bagaimanakah konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice?

D. Tujuan Penelitian

Dengan adanya rumusan masalah di atas, diharapkan adanya suatu kejelasan yang dijadikan tujuan bagi penulis dalam skripsi ini. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut :

(18)

8

2. Untuk mengetahui konsep ideal perlindungan hukum terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice.

E. Manfaat Penelitian

Terkait dengan tujuan di atas, maka penulisan penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan praktis sebagai berikut :

1. Sudut pandang teoritis hasil penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan sebuah sumbangan pemikiran dan sekaligus memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia yang berorientasi pada keadilan restoratif.

2. Dalam sudut pandang praktis, hasil penulisan penelitian skripsi ini diharapkan memberi manfaat bagi arah kebijakan legislasi dalam memperbaharui membuat undang-undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dengan pendekatan restorative justice.

(19)

F. Metodologi Penelitian

Setiap penelitian ilmiah memiliki metode pendekatan penelitian.6 Penelitian mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan hokum terhadap whistle blower dan justice collaborator ini menggunakan penelitian hukum normatif. Adapun metode pendekatan yang diterapkan adalah melalui pendekatan perundangan-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Analytical and Conceptual Approach), dan pendekatan persepsional (perceptional approach) dengan menggunakan penalaran deduktif dan/atau induktif guna mendapatkan dan menemukan kebenaran obyektif.

Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Adapun sumber data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library reserach) terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 7

1) Bahan hukum primer (primary resource atau authooritative records), berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya.

2) Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not authoritative records), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan

6

Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997), h.1. Lihat juga Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), h.144

7

(20)

10

hukum primer, seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, artikel-artikel dan lain sebagainya.

3) Bahan hukum tersier (tertiary resource), berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberi petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti berasal dari kamus/leksikon, ensiklopedia dan sebagainya.

Data kepustakaan yang merupakan data utama penelitian ini dikumpulkan melalui metode sistematis guna memudahkan analisis permasalahan.8 Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh, alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Data kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang hukum pidana, khususnya mengenai kebijakan legislatif dalam perlindungan terhadap hukum whistle blower dan justice collaborator. Adapun lokasi penelitian kepustakaan dilakukan di beberapa tempat antara lain di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Umum Universitas Indonesia, Perpustakan Universitas Muhammadiyah Jakarta, serta perpustakaan lain yang menyediakan data sekunder yang sesuai dan diperlukan dalam penelitian ini.

Sebagai akhir dari pengolahan data, data primair dan data sekunder yang diperoleh dalam penelitian dideskripsikan sesuai dengan pokok permasalahan

8

(21)

yang dikaji secara yuridis kualitatif. Deskripsi dilakukan terhadap isi maupun struktur hukum positif yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dalam perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator.

Data yang telah dideskripsikan selanjutnya ditentukan maknanya melalui metode interpretasi dalam usaha memberikan penjelasan atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya dalam suatu bahan hukum terkait pokok permasalahan yang diteliti sehingga orang lain dapat memahaminya.9

Data yang telah dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai pokok permasalahan selanjutnya disistematisasi, dieksplanasi, dan diberikan argumentasi. Langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur hukum atau hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum yang ada. Pada tahap eksplanasi dijelaskan mengenai makna yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis. Sedangkan pada tahap argumentasi diberikan penilaian terhadap data dari hasil penelitian ini untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya.

Oleh karena itu, metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui analisis yuridis kualitatif. Adanya penerapan analisis yuridis kualitatif itu sangat membantu

9

(22)

12

dalam proses memilih, mengelompokkan, membandingkan, mensintesakan, dan menafsirkan secara sistematis untuk mendapatkan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.10

G. Kerangka Teori

Pada hakikatnya Indonesia telah mendasarkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam konsep negara hukum secara umum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.11

Karena hukum pada dasarnya sangat berkaitan dengan sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan dan merupakan dasar utama berdirinya suatu negara. Hukum merupakan sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat atau antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lain.12

Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan fodasi pentingnya, yaitu keadilan, kebenaran, hukum dan moral. Akan tetapi dari keempat nilai tersebut, menurut filosof besar bangsa Yunani yaitu Plato, keadilan

10

Lilik Mulyadi, Hukum Pidana Adat: Pengkajian Asas, Teori, Praktek dan Prosedurnya, h. 22. Lihat juga Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), h.54.

