i
STUDI ANALISIS KEHILANGAN AIR PADA SALURAN IRIGASI
DI DAERAH IRIGASI WAY NEGARA RATU
Oleh
Adenan Yusuf
ABSTRAK
Efektivitas saluran irigasi sangat tergantung dari ketersediaan air atau debit air pada saluran irigasi. Berkurangnya debit air yang terjadi akibat hilangnya air pada saluran irigasi, baik sebagian ataupun seluruhnya, dapat dipastikan akan berdampak negatif terhadap kinerja sistem irigasi. Mengingat dampak buruk dari berkurangnya debit air pada saluran irigasi, penulis tertarik untuk melakukan sebuah analisis terhadap kehilangan air pada saluran irigasi. Sebagai objek studi kasus penelitian ini, Penulis memilih Daerah Irigasi Way Negara Ratu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya volume dan debit air yang hilang pada saluran irigasi primer, sekunder dan tersier pada Daerah Irigasi Way Negara Ratu, sekaligus untuk mengetahui faktor‐faktor yang menyebabkan terjadinya kehilangan air pada saluran irigasi tersebut.
Metode yang digunakan dalam memperkirakan kehilangan air di saluran adalah Velocity Area, yaitu dengan cara melakukan pengukuran besarnya debit aliran masuk dan keluar dari suatu ruas saluran. Selanjutnya melakukan pengukuran volume kehilangan air selama jangka waktu tertentu untuk mengetahui besarnya kehilangan air per m2.
Kehilangan air pada saluran irigasi Way Negara Ratu Kabupaten Lampung Selatan yaitu pada saluran Primer (BNR I‐BNR III ; BNR III‐BNR IV dan BNR IV‐BNR V) kehilangan rata‐rata sebesar 27,8206% dan pada saluran sekunder (BBS IV‐BBS Va ; BBS Va‐BBS V dan BBS V‐BBS VI) kehilangan air rata‐rata sebesar 19,7035%. Sedangkan Batas kehilangan air di jaringan irigasi yaitu antara 5% ‐ 10%. Faktor utama penyebab terjadinya kehilangan air pada saluran irigasi Way Negara Ratu Kabupaten Lampung Selatan disebabkan karena kerusakan pada saluran sehingga menyebabkan kebocoran.
Kata Kunci : Jaringan irigasi, kehilangan air, debit air
STUDY ON ANALYSIS OF WATER LOSS IN IRRIGATION CANALS IN THE IRRIGATION WAY NEGARA RATU
By
Adenan Yusuf
ABSTRACT
The effectiveness of irrigation depends greatly of the availability of water or discharge water on irrigation channels. The reduced water discharge that occurs as a result of the loss of water in the irrigation channels, either in part or in whole, is certain it will negatively impact the performance of irrigation systems. Given the bad impact of decreased discharge wateron irrigation channels, the authors are interested in doing an analysis of the water loss in irrigation channels. As the object of case studies this study, the author Selects The Irrigation Way Negara Ratu.
The purpose of this research is to know the magnitude of volume and discharge water irrigation channels lost on primary, secondary and tertiary Irrigation Area in the Way Negara Ratu, at once to find out the factors that led to the loss of water in the irrigation channels.
Method to be used in estimating water loses in irrigation channels is velocity area method, that is to measure the magnitude of inflow and outflow of water supply in an irrigation channel segment. The next step is to measure the water loses volume during a certain period of time to determine the total amount of water loses per square meter.
Water loss in irrigation channels Way Negara Ratu of South Lampung district in Primary channels (BNR BNR I‐III; BNR BNR IV and III‐IV‐V BNR BNR) lost an average of 27,8206% and on the secondary channel (BBS BBS IV‐Va; BBS BBS V and Va‐BBS BBS V‐VI) water loss on average by 19,7035%. Whereas the limit water loss in irrigation networks, namely between 5%‐10%. The main factor causing the occurrence of water loss in irrigation channels Way South Lampung Regency Queen Country due to damage to the channel causing the leakage.
Keywords : irrigation Network, water loss, water discharge.
STUDI ANALISIS KEHILANGAN AIR PADA SALURAN IRIGASI
DI DAERAH IRIGASI WAY NEGARA RATU
(Skripsi)
Oleh
ADENAN YUSUF
FAKULTAS TEKNIK
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
Bismillahhirahmannirrahim
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas rahmat dan
karunia kasih dan sayang ALLAH Subhanahuwata’ala. Aku persembahkan
dengan tulus hasil karya ilmiah ini kepada Ayah dan Emak serta Istriku yang aku sayangi.
Ayah dan Emak yang kusayangi yang menjadi motivasi dalam hidupku yang selalu
mendo’akanku, terimakasih atas pengorbanan dan kesabarannya yang telah
menghatarkanku sampai mewujudkan cita‐citaku ini agar aku dapat
membanggakan Ayah dan Emak.
Semua pengajar yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menghadapi tantangan dalam dunia kerja.
Istriku Inna Rubhasy, ST. terimakasih atas do’a, kesabaran, pengorbanan,
perhatian, kepedulian dalam menyemangati dan membantuku sehingga dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini.
Sahabat‐sahabatku seperjuangan di Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.
RIWAYAT
HIDUP
PENULIS
Adenan Yusuf dilahirkan di Teluk Betung, pada tanggal
06 Maret 1984. Penulis merupakan anak kedua dari
empat bersaudara, pasangan dari Bapak Umar Yusuf
dan Ibu Masnon.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 2
Sumur Batu Bandar Lampung yang diselesaikan pada
tahun 1997. Pendidikan lanjutan tingkat pertama
ditempuh di SLTP Negeri 6 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2000.
Kemudian melanjutkan pendidikan tingkat atas di SMK Negeri 2 Bandar Lampung
yang diselesaikan pada tahun 2003.
Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung
pada tahun 2007 melalui jalur Non Reguler. Penulis melakukan Kerja Praktik pada
Proyek Renovasi Gudang Laboratorium Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Balai
Besar POM Bandar Lampung yang dilaksanakan oleh PT. Stupa Mutiara
Khalutistiwa.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... i
SANWACANA ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR ISTILAH DAN SIMBOL ... xiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang, Rumusan Masalah dan Hipotesa ... 1
1.1.1 Latar belakang ... 1
1.1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.1.3 Hipotesis ... 4
1.2 Ruang Lingkup Kajian ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Metode dan Pengumpulan Data ... 4
1.4.1 Metode ... 4
1.4.2 Pengumpulan Data ... 5
1.5 Sistematika Penulisan ... 5
II. STUDI PUSTAKA ... 6
2.1 Irigasi ... 6
2.1.1 Definisi Irigasi ... 6
2.1.2 Jaringan Irigasi ... 7
2.1.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi ... 14
2.2 Kehilangan Air ... 15
2.2.1 Efisiensi ... 15
2.2.2 Formula Perhitungan Rembesan Air Irigasi ... 16
2.2.3 Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi ... 19
2.2.4 Perhitungan Debit Air di Saluran ... 24
III. METODE PENELITIAN ... 30
3.1 Lokasi Studi dan Waktu Penelitian ... 30
3.1.1 Lokasi Studi ... 30
xii
3.2 Objek Penelitian ... 34
3.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 34
3.3.1 Letak Geografis ... 34
3.3.2 Kondisi Tanah ... 34
3.3.3 Kondisi Jaringan Irigasi ... 36
3.3.4 Iklim ... 36
3.3.5 Sumber Pengambilan Air ... 37
3.4 Metode Penelitian ... 37
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. ... 47
4.1 Pengukuran Debit ... 47
4.1.1 Hasil Perhitungan Penampang Basah Saluran ... 48
4.1.2 Hasil perhitungan kecepatan ... 49
4.1.3 Hasil Perhitungan kehilangan air dengan pengukuran debit menggunakan current meter ... 53
4.2 Perhitungan kehilangan air akibat rembesan... 54
4.3 Perhitungan kehilangan air akibat Evaporasi ... 56
4.4 Perhitungan Kehilangan Air Akibat Evapotranspirasi ... 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66
5.1 Kesimpulan ... 66
5.2 Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISTILAH DAN SIMBOL
Velocity Area
: Metode untuk mengetahui debit suatu sungai atau saluran
dengan cara pengukuran kecepatan aliran dan penampang
sungai/saluran.
