• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Oleh

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

THE ANALYSIS OF THE RISK FACTOR OF THE INCIDENT OF PNEUMONIA IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD IN

KABANJAHE GENERAL HOSPITAL, KARO DISTRICT, IN 2013

THESIS

BY

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(4)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Martalena Br. S.Kembaren Nomor Induk Mahasiswa : 117032002

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dekan

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )

Tanggal Lulus: 27 Agustus 2013 Telah Diuji

(dr. Mhd Makmur Sinaga, M.S) Anggota

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua

(5)

pada Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S

2. dr. Arifin Siregar, M.S 3. Drs. Jemadi, M.Kes

PERNYATAAN

(6)

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO

TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

Martalena Br. S. Kembaren 117032002/IKM

ABSTRAK

(7)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.

Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita

ABSTRACT

i

(8)

Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.

It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.

Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old

KATA PENGANTAR

ii

(9)

Pujian dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal

melalui Yesus Kristus, atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul ”Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013” ini dengan baik.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan

pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana

dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak.

Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk

mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat dan seluruh dosen/ pegawai di FKM – USU

4. Bapak Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku pembimbing 1 dan Bapak

dr. Mhd. Makmur, M.S selaku pembimbing 2, yang telah bersedia meluangkan

iii

(10)

waktu dan pikiran dalam memberikan saran dan bimbingan sehingga tesis ini

dapat diselesaikan.

5. Direktur Rumah Sakit Umum Kabanjahe, yang telah memberi kesempatan

melaksanakan penelitian.

6. Tesis ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Alm. G. S. Kembaren dan Ibunda M. Br. Perangin-angin atas segala kasih dan sayang yang telah penulis terima, dan kepada suamiku Ramli Purba, S.Si

terimakasih atas semua doa, dukungan baik materi dan moril, motivasi yang

selalu mendorong penulis untuk selalu tekun dan semangat menjalani

perkuliahan dan menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. Keluarga Sapta Novianto Sembiring Kembaren, AMK dan keluarga Sri Intan

Oktavina Br. Sembiring Kembaren, AMK. Teristimewa buat motivator-motivator

muda (Mazmur Yudea, Aprian Vitaranta, Dwi Afnelia Rivana Okta, Vina

Valentina, Vitalia Mastina, Fidelia Griselda), buat semangat dan doanya.

8. Rekan-rekan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi

AKKm/E angkatan 2011

Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna.

Segala kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis.

Syaloom...Tuhan Yesus Memberkati.

Medan, Oktober 2013

Martalena Br. S. Kembaren

(11)

117032002/IKM RIWAYAT HIDUP

Martalena Br. S. Kembaren, lahir pada tanggal 3 Maret 1985 di Kabanjahe,

beragama Kristen Protestan, anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan ayahanda

Alm. G. Sembiring Kembaren dan M Br. Perangin-angin. Menikah dengan Ramli

Purba, S.Si, dan sekarang menetap di Jalan Bunga Raya, Komplek Griya Asam

Kumbang Blok B No. 48 Medan Sunggal.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Taman Kanak-kanak

GBKP Ora Et Labora pada tahun 1990 dan diselesaikan pada tahun 1991, Sekolah

Dasar Negeri 5 No. 040447 Kabanjahe pada tahun 1991 dan diselesaikan pada tahun

1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kabanjahe pada tahun 1997 dan

diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kabanjahe pada

tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003, Strata Satu (S1) di Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Epidemiologi pada tahun

2004 dan diselesaikan pada tahun 2008, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2011

sampai dengan tahun 2013.

