• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Faktor Pencetus Migren Pada Pasien Migren di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Faktor Pencetus Migren Pada Pasien Migren di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2014"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Michael Andrianus

NIM : 120100362

Alamat : Perum TASBI Blok SS No.30, Medan

Nomor Telpon : 081377157582

Email : michaelandrianus93@gmail.com

Jenis kelamin : Laki-laki

Tempat/ Tanggal lahir : Medan / 19 Maret 1994

Warganegara : Indonesia

Agama : Katolik

Status Pendidikan : SD Budi Murni 3 (2000-2006) SMP Santo Thomas 1 (2006-2009) SMA Santo Thomas 1 (2009-2012)

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012 – sekarang)

Riwayat Organisasi : Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Santo Lukas USU (2012 – sekarang)

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

LAMPIRAN 6. Data Induk Nama Jenis

Kelamin

Umur Kelompok Umur

Aura Jenis Nyeri

Aktivitas GRN Fotofobia Fonofobia

Faktor Komorbid

A Laki-laki 40 35-50 negatif kronik ya ya negatif hipertensi

ABD Laki-laki 38 35-50 negatif episodik ya ya negatif hipertensi

AHG Laki-laki 30 19-34 visual episodik ya ya fotofobia negatif

AK Perempuan 33 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia negatif

AMS Laki-laki 76 >50 negatif episodik tidak tidak negatif hipertensi

AS Laki-laki 37 35-50 negatif episodik ya ya FF negatif

B Perempuan 49 35-50 visual episodik tidak tidak fotofobia hipertensi

B Laki-laki 56 >50 auditorik kronik tidak ya FF hipertensi

BF Laki-laki 18 19-34 visual episodik ya ya FF negatif

BS Perempuan 40 35-50 negatif kronik ya ya fotofobia dislipidemia

BT Laki-laki 30 19-34 visual episodik ya ya FF negatif

CE Perempuan 50 35-50 negatif episodik ya ya fonofobia dislipidemia

CN Perempuan 50 35-50 negatif episodik ya tidak fotofobia dislipidemia

DFS Perempuan 24 19-34 negatif episodik ya ya FF dislipidemia

DK Perempuan 47 35-50 negatif kronik ya ya fotofobia dislipidemia

DLS Laki-laki 50 35-50 negatif episodik ya tidak fonofobia dislipidemia

DMH Perempuan 22 19-34 visual episodik ya ya FF negatif

DP Perempuan 20 19-34 negatif episodik ya ya FF negatif

DRS Perempuan 32 19-34 negatif episodik ya ya negatif negatif

E Perempuan 42 35-50 negatif episodik ya ya negatif dislipidemia

EA Perempuan 28 19-34 negatif episodik tidak tidak negatif negatif

EBG Perempuan 44 35-50 negatif episodik ya ya negatif dislipidemia

(7)

EWBG Perempuan 47 35-50 negatif episodik ya ya FF dislipidemia

FA Perempuan 20 19-34 negatif episodik ya tidak fotofobia negatif

FEH Perempuan 37 35-50 visual episodik ya ya FF negatif

FP Laki-laki 45 35-50 visual kronik ya ya FF hipertensi

GRS Laki-laki 33 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia hipertensi

HML Laki-laki 32 19-34 negatif episodik ya ya FF hipertensi

HN Perempuan 64 >50 negatif episodik ya tidak negatif hipertensi

IA Perempuan 33 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia trauma kapitis

J Laki-laki 32 19-34 negatif episodik tidak tidak fotofobia negatif

JA Laki-laki 29 19-34 negatif episodik ya ya FF hipertensi

JES Perempuan 39 35-50 negatif episodik tidak ya FF dislipidemia

JS Perempuan 33 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia hipertensi

KS Perempuan 64 >50 negatif episodik ya tidak negatif dislipidemia

KSP Perempuan 23 19-34 negatif episodik ya tidak fotofobia negatif

LG Laki-laki 45 35-50 negatif episodik ya tidak FF hipertensi

LHL Perempuan 21 19-34 negatif episodik tidak ya fotofobia negatif

LR Laki-laki 15 <18 negatif episodik tidak ya FF negatif

LS Perempuan 55 >50 negatif episodik ya ya negatif trauma kapitis

LSRM Perempuan 48 35-50 negatif episodik ya ya negatif dislipidemia

M Laki-laki 44 35-50 negatif kronik ya ya negatif hipertensi

M Perempuan 20 19-34 negatif episodik ya ya negatif negatif

(8)