S
: Kehilangan akibat rembesan, m3 /dt per km panjang saluran
Q
: debit, m3 / dt
V
: kecepatan, m/dt
V
0,2: Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0,2 h, m/dt.
V
0,6: Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0,6 h, m/dt.
V
0,8: Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0,8 h, m/dt.
C
: Koefisien tanah rembesan, m/hari
0,035
: Konstanta, m/km
A
: Luas Penampang Saluran (m
2)
E
: Evaporasi (mm/hari)
e
a: Tekanan Uap Jenuh Pada Suhu Rata-rata harian (mm/Hg)
e
d: Tekanan Uap Sebenarnya (mm/Hg)
h
: Kedalaman air
ETo
: Evapotranspirasi potensial (mm/hari)
Kp
: Koefisien panci
Epan
: Penguapan panci Pan A rata-rata (mm.hari)
ET
: Evapotranspirasi dalam mm/hari
c
: Faktor koreksi akibat keadaan iklim siang dan malam
w
: Faktor bobot tergantung dari temperatur udara dan
Rn
: Radiasi netto ekivalen dengan evaporasi mm/hari Rns - Rnl
Rns
: Gelombang pendek radiasi yang masuk
: ( 1 -
∝
) . Rs = ( 1 -
∝
) . ( 0,25 + n/N ) . Ra
Ra
: Ekstra terestrial radiasi matahari
Rnl
: f(t).f(e
d).f(n/N) Gelombang panjang radiasi netto
N
: Lama maksimum penyinaran matahari
1 - w
: Faktor bobot tergantung pada temperatur udara
f(u)
: Fungsi kecepatan angin = 0,27 . ( 1 + u/100 )
f(e
d)
: Efek tekanan uap pada radiasi gelombang panjang
f(n/N)
: Efek lama penyinaran matahari pada radiasi gelombang
panjang
f(t)
: Efek temperatur pada radiasi gelombang panjang
e
a: Tekanan uap jenuh tergantung pada temperatur
e
d: e
a. R
h/100
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Bangunan Ukur Yang Dapat Dipakai
13
Tabel 2
Klasifikasi Jaringan Irigasi
14
Tabel 3
Formula Kebutuhan Air
16
Tabel 4
Nilai Koefisien Tanah Rembesan ( C )
17
Tabel 5
Metode Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi
20
Tabel 6
Parameter Perencanaan Evaporasi
21
Tabel 7
Koefisien Refleksi (Albedo)
23
Tabel 8
Data Saluran Pada Daerah Irigasi Way Negara Ratu
36
Tabel 9
Batas Kehilangan Air Pada Jaringan Irigasi Secara Umum
38
Tabel 10
Lokasi Pengukuran Debit Pada Saluran
41
Tabel 11
Perhitungan Debit Pada Saluran BNR 1
52
Tabel 12
Perhitungan Kehilangan Debit Selisih dan Persentase Debit
di Hulu dan di Hilir
53
Tabel 13
Perhitungan Kehilangan Air Akibat Rembesan Menggunakan
55
Rumus Moritz (USBR)
Tabel 14
Perhitungan Kehilangan Air Akibat Evaporasi Panci Penguapan
58
Tabel 15
Perhitungan Evapotranspirasi Dengan Metode
62
Bismillahhirahmannirrahim
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas rahmat dan
karunia kasih dan sayang ALLAH Subhanahuwata’ala. Aku persembahkan
dengan tulus hasil karya ilmiah ini kepada Ayah dan Emak serta Istriku yang aku sayangi.
Ayah dan Emak yang kusayangi yang menjadi motivasi dalam hidupku yang selalu
mendo’akanku, terimakasih atas pengorbanan dan kesabarannya yang telah
menghatarkanku sampai mewujudkan cita‐citaku ini agar aku dapat
membanggakan Ayah dan Emak.
Semua pengajar yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sebagai bekal menghadapi tantangan dalam dunia kerja.
Istriku Inna Rubhasy, ST. terimakasih atas do’a, kesabaran, pengorbanan,
perhatian, kepedulian dalam menyemangati dan membantuku sehingga dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini.
Sahabat‐sahabatku seperjuangan di Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang, Rumusan Masalah dan Hipotesa
1.1.1 Latar belakang
Indonesia merupakan sebuah negara agraris dimana mata pencaharian
mayoritas penduduknya adalah bercocok tanam. Secara geografis, Indonesia
merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi alam sangat besar, baik di
bidang kelautan maupun pertanian. Sektor pertanian dapat dikatakan
merupakan sektor yang mempunyai peranan penting dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan hidup seluruh penduduk Indonesia.
Kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan negara tercatat sebesar 14.8%
(berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN TA. 2014, hal. 2‐8). Sedangkan terhadap
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), sektor pertanian hanya
memberikan kontribusi sebesar 0,4% (Nota Keuangan dan RAPBN TA. 2014, hal.
2‐19). Dalam upaya meningkatkan kontribusi sektor pertanian, pemerintah telah
menetapkan beberapa kebijakan, diantaranya peningkatan dan rehabilitasi
irigasi.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut di atas, pemerintah Provinsi
Lampung juga melaksanakan program peningkatan dan rehabilitasi irigasi secara
berkelanjutan. Provinsi Lampung yang dikenal sebagai bumi agribisnis terus
2
gula (Produksi saat ini : 35% dari kebutuhan nasional), penghasil beras peringkat
tujuh nasional (surplus 800.000 ton), penghasil jagung ketiga terbesar, penghasil
ubi kayu terbesar nasional, ekspor nenas kaleng terbesar nasional dengan tujuan
Spanyol sebanyak 167.018 ton, buah‐buahan dan sayur‐sayuran segar lebih dari
1.000 ton per hari. Berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi
Lampung 2012, sektor pertanian memberikan sumbangan tertinggi, yaitu sebesar
35,92% terhadap Produk Domestik Bruto Provinsi Lampung (Lampung Dalam
Angka, 2013).
Sehubungan dengan program peningkatan dan rehabilitasi irigasi, khususnya
yang dijalankan Provinsi Lampung untuk meningkatkan hasil pertanian, perlu
diperhatikan berbagai hal yang dapat mempengaruhi ketersediaan air pada
jaringan irigasi. Dalam hal ini, ketersediaan air pada seluruh saluran irigasi, yaitu
saluran irigasi primer, sekunder dan tersier. Faktor‐faktor yang mempengaruhi
ketersediaan air pada jaringan irigasi meliputi kerusakan struktur bangunan
bendungan/bendung, saluran irigasi primer, sekunder, tersier, perembesan air
pada saluran irigasi, sedimentasi pada saluran irigasi, dan evaporasi. Intinya,
efektivitas saluran irigasi sangat tergantung dari ketersediaan air atau debit air
pada saluran irigasi. Berkurangnya debit air yang terjadi akibat hilangnya air pada
saluran irigasi, baik sebagian ataupun seluruhnya, dapat dipastikan akan
berdampak negatif terhadap kinerja sistem irigasi. Mengingat dampak buruk dari
berkurangnya debit air pada saluran irigasi, penulis tertarik untuk melakukan
sebuah analisis terhadap kehilangan air pada saluran irigasi. Sebagai objek studi
kasus penelitian ini, dipilih Daerah Irigasi Way Negara Ratu. Adapun judul
penelitian ini adalah “tudi Analisis Kehilangan Air pada Saluran Irigasi Di Daerah
1.1.2 Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang dihadapi oleh Daerah Irigasi Way Negara Ratu pada
saat studi kasus dilakukan, sesungguhnya merupakan fenomena yang lazim
terjadi di daerah irigasi lain di Indonesia, yaitu pada musim kemarau tidak semua
petak sawah dapat terairi secara merata. Gejala kekurangan air irigasi yang dapat
dilihat secara kasat mata tersebut antara lain disebabkan kondisi jaringan irigasi
yang belum semuanya permanen, banyaknya tumbuhan di areal bendung dan
saluran yang mengganggu aliran air irigasi serta kerusakan pada saluran irigasi.