Pada tahun 2008 sampai saat ini menjadi Dosen tetap di Program Studi Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Deli Husada

Delitua, Medan.

iv

(12)

DAFTAR ISI

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia ... 17

2.4. Faktor Risiko ... 18

2.4.1 Faktor Anak ... 20

2.4.2 Faktor Lingkungan ... 25

2.4.3 Faktor Perilaku ... 26

2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan... 26

2.5. Klasifikasi dan Diagnosa Pneumonia ... 27

2.5.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi 27 2.5.2. Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia ... 28

2.5.3. Pola Tata Laksana Pneumonia Menurut Depkes RI ... 28

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Menurut Ditjen PP dan PL ... 29

2.5.5 Diagnosis Pneumonia ... 30

2.6. Penanggulangan Pneumonia ... 31

(13)

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ... 31

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.6. Metode Pengukuran ... 45

3.7. Metode Analisis Data ... 47

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum RSU Kabanjahe Kabupaten Karo ... 50

4.2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada Balita ... 51

4.2.1. Gambaran Faktor Balita ... 51

4.2.2. Gambaran Faktor Lingkungan ... 53

4.2.3. Gambaran Faktor Perilaku ... 55

4.2.4. Gambaran Faktor Pelayanan Kesehatan ... 55

4.3. Analisis Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 56

4.4. Analisis Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 58

4.5. Analisis Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 59

4.6. Analisis Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 60

4.7. Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61

(14)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 69

5.1. Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 69

5.1.1. Status Imunisasi Campak ... 69

5.1.2. Status Imunisasi DPT ... 70

5.1.3. Status Pemberian Vitamin A ... 71

5.1.4. Status Gizi Balita ... 72

5.1.5. ASI Eksklusif ... 74

5.1.6. Berat Badan Lahir ... 75

5.1.7. Riwayat Asma ... 76

5.2. Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 77

5.2.1. Pendidikan Ibu... 77

5.2.2. Pekerjaan Ibu ... 78

5.2.3. Sosial ekonomi ... 79

5.3. Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 80

5.4. Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 81

5.5. Analisis Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 82

5.6. Faktor Risiko Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 83

5.7. Keterbatasan Penelitian ... 85

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 93

(15)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

2.1. Kriteria WHO Terhadap Pengobatan Pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai Dengan

Klasifikasi Klinis Penderita ... 30

2.2. Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak. ... 30

3.1. Besar Sampel Berdasarkan Variabel Penelitian Sebelumnya ... 41

3.2 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 45

3.3. Dasar Perhitungan Studi Kasus Kontrol ... 48

4.1 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 51

4.2 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 53

4.3 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Perilaku di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55

4.4 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55

4.5 Pengaruh Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 56

4.6 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 58

4.7 Pengaruh Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 59

4.8 Pengaruh Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 60

4.9 Hasil Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61

ix

(16)

4.10 Analisis Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 62

4.11 Langkah Pertama Regresi Logistik Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 64

4.12 Hasil Uji Interaksi ... 65

4.13 Hasil Akhir Analisis Regresi Logistik Ganda Untuk Pemodelan Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 65

x

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Tabel Halaman

2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 33

2.2. Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan ... 35

2.4. Kerangka Konsep ... 36

3.1 Skema Penelitian ... 39

xi

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 94

2. Master Data Penelitian ... 98

3. Surat Penelitian ... 100

4. Hasil Output SPSS Penelitian ... 101

xii

(19)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.

Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita

ABSTRACT

(20)

Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.

The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.

It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.

Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old

KATA PENGANTAR

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

Development Goals (MDGs) yang sering disebut Tujuan Pembangunan Milenium

berkomitmen mewujudkan tujuan MDGs tersebut, sebagai perwujudan peningkatan

kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik. Secara nasional

komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai Dokumen Perencanaan Nasional,

antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun

2004 – 2025, kemudian dipertegas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJMN) tahun 2010–2014 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan

(Bappenas, 2010).

