• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM, PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM, PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor(L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM,

PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculentaCrantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU

Oleh

AGUNG DWI SAPUTRO

Tanaman sorgum memiliki manfaat sebagai bahan pakan ternak dengan produksi biomassa yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung dan tebu. Sorgum dapat dibudidayakan dengan mengatur tingkat kerapatan dan varietas tanaman dalam sistem tumpangsari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerapatan, varietas, interaksi antara kerapatan dan varietas tanaman terhadap produksi biomassa dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari, serta mengetahui korelasi antara produksi biomassa dengan komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu.

(2)

Agung Dwi Saputro

faktorial (4x3) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah kerapatan tanaman yaitu satu, dua, tiga, dan empat tanaman per lubang. Faktor kedua adalah varietas sorgum yang terdiri Varietas Numbu, Varietas Keller, dan Varietas Wray.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan dan varietas tanaman tidak mempengaruhi hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu. Namun pada tingkat kerapatan empat tanaman per lubang mampu meningkatkan produksi biomassa sorgum per satuan luas. Varietas Keller mampu menghasilkan produksi biomassa yang lebih tinggi per satuan luas baik pada umur 9 maupun 15 mst. Interaksi antara kerapatan dan varietas juga mempengaruhi produksi

biomassa tanaman sorgum. Kerapatan satu tanaman per lubang dengan Varietas Keller mampu memproduksi biomassa sorgum terbaik pada saat sorgum berumur 9 mst. Produksi biomassa tanaman sorgum berkorelasi positif terhadap komponen pertumbuhan dan hasil yang meliputi tinggi tanaman, tingkat kehijauan daun, dan panjang malai baik pada umur 9 dan 15 mst.

(3)

PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor(L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM,

PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculentaCrantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU

Oleh

Agung Dwi Saputro

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor(L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM,

PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculentaCrantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU

(Skripsi)

Oleh

AGUNG DWI SAPUTRO

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tata Letak Percobaan ... 37 2. Tata Letak Tanaman Sorgum Pada Petak Percobaan ... 38 3. Histogram perbandingan bobot tanaman basah per tanaman dan

per m2 yang ditumpangsarikan dengan kayu pada

umur 15 mst ... 61 4. Histogram perbandingan bobot umbi per tanaman pada sistem

tumpangsari sorgum dengan ubikayu ... 63 5. Kondisi tanaman sorgum berdasarkan Varietas (a). Varietas

Numbu, (b). Varietas Keller, (c). Varietas Wray ... 117 6. Penampakan umbi ubikayu per perlakuan g1p1, g1p2, g1p3,

g1p4, g2p1, g2p2 ... 118 7. Penampakan umbi ubikayu perlakuan g2p3, g2p4, g3p1, g3p2,

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 5

1.3 Kerangka Pemikiran ... 5

1.4 Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum ... 9

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Sorgum ... 10

2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Sorgum ... 10

2.1.3 Morfologi Tanaman Sorgum ... 11

2.1.4 Varietas Tanaman Sorgum ... 14

2.2 Produksi Biomassa Sorgum ... 15

2.3 Teknik Budidaya Sorgum ... 15

2.4 Kerapatan Tanaman ... 18

2.5 Tumpangsari ... 20

2.6 Ubikayu ... 22

2.7 Morfologi Tanaman Ubikayu ... 22

2.8 Syarat Tumbuh Tanaman Ubikayu ... 24

(7)

iv III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 28

3.2 Bahan dan Alat ... 28

3.3 Metode Penelitian ... 29

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 30

3.5 Variabel Pengamatan Sorgum ... 33

3.6 Variabel Pengamatan Ubikayu ... 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 39

4.1.1 Panjang batang ... 41

4.1.2 Diameter batang atas ... 42

4.1.3 Diameter batang tengah ... 44

4.1.4 Diameter batang bawah ... 45

4.1.5 Bobot basah tanaman ... 47

4.1.6 Bobot kering tanaman ... 49

4.1.7 Bobot basah banaman per petak (20 m2) ... 51

4.1.8 Bobot kering tanaman per petak (20 m2) ... 52

4.1.9 Korelasi produksi biomassa dengan variabel pertumbuhan dan hasil ... 54

4.1.10 Diameter kanopi ubikayu ... 56

4.1.11 Panjang batang ubikayu ... 57

4.1.12 Diameter batang ubikayu ... 58

4.1.13 Diameter umbi ubikayu ... 59

4.1.14 Diameter penyebaran umbi tanaman ubikayu ... 61

4.1.15 Bobot umbi tanaman ubikayu ... 62

4.2 Pembahasan ... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 74

5.2 Saran ... 75

PUSTAKA ACUAN ... 76

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Susunan perlakuan dalam penelitian. ... 29 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam produksi biomassa,

pertumbuhan, dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari

sorgum dengan ubikayu. ... 40

3. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

panjang batang tanaman pada umur 9 mst dan 15 mst. ... 41 4. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

diameter batang atas tanaman pada umur 9 mst dan 15 mst. ... 43

5. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap diameter batang tengah tanaman pada umur 9 mst dan

15 mst. ... 44

6. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

diameter batang bawah umur 9 mst dan 15 mst. ... 46

7. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap bobot basah tanaman per tanaman

pada umur 9 mst. ... 47

8. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap bobot basah tanaman tanaman pada umur

15 mst. ... 48

9. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap bobot kering tanaman per tanaman pada

(9)

vi 10. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas

sorgum terhadap bobot kering tanaman per tanaman pada umur

15 mst. ... 50 11. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

bobot basah tanaman per petak pada umur 9 mst dan

15 mst. ... 51

12. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

bobot kering tanaman per petak umur 9 mst. ... 53

13. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap bobot kering tanaman per petak pada umur

15 mst. ... 54

14. Nilai korelasi antara variabel produksi biomassa dengan variabel pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada umur

9 mst. ... 55

15. Nilai korelasi antara variabel produksi biomassa dengan variabel pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada umur

15 mst. ... 56

16. Pengaruh kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap

diameter kanopi pada umur 8 bst. ... 57 17. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas

sorgum terhadap panjang batang tanaman ubikayu pada umur

8 bst. ... 58

18. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap diameter batang tanaman ubikayu pada umur

8 bst. ... 59

19. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap diameter umbi tanaman ubikayu pada umur

8 bst. ... 60

20. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas

sorgum terhadap diameter penyebaran umbi tanaman ubikayu pada

umur 8 bst. ... 61

21. Pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas sorgum terhadap bobot umbi tanaman ubikayu pada umur

8 bst. ... 62

(10)

vii

23. Analisis ragam untuk bobot basah tanaman 9 mst. ... 82

24. Data rata-rata pengamatan bobot basah tanaman per petak (kg) 9 mst. ... 83

25. Analisis ragam untuk bobot basah tanaman per petak (kg) 9 mst. ... 83

26. Data rata-rata pengamatan bobot kering tanaman per petak (kg) 9 mst ... 84

27. Analisis ragam untuk bobot kering tanaman per petak (kg) 9 mst. ... 84

28. Data rata-rata pengamatan bobot kering tanaman 9 mst. ... 85

29. Analisis ragam untuk bobot kering tanaman 9 mst ... 85

30. Data rata-rata pengamatan panjang tanaman 9 mst. ... 86

31. Analisis ragam untuk panjang tanaman 9 mst. ... 86

32. Data rata-rata pengamatan diameter batang atas 9 mst. ... 87

33. Analisis ragam untuk diameter batang atas 9 mst. ... 87

34. Data rata-rata pengamatan diameter batang tengah 9 mst. ... 88

35. Analisis ragam untuk diameter batang tengah 9 mst. ... 88

36. Data rata-rata pengamatan diameter batang bawah 9mst. ... 89

37. Analisis ragam untuk diameter batang bawah 9 mst. ... 89

38. Data rata-rata pengamatan bobot basah tanaman 15 mst. ... 90

39. Analisis ragam untuk bobot basah tanaman 15 mst. ... 90

40. Data rata-rata pengamatan bobot basah tanaman per petak (kg) 15 mst. ... 91

41. Analisis ragam untuk bobot basah tanaman per petak (kg) 15 mst. ... 91

(11)

