• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung Ri No. 86k/Ag/1994)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung Ri No. 86k/Ag/1994)"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

NISA OKTAFIANI NIM : 1110044100010

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 April 2014

(5)

Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1435 H/2014 M.

Skripsi ini merupakan penelitian tentang analisis putusan Mahkamah Agung RI No. 84K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak perempuan sebagai hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih/saudara kandung si pewaris. Pada putusan MA ini, majelis hakim memutuskan bahwa anak perempuan sendiri dapat menghijab hirman kewarisan pamannya sehingga ia mendapat seluruh harta warisan, dengan pertimbangan hukum bahwa pendapat hakim yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Sedangkan putusan sebelumnya (PTA Mataram) memutuskan bahwa anak perempuan bersama-sama pamannya mendapat warisan, yang mana sesuai dengan KHI Pasal 176 dan 174, faraidh, dan pendapat jumhur ulama. Putusan MA ini tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan mengesampingkan pendapat yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam penyelesaian perkara waris di atas, yang mana perkara ini ialah perkara yang bersifat kasuistik.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-empiris yakni meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya (KHI dan hukum waris Islam) dengan hukum yang diterapkan (putusan MA No.86K/AG/1994). Sumber data menggunakan data primer (putusan yang terkait) dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara kepada hakim Agung. Sedangkan teknik analisis dengan menggunakan metode content analisis/analisis isi. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada kasus tertentu, hakim dapat menjatuhkan putusan yang keluar dari hukum secara umum atau aturan yang biasa diterapkan, demi mencapai titik keadilan. Namun dalam mengadilinya, hakim harus mempelajari dan memahami betul kasus tersebut dengan melakukan interogasi filosofi dari bukti-bukti yang ada, sehingga dapat mengkategorikan perkara tersebut sebagai kasuistik. Pada putusan MA ini, hakim melakukan upaya penemuan hukum dengan metode interprestasi gramatikal pada

makna “walad” surat An-Nisa ayat 176 ialah anak baik anak laki-laki maupun perempuan yang mana sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas.

Kata kunci : Yurisprudensi, Kewarisan Anak Perempuan, Hijab Hirman. Pembimbing : Sri Hidayati, M. Ag.

(6)

vi

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa Syari’ahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Almarhum Ayahanda Sahan dan Ibunda Rajab yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

(7)

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal al -Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan

waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi al-Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. Dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi. 5. Tata usaha, Kepaniteraan, Panitera Muda Perdata Agama Mahkamah Agung,

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.

(8)

7. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada keluarga tercinta, Reni Suryani, Nurjanah, Tek Nira, M. Azka Rabbani, Mamah Tika, dan Bapak Eka yang senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

8. Sahabat seperjuangan penulis yaitu Wardhatul Jannah, Restia Gustiana, Nurul Hikmah, Defi Uswatun Hasanah, Dede Umu Kulsum, Rizki Amalia, M.Faudzan, Arinie Zidna, Irfan Helmi, Elsa Fitri, Najwa Aulia, Agnis Afriani, dan Trisni Asih serta teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Ciputat, 28 April 2014

(9)

ix

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah ... 1

B.

Identifikasi Masalah ... 4

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D.

Metode Penelitian ... 7

E.

Review Studi Terdahulu ... 10

F.

Sistematika Penulisan ... 11

BAB II HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan... 13

B. Rukun, Syarat, Sebab, dan Penghalang Mewarisi... 19

(10)

D. Konsep Jender ... 27

BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN MEWARISI BERSAMA SAUDARA LAKI LAKI SEKANDUNG A. Konsep Hijab-Ashabah ... 31

B. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Bersama Saudara Kandung ... 40

C. Bagian Ashabah Dalam KHI ... 52

BAB IV PUTUSAN MA RI NO. 86K/ AG/ 1994 DAN ANALISA A. Kronologi Perkara ... 58

B. Tuntutan ... 60

C. Putusan Hakim ... 62

D. Pertimbangan Hukum... 63

E. Analisa Pertimbangan Hukum ... 64

F. Analisa Penulis ... 69

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Waris ialah bagian dari syariat Islam. Oleh karenanya, Islam mengatur secara terperinci masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Ketentuan waris diatur dalam Al-Qur’an, antara lain Surat An-Nisa ayat 7, 8, 9, 11, 12 dan 176 serta hadis-hadis Nabi. Ayat-ayat Al-Quran dan hadits Nabi tersebut menegaskan kepada umat Islam bahwa kita harus melaksanakan syariat waris sesuai dengan hukum Islam serta dalam pelaksanaannya haruslah secara adil.1

Perihal hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditetapkan dan disahkan sebuah peraturan yaitu Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 sebagai titik temu serta acuan dalam pelaksanaan hukum Islam untuk masyarakat Islam di Indonesia. Dan untuk permasalahan hukum kewarisan Islam itu sendiri diatur dalam KHI Buku II mengenai Hukum Kewarisan.2 Disini dapat kita lihat bahwa pemerintah telah berupaya untuk memenuhi kebutuhan produk hukum untuk masyarakat muslim di Indonesia dalam menjawab masalah-masalah kewarisan.

1

Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 9.

2

(12)

Akan tetapi faktanya, masalah mengenai kewarisan masih sering terjadi seperti perselisihan antara ahli waris dalam praktik pembagian harta warisan. Permasalahan tersebut terjadi karena adanya perbedaan antara teori dengan praktik, yakni putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku atau meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa. Hal tersebut disebabkan adanya pertimbangan hukum lain yang diambil hakim dalam mengadili masalah tersebut.