Sampai tahun 2010, Indonesia telah mencapai berbagai sasaran dari Tujuan

Pembangunan Milenium yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (a)

sasaran yang telah dicapai; (b) sasaran yang menunjukkan kemajuan signifikan dan

diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on track); dan (c) sasaran yang masih

memerlukan upaya keras untuk pencapaiannya (Bappenas, 2010). Salah satu sasaran

dari Tujuan Pembangunan Milenium yang telah menunjukkan kemajuan signifikan

dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 adalah keberhasilan pembangunan

kesehatan di Indonesia untuk menurunkan angka kematian balita dari 97 per 1.000

kelahiran pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan pada

(22)

tahun 2011 telah berhasil turun sampai 32 per 1.000 kelahiran. Sehingga pada tahun

2011 dari 41 negara bagian dari Asia-Pacific, Indonesia menduduki posisi ke-17

negara yang memiliki jumlah kematian anak usia dibawah 5 tahun (SDKI, 2007;

UNICEF, 2012a).

Masa lima tahun pertama merupakan masa yang sangat peka terhadap

lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulangi lagi, maka masa

balita disebut juga sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan”

(window opportunity) dan “masa kritis” (critical period). Masa balita merupakan

periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung

pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak

selanjutnya (Depkes RI, 2006). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan

gizi dan rawan terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan

perkembangan menjadi terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian (WHO,

2008).

The United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bahwa angka

kematian balita adalah salah satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan

masyarakat. Dari 6,9 juta kematian anak dibawah 5 tahun yang terjadi di tahun 2011

diseluruh dunia, hampir dua pertiga (64%) disebabkan karena penyakit menular

dengan kondisi seperti pneumonia, diare, malaria, meningitis, tetanus, HIV dan

(23)

Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun

(Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain (Depkes RI, 2002).

Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pneumonia merupakan

penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara balita. Proporsi pneumonia

sebagai penyebab kematian sebesar 15,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia

merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang

berkontribusi terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia (Riskesdas,

2007).

Menurut Wilson (2006), pneumonia merupakan proses infeksi akut yang

mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman

tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan

laboratorium. Pneumonia juga didefenisikan sebagai proses infeksi akut yang

mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali

bersamaan dengan proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronchopneumonia

(Pusat Informasi Penyakit Infeksi, 2007).

Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya

tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika

Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa (Misnadiarly, 2008). Di Amerika Serikat

misalnya pada tahun 2007 terdapat 1,2 juta orang dirawat di rumah sakit dengan

pneumonia dan lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini, di dunia setiap

20 detik seorang anak meninggal akibat pneumonia (CDC, 2012). Daerah Eropa dan

(24)

pneumonia pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun

(Ostapchuk, dkk, 2004). Menurut UNICEF pada tahun 2010 dari hasil distribusi

penyebab kematian 7,6 juta balita di dunia, kontribusi terbesar adalah disebabkan

oleh pneumonia yaitu sebesar 18%, yang terjadi pada postneonatal sebesar 14% dan

neonatal sebesar 4% (UNICEF, 2012b). Didalam Pedoman Pengendalian ISPA tahun

2011 menyebutkan bahwa di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita

meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik). Kematian akibat pneumonia sangat

terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih

dari 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi dinegara berkembang.

Di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita meninggal

dunia setiap tahunnya atau sekitar 98 anak meninggal setiap jam. Pneumonia

merupakan “predator” balita nomor satu di negara berkembang. Kematian umumnya

adalah pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007). WHO

memperkirakan lebih dari 90% kematian anak disebabkan oleh penyakit infeksi

pneumokokus yang terjadi di negara berkembang (PERSI, 2011). Dari 15 negara

dengan jumlah tertinggi kasus baru pneumonia, Indonesia menempati posisi ke-enam

dengan rincian, India (43 juta), China (21,1 juta), Pakistan (9,8 juta), Bangladesh (6,4

juta), Nigeria (6,1 juta) dan Indonesia (6,0 juta) (WHO, 2008).

Proporsi kematian balita akibat pneumonia di Indonesia mencapai 30 %.

Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000

(25)

Indonesia, prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun

2002 menjadi 11,2 % pada tahun 2007.

Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun

2010 diperoleh jumlah kasus pneumonia yang meningkat secara bermakna. Untuk

tahun 2007 jumlah kasus pneumonia pada balita sebanyak 477.420 kasus (21,52%),

tahun 2008 sebanyak 392.923 kasus (18,81%), tahun 2009 sebanyak 390.319 kasus

(22,18%), tahun 2010 sebanyak 499.259 kasus (23%), dan tahun 2011 sebanyak

480.033 kasus (20,59%). Case Fatality Rate (CFR) pneumonia paling tinggi di antara

10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu tahun 2006 sebesar

2,92%, selanjutnya pada tahun 2007 sebesar 3,8%, pada tahun 2009 sebesar 6,63%

dan pada tahun 2010 sebesar 7,60%. Insiden pneumonia balita tertinggi (>4%) pada

tahun 2005 ada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka

Belitung, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah (Bulletin Jendela

Epidemiologi, 2010).

Pada tahun 2011 dari 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Utara merupakan

provinsi yang menduduki posisi ke-7 tertinggi dengan 16.688 jumlah kasus

pneumonia pada balita. Dengan jumlah kematian balita akibat pneumonia sebanyak

56 kasus (CFR sebesar 3,35‰) (Profil Kesehatan RI, 2012).

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor Risiko

pneumonia. Faktor Risiko yang teridentifikasi meliputi: status gizi, berat lahir rendah,

kurangnya pemberian ASI Eksklusif, imunisasi campak dan kepadatan rumah

(26)

dan berdasarkan publikasi ilmiah, dilaporkan bahwa faktor Risiko yang dapat

meningkatkan insiden pneumonia balita yaitu umur kurang dari 2 bulan, jenis

kelamin laki-laki, status gizi kurang, berat badan lahir rendah, pemberian ASI tidak

memadai, membedung anak (menyelimuti anak) berlebihan, defisiensi vitamin A dan

pemberian makanan terlalu dini (Alimul, A. H., 2008).

Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang bervariasi.

Menurut Prayudhy (2007), faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia

pada balita adalah sosial ekonomi, dimana besar Risiko balita dari keluarga dengan

sosial ekonomi yang rendah untuk terkena pneumonia adalah 1,75 kali lebih besar

dibandingkan dari keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi. Faktor lingkungan

yang terdiri dari kepadatan rumah, ventilasi rumah, dan letak dapur. Besarnya Risiko

balita yang tinggal di rumah padat untuk terkena pneumonia 1,71 kali lebih besar

dibandingkan yang tinggal di rumah tidak padat. Untuk ventilasi rumah yang buruk,

balita akan beRisiko terkena pneumonia 1,78 kali lebih besar dibandingkan yang

tinggal di rumah dengan ventilasi rumah baik. Sedangkan untuk letak dapur, dimana

besarnya Risiko balita yang kamar tidurnya menyatu atau dekat dengan dapur untuk

terkena pneumonia adalah 1,91 kali lebih besar dibandingkan yang jauh dari dapur.

Sedangkan menurut Heda Melinda, Enny Harliany dan Nia Adriani (2010), faktor

Risiko terjadinya morbiditas pneumonia berat pada balita adalah kurangnya sinar

matahari yang masuk kedalam rumah dan balita tidak mendapat ASI secara Eksklusif.

Pada tahun 2011, Evi Risa, Hammad dan Ferliansyah menyatakan bahwa

(27)

balita akan meningkatkan Risiko kejadian pneumonia pada anak. Susi Hartati (2011),

menyatakan di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta, faktor yang berhubungan dengan

kejadian pneumonia pada balita yaitu usia, riwayat pemberian ASI, status gizi,

riwayat imunisasi campak dan imunisasi DPT. Sebuah penelitian Hospital-Based

yang dilakukan oleh Shah, et al (1996), dilakukan pada 400 anak dibawah usia 5

tahun untuk mengidentifikasi faktor Risiko pneumonia berat. Faktor Risiko yang

muncul dan signifikan yaitu usia muda, imunisasi dan berbagi kamar tidur,

pendidikan orang tua, pencemaran lingkungan, penghentian pemberian ASI pada bayi

muda, kekurangan gizi, tidak berespon terhadap pengobatan dini dan pemanfaatan

obat non-allophatic. Koreksi faktor-faktor ini mungkin dapat mengurangi kematian

akibat ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh, et al. (2009) pada 200 anak

usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai criteria dari WHO di

rumah sakit di India didapatkan faktor Risiko yang terkait dengan kegagalan

pengobatan dan memerlukan perubahan antibiotik serta lamanya hari rawat di rumah

sakit adalah kepadatan rumah dan tidak mendapatkan ASI Eksklusif.