11

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h.297.

12

(23)

merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato: “justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues”.13

Dalam konteks kebijakan legislatif, amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945; “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Berbicara mengenai kebijakan legislatif maka tidak dapat dipisahkan dengan pembahasan politik hukum nasional, dimana kerangka pikir terhadap kebijakan legislatif merupakan wujud dari penguatan politik hukum nasional itu sendiri. Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan defenisi politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu, yang meliputi:14

a. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten.

b. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan-ketentuan

13

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), h.52. Lihat juga Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2010), h.6

14

(24)

14

hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.

c. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya.

d. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.

Defenisi politik hukum diatas merupakan defenisi politik hukum yang paling komprehensif, disebabkan karena mencakup keseluruhan wilayah kerja politik hukum yang meliputi:15

a. Teritorial berlakunya politik hukum.

b. Proses pembaruan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi ius constituendum.

Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, maka menurut Sudarto, politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat.16 Sehingga dalam melaksanakan politik hukum pidana berarti mewujudkan peraturan-peraturan

15

Ibid, h. 32

16

(25)

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Dengan demikian, penal policy atau kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat udang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif), dan dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).17

Kebijakan legislatif adalah tahap yang sangat penting dalam sutau proses pembuatan undang-undang, agar hukum senantiasa tidak tertatih-tatih mengejar perkembangan masyarakat yang begitu pesat yang disertai dengan perubahan informasi dan kecanggihan teknologi, maka kebijakan legislatif yang tercermin dalam kebijakan program legislasi nasional tidak hanya dijadikan persoalan politik yang menentukan arah pelaksanaan kekuasaan negara oleh eksekutif dan legislatif, akan tetapi keputusan penentuan kebijakan legislasi harus berdasarkan pada kepentingan umum yang berlandaskan hati nurani rakyat.

Terdapat dua konsep keadilan dalam hukum pidana yang mempengaruhi perubahan fundamental dalam sistem hukum pidana, yaitu keadilan retributif (retributive justice) dan keadilan restoratif (restorative justice). Kedua konsep ini memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat beberapa hal tentang konsep-konsep dasar dalam hukum pidana (formil dan materiil) dan penyelenggaraan peradilan

17

(26)

16

pidana.18 Secara filosofis, pentingnya kebijakan legislatif dalam perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator telah melahirkan pergeseran perspektif, dari perspektif retributive justice kepada restorative justice.

Penyelesaian perkara pidana dalam perspektif restorative justice ini dapat memberikan porsi yang seimbang antara kepentingan dan hak asasi manusia baik dari pelaku maupun korban juga masyarakat, sehingga implikasinya perbaikan situasi dan kondisi (harmonisasi) pasca terjadinya kejahatan dapat terwujud. Dengan demikian pendekatan restorative justice ini dapat digunakan sebagai solusi optimalisasi perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana.

H. Sistematika Penulisan

Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi penelitian tentang kebijakan legislative perlindungan hukum whistle blower dan justice collaborator, maka penulis memberikan sistematika penulisan yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika penulisan ini dibagi menjadi lima bab, disusun sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian, kerangka teori dan sistematika penulisan.

18

(27)

Bab II Tinjauan teoretik kebijakan legislatif, dan perlindungan pelapor tindak pidana serta saksi pelaku yang bekerjasama. Dalam bab ini menjelaskan tentang kebijakan hukum pidana dan kebijakan legislatif, kebijakan penggunaan hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana serius dan terorganisir, perlindungan pelapor tindak pidana, dan perlindungan saksi pelaku yang bekerjasama.