viii

43. Analisis ragam untuk bobot kering tanaman 15 mst ... 92

44. Data rata-rata pengamatan bobot kering tanaman per petak (kg) 15 mst ... 93

45. Analisis ragam untuk bobot kering tanaman per petak (kg) 15 mst ... 93

46. Data rata-rata pengamatan panjang tanaman 15 mst. ... 94

47. Analisis ragam untuk panjang tanaman 15 mst. ... 94

48. Data rata-rata pengamatan diameter batang atas 15 mst. ... 95

49. Analisis ragam untuk diameter batang atas 15 mst ... 95

50. Data rata-rata pengamatan diameter batang tengah 15 mst. ... 96

51. Analisis ragam untuk diameter batang tengah 15 mst ... 96

52. Data rata-rata pengamatan diameter batang bawah 15 mst. ... 97

53. Analisis ragam untuk diameter batang bawah 15 mst. ... 97

54. Data rata-rata pengamatan panjang batang ubikayu. ... 98

55. Analisis ragam untuk panjang batang ubikayu. ... 98

56. Data rata-rata pengamatan diameter batang ubikayu. ... 99

57. Analisis ragam untuk diameter batang ubikayu. ... 99

58. Data rata-rata pengamatan jumlah daun ubikayu (Transformasi√ ). ... 100

59. Analisis ragam untuk jumlah daun ubikayu (transformasi√ ). ... 100

60. Data rata-rata pengamatan jumlah daun ubikayu. ... 101

61. Analisis ragam untuk jumlah daun ubikayu. ... 101

62. Data rata-rata pengamatan diameter kanopi ubikayu. ... 102

(12)

ix 64. Data rata-rata pengamatan panjang tangkai daun kanopi

ubikayu. ... 103

65. Analisis ragam untuk panjang tangkai daun kanopi ubikayu. ... 103

66. Data rata-rata pengamatan panjang umbi ubikayu. ... 104

67. Analisis ragam untuk panjang umbi ubikayu. ... 104

68. Data rata-rata pengamatan diameter umbi ubikayu. ... 105

69. Analisis ragam untuk diameter umbi ubikayu. ... 105

70. Data rata-rata pengamatan diameter penyebaran umbi ubikayu. ... 106

71. Analisis ragam untuk diameter penyebaran umbi ubikayu. ... 106

72. Data rata-rata pengamatan jumlah akar ubikayu. ... 107

73. Analisis ragam untuk jumlah akar ubikayu. ... 107

74. Data rata-rata pengamatan bobot umbi ubikayu (Tumpangsari). ... 108

75. Analisis ragam untuk bobot umbi ubikayu (Tumpangsari). ... 108

76. Data rata-rata pengamatan bobot umbi ubikayu (Monokultur). ... 109

77. Data Uji t bobot umbi tanaman ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu. ... 109

78. Nilai korelasi antarvariabel pengamatan biomassa sorgum dengan komponen hasil dan pertumbuhan tanaman sorgum pada umur 9 mst. ... 110

79. Nilai korelasi antarvariabel pengamatan biomassa sorgum dengan komponen hasil dan pertumbuhan tanaman sorgum pada umur 15 mst. ... 110

80. Uji homogenitas panjang batang tanaman sorgum pada 9 mst. ... 111

(13)

x 82. Uji homogenitas panjang batang tanaman sorgum pada

15 mst. ... 111

83. Uji aditifitas panjang batang tanaman sorgum pada 15 mst. ... 111 84. Uji homogenitas diameter batang atas tanaman sorgum pada

9 mst. ... 111

85. Uji aditifitas diameter batang atas tanaman sorgum pada

9 mst. ... 111

86. Uji homogenitas diameter batang atas tanaman sorgum pada

15 mst. ... 111 87. Uji aditifitas diameter batang atas tanaman sorgum pada

15 mst. ... 111

88. Uji homogenitas diameter batang tengah tanaman sorgum pada

9 mst. ... 112 89. Uji aditifitas diameter batang tengah tanaman sorgum pada

9 mst. ... 112

90. Uji homogenitas diameter batang tengah tanaman sorgum pada

15 mst. ... 112

91. Uji aditifitas diameter batang tengah tanaman sorgum pada

15 mst. ... 112 92. Uji homogenitas diameter batang bawah tanaman sorgum pada

9 mst. ... 112

93. Uji aditifitas diameter batang bawah tanaman sorgum pada

9 mst. ... 112

94. Uji homogenitas diameter batang bawah tanaman sorgum pada

15 mst. ... 112 95. Uji aditifitas diameter batang bawah tanaman sorgum pada

15 mst. ... 113

96. Uji homogenitas bobot basah tanaman per tanaman pada

(14)

xi 98. Uji homogenitas bobot basah tanaman per tanaman pada

15 mst. ... 113

99. Uji aditifitas bobot basah tanaman per tanaman pada 15 mst. ... 113

100. Uji homogenitas bobot kering tanaman per tanaman pada 9 mst. ... 113

101. Uji aditifitas bobot kering tanaman per tanaman pada 9 mst. ... 113

102. Uji homogenitas bobot kering tanaman per tanaman pada 15 mst. ... 113

103. Uji aditifitas bobot kering tanaman per tanaman pada 15 mst. .... 114

104. Uji homogenitas bobot basah tanaman per petak pada 9 mst. ... 114

105. Uji aditifitas bobot basah tanaman per petak pada 9 mst. ... 114

106. Uji homogenitas bobot basah tanaman per petak pada 15 mst. ... 114

107. Uji aditifitas bobot basah tanaman per petak pada 15 mst. ... 114

108. Uji homogenitas bobot kering tanaman per petak pada 9 mst. .... 114

109. Uji aditifitas bobot kering tanaman per petak pada 9 mst. ... 114

110. Uji homogenitas bobot kering tanaman per petak pada 15 mst. ... 115

111. Uji aditifitas bobot kering tanaman per petak pada 15 mst. ... 115

112. Deskripsi varietas Numbu. ... 115

113. Hasil penelitian Rahmawati tentang varietas Keller. ... 116

114. Hasil penelitian Rahmawati tentang varietas Wray. ... 116

(15)
(16)
(17)

Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang

telah dilaksanakan atau diperbuatnya

"

(Ali Bin Abi Thalib)

Ketergesaan dalam setiap usaha membawa kegagalan"

(18)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirabbilalamin

Dengan Ketulusan Hati dan Rasa Penuh Syukur, Kupersembahkan

Karya ini Kepada:

Kedua Orang Tuaku

“Bapak Slamet Riyadi dan Ibu Suyatmi” untuk Kasih Sayang,

Pengorbanan dan Doa yang Tiada Henti

Kakak dan Adikku

Rista Damayanti, Ria Pangestika, dan Erika Adelia Putri

” yang

Menjadi Kebanggaanku

Para Sahabat yang Selalu Menemani dalam Suka Duka

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sri Rahayu I, Kecamatan Kotagajah, Kabupaten Lampung Tengah pada tanggal 12 Juni 1993, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Slamet Riyadi dan Ibu Suyatmi.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Aisyah Kotagajah dan lulus tahun 1999, Sekolah Dasar di SD N 2 Kotagajah dan lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Kotagajah dan lulus pada tahun 2008, pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Kotagajah dan lulus pada tahun 2011.

(20)

SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan mampu

menyelesaikan skripsi ini. Pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis banyak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Dosen Pembimbing Pertama dan Ketua Jurusan Agrotenologi atas bimbingan, saran, dukungan, dan nasihat yang telah diberikan kepada penulis hingga skripsi ini selesai;

2. Bapak Ir. Sunyoto, M.Agr., selaku Dosen Pembimbing Kedua atas bimbingan, bantuan, saran, perhatian, nasihat, dan motivasi yang diberikan selama

pelaksanaan penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai;

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Kamal, M.Sc., selaku Dosen Penguji atas segala saran, nasihat, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama penulisan skripsi ini berlangsung;

4. Ibu Ir. Rugayah, M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik;

(21)

6. Balai Pengkajian Teknologi Pangan (BPTP) Lampung Kebun Percobaan (KP) Natar beserta segenap karyawannya khususnya Pak Sumarko, Pak Jumari, dan Pakde Untung atas bantuan dan bimbinganya selama penelitian;

7. Bapak Slamet Riyadi, Ibu Suyatmi, S.pd., kakakku Rista Damayanti, dan adik-adikku Ria Pangestika dan Erika Adelia Putri, serta seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, perhatian, doa, dan dukungan baik moril maupun materil kepada penulis;

8. Ade Fitri Anggraeni yang selalu setia menemani penulis dikala senang maupun sedih dan terimakasih atas cinta, kasih sayang, semangat, serta dukungan yang diberikan kepada penulis;

9. Teman seperjuangan dalam melaksanakan penelitian Apri Ariyanto, Crhisty Gomgom E.S., Ade Fitri Anggraeni, dan Anggi Anggrestyas Siwi atas kerjasama, semangat, dan bantuannya dalam melaksanakan penelitian; 10. Teman-teman Agroteknologi 2011 Abdul Rohman, Andrestu Kesuma, Ali

Muhtadi, Dedi Setiawan, Andika Putra, Bayu Kesuma Wardhana, Benny Kristianto, Arief Dwi Permana., Adawiah, Chintya Ayu Alvionita, Ayu Mega Pravita, dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bandar Lampung, September 2015

(22)
(23)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, dengan kebutuhan akan konsumsi daging rata-rata sebanyak 5 gram per kapita (Badan Pusat Statistik, 2013). Konsumsi daging ini selalu mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun-ketahun. Peningkatan konsumsi akan daging di Indonesia terjadi akibat selalu bertambahnya jumlah penduduk setiap tahunnya, sehingga Indonesia masih belum bisa mencukupi kebutuhan daging secara nasional.

