ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2013
TESIS
Oleh
MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2013
THE ANALYSIS OF THE RISK FACTOR OF THE INCIDENT OF PNEUMONIA IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD IN
KABANJAHE GENERAL HOSPITAL, KARO DISTRICT, IN 2013
THESIS
BY
MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
2013
ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARTALENA BR. S. KEMBAREN 117032002/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2013
Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : Martalena Br. S.Kembaren Nomor Induk Mahasiswa : 117032002
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dekan
( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )
Tanggal Lulus: 27 Agustus 2013 Telah Diuji
(dr. Mhd Makmur Sinaga, M.S) Anggota
(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua
pada Tanggal : 27 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. dr. Mhd. Makmur Sinaga, M.S
2. dr. Arifin Siregar, M.S 3. Drs. Jemadi, M.Kes
PERNYATAAN
ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE KABUPATEN KARO
TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2013
Martalena Br. S. Kembaren 117032002/IKM
ABSTRAK
Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.
Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita
ABSTRACT
i
Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.
The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.
The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.
It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.
Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old
KATA PENGANTAR
ii
Pujian dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal
melalui Yesus Kristus, atas segala berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul ”Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013” ini dengan baik.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan
pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi
Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak dapat terlaksana
dengan baik tanpa bantuan, dukungan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak.
Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini izinkanlah penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan seluruh dosen/ pegawai di FKM – USU
4. Bapak Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H selaku pembimbing 1 dan Bapak
dr. Mhd. Makmur, M.S selaku pembimbing 2, yang telah bersedia meluangkan
iii
waktu dan pikiran dalam memberikan saran dan bimbingan sehingga tesis ini
dapat diselesaikan.
5. Direktur Rumah Sakit Umum Kabanjahe, yang telah memberi kesempatan
melaksanakan penelitian.
6. Tesis ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Alm. G. S. Kembaren dan Ibunda M. Br. Perangin-angin atas segala kasih dan sayang yang telah penulis terima, dan kepada suamiku Ramli Purba, S.Si
terimakasih atas semua doa, dukungan baik materi dan moril, motivasi yang
selalu mendorong penulis untuk selalu tekun dan semangat menjalani
perkuliahan dan menyelesaikan penulisan tesis ini.
7. Keluarga Sapta Novianto Sembiring Kembaren, AMK dan keluarga Sri Intan
Oktavina Br. Sembiring Kembaren, AMK. Teristimewa buat motivator-motivator
muda (Mazmur Yudea, Aprian Vitaranta, Dwi Afnelia Rivana Okta, Vina
Valentina, Vitalia Mastina, Fidelia Griselda), buat semangat dan doanya.
8. Rekan-rekan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi
AKKm/E angkatan 2011
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna.
Segala kritik dan saran akan menjadi masukan yang berarti bagi penulis.
Syaloom...Tuhan Yesus Memberkati.
Medan, Oktober 2013
Martalena Br. S. Kembaren
117032002/IKM RIWAYAT HIDUP
Martalena Br. S. Kembaren, lahir pada tanggal 3 Maret 1985 di Kabanjahe,
beragama Kristen Protestan, anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan ayahanda
Alm. G. Sembiring Kembaren dan M Br. Perangin-angin. Menikah dengan Ramli
Purba, S.Si, dan sekarang menetap di Jalan Bunga Raya, Komplek Griya Asam
Kumbang Blok B No. 48 Medan Sunggal.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Taman Kanak-kanak
GBKP Ora Et Labora pada tahun 1990 dan diselesaikan pada tahun 1991, Sekolah
Dasar Negeri 5 No. 040447 Kabanjahe pada tahun 1991 dan diselesaikan pada tahun
1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Kabanjahe pada tahun 1997 dan
diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kabanjahe pada
tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003, Strata Satu (S1) di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Epidemiologi pada tahun
2004 dan diselesaikan pada tahun 2008, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2011
sampai dengan tahun 2013.