Melihat banyaknya faktor Risiko yang berhubungan dengan kejadian

pneumonia dan tingginya angka kematian akibat pneumonia pada balita, maka

strategi penanggulangan pneumonia penting dilakukan oleh setiap Negara untuk

mendukung tercapainya tujuan keempat dari MDGs tahun 2015 yaitu mengurangi

kematian balita 2/3 dari angka kematian tahun 1990.

Survei pendahuluan yang dilakukan, pneumonia merupakan salah satu

(28)

yang terjadi pada balita. Dimana Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang

digolongkan kedalam penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan

menduduki posisi pertama yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di

Kabupaten Karo. Jumlah kasus pneumonia pada balita yang terjadi di Kabupaten

Karo adalah 283 kasus yang menyebar di 17 kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten

Karo, 2012). Dari jumlah seluruh kasus tersebut 96 kasus tercatat sebagai pasien

rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Melihat masih

tingginya kasus pneumonia di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, salah satu strategi

yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus pneumonia adalah dengan

melihat faktor Risiko terjadinya pneumonia. Dengan diketahuinya faktor Risiko

tersebut diharapkan perencanaan pencegahan dan penanggulangan penyakit

pneumonia pada balita dapat lebih efektif.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan kasus pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe

yang masih tinggi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor Risiko

kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

Tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit

(29)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT,

status pemberian vitamin A, status gizi balita, pemberian ASI eksklusif, berat

badan lahir, riwayat Asma) terhadap kejadian pneumonia pada balita di

Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

2. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,

sosial ekonomi) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit

Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

3. Menganalisis pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga)

terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe

Kabupaten Karo

4. Menganalisis pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap

kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe

Kabupaten Karo

5. Menganalisis faktor Risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap

kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe

Kabupaten Karo

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Ada pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status

(30)

lahir, riwayat Asma), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah

Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

2. Ada pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial

ekonomi), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum

Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.

3. Ada pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga),

terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe

Kabupaten Karo tahun 2013.

4. Ada pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian

pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

tahun 2013.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian menjadi acuan sebagai sumber informasi mengenai kejadian

pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo

sehingga memberikan masukan kepada Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan

Kabupaten Karo untuk dapat disusun langkah nyata menurunkan serta

menanggulangi kasus pneumonia pada balita.

2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai

kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan

(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses

infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini

berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas

napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia <

2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1

tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5

tahun (Depkes RI, 2002b).

Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim

paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan

awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer

atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut

Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru,

dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli,

serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.

UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari

infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik

mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai

(32)

salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru

(jaringan alveoli).

2.2 Etiologi Pneumonia

Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena

dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum

memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai

penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta

pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan

diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru

merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab

pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya

dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian

(Depkes RI, 2002b).

Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di

Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi

WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae

dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian

tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua

pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari

(33)

umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab

terjadinya pneumonia.

2.2.1 Bakteri

1. Streptococcus pneumonia

Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang

sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai

polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik.

Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia

dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia,

meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan

kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah kasus

bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23

merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit

melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan

toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang

mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum

yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi

terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum

tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi

dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap tipe

pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe

(34)

Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus

virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang

kuat terhadap pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya

cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit,

yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus

ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase

getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya,

sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun

diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.

Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian

yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari

semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah

pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat

memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk,

1996).