Pada dasarnya, hakim memang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial, antara lain: (a) menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan secara benar dalam menyelesaikan perkara; (b) menginterprestasikan hukum (undang-undang) secara tepat melalui metode interprestasi yang dibenarkan; (c) kebebasan mencari dan menemukan hukum, baik melalui yurisprudensi, doktrin hukum, hukum tidak tertulis (adat) maupun pendekatan realisme. Akan tetapi kebebasan hakim tersebut bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.3

Dalam hal kebebasan hakim menginterprestasikan hukum, hakim boleh saja menghendaki pertimbangan lain dalam membuat keputusan jika pertimbangan yang biasa dipakai secara umum diterapkan akan bertentangan dengan kemaslahatan atau akan bertentangan dengan tujuan syariat. Akan tetapi hakim haruslah menjelaskan

3

(13)

secara jelas mengapa ia meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa dan menerapkan putusan lain yang tidak biasa.4

Permasalahan mengenai adanya pertimbangan lain dari hakim yang menyebabkan putusan yang dikeluarkan tidak sejalan dengan hukum yang berlaku atau meninggalkan hukum yang biasa dipakai dalam kasus yang serupa merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk diteliti. Salah satu kasus permasalahan tersebut yakni seperti yang terjadi di Mahkamah Agung terkait sengketa waris dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994. Dalam putusan ini diputuskan bahwa anak perempuan sendiri dapat menghijab kewarisan saudara sekandung.

Pada putusan di tingkat sebelumnya yakni putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram, sengketa waris ini diputuskan bahwa saudara kandung pewaris mendapat bagian harta waris sebagai ashabah bersama anak perempuan. Putusan ini terlihat sejalan dengan pendapat jumhur ulama dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176 bahwa anak perempuan tidak menjadi penghalang bagi saudara laki-laki si pewaris untuk mendapat harta warisan. Namun pada putusan di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung memutuskan bahwa anak perempuan dapat menghijab kewarisan saudara pewaris. Hakim secara tegas memilih pendapat Ibnu Abbas dalam menafsirkan Surat An-Nisa ayat 176 yaitu baik anak laki-laki maupun anak perempuan masing-masing menghalangi saudara kandung si pewaris dari

4

(14)

mendapatkan harta warisan.5 Terdapat perbedaan kesimpulan putusan antara Pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Mahkamah Agung. Akan tetapi putusan Mahkamah Agung tidak mengemukakan alasan mengapa mengambil pendapat yang satu dan mengesampingkan yang lain tanpa menyebutkan alasan tambahan kecuali hanya menyebutkan bahwa keputusan itu sejalan dengan pendapat Ibnu Abbas. Alasan putusan MA tersebut dirasa tidak kuat untuk membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram yang juga sejalan dengan pendapat mayoritas ulama.6

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, terdapat hal-hal yang sangat menarik untuk ditinjau lebih mendalam dan dikritisi oleh penulis, khususnya mengenai latar belakang, baik dasar pemikiran maupun pertimbangan hakim, hingga akhirnya dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994. Maka penulis akan menuangkannya dalam bentuk proposal skripsi dengan judul: “Anak Perempuan Sebagai Hajib Hirman Terhadap Kewarisan Ashabah Bin-Nafsih (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994)” .

B. Identifikasi Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan mencoba mendeskripsikan serta menganalisa Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 mengenai kedudukan kewarisan anak

5

Effendi, Problematika, h. 302-304.

6

(15)

perempuan sebagai hajib hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih. Disini anak perempuan yang dimaksud yakni anak perempuan kandung si pewaris. Lalu ashabah bin-nafsih yang dimaksud yakni saudara laki-laki sekandung si pewaris.

2. Perumusan Masalah

Menurut Surat An-Nisaa ayat 11, Kompilasi Hukum Islam pasal 176, serta pendapat jumhur ulama bahwa anak perempuan jika sendiri ia mendapat ½ bagian warisan dan sisanya diberikan kepada ahli waris lainnya. Akan tetapi kenyataannya di lapangan, satu orang anak perempuan dapat menghijab kewarisan ahli waris lainnya dan ia mendapat seluruh warisan.

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:

a. Apa alasan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 memilih pendapat Ibnu Abbas dalam memaknai makna

“walad” pada Surat An-Nisaa ayat 176 dan mengenyampingkan pendapat

jumhur ulama seperti yang telah diterapkan pada putusan pengadilan dibawahnya?

b. Dari segi analisis jender, apakah putusan Mahkamah Agung RI ini telah sesuai dengan kesetaraan dan keadilan jender?

(16)

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apa pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam membuat keputusan yakni Putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994 dalam menyelesaikan sengketa waris di atas.

b. Untuk mengetahui apakah putusan MA ini telah sesuai dengan prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

2. Manfaat Penelitian

Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar materi untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat rangka perkembangan wawasan ilmu hukum, khususnya menyangkut penyelesaian sengketa waris tentang kewarisan anak perempuan sebaga hajib

hirman terhadap kewarisan ashabah bin-nafsih.

b. Bagi Masyarakat

Sebagai bahan bacaan serta informasi bagi masyarakat luas mengenai proses penyelesaian sengketa waris pada Mahkamah Agung serta cara hakim Agung mengambil keputusan.

(17)

Untuk memperluas ilmu pengetahuan dan pembentukkan pola berpikir kritis bagi si penulis, khususnya mengenai ilmu kewarisan Islam. Selain itu, untuk membentuk pemikiran yang bijak dalam menyelesaikan masalah.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah pendekatan kualitatif. Yakni menggambarkan secara mendalam dan rinci terhadap permasalahan yang diteliti. Metode kualitatif dapat menghasilkan informasi-informasi terinci mengenai permasalahan tersebut, sehingga dapat meningkatkan pemahaman terhadap kasus-kasus dan situasi permasalahan.7 Kemudian juga menggunakan pendekatan yuridis-empiris yakni meneliti kesenjangan antara hukum yang seharusnya/yang berlaku (das sollen) dengan hukum yang senyatanya/diterapkan (das sein).

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yakni penelitian deskriptif-analitik yakni mengungkapkan peraturan perundang-undangan atau putusan hakim yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.8 Setelah mendeskripsikan secara mendalam dan rinci permasalahan yang diteliti, kemudian dianalisis dengan sumber data yang diperoleh untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang teliti.

7

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. VI, h. 186.

