commit to user
PERBEDAAN EFEK PEMBERIAN LENDIR BEKICOT
(Achatina fulica) DAN GEL BIOPLACENTON™ TERHADAP
PENYEMBUHAN LUKA BERSIH PADA TIKUS PUTIH
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Sinta Prastiana Dewi G0007157
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan Judul : Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot
(Achatina fulica) dan Gel Bioplacenton™ terhadap
Penyembuhan Luka Bersih pada Tikus Putih
Sinta Prastiana Dewi, NIM : G0007157, Tahun: 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Senin , Tanggal 8 November 2010
Pembimbing Utama
Nama : Nur Hafidha Hikmayani, dr., M. Clin.Epid
NIP : 0976.12.25.2005.01.2.001 ( ______________________ )
Pembimbing Pendamping
Nama : Endang Ediningsih, dr., MKK
NIP : 1953.08.05.1987.02.0.001 ( ______________________ )
Penguji Utama
Nama : Muchsin Doewes, DR., dr., MARS
NIP : 1948.05.31.1976.03.1.001 ( ______________________ )
Penguji Pendamping
Nama : Budiyanti Wiboworini, dr., Sp.GK,. M.Kes
NIP : 1965.07.15.1997.02.2.001 ( ______________________ )
Surakarta,
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Muthmainah, dr., M.Kes Prof.DR.A.A.Subijanto, dr., MS.
commit to user ABSTRAK
Sinta Prastiana Dewi, G0007157, 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir
Bekicot (Acha tina fulica) dan Gel Bioplacenton terhadap Penyembuhan Luka Bersih pada Tikus Putih, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui adakah perbedaan efek pemberian lendir
bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih.
Metode Penelitian : Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorikdengan the
post test only control group design. Hewan uji menggunakan 27 ekor tikus putih
strain Wistar jantan dibagi dalam 3 kelompok yaitu kelompok K (-), P, dan K (+).
Pada semua kelompok dibuat luka bersih pada bagian punggung. Luka pada kelompok K (-) tidak diberikan apa-apa, luka pada kelompok P diberikan lendir bekicot, dan luka pada kelompok K (+) diberikan gel bioplacenton. Pemberian lendir bekicot dan gel bioplacenton dilakukan dua kali sehari selama empat hari. Pada hari kelima tikus putih dikorbankan dan diambil jaringan lukanya untuk pembuatan preparat. Penyembuhan luka diamati dengan menghitung jumlah sel fibroblas. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan One Wa y ANOVA
menggunakan program SPSS for Windows Relea se 17.
Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh jumlah rata-rata sel fibroblas pada
kelompok K(-) sebesar 312,33, kelompok P 488,88, dan kelompok K (+) sebesar 466. Hasil uji statistik One Wa y Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok penelitian dengan p = 0,006 (p<0,050). Hasil uji statistik LSD juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok K (-) dengan K (+) dan kelompok K (-) dengan P.
Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
pemberian lendir bekicot maupun gel bioplacenton menimbulkan efek yang sama pada penyembuhan luka.
commit to user ABSTRACT
Sinta Prastiana Dewi, G0007157, 2010. The Different Effect between Using
Land Snails’ (Acha tina fulica) Mucus and Bioplacenton Gel on Wound Healing in Mice, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective : This experiment was aimed to study the different effect between
using land snails’ (Acha tina fulica) mucus and bioplacenton gel on wound healing in mice.
Method : The study is an experimental research with the post test only control
group design. The subjects were 27 Swiss Wista r strain male mice that were divided into 3 groups; group of K(-), P, and K(+). The wounds were made in the back of all mice. The group of K(-) was not given any substance. The group of P was given land snails’ mucus. The group of K(-) was given bioplacenton gel. Bioplacenton gel and mucus of land snail were given twice per day during 1st – 4th day. On the 5th day, the mice were killed for histological study. The wound healing was observed by counting the number of fibroblast. Statistical analysis of the data was performed with SPSS for Windows Relea se 17.
Result : The data showed that average number of fibroblast in group K(-) 312,33,
group P 488,88, and group K(+) 466. The results of One Wa y ANOVA statistical test showed a significant difference among the three study groups p = 0,006 (p <0,050). The results of LSD test also showed a significant differences between group of K(-) with K(+) and group of K(-) and P.
Conclusion : From this experiment, it is concluded that the mucus of land snail
(Acha tina fulica) and bioplacenton gel can accelerate wound healing process on
mice with the same accelerating effect.
commit to user DAFTAR ISI
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... ... 3
D. Manfaat Penelitian ... ... 3
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... ... 5
1. Bekicot ... 5
a. Taksonomi ... 5
b. Nama lokal ... 6
c. Morfologi ... 6
d. Asal-usul ... 7
e. Habitat dan daerah distribusi ... 7
commit to user
2. Luka (Vulnus) ... 9
a. Trauma fisik ... 9
b. Trauma kimiawi ... 9
c. Trauma termis ... 9
d. Trauma elektris ... 10
4. Proses penyembuhan luka ... 13
a. Hemostasis ... 14
b. Inflamasi ... 15
c. Proliferasi dan granulasi ... 16
d. Remodelling dan maturasi ... 20
5. Bioplacenton ... 20
B. Kerangka Pemikiran ...22
C. Hipotesis ... ... 23
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...24
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...24
C. Subjek Penelitian ... 24
D. Teknik Sampling ...25
E. Rancangan Penelitian ... 25
F. Identifikasi Variabel Penelitian ... 27
commit to user
H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian ...31
I. Cara Kerja... ... 32
J. Teknik Analisis Data ... 34
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 35
A. Hasil Penelitian ... 36
B. Analisis Data ... 38
BAB V. PEMBAHASAN ... ... 41
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 46
B. Saran ... ... 46
DAFTAR PUSTAKA...47
commit to user DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Rata-Rata Jumlah Sel Fibroblas…… ... 36
Tabel 4.2 Hasil Uji One Wa y Anova antara Ketiga Kelompok... 39
commit to user DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Morfologi bekicot (Acha tina fulica) ... 6
Gambar 4.1 Histogram Perbedaan Rata-Rata Jumlah Fibroblas... 37
Gambar 4.2 Pengamatan Mikroskopis Sel Fibroblas Menggunakan Mikroskop
commit to user DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Penelitian
Lampiran 2. Tabel Hasil Hitung Inti Sel Fibroblas
Lampiran 3. Hasil Uji Statistik dengan Program SPSS For Windows Relea se 17
commit to user
timbulnya luka pada tubuh. Luka atau vulnus adalah putusnya kontinuitas kulit
dan jaringan di bawah kulit oleh karena trauma (Sutawijaya, 2009). Proses
yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak tersebut ialah penyembuhan
luka yang dapat dibagi dalam empat fase yaitu hemostasis, inflamasi,
proliferasi atau granulasi, dan fase remodeling (Sjamsuhidajat dan de Jong,
1997).
