CERAI GUGAT AKIBAT DISFUNGSI POLA RELASI
DALAM KELUARGA
(Analisis Putusan Perkara Nomor. 81/Pdt.G/2007/PA.Srg)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi salah satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Agus Khaeroni
204044103081
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
kemudahan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kepada Nabi
Muhammad saw.
Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bimbingan dan saran
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
tak terhingga kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs H. A Basiq Djalil SH. MA dan Kamarusdiana S.Ag, MH masing-masing
sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA sebagai Ketua Koordinator Teknis Program
Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi penulis.
4. Drs H. Ahmad Yani M.Ag sebagai Sekretaris Koordinator Teknis Program Non
Reguler Fakultas Syariah dan Hukun Universitas Islam Negeri Syarif
5. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, MA dan Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie,
MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang penuh dengan rasa sabar dalam
memberikan arahan, saran serta motivasi selama penulisan skripsi ini.
6. Segenap Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.
7. Kedua orang tua ku tercinta Ayahanda H. Syahruddin Suaeb dan Ibunda Hj,
Hasanah Syarif yang tanpa pernah lelah selalu memberikan ”Senyuman serta tetesan air mata doa untuk kesuksesan anak -anaknya”. Kakang dan mamang-mamangku terhormat kang Dayat, mangaling, mangimi, mangibi yang selalu
memberikan semangat dalam selimut cinta dan kasih, serta adik-adikku
tersayang. jagoan aang (Ade Saeful Bahrie), teteh (Susantie Hasanah), Nong
(Naela Nurul Fauziyah) dan si Bontot boboho, Dede Badriyatussyfa` Semoga
kalian kelak kan mereguk manisnya arti sebuah perjuangan. yakinlah bahwa
tak ada yang sia-sia di dunia ini!! Dan si cantik nan lucu ade ku sumber
inspirasiku yang sangat kucintai Semoga kelak jadi anak yang solehah, berbakti
terhadap kedua orang tua. Berguna bagi agama bangsa dan negara. amin.
8. Sahabat-sahabat suka duka ku yang ga mungkin terlupakan dalam segala hal,
Ibu Hj. Mufida dan bapak moh. Syafi`i, adikku aldy sebagai juru ketik, bang
Hasim aki aki yang di tuakan, si bontot Zainudin yang selalu di rundung
masalah sungguh kasian, H.Achdi Gufron mantab no coment, Alunk jalani
sambil tawakal aja, Gozel abang panutan dalam menyikapi hidup, jejen si kecil
maha guruku yang selalu sabar tanpa lelah mendoakanku kang pepen terima
kasih tuk sekotak senyuman yang diberikan bagi penulis ketika penulis
menghadapi masa-masa sulit.
9. Saudara keluarga dan sahabat-sahabatku di GM Bandung, krez, pa uka, pa ensu,
dll yang telah banyak mengajarkan diri ini untuk menjadi pribadi yang ramah
dan sederhana I love you all.
10. Teman Peradilan Agama 2004, khususnya kelas B. Terima kasih untuk
tahun-tahun yang menyenangkan.
Serta Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah khazanah
keilmuan dan bermanfaat bagi banyak pihak. Penulis sadar bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga penulis berharap peneliti-peneliti
selanjutnya dapat melakukan perbaikan.
Akhir kata penulis ucapkan. Jazakumullah Khairan Katsirin
Jakarta, 07 Februari 2011
Penulis
.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... LEMBAR PENGESAHAN ... LEMBAR PERNYATAAN ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... D. Review Studi Terdahulu ... E. Metode Penelitian ... F. Sistematika Penulisan ...
BAB II CERAI GUGAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Perceraian Dalam Tinjauan Fikih ... B. Perceraian Dalam Tinjauan Perundang-Undangan dan KHI ... C. Akibat perceraian...
BAB III PROSEDUR CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA A. Prosedur Cerai Gugat... B. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama... C. Komparasi Putusan Hakim Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.bgr,
Putusan Hakim Nomor 63/Pdt.G/2009/PA.JT, dan
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN DISFUNGSI POLA RELASI SEBAGAI ALASAN UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERCERAIAN
A. Landasan Yuridis Pemeriksaan Cerai Gugat ... B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Serang ... C. Analisis Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Pengadilan
Agama Serang ...
BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... B. Saran- Saran ...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesempurnaan sebuah perkawinan dapat terwujud apabila disertai dengan
kesadaran, bahwa perkawinan itu memiliki misi dalam kehidupan. Oleh karena itu
agama sangat menganjurkan agar dapat menjauhkan individu dan masyarakat dari
berbagai keburukan moral dan ahlak, supaya dapat mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa pernikahan yaitu
akad yang sangat kuat Mitsaqan Ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksakan-Nya merupakan ibadah.1
Perkawinan bertujuan untuk menenteramkan (menenangkan) jiwa,
melestarikan, memenuhi kebutuhan biologis dan melaksanakan latihan dalam
memikul tanggung jawab atau bisa disebut dengan mewujudkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmat.2
Allah mengangkat derajat manusia di atas makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Hal ini dapat kita lihat dengan adanya ketetapan pernikahan bagi manusia. Dengan
pernikahan pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Ikatan suami
1
Inpres No 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 2 2
isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh atau disebut dengan Mitsaqan
Ghalidhan (perjanjian yang kokoh).3
Pada prinsipnya tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Hal ini ditegaskan dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 yaitu ucapan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa.4
Namun, terkadang fenomena berbicara lain, perkawinan yang diharapkan
sakinah, mawadah, warohmah ternyata karena satu dan lain hal harus kandas di
tengah jalan. Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami
isteri sudah tidak dapat lagi didamaikan maka Islam memberi solusi dengan
perceraian atau talak. Perceraian atau talak merupakan obat terakhir untuk mengakhiri
pertentangan dan pergolakan antara suami isteri serta menjadi jalan keluar yang layak
untuk keduanya. Kendati dibolehkan Allah membenci perceraian atau talak. Hadits
Nabi Muhammad SAW :
Artinya :
"Allah tidak menghalalkan sesuatu yang paling dibencinya daripada thalaq". (HR. Abu Daud)5
3
Sayyid Syabiq, Fikih Sunah Jld 8, (Bandung : Al-Maarif),1990. Hal 7
4
Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia No 1 tahun 1974, Arkola, Surabaya 5
Namun jika perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya maka hal ini dapat
saja dilakukan, firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
…….. ……..