Kehilangan air irigasi yang menyebabkan terjadinya kondisi kekurangan air pada
petak‐petak sawah dapat diminimalisir jika program peningkatan dan rehabilitasi
irigasi berjalan baik, disamping pelaksanaan kegiatan pemeliharaan rutin dan
berkala terhadap seluruh saluran irigasi.
Berdasarkan tinjauan singkat tentang pokok masalah yang dihadapi Daerah
Irigasi Way Negara Ratu dan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan
diatas, berikut ini adalah rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut :
1. Buruknya kondisi bangunan bendungan/bendung dan jaringan irigasi yang
telah dibangun di Daerah Irigasi Way Negara Ratu. Masalah ini menjadi
penting dan perlu dicari jawabannya mengingat beberapa faktor yang
mempengaruhi ketersediaan air pada jaringan irigasi, antara lain adalah
berkenaan dengan kerusakan bangunan bendungan/bendung pada hulu
saluran irigasi primer dan perembesan air pada saluran irigasi.
2. Kurangnya debit air pada saluran irigasi Way Negara Ratu secara
keseluruhan. Dalam hal ini debit air pada saluran irigasi primer, sekunder,
dan tersier. Dengan mengetahui debit air pada setiap saluran irigasi maka
akan diperoleh kepastian tentang besar kecilnya kehilangan air irigasi yang
4
1.1.3 Hipotesis
Diduga berkurangnya debit air pada jaringan irigasi Way Negara Ratu, baik pada
saluran irigasi primer, sekunder, maupun tersier terjadi karena kehilangan air
yang disebabkan rembesan.
1.2 Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup kajian penelitian ini meliputi : kajian ketinggian permukaan air
sungai sebagai sumber air irigasi, kondisi struktur bangunan jaringan irigasi
(termasuk trase dan dimensi saluran irigasi primer, sekunder, dan tersier) Daerah
Irigasi Way Negara Ratu, pengukuran debit air pada saluran irigasi, dan
penghitungan debit air irigasi yang hilang.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui besarnya volume dan debit air yang hilang pada saluran irigasi
primer, sekunder dan tersier pada Daerah Irigasi Way Negara Ratu
Kabupaten Lampung Selatan.
2. Mengetahui faktor‐faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kehilangan
air pada saluran primer dan sekunder di Daerah irigasi Way Negara Ratu.
1.4 Metode dan Pengumpulan Data
1.4.1 Metode
Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis karena penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan data yang diperoleh baik dari berbagai rujukan,
1.4.2 Pengumpulan Data
Adapun cara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah :
1. Studi Kepustakaan.
2. Observasi Lapangan.
3. Pengukuran di Lapangan.
4. Studi Kasus.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan laporan ilmiah ini terbagi dalam 5 (lima) bab, yaitu :
I. Bab I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan latar belakang dilakukannya
penelitian, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian,
hipotesis, metode dan pengumpulan data, serta sistematika penulisan
laporan ilmiah.
II. Bab II STUDI PUSTAKA. Bab ini menguraikan secara ringkas hasil studi
kepustakaan yang telah dilakukan Penulis meliputi teori dasar tentang
irigasi, definisi kehilangan air, faktor penyebab kehilangan air, dan
metode perhitungan kehilangan air.
III. Bab III METODE PENELITIAN. Bab ini berisi penjelasan tentang metode
penelitian yang digunakan, lokasi studi, langkah‐langkah pengumpulan
data, proses pengolahan data hingga hasil perhitungannya.
IV. Bab IV ANALISIS DATA, HASIL DAN PEMBAHASAN. Bab ini menguraikan
secara rinci analisis data, hasil pengolahan data dan pembahasannya.
V. Bab V KESIMPULAN DAN SARAN. Bab ini menjelaskan beberapa simpulan
II. STUDI PUSTAKA
2.1 Irigasi
2.1.1 Definisi Irigasi
Irigasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (Dalam Jaringan/Online) Edisi III, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (dahulu Pusat Bahasa) didefinisikan sebagai “Pengaturan pembagian pengaliran air menurut sistem tertentu untuk sawah dan sebagainya.” Berdasarkan pengertian tersebut, irigasi adalah berkenaan dengan pengaturan pembagian pengaliran air yang menggunakan suatu sistem tertentu dengan tujuan untuk mengairi sawah dan kepentingan lainnya, seperti untuk mengairi perkebunan, peternakan, dan perikanan. Definisi irigasi menurut KBBI Daring Edisi III dapat dikatakan mencakup pengertian yang sangat luas, karena mencakup maksud dan tujuan selain bidang pertanian.
Pengertian irigasi yang lebih spesifik dijelaskan dalam Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, penjelasan pasal 41 ayat 1, yaitu sebagai berikut: “Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak.” Berdasarkan UU No.7 Tahun 2004, irigasi meliputi usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air dengan tujuan untuk menunjang pertanian. Pengertian irigasi dijelaskan secara rinci dan spesifik meliputi berberapa jenis, yaitu irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak.
Adapun definisi irigasi yang dimaksud dalam tulisan ilmiah ini mengacu pada pengertian irigasi sesuai UU No.7 Tahun 2004 dengan spesifikasi jenis irigasi permukaan. Irigasi permukaan adalah pengaliran air di atas permukaan tanah dengan mengalirkannya langsung dari sungai melalui bendung ataupun tanpa bangunan bendung ke lahan pertanian secara gravitasi.
2.1.2 Jaringan Irigasi
Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi. (Sumber : Undang‐undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Bab I pasal 1). Dalam suatu jaringan irigasi dapat dibedakan adanya empat unsur fungsional pokok, yaitu :
a. Bangunan‐bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari sumbernya, umumnya sungai atau waduk,
c. Petak‐petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif, air irigasi dibagi‐bagi dan dialirkan kesawah–sawah dan kelebihan air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di dalam petak tersier; d. Sistem pembuang berupa saluran dan bangunan bertujuan untuk membuang
kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran‐saluran alamiah.
Sedangkan menurut Kriteria Perencanaan (KP) Irigasi Kementrian Pekerjaan Umum 1986, yang dimaksud dengan jaringan irigasi adalah “seluruh bangunan dan saluran irigasi.” Berdasarkan pengertian tersebut, jaringan irigasi terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu bangunan irigasi, dan saluran irigasi. Sedangkan saluran irigasi terdiri dari saluran primer dan saluran sekunder.