Menurut Taqwim et a l. (2009), Penyembuhan luka merupakan proses
alamiah dari tubuh, namun seringkali dilakukan pemberian obat-obatan untuk
mempercepat proses penyembuhan luka. Obat-obatan untuk memulihkan dan
mempertahankan kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan
penyembuhan luka, saat ini dirasakan relatif mahal. Selain itu, dengan adanya
resistensi antibiotika pada bakteri dan efek samping yang berat pada beberapa
obat-obatan sintesis menjadi alasan tersendiri untuk mengalihkan perhatian
pada terapi alternatif.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar di dunia, dengan julukan mega diversity.
Keanekaragaman hayati ini dapat dilihat dalam berbagai macam tumbuhan
commit to user
macam penyakit (Kotijah, 2009), salah satunya adalah penggunaan topikal
lendir bekicot (Achatina fulica) pada luka eksternal. Lendir bekicot (Acha tina
fulica) memiliki kandungan glikosaminoglikan yang berperan dalam proses
penyembuhan luka (Kim et a l., 1996).
Pemanfaatan dan pengembangan obat tradisional di berbagai daerah di
Indonesia merupakan warisan yang turun-temurun berdasarkan pengalaman.
Menurut Sari (2006), saat ini banyak orang yang mencari alternatif lain yang
lebih murah dengan beralih ke obat tradisional yang berasal dari alam sekitar
dengan alasan harga dan bahan yang lebih mudah terjangkau. Masyarakat di
perkotaan bisa mendapatkan berbagai jenis obat modern dengan mudah karena
fasilitas yang cukup lengkap, sedangkan masyarakat desa terpencil tidak dapat
tergantung sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak
memungkinkan ketersediaan obat-obatan tersebut. Penggunaan obat-obatan
modern dalam bentuk obat topikal untuk penyembuhan luka eksternal banyak
terjadi di pasaran di antaranya adalah bioplacenton. Bioplacenton adalah merek
dagang sebuah obat yang mengandung neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak
plasenta 10% (Santoso, 2009).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa hasil penelitian yang
dilakukan oleh Priosoeyanto (2005) yang dikutip dalam Graha Cendekia,
membuktikan lendir Bekicot atau Acha tina fulica mampu menyembuhkan luka
bersih dua kali lebih cepat dari pada luka yang diberi larutan normal saline
commit to user
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan
efek dari pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan pemberian gel
bioplacenton terhadap penyembuhan luka. Hasil dari penelitian ini akan
diamati secara histologis.
B.Perumusan Masalah
Adakah perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica)
dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih pada tikus putih?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot
(Acha tina fulica) dan gel bioplacenton terhadap penyembuhan luka bersih
pada tikus putih.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek teoritis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang perbedaan efek
lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton dalam penyembuhan
luka bersih pada tikus putih
2. Aspek aplikatif
Diharapkan hasil penelitian memberikan tambahan pengetahuan
mengenai perbedaan efek pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina
commit to user
putih, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai acuan penelitian selanjutnya
dengan metode yang lebih baik atau pada tingkat hewan coba yang lebih
commit to user BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Bekicot (Achatina fulica)
Bekicot termasuk golongan hewan lunak (mollusca) yang termasuk
dalam kelas ga stropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh cangkang
yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar, dan daratan yang
lembab (Intergrated Taxonomic Information System, 2004).
a. Taksonomi
Menurut Integrated Taxonomic Information System (2004),
taksonomi bekicot adalah sebagai berikut:
Filum : Mollusca
Kelas : Ga stropoda
Ordo : Stylomma tophora
Famili : Acha tinida e
Sub famili : Acha tinina e
Genus : Acha tina
Subgenus : Lissa chatina
commit to user
b. Nama Lokal
Indonesia : bekicot
Inggris : la nd snail
(Berbudi, 2010)
c. Morfologi
Bekicot (Acha tina fulica) memiliki sebuah cangkang sempit
berbentuk kerucut yang panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri
dari tujuh sampai sembilan ruas lingkaran ketika umurnya telah dewasa.
Cangkang bekicot umumnya memiliki warna cokelat kemerahan
dengan corak vertikal berwarna kuning tetapi pewarnaan dari spesies
tersebut tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis makanan yang
dikonsumsi. Bekicot dewasa panjangnya dapat melampaui 20 cm tetapi
rata-rata panjangnya sekitar 5-10 cm. Sedangkan berat rata-rata bekicot
kurang lebih adalah 32 gram (Cooling, 2005). Skema morfologi bekicot
dapat dilihat di Gambar 1.
Bekicot lebih memilih memakan tumbuh-tumbuhan yang busuk,
hewan, lumut, jamur, dan alga. Bekicot juga dapat menyebabkan
kerusakan yang serius pada tanaman pangan dan tanaman hias (Neehall,
2004).
commit to user
d. Asal-Usul
Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raunt dan Baker, 2002).
Di beberapa wilayah di Eropa, Asia, dan Afrika, bekicot dijadikan
e. Habitat dan daerah distribusi
Negara-negara dimana terdapat bekicot (Acha tina fulica) memiliki
iklim tropis yang hangat, suhu ringan sepanjang tahun, dan tingkat
kelembaban yang tinggi (Venette dan Larson, 2004). Spesies ini dapat
hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan lahan basah, hutan alami,
semak belukar, dan daerah perkotaan. Bekicot dapat hidup secara liar di
hutan maupun di perkebunan atau tempat budidaya (Raut dan Barker,
2002). Untuk bertahan hidup, bekicot perlu temperatur di atas titik beku
sepanjang tahun dan kelembaban yang tinggi di sepanjang tahun. Pada
musim kemarau, bekicot menjadi tidak aktif atau dorman untuk
menghindari sinar matahari (Venette dan Larson 2004). Bekicot
(Acha tina fulica) tetap aktif pada suhu 9°C hingga 29°C, bertahan pada
suhu 2°C dengan cara hibernasi, dan pada suhu 30°C dengan keadaan
commit to user
f. Sifat dan khasiat bekicot
Bekicot dikatakan mempunyai banyak manfaatnya dari daging
hingga ke lendirnya. Bekicot merupakan sumber protein hewani yang
bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang
lengkap di samping mempunyai kandungan zat besi yang tinggi
(Udofia, 2009).
Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu
glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul-molekul tersebut
terutama disusun dari gula sulfat atau karbohidrat, protein globuler
terlarut, asam urat, dan oligoelemen (tembaga, seng, kalsium, dan besi).