Artinya :
―Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui‖. (Q.S. Al Baqarah : 227)
Dalam ayat lain Allah berfirman :
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(129) Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.‖ (Q.S. An Nisaa : 129-130).6
Pasal 19 Ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang menjelaskan keadaan yang dapat dijadikan alasan perceraian
diantaranya :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
6
Quraish, Shihab. Tafsir Al-Misbah, Kesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Surat
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
b. Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat setelah
perkawinannya berlangsung
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
d. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.7
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dua alasan lagi yang termuat
dalam Pasal 116 Poin g dan h sebagai berikut :
a. Suami melanggar taklik talak
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga
Adapun sighat taklik yang diucapkan suami setelah aqad nikah kepada
istri adalah :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
7
Asro Satroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia,, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
pengadilan agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan
tersebut, dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu
rupiah) sebagai ’iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu
kepadanya.
Kemudian pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang
’iwadh itu dan kemudian menyerahkan kepada Badan Kesejahteraan Masjid
(BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.
Dalam proses pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah
mohon mempelai laki-laki mengucapkan taklik talak atau tidak, demikian halnya
dengan mempelai laki-laki. Dan hampir dapat dipastikan keduanya setuju agar
taklik talak dibacakan dan mempelai laki-laki membacakan sendiri taklik talak di
hadapan istri.
Secara singkat taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada
suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang
telah diperjanjikan lebih dulu.8 Meski bukan merupakan syarat namun
Departemen Agama menganjurkan kepada pejabat daerah agar dalam pernikahan
itu dibacakan taklik talak (Maklumat Kementrian Agama No. 3 Tahun 1953).
8
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan,
Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi istri dari sikap
kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri
dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat taklik talak
yang disebutkan dalam sighat taklik.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut apakah disfungsi pola relasi dalam keluarga termasuk dalam kategori taklik
talak atau bukan, yang kemudian akan diajukan sebagai skripsi untuk mencapai
gelar sarjana hukum islam berjudul “Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi
Dalam Keluarga (Analisis Putusan No 81/Pdt.G/2007/PA.Srg)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan skripsi ini penulis membatasi
masalah dalam pokok bahasan analisis putusan nomor 81/pdt.G/2007/PA.
Serang, yaitu ―Cerai Gugat Akibat Disfunsi Pola Relasi dalam keluarga di
Pengadilan Agama Serang.
2. Perumusan Masalah
Untuk memperjelas masalah pembahasan ini, maka dirumuskan
masalahnya sebagai berikut. Didalam ilmu fiqih dan undang-undang yang
berkewajiban memberi nafkah terhadap keluarga adalah suami akan tetapi pada
kenyataan dilapangan yang akan penulis teliti ini yang memberi nafkah keluarga
Rumusan tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana hukum Islam menjelaskan hak dan kewajiban suami isteri?
2. Apakah Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga dapat memicu terjadinya
konflik dalam rumah tangga?
3. Apakah Putusan Pengadilan Agama Serang No. 81 / Pdt.G / 2007 sesuai
dengan hukum yang berlaku?
Rincian di atas merupakan kerangka pertanyaan yang hendak diteliti dan
dicarikan jawabannya, sehingga penelitian ini didasarkan dalam kerangka
pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi terhadap
fakta-fakta dan realita yang sedang berlaku maupun yang pernah berlaku.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaaat Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan
sebagaia berikut:
1. Untuk mengetahui perspektif hukum islam dan tinjauan perundang-undangan
dalam menjelaskan hukum yang berlau
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara cerai
gugat di Pengadilan Agama
3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama Serang No.81/Pdt.G/2007
tentang Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga dapat dibenarkan menurut
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini
diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam lembaga pustaka, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan ilmiah dalam memperkaya studi analisa yurisprudensi.
2. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang lebih utama tentang
Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Keluarga dalam Analisa Putusan
No.81/Pdt.G/2007PA.Srg.
3. Dapat mengetahui prosedur persidangan dalam hukum acara Pengadilan
Agama Serang.
4. Sebagai pengetahuan hukum secara teori dan praktek di Pengadilan Agama
terutama masalah perceraian akibat Disfungsi Pola Relasi dalam Keluarga.
D. Review Studi Terdahulu
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal
mungkin mengendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik paling rendah.
Perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan mengakibatkan
kehancuran bukan hanya bagi pasangan suami istri tapi juga kepada anak-anak yang
mestinya di asuh dan dipelihara dengan baik. Kegagalan rumah tangga bukan saja
membahayakan rumah tangga itu sendiri tapi juga kehidupan masyarakat. Hampir
separuh kenakalan remaja yang terjadi di beberapa negara diakibatkan oleh keluarga
Undang-undang merumuskan bahwa perceraian harus dilakukan di depan
pengadilan, perceraian yang dilakukan di luar pengadilan dianggap tidak sah dan
tidak mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya.
Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian hanya dipersulit
pelaksanaannya. Artinya tetap dimungkinkan terjadi perceraian jika seandainya
benar-benar tidak dapat dihindarkan dan perceraian harus dilaksanakan secara baik
dihadapan sidang pengadilan.
Penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa
perceraian adalah hak suami adalah pemikiran yang keliru, karena istripun dapat
menggugat suami untuk bercerai apabila ada hal yang menurut keyakinannya rumah
tangga yang sudah dibina itu tidak dapat diteruskan.
Cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan
oleh seorang isteri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam agama
Islam dapat berupa gugatan karena suami melanggar taklik talak, gugatan karena
Syiqaq, Fasakh dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal
19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan. yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah.