8

(18)

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:

a. Data primer: yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni berupa putusan Mahkamah Agung RI No. 86K/AG/1994, putusan PTA Mataram No. 19/Pdt.G/1993/PTA.MTR, Putusan PA Mataram No. 85/Pdt.G/92/V/PA.Mtr dan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada Hakim Agung.

b. Data sekunder: yaitu data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan, antara lain peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah ini seperti UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Al-Quran, Hadits Nabi, kitab-kitab fiqih, buku-buku hukum yang berkaitan seperti buku Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, buku Hukum Kewarisan Islam, buku metode penelitian, dan lain-lain.

3. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan oleh peneliti adalah data kualitatif, yaitu pemikiran, makna, nilai dan cara pandang manusia mengenai gejala-gejala yang menjadi fokus penelitian. Penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.9.

9

(19)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi kepustakaan (documentary study) yakni melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, buku-buku, publikasi dan hasil peneltian,10 antara lain seperti informasi dari putusan Mahkamah Agung No. 86K/AG/1994 di Mahkamah Agung RI dan putusan lain yang mendukung, peraturan perundang-undangan yang terkait, serta menelusuri buku-buku hukum dan kutipan-kutipan lain yang berhubungan erat dengan permasalahan di atas.

b. Wawancara: yaitu teknik pengumpulan data yang menggunakan instrument wawancara untuk mendapatkan keyinforman yang diteliti,11 yakni dengan cara tanya-jawab secara langsung kepada Hakim Mahkamah Agung.

5. Metode Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian ini mengunakan metode penelitian deskriptif-analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif tehadap seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, baik primer, sekunder, maupun tersier.12 Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas

10

Ali, Metode, h. 107.

11

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet.1, h. 55.

12

(20)

dan menganalisis isinya menggunakan metode content analysis.13 Kemudian menginterprestasikannya menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak jelas rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Penulisan

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

E. Review Studi Terdahulu

Pertama, Nur Fitriah (108044100035) Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Judul skripsi :

“Kedudukan Kewarisan Anak Perempuan Bersama Saudara Pewaris (Studi Analisa Putusan Mahkamah Agung No. 122/K/AG/1995)”. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini yaitu membahas kedudukan kewarisan anak perempuan bersama saudara pewaris dengan menganalisis Putusan MA No.122K/AG/1995. Terdapat kesamaan antara skripsi saya dan skripsi ini yaitu sama-sama membahas kasus yang berhadapan dengan ketidakadilan jender. Kemudian terdapat aturan baru untuk mempertahankan keadilan sehingga mengenyampingkan Undang-Undang yang berlaku. Namun perbedaannya adalah skripsi saya menganalisis putusan Mahkamah Agung No. 86K/AG/1994 dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam mengambil pendapat Ibnu Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain,

13

(21)

seperti yang terjadi dalam putusan PTA Mataram dan MA di atas. Sedangkan skripsi terdahulu membahas pertimbangan hakim pada putusan MA No. 122K/AG/1995.

Kedua, Elfid Nurfitra Mubarok (104044101425), Konsentrasi Peradilan Agama, Prodi Akhwal al-Syakhsiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Judul

skripsi : “Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan dengan Saudara

Kandung (Studi Analisis Pada Putusan Peradilan Agama)”. Pada skripsi ini membahas penerapan hukum dalam penyelesaian gugatan kewarisan anak perempuan dengan saudara kandung yakni dengan menganalisis putusan PA Jakarta Selatan No. 637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No. 122K/AG/1995. Terdapat kesamaan antara skripsi ini dengan skripsi saya yakni sama-sama membahas kewarisan anak perempuan dengan saudara kandung. Namun perbedaannya, skripsi ini menganalisis putusan PA Jakarta Selatan No. 637/Pdt.G/2001/PA.JS dan putusan MA No. 122K/AG/1995. Sedangkan skripsi saya menganalisis putusan MA No. 86K/AG/1994 dan lebih memfokuskan pada apa alasan hakim dalam mengambil pendapat Ibnu Abbas dan mengesamping pendapat ulama yang lain.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:

(22)

Bab Kedua, dalam bab ini memuat Konsep Dasar Hukum Kewarisan Islam yang terdiri dari pengertian dan dasar hukum waris, rukun, syarat, sebab, dan penghalang mewarisi, asas-asas kewarisan, dan konsep jender.

Bab Ketiga, dalam bab ini memuat pembahasan Kedudukan Anak Perempuan Mewarisi Bersama Saudara Laki-Laki Sekandung yang terdiri konsep hijab dan ashabah, pendapat para ulama tentang kedudukan anak perempuan mewarisi bersama saudara laki-laki sekandung, dan bagian saudara dalam KHI.

Bab Keempat, dalam bab ini berisi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 86K/AG/1994 dan Analisa, yang terdiri dari kronologi perkara, tuntutan, putusan, pertimbangan hukum, analisis pertimbangan hukum dan analisa.

(23)

13 A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan

1. Pengertian Kewarisan

Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.1

Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris.

Menurut bahasa, fiqh adalah pengetahuan atau paham.2 Menurut istilah, fiqh ialah ilmu untuk mengetahui hukum hukum syara‟ yang pada perbuatan anggota, diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci). 3 Sedangkan kata mawaris (ثيراوم) merupakan bentuk jamak dari ثاريملا (miiraats) yang berarti harta warisan atau peninggalan mayit.4 Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak

1

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), Cet.IV, h. 5.

2

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1068.

3

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh lengkap), Cet. XXXVIII, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), h. 11.

4

(24)

menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.5 Sedangkan Prof. T.M. Hasby As-Shiddiqi dalam bukunya Fiqhul Mawaris menerangkan bahwa

para fuqaha menta‟rifkan ilmu mawaris dengan:

“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, orang yang

tidak dapat menerima pusaka, kadar yang diterima oleh tiap-tiap waris dan cara

pembagiannya.” 6

Al-Faraidh (ضئارفلا), yang selanjutnya ditulis faraid, jamak dari kata faridhah

(ةضيرف) yang terambil dari kata al-faradh, yang artinya fardlu atau kewajiban.7 Para ulama faradhiyyun (ahli faraidh) mengartikan al-faraid semakna dengan mafrudhah, yakni bagian yang telah ditentukan atau bagian yang telah pasti. 8 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. Surah An-Nisaa ayat 7:

                                

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

5

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.7.