Seiring dengan meningkatnya jumlah kebutuhan daging dalam negeri harus disertai dengan peningkatan produksi daging dengan cara melakukan peningkatan jumlah populasi ternak sapi. Peningkatan populasi ternak sapi sangat perlu dukungan dari ketersedian hijauan pakan baik kualitas maupun kuantitas sepanjang tahun. Keterbatasan pengadaan hijauan ini berakibat rendahnya produksi ternak terutama pada musim kemarau, sehingga secara umum akan menghambat peluang pengembangan populasi ternak sapi (Prawiradiputra, 2011).

(24)

2 pakan alternatif yang memiliki potensi lebih seperti tanaman sorgum (Sorghum bicolor(L.) Moench). Tanaman sorgum merupakan salah satu tanaman serealia yang sudah sejak lama dikenal di Indonesia, akan tetapi sebagian besar

masyarakat Indonesia belum begitu mengetahui akan kelebihan dan manfaat dari tanaman tersebut, sehingga pengembangan tanaman sorgum di Indonesia masih belum meluas. Sebenarnya, tanaman sorgum memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi yang luas, dapat bertahan pada kondisi kekeringan, dan sebagai sumber bahan pangan, pakan, bioetanol, dan bahan industri.

Tanaman sorgum masuk ke dalam tanaman biji-bijian, namun pada umumnya tanaman ini lebih dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sorgum manis lebih berpotensi sebagai bahan pakan karena memiliki kandungan zat makanan hijau yang setara dengan rumput gajah yaitu protein kasar 3,3 % dan serat kasar 32,2% (Hartadi dkk., 1980) dan produktivitas biomassanya lebih tinggi dibanding jagung atau tebu (Hoeman, 2007). Hal ini karena tanaman sorgum memiliki gen pengendali kehijauan daun sampai masak fisiologis (Borrel dkk., 2006).

(25)

3 atau dapat juga pada beberapa jenis tanaman yang memiliki umur berbeda-beda seperti contoh tanaman ubikayu (Warsana, 2009).

Sistem tumpangsari tanaman sorgum dengan ubikayu adalah salah satu contoh sistem budidaya yang dapat memanfaatkan lahan secara optimal, karena menurut Hamim (2012) dan Kamal (2011), salah satu keunggulan sistem tumpangsari sorgum dan ubikayu adalah produktifitas lahan per satuan lahan akan meningkat karena produksi tanaman pokok ubikayu tetap dan mendapat tambahan produksi sorgum, sehingga diharapkan akan menghasilkan produksi ganda yang

mendukung sektor pangan, industri, peternakan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani.

Selain mengatur sistem budidaya, faktor genotipe dan kerapatan tanaman juga memiliki peranan yang penting dalam menghasilkan produksi biomassa tanaman sorgum. Pemilihan varietas sorgum sangat diperlukan karena setiap varietas memiliki sifat yang berbeda-beda. Pengaturan tingkat kerapatan tanaman adalah salah satu cara untuk memaksimalkan hasil tanaman. Dengan mengatur jumlah tanaman dapat memanfaatkan lahan dan ruang tumbuh yang efisien. Namun pada kerapatan tinggi dapat terjadi kompetisi cahaya matahari, unsur hara, dan air antartanaman, sehingga mengakibatkan pertumbuhan dan hasil per individu menjadi berkurang, namun karena jumlah tanaman per hektar bertambah dengan meningkatnya populasi, maka produksi biomassa per hektar masih dapat

meningkat.

(26)

4 mempengaruhi produksi biomassa pada tanaman sorgumratoon Ibaik per

tanaman maupun per satuan luas. Namun dengan demikian, produksi biomassa pada tingkat kerapatan yang tinggi pada sistem tumpangsari dengan ubikayu masih belum dilaporkan. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mencari varietas dan tingkat kerapatan tanaman sorgum terbaik melalui sistem

tumpangsari dengan ubikayu agar diperoleh produksi biomassa dan hasil ubikayu yang tinggi, sehingga teknik budidaya sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu ini dapat meningkatkan kesejahteraan para petani dan mengembangkan agroindustri terutama industri pakan ternak Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah tingkat kerapatan tanaman berpengaruh terhadap produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu? 2. Apakah varietas berpengaruh terhadap produksi biomassa sorgum dan hasil

ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu?

3. Apakah interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas berpengaruh terhadap produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu?

(27)

5

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat kerapatan tanaman yang terbaik untuk produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu. 2. Mengetahui varietas yang terbaik untuk produksi biomassa sorgum dan hasil

ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

3. Mengetahui pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

4. Mengetahui korelasi antara produksi biomassa dengan komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

1.3 Kerangka pemikiran

Sorgum (Sorghum bicolor(L).Moench) merupakan tanaman serealia yang dapat menghasilkan bahan pemanis dari nira batangnya. Tanaman ini memiliki

kemampuan tumbuh yang baik, tahan terhadap hama dan penyakit, dan dapat tumbuh pada daerah kering. Tanaman sorgum sangat berpotensi dibudidayakan di Indonesia, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum intensif dalam membudidayakannya, padahal tanaman sorgum dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan bahan baku bahan bakar nabati.

(28)

6 tinggi, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi dan zat kehijauan pakan yang tinggi akan menghasilkan biomassa yang cukup baik, sehingga sangatlah mungkin dimanfaatkan sebagai salah satu pakan ternak yang baik dan pembuatan bioetanol sebagai pengganti bahan bakar minyak dari fosil, oleh sebab itu sorgum membuka peluang sebagai sumber energi yang dapat diperbarui (Sirappa, 2003).

Seperti halnya tanaman yang lainnya, tanaman ini juga dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain, sehingga tanaman ini dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas lahan. Cara ini merupakan suatu usaha untuk mendapatkan hasil lebih dari suatu sistem pertanaman, karena pada saat tanaman ubikayu belum menghasilkan, tanaman sorgum dapat dijadikan sebagai tanaman sela yang di tanam di antara tanaman ubikayu yang memiliki jarak tanam yang cukup lebar.

Selain untuk mendapatkan hasil produksi sorgum yang tinggi, cara ini juga dapat dianggap sebagai upaya untuk mengefisienkan penggunaan lahan dan pupuk. Menurut Hamim dkk. (2012), sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu

merupakan salah satu alternatif yang dapat kita lakukan pada lahan yang terbatas. Permasalahan utama pada sistem tumpangsari ini adalah persaingan unsur hara, air dan cahaya matahari antara tanaman sorgum dengan ubikayu dan tanaman sorgum dengan tanaman sorgum yang lainnya.

(29)

7 jumlah tanaman per hektar bertambah dengan meningkatnya populasi, maka produksi biomassa per hektar masih dapat meningkat.

Menurut Salisbury dan Ross (1985), populasi yang tinggi menimbulkan

persaingan antartanaman yang menyebabkan batang tanaman semakin tinggi dan diameternya semakin kecil. Masing-masing tanaman harus tumbuh lebih tinggi agar memperoleh cahaya lebih banyak, pemanjangan batang pada tanaman sering menguntungkan dalam persaingan memperebutkan cahaya matahari. Selain untuk meningkatkan hasil produksi, kerapatan juga dapat menekan pertumbuhan gulma karena cahaya matahari lebih banyak diserap oleh daun-daun tanaman yang membentuk kanopi sehingga permukaan tanah tertutup. Produksi biomassa menjadi salah satu indikasi keberhasilan tanaman berinteraksi dengan faktor lingkungan yaitu unsur hara, air, cahaya, udara dan faktor genetik.

Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi hasil produksi biomassa pada

tanaman sorgum, sehingga untuk mendapatkan hasil produksi biomassa yang baik maka digunakanlah beberapa varietas tanaman sorgum yaitu Numbu, Keller, dan Wray. Namun ketiga varietas ini memiliki kemampuan genetik yang berbeda-beda, sehingga penampilan tanaman juga berbeda. Perbedaan penampilan gen pada tanaman terlihat dari bentuk organ-organ tanaman yang memiliki ukuran beragam pada berbagai varietas, sehingga kemampuan untuk produksi biomassa akan berbeda-beda untuk setiap varietasnya. Penampilan varietas juga

(30)

8 Dalam upaya peningkatan hasil produksi biomassa sorgum serta pemanfaatan lahan yang optimal maka diperlukan suatu cara budidaya yaitu dengan

mengkombinasikan kerapatan tanaman dengan varietas dan korelasinya terhadap komponen pertumbuhan dan hasil pada sistem tumpangsari tanaman sorgum dengan ubikayu. Dengan adanya kombinasi kerapatan dan varietas tanaman pada sistem tumpangsari, diharapkan mampu memberikan hasil produksi biomassa dan hasil ubikayu yang maksimum.

1.4 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan maka ditetapkan beberapa hipotesis sebagai berikut:

1. Kerapatan tanaman yang berbeda dapat mempengaruhi produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu. 2. Varietas tanaman yang berbeda dapat mempengaruhi produksi biomassa

sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu. 3. Terdapat pengaruh interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap

produksi biomassa sorgum dan hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum

Sorgum merupakan tanaman yang berasal dari wilayah sekitar sungai Niger di Afrika. Domestikasi sorgum dari Etiopia ke Mesir dilaporkan telah terjadi sekitar 3000 tahun sebelum masehi. Pada saat ini sekitar 80 % areal pertanaman sorgum berada di wilayah Afrika dan Asia, namun produsen sorgum dunia masih

didominasi oleh Amerika Serikat, India, Nigeria, Cina, Mexico, Sudan, dan Argentina (Hoeman, 2012).

(32)

10 Sorgum manis (Sorghum bicolor (L).Moench) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya

adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibanding tanaman pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif (Sofyadi, 2011).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Sorgum

Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Superdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Class : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Subclass : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus :Sorghum

Spesies :Sorghum bicolor(L.) Moench (United State Department of Agricultural, 2008).

2.1.2 Syarat Tumbuh Tanaman Sorgum

(33)

11 Curah hujan yang dibutuhkan tanaman ini adalah 600 mm/tahun. Tanaman ini mampu hidup diatas suhu 47°F (Kusuma dkk., 2008). Sorgum dapat berproduksi dengan baik pada lingkungan yang curah hujannya terbatas atau tidak teratur. tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang sedikit masam hingga sedikit basa (Laimeheriwa, 1990).

Kondisi tekstur tanah yang dikehendaki tanaman sorgum adalah berteksur tanah sedang. Tanaman sorgum mampu hidup hampir di seluruh kondisi lahan karena tanaman sorgum dapat hidup pada tanah dengan kemasaman tanah berkisar 5,50 sampai 7,50 (Kusuma dkk., 2008). Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan ditanam di tanah podzolik merah kuning (PMK) yang masam, namun untuk memperoleh pertumbuhan dan produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan atau mengandung pasir dan bahan organik yang cukup.

Tanaman sorgum memiliki keunggulan yaitu lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya, karena tanaman ini memiliki kandungan tanin yang tinggi. Sorgum dan jagung memiliki sistem pengolahan tanah yang sama, yaitu dibajak satu atau dua kali, digaru, lalu diratakan. Tanah yang telah siap ditanami harus bersih dari gulma karena fase pertumbuhan sorgum agak lambat kira-kira 3-4 minggu sehingga pada awal pertumbuhan tersebut kurang mampu kurang mampu bersaing terhadap gulma (Laimeheriwa, 1990).

2.1.3 Morfologi Tanaman Sorgum

(34)

12 dimana kedua alat kelaminnya berada di dalam satu bunga. Bunga sorgum

merupakan bunga tipepanicle(susunan bunga di tangkai). Rangkaian bunga sorgum berada di bagian ujung tanaman. Bentuk tanaman ini secara umum hampir mirip dengan jagung yang membedakan adalah tipe bunga dimana jagung memiliki bunga tidak sempurna sedangkan sorgum bunga sempurna (Candra, 2011).

Tanaman sorgum memiliki Sistem perakaran yang terdiri atas akar-akar seminal (akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar koronal akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara (akar-akar yang tumbuh dipermukaan tanah). Tanaman sorgum membentuk per(akar-akaran sekunder 2 kali lipat dari jagung sehingga faktor utama penyebab toleransi sorgum terhadap kekeringan (Thomas dkk., 1976).

Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran

diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5–5,0 cm. Tinggi batang tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5–4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985). Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2005).

(35)

13 (Almodares dan Hadi, 2009). Panen batang dilakukan pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16–18 minggu (112–126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90–100 hari. Oleh karena itu biji dipanen terlebih dahulu (Sumantri, 1996).

Tanaman sorgum memiliki jenis daun yang berbentuk mirip seperti daun jagung, tetapi daun sorgum dilapisi oleh sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin ini berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tubuh tanaman sehingga mendukung resistansi terhadap kekeringan (Mudjisihono, 1987).

Dalam tanaman sorgum terdapat Rangkaian bunga yang terletak di ujung tanaman, Bunga tersusun dalam malai, Rangkaian bunga ini nantinya akan menjadi bulir-bulir sorgum. Bunga terbentuk setelah pertumbuhan vegetatif, bunga berbentuk malai bertangkai panjang tegak lurus terlihat pada pucuk batang. Setiap malai mempunyai bunga jantan dan bunga betina. Persarian berlangsung hampir tanpa bantuan serangga. Kira-kira 95% dari bunga betina yang berbuah adalah hasil persarian sendiri (Mudjisihono, 1987).

(36)

14

2.1.4 Varietas Tanaman Sorgum

Berdasarkan bentuk malai dan tipe spikelet, sorgum diklasifikasikan ke dalam 5 ras yaitu ras Bicolor, Guenia, Caudatum, Kafir, dan Durra. Ras Durra yang umumnya berbiji putih merupakan tipe paling banyak dibudidayakan sebagai sorgum biji dan digunakan sebagai sumber bahan pangan. Diantara ras Bicolor terdapat varietas yang memiliki batang dengan kadar gula tinggi disebut sebagai sorgum manis yakni biasanya digunakan sebagai bahan baku bioetanol.

Sedangkan ras-ras lain pada umumnya digunakan sebagai biomasa dan pakan ternak (Candra, 2011).

Numbu merupakan varietas yang tergolong sebagai sorgum manis sehingga berpotensi untuk menghasilkan bioetanol. Numbu mempunyai toleransinya dapat tumbuh di lahan masam. Varietas Numbu merupakan salah satu contoh yang menunjukkan bahwa terdapat varietas yang memiliki bobot biji dan kadar nira yang tinggi. Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas sorgum yaitu Varietas Numbu yang berasal dari India, dengan potensi hasil 5 ton/ha, tahan rebah, umur panen 100-105 hari, tinggi tanamanya dapat mencapai 187 cm, jumlah daun yaitu 14 helai, warna sekamnya coklat muda, ukuran biji adalah 4,2; 4,8; 4,4 mm, sifat sekam yang menutup sepertiga bagian biji, memiliki bentuk atau sifat biji yaitu bulat lonjong dan mudah dirontokan (Matsue dan Henmi, 2004).

(37)

15 komposisi kimiawi yang dihasilkan lebih baik kualitasnya untuk hijaun pakan. Varietas Keller dan Wray mempunyai pertumbuhan vegetatif yang lebih panjang 100 hst.

2.2 Produksi Biomassa Sorgum

Biomassa merupakan suatu ukuran keseluruhan dari pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh laju fotosintesis. Fotosintesis akan menurun apabila fotosintat dalam daun tidak digunakan dalam proses pertumbuhan atau pembentukan

biomassa baru tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Beberapa bentuk biomassa juga mengandung protein yang dapat diolah menjadi makanan dan pakan, akan tetapi hanya sebagian kecil yang sudah dapat diolah (Wyman, 1987dalamWhite dan Lawrence, 2003).

Biomassa digunakan untuk menggambarkan bahan organik tanaman yang berasal dari

konversi energi fotosintesis sebagai sumber energi serbaguna yang dapat disimpan

dengan mudah dan berubah menjadi bahan bakar cair, listrik, dan panas melalui

berbagai proses (Bassam, 2004).