Dalam hukum Islam, perceraian yang diputuskan oleh Hakim karena pelanggaran
taklik talak adalah sah. Kendati secara yuridis Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 telah cukup
memadai dan telah memenuhi jiwa Undang-undang yang menganut asas mempersukar
alasan yakni suami melanggar taklik talak atau murtad yang menyebabkan ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Skripsi-skripsi lain yang membahas tentang cerai gugat diantaranya, Muhammad
Roiz Rizwan, dengan judul Kesadaran Hukum Wanita Indonesia dalam Hal Perkawinan,
menjelaskan tentang hak-hak wanita dalam berumah tangga terutama tentang pengajuan
gugatan cerai kepada suami ketika terjadi pelanggaran taklik talak oleh suami.
Saiful Bahri, dengan judul Cerai Gugat Akibat Suami di Penjara, menjelaskan
tentang cerai gugat yang disebabkan terhentinya nafkah yang menjadi tanggung jawab
suami karena sebab terpenjara.
Serta Halimatus Saadah, dengan judul Cerai Gugat karena Penganiyaan Suami,
dan Zaenudin dengan judul Cerai Gugat Isteri Hamil, yang masing-masing menjelaskan
tentang pelanggaran taklik talak No 5, yaitu kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh
suami kepada isterinya.
Dari keterangan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
tentang cerai gugat serta prosedur pengambilan putusan majlis hakim pengadilan agama
Serang pada kasus Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Dalam Keluarga.
E. Metode Penelitian
Dalam upaya mendapatkan data yang akurat, lengkap dan obyektif. Untuk
penyusunan skripsi ini penulis menggunakan penelitian antara lain:
1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normativ, dimana pada penelitian
mungkin mencakup bahan hukum primer, skunder dan tertier. Penelitian
kepustakaan dilakukan melalui pengkupasan dari buku-buku dan peraturan
Perundang-undangan. Disamping kitab-kitab Fiqh, Al-Qur’an dan Hadist. Serta
sebagai literatur lainnya yang dapat dijadikan sebagai rujukan yang mengacu dan
berhubungan dengan bahasan yang sedang dikerjakan. Dengan kata lain
penelitian dilakukan untuk Cerai Gugat Akibat Disfungsi Pola Relasi Keluarga,
secara sistematis dan akurat berdasarkan data yang didapat di Pengadilan Agama
Serang.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer yaitu data yang
diperoleh dari buku-buku umum, buku-buku Islam, dan data-data tertulis lainnya
termasuk di dalamnya bahan hukum sekunder berupa peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi berupa Putusan No.81/Pdt.G/20007 PA.Srg, yang
berkaitan dengan bahasan skripsi.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu melalui penelitian
kepustakaan yang diharapkan dapat membantu penulis dalam mengembangkan
teori-teori yang dapat membantu permasalahan penulis.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari kepustakaan dan Pengadilan Agama
Serang diseleksi dan disusun yang kemudian data tersebut diklasifikasikan dari
Selain itu, dalam penyusunan skripsi ini penulis juga mengacu pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, agar penulisan skripsi ini sesuai dengan
kaidah penulisan skripsi. Dengan pengendalian terjemah Al-Qur’an dan Hadits
ditulis satu spasi dan daftar pustaka Al-Qur’an ditulis di awal.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, skripsi dibagi dalam lima bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama pendahuluan. Dalam bab ini, meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan maslah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab Kedua cerai gugat dalam perspektif hukum Islam, bab ini akan
menjelaskan tentang cerai gugat dalam tinjauan fikih yang mencakup pengertian,
dasar hukum dan macam cerai gugat, serta menjelaskan tentang cerai gugat dalam
tinjauan perundang-undangan, yang kemudian diakhiri dengan penjelasan prosedur
pemutusan perkara.
Bab Ketiga prosedur cerai gugat di Pengadilan Agama, pada bab ini akan
dijelaskan tentang pengkomparasian putusan hakim pada perkara cerai gugat di
Pengadilan Agama Kota Bogor Nomor 532/Pdt.G/2008/PA.bgr, di Pengadilan
Agama Jakarta Timur Nomor 63/Pdt.G/2009/PA.JT, dan Pengadilan Agama Serang
Bab Keempat pertimbangan hakim dalam Putusan Disfungsi Pola Relasi
sebagai alasan untuk mengajukan gugatan percerai yang meliputi ananalisis
pertimbangan dan dasar putusan hakim Pengadilan Agama Serang serta pertimbangan
hakim Pengadilan Agama Serang.
Bab Kelima penutup, dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan
permasalahan yang dibahas dalam skripsi serta memuat saran-saran yang dapat
BAB II
PERCERAIAN DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIP
Pada bab ini penulis terlebih dahulu akan memaparkan tentang perihal
perceraian sebelum kemudian menjelaskan tentang prosedur pemutusan perkara pada
perceraian.
A. Perceraian dalam Tinjauan Fikih 1. Pengertian Perceraian
Pengertian perceraian dalam istilah fikih disebut ―Talak” atau ―Furqah”, talak
berarti ―membuka ikatan, membatalkan perjanjian”. Furqohberarti ―bercerai”, lawan
dari berkumpul.9 Talak menurut bahasa ialah membuka ikatan, dan menurut syara`
adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri tali pernikahan antara suami dan
isteri. Sedangkan menurut istilah perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Dan talak
menurut Imam Taqiyuddin adalah melepaskan ikatan atau menceraikan.10
Putusnya perkawinan adalah istilah hokum yng digunakan dala undang-undang
perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan
antara orang laki-laki dan seorang perempuan yang selama ii idup sebagai suami
9
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
cet ke 2, hal 156 10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat
isteri.11perceraian dalam istilah fikih disebut ―talaq‖ atau ―furqah‖ berarti membuka
ikatan, membatalkan peranjian. Furqah berarti ―bercerai‖, lawan dari berkmpul.
Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli fikih yang berarti perceraian
antara suami dan isteri.12
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara`
adalah melepaskan tali perkawinan dan menakhiri tali pernikahan antara suami
isteri.13 Sedangkan talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang
sah dai piha suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat
menggantikan kata-kata tersebut.14
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian merupakan segala macam
bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami yang telah ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seseorang dari suami atau isteri.
Prof. Subekti, SH., menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan
itu.15
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat Undang-undang Perdata (Jakarta: Prenada Media 2006), cet ke 1, hal 198
12
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
cet ke 2, hal 156
13
Djaman Nur, Fikih Munakahat, (Semarang , Dina Utama, 1993),, cet ke-1 h.134
14
S. Ziyad Abbas, Fikih Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1991), h. 43 15
Jadi, dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa talak merupakan pemutus hubungan suami dan isteri serta hilanglah pula hak
dan kewajiban suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan
lafaz-lafaz tertentu, namun penekanannya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu untuk
berpisah antara suami isteri dalam artian putusnya perkawinan.
2. Dasar Hukum Perceraian
Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan
kebahagiaan yang kekal abadi bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan.16 Salah
satu asas yang disyari`atkan ialah perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi
rasa kasih-sayang dan cinta-mencintai, karena itu agama Islam mengharamkan
perkawinan yang tujuannya hanya untuk sementara waktu yang tertentu sekedar
untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah Mut`ah, nikah Muhalil, nikah
Muwaqqat, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan mahligai rumah tangga, kemungkinan terjadinya
kesalah pahaman antara suami isteri, salah satu diantara mereka atau keduanya tidak
melaksakan kewajiban sebagaimana mestinya. Bahkan terkadang menimbulkan
kebencian, kebengisan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi antara suami
isteri tersebut. Perkawinan yang demikian akan menimbulkan perceraian yang lebih
besar dan meluas diantara angota-angota keluarga yang telah terbentuk.
16
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet ke 1,
Untuk menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu pertengkaran yang
terjadi terus menerus maka agama Islam mensyari`atkan perceraian, akan tetapi
bukan berarti bahwa Agama Islam menyukai perceraian, agama Islam tetap
memandang perceraian sebagai suatu yang mustahil sesuatu yang tidak diharapkan
akan terjadi karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam.17
Adapun dasar hukum perceraian menurut hukum Islam terdapat dalam firman
Allah SWT:
―Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. [Al-Baqarah:229].18
3. Macam-macam Perceraian
Menurut hukum Islam, putusnya hubungan perkawinan (perceraian ) dapat
terjadi karena Talaq, khulu’, Syiqaq, Fasakh, Ta’lik, Dzihar, Ila’, Li’an, dan Riddah
17
Muhtar, hal 156
18
Dr. Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qowaid Fiqhiyyah, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:
(Murtad).19 Berikut ini akan penulis jelaskan secara ringkas macam-macam
perceraian tersebut.
1. Talak
Talak adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam menjelaskan talak adalah ikrar suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama.
Adapun macam-macam talak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
berikut :
a. Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama
isteri masih dalam masa Iddah.
b. Talak Ba’in, talak Ba’in ada dua macam antara lain :
1) Talak Ba’in Sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad
nikah baru dengan mantan suaminya.
2) Talak Ba’in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak ini
tidak boleh dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan
itu dilakukan setelah mantan isterinya menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
c. Talak Suni adalah talak yang diperbolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap
isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri pada waktu sucinya tersebut.
19
Chatib Rasyid, Hukum Acara perdata dalam Teori dan Praktek pada Peradilan Agama,
d. Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri
pada saat isteri sedang haid atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.20
2. Khulu’
Talak Khulu’ atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami
isteri yaitu dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta
atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu’ tersebut.21
Dasar kebolehan talak khulu’ terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka. Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim‖. [Q.S. Al-Baqarah: 229] 22
20
Inpres No 1 tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Departemen Agama, pasal2
21
Syayuti Talib, Hukum Keluarga Indonesia, (jakarta: UI Pres, 1974), cet ke 2, hal 115
22
Quraish, Shihab. Tafsir Al-Misbah, Kesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta:Lentera
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Khulu ini dengan
pernyataannya, bahwasanya Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya
dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika
keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam
pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya.
Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian,
karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra
(Perceraian besar atau Talak Tiga)
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Khulu (gugat cerai) bagi wanita,
apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena
tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka
disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.23
Perceraian yang diharamkan, hal ini karena dua keadaan:
a) Dari sisi Suami
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutuskan hubungan komunikasi
dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya
agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka
Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status
wanita itu tetap seperti asalnya jika Khulu tidak dilakukan dengan lafazh talak.
23
Www. Google.Com Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469, Penulis: Ust Kholid
b) Dari sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik
dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran diantara pasangan suami isteri
tersebut. Serta tidak ada alasan Syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka
ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
―Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan,
maka haram baginya aroma surga‖ [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil].24 3. Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri, sehingga antara
suami isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, yang tidak mungkin
dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.25
Adapun dasar adanya Syiqaq yaitu firman Allah surat An-nisa ayat 35:
Artinya:‖Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengenal
lagi maha mengetahui‖. [Q.S.An-Nisa:35]26
24
Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342 No. 2035, Penulis: Ust Kholid syamhudi. Friday, 01 February
2008. 25
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Bogor: kencana 2003), hal 241
26
Quraish, Shihab. Tafsir Al-Misbah, Kesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta:Lentera
4. Fasakh
Fasakh artinya mencabut atau menghapus, maksudnya ialah perceraian yang
disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau
keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami isteri
dalam mencapai tujuannya.27
Jadi fasakh adalah diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah
satu pihak) oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemukan celah pada pihak
lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya
perkawinan. Perceraian dalam bentuk Fasakh ini termasuk perceraian dengan proses
peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang kelangsungan perkawinan
atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara Fasakh ini
haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.28
5. Ta’lik talak
Menta’liqkan talak ialah menggantungkan thalaq dengan sesuatu, misalnya:
‖Engkau tertalak apabila engkau pergi dari rumah ini tanpa izin saya‖ atau ucapan
lain yang semacam itu. Jika si isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami maka
jatuhlah talaknya.