Pada tahun 2008 sampai saat ini menjadi Dosen tetap di Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Deli Husada
Delitua, Medan.
iv
DAFTAR ISI
2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia ... 17
2.4. Faktor Risiko ... 18
2.4.1 Faktor Anak ... 20
2.4.2 Faktor Lingkungan ... 25
2.4.3 Faktor Perilaku ... 26
2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan... 26
2.5. Klasifikasi dan Diagnosa Pneumonia ... 27
2.5.1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi 27 2.5.2. Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia ... 28
2.5.3. Pola Tata Laksana Pneumonia Menurut Depkes RI ... 28
2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Menurut Ditjen PP dan PL ... 29
2.5.5 Diagnosis Pneumonia ... 30
2.6. Penanggulangan Pneumonia ... 31
2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ... 31
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 42
3.6. Metode Pengukuran ... 45
3.7. Metode Analisis Data ... 47
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50
4.1. Gambaran Umum RSU Kabanjahe Kabupaten Karo ... 50
4.2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Pneumonia pada Balita ... 51
4.2.1. Gambaran Faktor Balita ... 51
4.2.2. Gambaran Faktor Lingkungan ... 53
4.2.3. Gambaran Faktor Perilaku ... 55
4.2.4. Gambaran Faktor Pelayanan Kesehatan ... 55
4.3. Analisis Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 56
4.4. Analisis Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 58
4.5. Analisis Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 59
4.6. Analisis Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 60
4.7. Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61
BAB 5. PEMBAHASAN ... 69
5.1. Pengaruh antara Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 69
5.1.1. Status Imunisasi Campak ... 69
5.1.2. Status Imunisasi DPT ... 70
5.1.3. Status Pemberian Vitamin A ... 71
5.1.4. Status Gizi Balita ... 72
5.1.5. ASI Eksklusif ... 74
5.1.6. Berat Badan Lahir ... 75
5.1.7. Riwayat Asma ... 76
5.2. Pengaruh antara Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 77
5.2.1. Pendidikan Ibu... 77
5.2.2. Pekerjaan Ibu ... 78
5.2.3. Sosial ekonomi ... 79
5.3. Pengaruh antara Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 80
5.4. Pengaruh antara Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 81
5.5. Analisis Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 82
5.6. Faktor Risiko Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe ... 83
5.7. Keterbatasan Penelitian ... 85
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87
6.1. Kesimpulan ... 87
6.2. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 89
LAMPIRAN ... 93
DAFTAR TABEL
No. Tabel Halaman
2.1. Kriteria WHO Terhadap Pengobatan Pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai Dengan
Klasifikasi Klinis Penderita ... 30
2.2. Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak. ... 30
3.1. Besar Sampel Berdasarkan Variabel Penelitian Sebelumnya ... 41
3.2 Metode Pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 45
3.3. Dasar Perhitungan Studi Kasus Kontrol ... 48
4.1 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 51
4.2 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 53
4.3 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Perilaku di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55
4.4 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Faktor Pelayanan Kesehatan di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 55
4.5 Pengaruh Faktor Balita terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 56
4.6 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 58
4.7 Pengaruh Faktor Perilaku terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 59
4.8 Pengaruh Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan terhadap Kejadian Pneumonia di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 60
4.9 Hasil Perhitungan Population Attributable Risk (PAR) ... 61
ix
4.10 Analisis Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 62
4.11 Langkah Pertama Regresi Logistik Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 64
4.12 Hasil Uji Interaksi ... 65
4.13 Hasil Akhir Analisis Regresi Logistik Ganda Untuk Pemodelan Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di RSU Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013 ... 65
x
DAFTAR GAMBAR
No. Tabel Halaman
2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi ... 33
2.2. Faktor yang Memengaruhi Status Kesehatan ... 35
2.4. Kerangka Konsep ... 36
3.1 Skema Penelitian ... 39
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 94
2. Master Data Penelitian ... 98
3. Surat Penelitian ... 100
4. Hasil Output SPSS Penelitian ... 101
xii
Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun (Balita) di dunia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013.
