• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan Usahatani berkelanjutan (studi kasus di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk pengembangan Usahatani berkelanjutan (studi kasus di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan"

Copied!
231
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK BERBASIS

SUMBERDAYA LOKAL UNTUK PENGEMBANGAN

USAHATANI BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan

Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan

Barat)

R O I S

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

dalam disertasi saya yang berjudul ―Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak

Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan― merupakan gagasan atau karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum pernah diajukan untuk program sejenis diperguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Juli 2011

Rois

(3)

ABSTRACT

The exploitation of swamp land is still limited when compared to the cultivation of dry land or irrigated land. Some of the factors that make the exploitation of swamp area far from expectation and its yields not maximum, for example 1) the wrong perception of farmers that the farming they are doing now has given high income, 2) a lack of capital, 3) low technological access, 4)

characteristics of farmer‘s subsistence, and 5) tradition-based farming. This study

was aimed to formulate a resources-based swamp land development model to increase land productivity and farmer Income. This research was conducted in the District of Sungai Ambangah in the District of Sungai Raya, and the Sub-District of Pasak Piang in the Sub-District of Sungai Ambawang, in the Regency of Kubu Raya, West Kalimantan Province. The analysis of each crop cultivated in both Sungai Ambangah and Pasak Piang gave the following results respectively for both areas; (1) rice with the R/C ratio of 3,30 and 4,80; (2) rubber with B/C ratio of 1,23 and 24,35; and (3) palm with the B/C ratio of 1,52. These results, if linked to the value of Appropriate Living Needs (ALN) and the minimum land area (ML) that must be fulfilled, indicate that the farmers in Sungai Ambangah could reach only 26,92% of ALN and require a minimum land of about 3,15 hectares; whereas the farmers of Pasak Piang could meet 34,53% of ALN and need a minimum land of approximately 2,54 hectares. Further, the sustainability status for the five dimensions in the existing condition of Sungai Ambangah obtained the index value of 54,82% or the category of sustainable enough for the institutional dimension, while the other four dimensions got the value of less than 50,00%, or categorized as less sustainable. As for the village of Pasak Piang, it got the index value of 52,19% or the category of sustainable enough also for the institutional dimension, whereas the other four dimensions obtained the value of less than 50,00% or considered less sustainable.The model formulated from the results of this study is based on the available local resources in both research sites, a model of sustainable farm development on swamp lands (UTLRL). Conceptually, this is also called an integrated farming model, that is, by integrating crops and livestock. The recommended policies formulated from the results of this study include: (1) the pattern of farming and increased cropping index, (2) maintenance of livestock, (3) the provision of farm capital, (4) the availability of micro finance institutions, (5) the active role of agricultural extension agencies, (6) farmers and farmer groups, (7) support from research institutions and higher education, and (8) post-harvest management and marketing.

Key words: model management, swamp land, local resources, sustainable

(4)

RINGKASAN

ROIS. Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal

untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, IRSAL LAS, MUNIF GHULAMAHDI, dan MACHFUD.

Indonesia mempunyai lahan rawa seluas 33,40 juta hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawa lebak dan umumnya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas 35 436 hektar dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%. Secara umum, pemanfaatan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi. Hal itu disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala fisik lahan maupun non fisik. Penelitian sebelumnya menunjukkan beberapa faktor non fisik sebagai penyebab sehingga pengusahaan rawa lebak masih jauh dari harapan dan belum memberikan hasil yang maksimal, antara lain 1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah menghasilkan pendapatan yang tinggi, 2) kurangnya modal, 3) akses teknologi yang rendah, 4) sifat subsistem petani dan 5) berusahatani karena kebiasaan. Penelitian bertujuan (1) untuk mengidentifikasi karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan rawa lebak, (2) menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak, (3) menganalisis kelayakan usahatani saat ini di rawa lebak, (4) mengetahui indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak, (5) mengetahui variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan, dan (6) merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan.

Penelitian dilaksanakan di dua desa, yaitu Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya, dan Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat, dari bulan Februari sampai bulan Oktober 2010. Metode yang digunakan adalah studi literatur, survey dan observasi langsung ke lapangan, wawancara, dan analisis laboratorium. Data primer dan data sekunder diperoleh melalui survey lapangan, analisis laboratorium, wawancara dan studi literatur. Analisis data meliputi: (1) analisis deskriptif, (2) analisis kesesuaian lahan, (3) analisis kelayakan usahatani, (4) analisis keberlanjutan, (5) analisis leverage, (6) analisis Monte Carlo,(7) analisis kebutuhan pemangku kepentingan, (8) analisis prospektif, (9) analisis pendapatan dan kebutuhan ramahtangga,(10) analisis kebutuhan hidup layak.

(5)

dengan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan Luas lahan minimal (Lm) yang harus dipenuhi, maka petani di Desa Sungai Ambangah hanya dapat memenuhi sebesar 26,92% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit adalah 11,48, 5,49 dan 2,21 hektar. Sedangkan untuk petani di Desa Pasak Piang dapat memenuhi sebesar 34,53% KHL dan memerlukan luas lahan minimal (Lm) masing-masing untuk padi, karet dan kelapa sawit 12,63, 3,76 dan 2,21 hektar.

Selanjutnya, status keberlanjutan untuk lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting di Desa Sungai Ambangah diperoleh nilai indeks sebesar 54,82% atau pada kategori cukup berkelanjutan untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Untuk Desa Pasak Piang diperoleh nilai indeks sebesar 52,19% atau pada kategori cukup berkelanjutan juga untuk dimensi kelembagaan, sedangkan empat dimensi lainnya diperoleh nilai kurang dari 50,00% atau dikategorikan kurang berkelanjutan. Variabel-variabel dominan yang perlu dilakukan perbaikan pada kelima dimensi, masing-masing adalah: [1] Dimensi ekologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) periode tergenang, (2) produktivias lahan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) produktivias lahan, (2) kandungan bahan organik, (3) periode tergenang, dan (4) penggunaan pupuk. [2] Dimensi ekonomi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, (4) produksi usahatani, dan (5) ketersediaan modal usahatani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) harga produk usahatani, (2) ketersediaan sarana produksi, (3) keuntungan usahatani, dan (4) efesiensi ekonomi. [3] Dimensi sosial budaya untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, dan (3) jumlah rumah tangga petani. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) peran adat dalam kegiatan pertanian, (2) rumah tangga petani yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, (3) pola hubungan masyarakat dalam usaha pertanian, (4) jumlah rumah tangga petani, (5) tingkat pendidikan formal petani, dan (6) intensitas konflik. [4] Dimensi teknologi untuk Desa Sungai Ambangah terdiri atas: (1) jumlah alat pemberantasan jasad pengganggu, (2) pengendalian gulma, dan (3) pemupukan. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) jumlah alat pemberatasan jasad penggangu, (2) ketersediaan mesin pompa air, dan (3) ketersediaan mesin pascapanen. [5] Dimensi kelembagaan untuk Desa Sungai Ambangah terdiri dari: (1) keberadaan petugas penyuluh lapangan, (2) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (3) keberadaan lembaga sosial. Sedangkan Desa Pasak Piang adalah: (1) ketersediaan lembaga keuangan mikro, dan (2) keberadaan lembaga sosial.