27
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal 194
28
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam firman Allah surat
Artinya:‖Dan jika seorang wanita khawatir akan musyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya‖. (Q.S.An-nisa: 128).
6. Zihar,Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum Zihar, Ila’ dan Li’an adalah perbuatan kata atau
sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan putusnya
ikatan perkawinan tetapi oleh hukum berdampak memutuskannya. Zihar merupakan
kebiasaan orang jahiliyyah yang tidak lagi memfungsikan isterinya sebagai isteri
walaupun masih tetap diikat. Seperti pernyataan ‖kamu seperti punggung ibuku
sendiri‖, sambil memulai sikap tidak bersedia lagi menggauli isterinya. Sedangkan
ila’ juga merupakan orang jahiliyyah yaitu pihak laki-laki bersumpah mengenai
hubungannya sebagai suami terhadap isterinya sendiri bahwa ia tidak akan
menggaulinaya lagi.29
Adapun li’an ialah saling menyatakan bahwa bersedia dilaknat Allah setelah
mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan oleh sumpah
dengan menyebut nama Allah yang dilakukan oleh suami isteri tersebut, karena salah
29
satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan perbuatan zina, atau suami
tidak mengakui anak yang sedang dikandung atau dilahirkan oleh isterinya sebagai
anaknya dan pihak yang lain menolak tuduhan tersebut, sedangkan masing-masing
pihak tidak mempunyai alat bukti yang dapat diajukan kepada hakim.30
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surat An-Nur ayat 6 yaitu:
Artinya: ‖Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri. Maka persaksian orang itu empat kali bersumpah yang dikuatkan dengan menyebut nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar‖.(Q.S. An-Nuur:6).31
7. Murtad
Murtad ialah keluar dari agama Islam, baik pindah agama lain atau tidak
beragama. Sebagaimana halnya dengan agama-agama yang lain, maka agama Islam
menghadapi secara ekstrim orang-orang yang keluar dari agama Islam. Dan dapat
diancam dengan pidana mati, seandainya setelah keluar dari agama Islam mereka
berada dipihak orang yang menentang agama Islam. Murtad juga berakibat hukum,
yaitu perubahan kedudukan hukum suami isteri dalam perkawinan.
30
Achmad Khuzari, Nikah seagai ikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal 143.
31
Quraish, Shihab. Tafsir Al-Misbah, Kesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta:Lentera
B. Perceraian dalam Perundang-undangan dan KHI
1. Perceraian menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974
Pada UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama secara khusus diatur hal
yang berkenaan dengan pemeriksaan sengketa perkawinan terutama yang
menyangkut sengketa perkara perceraian. Pada dasarnya hal tersebut telah diatur pada
UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan telah dilengkapi dengan aturan
pelaksana PP No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang. Sebagai
gantinya, dituangkan dalam Pasal 73 UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama.
Pengulangan tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika tata cara
pemeriksaan perkara perkawinan ke arah menjembatani tuntutan praktek dan
kesadaran masyarakat. Terutama untuk melindungi pihak isteri dalam
mempergunakan haknya mengajukan gugat perceraian, seperti yang diungkapkan
penjelasan Pasal 73 Ayat (1).32
Sebelum berlakunya UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perceraian tidak
diatur dalam perundang-undangan, penyelesaiannya cukup dilaksanakan di Kantor
Urusan Agama Kecamatan. Perceraian baru diatur secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dalam bagian-bagian sendiri dengan sebutan ―Cerai Talak‖, demikian
juga tentang Undang-undang No 7 Tahun 1989, Undang-undang No 3 Tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
32
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. (Jakarta : Sinar
lebih mempertegas lagi tentang keberadaan cerai talak ini. Jadi Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan tonggak sejarah dimana cerai talak ini secara resmi diatur
dalam peraturan tersendiri.33
Dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikemukakan
bahwa seorang suami yang hendak menceraikan isterinya berdasarkan perkawinan
menurut agama Islam, mengajukan permohonan ke pengadilan berdasarkan tempat
tinggalnya. Permohonan tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan
agama agar membuka sidang untuk keperluan tersebut. Pengadilan yang
bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil suami isteri untuk didengar keterangannya
dalam persidangan, serta mendengar keputusan majlis hakim apakah permohonan
talak itu beralasan atau tidak. Pengadilan agama hanya memutuskan untuk memberi
izin ikrar talak jika alasan-alasan yang diajukan oleh suami terbukti secara nyata
dalam persidangan, itupun setelah majlis hakim berusaha semaksimal mungkin untuk
merukunkan kembali dan majlis hakim berpendapat bahwa antara suami isteri
tersebut tidak mungkin lagi untuk didamaikan dan menjadi rukun lagi dalam suatu
rumah tangga.34
33
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Islam di Indonesia, hal 17
34
Cerai Gugat Menurut Kompilasi Hukum Islam Khulu’ adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau Iwadl kepada dan atas
persetujuan suaminya. Jadi dengan demikian Khulu’ termasuk kategori cerai gugat.35
Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan unuk menuntuk hak atau memaksa pihak
lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya. Sementara Prof, DR. Sudikno
Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan adalah tuntutan hak yaitu tindakan
yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting).36
Menurut Kompilasi Hukum Islam (Pasal 1 Huruf i) Khulu’ adalah perceraian
yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan
atas persetujuan suaminya. Gugatan dalam perkawinan menurut agama Islam dapat
berupa gugatan karena suami melanggar ta’lik talak, gugatan karena syiqaq, gugatan
karena fasakh, dan gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal
19 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.37
Adapun syarat untuk melakukan cerai gugat yaitu sebagai tersebut :
35
Ahmad Rofiq, HukumIslam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2003), hal 301
36
Abndul Manan, Penerapan Hukum acara perdata di lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah, 2000), hal 1 37
a. Adanya kerelaan dan persetujuan dari kedua belah pihak
Sepakat ahli-ahli fikih bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan kerelaan
dan persetujuan dari suami isteri, asalkan kerelaan dan persetujuan tersebut
tidak merugikan pihak lain. Apabila suami tidak mengabulkan permintaan
khulu’ (cerai gugat) dari isterinya, sedangkan pihak isteri masih merasa
dirugikan haknya sebagai seorang isteri, maka ia dapat mengajukan gugatan
cerai kepada pengadilan. Hakim hendaknya memberi keputusan perceraian
antara suami isteri tersebut selama ada alat-alat bukti yang bisa dijadikan
dasar-dasar gugatan oleh pihak isteri.38
b. Isteri yang dikhulu’
Sepakat para ahli fikih bahwa isteri yang dapat dikhulu’ ialah isteri yang
mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya.