Glikosaminoglikan yang terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini
terkait dengan golongan heparin dan heparin sulfat. Glikosaminoglikan
dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif fungsi sel, berperan pada
interaksi matriks sel, proliferasi fibroblas, spesialisasi, dan migrasi,
serta secara efektif mengontrol fenotip seluler. Glikokonjugat utama
pada lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh
granula-granula yang terdapat di dalam tubuh bekicot dan terletak di
permukaan luar. Lendir bekicot juga mengikat kation divales seperti
tembaga (II) yang dapat mempercepat proses angiogenesis yang secara
tidak langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka (Kim et
commit to user 2. Luka (Vulnus)
Luka atau vulnus adalah putusnya keseimbangan kulit dan jaringan di
bawah kulit oleh karena trauma (Sutawijaya, 2009).Penyebab luka adalah
trauma yang dapat berupa:
a. Trauma fisik
Trauma fisik ini dapat disebabkan oleh banyak hal, di antaranya:
1) Benda tajam
2) Benturan benda tumpul
3) Kecelakaan
4) Tembakan
5) Gigitan binatang
Trauma fisik ini menyebabkan timbulnya bermacam-macam luka.
b. Trauma kimiawi
Trauma kimiawi ini biasanya terjadi karena tersiram oleh zat-zat
kimia.
c. Trauma termis
Trauma termis ini bisa jadi disebabkan beberapa hal di antaranya:
1) Air panas
2) Uap air
3) Kena api atau terbakar
commit to user
d. Trauma elektris
Trauma elektris ini bisa jadi disebabkan beberapa hal, diantaranya:
1) Listrik
2) Petir
Trauma kimiawi, termis, dan elektris ini menimbulkan luka bakar
(combustio) (Sutawijaya, 2009).
Menurut Sutawijaya (2009), luka dibagi 2 jenis, yakni:
a. Luka tertutup
Luka ini adalah luka di mana kulit korban tetap utuh dan tidak ada
hubungan antara jaringan di bawah kulit dengan dunia luar, jadi
kerusakannya diakibatkan trauma benda tumpul. Luka tertutup yang
dikenal umumnya adalah luka memar yang dapat digolongkan dalam 2
jenis yakni:
1) Kontusio, di mana kerusakan jaringan di bawah kulit yang mana
dari luar hanya tampak sebagai benjolan.
2) Hematoma, di mana kerusakan jaringan di bawah kulit disertai
perdarahan sehingga dari luar tampak kebiruan (Sutawijaya, 2009).
b. Luka terbuka
Luka terbuka adalah luka di mana kulit atau jaringan di bawah kulit
mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah karena terkena benda
tajam, tembakan, atau benturan keras dari benda tumpul pada
kecelakaan lalu lintas. Macam-macam luka terbuka, di antaranya
commit to user
1) Luka lecet (ekskoriasi)
Yang dimaksud luka lecet ini adalah apabila permukaan kulit
terkelupas akibat pergeseran dengan benda yang keras dan kasar
(Sutawijaya, 2009).
2) Luka gigitan (vulnus ma rsum)
Luka ini biasanya ditimbulkan akibat gigitan binatang seperti
anjing, kucing, harimau, beruang, dan lain-lain (Sutawijaya,
2009).
3) Luka iris / sayat (vulnus scisum)
Luka ini biasanya ditimbulkan oleh irisan benda yang bertepi
tajam: seperti pisau, silet, parang, dan sejenisnya. Luka yang
timbul biasanya akan berbentuk memanjang, tepi luka berbentuk
lurus, akan tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak mengalami
kerusakan (Sutawijaya, 2009).
4) Luka bacok (vulnus ca esum)
Luka bacok pada umumnya diakibatkan kecelakaan lalu lintas
atau kecelakaan lain. Tepi luka berupa garis yang tidak teratur dan
jaringan kulit di sekitar luka ikut mengalami kerusakan
(Sutawijaya, 2009).
5) Luka robek (vulnus traumaticus)
Luka robek ini biasanya merupakan luka yang disebabkan
oleh benda berujung runcing, mulut luka lebih sempit
commit to user
terdorong masuk ke dalam luka, misalnya tusukan pisau,
menginjak paku, dan lain sebagainya (Sutawijaya, 2009).
6) Luka tembak (vulnus sclopetinus)
Luka ini ditimbulkan oleh tembakan peluru (timah panas).
Kulit yang kena luka tembak biasanya akan terasa terbakar.
Menurut Sutawijaya (2009), jenis luka tembak ini ada dua macam,
yakni:
a) Mengeram (vulnus penetrans)
b) Menembus (vulnus perfora ntes)
7) Luka hancur (vulnus la cerum)
Luka ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan yang berat.
Bentuk luka ini tidak teratur dan mengenai permukaan yang luas
mengalir ke otak dan jantung berkurang (Sutawijaya, 2009)
.
Vulnus harus dibedakan dari ulkus. Ulkus adalah luka terbuka pada
permukaan kulit atau mukosa yang terjadi akibat kematian jaringan yang
commit to user
menyebabkan ulkus berbau. Ulkus bisa mengakibatkan hilangnya lapisan
dari epidermis, bagian dari dermis, dna bahkan lemak subkutan. Suatu
ulkus yang muncul pada kulit sering terlihat sebagai jaringan yang
meradang luas dan warnanya memerah (Darmansjah, 2009).
3. Proses penyembuhan luka
Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami cedera, terjadi peristiwa
perusakan sekaligus penyiapan sel yang bertahan hidup untuk melakukan
replikasi. Berbagai rangsang yang menginduksi kematian beberapa sel
dapat memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang
direkrut tidak hanya membersihkan debris nekrotik, tetapi juga
menghasilkan mediator yang merangsang sintesis matriks ekstraselular
yang baru. Oleh karena itu, menurut Cotran dan Mitchell (2007a), pada
proses peradangan, pemulihan dimulai sangat dini dan melibatkan dua
proses yang sangat berbeda:
a. Regenerasi jaringan yang mengalami jejas oleh sel parenkim dari jenis
yang sama.
b. Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu
jaringan parut.
Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi
kedua proses. Regenerasi dan pembentukan jaringan parut juga melibatkan
mekanisme yang serupa, yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel,
serta sintesis matriks (Cotran dan Mitchell, 2007a). Oleh karena itu,
commit to user
fase hemostasis, inflamasi, proliferasi atau granulasi, dan fase remodeling
atau maturasi, dijelaskan secara terpisah pada pembahasan selanjutnya,
kenyataannya keempat fase tersebut saling berkesinambungan dan
tumpang-tindih antara satu fase ke fase lainnya.
1) Hemostasis
Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus
mengalami konstriksi dan retraksi (spasme vaskuler) disertai reaksi
hemostasis. Fase hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket (membentuk sumbat trombosit), dan
bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang
keluar dari pembuluh darah (Guyton dan Hall, 1997; Sherwood, 2001).