2. Hemophylus influenza

Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian

atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada

anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak

dan orang dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes

pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus

(35)

Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi

saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang

yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat

influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang

tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai

bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus

influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan

supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,

meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun

mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi

klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran

pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal

yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan

pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media

bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke

selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis

septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis

bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.

Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang

diperoleh dari ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi,

tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi

(36)

penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling

sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun).

Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang tidak diobati dapat

mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat

Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat

diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari

dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard.

Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat

Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat

imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya

pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae

tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus

influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik

Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko

nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia

di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2.2.2 Virus

Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang

sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun

virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita,

gangguan ini bias memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar

(37)

terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang

menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

2.2.3 Mikoplasma

Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit

pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,

meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya

berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi

paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah,

bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

2.2.4 Protozoa

Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia

pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia

(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.

Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan,

tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika

ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru

(Misnadiarly, 2008).

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia

Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama

(38)

ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme

pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai

saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia

memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi

mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol

yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan

inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan

pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi

(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.

Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat

menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara

lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah,

terutama selama dan segera setelah lahir.

2.4 Faktor Risiko

Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan

bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang

meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian

ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada

(39)

Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua

umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada

balita berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada

bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara

proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%),

diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).

Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab

kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian

balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar

10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan

bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat

utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di

Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi,

kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat

pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).

Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada

balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor

lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens

pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak

mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak

(40)

Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain

umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat

pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan

tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI,

2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3

faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.

2.4.1 Faktor Anak

a. Umur

Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak

berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok

anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun

mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan

lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko

untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun

dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2

tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.

b. Jenis kelamin

Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2

ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan

pneumonia (Depkes RI, 2004). Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini

disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil

(41)

tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang

dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak

menyerang balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan

(Sutrisna, 1993).

c. Status Imunisasi Campak

Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada

balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit.

Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi

untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan

untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan

pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% - 76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang

dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak

sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat diharapkan

perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian

ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan

imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi

campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari

hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap

kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996

menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat

(42)

d. Imunisasi DPT

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua

cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang

langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib).

Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia

sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang

memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin

campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu

imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat

ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan

imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali

disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan

ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan

kejadian pneumonia (p value = 0,049: α = 0,05).

e. Status Pemberian Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU

vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian kapsul

vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak

berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur

6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.

(43)

integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan

fungsi paru (Klemm, 2008).

Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian

vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa

anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA,

terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.

f. Status Gizi Balita

Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.

Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi

adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan

kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993).

Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan

untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan

fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto,

2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan

yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI:

1,585-6,433).

g. Pemberian ASI Eksklusif

Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga

memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk

ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan

(44)

ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan

virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan – 24

bulan yang tidak mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna

terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali

disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan

dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).

h. Berat Badan Lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian

yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama

terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti

kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi

terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian

Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat

berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia

dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek

tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9

(95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.

i. Riwayat Asma

Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami

peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi

(45)

sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2

tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia.

2.4.2 Faktor Lingkungan

a. Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan

yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.

Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat

keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin

mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat

pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan

anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita

dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya

menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).

b. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap

harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap

balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau

pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.

c. Sosial Ekonomi

Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih

(46)

mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia.

Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang

lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih

memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan

Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan

kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak

balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali

terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.

2.4.3 Faktor Perilaku

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan

antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang

orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA

dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).

Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi

silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan

menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan

merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki

pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.

2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai

(47)

yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia

2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan

menjadi 3 kategori yaitu:

1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu

pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home

care (Schmidt, 2007).

2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu

pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di

rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak

sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di

rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan

sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)

3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi

setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di

(48)

2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia

Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:

1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua

usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka,

misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada

penderita pasca infeksi influenza.