Adapun isteri-isteri yang tidak atau belum mukallaf, yang berhak mengadakan
atau mengajukan permintaan khulu’ kepada pihak suami adalah walinya.
c. Iwadl
Iwadl (pengganti) merupakan ciri has dari khulu’. Selama iwadl belum
diberikan oleh pihak isteri kepada pihak suaminya, maka selama itu pula
tergantungnya perceraian. Akan tetapi setelah iwadl diserahkan dari pihak isteri
kepada pihak suami barulah terjadi perceraian. Dan mengenai jumlah iwadl
dilakukan atas persetujuan suami isteri tersebut.
38
d. Waktu menjatuhkan khulu’
Sepakat para ahli fiqih bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haidh,
pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampurinya dan sebagainya, atau
dengan kata lain, khulu’ dapat dilakukan kapan saja.39
C. Akibat Perceraian
Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan Mitsaqan Ghalidha (perjanjian
suci). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu
saja selesai urusannya, akan tetapi ada akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh
pihak-pihak yang bercerai.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan akibatkan putusnya Perkawinan,
dari segi timbulnya masa iddah:
1. Karena talak ialah timbulnya masa iddah dan selamanya masa iddah, isteri
boleh dirujuk.
2. Kompilasi Hukum Islam pasal 153 (1): Bagi seorang isteri yang putusnya
perkawinannya berlaku masa iddah, kecuali qobla al-dukhul dan
perkawinanya putus bukan kematian suami.
3. Kompilasi Hukum Islam pasal 155: Waktu iddah bagi wanita yang putus
perkawinanya karena khulu’, fasakh dan lian berlaku iddah talak.40
Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam pasal 149 menyebutkan:
39
Ibid, hal 172 40
A. Rahman I. Doi, Penjelasan lengkap Hukum-Hukum Allah (syari’ah), (Jakarta:
1. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al-dukhul.
2. Memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih berhitung seluruhnya, dan separuh apabila qabla
al-dukhul
4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun.41
Jika perceraian tersebut karena Khulu’, maka seperti yang tertera di dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 161, akan mengurangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk. Dan apabila karena lian maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan
anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedangkan suaminya terbebas dari
kewajiban memberi nafkah (KHI Pasal 162).
Adapun dalam hal pemeliharaan anak akibat putusnya sebuah perkawinan
karena perceraian yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 156 adalah:
1) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhnah dari ibunya
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukanya digantikan
oleh:
a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
41
Kompilasi Hukum Islam. Tim Redaksi Nuansa Aulia,(Bandung: Nuansa Aulia. 2008), cet.
b. Ayah
c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah
d. Saudara perempuandari anak yang bersangkutan
e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
2) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya.
3) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi
maka atas permitaan kerabat yang bersangkutan Peradilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
hadhanah pula.
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhnah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusanya berdasarkan huruf (a), (b), (c), (d).
6) Pengadilan Agama dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang
tidak turut padanya.42
42
BAB III
PROSEDUR CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
A. Prosedur Cerai Gugat
Tata cara penyelesaian cerai gugat diatur sebagai berikut:
1. Gugatan Cerai diajukan kepada Pengadilan Agama
a. Cerai Gugat diajukan oleh seorang isteri yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam (penjelasan Pasal 20 PP No.9/1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama (Pasal 40 ayat (1)
jo pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).43
2. Surat gugatan cerai
a. Surat gugatan cerai memuat :
1) Nama, umur dan tempat kediaman penggugat yaitu isteri, dan
tergugat yaitu suami.
2) Alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian
3) Petitum perceraian
b. Gugatan cerai dapat diajukan berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang
diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, pasal
19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No 1
43
Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama, (Yogyakarta : Pustaka
Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 116 dan Kompilasi Hukum
Islam.44
3. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
a. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat,
kecuali dalam hal:
1) Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin Tergugat, maka gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2) Penggugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan perceraian
juga diajukan kepada Pengadilan Agama daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Tergugat.
3) Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal 73 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama).45
44
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,hal.219.
45
b. Gugatan cerai diproses di Kepaniteraan gugatan dan dicatat dalam register
induk perkara gugatan.46
4. Pemanggilan pihak-pihak
a. Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut (Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan).
b. Pemanggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila
yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan
melalui lurah atau yang dipersamakan dengan itu.47
5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majlis Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas surat gugatan;
b. Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemaggilan dan diterimanya
panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.48
46
Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan agama, hal.220.
47
Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama,
(Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. Ke-5, hal.63.
48
Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama, hal.
6. Kumulasi perkara
a. Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap (pasal 86 (1) Undang-undang Peradilan Agama);
b. Tata cara pemerikasaan kumulasi perkara ini sama dengan dalam perkara
cerai talak. Apabila Tergugat mengajukan rekonpensi maka diselesaikan
menurut tata cara rekonpensi.49
7. Upaya perdamaian
a. Upaya perdamaian dalam perkara gugatan cerai dilakukan sama seperti
dalam perkara cerai talak.
b. Dalam sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak.