ME Perempuan 20 19-34 negatif episodik tidak ya fotofobia negatif

MIL Laki-laki 70 >50 negatif episodik ya tidak negatif hipertensi

MS Laki-laki 50 35-50 negatif episodik tidak tidak negatif hipertensi

MS Perempuan 20 19-34 negatif episodik tidak tidak FF negatif

MSA Laki-laki 58 >50 negatif episodik tidak tidak FF hipertensi

N Perempuan 18 <18 negatif episodik ya ya fotofobia negatif

N Perempuan 57 >50 negatif kronik ya ya fotofobia hipertensi

N Perempuan 42 35-50 negatif episodik ya tidak FF dislipidemia

N Perempuan 38 35-50 negatif kronik ya ya FF hipertensi

NL Perempuan 52 >50 negatif episodik tidak tidak fotofobia dislipidemia

NP Perempuan 36 35-50 visual episodik tidak ya FF hipertensi

NRW Perempuan 14 <18 negatif episodik ya tidak FF negatif

NS Perempuan 39 35-50 visual episodik tidak ya FF dislipidemia

OB Perempuan 21 19-34 visual episodik ya ya fotofobia negatif

PP Perempuan 62 >50 negatif episodik tidak tidak fotofobia dislipidemia

PS Laki-laki 47 35-50 negatif episodik ya tidak fonofobia dislipidemia

R Perempuan 45 35-50 visual episodik ya ya negatif dislipidemia

R Perempuan 20 19-34 visual episodik ya ya fotofobia negatif

RA Perempuan 27 19-34 negatif episodik ya tidak negatif negatif

RA Laki-laki 18 <18 negatif episodik ya tidak fotofobia negatif

RB Perempuan 43 35-50 negatif kronik ya tidak fotofobia hipertensi

RNE Perempuan 57 >50 auditorik kronik tidak ya fonofobia hipertensi

RPH Perempuan 37 35-50 visual episodik tidak ya FF trauma kapitis

RS Laki-laki 44 35-50 negatif episodik ya tidak fotofobia trauma kapitis

(9)

SK Perempuan 18 <18 negatif episodik ya tidak FF negatif

SL Perempuan 42 35-50 negatif kronik tidak ya FF hipertensi

SMS Perempuan 47 35-50 negatif kronik tidak ya fotofobia hipertensi

SNS Perempuan 32 19-34 negatif episodik tidak ya fonofobia hipertensi

SPAI Perempuan 17 <18 negatif episodik ya tidak FF negatif

SRS Perempuan 31 19-34 negatif episodik ya ya fonofobia trauma kapitis

SS Laki-laki 33 19-34 negatif kronik ya ya FF negatif

SS Perempuan 60 >50 negatif episodik ya tidak negatif dislipidemia

ST Laki-laki 32 19-34 negatif kronik ya tidak fotofobia hipertensi

ST Perempuan 27 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia hipertensi

TB Perempuan 60 >50 auditorik episodik ya ya negatif hipertensi

TP Laki-laki 25 19-34 auditorik kronik ya ya fotofobia dislipidemia

TS Perempuan 28 19-34 visual episodik tidak ya FF negatif

U Laki-laki 34 19-34 negatif kronik tidak tidak FF trauma kapitis

WP Perempuan 20 19-34 visual episodik tidak ya fotofobia negatif

WT Perempuan 41 35-50 negatif episodik ya ya fotofobia hipertensi

WWL Perempuan 31 19-34 visual episodik ya ya FF trauma kapitis

YA Laki-laki 29 19-34 visual kronik ya ya fotofobia trauma kapitis

YRS Laki-laki 21 19-34 negatif episodik tidak ya negatif trauma kapitis

RU Perempuan 39 35-50 negatif episodik ya ya fotofobia dislipidemia

NS Laki-laki 20 19-34 visual episodik ya tidak FF negatif

(10)

NAR Perempuan 24 19-34 negatif episodik ya tidak fotofobia negatif

FEH Perempuan 28 19-34 visual episodik ya tidak fonofobia hipertensi

RDS Perempuan 34 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia dislipidemia