Pembentukan bekuan (koagulasi darah) memperkuat sumbat
trombosit dan mengubah darah di sekitar tempat cedera menjadi suatu
gel yang tidak mengalir. Sebagian besar faktor yang diperlukan untuk
pembekuan darah selalu terdapat di dalam plasma dalam bentuk
prekursor inaktif. Sewaktu pembuluh mengalami cedera, kolagen yang
terpapar kemudian mengawali reaksi berjenjang yang melibatkan
suksesif faktor-faktor pembekuan tersebut, yang akhirnya mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin, suatu molekul berbentuk benang
yang tidak larut, ditebarkan membentuk jaringan bekuan; jaring ini
kemudian menangkap sel-sel darah dan menyempurnakan
pembentukan bekuan. Darah yang telah keluar ke dalam jaringan juga
commit to user
yang juga memungkinkan terjadinya proses pembekuan. Jika tidak lagi
diperlukan, bekuan darah dilarutkan oleh plasmin, suatu faktor
fibrinolitik yang juga diaktifkan apabila berkontak dengan kolagen
(Sherwood, 2001).
Komponen hemostasis akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin
yang meliputi faktor pertumbuhan epidermis (epiderma l growth fa ctor,
EGF), faktor pertumbuhan mirip insulin (insulin-like growth fa ctor,
IGF), faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (pla telet-derived
growth fa ctor, PDGF), dan faktor pertumbuhan β yang bertransformasi
(beta transforming growth fa ctor, TGF-β). yang berperan untuk
terjadinya kemotaksis neutrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan
fibroblas. Fibroblas ini nantinya akan membentuk jaringan parut dalam
proses penyembuhan luka. Bersamaan dengan ini terjadi pula fase
inflamasi. Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka hingga 4-5 hari
(Guyton dan Hall, 1997; Sherwood, 2001).
2) Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira
hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan
menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya
dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit
yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala
commit to user
darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 1997).
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin
yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi
cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi
radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar
(rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan
(tumor) (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakkan leukosit
menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena
daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang
membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit
yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran
luka dan bakteri ini (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban
karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya
dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah (Sjamsuhidajat dan de Jong,
1997).
3) Proliferasi atau granulasi
Proliferasi sel secara umumnya dapat dirangsang oleh faktor
pertumbuhan intrinsik, jejas, kematian sel, atau bahkan oleh deformasi
mekanis jaringan. Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui
commit to user
sel. Siklus sel tersebut terdiri atas (secara berurutan) fase pertumbuhan
prasintesis 1, atau G1; fase sintesis DNA, atau S; fase pertumbuhan
pramitosis 2, atau G2; dan fase mitosis, atau M. Sel istirahat berada
dalam keadaan fisiologis yang disebut G0 (Cotran dan Mitchell,
2007a).
Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan pemusnahan
dan pembuangan jaringan yang rusak (melalui proses peradangan yang
telah disebutkan di atas), regenerasi sel atau pembentukan jaringan
granulasi. Siklus sel terdiri dari fase G1 (prasintesis), S (sintesis DNA),
G2 (pramitosis), dan M (mitosis). Sel-sel inaktif yang berada dalam
keadaan fisiologik disebut G0. Meskipun sebagian besar jaringan
tersusun terutama dari sel-sel dalam G0 (yang secara berkala memasuki
siklus sel), terdapat juga kombinasi sel yang selali membelah,
sel-sel yang mengadakan diferensiasi akhir, dan sel-sel-sel-sel induk. Menurut
Cotran dan Mitchell (2008), jaringan tubuh dibagi menjadi tiga
kelompok menurut kemampuan proliferasinya:
1) Sel yang terus-menerus membelah (labil): sel-sel ini merupakan
sel-sel yang beregenerasi dengan cepat dengan cara berproliferasi
sepanjang hidupnya dan menggantikan sel-sel yang rusak
(misalnya, sel-sel epitel permukaan dan sel-sel hematopoisis
sumsum tulang). Sel ini mempunyai fase G0 (fase istirahat) yang
singkat. Biasanya, sel-sel matur berasal dari sel-sel induk dengan
commit to user
kemampuan yang beragam untuk berdiferensiasi (Cotran dan
Mitchell, 2008).
2) Sel inaktif (stabil): Sel-sel tersebut berada pada fase G0 pada waktu
yang lama tetapi mempunyai kemampuan untuk masuk siklus
mitosis sel di mana dibutuhkan. Sel-sel ini normalnya terlibat
dalam proses replikasi tingkat rendah karena mempunyai kapasitas
regenerasi terbatas, tetapi mampu melakukan pembelahan cepat
ketika merespons rangsangan (misalnya, sel-sel hati, ginjal,
fibroblast, otot polos, dan sel-sel endotel) (Cotran dan Mitchell,
2008).
3) Sel yang tidak membelah (permanen): sel-sel ini tidak dapat
melakukan pembelahan dalam kehidupan pasca kelahiran
(misalnya: sel-sel neuron, otot skeletal, dan otot jantung). Tidak
terjadi regenerasi sehingga kerusakan sel permanen merupakan
kelainan ireversibel dan bilamana luas akan mengakibatkan
gangguan fungsional permanen (Cotran dan Mitchell, 2008).
Jejas jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan pada
sel parenkim dan kerangka stroma menimbulkan suatu keadaan yang
pemulihannya tidak dapat dilaksanakan melalui regenerasi parenkim
saja. Dalam kondisi seperti ini, pemulihan terjadi melalui
penggantian sel parenkim nonregeneratif oleh jaringan ikat. Terdapat
tiga komponen umum proses ini (Cotran dan Mitchell, 2007b):
commit to user
b) Migrasi dan proliferasi fibroblas.
c) Deposisi matriks ekstraselular.
Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui
emigrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel.
Rekrutmen dan stimulasi fibroblas dikendalikan oleh banyak faktor
pertumbuhan, meliputi PDGF, faktor pertumbuhan fibroblas dasar
(ba sa l fibrobla st growth fa ctor, bFGF), dan TGF-β. Sumber dari
berbagai faktor ini antara lain: endotel teraktivasi dan sel radang
terutama sel makrofag (Cotran dan Mitchell, 2007b).
Dalam tiga sampai lima hari, muncul jenis jaringan khusus yang
mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan
granulasi. Gambaran makroskopisnya adalah berwarna merah muda,
lembut, dan bergranula, seperti yang terlihat di bawah keropeng pada
luka kulit. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi
fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam
matriks ekstraselular yang longgar (Cotran dan Mitchell, 2007b).