Jenis Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode retrospective study melalui pendekatan kasus kontrol yaitu penelitian analitik yang bersifat observasional. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2013.. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dan dianalisis dengan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh variabel status imunisasi DPT, berat badan lahir, riwayat asma, pekerjaan ibu, kebiasaan merokok dan penggunaan pelayanan kesehatan dengan kejadian pneumonia, dengan variabel paling dominan berpengaruh adalah kebiasaaan merokok.
Perlu dilakukan peningkatan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai balita mengenai pentingnya pemberian imunisasi campak dan DPT yang lengkap, pemberian ASI Eksklusif, pemenuhan gizi optimal, bahaya merokok, serta dorongan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Kata kunci : Faktor Risiko, Pneumonia Balita
ABSTRACT
Pneumonia is the number one killer for children under five years old (Balita) throughout the world. It constitutes the process of acute infection in lung tissue (alveoli), and it can be detected by referring to the clinical symptoms and to supporting examinations such as x-rays and laboratory. The mortality rate of children under five years old who suffer from pneumonia in Indonesia is estimated below four per 1,000 life births. The objective of the research was to analyze the risk factor of the incident of pneumonia in children under five years old in the Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.
The type of the research was a retrospective study with control case approach which was an observational analytic research. The population was children under five years old who visited Kabanjahe General Hospital, Karo District, in 2013.
The result of the research showed that there was the influence of the variables of DPT immunization status, the weight of the new born babies, the history of asthma, mothers’ occupation, smoking habit, and the use of health service on the incident of pneumonia. The variable which had the most dominant influence was smoking habit.
It is recommended that the education activity for parents who have children under five years old about the importance of giving measles immunization and complete DPT, giving exclusive ASI (breast milk), fulfilling optimal nutrition, warning toward the danger of smoking, and encouraging to using health service needs to be increased.
Keywords: Risk Factor, Pneumonia in Children under Five Years Old
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium
Development Goals (MDGs) yang sering disebut Tujuan Pembangunan Milenium
berkomitmen mewujudkan tujuan MDGs tersebut, sebagai perwujudan peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik. Secara nasional
komitmen tersebut dituangkan dalam berbagai Dokumen Perencanaan Nasional,
antara lain dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2004 – 2025, kemudian dipertegas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMN) tahun 2010–2014 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan
(Bappenas, 2010).
Sampai tahun 2010, Indonesia telah mencapai berbagai sasaran dari Tujuan
Pembangunan Milenium yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu: (a)
sasaran yang telah dicapai; (b) sasaran yang menunjukkan kemajuan signifikan dan
diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on track); dan (c) sasaran yang masih
memerlukan upaya keras untuk pencapaiannya (Bappenas, 2010). Salah satu sasaran
dari Tujuan Pembangunan Milenium yang telah menunjukkan kemajuan signifikan
dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 adalah keberhasilan pembangunan
kesehatan di Indonesia untuk menurunkan angka kematian balita dari 97 per 1.000
kelahiran pada tahun 1991 menjadi 44 per 1.000 kelahiran pada tahun 2007 dan pada
tahun 2011 telah berhasil turun sampai 32 per 1.000 kelahiran. Sehingga pada tahun
2011 dari 41 negara bagian dari Asia-Pacific, Indonesia menduduki posisi ke-17
negara yang memiliki jumlah kematian anak usia dibawah 5 tahun (SDKI, 2007;
UNICEF, 2012a).
Masa lima tahun pertama merupakan masa yang sangat peka terhadap
lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulangi lagi, maka masa
balita disebut juga sebagai “masa keemasan” (golden period), “jendela kesempatan”
(window opportunity) dan “masa kritis” (critical period). Masa balita merupakan
periode penting dalam tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung
pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya (Depkes RI, 2006). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan
gizi dan rawan terhadap penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan
perkembangan menjadi terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian (WHO,
2008).