SBM Laki-laki 31 19-34 negatif kronik ya ya negatif hipertensi

ADN Perempuan 23 19-34 negatif episodik ya ya fotofobia dislipidemia

(11)

Nama kelamin pasien umur Aura nyeri memperberat nyaman fonofobia komorbid

N Valid 109 109 109 109 109 109 109 109 109 109

(12)

Nama Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid A 1 ,9 ,9 ,9

ABD 1 ,9 ,9 1,8

ADN 1 ,9 ,9 2,8

AHG 1 ,9 ,9 3,7

AK 1 ,9 ,9 4,6

AMS 1 ,9 ,9 5,5

AS 1 ,9 ,9 6,4

B 2 1,8 1,8 8,3

BF 1 ,9 ,9 9,2

BS 1 ,9 ,9 10,1

BT 1 ,9 ,9 11,0

CE 1 ,9 ,9 11,9

CN 1 ,9 ,9 12,8

DFS 1 ,9 ,9 13,8

DK 1 ,9 ,9 14,7

DLS 1 ,9 ,9 15,6

DMH 1 ,9 ,9 16,5

DP 1 ,9 ,9 17,4

DRS 1 ,9 ,9 18,3

E 1 ,9 ,9 19,3

EA 1 ,9 ,9 20,2

EBG 1 ,9 ,9 21,1

EEB 1 ,9 ,9 22,0

EM 1 ,9 ,9 22,9

ER 1 ,9 ,9 23,9

ERN 1 ,9 ,9 24,8

ES 1 ,9 ,9 25,7

ETS 1 ,9 ,9 26,6

EWBG 1 ,9 ,9 27,5

FA 1 ,9 ,9 28,4

(13)

J 1 ,9 ,9 35,8

JA 1 ,9 ,9 36,7

JES 1 ,9 ,9 37,6

JS 1 ,9 ,9 38,5

KS 1 ,9 ,9 39,4

KSP 1 ,9 ,9 40,4

LG 1 ,9 ,9 41,3

LHL 1 ,9 ,9 42,2

LR 1 ,9 ,9 43,1

LS 1 ,9 ,9 44,0

LSRM 1 ,9 ,9 45,0

M 2 1,8 1,8 46,8

MAT 1 ,9 ,9 47,7

ME 1 ,9 ,9 48,6

MIL 1 ,9 ,9 49,5

MS 2 1,8 1,8 51,4

MSA 1 ,9 ,9 52,3

N 4 3,7 3,7 56,0

NAR 1 ,9 ,9 56,9

NL 1 ,9 ,9 57,8

NP 1 ,9 ,9 58,7

NRW 1 ,9 ,9 59,6

NS 2 1,8 1,8 61,5

OB 1 ,9 ,9 62,4

PP 1 ,9 ,9 63,3

PS 1 ,9 ,9 64,2

R 2 1,8 1,8 66,1

RA 2 1,8 1,8 67,9

RB 1 ,9 ,9 68,8

RDS 1 ,9 ,9 69,7

(14)

RPH 1 ,9 ,9 71,6

RS 1 ,9 ,9 72,5

RT 2 1,8 1,8 74,3

RU 1 ,9 ,9 75,2

RUMS 1 ,9 ,9 76,1

S 2 1,8 1,8 78,0

SA 2 1,8 1,8 79,8

SBM 1 ,9 ,9 80,7

SIT 1 ,9 ,9 81,7

SK 1 ,9 ,9 82,6

SL 1 ,9 ,9 83,5

SMS 1 ,9 ,9 84,4

SNS 1 ,9 ,9 85,3

SPAI 1 ,9 ,9 86,2

SRS 1 ,9 ,9 87,2

SS 2 1,8 1,8 89,0

ST 2 1,8 1,8 90,8

TB 1 ,9 ,9 91,7

TP 1 ,9 ,9 92,7

TS 1 ,9 ,9 93,6

U 1 ,9 ,9 94,5

UH 1 ,9 ,9 95,4

WP 1 ,9 ,9 96,3

WT 1 ,9 ,9 97,2

WWL 1 ,9 ,9 98,2

YA 1 ,9 ,9 99,1

YRS 1 ,9 ,9 100,0

Total 109 100,0 100,0

Jenis kelamin Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Laki-laki 35 32,1 32,1 32,1