6

Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 5.

7

Munawwir, Al-Munawwir, h. 1047.

8

(25)

ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah

ditetapkan.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia digunakan kata waris, warisan, dan hukum kewarisan. Kata “waris”, berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Adapun yang kata “warisan” berarti sesuatu yang diwariskan seperti harta, nama baik, harta pusaka. Sedangkan kata “kewarisan”, dengan mengambil kata asal “waris” dan tambahan awalan “ke” dan akhiran “an”.

Arti kata “kewarisan” itu sendiri yakni hal yang berhubungan dengan waris atau

warisan9. Jadi hukum kewarisan ialah hukum yang berhubungan dengan waris dam warisan. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni pada pasal 171 poin (a) menjelaskan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya msing-masing.

Terdapat beberapa pendapat pakar hukum Islam mengenai hukum kewarisan Islam, antara lain:

a. Menurut Drs. Fatchur Rahman, hukum kewarisan Islam ialah aturan-aturan yang tidak mengandung unsur sewenang-wenag terhadap para ahli waris, bahkan telah memperbaiki kepincangan-kepincangan sistem pusaka mempusakai yang telah dijalankan oleh orang-orang terdahulu dan oleh

9

(26)

sebagian orang-orang sekarang. Menurut beliau, hukum kewarisan Islam mengandung unsur-unsur keadilan yang mutlak.10

b. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, hukum kewarisan Islam adalah seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini belaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.11

c. Menurut Drs. H. Habiburrahman, M.Hum, hukum kewarisan Islam adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadits, yang berlaku universal di bumi manapun maupun di dunia ini.12

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hukum kewarisan Islam di Indonesia ialah seperangkat peraturan mengenai peralihan kepemilikan harta warisan si pewaris kepada ahli warisnya yang berpedoman pada Al-Quran dan Hadis, yang diberlakukan kepada seluruh masyarakat Islam di Indonesia.

2. Dasar Hukum Kewarisan

Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan yang diberikan Nabi Muhammad SAW. dalam sunnahnya.

10

Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA‟ARIF, 1971), h. 22.

11

Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 6.

12

(27)

Ayat-ayat al-Qur‟an dan sunnah Nabi yang mengatur secara langsung kewarisan itu sebagai berikut, antara lain:

a. Q.S. An-Nisaa ayat 11:

                        

Artinya: “…..dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan

itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. ...”

b. Q.S. An-Nisaa ayat 12:

…….                                         ... 

Artinya: “……. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,….”

c. Q.S. An-Nisaa ayat 176:

                                                                                          

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

(28)

yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah

Maha mengetahui segala sesuatu.”

d. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari:

Artinya: “Berikanlah fara’id (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki dari keturunan

laki-laki yang terdekat.”13

e. Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad :

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah berkata: Janda Sa’ad datang kepada Rasul

bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang telah gugur secara syahid bersamamu

di perang Uhud. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka

dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat harta.”

Nabi berkata: “Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini.”

13

(29)

Kemudian turunlah ayat-ayat tentang kewarisan. Nabi pun memanggil paman

itu dan berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk dua orang anak Sa’ad, seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambillah untukmu.”

B. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Mewarisi 1. Rukun Waris

Menurut bahasa, rukun ialah asas atau dasar. 15 Sedangkan menurut istilah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. Jadi, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris dimana bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya.16 Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga, yaitu:

a. Al Muwarrits (yang mewariskan) adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan orang lain (ahli warisnya), dan ia adalah si mayit.

b. Al-Warits (ahli waris) adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit.

c. Al-Mauruts (yang diwariskan) yaitu harta peninggalan (si mayit).17 2. Syarat Waris

14

Abu Dawud, Sunanu Abu Dawud, Juz III, (Darul Fikri), h. 45-46

15

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1187.

16

Komite Fakultas Syariah Unversitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27.

17

(30)

Syarat, menurut bahasa berarti janji.18 Sedangkan menurut istilah, syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum. Berkaitan dengan waris, maka jika tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Meskipun syarat syarat waris terpenuhi, tidak serta merta harta waris dapat langsung dibagikan jika terdapat sesuatu yang menghalanginya.19 Syarat-syarat waris antara lain20:

a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga yakni mati hakiki (sejati), mati hukmiy

(menurut putusan hakim, dan mati taqdiriy (menurut perkiraan/dugaan yang kuat)

b. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmiy, setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar, memili hak atas harta waris.

c. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian.

3. Sebab-Sebab Mewariskan

Sebab-sebab seseorang menerima warisan ada tiga, antara lain:

a. Nikah, adalah ikatan (akad) suami istri yang sah, dengan sebab ini maka seorang suami mewarisi harta istri dan istri mewarisi harat suami dengan

18

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1368.

19

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 28-29.

20

(31)

sebab semata-semata telah melakukan akad nikah, meskipun belum

melakukan jima‟ dan belum berkhalwat. Ini telah ditetapkan oleh Allah dalam

surah An-Nisaa ayat 12 yang artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak

mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu

mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya..”21

b. Nasab adalah kekerabatan yaitu hubungan darah yang mengikat para ahli waris dengan si pewaris. Sebab hubungan kekerabatan ini diatur oleh Allah dalam Surat Al Anfal ayat 75, yang artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang

bukan kerabat) di dalam kitab Allah.”22

c. Wala‟ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan. Yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya. 23 Terjalinnya suatu tali ikatan di atas dalam istilah fiqh dinamakan ushubah sababiyah, yakni ushubah yang disebabkan oleh pemerdekaan. 24

Akan tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 174, sebab sebab mewarisi hanya ada 2, yakni karena adanya hubungan darah dan adanya hubungan perkawinan. Pada KHI tidak dicantumkan hubungan wala‟, karena dianggap sudah

21

Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 25-26.