2.3 Teknik Budidaya Sorgum

(38)

16 Budidaya tanaman sorgum meliputi pemilihan varietas, penyiapan benih, waktu tanam, penyiapan lahan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama penyakit, dan penanganan hasil panen. Semua aspek tersebut harus mendapat perhatian untuk mendapatkan hasil maksimal (Tabri dkk., 2014).

a. Varietas

Varietas sorgum yang akan ditanam perlu disesuaikan dengan tujuan penggunaan. Apabila hasil biji sorgum digunakan untuk konsumsi dipilih varietas dengan rasa enak. Varietas lokal pada umumnya memiliki rasa yang enak dan dapat dijadikan berbagai makanan olahan. Apabila penanaman sorgum bertujuan untuk pakan ternak dan ditanam secara monokultur dapat digunakan varietas unggul nasional. Di daerah yang ketersediaan airnya terbatas penggunaan varietas yang berumur genjah lebih menguntungkan (Tabri dkk., 2014).

b. Penyiapan benih

Kebutuhan benih sorgum untuk satu hektar lahan berkisar antara 10-15 kg, bergantung pada varietas yang akan ditanam, ukuran benih, jarak tanam, dan sistem tanam. Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, vigor kecambah benih yang digunakan e”90%. Beberapa varietas memiliki masa

(39)

17 c. Waktu tanam

Sorgum dapat ditanam sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun musim kemarau asal tanaman muda tidak tergenang atau kekeringan. Di lahan kering, sorgum dapat ditanam pada awal atau akhir musim hujan secara monokultur setelah panen palawija. Jika ditanam pada musim kemarau, sorgum dapat ditanam setelah panen padi kedua atau setelah palawija di lahan sawah. Pertanaman musim kemarau umumnya memberi hasil lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. Hal ini antara lain disebabkan oleh hama burung, selain proses pengisian biji kurang sempurna karena ketersediaan air terbatas (Tabri dkk., 2014).

d. Penyiapan lahan dan penanaman

Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman sebelumnya atau gulma tanaman perdu yang dapat mengganggu pengolahan tanah. Pengolahan tanah dimaksdukan untuk menggemburkan tanah, meningkatkan aerasi tanah dan mengendalikan gulma. Pada areal yang telah disiapkan sebelumnya dibuatkan lubang tanam dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan varietas yang digunakan (60 cm-75 cm) x 20 cm, ketersediaan air, dan tingkat kesuburan tanah. Pada lahan yang kurang subur dan kandungan air tanah rendah sebaiknya menggunakan jarak tanam lebih lebar atau populasi tanam dikurangi dari populasi baku (sekitar 125.000 tanaman/ha) (Tabri dkk., 2014).

e. Pemupukan

(40)

18 dianjurkan adalah 250 kg urea/ha + ponska 300 kg/ha. Pupuk diberikan 2 kali, pertama: 7 - 10 hari setelah tanam dengan dosis 300 kg ponska/ha; dan kedua: 30 - 35 hari setelah tanam dengan dosis 250 kg urea/ha. Pupuk diberikan dalam lubang/larikan + 15 cm di samping tanaman (Balitsereal, 2013).

f. Pemeliharaan

Selama pemeliharaan tanaman kegiatan yang harus dilakukan adalah pemberian air, penyiangan gulma, pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit. Pemberian air sangat penting dilakukan pada saat tanaman berumur satu sampai empat minggu setelah tanam. Air sangat penting kaitannya dengan fase

perkecambahan dan pertumbuhan begitu juga dengan penyiangan gulma.

Pembumbunan dilakukan agar tanaman tetap berdiri kokoh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada saat tanaman terserang dan sudah menunjukkan nilai diatas ambang ekonomi.

g. Panen

Sorgum siap dipanen apabila 80% dari biji sudah mengeras serta malai telah menguning. Umur panen bervariasi, antara 100-105 hari. Panen dilakukan dengan cara memangkas tangkai di bawah malai dengan menggunakan sabit. Selanjutnya malai dikeringkan kemudian dirontokkan dengan menggunakan alat perontok sorgum.

2.4 Kerapatan Tanaman

(41)

19 pertumbuhan tanaman juga sangat dipengaruhi oleh kerapatan tanaman ini, jika kondisi tanaman terlalu rapat maka dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena dapat menghambat perkembangan vegetatif dan menurunkan hasil panen akibat menurunnya laju fotosintesis dan perkembangan daun (Gardner dkk., 1991).

Semakin banyak tanaman per satuan luas maka semakin tinggi Indeks Luas Daun (ILD) sehingga persen cahaya yang diterima oleh bagian tanaman yang lebih rendah menjadi lebih sedikit akibat adanya penghalang cahaya oleh daun-daun diatasnya (Hanafi, 2005).

Pengaturan banyaknya populasi tanaman memiliki hubungan yang erat dengan produksi yang akan dicapai. Pada tingkat kerapatan tanaman yang tidak optimum akan memungkinkan terjadinya kompetisi terhadap cahaya matahari, unsur hara, air, diantara tanaman, sehingga pengaturan kerapatan tanaman yang sesuai dapat mengurangi terjadinya kompetisi terhadap faktor-faktor tumbuh tanaman dan pada dasarnya pengaturan kerapatan tanaman untuk memberikan tanaman tumbuh dengan baik tanpa kompetisi (Aribawa dkk., 2007).

(42)

20

2.5 Tumpangsari

Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda (Warsana, 2009).

Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: 1) akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan

maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah (Master, 2013).

(43)

21 Pemilihan jenis tanaman yang ditumpangsarikan akan dapat meningkatkan

produksi karena dengan pemilihan tanaman yang tepat dengan habitus dan sistem perakaran yang berbeda diharapkan dapat mengurangi kompetisi dalam

penggunaan faktor tumbuh.

Pemilihan tanaman penyusun dalam tumpangsari senantiasa mendasarkan pada perbedaan karakter morfologi dan fisiologi antara lain kedalaman dan distribusi system perkaran, bentuk tajuk, lintasan fotosintesis, pola serapan unsure hara sehingga diperoleh sauatu karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan hasil tumpangsari yang bersifat sinergis (Gomez dan Gomez, 1983 dalam Permanasari, 2012).

Pertanaman tumpangsari adalah salah satu usaha intensifikasi yang memanfaatkan ruang dan waktu, teknik ini banyak dilakukan terutama pada pertanian lahan sempit, lahan kering atau lahan tadah hujan. Sistem tumpangsari dapat dijadikan sebagai sistem pertanian yang menguntungkan karena mampu meningkatkan efisiensi penggunaan faktor lingkungan (seperti cahaya, unsur hara, dan air), tenaga kerja, serta menurunkan serangan hama dan penyakit dan menekan pertumbuhan gulma. Selain itu pertanaman secara tumpangsari masih

memberikan peluang bagi petani untuk mendapatkan hasil jika salah satu jenis tanaman yang ditanam gagal (Buhaira, 2007).

Kompetisi diantara tanaman yang ditanam secara tumpangsari dapat terjadi pada bagian tajuk (terutama cahaya) dan akar tanaman (terutama air dan hara).

(44)

22 bila dibandingkan dengan tanaman yang mendapat cahaya penuh. Selanjutnya dikatakan bahwa besarnya kompetisi ini tergantung kepada lamanya kompetisi dan daya kompetisi dari masing-masing tanaman yang ditumpangsarikan.

2.6 Ubikayu (Singkong)

Tanaman ubikayu diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus :Manihot

Spesies :Manihot esculenta(Allem, 2002).

Ubikayu merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang menjadi sumber bahan baku

utama pembuatan bioetanol karena mempunyai kemampuan untuk tumbuh di tanah

yang tidak subur, tahan terhadap serangan hama penyakit dan dapat diatur masa

panennya. Beberapa alasan digunakannya ubi kayu sebagai bahan baku bioenergi,

khususnya bioetanol, di antaranya adalah sudah lama dikenal oleh petani di

Indonesia, tersebar di 55 kabupaten dan 33 provinsi, merupakan sumber karbohidrat

karena kandungan patinya yang cukup tinggi, harga di saat panen raya seringkali

sangat rendah sehingga dengan mengolahnya menjadi etanol diharapkan harga

menjadi lebih stabil, dan menguatkansecurity of supplybahan bakar berbasis

kemasyarakatan (Prihandana dkk., 2007).

2.7 Morfologi Tanaman Ubikayu

Tanaman ubikayu dewasa dapat mencapai tinggi 1 sampai 2 meter, walaupun ada

(45)

23

berbentuk silindris dengan diameter berkisar 2 sampai 6 cm. Warna batang sangat

bervariasi, mulai putih keabu-abuan sampai coklat atau coklat tua. Batang tanaman

ini berkayu dengan bagian gabus (pith)yang lebar. Setiap batang menghasilkan

rata-rata satu buku (node) per hari di awal pertumbuhannya, dan satu buku per minggu di

masa-masa selanjutnya. Setiap satu satuan buku terdiri dari satu buku tempat

menempelnya daun dan ruas buku (internode). Panjang ruas buku bervariasi

tergantung genotipe, umur tanaman, dan faktor lingkungan seperti ketersediaan air

dan cahaya. Ruas buku menjadi pendek dalam kondisi kekeringan dan menjadi

panjang jika kondisi lingkungannya sesuai, dan sangat panjang jika kekurangan

cahaya (Ekanayake dkk., 1997).