Perempua

(15)

15 1 ,9 ,9 1,8

16 1 ,9 ,9 2,8

17 1 ,9 ,9 3,7

18 4 3,7 3,7 7,3

20 8 7,3 7,3 14,7

21 3 2,8 2,8 17,4

22 1 ,9 ,9 18,3

23 2 1,8 1,8 20,2

24 2 1,8 1,8 22,0

25 2 1,8 1,8 23,9

27 2 1,8 1,8 25,7

28 3 2,8 2,8 28,4

29 2 1,8 1,8 30,3

30 3 2,8 2,8 33,0

31 3 2,8 2,8 35,8

32 6 5,5 5,5 41,3

33 5 4,6 4,6 45,9

34 3 2,8 2,8 48,6

35 1 ,9 ,9 49,5

36 1 ,9 ,9 50,5

37 4 3,7 3,7 54,1

38 2 1,8 1,8 56,0

39 4 3,7 3,7 59,6

40 2 1,8 1,8 61,5

41 1 ,9 ,9 62,4

42 3 2,8 2,8 65,1

43 2 1,8 1,8 67,0

44 4 3,7 3,7 70,6

45 3 2,8 2,8 73,4

(16)

47 4 3,7 3,7 78,9

48 1 ,9 ,9 79,8

49 1 ,9 ,9 80,7

50 4 3,7 3,7 84,4

51 1 ,9 ,9 85,3

52 1 ,9 ,9 86,2

55 2 1,8 1,8 88,1

56 1 ,9 ,9 89,0

57 2 1,8 1,8 90,8

58 1 ,9 ,9 91,7

60 2 1,8 1,8 93,6

61 1 ,9 ,9 94,5

62 1 ,9 ,9 95,4

64 2 1,8 1,8 97,2

70 1 ,9 ,9 98,2

72 1 ,9 ,9 99,1

76 1 ,9 ,9 100,0

Total 109 100,0 100,0

kategori umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid <18 7 6,4 6,4 6,4

19-34 46 42,2 42,2 48,6

35-50 39 35,8 35,8 84,4

>50 17 15,6 15,6 100,0

Total 109 100,0 100,0

Aura Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid aura visual 22 20,2 20,2 20,2

(17)

Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid episodi

k 88 80,7 80,7 80,7

kronik 21 19,3 19,3 100,0

Total 109 100,0 100,0

aktifitas yang memperberat Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 75 68,8 68,8 68,8

tidak 34 31,2 31,2 100,0

Total 109 100,0 100,0

gangguan rasa nyaman Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 70 64,2 64,2 64,2

tidak 39 35,8 35,8 100,0

Total 109 100,0 100,0

Fotofobia dan fonofobia Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid fotofobia 40 36,7 36,7 36,7

fonofobia 9 8,3 8,3 45,0

fotofobia dan

fonofobia 32 29,4 29,4 74,3

negatif 28 25,7 25,7 100,0

(18)

faktor komorbid Frequenc

y Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid hipertensi 34 31,2 31,2 31,2

trauma

kapitis 10 9,2 9,2 40,4

dislipidemia 28 25,7 25,7 66,1

negatif 37 33,9 33,9 100,0

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Allan H. Ropper, Martin A. Samuels, Joshua P. Klein. 2014. Pain and Other Disorders of Somatic Sensation, Headache, and Backache in: Adams and Victor’s Principles of Neurology. 10th ed. McGraw-Hill Companies, Inc. 8: 109

Aminoff, M. J. et al. 2015. Lange Medical Book: Clinical Neurology. 9th ed. McGraw-Hill

Cevoli S, Giannini G, Favoni V, Pierangeli G, Cortelli P. 2012. Migraine and Sleep Disorders. Suppl 1: S43-6

Charles A, Brennan K. 2009. Cortical Spreading Depression – New Insights and Persistent Questions. Cephalalgia. 29: 1115-1124. Available from:

<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19735537> [Accessed 20 Mei 2015]

Digre KB, Brennan K. 2012. Shedding Light on Photophobia. Neuroophthalmol l32(1):68-81.