Pada awal penyembuhan, fibroblas mempunyai kemampuan
kontraktil dan disebut miofibroblas, yang mengakibatkan tepi luka
akan tertarik dan kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan
melekat. Dengan berlangsungnya penyembuhan, maka fibroblas
bertambah. Sel ini menghasilkan kolagen, sehingga jaringan
granulasi yang kemudian akan mengumpulkan matriks jaringan ikat
commit to user
(pembentukan jaringan parut kolagen), yang dapat melakukan
remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu (Cotran dan
Mitchell, 2007b)
4) Remodeling atau maturasi
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari
penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan
gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru
terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan
berakhir apabila semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha
menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses
penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi
matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang
berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang
ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan
lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pengerutan maksimal terlihat
pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan
regangan kira-kira 80 % kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai
kira-kira tiga sampai enam bulan setelah penyembuhan (Sjamsuhidajat
dan de Jong, 1997).
4. Bioplacenton
Bioplacenton merupakan sebuah obat topikal berbentuk gel yang
dikemas dalam tube. Bioplacenton memiliki kandungan neomisin
commit to user
pada bahan ini dapat menstimulasi terjadinya regenerasi sel, sedangkan
neomisin sulfat dapat berperan sebagai bakteriosid. Indikasi
digunakannya bioplacenton adalah luka bakar, ulkus kronis, luka yang
lama sembuh dan terdapat granulasi, ulkus dekubistus, eksim
pioderma, impetigo, furunkolosis dan infeksi kulit lainnya (Kalbe
commit to user B. Kerangka Pemikiran
commit to user
Keterangan :
1 : Mencegah infeksi
2 : Membantu pembentukan ikatan silang kolagen
3 : Merangsang rekrutman sel radang
4 : Pembentukan pembuluh darah baru
5 : Aktivasi fibroblas
6 : Memudahkan komponen peradangan sampai ke tempat jejas dan stimulasi
peradangan lokal
7 : Mempercepat angiogenesis
C. Hipotesis
Pemberian topikal lendir bekicot (Acha tina fulica) menyebabkan efek
yang berbeda pada penyembuhan luka bersih pada tikus putih jika
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan the post test
only control group design.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia dan Histologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan Mei
2010.
C. Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Ra ttus
norvegicus) galur Wistar kelamin jantan umur 3 bulan dengan berat 200-300
gram. Besar sampel yang digunakan sebesar dua puluh tujuh (27) ekor tikus
putih. Sampel sebesar 27 ekor tikus, dihitung berdasarkan rumus Federer
yaitu ( t-1 ) ( n-1 ) ≥ 15 dimana t = banyaknya kelompok mencit dan n =
jumlah tikus untuk tiap kelompok (Purawisastra, 2001).
commit to user
Jadi didapatkan jumlah sampel adalah > 8.5 tiap kelompok. Pada
penelitian ini digunakan 9 ekor tikus putih untuk setiap kelompok sehingga
memenuhi syarat dalam banyaknya sampel yang digunakan. Sampel pada
penelitian ini ditentukan dengan kriteria-kriteria tertentu seperti memilih tikus
yang mempunyai umur dan berat badan yang sama, sehat, tidak cacat, dan
berjenis kelamin jantan. Sampel dipilih sesuai kriteria subjek penelitian dan
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok secara acak.
Peneliti membagi sampel menjadi 3 kelompok di mana tiap kelompok
terdapat 9 tikus putih sehingga dalam penelitian ini membutuhkan 27 tikus
putih dari populasi yang ada. Pembagian tersebut dilakukan secara random
dengan cara pengundian. Peneliti menambahkan 10% dari jumlah populasi
yaitu satu ekor pada tiap-tiap kelompok sebagai objek cadangan. Kelompok K
(-) adalah kelompok kontrol, di mana tikus yang dilukai tidak diberi lendir
bekicot maupun gel bioplacenton. Kelompok P adalah kelompok tikus yang
dilukai dan diberi lendir bekicot. Sedangkan kelompok K (+) adalah
kelompok tikus yang dilukai dan diberi perlakuan kontrol berupa gel
bioplacenton.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan adalah ra ndom purposive sa mpling,
yaitu pemilihan subjek berdasarkan ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya
commit to user E. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian ini adalah the post test only control group design.
Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian
Keterangan:
K (-) = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu di di olesi
alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1
cmdan dibiarkan.
P = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu diolesi
alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1
cm, lalu diolesi lendir bekicot pada luka dan ditutup dengan plester.
K (+) = Kontrol negatif , tikus yang dicukur punggungnya, lalu diolesi
alkohol 70%, lalu dilukai berbentuk lingkaran dengan diameter 1
cm lalu diolesi bioplacenton pada luka dan ditutup dengan plester.
HK (-) = Pengamatan hasil penyembuhan luka pada kelompok K(-)
HP = Pengamatan hasil penyembuhan luka pada kelompok P
commit to user F. Identifikasi variabel penelitian
1. Variabel bebas :
a. Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica)
b. Pemberian gel bioplacenton
2. Variabel terikat :
Proses penyembuhan luka
3. Variabel perancu
a. Variabel perancu terkendali
1) Genetik
2) Jenis kelamin
3) Umur
4) Berat badan
5) Makanan dan minuman yang dikonsumsi objek penelitian
6) Kemungkinan terjadinya infeksi
b. Variabel perancu tak terkendali
1) Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot (Acha tina
fulica).
2) Kondisi psikologis tikus.
3) Sistem imunitas masing-masing tikus
commit to user G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas:
a. Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica)
Lendir bekicot adalah lendir yang didapatkan dari bekicot hidup
yang dipecahkan cangkangnya lalu ditampung di tempat yang
steril. Lendir bekicot dioleskan secukupnya dengan cotton bud ke
seluruh luka kemudian dilihat kecepatan perkembangan
penyembuhan luka dengan cara diamati secara histologis. Lendir
bekicot dioleskan setiap plester diganti, yaitu dua kali sehari. Skala
pengukuran yang digunakan adalah skala nominal.
b. Pemberian gel bioplacenton
Bioplacenton merupakan salah satu sediaan salep.
Komposisinya terdiri dari neomisin sulfat 0,5% dan ekstrak
plasenta 10% (Santoso, 2009). Pada penelitian ini bioplacenton
dioleskan secukupnya dan secara merata pada luka sebanyak dua
kali sehari dengan jumlah secukupnya. Skala pengukuran yang
digunakan adalah skala nominal.
2. Variabel terikat
Proses penyembuhan luka adalah tahapan atau waktu yang dibutuhkan
untuk mengembalikan luka tubuh menjadi pulih seperti semula. Proses
penyembuhan luka dilihat sampai fase proliferasi atau granulasi yaitu
terjadi sekitar hari ke lima setelah terbentuknya luka tanpa diberikan
commit to user
jaringan baru berwarna merah muda secara makroskopis yang tersusun
oleh proliferasi sel-sel fibroblast dan angiogenesis (Keast dan Orsted,
2009; Cotran dan Mitchell, 2007b; Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala numerik untuk
perhitungan sel-sel fibroblas.