22

Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27.

23

Al-Utsaimin, Ilmu Waris, h. 27.

24

(32)

tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia kini. Dimana saat ini tidak ada lagi perbudakan di Indonesia, karena setiap warganya telah dilindungi hak kemerdekaannya sebagai manusia dan warga negara.

4. Penghalang-Penghalang Mewarisi

Penghalang-penghalang mewarisi ialah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan setelah adanya sebab-sebab mewarisi.25 Maka, yang dilarang mendapatkan hak waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi, tetapi ia melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Penghalang-penghalang kewarisan yang disepakati oleh segenap ulama ialah:

a. Pembunuhan. Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh sepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalangan dalam hukum waris. Dengan demikian seseorang pembunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh. 26 Hal ini berdasarkan Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Abu Dawud:

Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pembunuh

tidak boleh mewarisi”.27

25

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 45-46.

26

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 56.

27

(33)

Para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang disengaja dapat menjadi penghalang mewarisi. Sedangkan pembunuhan yang tidak sengaja terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Para ulama pun sepakat orang yang terbunuh dapat mewarisi harta si pembunuh.

b. Berlainan Agama. Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang lainnya. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang Muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.28 Sebagaimana sabda Nabi SAW. berikut:

Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabis SAW. bersabda: “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan

orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari)29

c. Perbudakan. Para Faradhiyun telah bulat pendapatnya untuk menetapkan perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusaka-mempusakai, berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih

28

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 47.

29

(34)

yang menafikan kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang, yakni firman Allah SWT. yang termaktub dalam surat An-Nahl ayat 75, yang artinya: “Allah telah membuat perumpamaan, (yakni) seorang budak yang

tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…..”. Mafhum ayat tersebut

menjelaskan bahwa budak itu tidak cakap mengurus hak milik kebendaaan dengan jalan apa saja. Dalam soal pusaka-mempusakai terjadi di satu pihak melepaskan hak milik kebendaan dan di satu pihak yang lain menerima hak milik kebendaan. Oleh karena itu terhalangnya budak dalam pusaka-mempusakai ditinjau dari dua arah yaitu pusaka-mempusakai harta peninggalan dari ahli warisnya dan mempusakakan harta peninggalan kepada ahli warisnya lantaran ia belum bebas secara sempurna dari perbudakan. Hal tersebut sebagaimana pendapat Abu Hanifah, Imam Syafi‟ dan ulama jumhur.30

C. Asas-Asas Kewarisan

Terdapat lima asas yang menunjukkan bentuk karakteristik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri, antara lain:

1. Asas Ijbari

Dijalankannya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan ahli waris. Unsur paksaan sesuai dengan arti

30

(35)

terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. 31

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain: Pertama, dari segi peralihan harta, bahwa harta orang meninggal dunia itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Kedua, dari segi jumlah , berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah. Ketiga, dari segi pewaris, berarti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya harus dibatasi oleh ketentuan yang telah ditentukan Allah. Keempat, dari segi kepada siapa harta itu beralih, berarti bahwa orang-orang yang mendapat harta peninggalan si pewaris ialah para ahli waris yang telah ditentukan oleh Allah.32

2. Asas Bilateral

Asas ini menerangkan tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan ahli waris. Asas bilateral ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang yang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.33

31

Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20.

32

Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 20-21.

33

(36)

3. Asas Individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagian kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.34

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang dalam pembagian harta warisan dalam hukum Islam memilki arti keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan jender tidak menentukan hak kewarisan Islam. Artinya, sebagaimana laki-laki, perempuan pun memiliki hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.35

5. Asas Semata Akibat Kematian

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain

dengan menggunakan istilah “kewarisan” hanya berlaku setelah yang mempunyai

34

Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 23.

35

(37)

harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata.36

D. Konsep Jender

Jender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Jender dijelaskan dalam Women‟S Studies Encyclopedia adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalis, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Jender berbeda dengan sex. Jender memandang laki-laki dan perempuan dari aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non bilogis lainnya, sedangkan sex memandang laki-laki dan perempuan dari aspek biologis. Studi jender lebih menekankan perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang, sedangkan studi sex lebih menekankan pada perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki dan perempuan.37

Di dalam pemahaman masyarakat umum, anggapan yang berkembang mengenai sex dan jender adalah perbedaan jender sebagai akibat perbedaan sex. Akan

36

Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 30.

37

(38)

tetapi jika kita pahami lebih dalam, tidak mesti perbedaan sex menyebabkan ketidakadilan jender. Memang, diakui bahwa perbedaaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh manusia berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing. Akan tetapi faktor genetika bukanlah penentu kesadaran dan kecerdasan manusia.38

Terdapat faktor lain yang lebih penting yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan dan budaya sangat berpengaruh pada peran dan status antara wanita dan laki-laki. Seperti contoh, terdapat sejumlah masyarakat primitif telah memberikan peran jender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Perempuan boleh ikut memburu hewan, dan laki-laki pun boleh ikut mengasuh anak. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan peran jender bukan karena kodrat atau faktor biologis, namun faktor budaya.39

Faktor budaya begitu mempengaruhi peran dan status laki-laki dan perempuan. Contoh yang mudah kita lihat adalah budaya patriarkal yang telah mengakar pada kehidupan masyarakat hingga saat ini. Sistem patriarkal menjadi sistem filsafat, sosial, dan politik dimana laki-laki dengan kekuatan, tekanan langsung, atau melalui ritual, tradisi, hukum, dan bahasa, adat kebiasaan, etiket, pendidikan dan pembagian kerja menentukan peran apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan dan perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.

38

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, h. 42-44.