The United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bahwa angka
kematian balita adalah salah satu indikator penting untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat. Dari 6,9 juta kematian anak dibawah 5 tahun yang terjadi di tahun 2011
diseluruh dunia, hampir dua pertiga (64%) disebabkan karena penyakit menular
dengan kondisi seperti pneumonia, diare, malaria, meningitis, tetanus, HIV dan
Pneumonia merupakan pembunuh utama anak dibawah usia lima tahun
(Balita) di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain (Depkes RI, 2002).
Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pneumonia merupakan
penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara balita. Proporsi pneumonia
sebagai penyebab kematian sebesar 15,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia
merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang
berkontribusi terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia (Riskesdas,
2007).
Menurut Wilson (2006), pneumonia merupakan proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan dapat dikenali berdasarkan pedoman
tanda-tanda klinis lainnya serta pemeriksaaan penunjang seperti rontgen dan
laboratorium. Pneumonia juga didefenisikan sebagai proses infeksi akut yang
mengenai jaringan paru-paru (alveoli) dan terjadinya pneumonia pada anak seringkali
bersamaan dengan proses infeksi pada bronkus yang biasa disebut bronchopneumonia
(Pusat Informasi Penyakit Infeksi, 2007).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan dunia karena angka kematiannya
tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa (Misnadiarly, 2008). Di Amerika Serikat
misalnya pada tahun 2007 terdapat 1,2 juta orang dirawat di rumah sakit dengan
pneumonia dan lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini, di dunia setiap
20 detik seorang anak meninggal akibat pneumonia (CDC, 2012). Daerah Eropa dan
pneumonia pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun
(Ostapchuk, dkk, 2004). Menurut UNICEF pada tahun 2010 dari hasil distribusi
penyebab kematian 7,6 juta balita di dunia, kontribusi terbesar adalah disebabkan
oleh pneumonia yaitu sebesar 18%, yang terjadi pada postneonatal sebesar 14% dan
neonatal sebesar 4% (UNICEF, 2012b). Didalam Pedoman Pengendalian ISPA tahun
2011 menyebutkan bahwa di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita
meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik). Kematian akibat pneumonia sangat
terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih
dari 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi dinegara berkembang.
Di kawasan Asia-Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 balita meninggal
dunia setiap tahunnya atau sekitar 98 anak meninggal setiap jam. Pneumonia
merupakan “predator” balita nomor satu di negara berkembang. Kematian umumnya
adalah pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007). WHO
memperkirakan lebih dari 90% kematian anak disebabkan oleh penyakit infeksi
pneumokokus yang terjadi di negara berkembang (PERSI, 2011). Dari 15 negara
dengan jumlah tertinggi kasus baru pneumonia, Indonesia menempati posisi ke-enam
dengan rincian, India (43 juta), China (21,1 juta), Pakistan (9,8 juta), Bangladesh (6,4
juta), Nigeria (6,1 juta) dan Indonesia (6,0 juta) (WHO, 2008).
Proporsi kematian balita akibat pneumonia di Indonesia mencapai 30 %.
Angka kematian pneumonia balita di Indonesia diperkirakan masih di atas 4 per 1.000
Indonesia, prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun
2002 menjadi 11,2 % pada tahun 2007.
Berdasarkan data profil Kesehatan Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun
2010 diperoleh jumlah kasus pneumonia yang meningkat secara bermakna. Untuk
tahun 2007 jumlah kasus pneumonia pada balita sebanyak 477.420 kasus (21,52%),
tahun 2008 sebanyak 392.923 kasus (18,81%), tahun 2009 sebanyak 390.319 kasus
(22,18%), tahun 2010 sebanyak 499.259 kasus (23%), dan tahun 2011 sebanyak
480.033 kasus (20,59%). Case Fatality Rate (CFR) pneumonia paling tinggi di antara
10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit yaitu tahun 2006 sebesar
2,92%, selanjutnya pada tahun 2007 sebesar 3,8%, pada tahun 2009 sebesar 6,63%
dan pada tahun 2010 sebesar 7,60%. Insiden pneumonia balita tertinggi (>4%) pada
tahun 2005 ada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Bangka
Belitung, NTB, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Tengah (Bulletin Jendela
Epidemiologi, 2010).