Susunan daun ubikayu pada batang (phyllotaxis) berbentuk 2/5 spiral. Lima daun berada dalam posisi melingkar membentuk spiral dua kali di sekeliling batang. Daun berikutnya atau daun ke enam terletak persis di atas titik awal spiral. Jadi, setelah dua putaran, daun ke 6 berada tepat di atas daun ke 1, daun ke 7 di atas daun ke 2, dan seterusnya. Daun ubikayu terdiri dari helai daun (lamina) dan tangkai daun (petiole). Panjang tangkai daun berkisar 5-30 cm dan warnanya bervariasi dari hijau ke ungu. Helai daun mempunyai permukaan yang halus dan berbentuk seperti jari. Jumlah jari bervariasi antara 3 dan 9 (biasanya ganjil). Warna rangka helai daun hijau sampai ungu. Bentuk helai daun, terutama lebarnya juga bervariasi (Ekanayake dkk., 1997).

(46)

24 bergantung pada kondisi lingkungan dan umur tanaman. Umbi ubikayu bervariasi bentuknya, bergantung kondisi tanah tempat tumbuhnya (Ekanayake dkk., 1997).

2.8 Syarat Tumbuh Tanaman Ubikayu

Ubi kayu merupakan tanaman tropis. Wilayah pengembangan ubi kayu berada pada 300LU dan 300LS. Namun demikian, untuk dapat tumbuh, berkembang dan berproduksi, tanaman ubi kayu menghendaki persyaratan iklim tertentu. Tanaman ubikayu dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 180-350C, Suhu udara minimal 100C, sedangkan suhu optimalnya adalah 25-270C. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman ubikayu berkisar antara RH 60-65%. Curah hujan yang optimal untuk budidaya ubikayu adalah 750-1.000 mm/thn. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1.500 meter di atas permukaan laut (Baharsjah, 1985).

Tanah yang baik dalam budidaya tanaman ubikayu adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros, serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia, dan mudah diolah. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ubikayu adalah jenis aluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol, dan andosol. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk

(47)

25

2.9 Teknik Budidaya Tanaman Ubikayu

a. Penyiapan bibit

Hasil yang tinggi dapat diperoleh bila tanaman tumbuh optimal dan seragam dengan populasi yang penuh. Kondisi tersebut dapat dicapai bila bibit yang digunakan memenuhi kriteria tujuh tepat, yaitu: waktu, kuantitas, kualitas, harga, tempat, dan kontiniutas. Sumber bibit ubikayu berasal dari pembibitan tradisional berupa stek yang diambil dari tanaman yang berumur lebih dari 8 bulan dengan kebutuhan bibit untuk sistem budidaya ubikayu monokultur adalah 10.000-15.000 stek/ha (Tim Prima Tani, 2006).

b. Penyiapan lahan

Penyiapan lahan berupa pengolahan tanah bertujuan untuk: (1) Memperbaiki struktur tanah; (2) Menekan pertumbuhan gulma; dan (3) Menerapkan sistem konservasi tanah untuk memperkecil peluang terjadinya erosi. Tanah yang baik untuk budidaya ubikayu adalah memiliki struktur gembur atau remah yang dapat dipertahankan sejak fase awal pertumbuhan sampai panen. Kondisi tersebut dapat menjamin sirkulasi O2 dan CO2 di dalam tanah terutama pada lapisan olah sehingga aktivitas jasad renik dan fungsi akar optimal dalam penyerapan hara.

c. Penanaman

(48)

26 jarak tanam tanaman sela yang efektif mengendalikan erosi dan produktivitasnya tinggi adalah 40 cm antara barisan dan 10-15 cm dalam barisan. Penanaman stek ubikayu disarankan pada saat tanah dalam kondisi gembur dan lembab atau ketersediaan air pada lapisan olah sekitar 80% dari kapasitas lapang.

d. Pemupukan

Untuk pertanaman ubikayu sistem monokultur, disarankan pemberian pupuk anorganik sebanyak 200 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar yang diberikan sebanyak tiga tahap. Tahap I umur 7-10 hari diberikan 50 kg Urea, 100 kg SP36, dan 50 kg KCl/ha, dan tahap II umur 2-3 bulan diberikan 75 kg Urea dan 50 kg. KCl/ha, serta tahap III umur 5 bulan diberikan lagi 75 kg Urea/ha. Pupuk organik (kotoran ternak) dapat digunakan sebanyak 1-2 t/ha pada saat tanam. Sedangkan untuk pertanaman ubikayu sistem tumpangsari, pada tanaman ubikayu diberikan pupuk anorganik sebanyak 100 kg ZA, 150 kg Urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl per hektar.

e. Pemeliharaan Tanaman

Kelemahan ubikayu pada fase pertumbuhan awal adalah tidak mampu

(49)

27 tertekan karena kecilnya penetrasi sinar matahari di antara ubikayu. Oleh karena itu, kondisi bebas gulma atau penyiangan pada bulan ke-4 tidak diperlukan karena tidak lagi mempengaruhi hasil. Pada saat penyiangan, juga dilakukan

pembumbunan, yaitu umur 2-3 bulan.

f. Panen

(50)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Tanaman, Fakultas

Pertanian, Universitas Lampung dimulai pada bulan Agustus 2014 sampai April 2015. Lokasi penelitian ini berada pada ketinggian 135 mdpl dan mempunyai jenis tanah latosol dan sebagian podsolik merah kuning (PMK), serta iklim di sekitar Kebum Percobaan Natar terrmasuk tipe B menurut Schmidt dan Ferguson (1951). Dengan curah hujan rata-rata 1.786 mm/tahun (Departemen Pertanian, 2009).

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sorgum dengan tiga varietas (Numbu, Keller, dan Wray), pupuk Urea, SP36, dan KCL, Furadan, dan stek ubikayu Varietas Kasetsart.

(51)

29

3.3 Metode Penelitian

Perlakuan dalam penelitian ini disusun secara faktorial (3x4) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah tingkat kerapatan tanaman (P) pertanaman sorgum yang terdiri atas pola tanam sistem tumpangsari, tingkat kerapatan tanaman terdiri atas empat taraf, yaitu: satu tanaman per lubang (p1), dua tanaman per lubang (p2), tiga tanaman per lubang (p3), dan empat tanaman per lubang (p4). Faktor kedua adalah varietas sorgum (G) yang terdiri atas tiga taraf, yaitu: Varietas Numbu (g1), Varietas Keller (g2), Varietas Wray (g3). Dengan demikian diperoleh 12 kombinasi perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan.

Tabel 1. Susunan perlakuan dalam penelitian.

Perlakuan Keterangan

(52)

30 Petak percobaan pada penelitian ini adalah 4 m x 5 m dan sorgum ditanam dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm, sehingga tiap petak terdiri atas 120 lubang tanam sorgum, sedangkan ubikayu ditanam dengan jarak 80 cm x 60 cm, sehingga tiap petak terdiri atas 36 lubang tanam ubikayu. Tanaman sampel dipilih secara acak. Setiap petak dipilih 3 tanaman sampel untuk pengamatan biomassa dan 5 sampel untuk tanaman ubikayu. Pengamatan ini dilakukan pada saat tanaman sorgum mulai berbunga atau berumur 9 mst dan pada saat panen yaitu berumur 15 mst serta pada saat umur 8 bst untuk tanaman ubikayu. Data produksi biomassa dan hasil ubikayu dianalisis dengan sidik ragam. Homogenitas ragam antarperlakuan diuji dengan uji Barlet dan aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Selanjutnya, perbedaan nilai tengah perlakuan ditentukan dengan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan Lahan dan Pembuatan Petak

Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan sebanyak dua kali dan bajak rotari sebanyak satu kali kemudian diratakan. Tanah yang sudah diolah kemudian dibentuk petakan-petakan sebanyak 36 petak dengan ukuran per petak yaitu 4m x 5m.

3.4.2 Penanaman dan Penentuan Jarak Tanam

(53)

31 sorgum dilakukan dengan cara ditugal kemudian benih dimasukkan pada lubang tersebut sebanyak 5-10 benih per lubang tanam kemudian ditutup dengan tanah. Sedangkan penanaman ubikayu dilakukan dengan menancapkan stek yang berukuran 25 cm sedalam sepertiga panjang batang ke dalam tanah dengan arah mata tunas menghadap keatas.