Dodick DW, Gargus JJ. 2008. Why Migraines Strike. Sci Am. 299(2): 56-63. Available from:<http://www.scientificamerican.com> [Accessed 29 Mei 2015]

Emma, V. 2012. On the Prevention of Migraine: Focus on Exercise and Patient’s Perspective.54-67

Ertas M, Baykan B, Orhan EK, Zarifoglu M, Karli N, Saip S, et al. 2012. One-year Prevalence and the Impact of Migraine and Tension-type Headache in Turkkey: A Nationwide Home-based Study in Adults. Headache. 13(2): 147-157

Funaidi, S. 2013. Sakit Kepala, Migrain dan Vertigo in Zuraini, AY, Sjahrir H. Karakteristik Nyeri Kepala Migren dan Tension-Type Headache di Kotamadya Medan, Neurona. 22: 29-34

Goadsby PJ, Edvinsson L, Ekman R. Measurement of Vasoactive Neuropeptides in Biological Materials: Problems and Pitfalls From 30 Years of Experience and Novel Future Approaches. Cephalalgia. 30: 761–6

(20)

41

Harsono, 2011. Kapita Selekta Neurologi. 2nd ed. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 253-263

Hedborg, K. and Anderberg UM. 2011. Stress in Migraine : Personality-dependent Vulnerability, Life Events, and Gender Are of Significance. 116(3): 187-99

Headache Classification Subcommittee of the International Headache Society. 2013.

The International Classification of Headache Disorders, 3rd ed. Cephalalgia. 33(9): 1-180

Katsarava Z, Buse DC, Manack AN, Lipton RB. 2012. Defining the Differences Between Episodic Migraine and Chronic Migraine. 16(1): 86-92

Kelley NE, Tepper DE. 2012. Rescue Therapy for Acute Migraine, part 1: Triptans, Dehydroergotamine, and Magnesium. Headache. 52: 114-128

Kelley NE, Tepper DE. 2012. Rescue Therapy for Acute Migraine, part 2: Neuroleptics, Antihistamines, and others. Headache. 52: 292-306

Kelley NE, Tepper DE. 2012. Rescue Therapy for Acute Migraine, part 3: Opioids, NSAIDs, Steroids, and Post-discharge Medications. Headache. 52: 467-482

Kelman, L. 2007. The Triggers or Precipitants of the Acute Migraine Attack. Cephalalgia. 27(5): 394-402

Lipton RB, Stewart WF, Diamond S, Diamond ML, Reed M. 2007. Prevalence and Burden of Migraine in the United States; data from The American Migraine Study II. Headache.41; 646-57

MacGregor EA, Rosenberg JD, Kurth T. 2011. Sex-Related Differences in Epidemiological and Clinic-Based Headache Studies. Headache. 51: 843-859

Mahar, M. and Priguna, S. 2013. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat: Jakarta

(21)

Moghadassi M., Sina F., Asthiani B.H. 2008. Cerebral Hypercapnia-induced Vasomotor Reactivity in Migraine with and without Aura: A Case Control Study. MJIRI. 21(4): 203-208

National Institute of Neurological Disorders and Stroke

Noseda R, Burstein R. 2013. Migraine Pathophysiology: Anatomy of the Trigeminovascular Pathway and Associated Neurological Symptoms, CSD, Sensitizations and Modulation of Pain. Pain. 154(suppl 1)

Ojini F, Okubadejo NU, Danesi MA. 2009. Prevalence and Clinical Characteristics of Headache in Medical Students of The University of Lagos Nigeria, Cephalalgia. 29: 472-7

Sprenger, T. and Boorsok, D. 2012. Migraine Changes the Brain – Neuroimaging Imaging Makes Its Mark. 25(3): 252-262

Silberstein MD, Stephen D. 2013. Headache and Facial Pain in: Christopher G. Goetz, MD Textbook of Clinical Neurology, Saunders-Elsevier Inc.