Pada tahun 2011 dari 33 provinsi di Indonesia, Sumatera Utara merupakan
provinsi yang menduduki posisi ke-7 tertinggi dengan 16.688 jumlah kasus
pneumonia pada balita. Dengan jumlah kematian balita akibat pneumonia sebanyak
56 kasus (CFR sebesar 3,35‰) (Profil Kesehatan RI, 2012).
Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor Risiko
pneumonia. Faktor Risiko yang teridentifikasi meliputi: status gizi, berat lahir rendah,
kurangnya pemberian ASI Eksklusif, imunisasi campak dan kepadatan rumah
dan berdasarkan publikasi ilmiah, dilaporkan bahwa faktor Risiko yang dapat
meningkatkan insiden pneumonia balita yaitu umur kurang dari 2 bulan, jenis
kelamin laki-laki, status gizi kurang, berat badan lahir rendah, pemberian ASI tidak
memadai, membedung anak (menyelimuti anak) berlebihan, defisiensi vitamin A dan
pemberian makanan terlalu dini (Alimul, A. H., 2008).
Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan hasil yang bervariasi.
Menurut Prayudhy (2007), faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia
pada balita adalah sosial ekonomi, dimana besar Risiko balita dari keluarga dengan
sosial ekonomi yang rendah untuk terkena pneumonia adalah 1,75 kali lebih besar
dibandingkan dari keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi. Faktor lingkungan
yang terdiri dari kepadatan rumah, ventilasi rumah, dan letak dapur. Besarnya Risiko
balita yang tinggal di rumah padat untuk terkena pneumonia 1,71 kali lebih besar
dibandingkan yang tinggal di rumah tidak padat. Untuk ventilasi rumah yang buruk,
balita akan beRisiko terkena pneumonia 1,78 kali lebih besar dibandingkan yang
tinggal di rumah dengan ventilasi rumah baik. Sedangkan untuk letak dapur, dimana
besarnya Risiko balita yang kamar tidurnya menyatu atau dekat dengan dapur untuk
terkena pneumonia adalah 1,91 kali lebih besar dibandingkan yang jauh dari dapur.
Sedangkan menurut Heda Melinda, Enny Harliany dan Nia Adriani (2010), faktor
Risiko terjadinya morbiditas pneumonia berat pada balita adalah kurangnya sinar
matahari yang masuk kedalam rumah dan balita tidak mendapat ASI secara Eksklusif.
Pada tahun 2011, Evi Risa, Hammad dan Ferliansyah menyatakan bahwa
balita akan meningkatkan Risiko kejadian pneumonia pada anak. Susi Hartati (2011),
menyatakan di Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta, faktor yang berhubungan dengan
kejadian pneumonia pada balita yaitu usia, riwayat pemberian ASI, status gizi,
riwayat imunisasi campak dan imunisasi DPT. Sebuah penelitian Hospital-Based
yang dilakukan oleh Shah, et al (1996), dilakukan pada 400 anak dibawah usia 5
tahun untuk mengidentifikasi faktor Risiko pneumonia berat. Faktor Risiko yang
muncul dan signifikan yaitu usia muda, imunisasi dan berbagi kamar tidur,
pendidikan orang tua, pencemaran lingkungan, penghentian pemberian ASI pada bayi
muda, kekurangan gizi, tidak berespon terhadap pengobatan dini dan pemanfaatan
obat non-allophatic. Koreksi faktor-faktor ini mungkin dapat mengurangi kematian
akibat ISPA. Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh, et al. (2009) pada 200 anak
usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai criteria dari WHO di
rumah sakit di India didapatkan faktor Risiko yang terkait dengan kegagalan
pengobatan dan memerlukan perubahan antibiotik serta lamanya hari rawat di rumah
sakit adalah kepadatan rumah dan tidak mendapatkan ASI Eksklusif.