Dari ketiga skenario yang disusun, skenario III, yang memberikan nilai indeks keberlanjutan dan nilai pendapatan usahatani yang tertinggi untuk kedua desa penelitian. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh untuk masing-masing dimensi, berturut-turut adalah yaitu 59,71%, 92,91%, 90,55%, 76,68% dan 85,70% untuk Desa Sungai Ambangah dan 79,89%, 67,11%, 80,18%, 72,58% dan 76,23% untuk Desa Pasak Piang. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari tiga tanaman yang diusahakan berturut-turut adalah Rp2 090 000,-, Rp4 370 000,- dan Rp10 862 527,60,- per hektar per tahun untuk Desa Sungai Ambangah dan Rp1 900 000,-, Rp6 387 667,- dan Rp Rp10 862 527,60,- per hektar per tahun untuk Desa Pasak Piang.

(6)

Implementasi model pengelolaan lahan rawa lebak ini disebut juga model pertanian terpadu. Penerapan dari model pertanian terpadu dimaksud adalah bentuk integrasi antara tanaman dan ternak.

Hasil simulasi model di Sungai Ambangah petani yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, belum dapat memenuhi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Sedangkan untuk petani yang mempunyai lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit, sebanyak 22,50% telah memenuhi KHL dan sisanya sebanyak 77,50% belum memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dengan melakukan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya masing-masing 1 – 2 ekor sapi (s1 – s2) dan 50 - 100 ekor itik (i1 - 12) dapat memenuhi KHL. Untuk petani di Desa Pasak Piang yang memiliki lahan usahatani padi dan karet, dari seluruh kombinasi penggunaan lahan yang ada sebanyak 16,67% dapat memenuhi KHL. Dan sisanya sebanyak 83,33% belum dapat memenuhi KHL. Sedangkan untuk petani yang memiliki lahan usahatani padi, karet dan kelapa sawit sebanyak 58,33% dapat memenuhi KHL, dan sisanya sebanyak 41,67% belum dapat memenuhi KHL. Untuk yang belum memenuhi KHL, dapat dilakukan dengan usaha pemeliharaan ternak yang jumlahnya 1 - 3 ekor sapi (s1 – s3) dan 50 – 150 ekor itik (i1 – i3).

Rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini berupa: (1) pola tanam dan meningkatkan indeks pertanaman, (2) pemeliharaan ternak, (3) ketersediaan modal usahatani, (4) ketersediaan lembaga keuangan mikro, (5) peran aktif lembaga penyuluhan pertanian, (6) peran aktif petani dan kelompok tani, (7) dukungan lembaga riset dan PT, dan (8) pengelolaan pasacapanen dan pemasaran hasil.

Keywords: model pengelolaan, lahan rawa lebak, sumberdaya lokal, usahatani,

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

MODEL PENGELOLAAN LAHAN RAWA LEBAK

BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL UNTUK

PENGEMBANGAN USAHATANI BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya - Kalimantan Barat)

R O I S

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup (Rabu, 27 April 2011): 1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.S.

(Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Menejemen, IPB)

2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc

(Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka (Kamis, 21 Juli 2011): 1. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc

(Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian)

2. Dr. Ir. Sandra A. Azis, M.S.

(10)

Judul Disertasi : Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan (Studi Kasus di Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat)

Nama : Rois

NRP. : P. 062070021

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Ketua

Prof(r). Dr. Ir. Irsal Las, M.S Anggota

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Anggota

Dr. Ir. Machfud, M.S Anggota

Mengetahui Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. M.Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah kebijakan pengelolaan rawa lebak, dengan judul Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan di Kalimantan Barat.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr, selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, nasehat dan motivasi secara terus menerus dengan penuh dedikasi dari awal perencanaan penelitian sampai selesainya disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS, Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS dan Dr. Ir. Machfud, MS, selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, saran, dan koreksian-koreksiannya yang kritis dan tajam sehingga menambah kualitas disertasi ini.

3. Rektor Universitas Panca Bhakti dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti Pontianak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Sri Mulatsih, MS, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan

Menejemen IPB, dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc, Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, sebagai Dosen Penguji pada Ujian Tertutup.

5. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc, Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Departemen Pertanian, dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS, Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.

6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian RI, melalui penelitian program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T).

8. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya, khususnya dinas teknis terkait, Bapak Sarja, SP dan Ibu Ir. Yerlina sebagai kepala BPP Sungai Ambawang dan Sungai Raya, PPL di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang, yang telah memberikan bantuan dan informasinya.

(12)

10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor khususnya angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan.

11. Orang Tua dan Mertua saya, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, semangat dan kasih sayangnya selama penulis menempuh pendidikan.

12. Istriku Irma Saftariana, SH dan putra putriku Filza Ghassani Ladupa dan Hafizt Ghilman Ramadhan Ladupa atas segala pengertian, pengorbanan, ketabahan serta doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat.

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 29 Januari 1967, merupakan putra keempat dari enam bersaudara dari ayah Hasbi Ladupa dan Ibu Siti Maemunah. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 2000 penulis mengikuti program Magister Pertanian (S2) di Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, pada Program Studi Ilmu Tanah. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007, dengan Beasiswa BPPS diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Sejak Maret 1994 sampai saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak di lingkungan Koordinator Perguruan Tinggi (Kopertis) Wilayah XI Kalimantan.

Artikel ilmiah penulis berjudul ―Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan

Pemanfaatan Rawa Lebak di Desa Pasak Piang Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya – Kalimantan Barat‖ telah diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan ISSN: 0852-9124, Volume II Nomor 2 Nopember

2010. Artikel berjudul ―Model Pengembangan Lahan Rawa Lebak Berbasis

Sumberdaya Lokal untuk Peningkatan Produktivitas Lahan dan Pendapatan

Petani‘ akan diterbitkan pada Jurnal Sumberdaya Lahan dan Lingkungan edisi Oktober 2011. Artikel berjudul ―Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Usahatani di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kabupaten Kubu Raya‖ siap

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……….. DAFTAR GAMBAR………. DAFTAR LAMPIRAN………..

xv xix xxiii

I PENDAHULUAN……….

1.1 1.1 Latar Belakang……….………

1.2 1.2 Tujuan Penelitian……….…….………...

1.2.1 Tujuan Umum……….……… 1.2.2 Tujuan Khusus………….………..

1.3 1.3 Kerangka Pemikiran………..………..

1.4 1.4 Perumusan Masalah………

1.5 1.5 Manfaat Penelitian………...

1.6 1.6 Kebaruan (Novelty)………..

1 1 4 4 4 5 6 7 8

II TINJAUAN PUSTAKA………

2.1 Pengertian Rawa Lebak……….. 2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak………. 2.3 Sumberdaya Lokal………... 2.4 Produktivitas………..

2.5 Pendapatan Petani…..………...

2.6 Analisis Usahatani………

2.6.1 Indikator kelayakan usahatani……….. 2.6.2 Kebutuhan Hidup Layak………

2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan……… 2.8 Indikator untuk Mengukur Keberlanjutan………..