Bab III Perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 sebagai kebijakan legislatif, dalam bab ini menguraikan tentang pengertian perlindungan hukum, latar belakang dan sistematika Undang-undang No.13 Tahun 2006, dan perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.

Bab IV Analisis kebijakan legislatif perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bab ini menjelaskan tentang pentingnya perlindungan khusus terhadap pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, bentuk kebijakan legislatif dalam membuat undang-undang yang mengatur perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama, dan konsep ideal perlindungan hukum pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerjasama.

(28)

18 BAB II

TINJAUAN TEORETIK KEBIJAKAN LEGISLATIF, DAN PELAPOR TINDAK PIDANA SERTA SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA

A. Kebijakan Legislatif dan Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan Legislatif terdiri dari dua susunan kata, yaitu Kebijakan dan Legislatif. Kebijakan secara etimologi mempunyai beberapa arti seperti kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan.1 Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan tersebut mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.2

Sedangkan istilah legislatif atau legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu Legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur berkumpul (untuk membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliament, suatu istilah yang menekankan unsur bicara (parler) dan merundingkan. Sebutan lain

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 115

2

(29)

mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan people’s representative body atau Dewan Perwakilan Rakyat.3

Kebijakan legislatif menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dengan menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau di programkan itu.4

Terlepas dari pengertian kebijakan telah penulis jelaskan diatas, dalam konteks kebijakan hukum pidana, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal lawl policy, atau strafrechtspolitiek. Oleh karena itu, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.5

Mencermati pengertian tersebut, maka kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan.

3

Ibid, h. 315

4

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1996), Cet. II, h. 59

5

(30)

20

Apa yang disebut sebagai kejahatan juga mengalami pergeseran. Munculnya istilah kriminalisasi dan dekriminalisasi menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori jahat dan tidak jahat itu tidak statis. Suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam dengan pidana dalam undang-undang disebut kriminalisasi, sedangkan dekriminalisasi adalah dihilangkannya sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.6 Dewasa ini muncul istilah white collar crime (korupsi), money laundering (pencucian uang), terorisme, dan sebagainya yang tidak dikenal pada masa lalu. Kondisi dan perubahan ekonomi dapat menyebabkan munculnya kejahatan baru.

Kejahatan merupakan sebagian perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.7 Kejahatan juga merupakan perbuatan anti sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita.8 Perbuatan anti sosial itu merupakan bentuk perilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Perilaku yang menyimpang merupakan ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.9

6

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), (Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 57

7

Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terj: Koesnoen, (Jakarta: Pembangunan, 1970), h. 10

8

Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1981), h. 21

9

(31)

Berbicara tentang masalah politik hukum pidana, maka akan terkait dengan politik hukum dan politik kriminal. Menurut Utrecht, politik adalah suatu jalan (kemungkinan) untuk memberi wujud sungguh-sungguh kepada cita-cita.10 Sedangkan politik menurut Logemann adalah memilih beberapa macam cita-cita sosial tertentu dan berusaha dengan segala daya yang ada untuk mencapai cita-cita. Oleh karena itu, wajar apabila Hans Kelsen membedakan politik dalam dua pengertian, yaitu politik sebagai etika dan politik sebagai tehnik. Politik sebagai etika, berarti politik itu memilih dan menentukan tujuan-tujuan sosial mana yang harus harus diperjuangkan, dan Politik sebagai tehnik berarti politik memilih dan menentukan jalan-jalan apa dan mana harus ditempuh untuk merealisasi tujuan-tujuan sosial.11

Bagaimana hubungan antara politik dan hukum? Dal konteks ini, Mahfud MD berpendapat bahwa, hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), dan politik sebagai independent variable (variabel berpengaruh).12 Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud MD merumuskan politik hukum sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.