Gambar 1. Contoh Saluran primer dan sekunder
1. Bangunan Irigasi
Bangunan Irigasi terdiri dari : Bangunan Utama
banyaknya air yang masuk. Bangunan utama terdiri dari bendung dengan peredam energi, satu atau dua pengambilan utama pintu bilas kolam olak dan (jika diperlukan) kantong lumpur, tanggul banjir pekerjaan sungai dan bangunan‐ bangunan pelengkap. Bangunan utama dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori sesuai perencanaannya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa kategori Bangunan Utama :
‐ Bendung Gerak
Bendung gerak adalah bangunan yang dilengkapi dengan pintu yang dapat dibuka untuk mengalirkan air pada waktu terjadi banjir besar dan ditutup apabila aliran kecil. Bendung gerak dipakai untuk meninggikan muka air di sungai sampai pada ketinggian yang diperlukan agar air dapat dialirkan ke saluran irigasi dan petak tersier.
‐ Bendung Karet
Bendung Karet berfungsi meninggikan muka air dengan cara mengembangkan tubuh bendung dan menurunkan muka air dengan cara mengempiskan tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet dapat diisi dengan udara atau air. Proses pengisian udara atau air dari pompa udara atau air dilengkapi dengan instrumen pengontrol udara atau air (manometer). Bendung karet memiliki dua bagian pokok yaitu tubuh bendung yang terbuat dari karet dan pondasi beton berbentuk plat beton sebagai dudukan tabung karet serta dilengkapi satu ruang kontrol dengan beberapa perlengkapan (mesin) untuk mengontrol mengembang dan mengempisnya tabung karet.
‐ Bangunan Pengambilan Bebas
Bangunan Pengambilan Bebas adalah bangunan yang dibuat di tepi sungai yang mengalirkan air sungai ke dalam jaringan irigasi, tanpa mengatur tinggi muka air di sungai. Dalam keadaan demikian, jelas bahwa muka air di sungai harus lebih tinggi dari daerah yang diairi dan jumlah air yang dibelokkan harus dapat dijamin cukup ketersediaannya.
‐ Waduk
Waduk (reservoir) digunakan untuk menampung air irigasi pada waktu terjadi surplus air di sungai agar dapat dipakai sewaktu‐waktu terjadi kekurangan air. Jadi, fungsi utama waduk adalah untuk mengatur aliran sungai. Waduk berukuran besar biasanya mempunyai banyak fungsi seperti untuk keperluan irigasi, pembangkit listrik tenaga air, pengendali banjir, perikanan dsb. Sedangkan waduk berukuran kecil lazimnya hanya dipakai untuk keperluan irigasi saja.
‐ Stasiun Pompa
Bangunan stasiun pompa (rumah pompa) berfungsi sebagai tempat pompa, mesin, dan alat‐alat pendukung lainnya dan juga untuk menyimpan buku catatan kegiatan O & P pompa dan fasilitasnya yang terkait. Air dari sumber air irigasi dialirkan melalui stasiun pompa ke saluran irigasi, selanjutnya mengalir ke petak sawah. lrigasi dengan pompa bisa dipertimbangkan apabila pengambilan secara gravitasi temyata tidak layak dilihat dari segi teknis maupun ekonomis.
2. Saluran Irigasi
Saluran irigasi terbagi atas 3 (tiga) bagian, yaitu : a. Saluran Irigasi Utama, terdiri dari :
‐ Saluran primer berfungsi untuk membawa air dari bendung ke saluran sekunder dan selanjutnya ke petak‐petak tersier yang perlu diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan bagi yang terakhir.
‐ Saluran sekunder berfungsi untuk membawa air dari saluran primer ke petak‐petak tersier yang terhubung dengan saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini adalah pada bangunan sadap terakhir.
‐ Saluran muka tersier berfungsi untuk membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier yang terletak di seberang petak tersier lainnya.
b. Saluran Irigasi Tersier
‐ Saluran tersier berfungsi untuk membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke dalam petak tersier untuk selanjutnya dibawa ke saluran kuarter. Batas ujung saluran ini adalah pada boks bagi kuarter yang terakhir.
‐ Saluran kuarter berfungsi untuk membawa air dari boks bagi kuarter melalui bangunan sadap tersier atau parit sawah ke sawah‐sawah.
c. Garis Sempadan Saluran.
Garis Sempadan Saluran berfungsi untuk mengamankan saluran dan bangunan irigasi dari risiko kerusakan akibat adanya aktivitas di sekitar jaringan irigasi. Adapun batas Garis Sempadan Saluran ditetapkan dalam peraturan khusus mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum RI No.17/PRT/M/2011 Tentang Pedoman Penetapan Garis Sempadan Jaringan Irigasi. Satu hal yang perlu diketahui bahwa ketentuan tentang Garis sempadan jaringan irigasi diberlakukan baik untuk jaringan irigasi yang akan dibangun maupun yang telah terbangun dan berlaku secara menyeluruh untuk jaringan irigasi yang dibangun oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, perseorangan, maupun oleh badan usaha atau badan sosial.
3. Saluran Pembuang
Saluran pembuang berfungsi untuk membuang kelebihan air pada saluran irigasi utama, saluran Pembuang terbagi atas 2 (dua), yaitu :
a. Saluran Pembuang Tersier.
dalam jaringan pembuang sekunder. Saluran pembuang kuarter terletak di dalam satu petak tersier, menampung air langsung dari sawah dan membuang air tersebut ke dalam saluran pembuang tersier.
b. Saluran Pembuang.
Saluran pembuang mengalirkan air lebih dari saluran pembuang sekunder ke luar daerah irigasi. Pembuang primer sering berupa saluran pembuang alamiah yang mengalirkan kelebihan air tersebut ke sungai, anak sungai atau ke laut. Saluran pembuang sekunder menampung air dari saluran pembuang tersier dan membuang air tersebut ke pembuang primer atau langsung ke jaringan pembuang alamiah dan ke luar daerah irigasi.
4. Bangunan bagi dan sadap
Bangunan bagi dan sadap pada irigasi teknis dilengkapi dengan pintu dan alat pengukur debit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sesuai jumlah dan pada waktu tertentu. Aliran air akan diukur di hulu (udik) saluran primer, di cabang saluran jaringan primer dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier. Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu sering dijumpai kesulitan‐ kesulitan dalam operasi dan pemeliharaan sehingga muncul usulan sistem proporsional, yaitu bangunan bagi dan sadap tanpa pintu dan alat ukur tetapi dengan syarat‐syarat sebagai berikut :
Elevasi ambang ke semua arah harus sama
Bentuk ambang harus sama agar koefisien debit sama. Lebar bukaan proporsional dengan luas sawah yang diairi.
5. Bangunan pengukur
Bangunan ukur dapat dibedakan menjadi bangunan ukur aliran atas bebas (free overflow) dan bangunan ukur alirah bawah (underflow). Beberapa dari bangunan pengukur dapat juga dipakai untuk mengatur aliran air. Bangunan ukur yang dapat dipakai ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bangunan ukur yang dapat dipakai
Tipe Mengukur dengan Mengatur ‐ Bangunan ukur Ambang lebar
‐ Bangunan ukur Parshall ‐ Bangunan ukur Cipoletti ‐ Bangunan ukur Romijn
Aliran Atas
Aliran Atas
Aliran Atas
Aliran Atas
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
‐ Bangunan ukur Crump‐de Gruyter ‐ Bangunan sadap Pipa sederhana ‐ Constant – Head orifice (CHO) ‐ Cut Throat Flume
Aliran Bawah
Aliran bawah
Aliran Bawah
Aliran Atas
Ya
Ya
Ya
Tidak
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01 Tahun 1986
Untuk menyederhanakan operasi dan pemeliharaan, bangunan ukur yang dipakai di sebuah jaringan irigasi hendaknya tidak terlalu banyak, dan diharapkan pula pemakaian alat ukur tersebut bisa benar‐benar mengatasi permasalahan yang dihadapi para petani.