9 9 11 12 13 14 15 15 16 17 21

III METODOLOGI PENELITIAN………

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….. 3.2 Bahan dan Alat………. 3.3 Disain Penelitian………... 3.4 Rancangan Penelitian………..

3.5 Jenis dan Sumber Data………...

3.5.1 Data fisik tanah dan iklim……….. 2.5.2 Data tanaman………. 2.5.3 Data sosial,ekonomi teknologi dan kelembagaan………….

(15)

3.6 Metode Pengumpulan Data………

3.7 Teknik Pengambilan Sampel……….

3.8 Analisis Data………. 3.8.1 Analisis deskriptif……….. 3.8.2 Analisis kesesuaian lahan……… 3.8.3 Analisis kelayakan usahatani………..……….... 3.8.4 Analisis keberlanjutan………...

3.8.5 Analisis Leverage……….. 3.8.6 Analisis Monte Carlo………. 3.8.7 Analisis kebutuhan pemangku kepentingan (Stakeholder) 3.8.8 Analisis prospektif………..

3.8.9 Analisis pendapatan dan kebutuhan rumahtangga……... 3.8.10 Analisis kebutuhan hidup Layak (KHL)……… 3.9 Rekomendasi Kebijakan……….

30 30 30 31 31 31 32 34 34 35 35 38 38 39

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN……….

4.1 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk……….

4.2 Penggunaan Lahan, Topografi dan Iklim……….…………

4.3 Kondisi Sosial dan Ekonomi……….……….

4.4 Karakteristik Lahan dan Petani Rawa Lebak………..

4.5 Jenis Tanaman, Produktivitas, dan Kendala Usahatani…………

4.6 Analisis Kesesuaian Lahan………

41 41 43 46 48 52 53 V

VI

ANALISIS PENDAPATAN DAN KEBUTUHAN RUMAHTANGGA….

5.1 Analisis Kelayakan Usahatani………..

5.1.1 Usahatani padi………. 5.1.2 Usahatani karet………... 5.1.3 Usahatani Kelapa Sawit……….

5.2 Analisis Pendapatan dan Kebutuhan Rumahtangga………

5.2.1 Pendapatan rumahtangga petani………. 5.2.2 Pengeluaran rumahtangga petani……… 5.2.3 Tingkat pemenuhan rumahtangga petani………

5.3 Analisis Kebutuhan Hidup Layak dan Luas Lahan Minimal…….

STATUS KEBERLANJUTAN USAHATANI RAWA LEBAK SAAT INI 6.1 Keberlanjutan Rawa Lebak Masing-masing Dimensi………..….

6.1.1 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekologi………..

6.1.2 Keberlanjutan rawa lebak dimensi ekonomi………

(16)

6.1.3 Keberlanjutan rawa lebak dimensi sosial budaya………..

6.1.4 Keberlanjutan rawa lebak dimensi teknologi……….. 6.1.5 Keberlanjutan rawa lebak dimensi kelembagaan………..

6.1.6 Pola indeks keberlanjutan usahatani rawa lebak dalam

diagram layang………..……….

6.2 Variabel-Variabel Dominan dalam Pengelolaan Lahan Rawa

Lebak Berkelanjutan……… ……….

6.2.1 Atribut sensitif yang mempengaruhi sistem pengelolaan

rawa lebak………. 6.2.2 Kebutuhan pemangku Kepentingan……….

6.2.3 Faktor penting untuk keberlanjutan pengelolaan rawa

Lebak………

6.3 Skenario Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berkelanjutan 6.4 Nilai Indeks Keberlanjutan masing-masing skenario dan

gabungan antara MDS dan kebutuhan Stakeholders dari lima Dimensi dan Nilai BC ratio, Persentase KHL, dan Lm antara Kondisi Eksisting dengan masing-masing Skenario..…………..

82 84 86 89 92

93 95 96 102

109 VII

VIII

MODEL PENGEMBANGAN DAN STRATEGI PENERAPAN

USAHATANI DI RAWA LEBAK………...

7.1 Sumberdaya Lokal Rawa Lebak..……….

7.2 Potensi Turunan Sumberdaya Lokal Rawa Lebak……….

7.2.1 Pengolahan padi……….. 7.2.2 Sekam……… 7.2.3 Dedak………. 7.3 Konsep Pengembangan Usahatani di Rawa Lebak

Berdasarkan Sumberdaya Lokal………..

7.4 Model Pengembangan Usahatani Berdasarkan Pola Tanam

Tanaman Setahun………..

7.5 Model Konseptual Pengembangan Usahatani Lahan Rawa

Lebak (UTLRL)………

REKOMENDASI KEBIJAKAN………..

117 117 122 125 126 128 129 144 157 165

IX KESIMPULAN DAN SARAN………

9.1 Kesimpulan………..

9.2 Saran……….

169 169 170

DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN……….

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8

1.7 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama

genangan..………..

1.8 Parameter kimia dan fisik serta metode analisis yang digunakan…….

1.9 Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data………...

Kategori indeks dan status keberlanjutan………. Pedoman penilaian……… Pengaruh antar faktor………... Ilustrasi keadaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang…..

Kemungkinan skenario model pengelolaan rawa lebak berkelanjutan

10 28 29 33 36 36 37 38 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Luas wilayah, Ibukota Kecamatan dan jumlah desa di Kabupaten

Kubu Raya………..

Jumlah penduduk Kabupaten Kubu Raya menurut jenis kelamin

(jiwa)……… Penggunaan lahan di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2008………

Kemiringan lahan di Kabupaten Kubu Raya………. Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten

Kubu Raya………..

Suhu udara (oC) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di Kabupaten

KubuRaya………...

Kelembaban udara (%) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di

Kabupaten Kubu Raya……….

Pertumbuhan ekonomi, PDRB dan nilai LQ menurut sektor

Kabupaten Kubu Raya tahun 2003 –2006 (Persen)………..

Kondisi fisik lahan, Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……….

Selisih rata-rata produksi dan penggunaan faktor produksi dibanding

anjuran di lahan rawa lebak Sungai Ambangah dan Pasak Piang……

Keragaan umum dan status kepemilikan lahan petani di Sungai

Ambangah dan Pasak Piang………..

Jenis tanaman, produksi, kendala dan peluang perbaikan usahatani di rawa lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya dan

Pasak Piang………..

Nilai penerimaan dan pendapatan petani berdasarkan produksi eksisting beberapa jenis tanaman di rawa lebak (Rp/th)……… Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Sungai Ambangah….. Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Sungai Ambangah

Hasil analisis kesesuaian lahan aktual di Desa Pasak Piang………… Hasil analisis kesesuaian lahan potensial di Desa Pasak Piang……..

(18)

26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44

Hasil analisis usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah

dan Pasak Piang (ha/th)………..

Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga,

produksi dan biaya produksi di Desa Sungai Ambangah (ha)……….

Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat fluktuasi harga,

produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang (ha)……….

Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambangah

dan Pasak Piang (ha/th)………...

Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai

Ambangah………..

Hasil analisis sensitivitas usahatani karet di rawa lebak akibat

fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Pasak Piang….

Hasil analisis usahatani kelapa sawit di rawa lebak Desa Sungai

Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)………

Hasil analisis sensitivitas usahatani kelapa sawit di rawa lebak akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi di Desa Sungai

Ambangah dan Pasak Piang……….. Jenis usaha non pertanian responden di Desa Sungai Ambangah

dan Pasak Piang………

Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……… Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil

usahatani (Rp/bln)……….

Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil

usahatani dan usaha ternak (Rp/bln)……….

Sumber dan rata-rata nilai rendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil

usahatani dan tukang bangunan (Rp/bln)……….

Sumber dan rata-rata nilai pendapatan rumahtangga petani rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang dari hasil

usahatani dan usaha kios (Rp/bln)………

Rata-rata nilai pengeluaran rumahtangga petani rawa lebak………… Rata-rata tingkat pemenuhan kebutuhan rumahtangga petani di

Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang berdasarkan jenis

penghasilan dan jumlah pengeluaran (Rp/bln)………

Kebutuhan Hidup Layak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

Piang per Tahun………...

Pendapatan petani dari hasil usahatani padi, karet dan kelapa sawit terhadap KHL (%) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang

(ha/th)………..

Luas lahan minimal (Lm) di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

(19)

45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63

Piang dari masing-masing tanaman yang diusahakan terhadap KHL Atribut sensitif mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan rawa lebak

di Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………..

Nilai Stress dan R2 status keberlanjutan pengelolaan rawa lebak dimasing-masing lokasi penelitian………. Perbedaan Indeks keberlanjutan antara Rap-Lebak (MDS) dengan

Monte Carlo Pada masing-masing Lokasi Penelitian………. Penggabungan dan penyederhanaan kebutuhan para pemangku

kepentingan………...

Faktor-faktor penting/pengungkit dari hasil analisis keberlanjutan dan

analisis pemangku kepentingan berdasarkan bobotnya………

Penyederhanaan/penggabungan faktor-faktor penting berdasarkan

prioritas untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………

Uraian masing-masing skenario untuk pengembangan model pengelolaan rawa lebak di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

Piang………...

Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada

skenario I untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………….

Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa

Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario I………

Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada

skenario II untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang…………

Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario II………... Atribut sensitif masing-masing dimensi yang dinaikkan pada

skenario III untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang………...

Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan rawa lebak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang pada skenario III……….. Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi, nilai indeks

keberlanjutan gabungan antara MDS dan kebutuhan stakeholders antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa

Sungai Ambangah dan Pasak Piang………

Nilai BC ratio, persentase KHL (%) dan Lm (ha/KK) antara kondisi eksisting dengan masing-masing skenario di Desa Sungai

Ambangah dan Pasak Piang………..

Pendapatan dan nilai tambah pendapatan dari kondisi eksisting terhadap masing-masing skenario yang disusun untuk Desa Sungai

Ambangah dan Pasak Piang………..

Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario

di Desa Sungai Ambangah……….

Jarak Euclidian antara kondisi eksisting dan masing-masing skenario

di Desa Pasak Piang………

Potensi sumberdaya lokal di Desa Sungai Ambangah dan Pasak

(20)

64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79

Piang………...

Luas panen padi. potensi limbah jerami dan produksi pupuk kompos

di wilayah Kecamatan Polokarta tahun 2007………...

Komposisi sekam... Analisa usahatani ternak kambing (skala usaha 9 ekor) dengan

pemberian Blok Suplemen Pakan (BSP)……….

Rata-rata pendapatan peternak itik sistem pemeliharaan tradisional

(Rp/Bulan)………..

Analisis ekonomi usaha ternak ayam (Rp/th)………..

Pola usahatani padi dan jagung berbasis sumberdaya tanaman lokal

Berbagai pola tanam padi dan jagung terhadap jenis ternak………….

Pola integrasi tanaman karet dan jenis ternak………. Pola integrasi tanaman kelapa sawit dan jenis ternak……… Pola tanam pada suatu daerah irigasi………

Pola tanam di rawa lebak………

Rekomendasi pola tanam untuk tanaman pangan berbasis

sumberdaya tanaman lokal………. Pola usahatani tanaman pangan (padi – jagung), perkebunan (karet,

sawit) dan ternak……….……….

Pola usahatani tanaman pangan (padi, jagung), perkebunan (karet,

sawit) dan ternak………..

Matriks luas kepemilikan lahan petani berbasis padi untuk

memenuhi KHL ………

Rekomendasi kebijakan model usahatani rawa lebak berkelanjutan

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Karangka pemikiran penelitian………. 6

2 Peta lokasi penelitian [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten Kubu Raya, [c] Kecamatan Sungai Raya, dan [d] Kecamatan

Sungai Ambawang………. 23

3 4 5

Struktur tujuan, metode, variabel dan keluaran/output penelitian…..

Diagram layang indeks keberlanjutan………….……… Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem….

26 33 37 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten

Kubu Raya………...

Curah hujan (mm) rata-rata bulanan tahun 2000-2010 di

Kabupaten Kubu Raya………...

Suhu (oC) rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya……… Kelembaban (%) udara rata-rata bulanan di Kabupaten Kubu Raya Distribusi penduduk menurut suku bangsa diKabupaten Kubu Raya Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak

Desa Sungai Ambangah………

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi (b) di rawa lebak

Desa Pasak Piang………..

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak

Desa Sungai Ambangah………

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi (b) di rawa lebak

Desa Pasak Piang………..

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa

lebak Desa Sungai Ambangah……….

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya (b) di rawa

lebak Desa Pasak Piang………

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak

Desa Sungai Ambangah………

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi (b) di rawa lebak

Desa Pasak Piang………..

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa

lebak Desa Sungai Ambangah……….

(22)

20

21 22 23 24 25

26 27 28

29

30 31 32 33

Indeks dan status keberlanjutan (a), dan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan (b) di rawa

lebak Desa Pasak Piang………

Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa

lebak di Sungai Ambangah………...

Diagram layang analisis indeks dan status keberlanjutan rawa

lebak di Pasak Piang………..………

Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Sungai Ambangah………... Pengaruh dan ketergantungan antar atribut sensitif berdasarkan hasil analisis leverage di Desa Pasak Piang……….. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders di Desa Sungai Ambangah dan

Pasak Piang……….

Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil

analisis leverage dan pemangku kepentingan di Sungai Ambangah Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit hasil

analisis leverage dan pemangku kepentingan di Pasak Piang…….. Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Sungai

Ambangah………

Indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan masing-masing pada kondisi eksisting, skenario I, II, dan III untuk Desa Pasak

Piang……….

Sistem usahatani terpadu di adopsi dari Rustam et al. (2009)……… Model konseptual pengembangan UTLRL berbasis sumberdaya

lokal………...

Pola usahatani padi, karet, sawit dan ternak………….………

Pola usahatani tanaman padi, tanaman perkebunan dan ternak…..