3.4.3 Penjarangan

Penjarangan dilakukan terhadap tunas-tunas baru yang sudah tumbuh pada

pertanaman sorgum sesuai dengan jumlah perlakuan per lubang tanam dan dipilih tanaman yang mampu tumbuh dan berkembang dengan baik. Penjarangan

dilakukan pada saat umur 2 minggu setelah tanam (mst) sebelum dilakukan pemupukan.

3.4.4 Pemupukan

(54)

32

3.4.5 Pemeliharaan

Pemeliharaan pada penelitian ini meliputi penyiraman, pengendalian tumbuhan liar atau gulma, pengendalian hama dan penyakit, dan pembuatan parit.

a. Penyiraman

Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali dalam satu minggu dengan menggunakan mesin air.

b. Pengendalian gulma

Pengendalian gulma dilakukan dengan cara manual yaitu dengan

menggunakan koret dan cangkul, namun apabila terdapat gulma yang sulit untuk dikendalikan maka digunakan herbisida dalam pengendaliannya. c. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada saat tingkat serangan hama maupun penyakit mencapai pada batas ambang ekonomi yaitu dengan cara penyemprotan insektisida atau fungisida.

d. Pembuatan parit

Pembuatan parit dilakukan agar tidak terdapat genangan air pada petak percobaan disaat hujan dan penyiraman.

3.5 Variabel Pengamatan Sorgum

Pengamatan dilakukan pada beberapa sampel tanaman sorgum yang telah diacak sebelumnya, komponen pengamatan tanaman sorgum tersebut meliputi:

1. Panjang batang

(55)

33 Pengukuran panjang batang dilakukan pada saat tanaman mulai berbunga dan saat panen, panjang batang diukur dalam satuan cm.

2. Diameter batang

Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong, dalam pengukurannya tanaman sorgum dipisah menjadi beberapa bagian yaitu batang bagian pangkal, tengah, dan ujung. Diameter batang tanaman sorgum diukur dalam cm.

3. Bobot basah tanaman

Bobot Basah tanaman atau biomassa diperoleh dari menimbang bobot basah dari setiap sampel yang telah ditentukan. Pada fase vegetatif, biomassa yang akan ditimbang adalah bobot tanaman secara keseluruhan. Sedangkan pada fase generatif dan pada saat panen, biomassa yang ditimbang adalah bobot tanaman secara keseluruhan yang meliputi akar, batang, daun, dan malai. Bobot Basah tanaman dinyatakan dalam satuan g/tanaman dan satuan kg/petak

4. Bobot kering tanaman

Untuk mendapatkan bobot kering tanaman maka biomassa yang telah ditimbang sebelumnya dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan

(56)

34 Selain melakukan pengamatan pada produksi biomassa, pengamatan pada

pertumbuhan dan hasil juga perlu dilakukan sebagai data korelasi yang meliputi :

1. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung pada saat fase pertumbuhan tanaman yaitu pada saat tanaman berumur 8 mst dengan menghitung semua daun dari mulai yang paling bawah sampai yang paling atas dalam satuan helai.

2. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman didapat dari mengukur tanaman sorgum dari pangkal batang sampai pada bagian yang tertinggi dari tanaman tersebut. Pengamatan ini dilakukan pada saat tanaman berumur 8 mst dengan menggunakan meteran dalam satuan cm.

3. Tingkat kehijauan daun

Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat yaitu Klorofil Meter (SPAD) dilakukan pada saat umur 8 mst.

4. Panjang malai

Panjang malai dihitung pada saat tanaman panen atau pada saat tanaman berumur 15 mst dengan cara mengukur menggunakan meteran dari pangkal malai sampai pucuk dalam satuan cm.

5. Jumlah biji per malai

(57)

35

3.6 Variabel Pengamatan Ubikayu

Pengamatan dilakukan pada beberapa sampel tanaman ubikayu pada umur 8 bst yang telah diacak sebelumnya, komponen pengamatan tanaman ubikayu tersebut meliputi:

1. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung pada saat tanaman berumur 8 bst dengan menghitung semua daun dari mulai yang paling bawah sampai paling atas atau yang sudah mulai keluar tangkai daun. Perhitungan jumlah daun dihitung berdasarkan per tangkai daun.

2. Diameter kanopi ubikayu

Pengamatan diameter kanopi ubikayu dilakukan dengan cara mengukur lebar kanopi dari yang paling ujung sebelah kanan sampai sebelah kiri dengan menggunakan meteran, diukur pada satuan m.

3. Panjang tangkai daun kanopi

Untuk pengamatan panjang tangkai daun kanopi, dipilih pada bagian tengah daun yang tumbuh kemudian diukur panjang tangkai pada sisi sebelah kanan dan kiri menggunakan meteran dengan satuan cm.

4. Panjang batang ubikayu

Pengamatan panjang ubikayu dilakukan dengan mengukur panjang batang dari pangkal sampai ujung menggunakan meteran dengan satuan cm. 5. Diameter batang ubikayu

(58)

36 6. Panjang umbi ubikayu

Pengukuran panjang umbi ubikayu dilakukan dengan mengukur semua panjang umbi yang ada kemudian dirata-rata, pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan meteran dalam satuan cm.

7. Diameter umbi ubikayu

Diameter umbi ubikayu dihitung dengan mengukur diameter umbi dengan menggunakan jangka sorong pada bagian tengah umbi dalam satuan cm. 8. Diameter penyebaran umbi ubikayu

Diamater penyebaran umbi dihitung dengan mengukur penyebaran dari yang paling kanan hingga kiri dengan menggunakan meteran dalam satuan cm. 9. Jumlah akar ubikayu

Perhitungan jumlah akar dilakukan dengan menghitung akar yang tidak menjadi umbi.

10. Bobot umbi ubikayu

(59)

37

Gambar 1. Tata Letak Percobaan

G1P2 G2P2

G3P2 G3P1 G1P3 G2P3 G2P1 G1P1 G3P4

G1P4 G3P3

G2P4

G2P3 G2P2

G3P3 G1P2 G3P1 G1P3 G2P4 G2P1 G1P4

G3P4 G3P2

G1P1

G3P4 G2P3

G3P3 G2P2 G2P4 G1P4 G1P2 G3P1 G3P2

(60)

38

Gambar 2. Tata letak tanaman sorgum pada petak percobaan

Keterangan :

X : Tanaman Ubikayu dengan jarak tanam 60 cm x 80 cm 0 : Tanaman Sorgum dengan jarak tanam 20 cm x 80 cm

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

x x x x x x

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5

m

(61)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Kerapatan tanaman berpengaruh terhadap produksi biomassa sorgum, namun tidak mempengaruhi hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

Tingkat kerapatan tanaman yang tinggi (empat tanaman per lubang) mampu

meningkatkan produksi biomassa sorgum per satuan luas yaitu sebesar 77,36

kg/petak, walaupun produksi biomassa per tanaman mengalami penurunan.

2. Varietas tanaman berpengaruh terhadap produksi biomassa sorgum, namun tidak

mempengaruhi hasil ubikayu pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubikayu.

Varietas Keller mampu menghasilkan biomassa sorgum tertinggi dibandingkan

dengan Varietas Numbu dan Wray pada saat berbunga maupun pada saat panen.

3. Pengaruh interaksi antara kerapatan dan varietas tanaman mempengaruhi produksi

biomassa sorgum per tanaman. Kerapatan satu tanaman per lubang dengan

Varietas Keller mampu memproduksi biomassa sorgum terbaik pada saat sorgum

(62)

75

4. Produksi biomassa tanaman sorgum berkorelasi positif terhadap komponen

pertumbuhan dan hasil yang meliputitinggi tanaman, tingkat kehijauan daun, dan panjang malai baik pada umur 9 mst dan 15 mst.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan untuk memanfaatkan sistem budidaya tumpangsari sorgum dengan ubikayu secara baik, karena selain hasil produksi ubikayu pada sistem tumpangsari tidak berbeda dengan sistem

(63)

PUSTAKA ACUAN

Akbar, B. 2011. Pengaruh Kerapatan Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)Varietas Serumpung dan Semboja.Paper. Institut Teknologi Sepuluh November. Jawa Timur.

Allem AC. 2002. The origins and taxonomy of cassava. Di dalam Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor.Cassava: Biology, Production and Utilization. New York: CABI Publishing. hlm 1-16.

Almodares, A. And M.R. Hadi. 2009. Production of bioethanol from sweet sorghum: A review.African J. Agri. 4(9):772-780.