Peralatan berikut dianjurkan pemakaiannya : ‐ di hulu saluran primer
Untuk aliran besar alat ukur ambang lebar dipakai untuk pengukuran dan pintu sorong atau radial untuk pengatur.
‐ di bangunan bagi bangunan sadap sekunder
Pintu Romijn dan pintu Crump‐de Gruyter dipakai untuk mengukur dan mengatur aliran. Bila debit terlalu besar, maka alat ukur ambang lebar dengan pintu sorong atau radial bisa dipakai seperti untuk saluran primer.
‐ bangunan sadap tersier
sebaiknya dipasang alat ukur parshall atau cut throat flume. Alat ukur parshall memerlukan ruangan yang panjang, presisi yang tinggi dan sulit pembacaannya, alat ukur cut throat flume lebih pendek dan mudah pembacaannya.
2.1.3 Klasifikasi Jaringan Irigasi
Berdasarkan cara pengaturan dan pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas, jaringan irigasi dapat dibedakan ke dalam tiga tingkatan (lihat Tabel 2), yakni sederhana, semiteknis, atau teknis.
Tabel 2. Klasifikasi Jaringan Irigasi
Uraian Klasifikasi jaringan irigasi
Teknis Semiteknis Sederhana
1 Bangunan Utama
Bangunan permanen Bangunan permanen
atau semi permanen
Bangunan sementara 2 Kemampuan bangunan
dalam mengukur dan mengatur debit
Baik Sedang Jelek
3 Jaringan saluran Saluran irigasi dan pembuang terpisah
Saluran irigasi dan pembuang tidak sepenuhnya terpisah
Saluran irigasi dan pembuang jadi satu
4 Petak tersier Dikembangkan
sepenuhnya
Belum dikembangkan atau densitas bangunan tersier jarang
Belum ada jaringan terpisah yang dikembangkan
5 Efisiensi secara Keseluruhan
Tinggi
50 – 60 % (Ancar‐ ancar)
Sedang
40 – 50% (Ancar‐ ancar)
Kurang < 40% (Ancar‐ ancar
6 Ukuran Tak ada batasan Sampai 2.000 ha Tak lebih dari
500 ha
7 Jalan Usaha Tani Ada ke seluruh areal Hanya sebagian areal Cenderung tidak ada
8 Kondisi O & P ‐ Ada instansi yang menangani
‐ Dilaksanakan teratur
Belum teratur Tidak ada
O & P
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP‐01
2.2 Kehilangan Air
Kehilangan air pada saluran irigasi adalah berkurangnya volume air pada saluran irigasi yang ditandai dengan adanya perbedaan antara debit aliran “inflow” dan “outflow.” Faktor‐faktor penyebab kehilangan air pada saluran irigasi, antara lain penguapan dan rembesan pada struktur saluran irigasi
2.2.1 Efisiensi
Untuk tujuan‐tujuan perencanaan, dianggap bahwa seperlima sampai seperempat dari jumlah air yang diambil akan hilang sebelum air itu sampai di sawah. Kehilangan ini disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, evaporasi dan perembesan. Kehilangan akibat evaporasi dan perembesan umumnya kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah kehilangan akibat kegiatan eksploitasi. Penghitungan rembesan hanya dilakukan apabila kelulusan tanah cukup tinggi. Pemakaian air hendaknya diusahakan seefisien mungkin, terutama untuk daerah dengan ketersediaan air yang terbatas. Kehilangan ‐ kehilangan air dapat diminimalkan melalui :
a. Perbaikan sistem pengelolaan air :
‐ Sisi operasional dan pemeliharaan (O&P) yang baik ‐ Efisiensi operasional pintu
‐ Pemberdayaan petugas O&P ‐ Penguatan institusi O&P
‐ Meminimalkan pengambilan air tanpa ijin ‐ Partisipasi P3A
b. Perbaikan fisik prasarana irigasi :
‐ Mengurangi kebocoran disepanjang saluran ‐ Meminimalkan penguapan
‐ Menciptakan sistem irigasi yang andal, berkelanjutan, diterima petani
Efisiensi secara keseluruhan (total) dihitung sebagai berikut :
Efisiensi jaringan tersier (et) x Efisiensi jaringan sekunder (CS) x Efisiensi jaringan primer (ep). Rentang nilai efisiensi sebagai faktor pengali: 0,65 ‐ 0,79.
Batas efisiensi kebutuhan air irigasi di sawah (NFR) harus dibagi e untuk memperoleh jumlah air yang dibutuhkan di bangunan pengambilan dari sungai. Formula perhitungan kebutuhan air irigasi yang telah memperhitungkan faktor efisiensi pada sawah petak tersier, sekunder dan petak primer dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Formula Kebutuhan Air
Tingkat Kebutuhan Air Satuan
Sawah Petak
Tersier NFRsawah (Kebutuhan TOR (kebutuhan bersih airair didi bangunan sadap tersier)
(l/dt/ha)
(NFR x luas daerah) x 1
Et (l/dt)
Petak Sekunder SOR (kebutuhan air dibangunan sadap sekunder)
ΣTOR x 1 c3
(l/dt atau m3/dt)
Petak Primer MOR (Kebutuhan air di bangunan sadap primer)
ΣTOR mc1 ) x 1 e p
(l/dt atau m3/dt)
Bendung DR (kebutuhan diversi) MOR sisi kiri dan MOR sisi kanan m
3/dt
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP‐03 Tahun 1986
2.2.2 Formula Perhitungan Rembesan Air Irigasi
Besarnya kehilangan air pada saluran irigasi akibat rembesan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Moritz (USBR), sebagai berikut:
, / (1)
[image:31.612.147.501.305.528.2]
Dimana :
S = kehilangan akibat rembesan, m3 /dt per km panjang saluran Q = debit, m3 / dt
v = kecepatan, m/dt
C = koefisien tanah rembesan, m/hari 0,035 = konstanta, m/km
Nilai variabel C dapat dilihat pada Tabel 4. Untuk saluran irigasi yang menggunakan beton (linning) nilai variable C dapat dilihat pada halaman 18.
Tabel 4. Nilai koefisien tanah rembesan (C)
Jenis Tanah Harga C
m/hari ‐ Kerikil sementasi dan lapisan penahan (hardpan) dengan penuh pasiran 0,10
‐ Lempung dan geluh lempungan 0,12
‐ Geluh pasiran 0,20
‐ Abu vulkanik 0,21
‐ Pasir dan abu vulkanik atau lempung 0,37
‐ Lempung pasiran dengan batu 0,51
‐ Batu pasiran dan kerikilan 0,67
Sumber : Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP‐03 Tahun 1986
Menurut beberapa pengalaman Bank Dunia dalam peliningan saluran irigasi yang kokoh (rigid) dan fleksible, besarnya kehilangan air biasanya mencapai 10 s/d 40 persen dari volume air yang disalurkan. Pengurangan kehilangan air seringkali diasumsikan sama dengan umur yang diharapkan dari peliningan untuk mendapatkan keuntungan ekonomisnya. Keuntungan lining saluran dapat mengurangi pertumbuhan rumput, namun pada kenyataannya keuntungan ini diragukan terutama dalam berbagai proyek dengan saluran lining lama dan dengan adanya konstruksi yang salah.