88 91 91 93 94

96 99 101

113

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil analisis contoh tanah lebak Sungai Ambangah, Kecamatan

Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya….………. 183

2 Hasil analisis contoh tanah lebak Pasak Piang, Kecamatan Sungai

Ambawang, Kabupaten Kubu Raya….…………..………. 183

3 4 5

Kriteria penilaian sifat kimia tanah……….….. Kriteria kesesuaian lahan untuk padi sawah tadah hujan………

Kriteria kesesuaian lahan untuk karet……….

184 185 186 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Kriteria kesesuaian lahan untuk kelapa sawit.………...

Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari

usahatani padi di rawa lebak Desa Sungai Ambangah………... Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan per hektar dari

usahatani padi di rawa lebak Desa Pasak Piang…………..………....

Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Sungai Ambanga Hasil analisis usahatani karet di rawa lebak Desa Pasak Piang……. Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kelapa sawit di Desa

Sungai Ambangah dan Pasak Piang (ha/th)……….. Proyeksi produksi karet kering dan estimasi produksi lateks….…….

Perkiraan produksi TBS, minyak sawit dan inti sawit pada berbagai

umur tanaman kelapa sawit……….…. Atribut dan skor keberlanjutan ekologi di rawa lebak……… Atribut dan skor keberlanjutan ekonomi di rawa lebak………. Atribut dan skor keberlanjutan sosial budaya di rawa lebak…………

Atribut dan skor keberlanjutan teknologi di rawa lebak………

Atribut dan skor keberlanjutan kelembagaan di rawa lebak…………

Simulasi pola pertanian terpadu berbagai praktek usahatani dari berbagai tanaman berbasis sumberdaya tanaman lokal dan jenis ternak untuk Desa Sungai Ambangah dan Pasak Piang……… Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian

terpadu di Desa Sungai Ambangah……….

Estimasi pendapatan (Rp/tahun) dari simulasi model pertanian

terpadu di Desa Pasak Piang………...

Simulasi pendapatan petani di Desa Sungai Ambangah berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam

memenuhi KHL………

Simulasi pendapatan petani di Desa Pasak Piang berdasarkan luas kepemilikan lahan usahatani dalam memenuhi KHL………

(24)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia terdapat lahan rawa meliputi areal 33,40

– 39,40 juta hektar (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998), sedangkan menurut Ardi et al., (2006) luas lahan ini diperkirakan sekitar 33,40 juta hektar yang terdiri dari rawa pasang surut dan rawa lebak. Rawa pasang surut seluas 24,20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,27 juta hektar, yang umumnya tersebar di Pulau Sumatera 5,70 juta hektar, Kalimantan 3,40 juta hektar, dan Papua 5,20 juta hektar (Balai Penelitian Rawa, 2005).

Berdasarkan sistem klasifikasi Ramsar, lahan rawa atau lahan basah terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu lahan basah pesisir dan lautan, lahan basah daratan, dan lahan basah buatan (Puspita, 2005). Rawa lebak (swamps land) termasuk ke dalam lahan basah daratan. Provinsi Kalimantan Barat, dengan luas total 14,64 juta hektar memiliki ekosistem lahan basah seluas 3 659 736 hektar (Hikmatullah et al., 2008). Dari luasan tersebut, terdapat sekitar 35 436 hektar adalah rawa lebak. Dan baru sekitar 9 796 hektar atau sekitar 27,6% yang telah dimanfaatkan (Dinas Pertanian Provinsi Kalbar, 2008).

Rawa lebak umumnya merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai, dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada musim kemarau. Genangan air merupakan watak bawaan (inherence) dan sebagai ciri hidro-ekologi rawa sehingga dapat menjadi unsur pembeda utama, antara satu daerah dengan lainnya, sekalipun dalam satu kawasan (Noor, 2007). Ekosistem rawa lebak merupakan dataran banjir, dan dibeberapa tempat selain untuk kegiatan pertanian, juga memiliki kontribusi penting bagi masyarakat sekitar untuk kegiatan perikanan, dan dari kegiatan ini rawa lebak dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein hewani, jalur transportasi, kesempatan kerja dan juga sebagai sumber penghasilan alternatif (Sulistiyarto, 2008).

(25)

tanam satu kali dalam setahun, sedangkan yang diusahakan dua kali padi setahun baru sekitar 9 persen (Sudana, 2005). Pada kondisi kering rawa lebak banyak diusahakan tanaman palawija (Waluyo, 2000). Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan varietas unggul, produktivitas padi di lahan rawa lebak dapat mencapai 2,0 – 2,5 ton per hektar (Noor, 2007), dan tanaman kedelai mencapai 1,2 – 1,9 ton hektar (Waluyo dan Ismail, 1995). Namun demikian, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi (Noor, 2007).

Rawa lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan berubah jika dibandingkan dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung seperti konversi menjadi lahan pertanian atau permukiman, tetapi juga rentan terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al., 2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang berprofesi sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan (Irianto, 2006). Dengan kondisi demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan diatur dalam pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) dapat terjadi apabila tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada gilirannya dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi. Kenyataan membuktikan bahwa lahan rawa lebak sampai saat ini belum dapat memberikan produktivitas seperti yang diharapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al., (2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya: (1) adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah memberikan hasil yang maksimal, (2) kurangnya modal, (3) akses teknologi yang rendah, (4) sifat subsisten petani dan (5) berusahatani karena kebiasaan.

(26)

diserap pasar walaupun pasar lokal. Peluang pengembangan usahatani di lahan ini cukup besar, dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mendukung ketahanan pangan di daerah maupun nasional (Zuraida et al., 2006). Selanjutnya, adanya potensi lahan rawa lebak yang tersedia masih cukup luas, yang apabila diasumsikan bahwa 10 persen saja dari luas yang tersedia dapat dikelola/dimanfaatkan untuk padi dengan baik dengan intensitas tanam meningkat dari nol kali menjadi satu kali tanam, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar 2 663 200 ton menjadi 5 326 400 ton dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dengan rata-rata produktivitas 2 ton per hektar. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton per hektar atau bahkan 4 ton per hektar (Irianto, 2006).

Konversi lahan yang terjadi beberapa tahun terakhir terhadap ketahanan pangan nasional merupakan ancaman yang serius, mengingat konversi lahan tersebut sulit dihindari sementara dampak yang ditimbulkan terhadap masalah pangan bersifat permanen, kumulatif dan progresif. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat permanen. Artinya, masalah pangan tersebut tetap akan terasa dalam jangka panjang meskipun konversi lahan sudah tidak terjadi lagi. Masalah pangan yang ditimbulkan bersifat progresif. Artinya, walaupun luas lahan yang dikonversi per tahun selama periode t0 (pada tahun ke-0) hingga tn

(pada tahun ke-n) adalah tetap, namun peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan tersebut akan semakin besar. Dengan kata lain, masalah pangan yang disebabkan oleh setiap hektar lahan yang dikonversi akan semakin besar dari tahun ke tahun (Irawan, 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan apabila tidak segera diatasi dapat menyebabkan semakin terbatasnya ketersediaan sumberdaya lahan yang dapat dijadikan lahan persawahan, terutama di daerah Pulau Jawa.