3. Variabel luar terkendali
a. Genetik
Subjek penelitian yang digunakan adalah tikus putih (Ra ttus
norvegicus) galur Wistar. Walaupun tidak dapat dikendalikan secara
mutlak tetapi dapat diatasi dengan pemilihan galur yang sama, serta
dilakukan randomisasi sehingga faktor genetik dapat dikatakan
homogen.
b. Jenis kelamin
Tikus putih yang digunakan sebagai objek penelitian adalah tikus
putih dengan kelamin jantan dengan harapan sampelnya homogeny
dan keadaan biologisnya lebih stabil. Pemilihan ini dilakukan untuk
menghindari adanya pengaruh hormon esterogen yang mungkin
terjadi, yakni keadaan seperti siklus menstruasi dan kehamilan.
c. Umur
Untuk membuat sampel homogeny, tikus putih yang digunakan
adalah tikus putih dengan umur kurang lebih tiga bulan.
d. Berat badan
commit to user
e. Makanan dan minuman subjek penelitian
Tikus putih diberikan makanan berupa pellet dan minuman air
PAM secara a d libitum. Tiap kandang diberikan makanan sebanyak 25
gram per hari dan minuman sebanyak ± 220 ml per hari.
f. Infeksi
Disterilkan dengan alkohol 70 % serta dilakukan penutupan
terhadap luka dengan menggunakan plester steril. Masing-masing
tikus ditempatkan di kandang yang berbeda untuk menjaga sanitasi
serta mencegah terjadinya infeksi.
4. Variabel luar tak terkendali
a. Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot (Acha tina fulica)
Makanan dan minuman yang dikonsumsi bekicot tidak dapat
dikendalikan karena bekicot hidup liar di alam bebas.
b. Kondisi psikologis tikus
Kondisi psikologis tikus akibat perlakuan dapat mempengaruhi
kelancaran penelitian. Untuk mengatasinya, tikus tersebut diadaptasi
selama beberapa hari lalu kondisi kandang dibuat nyaman, cukup
makan, cukup minum, dan pencahayaan yang cukup.
c. Sistem imunitas dari masing-masing tikus.
Sistem imun tubuh, akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh
terhadap luka, kematian jaringan, dan adanya infeksi. Oleh karena itu
commit to user
d. Koagulopati
Koagulopati, merupakan gangguan pembekuan darah yang bisa
menghambat penyembuhan luka. Kelainan bawaan tikus yang tidak
dapat dikendalikan dan sulit dideteksi secara dini membutuhkan
pemeriksaan terlebih dahulu.
H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian
1. Alat-alat yang digunakan
a. Klem
b. Gunting
c. Syringe (3 mL) steril sekali pakai
d. Jarum (0.5 x 25 mm) sekali pakai
c. Tikus (Ra ttus norvegicus) Strain Wistar kelamin jantan dengan umur 3
bulan dengan berat 200-300 gram
commit to user
e. Makanan hewan percobaan (pelet)
f. Air PAM
I. Cara Kerja
1. Penyediaan Lendir Bekicot:
Bekicot hidup dibersihkan dengan air mengalir kemudian dikeringkan.
Setelah itu cangkang bekicot disterilkan dengan alkohol 70%. Ujung
cangkang dipecahkan kemudian lendir yang mengalir ditampung ke dalam
wadah steril.
2. Percobaan:
Dilakukan adaptasi terhadap tikus di Laboratorium Biokimia Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta selama 5 hari dan
dilakukan pengelompokkan dengan teknik randomisasi menjadi 3
kelompok, yaitu kelompok tikus kontrol negatif [K (-)], kelompok tikus
percobaan (P), dan kelompok tikus kontrol positif [K(+)] di mana
masing-masing kelompok terdiri dari sembilan tikus. Selama percobaan, ketiga
kelompok tikus diberi makan pelet dan minuman dari air PAM secara a d
libitum.
Sebelum memulai percobaan, siapkan syringe dengan 2 mL lidokain 2
% untuk anestesi. Cukur bersih bagian belakang tikus dengan
menggunakan pisau cukur dan diberi tanda berbentuk lingkaran dengan
ukuran diameter 1 cm. Sterilisasi dilakukan dengan mengoleskan alkohol
commit to user
injeksikan pada tikus putih secara intra kutan. Tikus diletakkan kembali ke
kandang supaya tidak gelisah. Tunggu kira-kira 5-10 menit agar efek
anastesi bekerja dan dilakukan pengecekkan terhadap efek anestesi tikus
dengan cara memberikan rangsang sakit pada daerah yang dianestesi.
Apabila efek anestesi telah bekerja, kulit bagian belakang tikus dicubit
dengan klem dan digunting berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 1
cm. Pada tikus kelompok K(-), luka ditutup dengan plester luka.
Sementara pada kelompok tikus P, oleskan lendir bekicot dengan cotton
bud pada luka sebelum luka ditutup dengan plester luka. Lalu kelompok
tikus K(+) diolesi dengan gel bioplacenton dan ditutup dengan plester
luka. Kemudian ketiga kelompok tikus dimasukkan kembali ke kandang
masing-masing.
Setiap hari plester luka diganti dan amati luka pada tikus. Pada tikus
kelompok P, oleskan lagi lendir bekicot setiap kali mengganti plester luka.
Begitu juga dengan kelompok K(+) yang diolesi gel bioplacenton setiap
kali mengganti plester luka. Plester luka, lendir bekicot, dan gel
bioplacenton tidak lagi diberikan setelah terbentuk jaringan granulasi.
Jaringan granulasi akan terbentuk pada hari ketiga sampai kelima, maka
pada hari kelima dilakukan pembuatan preparat histologis dari jaringan
tubuh yang mengalami perlukaan.
3. Pengamatan dan penilaian:
Pengamatan dan penilaian terhadap penyembuhan luka dilakukan pada
commit to user
dengan cara dibuat menjadi sediaan histologis. Pada hari kelima setelah
perlakuan diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara
cervica l dislocation. Kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya
dibuat preparat histologi dengan metode blok paraffin dengan pengecatan
HE. Dari 27 hewan coba yang ada dibuat 3-4 preparat untuk
masing-masing hewan coba. Pengamatan preparat dengan pembesaran 1000 kali
untuk mengamati jumlah fibroblas yang tampak, kemudian fibroblas
dihitung dalam empat lapang pandang yang berbeda. Hasil yang diperoleh
dari empat lapang pandang tersebut kemudian dijumlah dan selanjutnya
dibandingkan kelompok lainnya dengan uji Onewa y ANOVA. Jika terdapat
perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Fase
proliferasi atau granulasi ditandai dengan munculnya jaringan baru
berwarna pink secara makroskopis yang tersusun oleh proliferasi sel-sel
fibroblast dan angiogenesis (Keast dan Orsted, 2009; Mitchell dan Cotran,
2007b; Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).