10

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, 1962), h. 127

11

Ibid, h. 127

12

(32)

22

Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang sebagai sub sistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut : 13 1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. 2) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Politik hukum pidana selain terkait dengan politik hukum juga terkait dengan politik kriminal atau dikenal dengan kebijakan kriminal dan criminal policy. Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas, yaitu :14

a. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana

b. Dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi

13

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 20

14

(33)

c. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Dalam konteks penguatan politik hukum pidana, menurut Sudarto politik hukum pidana (dalam tataran mikro) sebagai bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat di hormati.15

Di dalam wacana teori hukum pidana, subtansi kebijakan formulatif (kebijakan legislatif) bertitik tolak dari tiga pilar, yaitu : Berkaitan dengan masalah tindak pidana (kriminalisasi), masalah pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan pemidanaan.16 Tiga hal tersebut tiada lain merupakan bagian dari politik kriminal, dalam kewenangan menetapkan hukum pidana ini banyak ditentukan maupun dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor politik, budaya, ekonomi maupun tujuan nasional pada umumnya.

Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna atau usaha mewujudkan peraturan

15

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 23. Lihat juga Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 13

16

(34)

24

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.17 Oleh karena itu, apabila mengabaikan informasi hasil penelitian dari kriminologi akan mengakibatkan terbentuknya undang-undang yang tidak fungsional.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal law enforcement policy, pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan dapat memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikatif (kebijakan yudikatif) dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif). Tahap formulasi adalah tahap penetapan atau perumusan hukum pidana oleh pembuat undang-undang atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap aplikasi adalah tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan, sedangkan tahap eksekusi adalah tahap pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana atau eksekusi pidana.

Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi menurut Barda Nawawi Arief merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana melalui kebijakan hukum pidana. Kesalahan kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pada tahap aplikasi dan eksekusi. 18

17

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, h. 93

18

(35)

Oleh karena itu tahap formulasi atau pembuatan peraturan perundang-undangan pidana menduduki peranan penting karena pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan itu sendiri akan mempengaruhi kehidupan masyarakat, sehingga tidak dapat disangkal lagi kalau pembuatan undang-undang merupakan proses sosial dan politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena akan memberikan bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertentu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa undang-undang mempunyai dua fungsi yaitu : ungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental. 19

B. Bentuk-Bentuk Keadilan

Teori keadilan memiliki variasi bentuk. Adapun bentuk-bentuk yang paling umum dikenal di masyarakat adalah Utilitarian, Keadilan Retributif, Keadilan Restoratif, dan Keadilan Distributif. Masing-masing bentuk tersebut memiliki tokoh-tokoh yang berbeda sudut pandang dalam mendefinisikan keadilan.

1. Utilitarian

Sudikno Mertokusumo menyebutkan:20

19

Ibid, h. 94

20

(36)

26

“Teori utilistis yang dipelopori oleh Jeremy Bentham menentukan

bahwa hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number)”.

Dengan demikian, menurut teori utilistis dalam pandangan Bentham, bahwa tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Lebih lanjut dijelaskan Rasjidi dan Thania bahwa:

“Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.21

Menurut pandangan utilitarian, keadilan merupakan maksimalisasi kesejahteraan total atau setidaknya rata-rata bagi setiap individu yang bersangkutan. Hukuman merupakan perlakuan yang buruk terhadap seseorang, dan oleh karena itu tidak baik untuk diterapkan. Namun, hukuman mungkin diperlukan agar dapat memaksimalkan seluruh kebaikan dalam jangka panjang.

2. Keadilan Retributif

Keadilan retributif adalah teori keadilan yang menganggap bahwa hukuman itu, jika proporsional, merupakan respons secara moral terhadap

21

(37)

kejahatan. Hal ini semata-mata demi kepuasan dan manfaat psikologis baik bagi pihak yang dirugikan (korban) maupun masyarakat.