39

(39)

Keberpihakan kepada jenis kelamin laki-laki ini menimbulkan ketidakadilan gender.40

Adil (al-adl) sering disinonimkan dengan kata “al-musawwah” (persamaan),

adala” (dasar keadaan lurus atau penetapan hukum dengan benar) dan “al-qisth”

(seseorang secara proporsional mendapatkan saham atau seimbang).41 Islam menjelaskan makna adil yakni dalam Al-Quran Surat Al-Maidah (5) ayat 8 dan Surat Ar-Rahman (55) ayat 7-9, makna adil itu adalah menegakkan kebenaran, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan atau melampaui batas, menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan mengatakan sesuatu (kesaksian) dengan benar.

Dalam hal jender, Islam pun mengatur keadilan jender. Dalam Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13 bahwa wanita dan laki-laki sama di mata Allah, yang membedakan adalah ketakwaannya.42 Kemudian dalam Surat Al-Baqarah ayat 228, bahwa hak dan kewajiban suami-istri itu seimbang. Kemudian terkait hal waris, terdapat perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, contohnya bagian anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 2:1, kemudian bagian suami dan istri yaitu ½ untuk suami (jika tidak keturunan) sedangkan istri ¼ (jika tidak keturunan).

40

Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Jender, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 60.

41

Ali Parman, Kewarisan Dalam Alquran: Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 73-74.

42

(40)

Adanya perbedaan ini bukanlah ketidakadilan jender atau sekedar aturan yang menyangkut ibadah saja, namun bentuk keadilan dalam kewarisan yang terletak pada keseimbangan hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara keperluan dan kegunaan.43

43

(41)

31

LAKI-LAKI SEKANDUNG

A. Konsep Hijab dan Ashabah

1. Hijab

Al-hajb dalam bahasa Arab berarti menutup atau menghalangi. Orang yang

menjadi penghalang atau pencegah dinamakan hajb, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi atau ditutup dinamakan mahjub. 1 Menurut istilah ulama mawaris

(faraidh), definisi al-hajb adalah mencegah dan menghalangi orang-orang tertentu

dari menerima seluruh pusaka atau sebagiannya karena ada seseorang lain.2 Hajb itu dibagi dua macam:

a. Hajb dengan sesuatu washaf (sifat). Yaitu memiliki sifat-sifat yang dapat menghalangi dirinya dari bagian warisannya dengan sifat-sifat yang telah lalu seperti sifat perbudakan, membunuh, atau berlainan agama. Bagian hajb ini dapat terjadi mengenai semua ahli waris, karena setiap orang dari mereka mungkin bisa menjadi budak, atau pembunuh si mayit atau berbeda agama dengan si mayit. Orang-orang yang terhalangi bagian warisannya dengan sifat

hajb ini keberadaan dirinya di antara ahli waris seperti ketika dirinya tidak ada

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, Ed. II, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 237.

2

(42)

di antara mereka, maka dia tidak dapat menghalangi lainnya dari bagiannya dan tidak dapat menjadikan yang lainnya mendapatkan bagian warisan dengan bagian ashabah.3

b. Hajb dengan adanya seseorang yang lebih dekat dengan si pewaris dari yang mahjub tersebut. Penghalang ini dapat mengurangi hak (hajb an-nuqsan)

ataupun menghilangkan hak (hajb al-hirman). 4

Hajb an-nuqshan adalah menghalangi seseorang yang memiliki sebab-sebab

boleh mewarisi dari bagiannya yang sempurna dan utuh. Artinya, hak seseorang ahli waris dari bagiannya yang besar menjadi bagian yang lebih kecil, karena terdapat ahli waris lain yang mempengaruhinya. Hajb an-nuqshan terjadi pada lima ash-habul

furudh, yakni suami, istri, ibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan saudara

perempuan sebapak.5 Contohnya hak suami bergeser dari ½ menjadi ¼ harta warisan karena adanya keturunan.

Sedangkan hajb al-hirman adalah menghalangi orang yang mempunyai sebab-sebab boleh mewarisi secara keseluruhan karena ada seseorang yang lebih dekat kekerabatannya dengan si mayit. Para ahli waris dalam hajb al-hirman, ada dua kelompok. Pertama, ahli waris yang sama sekali tidak pernah terhalang secara hujub

hirman. Ahli waris ini adalah bapak, anak laki-laki, suami, ibu, anak perempuan, dan

3

Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Waris – Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin, (Tegal: Ash-Shaf media, 2007), h. 116.

4

Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 163.

5

(43)

istri. 6 Kedua, ahli waris yang terhalang secara hajb al-hirman. Mereka adalah para ahli waris yang tersisa yakni selain 6 orang yang telah disebut di atas. Mereka akan terhalang kewarisannya jika terdapat ahli waris lain yang lebih dekat hubungan nasabnya kepada si mayit.7 Contohnya saudara laki-laki atau perempuan kandung

mahjub oleh adanya anak-laki-laki, cucu laki-laki, dan bapak.

2. Hijab - Ashabah

Kata at-ta’shib adalah bentuk mashdar dari kata „ashshaba, yu’ashshib,

ta’shib. Orang atau subyeknya disebut „ashib, dan bentuk jamaknya disebut „ashabah

atau „ashabat. Menurut bahasa, ashabah berarti keturunan dari pihak ayah. 8 Sedangkan menurut istilah Faradhiyun, ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh para fuqaha (seperti ashabul furudh) dan yang belum disepakati oleh mereka (seperti

dzawil-arham).9 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, digunakan kata “asabat”

yang artinya ahli waris yang berhubungan langsung dengan yang meninggal atau ahli waris yang hanya memperoleh sisa warisan setelah dibagikan kepada ahli waris yang mendapat bagian tertentu.10

6

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 282-283.

7

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 283.

8

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesiah. 937.

9

Fatchur rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. ALMA‟ARIF, 1971), h. 339.