J. Teknik analisis data
Data yang diperoleh diuji normalitasnya menggunakan uji Shapiro-Wilk
karena besar sampel ≤ 50 dan p-va lue > 0,05. Kemudian, dilakukan uji
varians menggunakan Levene’s test. Uji hipotesis menggunakan uji One wa y
ANOVA (Ana lysis of Va riance) untuk mengetahui adanya perbedaan jumlah
sel fibroblas antara kelompok K (-), kelompok P, dan kelompok K (+).
Dengan syarat skala variabel dependen berupa skala numerik, distribusi data
commit to user
bermakna maka dilanjutkan dengan uji LSD (Lea st Significant Difference)
dengan derajat kemaknaan α = 0,05 untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan mean di antara tiga kelompok. Data diolah dengan program
commit to user BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Data hasil penelitian berupa jumlah sel fibroblas pada preparat
histologis yang berasal dari luka yang dibuat pada tikus putih yang selama
empat hari berturut-turut telah menerima perlakuan. Jumlah sel fibroblas
dihitung pada empat lapang pandang berbeda dengan menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 1000 kali. Preparat tersebut dibuat pada hari
kelima setelah pembuatan luka dilakukan. Jumlah sel fibroblas dihitung
dengan karakteristik berbentuk stelata untuk fibroblas yang masih muda,
maupun berbentuk bulat untuk fibroblas yang sudah aktif menghasilkan
serabut-serabut fibrin.
Hasil pengamatan jumlah sel fibroblas untuk masing-masing
kelompok akan disajikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.1 Rata-Rata Jumlah Sel Fibroblas yang Diperoleh dari 4 Lapang
Pandang untuk Masing-Masing Kelompok Percobaan
Kelompok Mean Standar Deviasi
K (-) (tanpa pemberian obat) 312.33 107.16576
P (lendir bekicot) 488.88 100.03000
commit to user
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah fibroblas pada kelompok
kontrol negatif K (-) mempunyai rata-rata sebesar 312,33. Pada kelompok
perlakuan (P) yang diberikan lendir bekicot (Acha tina fulica) secara topikal
selama 4 hari berturut-turut memiliki jumlah rata-rata sel fibroblas yang lebih
besar yaitu 488,88. Sedangkan pada kelompok kontrol positif K (+) yang
diberikan gel bioplacenton selama 4 hari berturut-turut memiliki rata-rata
jumlah sel fibroblas yang lebih besar dari kelompok K (-) namun lebih kecil
dari kelompok P yaitu 466. Untuk melihat lebih jelas perbedaan dari rata-rata
inti sel tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
Gambar 4.1 Histogram Perbedaan Rata-Rata Jumlah Fibroblas
Rata-rata jumlah sel fibroblas yang terbesar adalah pada kelompok
perlakuan P dan yang terkecil adalah pada kelompok kontrol negatif K (-).
commit to user
Gambar 4.2 Pengamatan Mikroskopis Sel fibroblas menggunakan
Mikroskop dengan Perbesaran 1000x
B. Analisis Data
Data tersebut kemudian diuji normalitas data dengan menggunakan
uji Shapiro Wilk. Uji ini bertujuan menguji apakah sebaran data yang ada
dalam distribusi normal atau tidak. Pada uji one sampel Shapiro Wilk
didapatkan nilai signifikansi pada data jumlah sel fibroblas K (-) sebesar
0,138, K (+) I 0,733, dan P 0,138. Nilai-nilai ini kemudian dibandingkan
dengan α = 0,05, sehingga signifikasi (p>0,05) dengan demikian Ho diterima,
yang artinya data berdistribusi normal. Kemudian, dilakukan uji homogenitas
menggunakan Levene’s test dan didapatkan nilai p = 0,633 (p>0,05) untuk
data jumlah sel fibroblas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
varians antara kelompok yang dibandingkan (varians data homogen). Oleh
karena data telah berdistribusi normal dan varians data homogen, analisis data
diputuskan menggunakan uji One Wa y Anova.
Uji One Wa y Anova dengan tingkat signifikansi 5% (α = 0,05)
dilakukan untuk membandingkan jumlah sel fibroblas antara ketiga kelompok
commit to user
sel fibroblas 0,006 dimana signifikasi p<0,05, sehingga Ho ditolak, yang
artinya data diantara ketiga kelompok dalam penelitian ini terdapat perbedaan
yang signifikan, dimana Ho adalah data diantara ketiga kelompok tidak
terdapat perbedaan yang signifikan.
Tabel 4.2 Hasil Uji One Wa y Anova antara Ketiga Kelompok
Variabel (dependen) p Pengambilan keputusan
Jumlah sel Fibroblas 0,006 (p<0,05) Ho ditolak à signifikan
Untuk mengetahui letak hubungan efektivitas dari ketiga kelompok
tersebut selanjutnya dilakukan Post Hoc Test dengan uji LSD. Rekap
pengujian selengkapnya disajikan dalam tabel-tabel berikut ini:
Tabel 4.3 Hasil Uji Post Hoc Test LSD Jumlah Sel Fibroblas
No. Pasangan kelompok Signifikansi Simpulan
1. K(-) – K(+) 0,003 Berbeda signifikan
2. K(-) – P 0,009 Berbeda signifikan
3. K(+) – P 0,676 Tidak signifikan
Pada tabel tersebut terlihat perbedaan jumlah rata-rata jumlah sel
fibroblas yang signifikan antara kelompok kontrol negatif K (-) jika
dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu pada kelompok perlakukan
commit to user
Sedangkan antara kelompok kontrol positif K (+) dan kelompok P tidak
commit to user
banyaknya jumlah sel fibroblas pada preparat histologis yang diambil dari
perlukaan pada tikus putih. Pada tabel 4.1 dapat dilihat kelompok K (-) memiliki
jumlah sel fibroblas yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok P dan
K (+). Pemberian lendir bekicot (Acha tina fulica) dan gel bioplacenton
menyebabkan perbedaan efek penyembuhan luka yang ditandai oleh adanya
penambahan jumlah sel fibroblas. Hal ini terjadi karena lendir bekicot (Acha tina
fulica) mengandung zat heparan sulfat yang dapat mengaktivasi proliferasi
fibroblas (Kim et a l., 1996; Sen et a l., 2002). Sedangkan dikutip dari Kalbe Farma
(2010), gel bioplacenton mengandung ekstrak plasenta sehingga mempercepat
proliferasi sel-sel pada proses penyembuhan luka, termasuk fibroblas. Jumlah sel
fibroblas diamati dengan menghitung sel fibroblas pada empat lapang pandang
berbeda, baik fibroblas aktif yang berbentuk bulat dan diameter besar, maupun
fibroblas muda yang berbentuk stelat. Dari pengamatan tersebut, lapang pandang
dengan sel-sel fibroblas yang aktif (berbentuk bulat) memiliki lapisan
benang-benang fibrin yang lebih tebal dibandingkan dengan lapang pandang dengan
sel-sel fibroblas muda yang berbentuk stelat.