2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma,

legionella dan Chlamydia

3. Pneumonia virus

4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder,

terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah

(immunocompromised)

Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita

dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.

2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000)

Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:

1. Pemeriksaan

2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya

3. Penentuan klasifikasi penyakit

(49)

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)

Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur <

2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:

1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:

a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi

pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan

yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest

indrawing)

b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat

dinding dada bagian bawah atau nafas cepat

2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi

3 yaitu:

a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding

bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak

diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta)

b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat

c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk

yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)

dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam.

WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan

pada balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas,

(50)

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan

Klasifikasi Klinis Penderita

Kriteria Pneumonia Gejala Klinis dan Pengobatannya Bukan Pneumonia

Pneumonia

Pneumonia Berat

Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding dada. Tidak diberikan antibiotik.

Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada. Pengobatan di rumah dengan pemberian antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.

Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk ke rumah sakit

Pneumonia sangat Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis, tidak mampu makan/minum, kejang, sukar dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk. Dirujuk ke rumah sakit

2.5.5 Diagnosis Pneumonia

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA,

diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran

bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).

Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat

dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak

Umur Anak Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari

Kurang dari 2 bulan 2 bulan sampai 12 bulan 12 bulan sampai 5 tahun

60 kali per menit 50 kali permenit 40 kali permenit

Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara

(51)

otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan

infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil,

berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah.

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas

akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh

meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk

dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian

penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit

kepala.

2.6 Penanggulangan Pneumonia

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling

penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan

penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran dari penyuluhan

kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran primer sedangkan sasaran

sekunder adalah petugas kesehatan, kader posyandu, pengambil keputusan,

perencana, pengelola program serta sektor lain yang terkait. Tujuan dari promosi

kesehatan adalah mengupayakan agar masyarakat mengambil perilaku sehingga

(52)

2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia

Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat

rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk

pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat

kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan

mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak

dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci

tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan

pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap

anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan

berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan

mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.

Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian

akibat pneumonia antara lain dengan:

1. Status imunisasi campak

Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh

komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa

imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.

2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor

risiko terjadinya pneumonia

3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui upaya

(53)

4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan.

2.7 Landasan Teori

2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit

disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan

lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor

lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu

maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga

dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan

dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran

pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru,

disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza,

dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi

pneumonia di negara berkembang. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang

digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga

komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3

dibawah ini:

Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi

Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009) AGENT

Gambar

Tabel 2.2   Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan  Menurut Umur Anak
Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi
Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan pajak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai laba perusahaan karena dapat menekan biaya pajak terhutang. Perencanaan pajak merupakan

Ekstrak makroalga merah Gracillaria sp merupakan ekstrak yang paling efektif karena tidak berbeda nyata dengan kontrol positif Ampicillin dalam menghambat

Kesimpulan: Pada sampel air tangki kapal tarik terdeteksi adanya cemaran logam timbal (Pb) yang melebihi batas kadar yang diperbolehkan dalam PERMENKES

1) Mathematics as a changing body of knowledge. Pandangan ini berfokus pada pendapat bahwa matematika adalah pengetahuan yang dinamis dan senantiasa berkembang. Perubahan

Selain sebagai kerangka kerja untuk berinteraksi dengan switch OpenFlow, kita menggunakannya sebagai dasar untuk beberapa pekerjaan berkelanjutan untuk membantu membangun

Nilai postes di kelas eksperimen yang lebih besar dari pada nilai postes di kelas kontrol dan juga n-gain yang berkategori tinggi di kelas eksperimen dan di

Jika ibu belum pernah memiliki pengalaman persalinan sebelumnya, sebaiknya ibu yang menginginkan kehamilan berada pada umur reproduksi (20-35 tahun) dan

Yang harus diingat dari koperasi ini adalah sebaiknya anggota koperasi tersebut mendirikan usaha dengan memproduksi barang yang sejenis, hal itu dikarenakan koperasi dengan jenis