10

(44)

Kemudian terdapat riwayat hadis yang diterima Ibnu Abbas menyampaikan tentang sabda Rasulullah SAW. mengenai sisa harta setelah diambil bagian untuk mereka yang menerima hak-hak mereka berdasar furudun muqaddarah-Nya, sisa tersebut menurut beliau untuk ahli asabah yaitu mereka yang berjenis lelaki, terbatas lelaki saja.11 Sabda beliau: Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW. beliau bersabda:

12

“Berikan bagian waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya kepada

mereka yang berhak, kemudian apa yang sisa maka diperuntukkan kerabat paling

dekat yang lelaki.”(HR. Bukhari)

Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Ashabah sababiyyah dan Ashabah

Nasabiyyah.13 Ashabah sababiyah yaitu waris-waris yang diikat oleh kekerabatan

pada hukum. Kekerabatan pada hukum ini ialah ushubah yang disebabkan oleh pemerdekaan. Jadi, apabila seseorang tuan memerdekakan seorang budak sahayanya, maka dalam istilah fiqh dinamakan ashabah sababiyyah.14

Sedangkan ashabah nasabiyyah atau asabat senasab adalah mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi, antaranya dan antara si mayit oleh seorang perempuan, seperti anak, bapak, saudara kandung atau saudara

11

Achmad Kuzari, Sistem Asabah: Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 89.

12

Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h. 320.

13

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253.

14

(45)

sebapak, dan paman kandung atau paman sebapak. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi ashabah dengan saudaranya (anak laki-laki), lalu saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena ada bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, atau karena ada bersamanya. 15 Jadi ashabah nasabiyah ini ada dari hubungan darah dan kerabat.

Ashabah nasabiyyah tidak memperoleh bagian harta warisan secara pasti,

tetapi ia dapat mewarisi semua harta peninggalan kalau ahli waris yang tergolong

ashhabul furudl tidak ada, atau ada ashhabul furudl tetapi terdinding seperti

terdindingnya saudara perempuan dengan anak laki-laki pewaris. Ashabah

nasabiyyah ada kemungkinan memperoleh bagian harta warisan setelah semua ahli

fardhu mendapatkan bagiannya, dan semua bisa juga tidak memperoleh bagian harta warisan karena semua harta warisan sudah terbagi habis kepada ahli fardhu.16

Ashabahnasabiyah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Ashabah bin-nafsi

Ashabah bin-nafsi atau ashabah dengan dirinya sendiri adalah setiap laki-laki

yang sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan si mayit, yang tidak diselingi oleh seorang perempuan. Mereka adalah laki-laki yang telah disepakati para ulama dapat mewarisi, kecuali suami dan saudara seibu. Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya, bapak

15

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 253.

16

(46)

dan kakek serta generasi di atasnya, saudara kandung, saudara sebapak, anak laki-laki saudara kandung, anak laki-laki saudara sebapak dan generasi di bawahnya, paman kandung, paman sebapak dan generasi di atasnya. Anak laki-laki paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak dan generasi di bawahnya. Ahli waris dengan ashabah

bin-nafsih dihadapkan pada tiga hukum. Pertama, apabila dia hanya sendiri, ia dapat

mengambil seluruh warisan. Kedua, apabila berkumpul dengan ashabul-furudh, ia dapat mengambil bagian yang tersisa dari bagian tetap. Ketiga, jika ashabul furudh

mengambil seluruh harta waris, maka ia tidak bisa mendapatkan warisan apapun. 17 Kemudian apabila terdapat lebih dari seorang ashabah bin-nafsih, maka harus dilihat dulu jihat (garis keturunan)nya. Jika terdapat perbedaan jihat, maka diadakanlah pentarjihan dengan jalan mendahulukan jihat (garis keturunan) golongan yang pertama atas jihat-jihat sesudahnya. Hal ini dinamakan “Pengutamaan seorang

melihat jihatnya”.18 Jihat-jihat (garis keturunan) ashabah bin-nafsi terdapat empat

golongan, yakni dengan urutan sebagai berikut: (1) Jihat bunuwwah : keturunan langsung dari yang meninggal, seperti anak laki-laki, (2) Jihat ubuwwah : asal (orang tua) dari yang meninggal, seperti ayah (3) Jihat ukhuwah : persaudaraan dengan yang meninggal, (4) Jihat „umumah : bersepupu (misan) dari yang meninggal, paman-paman (saudara ayah) dari yang meninggal sendiri dan saudara-saudara dari ayah

17

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 254-255.

18

(47)

yang meninggal dan paman-paman (saudara-saudara ayah) dari kakeknya yang sejati dan anak laki-laki mereka.19

Apabila yang ada dari ashabah-ashabah nasabiyah, lebih dari seorang dan berada dalam satu garis keturunan, niscaya pentarjihan di antara mereka didasarkan pada derajat. Karena itu didahulukan memberi pusaka kepada orang yang lebih dekat derajatnya dengan yang meninggal.20 Contohnya jika terdapat anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki, maka semua pusaka diambil oleh anak laki-laki.

Apabila garis keturunan mereka satu dan derajatnya sama, niscaya pentarjihan itu didasarkan pada kekuatan kerabat. Maka orang yang mempunyai dua kekerabatan, didahulukan atas orang yang mempunyai satu kekerabatan saja. Karena itu apabila ada saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah, maka yang didahulukan saudara laki-laki sekandung. Pengutamaan ini dinamakan pengutamaan dengan kekuatan kerabat (taqdim bquwwatil qarabah). Kemudian jika garis keturunan, derajat, dan kekutan kerabat mereka satu, niscaya mereka menerima pusaka dengan jalan ashib dan mereka bersekutu pada pusaka itu dan dibagi sama rata.21

b. Ashabah bil-ghair

Ashabah bil ghair adalah setiap perempuan yang memerlukan orang lain

untuk menjadikan ashabah dan bersama-sama menerima „ushubah. Ashabah bil ghair

19

Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 143.

20

Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 145

21

(48)

itu ada empat orang perempuan yang fard mereka 1/2 bila tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Mereka itu adalah anak perempuan kandung, anak perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan seayah. Jadi jika salah seorang dari perempuan- perempuan tersebut bersama-sama dengan seorang

mu’ashib-binafsi yang sama derajat dan kekuatan-kekerabatannya, ia menjadi

ashabah bil-ghair. 22

Ketentuan ashabah bil ghair ini diatur dalam surat An-Nisa ayat 11, yang artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak -anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang

anak perempuan. ….