commit to user
Pengamatan pada penelitian ini dilakukan pada hari kelima di mana
diperkirakan sudah terjadi proliferasi fibroblas. Kelemahan pada penelitian ini
adalah pengamatan hanya dilakukan pada sebuah titik waktu, yaitu pada hari
kelima sehingga jumlah fibroblas yang didapatkan belum tentu terdapat pada
angka maksimal. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuryana, Suryadi, dan
Harijadi (2007), kelompok peneliti mengamati percepatan penyembuhan luka
pada mencit yang diberikan ekstrak umbi teki (Cyperus rotundus) dan pemberian
ekstrak plasenta serta neomisin sulfat sebagai kontrol negatif. Kelompok peneliti
melakukan pengamatan pada hari ke tiga, tujuh, dan duabelas. Hal-hal yang
diamati pada penelitian tersebut adalah jumlah fibroblas, jumlah sel leukosit
PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel, dan kepadatan
serabut kolagen. Banyakya titik waktu dan hal yang diamati pada penelitian
tersebut membuat penelitian tersebut semakin baik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dilakukan pengamatan pada
jumlah fibroblas karena jumlah fibroblas dapat dianggap sebagai parameter
penyembuhan luka.
Data hasil perhitungan dianalisis dengan menggunakan uji One Wa y Anova
dan apabila terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil
uji One Wa y Anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga
kelompok perlakuan (p<0,05). Hasil uji LSD menunjukkan perbedaan yang
bermakna antara kelompok K (-) – K (+) dan K (-) - P. Sedangkan tidak terdapat
perbedaan signifikan antara kelompok K (+) – P. Hasil uji LSD antara kelompok
commit to user
bioplacenton selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan adanya perbedaan yang
bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat rata-rata jumlah sel fibroblas
yang lebih besar pada kelompok K (+). Dari gambar 4.1 dapat dilihat rata-rata
jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33 dan pada kelompok K
(+) sebesar 466. Menurut de Jong (1997), proses penyembuhan yang terjadi pada
jaringan yang rusak dapat dibagi menjadi fase hemostasis, inflamasi, proliferasi,
dan granulasi. Penggunaan gel bioplacenton sebagai obat luka pada tikus putih
dapat membantu proses proliferasi yang merupakan proses penting pada
penyembuhan luka sehingga pada pengamatan didapatkan hasil yang bermakna.
Hasil uji LSD antara kelompok K (-) (tidak diberikan apa-apa) dengan
kelompok P (diberikan lendir bekicot selama 4 hari berturut-turut) menunjukkan
adanya perbedaan yang bermakna. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat
rata-rata jumlah sel fibroblas yang lebih besar pada kelompok P. Dari gambar 4.1
dapat dilihat rata-rata jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol sebesar 312,33
dan pada kelompok P sebesar 488.88. Menurut Kim et a l. (1996), lendir bekicot
(Acha tina fulica) memiliki kandungan glikokonjugat kompleks, yaitu
glikosaminoglikan dan proteoglikan. Glikosaminoglikan dan proteoglikan
merupakan pengontrol aktif fungsi sel dan berperan dalam proliferasi fibroblas.
Hasil uji LSD antara kelompok P dengan kelompok K (+) menunjukkan
adanya perbedaan yang tidak bermakna. Pada tabel 4.1 tertera bahwa rata-rata
jumlah sel fibroblas pada kelompok P adalah 488,88 sedangkan rata-rata jumlah
sel fibroblas pada kelompok K (+) adalah 466. Rata-rata jumlah sel fibroblas pada
commit to user
namun menurut uji LSD perbedaan antar kedua kelompok tersebut tidak
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok K (+) dan kelompok P dalam mempercepat penyembuhan luka.
Perlakuan yang diberikan pada kelompok P dan kelompok K (+), yaitu pemberian
lendir bekicot (Acha tina fulica) dan pemberian gel bioplacenton, sama-sama
mengandung zat yang dapat mempercepat penyembuhan luka meskipun tingkat
efektivitas lendir bekicot sedikit lebih tinggi dibandingkan tingkat efektivitas gel
bioplacenton. Hal ini berdasarkan atas lebih banyaknya jumlah fibroblas pada
pengamatan kelompok P dibandingkan pengamatan pada kelompok K (+)
meskipun jumlahnya tidak berbeda signifikan.
Penelitian ini dikatakan berhasil karena melalui pengamatan mikroskopis,
telah terjadi proliferasi fibroblas pada hari kelima. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Priosoeyanto (2005), yang dikutip melalui
Graha Cendekia pada tahun 2009. Penelitian Priosoeyanto (2005) membuktikan
bahwa lendir bekicot (Acha tina fulica) mampu menyembuhkan luka dua kali lebih
cepat dari pada luka yang diberi larutan normal saline.
Dari hasil dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa pemberian lendir bekicot atau gel bioplacenton secara topikal
dapat memberikan efek pada penyembuhan luka pada tikus putih yang ditandai
oleh penambahan jumlah fibroblas yang lebih banyak. Pemberian lendir bekicot
memiliki efek yang sama jika dibandingkan dengan pemberian gel bioplacenton
commit to user
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan metode-metode yang
lebih baik sehingga didapatkan hasil penyembuhan luka yang paling sempurna.
Selain itu pengamatan pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat dilakukan
dibeberapa titik waktu dan pada parameter kecepatan penyembuhan luka yang
commit to user
46
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) dan gel bioplacenton memiliki
efek yang sama dalam penyembuhan luka ditinjau dari jumlah sel fibroblas
yang dihasilkan.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada tingkatan hewan coba yang
lebih tinggi sehingga semakin mendekati aplikasi pada pengobatan
manusia.
2. Pada penelitian lebih lanjut disarankan untuk membagi kelompok hewan
coba menjadi beberapa sub-kelompok hewan coba sehingga pengamatan
dapat dilakukan di beberapa titik waktu.
3. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya terdapat penambahan indikator
penyembuhan luka lainnya selain jumlah fibroblas, misalnya jumlah sel
leukosit PMN, jumlah pembuluh darah baru, ketebalan lapisan epitel dan