8. Gugat provisionil
a. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat
atau Tergugat atau berdasarkan pertimbangan berbahaya yang mungkin
ditumbuhkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah (pasal 77 Undang-undang Peradilan
Agama pasal 24 Peratutan Pemerintah No.9/1975 tentang Pelaksanaan
Perkawinan);
49
Mukti Arto, PraktekPperkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka
b. Permohonan tersebut dapat diajukan dalam persidangan dicatat dalam
Berita Acara Persidangan. Izin untuk tidak tinggal dalam satu rumah
diberikan oleh hakim dalam persidangan dan dicatat dalam Berita Acara
Persidangan;
c. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan Penggugat,
pengadilan dapat :
1) Menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
3) Menentukan hal-hal yang perlu menjamin terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang-barang-barang
yang menjadi hak isteri (pasal 78 Undang-undang Peradilan Agama,
pasal 24 PP No.9/1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan).
d. Gugatan tersebut di atas merupakan gugatan provisionil dan karenanya
diselesaikan menurut tata cara gugatan provisionil.50
B. Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama
Beberapa contoh cerai gugat oleh sebab pelanggaran taklik talak sebagai
berikut :
50
Mukti arto, PraktekPperkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar
1. Perkara cerai gugat di Pengadilan Agama kota Bogor No 532/Pdt.G/2008/PA.bgr
Oki Agustina, Umur 26 tahun yang kemudian disebut sebagai penggugat
dengan Sigit Purnomo, Umur 31 tahun yang kemudian disebut sebagai tergugat.
Telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 2 Agustus 2008 di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Tanah Sereal, sebagaimana kutipan Akta Nikah Nomor
749/07/VIII/2003, tanggal 4 Agustus 2003, bermaksud mengajukan gugatan
kepada Ketua Pengadilan Agama Bogor tertanggal 20 November 2008 yang telah
didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama tersebut pada Register Nomor:
532/Pdt.G/2008/PA-Bgr, tanggal 20 November 2008.51 Yang pada pokoknya
mengajukan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan tergugat pada
tanggal 2 Agustus 2003, di KUA Kecamatan Tanah Sereal, sebagaimana
kutipan Akta Nikah Nomor : 749/07/VIII/2003.
b. Bahwa penggugat dan tergugat selama pernikahan telah dikaruniai dua anak
dan pada gugatan ini diajukan penggugat dalam keadaan hamil lima bulan,
serta anak yang dilahirkan masih di bawah umur. Sesuai dengan Kutipan Akta
Lahir Nomor : 3331/2004 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil
Kota Bogor, dan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 4210/2006 yang
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Bogor. Masing-masing
lahir anak pertama tanggal 20 Mei 2004 dan anak kedua tanggal 17 Juni 2006.
51
c. Bahwa penggugat dan tergugat selama pernikahan cukup baik dan harmonis,
akan tetapi mulai 2007 sampai dengan gugatan ini diajukan sering terjadi
percekcokan terus menerus yang disebabkan oleh :
1) Bahwa tergugat mempunyai kecurigaan yang berlebihan terhadap
penggugat walaupun penggugat meyakinkan tergugat.
2) Bahwa tergugat selalu bertingkah dan bertindak yang bersifat emosional
bahkan melakukan suatu tindakan ringan tangan terhadap penggugat.
3) Bahwa tergugat sebagai kepala rumah tangga selalu mengutarakan
kata-kata yang tidak sopan dan tidak pantas diucapkan oleh seorang suami
terhadap istri (penggugat).
4) Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang cukup menurut hukum telah terjadi
percekcokan yang terus menerus antara penggugat dan tergugat dan tidak
ada lagi harapan untuk rukun kembali, sehingga penggugat berkesimpulan
lebih baik mengakhiri (bercerai) dengan tergugat.
Berdasarkan hal-hal di atas, penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan
Agama Bogor untuk memutuskan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
2. Menjatuhkan talak bain sughra dari tergugat kepada penggugat
3. Memerintahkan kepada panitera atau pejabat yang diajukan untuk mengirim
putusan ini kepada KUA Kecamatan Sereal, Kota Bogor di tempat
pernikahan ini didaftarkan dan dilaksanakan agar putusan perceraian tersebut
4. Menetapkan penggugat sabagai wali dan hak asuh terhadap anak yang masih
dibawah umur.
5. Menghukum tergugat untuk membayar biaya hidup isteri, biaya persalinan,
biaya pemeliharaan anak dan pendidikan anak sampai dengan dewasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam hal ini Majlis Pengadilan
Agama Kota Bogor dengan Hakim Ketua dan Hakim Anggota I dan II, pada
sidang yang terbuka untuk umum serta dibantu oleh panitera yang dihadiri oleh
penggugat dan kuasa tergugat pada tanggal 20 januari 2009 bertepatan dengan
tanggal 23 Muharram 1430 mengadili :
1. Mengabulkan gugatan penggugat
2. Menjatuhkan talak satu bain sughra dari tergugat pada penggugat
3. Menetapkan anak tergugat dan penggugat berada di bawah hadhanah
penggugat.
4. Menghukum tergugat untuk memberikan kepada penggugat :
a. Biaya hidup penggugat selama belum menikah
b. Biaya perawatan sampai persalinan anak,dan
c. Biaya hadhanah anak.
2. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 63/Pdt.G/2009/PA.JT
Ening Wardayanti, Umur 54 tahun, agama Islam, pendidikan SMA,
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. E No. 35 RT. 005 RW. 008
Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur yang
selanjutnya disebut penggugat, pada Tanggal 7 Januari 2009 mengajukan
gugatan cerai kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan Nomor Registrasi
63/Pdt.G/2009/PAJT. Penggugat bermaksud menggugat suaminya yaitu C.H.B.