(27)

memerlukan penanganan yang spesifik, hal itu ditunjukkan adanya permasalahan yang cukup kompleks. Penyusunan model usahatani yang bersifat spesifik dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada yang sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan sosial budaya masyarakat setempat dan terpadu sangat diperlukan. Kepentingan produksi atau ekonomi disatu sisi menjadi sesuatu hal yang penting diperhatikan karena dalam hal mempertahankan kelangsungan kehidupan mereka, tidak akan terlepas dari usaha pemenuhan kebutuhan. Dilain pihak, kepentingan ekologi atau lingkungan juga menjadi hal penting dan tidak dapat diabaikan, karena dalam proses produksi selain membutuhan sumberdaya dalam hal ini lahan sebagai modal juga dihasilkan produk dan limbah sebagai hasil sampingan (Daniel, 2004).

Untuk itu, dalam upaya mencapai keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya, diperlukan suatu strategi dan pendekatan interdisiplin untuk mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kelembagaan. Dengan pendekatan interdisiplin dimaksud, dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada diharapkan terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan rawa lebak ke arah yang lebih baik. Dan dalam pemanfaatannya dapat menekan dan mengurangi terjadinya kerusakan kawasan rawa lebak sehingga sebagai suatu ekosistem yang spesifik rawa lebak tetap terpelihara dan terjaga kelestariannya.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan model pengelolaan lahan rawa lebak berbasis sumberdaya lokal untuk usahatani berkelanjutan.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan umum tersebut diwujudkan melalui tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik rawa lebak dan petani yang memanfaatkan

rawa lebak

2. Menganalisis kesesuaian lahan beberapa tanaman utama yang diusahakan di rawa lebak

(28)

4. Menganalisis indeks dan status keberlanjutan usahatani di rawa lebak 5. Menganalisis variabel-variabel dominan model pengelolaan rawa

lebak berkelanjutan berdasarkan lima dimensi keberlanjutan

1.3 Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan rawa lebak oleh masyarakat dilatari oleh potensinya sebagai sumberdaya, desakan kebutuhan akan lahan, dan pangan serta kemampuan indegeneus knowledge dari petani dalam memanfaatkan lahan rawa lebak. Tetapi pada kenyataannya pemanfaatan lahan rawa lebak untuk usahatani, belum dapat memberikan hasil secara optimal. Hal tersebut dapat dipahami, karena rawa lebak disamping mempunyai fungsi ekologis dan fungsi produksi juga sebagai salah satu ekosistem yang mempunyai karakteristik yang fragil dan labil. Keterbatasan ketrampilan, teknologi, modal dan sarana pendukung yang ada mengakibatkan pengelolaan lahan rawa lebak masih sangat terbatas dan belum diperolah hasil yang maksimal sehingga belum mampu memberikan perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat tani yang memanfaatkan rawa lebak sebagai sumber pendapatan keluarga.

Menyadari akan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu strategi pengelolaan lahan rawa lebak, diantaranya pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan ekosistem rawa lebak, melakukan pendekatan sosial kemasyarakatan, pendekatan ekonomi, teknologi dan kelembagaan serta memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Dari pendekatan tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan. Dengan adanya perbaikan faktor-faktor di atas, maka ekosistem rawa lebak yang dimanfaatkan sebagai lahan usahatani dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, diharapkan juga dapat berdampak terhadap perbaikan kondisi sosial masyarakat, dan akhirnya ekosistem rawa lebak tetap terpelihara dan lestari sebagai salah satu kekayaan ekosistem yang spesifik.

(29)

berkelanjutan di lokasi studi. Kerangka berpikir dalam bentuk diagram disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

1.4 Perumusan Masalah

Potensi lahan rawa lebak yang sesuai untuk usaha pertanian masih cukup luas, di pihak lain, pemanfaatan lahan rawa lebak masih terbatas, dan walaupun sudah dimanfaatkan hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Padahal peluang untuk meningkatkan peran lahan ini ke depan masih cukup besar sebagai modal dalam pembangunan pertanian dalam arti luas. Namun diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya, karena karakeristik khas yang dimiliki oleh rawa lebak.

Budidaya pertanian di lahan rawa lebak, sebagai lahan marginal yang rapuh menghadapi berbagai kendala diantaranya adalah kendala biofisik lahan, sosial ekonomi, dan kelembagaan (Qomariah et al., 2006). Beberapa kendala fisik diantaranya; adanya genangan air, pH tanah yang rendah, adanya kandungan zat racun (aluminium, besi, hidrogen sulfida, natrium), tanah miskin hara baik makro dan mikro, serta adanya serangan hama/penyakit dan gulma. Sedangkan kendala sosial ekonomi diantaranya; keterbatasan modal dan sebagian petani masih mencari pekerjaan di luar usahataninya. Kendala

Fungsi Ekologis

Fungsi Produksi Lahan Rawa

Lebak

Karateristik fisik, kimia dan biologi

Sarana prasarana Sosial

Ekonomi Sistem

Usahatani

Produktivitas Rendah

Ekologi Sosial Ekonomi Teknologi Kelembagaan

Sumberdaya Lokal

Model Pengembangan UT Lahan Rawa Lebak

Berkelanjutan

(30)

kelembagaan diantaranya adalah lemahnya peran kelompok tani (KT), dikarenakan kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai pengambil keputusan dalam usahataninya, karena dominasi pengaruh intervensi para pihak luar terhadap kelompok tani (Slamet, 2003), rendahnya peran koperasi unit desa (KUD), dan petugas penyuluh lapang (PPL). Hasil penelitian Anantanyu (2009) di tiga kabupaten di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dukungan penyuluhan pertanian pada umumnya masih berada pada kategori sedang, dan lemahnya dukungan lembaga keuangan (LK), kurangnya permodalan dan kurang tersedianya kelembagaan permodalan perdesaan yang mampu memberikan kredit usahatani yang cukup dengan bunga rendah (Fadjry et al., 2006).

Berbagai kendala di atas dapat diatasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan diantaranya adalah (1) pengembangan bertahap berdasar atas pemanfaatan sumberdaya (resource base) dan sistem usahatani terpadu (integrated farming system); (2) pemilihan komoditas yang sesuai, didukung penerapan teknologi spesifik lokasi (tipologi lahan dan genangan air); (3) kesesuaian komoditas dengan dinamika pasar; (4) konsep tata air sesuai kondisi lahan dan kebutuhan pertanian; (5) efisiensi sistem kelembagaan agribisnis; (6) peningkatan sarana dan prasarana penunjang; dan (7) pengembangan kemandirian dan partisipasi serta kesejahteraan masyarakat (petani dan swasta). Kemandirian petani dianggap sebagai tujuan akhir dari suatu usaha pembangunan pertanian. Sedangkan partisipasi petani adalah derajat keseluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani menjadi bagian/anggota (Anantanyu, 2009). Hal lain yang juga memerlukan perhatian ekstra adalah penyediaan sumberdaya manusia yang terampil (penyuluh). Keberadaan sumberdaya manusia (SDM) pertanian diharapkan dapat berperan aktif dari mulai pembukaan lahan, pelaksanaan budidaya, pasca panen, dan pemasaran hasil.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

(31)

2. Model pengelolaan lahan rawa secara berkelanjutan yang dirumuskan dari hasil penelitian ini, dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk pemanfaatan lahan rawa lebak di tempat lain

3. Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi, pengkajian dan penelitian lebih lanjut

1.6 Kebaruan (Novelty)

(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Rawa Lebak

Kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau

tanah rendah‘ (Poerwadarminto, 1976 dalam Noor, 2007). Sedangkan kata

lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam (Alwi et al., 2003). Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).