Permasalahan dalam memperkirakan Seepage Losses :
[image:32.612.132.523.287.433.2]
2. Pengecekan seepage losses secara khusus dari catatan operasi sangat mahal disebabkan oleh banyaknya variabel
3. Penerbitan pencatatan sering salah didalam mencatat variabel penting
Variabel‐Variabel Seepage : a. karakteristik tanah :
‐ porositas, permeabilitas, ‐ kimiawi, jenis butirannya,
‐ tingkat/bahan pembentuk (stratigraphy) b. penampang lingkar saluran
c. posisi kedalaman air tanah d. kimia tanah dan air
e. temperatur air
f. sedimentasi : efek pengendapan g. kualitas konstruksi
h. umur saluran i. Siklus drainase j. Pemeliharaan
Pengaruh Kekerasan Saluran dengan Seepage Losses Uraian (Deacon, 1984) saluran tidak berlining = 0,23 m/hari
beton = 0,04 m/hari Satu lapis batu bata = 0,05 m/hari Dua lapis batu bata = 0,03 m/hari
Pengukuran menggunakan metode ponding (Singh, 1987) saluran tidak berlining = 0,30 m/hari saluran berlining = 0,03 m/hari
Sebab‐sebab tidak‐efektifnya saluran lining yang keras : Bentuk garis aliran (flow line) dan ekuipotensialnya Kualitas konstruksi dan pemeliharaan yang jelek
Model Numerik :
Saluran berlining dengan 1% retak di penampangnya mempunyai laju
kehilangan air (seepage rate) 70% dari saluran yang tidak berlining (kedalaman terhadap muka air tanah : 8 m)
Kualitas Konstruksi
Kejenuhan air tanah setelah menyatu didalam suatu saluran
menyebabkan beberapa penurunan massa tanah yang menyebabkan pemisahan di sub tingkatnya atau lapisan liningnya. Lining tersebut pada akhirnya hanya akan bertumpu pada titik tertentu saja sehingga menghasilkan hal‐hal :
‐ Retak (cracks) akan terjadi di lapisan ini
‐ Pemisahan tanah ini memberikan kesempatan rembesan bergerak dibawah sebagian besar lapisan lining tersebut.
Kehilangan air melalui dasar saluran ditentukan oleh faktor‐faktor : a. Jenis Tanah
b. Macam‐macam saluran (galian – timbunan) c. Laju Sedimentasi, dan
d. Kecepatan aliran air.
2.2.3 Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi
Sedangkan transpirasi terjadi pada tumbuhan akibat proses asimilasi. Ada beberapa metoda dalam penentuan evapotranspirasi potensial diantaranya yaitu metoda Thornwaite, Blaney Criddle dan Penman modifikasi. Ketiga metoda tersebut berbeda dalam macam data yang digunakan untuk perhitungan. Metoda Thornwaite memerlukan data temperatur dan letak geografis. Metoda Blaney Criddle memerlukan data temperatur dan data prosentase penyinaran matahari. Metoda Penman modifikasi memerlukan data temperatur, kelembaban udara, prosentase penyinaran matahari dan kecepatan angin. Pemilihan metoda tergantung dari data yang tersedia. Di lapangan biasanya digunakan Lysimeter untuk mempercepat dan mempermudah perhitungan.
Untuk perhitungan di atas kertas, lebih baik menggunakan metoda Penman modifikasi, sebab menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Selain itu, metoda Penman modifikasi ini mempunyai cakupan data meteorologi yang digunakan adalah yang paling lengkap di antara metoda‐metoda yang lain. Perhitungan Evaporasi (E) dan Evapotranspirasi (Etp) dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari data parameter klimatologi yang tersedia.
Tabel 5. Metode Perhitungan Evaporasi dan Evapotranspirasi
No. Metode Minimum Parameter Hidrologi
1 Penman T, S, RH, W
2 Blaney‐Cridle T
3 Penguapan Panci Pan A Evaporasi panci Pan A
Sumber : Pelatihan Hidrologi Dan Manajement Aset BWRM_WISMP 1
[image:35.612.157.481.472.560.2]
Tabel 6. Parameter Perencanaan Evapotranspirasi
Metode Data Parameter
P Dengan pengukuran Kelas Pan A harga‐harga
evapotransiprasi
Jumlah rata‐rata 10 harian atau 30 harian, untuk setiap tengah bulanan atau minguan
Perhitungan dengan rumus penman atau yang sejenis
Temperatur kelembapan relatifsinar matahari angin
Harga rata‐rata tengah bulanan, atau rata‐rata mingguan
Sumber : Kriteria Perencanaan – KP 01
Perhitungan evapotranspirasi setengah bulanan dengan ketetapan tanggal 1 sampai 15 untuk setengah bulan pertama dan 16 sampai akhir bulan untuk setengah bulan berikutnya.
Sesuai dengan tabel diatas maka perhitungan evapotranspirasi rata‐rata setengah bulanan dalam panduan ini ada 2 metode yang akan dibahas, yaitu Metode Penman dan Panci Pan A.
1. Persamaan Evaporasi
Evaporasi dipengaruhi beberapa faktor, satuan evaporasi yaitu millimeter per hari (mm/hari). Pengukuran evaporasi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Penman (Sosrodarsono,1976) :
, (2)
Dimana :
E = Evaporasi (mm/hari)
= Tekanan Uap Jenuh Pada Suhu Rata‐rata harian (mm/Hg) = Tekanan Uap Sebenarnya (mm/Hg)
V = Kecepatan Angin pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah (mile/hari)
[image:36.612.152.488.106.249.2]
Bila evaporasi diukur di stasiun agrometeorologi, maka biasanya digunakan pan Kelas A. harga‐harga pan evaporasi (Epan) dikonversi ke dalam angka‐angka ETo dengan menerapkan faktor pan Kp antara 0,65 dan 0,85 bergantung kepada kecepatan angin, kelembapan relatif serta elevasi.
ETo = Kp . Epan (3) Dimana :
ETo = Evaporasii (mm/hari) Kp = Koefisien panci
Harga‐harga faktor pun mungkin sangat bervariasi bergantung kepada lamanya angin bertiup, vegetasi di daerah sekitar dan lokasi pan. Evaporasi pan diukur secara harian, demikian pula harga‐harga ETo. Epan = Penguapan panci Pan A rata‐rata (mm.hari)
Untuk perhitungan evaporasi, diajurkan untuk menggunakan rumus Penman yang sudah dimodifikasi, Temperatur, Kelembaban, angin dan sinar matahari (atau radiasi) merupakan parameter dalam rumus tersebut. Data‐data ini diukur secara harian pada stasiun‐stasiun (agro) meteorologi hitung ETo dengan rumus Penman.
Untuk rumus Penman yang dimodifikasi ada 2 (dua) metode yang dapat digunakan, yaitu :
‐ Metode Nedeco/ Prosida yang lihat terbitan Dirjen Pengairan, Bina Program PSA 010, 1985
‐ Metode FAO lebih umum dipakai dan dijelaskan dalam terbitan FAO Crop Water Requirments, 1975.
Tabel 7. Koefisien Refleksi (Albedo)
Jenis Permukaan Albedo (α)
Air Terbuka 0,05 – 0,15
Batuan 0,12 – 0,15
Pasir 0,10 – 0,20
Tanah Kering 0,14
Tanah Basah 0,08 – 0,09
Hutan 0,05 – 0,20
Rumput 0,10 – 0,33
Rumput Kering 0,15 – 0,25
Salju 0,90
Es 0,45 – 0,50
Tanaman 0,20
Seandainya data‐data meteorologi untuk daerah tersebut tidak tersedia maka harga‐harga ETo boleh diambil sesuai dengan daerah‐daerah di sebelahnya. Keadaan‐keadaan meteorologi hendaknya diperiksa dengan seksama agar transposisi data demikian dapat dijamin keandalannya. Keadaan‐keadaan temperatur, kelembaban, angin dan sinar matahari diperbandingkan. Pengguna komsumtif dihitung secara tengah bulanan, demikian pula harga‐harga evapotranspirasi acuan. Setiap jangka waktu setengah bulan harga ETo ditetapkan dengan analisis frekuensi.