3. Keadilan Distributif

Prinsip-prinsip keadilan distributif merupakan prinsip-prinsip normatif dirancang untuk memandu alokasi manfaat dan beban kegiatan ekonomi. Prinsip yang relatif sederhana dari keadilan distributif adalah ketatnya egalitarianisme, yang menjadi pendukung alokasi material ke semua anggota masyarakat. John Rawls adalah salah satu tokoh penganut paham keadilan ini.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.22 Adapun teori bagi keadilan distributif ini dibagi lagi menjadi: teori egalitarianistis, teori sosialistis, teori liberalistis, dan keadilan sosial

4. Keadilan Restoratif

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu

perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa Arab Purba, bangsa Yunani, dan bangsa

22

(38)

28

Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.23

Istilah umum tentang pendekatan restorative justice diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash. Dalam tulisannya yang mengulas tentang reparation dia mengatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.24 Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.25

Dalam kajian tatabahasa, kata “Restorative Justice” berasal dari dua kata, yaitu kata “Restorative” atau “Restore” yang artinya adalah memperbaiki atau memulihkan,26 dan kata “Justice” yang berarti keadilan, peradilan, adil, hakim.27

23

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 103

24

Ibid, h. 103

25

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek penegakan Hukum Pidana, (Disertasi FH UI), h. 2

26

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 482

27

(39)

Menurut terminologis, pengertian restorative justice banyak para pakar yang menyatakannya, dalam kamus “Black’s Law Dictionary” misalnya diartikan sebagai berikut :

An alternative delinquency sanction focused on repairing the harm done, meeting the victim’s need, and holding the offender responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balance approach, producing the least restrictive dis position while stressing the offender’s accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make restitution, to perform community service, or to make amends in some other way that the court order.28

Intinya adalah restorative justice merupakan sanksi alternatif bagi pelaku kejahatan yang berfokus pada perbaikan kerusakan yang dilakukan, memenuhi kebutuhan korban, dan menuntut pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya. Sanksi keadilan restoratif menggunakan pendekatan yang seimbang, menghasilkan disposisi yang paling ketat sementara tidak mengabaikan pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan bantuan kepada korban kejahatan. Pelaku dapat dituntut untuk mengganti kerugian (ganti rugi), kerja sosial, atau menebus kesalahan tersebut dengan cara lain atas keputusan pengadilan.

Sedangkan menurut Dignan, restorative justice adalah :29

Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing

28 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, h. 1428 29

(40)

30

and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.

Menurut Dignan, restorative justice adalah merupakan suatu konsep kerja untuk menanggapi kesalahan-kesalahan dan konflik yang penerimaannya sangat cepat dan didukung oleh hal-hal yang bersifat pendidikan, hukum, kerja sosial, dan konsultan profesional juga komunitas- komunitas. Restorative justice merupakan nilai dasar untuk pendekatan untuk menanggapi kesalahan-kesalahan dalam penanganan dan konflik, dengan fokus yang seimbang pada seseorang menderita (korban), orang- orang yang menyebabkan penderitaan (pelaku), dan komunitas (masyarakat).

Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.30

PBB mendefinisikan restorative justice sebagai “a way of responding to criminal behavior by balancing the need of the community, the victims an the offenders”,31

intinya adalah sebuah penyelesaian terhadap prilaku pidana dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban dan pelaku.

30

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia, h. 3

31

(41)

Dapat disimpulkan, bahwa pengertian restoratif justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan yang lebih merujuk terhadap pencapaian keadilan yang menekankan pada pemulihan (to restore) atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan korban, pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang berkepentingan. Pemulihan tersebut bukan hanya kepada diri korban, tetapi juga terhadap pelaku dan masyarakat, dengan tujuan untuk mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya dimasa mendatang.