(33)

Pada Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua Bogor, istilah lahan rawa (swamps) dipilah menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (non tidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 dinyatakan rawa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (1) rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Sedangkan menurut Subagjo (2006) tipologi rawa lebak didasarkan pada ketinggian genangan dan atau lamanya genangan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pembagian lahan rawa lebak berdasarkan ketinggian dan lama genangan

Lama genangan

Ketinggian genangan (cm) < 50 50 - 100 > 100

< 3 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak tengahan 3 – 6 bulan Lebak dangkal Lebak tengahan Lebak dalam > 6 bulan Lebak dangkal Lebak dalam Lebak dalam Sumber: Subagjo (2006)

Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.

Petani di Hulu Sungai, Kalimantan Selatan membagi rawa lebak dengan sebutan watun (arti lahan rawa lebak), yaitu watun I, II, III dan IV (Anwarham, 1989; Ar-Riza, 2000). Batasan dan klasifikasi watun didasarkan menurut hidrotopografi dan waktu tanam padi. Pembagian watun tersebut:

Watun I : wilayah sepanjang 200-300 depa menjorok masuk dari tanggul (1 depa = 1,7 meter), dengan hidrotopografinya relatif paling

tinggi.

Watun II : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun I, dengan hidrotopografinya lebih

(34)

Watun III : wilayah sepanjang 200-300 depa (=510 m) menjorok masuk dari batas akhir watun II, dengan hidrotopografinya lebih

rendah dari watun II.

Watun IV : wilayah yang lebih dalam menjorok masuk dari batas akhir watun III, dengan hidrotopografinya relatif paling rendah.

Watun I, II, III sampai IV masing-masing identik dengan istilah lebak dangkal, lebak tengahan, lebak dalam, dan lebak sangat dalam atau lebung (deepwater land).

Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut.

Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat

ditentukan oleh muka air sungai.

Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan air rembesan (seepage) dari sekitarnya.

Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya.

2.2 Karakteristik Ekologi Lahan Rawa Lebak

(35)

(gambut), tanah mineral endapan sungai, dan endapan marin. Pada tanah gambut, kematangan gambut umumnya termasuk gambut saprik. Sedangkan pada tanah mineral tekstur umumnya liat, liat berdebu, sampai lempung liat berdebu, dengan konsistensi lekat dan plastis (Arifin et al., 2006). Gambut saprik (matang) yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan apabila diremas kandungan seratnya kurang dari 15 persen (Permentan No 14 tahun 2009).

Lahan rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2 000-3 000 mm per tahun dengan 6 - 7 bulan basah (bulan basah = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan >200 mm) atau antara 3 - 4 bulan kering (bulan kering = bulan yang mempunyai curah hujan bulanan <100 mm). Bulan basah berlangsung pada bulan Oktober/Nopember sampai Maret/April, sedangkan bulan kering berlangsung antara bulan Juli sampai September. Suhu udara pada kawasan ini berkisar antara 24 - 32oC dan kelembaban nisbi 80-90%. Pengaruh iklim sangat kuat pada musin kemarau karena rawa lebak sebagai kawasan terbuka. Penguapan pada kawasan terbuka cukup tinggi, sehingga suhu udara dapat mencapai 35 - 40oC (Ismail et al., 1996; Arifin et al., 2006 dalam Noor, 2007).

2.3 Sumberdaya Lokal

Sumberdaya (resources) mempunyai banyak pengertian diantaranya adalah (1) persediaan, baik cadangan maupun yang baru; (2) suatu input dalam proses produksi; (3) suatu atribut dari lingkungan yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu, yang dibatasi oleh keadaan sosial, politik, ekonomi dan kelembagaan; (4) sebagai hasil penilaian manusia terhadap unsur-unsur lingkungan hidup yang diperlukannya; dan dapat pula didefenisikan (5) sebagai unsur-unsur lingkungan alam, baik fisik maupun hayati, yang diperlukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraanya dan memenuhi kebutuhannya (Soerianegara, 1979).

(36)

aspek lingkungan yang bukan buatan manusia dan terdapat pada permukaan bumi, di udara, di dalam bumi, di laut, di dalam laut, di dasar dan di bawah dasar laut (Zen, 2001).

Selanjutnya, sumberdaya teknologi yang secara definisi dimaknai sebagai hasil buah pikir dari suatu pengetahuan. Teknologi itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Teknologi secara luas dapat terdiri dari, tecnoware (perangkat teknis), humanware (perangkat manusia), inforware (perangkat informasi) dan orgaware (perangkat organisasi). Keempat komponen tersebut, selalu berperan dalam sebuah proses transformasi, tepatnya dalam merubah suatu input menjadi output (Sasmojo, 2001). Input atau masukan menurut (Sewoyo, 2001) dapat berupa bahan baku alami (bahan mineral, bahan biologis), dan atau bahan setengah jadi (bahan kimia, bahan bangunan, bahan pakaian). Sedangkan output atau keluaran dapat berupa barang-barang konsumsi (makanan, obat, peralatan, perabotan).

Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan sumberdaya lokal, yaitu (1) sumberdaya manusia dengan segala pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat lokal, tradisional atau asli; (2) sumberdaya alam adalah sumberdaya yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka dimana mereka telah berinteraksi secara turun temurun; dan (3) sumberdaya teknologi adalah sumberdaya hasil olah-pikir dan uji-coba yang telah mereka lakukan, dan kemudian menjadi semacam pengetahuan/teknologi mereka tentang sistem alam yang terakumulasi melalui proses yang cukup panjang untuk selanjutnya diwariskan secara lisan. Biasanya hasil uji-coba dalam bentuk teknologi tersebut menurut Mitchell (2000), tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Dan akhirnya, bagaimana ketiga sumberdaya lokal tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan usahatani di rawa lebak.

2.4 Produktivitas

(37)

keluaran dengan masukan merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya (masukan) terencana dengan pemakaian masukan yang sebenarnya. Jadi pengertian efisiensi berorientasi pada masukan. Efisiensi dapat dipahami sebagai kegiatan penghematan sumber-sumber dalam kegiatan produksi, seperti penghematan pemakaian bahan, uang, tenaga kerja, waktu, air dan sebagainya; (2) efektivitas, menggambarkan seberapa jauh target yang ditetapkan dapat tercapai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Efektivitas berorientasi pada keluaran; dan (3) kualitas, masukan dan kualitas proses akan menentukan kualitas keluaran. Keluaran yang berkualitas baik, akan meningkatkan rasio keluaran dengan masukan dalam nilai tambah, berarti meningkatkan produktivitas.