2. Persamaan Evapotranspirasi
Evapotranspirasi tanaman acuan adalah evapotranspirasi tanaman yang dijadikan acuan, yakni rerumputan pendek. ETo adalah kondisi evaporasi berdasarkan keadaan – keadaan meteorologi seperti :
‐ Temperatur
‐ Sinar matahari (atau radiasi) ‐ Kelembaban
‐ Angin
[image:38.612.182.460.101.277.2]
Harga‐harga ETo dari rumus penman menunjuk pada tanaman acuan apabila digunakan albedo 0,25 (rerumputan pendek). Koefisien‐koefisien tanaman yang dipakai untuk penghitungan ETc harus didasarkan pada ETo ini dengan albedo 0,25. Berikut dibawah ini table koefisien refleksi (albedo).
Evapotranspirasi dapat dihitung dengan rumus‐rumus teoritis‐empiris dengan mempertimbangkan faktor‐faktor meterologi di atas.
ET= c.( w . Rn + ( 1 ‐ w ) . f(u) . ( ea ‐ ed ) ) (4) dimana :
ET : Evapotranspirasi dalam mm/hari
c : Faktor koreksi akibat keadaan iklim siang dan malam
w : Faktor bobot tergantung dari temperatur udara dan ketinggian tempat Rn : Radiasi netto ekivalen dengan evaporasi mm/hari = Rns ‐ Rnl
Rns : Gelombang pendek radiasi yang masuk =(1‐).Rs = (1‐).(0,25+ n/N).Ra Ra : Ekstra terestrial radiasi matahari
Rnl : f(t).f(ed).f(n/N) Gelombang panjang radiasi netto
N : Lama maksimum penyinaran matahari
1 ‐ w : Faktor bobot tergantung pada temperatur udara f(u) : Fungsi kecepatan angin = 0,27 . ( 1 + u/100 )
f(ed) : Efek tekanan uap uap pada radiasi gelombang panjang
f(n/N) : Efek lama penyinaran matahari paada radiasi gelombang panjang f(t) : Efek temperatur pada radiasi gelombang panjang
ea : Tekanan uap jenuh tergantung pada temperatur
ed : ea . Rh/100
Rh : Curah hujan efektif
2.2.4 Perhitungan Debit Air di Saluran
1. Kecepatan air mengalir pada saluran diukur dengan menggunakan alat current meter. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan debit air adalah :
Q = V x A (5)
Dimana :
Q = Debit Air (m3/det) V = Kecepatan Aliran (m/det) A = Luas Penampang Saluran (m2)
Pada pengukuran kecepatan aliran di saluran ditentukan dengan membagi penampang melintang saluran dalam Raai‐raai pengukuran seperti contoh dalam gambar 2. Posisi penempatan Current Meter berbeda‐beda tergantung dari kedalaman saluran tersebut. Untuk saluran yang dalamnya kurang dari 0,5 Meter diambil pengukuran pada 0,6 H. Sedangkan untuk saluran dengan kedalaman lebih dari 0,5 Meter diambil pengukuran pada 0,2 H dan 0,8 H.
Gambar 2. Pembagian Penampang Melintang Saluran Dalam Pengukuran
[image:40.612.142.502.439.592.2]
2. Pengukuran kecepatan aliran dapat dilakukan pada beberapa kedalaman yaitu sebagai berikut :
Untuk kedalaman sungai < 0,50 m atau Hair < 6 x propeler
Pengukuran kecepatan aliran cukup pada satu titik saja yaitu pada kedalaman 0,6 h (dimana h adalah kedalaman air, dan 0,6 h diukur dari permukaan air).
V0.6 m/dt (6)
Keterangan:
V0.6 = Kecepatan aliran pada titik dengan kedalaman 0.6 h
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
Untuk kedalaman air 0,50 m
Pengukuran kecepatan aliran metode dua titik dilakukan pada dua titik kedalaman: 0,2 h dan 0,8 h
V0,2 + V0,8
V = m/dt
2
(7)
Gambar 3. Untuk kedalaman air 0,50 m
Apabila distribusi kecepatan ke arah vertikal tidak normal, maka pengukuran kecepatan aliran dilakukan dengan metode tiga titik sebagai berikut :
V0,2 + V0,8 V0.6 + 2
V = m/dt
2
(8)
[image:41.612.233.412.404.522.2]
keterangan :
Vrata2 = kecepatan aliran rata‐rata pada suatu vertikal, m/dt.
V0,2 = kecepatan aliran pada titik 0,2 d, m/dt.
V0,6 = kecepatan aliran pada titik 0,6 d, m/dt.
V0,8 = kecepatan aliran pada titik 0,8 d, m/dt.
Gambar 4. Distribusi Kecepatan Aliran
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
Tata cara peletakan propeler sesuai dengan kedalaman air
Kedalaman air > 0,50 m
Gambar 5. Pengukuran untuk kedalaman air > 0,50 m
Kedalaman air < 0.50 m
Propeller
Gambar 6. Posisi Propeller untuk kedalaman air < 0,50 m
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
H < 0.5 0.6 H
[image:42.612.133.409.95.282.2] [image:42.612.264.382.380.505.2] [image:42.612.248.429.539.631.2]
Perhitungan debit umumnya mengikuti cara/metode Mid‐Area Method, seperti yang digambar pada gambar dibawah ini :
Gambar 7. Pengukuran debit dengan cara Mid Area
an = dn x b (9)
Q = q1 + q2 + q3 +……. + qn
Sumber : Modul Pelatihan OJT di Balai PSDA, Pelatihan Hidrologi Dan OJT BWRM_WISMP 1 ‐ Panduan Pengukuran debit/aliran
Lebar satu sub‐seksi ditentukan oleh setengah jarak di sebelah kiri dan setengah di sebelah kanan dari pengukuran vertikal.
3. Distribusi Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran pada suatu potongan melintang saluran tidak seragam karena adanya tekanan pada muka air akibat perbedaan fluida antara udara dan air seperti ditunjukkan pada gambar 4. Di samping itu juga akibat gaya gesekan pada dinding saluran, baik pada dasar maupun tebing saluran (Addison, 1944 ; Chow. 1959). Ketidakseragaman ini juga disebabkan oleh bentuk tampang melintang saluran, kekasaran saluran dan lokasi saluran (saluran lurus, atau pada belokan). Kecepatan maksimum umumnya terjadi pada jarak 0,05 sampai 0,25 dikalikan kedalaman artinya dihitung dari permukaan air seperti ditunjukkan dalam gambar 9 dan gambar 10. Namun pada sungai yang sangat lebar dengan kedalaman dangkal (shalow), Kecepatan maksimum terjadi pada permukaan air (Addison, 1994). Makin
b d
an n
2 b b d
a n n 1
n n
n n
n a v
q
Q = (A x V)per ruas
bn bn+1 A = b x dn ; b = + 2 2 Dimana:
[image:43.612.225.410.114.220.2]
Dasar Saluran
y
distribusi kecepatan untuk dasar saluran halus
distribusi kecepatan untuk dasar saluran kasar 0,05 ‐ 0,25 y
0,05 ‐ 0,25 y
y
Dasar Saluran
sempit saluran, kecepatan air maksimumnya makin dalam. (Buku Hidrolika Terapan Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa, Robert J Kodoatie).
Gambar 8. Jarak kecepatan air maksimum
Gambar 9. Efek kekasaran dasar saluran pada distribusi kecepatan vertikal
Sumber : Addison, 1994; Chow, 1959
Gambar 10. Contoh distribusi saluran (kontur) (Chow, 1959).