Pada dasarnya, restorative justice sebagaimana telah disinggung dimuka bukanlah konsep yang baru. Eksistensinya sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun upaya penanganan perkara pidana, pendekatan restorative justice justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana, konsep restorative justice lahir dari nilai-nilai masyarakat adat yang telah ada selama ini.32

Menurut Muladi bahwa harus diakui perkembangan konsep restorative justice tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 dan Mandelsohn pada tahun 1949. Perkembangan ini melalui beberapa tahap, pertama tahap penal victimology/

32

(42)

32

interactionist victimolgy, tahap kedua general victimolgy, tahap ketiga berkembang pada tahun 1970-an menandai viktimolgi sebagai suatu disiplin penelitian, dan tahap keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987 yang memperluas jangkauan definisi viktimologi sehingga mencakup korban pelanggaran HAM sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah.33

Wright mengatakan bahwa tujuan utama dari restorative justice adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. hal ini berarti bahwa proses penanggulanagan tindak pidana melalui pendekatan restorative justice adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang didalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban melalui cara-cara tertentu yang disepakati oleh para pihak yang terlibat didalamnya.

Prinsip utama penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice merupakan suatu penyelesaian yang bukan hanya sekedar alat untuk mendorong seseorang untuk melakukan kompromi terhadap terciptanya kesepakatan, akan tetapi pendekatan dimaksud harus mampu menembus ruang hati dan pikiran para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian dalam memahami makna dan tujuan dilakukannya suatu

33

(43)

pemulihan dan sanksi yang diterapkan adalah sanksi yang memulihkan dan bersifat mencegah.34

Oleh karena itu, proses penyelesaian konflik dalam pendekatan restorative justice bukan hanya ditujukan untuk pemulihan saja tetapi juga bertujuan untuk mengurangi tindak pidana dan mencari sebab- sebab yang mendasari timbulnya tindak pidana dimaksud sehingga dengan demikian masyarakat atau pribadi lainnya dapat mencegah terulangnya kembali tindak pidana dimaksud.

Upaya restorative justice adalah upaya yang menggunakan keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan anatara para pihak yang terlibat. PBB mengemukakan beberapa prinsip yang mendasari program restorative justice, yaitu sebagai berikut :

1. That the response to crime should repair as much as possible the harm suffered by the victime, yaitu penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu tujuan utama manakala pendekatan restorative justice dipakai sebagai pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana.35

2. That offenders should be brought to understand that their behavior is not acceptable and that it had some real consequences for the victim and

34

Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 107

35

(44)

34

community, yaitu pendekatan restorative justice dapat dilakukan hanya jika pelaku menyadari dan mengakui kesalahnnya. Dalam proses restoratif, diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut serta akibatnya bagi korban dan masyarakat.36

3. That offender can and should accept responsibility for their action, artinya ketika pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela bertanggungjawab atas kerusakan yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam pendekatan restorative justice, tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya.37

4. That victims should have an opportunity to express their needs and to participate in determining the best way for the offender to make reparation. Eva Achjani Zulfa menyatakan bahwa prinsip ini terkait dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice membuka akses kepada korban untuk berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Partisipasi korban tidak hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting untuk mempengaruhi proses yang berjalan termasuk

36

Ibid, h. 16

37

(45)

membangkitkan kesadaran pada pelaku sebagaimana dikemukakan pada prinsip yang kedua. Konsep dialog yang diusung oleh pendekatan ini memberikan suatu tanda akan adanya kaitan yang saling mempengaruhi antara korban dan pelaku dalam memilih penyelesaian terbaik sebagai upaya pemulihan hubungan sosial diantara keduanya.38

5. That the community has a responsibility to contribute to this process, artinya suatu uapaya restorative justice bukan hanya melibatkan korban dan pelaku saja, akan tetapi juga melibatkan masyarakat. Masyarakat memiliki tanggungjawab baik dalam penyelenggaraan proses ini maupun dalam melaksanakan hasil kesepakatan, maka dalam upaya restorative justice, masyarakat dapat berperan sebagai penyelenggara, pengamat maupun fasilitator. Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat juga merupakan bagian dari korban yang harus mendapatkan keuntungan atas hasil proses yang berjalan.39

Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat dalam konsep pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana antara lain sebagai berikut :

1. Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)

Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh negara, kepada tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang

38

Ibid, h. 17

39

(46)

36

prosedural-prosedural perlindungan hukum tertentu ketika dihadapkan pada penuntutatan atau penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk memberi keseimbangan bagi kekuasaan negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan penghukuman. 40

Diantara proteksi- proteksi yang diidentifikasi yang telah diterima secara internasional dan termasuk gagasan due process adalah hak untuk diduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak untuk mendapatkan persidangan yang adil (fair) serta hak untuk mendapatkan bantuan penasihat hukum.