Untuk menjadikan mereka sebagai ashabah bil-ghair memerlukan syarat-syarat, antara lain: perempuan tersebut hendaknya tergolong ahli ashabul furudh, adanya persamaan jihat, derajat, dan kekuatan kerabat antara perempuan dengan

mu’ashibnya.23

Kemudian terdapat dua hukum mengenai kewarisan ashabah bil ghair.

Pertama, jika ia bersama dengan laki-laki yang sederajatnya, mereka bersama-sama

mendapat bagian yang tersisa setelah pembagian yang tetap. Dengan ketentuan bagian laki-laki sebesar dua bagian perempuan. Kedua, apabila semua harta telah

22

Fatchur rahman, Ilmu Waris, h. 345.

23

(49)

habis dibagi pada ashabul furudh, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa.24 Namun tidak berlaku terhadap anak perempuan shulbi, karena dia tidak dapat dihindarkan dari pusaka sama sekali.25

c. Ashabah ma’al ghair

Ashabah ma’al ghair ialah setiap perempuan yang berhak mendapatkan

bagian tetap bisa menjadi ashabah jika bersama dengan perempuan yang lain dan ini khusus untuk saudara perempuan kandung atau sebapak, yang ada bersama furu’ perempuan yang mewarisi.26

Hukum kewarisan ashabah ma’al ghair ini yakni saudara perempuan kandung atau sebapak jika ia bersama anak perempuan atau cucu perempuan atau keduanya, dan mereka tidak bersama laki-laki yang sederajatnya, maka kedudukannya menjadi sekuat saudara laki kandung atau sebapak. Ia dapat menghalangi anak-anak laki-laki saudara kandung atau sebapak dan orang yang ada di bawahnya. Mereka dapat mengambil sisa harta warisan sebagai ashabah setelah pembagian bagian yang tetap. Namun apabila ashabul furudh telah mengambil semua harta warisan, mereka tidak mendapatkan apa-apa, akan tetapi anak perempuan atau cucu perempuan yang ada bersama mereka tetap menjadi ashabul furudh dan mendapat bagian tetapnya.27

24

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 264-265.

25

Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 151.

26

Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, h. 266.

27

(50)

B. Pendapat Para Ulama Tentang Kedudukan Anak Perempuan Mewarisi Bersama Saudara

Mengenai kewarisan anak perempuan bersama saudara, ini di atur dalam surat An-Nisaa ayat 176:

                                                                                         

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan

Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Kemudian Surat An-Nisaa ayat 12 mengenai kalalah:

                                     

“….jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang

(51)

Terdapat hadis-hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176 dan 12. 1. Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 176.

Al-Barra‟ berkata:

“Ayat terakhir yang diturunkan sebagai penutup surat An-Nisaa, adalah

yastaftunaka qulillahu yuftikum fil kalalati..” (HR. Bukhari)

2. Hadis tentang waktu turunnya Surat An-Nisa ayat 12.

Hadis dari Jabir yang menceritakan bahwa istri peninggalan Sa‟d ibn ar-Rabi

datang menghadap Rasul dengan membawa dua orang anak perempuannya

dari Sa‟d tersebut maka berkatalah janda itu:

29

“Ya Rasulullah, inilah dua orang anak perempuan Sa’d „bn „r-Rabi yang telah mati Perang di Uhud di bawah komandomu. Maka sekarang paman

anak-anak ini (yaitu saudara laki-laki bagi Sa’d) telah mengambil harta

28

Al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy, Juz IV, (Beirut, Lebanon: Dar Al-Khotob Al-Ilmiyah), h. 320.

29

(52)

mereka dengan tiada pula menyediakan perbelanjaan bagi mereka”. Berkata

Rasulullah: “Allah akan memberikan penetapan mengenai perkara ini”.

maka turunlah ayat kewarisan, lalu Rasulullah suruh panggil anak-anak itu,

maka berkata Rasulullah: “ Berikan kepada dua orang anak Sa’d 2/3 dan

kepada ibu anak-anak itu 1/8 dan sisanya utnuk kamulah.” (Ahmad,

Attirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dari Na‟il „l‟ awtar dan Misykat‟lmasabih)

Mengenai ayat 176 Surat An-Nisaa, dalam tafsir Ath-Thabari terdapat beberapa riwayat yang menyatakannya termasuk kelompok ayat terakhir diwahyukan.30 Kemudian sebab diturunkan ayat ini, disebutkan bahwa Rasulullah SAW. sangat mementingkan keadaan kalalah, maka Allah SWT. menurunkan ayat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi, gejala yang terjadi pada Kesiapan Kerja siswa kelas XII Program Keahlian Akuntansi di SMK Muhammadiyah Karangmojo adalah 25% siswa dalam

The dichotomy of the real sector and monetary economics does not occur in Islam because of the absence of interest and banning trade system as commodity money so that patterns

untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur berdasarkan suatu standar. Penilaian kinerja keuangan setiap perusahaan berbeda-beda, tergantung pada.. ruang lingkup

apabila jawaban salah tidak mengurangi poin. Ketentuan poin untuk soal lemparan, tim yang menjawab benar akan mendapat poin. 100, apabila jawaban salah tidak mengurangi poin

Data dalam penelitian ini diambil menggunakan angket kesiapan belajar, lembar observasi aktivitas guru, siswa dan komunikasi lisan siswa, serta tes evaluasi

maka Pejabat Pengadaan Dinas Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika Aceh Tahun Anggaran 2014 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Sama halnya dengan gandang tambur, gandang sarunai Sungai Pagu ini juga mempunyai dua kepala (double headed) dengan ukuran diameter kepala berbeda, yang satu

Kelompok Kerja Jasa Konsultansi Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Kabupaten Lamandau mengumumkan pemenang seleksi sederhana untuk Pekerjaan Perencanaan Kegiatan