Anggraeni, D. 2014. Pengaruh Kerapatan Tanaman Terhadap Produksi Biomassa Dan Nira Beberapa Varietas Sorgum (Sorghum bicolor(L.) Moench) RATOON I.Skripsi. Universitas Lampung.

Aribawa, I. B., S. Mastra , dan I.K. Kariada. 2007. Uji Adaptasi Beberapa

Varietas Jagung di Lahan Sawah.Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hal: 1-3.

Badan Pusat Statistik. 2013. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa Macam Bahan Makanan Penting, 2007-2013.http:bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/950

diakses pada tanggal 2 Agustus 2015.

Baharsjah, J. 1985. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Balai Penelitian Tanaman Serelia. 2013.Varietas Numbu (Sorgum).

http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content &view=article&id=117:numbu-sorgum&catid=47:database-gandum-dan-sorgum. Diakses pada tanggal 15 Juni 2015.

Bassam, N.E. 2004.Global Potential of Biomass for Transport Fuels.Institute of Crop and Grassland Science. Braunschweig: Germany.

(64)

77 Borrell, A.K. dan Hammer, G. (2005).The physiology of “stay-green” in

sorghum. Hermitage Research Station, University of Quensland, Brisbande. Borrell, A., E.V. Oosterom, G. Hammer, D. Jordan, and A. Douglas. 2006.The

physiology of “stay-green” in sorghum.Hermitage Research Station. University of Quensland: Brisbande.

Buhaira. 2007. Respons kacang tanah (Arachis hypogaeaL.) dan jagung (Zea maysL.) terhadap beberapa pengaturan tanam jagung pada sistem tanam tumpangsari.Jurnal Agronomi.Jambi. 11(1): 41-45

Candra, M.J. 2011. Pengaruh Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA) Dan Berbagai Dosis Pupuk Kompos Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench).Universitas

Pembangunan Nasional Veteran. Yogyakarta. Hal 21.Deptan. 2008. Sorgum. Diakses dari www.deptan.go.id/ditjentan/admin/rb/Sorgum.pdf pada tanggal 8 Septemmber 2014.

Departemen Pertanian. 2009. Sekilas Kebun Percobaan Natar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Lampung.

Ekanayake, I. J., D. S. O Osiru, M. C. M Porto. 1997. Morfology of cassava. Terjemahan Euis dan Zainal. http: //ebookbrowsee.net/bab-11-ubi-kayu-euis-zainal-doc-d133153650.

FAO. 2005. FAO Fisheries Global Information System: Species Identification Sheet. Diakses dari http://www.figis@fao.org pada tanggal 2 September 2014.

Gardner, F.P., R. B. Pearce, and P. R. Michael. 1991.Fisiologi Tanaman Budidaya, Penterjemah Herawati Susilo.UI Press: Jakarta.

Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum yang ditanam tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPIHIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. p 91- 94. Bogor, 1-2 Mei 2012.

Hanafi, M.A. 2005. Pengaruh Kerapatan Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tiga Kultivar Jagung (Zea maysL.) Untuk Produksi Jagung. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya: Malang. Hal. 6-9.Semi Skripsi.

(65)

78 Hilman, Y., A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-kacangan dan Umbi-umbian:

Kontribusi terhadap Ketahanan pangan dan Perkembangan Teknologinya. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor; 95-132 hlm. Hoeman, S. 2007. Peluang dan Potensi Pengembangan Sorgum Manis.Makalah

pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorgum Manis sebagai Bahan Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan. Departemen Pertanian: Jakarta.10 hal. _________. 2012. Prospek Dan Potensi Sorgum Sebagai Bahan Baku Bioetanol.

Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Jakarta Selatan.

Jamaran, N. 2006. Produksi dan Kandungan Gizi Rumput Gajah (P. purpureum) dan Rumput Raja (P. purpupoides) Yang Ditumpangsarikan Dengan Tanaman Jati.Jurnal Peternakan Indonesia. Padang. 11(2): 151-157 Kusuma, J., F. N. Azis, Erifah, M. Iqbal, A. Reza, Sarno. 2008. Sorgum.

Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Laimeheriwa, L. 1990. Teknologi Budidaya Sorgum. Balai Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Irian Jaya.

Master. 2013. Pola tanam tumpangsari.

www.anakagronomy.com/2013/03/polatanam-tumpangsari.htm. Diakses tanggal 2 september 2014.

Matsue, N. and T. Henmi. 2004. Validity of the new method for imogolite

synthesis and its genetic implication. pp. 331–341.In Y.Obayashi and Page (Eds.) Interdisciplinary Studies on Environmental Chemistry.

Environmental Research in Asia.

Mudjisihono, R., dan D. S.Damarjati. 1987. Prospek kegunaan Sorghum sebagai sumber pangan dan pakan ternak.J. Litbang Pertanian6(1): 1-4.

Permanasari, I. dan D. Kastono. 2012. Pertumbuhan Tumpangsari Jagung dan Kedelai Pada Perbedaan Waktu Tanam Dan Pemangkasan Jagung.Jurnal Agroteknologi:3(1): 13-20.

Prawiradiputra, B. 2011. Pasang Surut Penelitian dan Pengembangan hijauan Pakan Ternak di Indonesia.Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

(66)

79 Rahmawati, A. 2013. Respon Beberapa Genotipe Sorgum (Sorghum bicolor(L.)

Moench) Terhadap Sistem Tumpangsari Dengan Ubi Kayu (Manihot

esculentaCrantz).Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rukmana, R., dan Y.Y. Oesman. 2005. Usaha Tani Sorgum. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Sadjad, S. 1993. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Gramedia, Jakarta.

Saliem, P. H. dan S. Nuryanti. 2011. Analisis Kebijakan: Perspektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubikayu Mendukung Swasembada.Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Salisbusry, F.B. and C.W. Ross, 1985.Plant Physiology. Third Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmont: California. 540 p.

Schmidt, F. H. And Ferguson, J. H. A. (1951).Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia and Western New Guinea. Verh.Djawatan Mety. Dan Geofisik, Jakarta, Indonesia, 700 pp.

Sirappa, M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif Untuk Pangan, Pakan, dan Industri.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian,Jakarta. 22(4):133-140.

Sitompul., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah mada University Press.

Sofyadi, E. 2011. Aspek Budidaya, Prospek, Kendala, dan Solusi Pengembangan Sorgum di Indonesia. Jakarta.

Subandi, I. M. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung Di Indonesia. Balitbantang. Departemen Pertanian. Jakarta.

Sumantri, A. 1996. Pedoman Teknis Budidaya Sorgum Manis Sebagai Bahan Baku Industri Gula.Pasuruan.

Sumarni, N., dan Rosliani, R. 2010. Pengaruh Naungan Plastik Transparan, Kerapatan Tanaman, dan Dosis N Terhadap Produksi Umbi Bibit Asal Biji Bawang Merah.J.Hort.Bandung. 20(1):52-59.

Suwarto dan Yahya, S. 2005. Kompetisi Tanaman Jagung dan Ubikayu Dalam Sistem Tumpangsari.Jurnal Penelitian.IPB Bogor. Bul. Agron. (33)(2)1-7. Tabri, F. dan Zubachtirodin. 2014. Budidaya Tanaman Sorgum. Balai Penelitian

Gambar

Tabel 1. Susunan perlakuan dalam penelitian.
Gambar 1. Tata Letak Percobaan
Gambar 2. Tata letak tanaman sorgum pada petak percobaan

Referensi

Dokumen terkait

Dampak atas kebijakan relokasi bagi masyarakat di area rel kereta api yaitu baik berupa sosial yaitu tidak adanya kejelasan tempat tinggal bagi warga yang

Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.. Peraturan Kepala BKPM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara

mudah yaitu menghitung bilangan oksidasi, Sedangkan sub materi yang saya rasa lebih sulit yaitu menyetarakan persamaan reaksi redoks, karena untuk menyetarakan

Dari beberapa penelitian yang ada, penulis membuat pengembangan penelitian perancangan lampu penerangan otomatis, yang mana dari penelitian tersebut diharapkan dapat

Karakteristik ini ditambah dengan konsistensi yang sangat licin menyebabkan manitol menjadi eksipien pilihan untuk formulasi tablet kunyah.

Atas izin Allah penulisan tesis yang berjudul “ Bahasa Figuratif dan Citraan dalam Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono: Kajian Stilistika dan

Apakah ada hubungan status gizi dengan kepatuhan diet rendah garam pada. pasien hipertensi di Rumah Sakit PKU

Oleh karena itu, persoalan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam rangka mendapatkan berbagai informasi mengenai motif dan peran Muslimat NU cabang Kabupaten