Dalam proses penyelesaian restorative justice, batas formal selalu diberikan bagi tersangka setiap saat, baik selama dan setelah proses restorative agar hak terangka mendapatkan pengadilan yang fair tetap terjaga. Namun demikian jika tersangka diharuskan untuk melepaskan haknya dan memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses restorative, maka kepada tersangka harus diberi tahu tentang implikasi keputusannya memilih intervensi restorative. Sebaiknya bila dalam putusan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice pelaku membebani tersangka terlalu berat, maka kepada pelaku diberi perlindungan tambahan, tersangka dapat diperbolehkan untuk

40

(47)

melakukan banding terhadap perjanjian apapun yang dicapai dalam proses restorative justice berdasarkan alasan tidak bersalah.41

2. Perlindungan yang Setara

Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan restorative justice, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama, asal bangsa, dan kedudukan sosial lainnya.42

Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan rasa keadilan diantara para partisipan yang berbeda- beda, karena dapat saja salah satu pihak mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik, sehingga akan terjadi suatu ketidaksetraan diantara para pihak yang berpartisipasi dalam suatu proses restorative justice.

Seorang pihak yang tidak berdaya mempunyai potensi untuk menerima suatu perjanjian yang memberinya apa yang jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya dia dapatkan, sehingga dalam proses restorative justice diharapkan seorang mediator harus bersikap adil dan netral dalam membimbing proses mediasi untuk mencapai suatu negosiasi namun tidak juga menutup

41

Ibid, h. 126

42

(48)

38

kemungkinan mediator akan tergoda untuk mendukung posisi pihak yang lebih lemah atau yang lebih kuat.43

3. Hak- hak Korban

Dalam penyelesaian suatu masalah melalui pendekatan restorative justice, hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan hukum dalam proses penyelesainya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya. ditengarai bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dan korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.44

Rowland berpendapat bahwa kepentingan- kepentingan korban sering bersimpangan dengan kepentingan- kepentingan negara. Para pendukung terhadap konsep perlindungan bagi hak- hak korban juga berpandangan adalah jelas tidak adil bagi korban bila negara lebih mengindahkan kebutuhan- kebutuhan material, psikologi, hukum bagi pelaku pelanggar, sementara negara tidak memberikan tanggungjawabnya atas kehidupan yang layak bagi korban. padahal tahap yang sangat mendasar dari proses penyelesaian masalah khususnya advokasi adalah korban harus memperoleh kedudukannya untuk berpartisipasi dalam proses, agar dapat melindungi kepentingan mereka,

43

Ibid, h. 129

44

(49)

termasuk hak untuk memberikan kesaksian (testimony) pada tahapan pemeriksaan kesalahan dan penjatuhan hukuman, hak untuk menerima pemulihan, hak untuk diberi informasi atas sidang-sidang pengadilan dan hak untuk diwakili oleh pengacara.45

4. Proporsionalitas

Gagasan fairness didalam sistem restorative justice didasarkan pada konsensus persetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributif (keseimbangan timbal balik antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan restorative justice dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama. Beberapa korban mungkin hanya menginginkan suatu permintaan maaf yang bersahaja, sementara korban- korban lainnya mungkin mengharapkan restorasi penuh dari pelanggar.46 5. Praduga tidak bersalah

Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus

45

Ibid, h. 131

46

(50)