Kuncoro, Umur 55 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan pensiunan,
bertempat tinggal di Jl. Tirta Sari Surya No. D5 RT. 005 RW. 003, Kelurahan
Utan Kayu Selatan Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur selanjutnya
disebut tergugat.52
Dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat pada pokoknya
mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
Pada hari sabtu tanggal 8 Desember 1982, telah berlangsung pernikahan
antara penggugat dan tergugat, di hadapan Pejabat PPN Kantor Urusan Agama
Kecamatan Matraman, Jakarta Timur dengan Akta Nikah Nomor 782/42/1982
Tanggal 18 Desember 1982. Setelah menikah mereka hidup rukun sebagaimana
layaknya suami isteri dengan baik, telah berhubungan badan dan keduanya
bertempat tinggal bersama di Jl. Tirta Sari Surya No. D5 RT. 005 RW. 003
52
Kelurahan Utan Kayu Selatan, Kecamatan Matraman, Kota Jakarta Timur selama
25 tahun dan dikaruniai 3 orang anak bernama :
a. Anton Kuntarto, lahir 23 Desember 1983
b. Nico Febrianto, lahir Tanggal 09 Februari 1986
c. Riska Artanti, lahir Tanggal 27 Oktober 1991
Lalu kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan terjadi perselisihan
dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan Januari
tahun 2000. Perselisihan dan pertengkaran tersebut semakin tajam dan
memuncak terjadi pada bulan Mei 2007. Sebab-sebab terjadinya perselisihan dan
pertengkaran tersebut karena :
a. Antara penggugat dan tergugat sudah tidak ada kecocokan lagi dalam
membina rumah tangga.
b. Tergugat tidak bisa menjadi imam yang baik dalam keluarga karena beliau
tidak pernah menjalankan sholat lima waktu dan lebih mempercayai hal-hal
yang bersifat ghoib.
c. Tergugat tidak jujur dalam hal keuangan
d. Tergugat tiap kali bertengkar selalu memaki penggugat dengan kata-kata
kasar yang membuat penggugat sakit hati.
Akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, ahirnya pada bulan Mei
tahun 2007 hingga waktu kurang lebih 1 tahun 8 bulan, penggugat dan tergugat
bersama yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini penggugat telah
bertempat tinggal di Jl. Tirta Sari Surya No. D5 Utan Kayu Selatan.
Sejak berpisah penggugat dan tergugat selama 1 Tahun 8 Bulan, maka hak
dan kewajiban suami isteri tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak
itu tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap
penggugat.
Kemudian penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan
jalan atau cara bermusyawarah dengan tergugat secara baik-baik tetapi tidak
berhasil. Dengan sebab-sebab tersebut maka penggugat merasa rumah tangga
antara penggugat dan tergugat tidak bisa dipertahankan lagi, karena perselisihan
dan pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi dan
tidak ada harapan untuk rukun lagi. Maka penggugat berkesimpulan lebih baik
bercerai dengan tergugat.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam hal ini Majlis Pengadilan
Agama Jakarta Timur dengan Hakim Ketua dan Hakim Anggota I dan II, pada
sidang yang terbuka untuk umum serta dibantu oleh Panitera yang dihadiri oleh
penggugat pada tanggal 7 Januari 2009 mengadili :
a. Mengabulkan gugatan penggugat
b. Menjatuhkan talak bain sughra tergugat terhadap penggugat
3. Perkara Cerai Gugat di Peradilan Agama Serang Nomor
81/Pdt.G/2007/PA.Srg
Sarniyah binti Sakim, Umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak
bekerja, bertempat tinggal di Kampung Calung, RT 11/04, Desa Pulo,
Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang yang kemudian disebut sebagai penggugat.
Bermaksud mengajukan gugatan cerai pada Pengadilan Agama Serang terhadap
suaminya yaitu, A. Rohani bin Dulgani, Umur 31 tahun, agama Islam, pekerjaan
tidak bekerja, bertempat tinggal di Kampung Bolang Beji, Desa Teras Bending,
Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, selanjutnya disebut tergugat.53
Bahwa penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 13 Maret 2007 yang
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Serang dengan Perkara Nomor
81/Pdt.G/2007/PA.Srg telah mengemukakan hal-hal dihadapan sidang yang pada
pokoknya sebagai berikut :
1. Bahwa, penggugat adalah isteri sah tergugat yang menikah pada tanggal
24 November 2003 dengan bukti Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor
KK.06/PW.01/24/III/2007 tanggal 12 Maret 2007 yang dikeluarkan oleh
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang.
2. Bahwa, penggugat dan tergugat setelah menikah membina rumah tangga
di rumah orang tua penggugat di Cinanggung selama kurang lebih 3
bulan, sudah rukun, namun belum dikaruniai anak.
53
3. Bahwa, rumah tangga penggugat dan tergugat selama 3 bulan pertama
rukun dan harmonis, namun kemudian penggugat meminta izin kepada
tergugat selaku suami untuk bekerja di Saudi Arabia dan tergugat
mengizinkannya dan sejak bulan ke 4 pernikahan penggugat dan tergugat
pisah tempat tinggal karena penggugat bekerja di Arab, sedangkan
tergugat pulang ke rumah orang tuanya di Kragilan.
4. Bahwa, setelah penggugat bekerja 6 bulan, penggugat mengirim uang
kepada tergugat sebesar kurang lebih Rp.7.000.000,00 (tujuh juta rupiah)
dengan tujuan untuk dipergunakan membeli sawah atau barang lainnya
agar hasil kerja penggugat ada manfaatnya.
5. Bahwa, ternyata tergugat telah tidak bertanggung jawab dan tidak
memanfaatkan hasil usaha penggugat dan tergugat tidak mempergunakan
uang tersebut sebaik mungkin, tetapi telah menggunakannya dengan tidak
jelas untuk apa?
6. Bahwa, setelah 2 tahun penggugat bekerja di Saudi Arabia, penggugat
pulang ke rumah orang tua penggugat dan penggugat meminta tergugat
datang ke rumah orang tua penggugat, namun ia tidak pernah mau datang,
sehingga penggugat menyusulnya beberapa kali dan setelah penggugat
bertemu dengan tergugat, penggugat menanyakan tentang uang yang telah
dikirim penggugat, namun tergugat hanya diam, lalu penggugat meminta
untuk dikembalikan, namun hanya dapat memberikan sebesar Rp.