2 1.5
1 0.5
[image:44.612.189.381.123.214.2] [image:44.612.178.441.253.363.2] [image:44.612.181.456.428.515.2]
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Studi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Studi
Daerah Irigasi Way Negara Ratu merupakan Daerah Irigasi kewenangan Provinsi Lampung yang dibangun pada tahun 1972 adapun sumber air irigasi atau Bendung Daerah Irigasi Way Negara Ratu terletak di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan pada koordinat (UTM) X : 519606 ; Y : 9412677. Daerah Irigasi Way Negara Ratu Memiliki Luas Baku 1.153 Ha dan Fungsi 1.100 Ha, adapun Saluran Irigasi Way Negara Ratu merupakan bagian dari River Basin Sekampung dengan luas 5.675 km2, panjang seluruh sungai 672 km, dan jumlah cabang‐ cabang sungai sebanyak 8 buah. Panjang saluran primer Way Negara Ratu adalah 1.985 km dan panjang saluran sekunder adalah 9.320 km.
3.1.2 Waktu Penelitian
[image:46.1191.145.1124.90.756.2]
Gambar
12a.
Skema
Jaringan
Irigasi
D.
I.
Way
Negara
Ratu
[image:47.1191.42.1153.111.748.2]
[image:48.1191.56.1136.105.732.2]
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian yang dilakukan adalah Saluran Primer, Saluran Sekunder (Bumi Sari) dan Tersier (BBS VI).
3.3 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.3.1 Letak Geografis
Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105o 14’ sampai dengan 105o 45’ Bujur Timur dan 5o 15’ sampai dengan 6o Lintang Selatan. Karena letak yang demikian daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah‐daerah yang lain di Indonesia merupakan daerah tropis. Secara umum Kabupaten Lampung Selatan terletak di daerah yang memiliki ketinggian yang berbeda‐beda karena penyebaran wilayahnya. Tapi rata‐rata ketinggian kabupaten Lampung Selatan adalah 100 meter di atas permukaan air laut.
Pusat pemerintahan di Kota Kalianda, secara administratif Kabupaten Lampung Selatan mempunyai batas‐batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Tengah dan Timur.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Selat Sunda.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pesawaran.
3.3.2 Kondisi Tanah
Daerah Kabupaten Lampung Selatan dilihat dari kondisi geologi terdiri dari : • Daratan bagian Timur yang termasuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan
• Sebagian besar berbatuan andesit, ditutupi turfazam. Batuan endapan meluas ke Timur sampai sekitar jalan kereta api ke arah Kotabumi keadaan tanah bergelombang sampai berbukit
• Dataran alluvial berawa‐rawa dengan pohon bakau
Sejarah terbentuknya struktur geologi daerah studi meliputi kejadian‐kejadian tektonik paleozoikum sampai Resen (sekarang). Struktur geologi tersebut terdiri dari lipatan dan patahan (sesar) didominasi oleh tektonika tersier akhir kuarter awal. Struktur lipatan yang tersingkap terdapat pada runtuhan batuan pra‐tersier terutama pada batuan malihan kompleks kompleks Gunung Kasih. Batu malihan tersebut memperlihatkan perlipatan berulang dan pembelahan. Pada batuan ini semula terlipat dengan sumbu kurang lebih ke timur‐barat dan timur laut‐barat daya, sedangkan patahan yang ada adalah patahan Menanga dan patahan Lampung‐Panjang yang merupakan bagian dari gabungan sistem patahan Sumatera. Patahan Menanga merupakan patahan naik dan berbalik, ditafsirkan berumur awal kapur tengah, sedangkan patahan Lampung‐Panjang berumur lebih tua dari patahan Menanga dengan bentuk patahan berupa patahan turun.
Jenis tanah yang terdapat di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan antara lain yaitu :
1. Tanah Andosal
Jenis tanah ini adalah pelapukan dari bahan induk komplek turfinmedier dan basah, berwarna coklat kuning yang penyebarannya terdapat pada daerah bertopografis bergelombang sampai bergunung. Jenis tanah ini tidak begitu banyak di wilayah Kabupaten Lampung Selatan.
2. Tanah Podsoil
3. Tanah Latosal
Jenis tanah ini banyak terdapat di wilayah Kabupaten Lampung Selatan yang hampir menutupi seluruh wilayah barat dan sebagian besar dari bagian tengah. Tanah latosal berwarna cokelat tua sampai kemerah‐merahan adalah hasil pelapukan bahan induk komplek turfinmedier. Penyebaran pada daerah bertofografi bergelombang sampai bergunung.
4. Tanah Alluvial
Jenis tanah ini adalah hasil pelapukan dari bahan induk endapan marine atau endapan sungai‐sungai, terdapat pada daerah dengan bentuk wilayah datar yang tersebar di daerah pantai bagian timur.
5. Tanah Hidromorf
Jenis tanah ini adalah hasil pelapukan dari bahan induk sedimen turfazam sampai entermedier, berwarna kelabu, terdapat pada daerah datar sampai berombak. Tersebar di wilayah Kabupaten Lampung Selatan bagian Timur.
3.3.3 Kondisi Jaringan Irigasi
Luas Areal dan Panjang Saluran Jaringan Irigasi Way Negara Ratu
Tabel 8. Data Saluran Di Daerah Irigasi Way Negara Ratu
No. Nama Daerah Irigasi
Sal. Induk
Sal. Sek.
Sal. Tersier
Kondisi Rerata
(%) 1 Way Negara Ratu 1,153 9,821 6,105 50 ‐ 60
Sumber : DInas Pengairan dan Pemukiman Provinsi Lampung
3.3.4 Iklim
Kondisi iklim di sekitar daerah irigasi Way Negara Ratu secara umum merupakan jenis iklim tropis. Suhu udara rata‐rata tahunan berkisar 26,68°C. Pada bulan Desember‐Mei, suhu udara pada siang hari berkisar antara 25°C‐28°C, sedangkan pada bulan Juni‐September antara 27°C‐26°C dan pada bulan September‐ Nopember rata‐rata 26°C. Kelembaban udara rata‐rata sebesar 81,25%.
[image:51.612.150.484.463.532.2]
3.3.5 Sumber Pengambilan Air
Sumber pengambilan air Daerah Irigasi Way Negara Ratu adalah Bendung Negara Ratu. Cara pengambilan air dengan sistem gravitasi dengan membendung sungai Way Negara Ratu. Pengaliran air ke saluran induk melalui bangunan “intake” yang dibangun disisi bendung.
Bendung merupakan bangunan yang dibangun melintang disungai untuk meninggikan elevasi muka air sehingga air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke daerah yang membutuhkan.
3.4 Metode Penelitian
Arikunto (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Di dalam pelaksanaanya metode penelitian ini membutuhkan alat yang digunakan dalam proses pengumpulan data yang selanjutnya dianalisa sehingga diperoleh hasil akhir berupa sebuah kesimpulan penelitian.
Metode yang digunakan dalam memperkirakan kehilangan air di saluran irigasi Way Negara Ratu adalah Velocity Area dengan tahapan sebagai berikut :
1. Melakukan pengukuran besarnya debit aliran masuk dan keluar dari suatu ruas saluran.
2. Menghitung besarnya volume kehilangan air. Persentase kehilangan air total diukur dengan menggunakan metode “inflow” dan “outflow” dengan memakai alat current meter. Lokasi pengukuran minimum 10 meter dari bangunan bagi/pengambilan air. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengaruh “hydraulic jump” dan turbulensi.
4. Melakukan analisa hasil perhitungan pada tahap ketiga dengan membandingkan besarnya kehilangan air te