Melihat banyaknya faktor Risiko yang berhubungan dengan kejadian
pneumonia dan tingginya angka kematian akibat pneumonia pada balita, maka
strategi penanggulangan pneumonia penting dilakukan oleh setiap Negara untuk
mendukung tercapainya tujuan keempat dari MDGs tahun 2015 yaitu mengurangi
kematian balita 2/3 dari angka kematian tahun 1990.
Survei pendahuluan yang dilakukan, pneumonia merupakan salah satu
yang terjadi pada balita. Dimana Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang
digolongkan kedalam penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan
menduduki posisi pertama yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di
Kabupaten Karo. Jumlah kasus pneumonia pada balita yang terjadi di Kabupaten
Karo adalah 283 kasus yang menyebar di 17 kecamatan (Dinas Kesehatan Kabupaten
Karo, 2012). Dari jumlah seluruh kasus tersebut 96 kasus tercatat sebagai pasien
rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe. Melihat masih
tingginya kasus pneumonia di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, salah satu strategi
yang dapat dilakukan dalam upaya menurunkan kasus pneumonia adalah dengan
melihat faktor Risiko terjadinya pneumonia. Dengan diketahuinya faktor Risiko
tersebut diharapkan perencanaan pencegahan dan penanggulangan penyakit
pneumonia pada balita dapat lebih efektif.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan kasus pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe
yang masih tinggi, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis faktor Risiko
kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo
Tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor risiko kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT,
status pemberian vitamin A, status gizi balita, pemberian ASI eksklusif, berat
badan lahir, riwayat Asma) terhadap kejadian pneumonia pada balita di
Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo
2. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
sosial ekonomi) terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit
Umum Kabanjahe Kabupaten Karo
3. Menganalisis pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga)
terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe
Kabupaten Karo
4. Menganalisis pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap
kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe
Kabupaten Karo
5. Menganalisis faktor Risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap
kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe
Kabupaten Karo
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Ada pengaruh faktor balita (status imunisasi campak, imunisasi DPT, status
lahir, riwayat Asma), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah
Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.
2. Ada pengaruh faktor lingkungan (pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial
ekonomi), terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum
Kabanjahe Kabupaten Karo tahun 2013.
3. Ada pengaruh faktor perilaku (kebiasaan merokok anggota keluarga),
terhadap kejadian pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe
Kabupaten Karo tahun 2013.
4. Ada pengaruh faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan terhadap kejadian
pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo
tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian menjadi acuan sebagai sumber informasi mengenai kejadian
pneumonia pada balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo
sehingga memberikan masukan kepada Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Karo untuk dapat disusun langkah nyata menurunkan serta
menanggulangi kasus pneumonia pada balita.
2. Bagi kalangan akademik, penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai
kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses
infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini
berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas
napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia <
2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1
tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5
tahun (Depkes RI, 2002b).
Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim
paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan
awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer
atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut
Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru,
dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari
infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik
mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai
salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru
(jaringan alveoli).
2.2 Etiologi Pneumonia
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum
memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai
penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru
merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab
pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya
dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian
(Depkes RI, 2002b).
Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di
Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi
WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae
dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian
tentang etiologi di negara berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua
pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9% aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari
umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab
terjadinya pneumonia.
2.2.1 Bakteri
1. Streptococcus pneumonia
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang
sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai
polisakarida yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik.