40

dianggap tidak bersalah. Dalam proses-proses restoratif, hak- hak tersangka mengenai praduga tak bersalah dapat dikompromikan dengan cara, yaitu ; tersangka memiliki hak untuk melakukan terminasi proses restorasi dan menolak proses pengakuan bahwa ia bersalah, dan selanjutnya memilih opsi proses formal dimana kesalahan harus dibuktikan, atau tersangka dapat memperoleh hak untuk banding ke pengadilan dan semua perjanjian yang disepakati dalam proses restorative justice dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Advokat atau penasihat hukum harus disediakan setiap saat untuk memberikan informasi kepada tersangka atas implikasi keikutsertaannya dalam suatu proses restorative yang menegaskan bahwa keikutsertaan dalam proses restorative tidak boleh sebagai suatu pengakuan formal atas kesalahan, dan bahwa pernyataan-pernyataan yang dibuat dalam proses itu harus tidak dapat diterima dalam suatu pemeriksaan pengadilan formal.47

6. Hak Bantuan Konsultasi atau Penasihat Hukum

Dalam proses restorative justice, advokat atau penasihat hukum memiliki peran yang sangat strategis untuk membangun kemampuan pelanggar dalam melindungi haknya vis a vis bantuan penasihat hukum. Dalam semua tahapan proses informal yang restoratif, tersangka daat memberi

47

(51)

informasi melalui bantuan penasihat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan.48

Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpastisipasi dalam sebuah proses restorative justice, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas namanya sendiri.

C. Kebijakan Penggunaan Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Serius dan Terorganisir

Kebijakan untuk melakuakan pencegahan dan penanggulanga kejahatan termasuk pada kebijakan kriminal (criminal policy).49 Penggunaan kebijakan hukum pidana merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan, namun kebijakan hukum pidana bukanlah satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, bahkan keberadaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan pernah menjadi perdebatan, ada yang tidak setuju ada juga yang setuju.

Kebijakan dengan menggunakan hukum pidana ini harus memiliki pedoman pemidanaan, berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan dapat diartikan ketentuan dasar yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan berarti arah

48

Ibid, h. 136

49

(52)

42

yang “seharusnya” ingin dicapai dari penjatuhan pidana atau dapat diartikan juga

maksud yang hendak didapatkan dari pemberian pidana/pemidanaan.

Tujuan pemidanaan mengemban fungsi pendukung dari fungsi hukum pidana secara umum yang ingin dicapai sebagai tujuan akhir adalah terwujudnya kesejahteraan dan perlindungan masyarakat (Social defence dan social welfare)

Tokoh yang tetap mempertahankan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan antara lain Van Bammelen, Macx Ancel, Alf Ross dan Ruslan Saleh. Tujuan pemidanaan secara khusus dapat dilihat dari pendapat Roeslan Saleh, alasan masih diperlukannya hukum pidana adalah :50

 Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan maupun hasil yang akan dicapai semata-mata, tetapi juga harus dilihat seberapa jauh paksaan boleh dilakukan untuk mencapai tujua

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kemampuan ikan untuk menggunakan oksigen tergantung dari tingkat toleransi ikan terhadap perubahan lingkungan, suhu air, pH, konsentrasi CO 2 dan hasil metabolisme seperti

Oleh sebab itu jika pekerja atau salah satu dari operatror mesin sakit, maka barang yang seharusnya selesai pada hari yang ditentukan dan dapat dikirim, tertunda hanya karena

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

Proses pembuatan logam baja metal mall tipe DZA 117 W terbagi dalam beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap I menyetting semua mesin produksi metal mall, tahap II memasukan bahan

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

SHQFHOXSDQXQLWNDELQNHGDODPEDNFDWWDKDSSHQJHF HNDQWDKDSSHPDVDQJDQSLQWX WDKDS SHQXWXSDQ VDPEXQJDQ SODW WDKDS SHQJHFDWDQ SULPHU WDKDS SHQJDPSODVDQ WDKDS SHPHULNVDDQ FDFDW SDGD

Apakah peningkatan pemahaman siswa terhadap dampak bencana banjir melalui pembelajaran pokok bahasan perubahan benda yang diajar menggunakan metode group