Dalam konteks pertanian, produktivitas berperan penting dalam mencapai kecukupan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan sangat ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah ketersediaan air, kondisi lahan, input produksi dan pemeliharaan.

2.5 Pendapatan Petani

Pendapatan adalah seluruh penerimaan dapat berupa uang atau barang dari hasil usaha atau produksi. Pendapatan rumahtangga dapat diartikan sebagai jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, informal dan subsistem. Pendapatan formal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Sedangkan pendapatan subsistem adalah penghasilan yang diperoleh dari faktor produksi yang dinilai dengan uang (Mulyanto dan Ever, 1982). Pendapatan rumahtangga dapat juga didefenisikan sebagai seluruh penerimaan yang didapat setiap rumahtangga atau lebih disederhanakan adalah sebagai balas jasa dari faktor-faktor ekonomi (Anonim, 2000). Ada keterkaitan yang erat antara pendapatan, faktor produksi dan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Selanjutnya menurut (Tjahyono, 1987) besarnya pendapatan petani dapat berasal dari usahatani dan non tani .

(38)

dari usahatani yang dilakukannya. Sedangkan penghasilan dari luar usahatani diperoleh dari penjumlahan seluruh penghasilan sampingan yang dilakukan di luar usahatani.

Menurut Soekartawi (2002) perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah, dengan tingkat pengeluaran rumah tangga lebih besar dari pendapatan, maka tingkat konsumsi tidak hanya dibiayai oleh pendapatan mereka saja, melainkan dari sumber lain seperti tabungan yang dimiliki, penjualan harta benda, atau pinjaman bentuk lain. Biasanya semakin tinggi tingkat pendapatan, maka konsumsi yang dilakukan rumah tangga akan semakin besar pula. Bahkan seringkali dijumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang dikonsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi kualitas barang yang diminta juga bertambah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani ditinjau dari faktor sosial dan ekonomi antara lain adalah tingkat pendidikan, jarak kebun dari rumah, jam kerja efektif, jumlah tenaga kerja dan input produksi. Tingkat pendidikan merupakan modal utama, dengan jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, maka besar kemungkinannya untuk dapat menerima inovasi maupun gagasan-gagasan baru yang dapat memperbaiki kegiatan usahatani. Pengambilan keputusan untuk menghindari risiko usahatani dapat dilakukan dengan tingkat pendidikan yang memadai (Hermanto, 2005).

2.6 Analisis Usahatani

2.6.1 Indikator kelayakan usahatani

Berbagai cara penilaian investasi telah dikembangkan dan digunakan dibidang pertanian. Menurut Pujosumarto (1995), kriteria investasi yang dapat digunakan dalam menilai kelayakan suatu kegiatan usaha dapat dilakukan antara lain melalui cara perhitungan, revenue cost ratio (R/C ratio) atau benefit cost ratio (B/C ratio).

(39)

tetap adalah semua biaya yang dikeluarkan petani sesuai dengan jenis usahatani yang akan dikerjakan dan sistem pengelolaan yang akan diterapkannya. Adapun yang termasuk biaya tidak tetap ini antara lain pembelian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, pencegahan hama/penyakit, pemanenan, penjemuran hasil (pengolahan hasil), pemasaran. Biaya tetap dapat berupa pajak, biaya perawatan alat, biaya penyusutan, retribusi dan bunga pinjaman (Soekartawi, 2002).

Untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi perubahan jumlah, biaya dan harga produksi, diperlukan analisis sensitivitas dengan asumsi-asumsi sebagai berikut :

• Harga produksi turun 20%, jumlah dan biaya produksi tetap

• Biaya produksi meningkat 20%, jumlah dan harga produksi tetap

• Harga produksi turun 20%, biaya produksi naik 20%, jumlah produksi tetap

• Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi tetap

• Jumlah dan harga produksi masing-masing turun 20%, biaya produksi

meningkat 20%

Produksi tetap dan harga produksi naik 20% Produksi turun dan harga produksi naik 20% 2.6.2 Kebutuhan Hidup Layak

(40)

perdesaan maupun di perkotaan. Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga di daerah perdesaan berkisar antara 240 – 320 kg per orang per tahun, sedangkan untuk daerah perkotaan berkisar antara 360 – 480 kg per orang per tahun.

Untuk mengukur apakah suatu keluarga tani telah hidup layak, yakni apabila keluarga tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan meliputi pangan, tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, rekreasi, asuransi dan tabungan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh setiap keluarga tani untuk dapat hidup layak minimal senilai beras 320 kg per th x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga x 2,5 (Sinukaban, 2007).

2.7 Sistem Usahatani Berkelanjutan

Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Rifai dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang diperuntukan bagi produksi di lapangan pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Defenisi usahatani menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) adalah kegiatan dibidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi dibidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya alam, modal dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang bermanfaat bagi manusia.

Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam, faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan produksi. Modal dalam usahatani yaitu:

1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul saluran air.

(41)

3. Alat-alat pertanian dan mesin; alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu, cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan mesin pemungut hasil.

4. Tanaman dan ternak.

5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari, bibit, pupuk, obat, pengendali hama dan penyakit tanaman.

6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan.

Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan,

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian: [a] Provinsi Kalimantan Barat, [b] Kabupaten
Tabel 3  Jenis, sumber dan teknik pengumpulan data
Tabel 4.             Tabel 4  Kategori indeks dan status keberlanjutan
Gambar 6  Persentase luas wilayah berdasarkan kecamatan di Kabupaten Kubu Raya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berikut hasil wawancara oleh salah seorang Pembina khusus anak di LAPAS kelas 1 Makassar pada tanggal 23 April 2014 sebagai berikut:.. Nama hamka, Pembina khusus anak di LAPAS Kelas

Sedangkan loading faktor untuk konstruk endogen yang mencakup variabel sharia engagement dan kinerja karyawan menunjukkan nilai lebih besar dari 0,5, sesuai dengan yang

Interval Training adalah perangkat utama dalam proses latihan yang peneliti lakukan disetiap pertemuan untuk meningkatkan Daya Tahan Kardiorespiratori pada

Penduduk yang dianggap sebagai pekerja penuh waktu ( full time worker ) adalah penduduk dengan kerjanya 35 jam keatas selama seminggu. Kelompok ini mengalami sedikit

Atas dasar berbagai kaidah tersebut maka sistem pengelolaan SMA rintisan bertaraf internasional harus dapat meningkatkan penjaminan (1) manajemen mutu perencanaan,

Setiap BUJK atau Orang Perseorangan yang telah melakukan usaha di bidang jasa konstruksi sebelum Peraturan Daerah ini mulai berlaku harus memiliki Sertifikat

Otonomi daerah itu tidak hanya membuka peluang bagi dinamika hubungan yang baru antara pemerintahan pusat (Jakarta) dan pemerintahan daerah, tetapi juga dinamika

Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, yang disusun oleh Badan Keahlian DPR RI, memang memberikan beberapa opsi metode yang dapat digunakan dalam analisis