Organisme ini adalah penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia
dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia,
meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang dewasa, tipe 1-8 menyebabkan
kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari setengah kasus
bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23
merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit
melalui kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan
toksin yang bermakna. Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang
mencegah atau menghambat penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum
yang mengandung antibodi terhadap polisakarida tipe spesifik akan melindungi
terhadap infeksi. Bila serum ini diabsorbsi dengan polisakarida tipe spesifik, serum
tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau manusia yang diimunisasi
dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun terhadap tipe
pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe
Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus
virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang
kuat terhadap pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya
cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit,
yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus
ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase
getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya,
sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun
diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian
yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari
semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah
pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat
memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk,
1996).
2. Hemophylus influenza
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian
atas pada manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada
anak-anak dan kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak
dan orang dewasa. Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes
pembengkakan simpai menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus
Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi
saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang
yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat
influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang
tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai
bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus
influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan
supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,
meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun
mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi
klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran
pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal
yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan
pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media
bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke
selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis
septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis
bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.
Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang
diperoleh dari ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi,
tetapi kemudian antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi
penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling
sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun).
Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang tidak diobati dapat
mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat
Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat
diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari
dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard.
Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat
Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat
imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya
pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae
tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus
influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik
Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko
nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia
di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).
2.2.2 Virus
Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang
sering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun
virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita,
gangguan ini bias memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar
terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang
menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
2.2.3 Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit
pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,
meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya
berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi
paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah,
bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
2.2.4 Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia
pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia
(PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur.
Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan,
tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika
ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru
(Misnadiarly, 2008).
2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama
ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme
pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai
saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia
memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi
mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol
yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan
inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan
pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi
(Perhimpunan Ahli Paru, 2003).
Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara.
Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat
menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara
lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah,
terutama selama dan segera setelah lahir.
2.4 Faktor Risiko
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan
bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang
meninggal 28 disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian
ISPA pada balita adalah akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada
Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua
umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada
balita berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada
bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara
proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%),
diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian
balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar
10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan
bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat
utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di
Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi,
kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat
pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada
balita. Menurut Depkes (2004), dibagi menjadi faktor balita, faktor ibu dan faktor
lingkungan dan sosioekonomis. Beberapa faktor risiko yang meningkatkan insidens
pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, laki-laki, gizi kurang, BBLR, tidak
mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak
Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain
umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat
pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan
tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI,
2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3
faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.
2.4.1 Faktor Anak
a. Umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak
berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok
anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun
mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan
lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko
untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun
dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2
tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. Jenis kelamin
Dalam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2
ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan
pneumonia (Depkes RI, 2004). Menurut Sunyataningkamto (2004), hal ini
disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil
tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang
dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak
menyerang balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan
(Sutrisna, 1993).
c. Status Imunisasi Campak
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada
balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit.
Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi
untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan
untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan
pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% - 76,6% kematian akibat ISPA yang berkembang
dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis, dan Campak. Bila anak
sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat diharapkan
perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan
imunisasi akan berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi
campak yang efektif, sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari
hasil pengamatan selama 58 tahun periode penelitian di Amerika Serikat terhadap
kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun 1939 sampai 1996
menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat
d. Imunisasi DPT
Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua
cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang
langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib).
Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia
sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang
memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin
campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu
imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat
ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan
imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali
disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan
ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan
kejadian pneumonia (p value = 0,049: α = 0,05).
e. Status Pemberian Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap 6 bulan posyandu memberikan kapsul 200.000 IU
vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Pemberian kapsul
vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak
berusia enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur
6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan.
integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan
fungsi paru (Klemm, 2008).
Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian
vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa
anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA,
terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.
f. Status Gizi Balita
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia.
Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi
adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan
kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993).
Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan
untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan
fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto,
2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan
yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI:
1,585-6,433).
g. Pemberian ASI Eksklusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga
memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk
ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan
ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan
virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan – 24
bulan yang tidak mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna
terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali
disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan
dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).
h. Berat Badan Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama
terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti
kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian
Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat
berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia
dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek
tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9
(95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.
i. Riwayat Asma
Dawood (2010) menjelaskan anak-anak dengan asma akan mengalami
peningkatan risiko terkena radang paru-paru sebagai komplikasi dari influenza. Bayi
sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2
tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia.
2.4.2 Faktor Lingkungan
a. Pendidikan Ibu
Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan
yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru.
Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat
keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin
mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat
pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan
anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita
dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya
menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).
b. Pekerjaan Ibu
Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap
harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap
balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau
pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.
c. Sosial Ekonomi
Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi, memiliki peluang lebih
mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia.
Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang
lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih
memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan
Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan
kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak
balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali
terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.
2.4.3 Faktor Perilaku
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang
orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA
dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007).
Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi
silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan
menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan
merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki
pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.
2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Hatta (2001), jarak ke fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai
yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.
2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia
2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan
menjadi 3 kategori yaitu:
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu
pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home
care (Schmidt, 2007).
2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu
pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di
rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak
sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di
rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan
sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)
3. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi
setelah 48-72 jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di
2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia
Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:
1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua
usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka,
misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada
penderita pasca infeksi influenza.
2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma,
legionella dan Chlamydia
3. Pneumonia virus
4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder,
terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah
(immunocompromised)
Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita
dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.
2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000)
Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan
2. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
3. Penentuan klasifikasi penyakit
2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)
Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur <
2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:
1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi
pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest
indrawing)
b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat
dinding dada bagian bawah atau nafas cepat
2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi
3 yaitu:
a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding
bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak
diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta)
b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat
c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk
yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat)
dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam.
WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan
pada balita usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas,
Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan
Klasifikasi Klinis Penderita
Kriteria Pneumonia Gejala Klinis dan Pengobatannya Bukan Pneumonia
Pneumonia
Pneumonia Berat
Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding dada. Tidak diberikan antibiotik.
Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada. Pengobatan di rumah dengan pemberian antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.
Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk ke rumah sakit
Pneumonia sangat Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis, tidak mampu makan/minum, kejang, sukar dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk. Dirujuk ke rumah sakit
2.5.5 Diagnosis Pneumonia
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA,
diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).
Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat
dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):
Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak
Umur Anak Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari
Kurang dari 2 bulan 2 bulan sampai 12 bulan 12 bulan sampai 5 tahun
60 kali per menit 50 kali permenit 40 kali permenit
Menurut Misnadiarly (2008), tanda penyakit pneumonia pada balita antara
otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan
infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil,
berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah.
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas
akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk
dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian
penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit
kepala.
2.6 Penanggulangan Pneumonia
2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Penyuluhan kesehatan masyarakat dianggap sebagai upaya yang paling
penting dalam pengendalian pneumonia dan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
penatalaksanaan kasus dan perbaikan kesehatan lingkungan. Sasaran dari penyuluhan
kesehatan adalah ibu dan pengasuh balita sebagai sasaran primer sedangkan sasaran
sekunder adalah petugas kesehatan, kader posyandu, pengambil keputusan,
perencana, pengelola program serta sektor lain yang terkait. Tujuan dari promosi
kesehatan adalah mengupayakan agar masyarakat mengambil perilaku sehingga
2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia
Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat
rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk
pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat
kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan
mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak
dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci
tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan
pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap
anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan
berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan
mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.
Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian
akibat pneumonia antara lain dengan:
1. Status imunisasi campak
Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh
komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa
imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia.
2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor
risiko terjadinya pneumonia
3. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru lahir dengan berat rendah melalui upaya
4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan.
2.7 Landasan Teori
2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi
Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit
disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan
lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor
lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu
maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga
dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan
dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran
pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru,
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza,
dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi
pneumonia di negara berkembang. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang
digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga
komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3
dibawah ini:
Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi
Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009) AGENT