Sinclair AJ, Matharu M. 2012. Migraine, Cerebrovascular Disease and Metabolic Syndrome. 15(suppl 1): 72-77. Available from:

<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3444221/> [Accessed 28 Mei 2015]

Sloan, M.A., Alexandrov, M.D., Tegeler, C.H., et al. 2009. Assesment : Transcranial Doppler Ultrasonography. Neurology. 62: 1468-1481

Smitherman TA, McDermott MJ, Buchanan EM. 2011. Negative Impact of Episodic Migraine on a University Population: Quality of Life, Functional Impairment, and Comorbid Psychiatric Symptoms. Headache. 51:581–9

Stovner LJ, Hagen K, Jensen K, Katsarava Z, Lipton R, Scher Al, et al. 2007. The Global Burden of Headache: A Documentation of Prevalence and Disability Worlwide. Cephalalgia. 27: 193-210

Vanmolkot FH, Hoon JN. 2010. Endothelial Function in Migraine: A Cross Sectional Study. BMC Neurology. 10: 119

(22)

22

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah :

Variabel Independen

Variabel dependen

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Variabel Dependen : Migren

Migren adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung

antara 4-72 jam. Biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya

sedang sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual,

muntah, fotofobia dan fonofobia (International Headache Society, 2013).

- Cara Ukur : Rekam Medis

MIGREN HORMONAL

USIA STRES AURA CAHAYA AKTIVITAS FISIK

(23)

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren diambil dari unit

rekam medis di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Nominal

3.2.2. Variabel Independen : Faktor Pencetus Migren Berdasarkan

Hormonal, Usia, Stres, Aktivitas Fisik, Cahaya,

Aura, Hipertensi dan Dislipidemia, dan Trauma Kepala.

Faktor pencetus ini adalah penyebab yang bisa menyebabkan seseorang

menderita migren.

1. Hormonal

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji Adam

Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

- Hasil ukur : Ya dan Tidak

2. Usia

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

- Hasil ukur : Ya dan Tidak

3. Stres

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

(24)

24

4. Aura

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji Adam

Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

- Hasil ukur : Ya dan Tidak

5. Cahaya

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

- Hasil ukur : Ya dan Tidak

6. Aktivitas Fisik

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

- Hasil ukur : Ya (>9jam/<6jam) dan tidak

7. Hipertensi dan Dislipidemia

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

(25)

8. Trauma Kepala

- Cara ukur : Rekam Medis

- Kategori : Rekam medis pasien yang menderita migren

diambil dari unit rekam medis di RSUP. Haji

Adam Malik, Medan.

- Skala pengukuran : Ordinal

(26)

26

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian

cross-sectional yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran profil faktor

pencetus migren pada penderita migren di RSUP. Haji Adam Malik Medan tahun

2014. Retrospektif adalah melakukan penelitian ke arah belakang berdasarkan

data yang telah tersedia yaitu dengan merujuk rekam medis pasien migren

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai

bulan November 2015.

4.2.2. Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP. Haji Adam Malik Medan. Alasan

pemilihan lokasi penelitian adalah karena RSUP. Haji Adam Malik merupakan

rumah sakit pusat pelayanan kesehatan pemerintah yang menjadi tempat rujukan

untuk wilayah regional Sumatera Utara dan rumah sakit ini memiliki data rekam

medis yang sangat baik.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita migren yang datang

(27)

4.3.2. Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan teknik total sampling

dimana seluruh sampel dalam penelitian ini adalah populasi penelitian.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang

diperoleh dari rekam medis pasien dari RSUP. Haji Adam Malik pada bulan

September 2015 sampai bulan November 2015. Kartu status penderita migren

yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai

dengan variabel yang diteliti.

Kriteria Inklusi : Semua penderita migren periode 1 Januari 2014 hingga 1

Januari 2015 dari RSUP Haji Adam Malik Medan.

Kriteria Eksklusi : Data rekam medis yang tidak lengkap.

4.5. Metode Analisa Data

4.5.1. Pengolahan Data

Maksud pengolahan data ialah seluruh data yang diterima dapat diolah

dengan baik sehingga pengolahan data dapat menghasilkan out put yang

merupakan gambaran jawaban terhadap penelitian. Pada tahap ini peneliti

memeriksa setiap instrumen berkaitan dengan kelengkapan pengisian, konsistensi

jawaban dan kejelasan hasil pengisian.

4.5.2. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan memasukkan data ke dalam program

komputer dan menggunakan SPSS ( Statistical Product and Service Solution for

(28)

28

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi

di Jalan Bunga Lau no. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan

Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan

SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. RSUP Haji Adam Malik Medan

telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan

yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan

rumah sakit rujukan untukk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan

latar belakang yang bervariasi. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No.

502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik

Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki 1.995 orang tenaga yang terdiri

dari 790 orang tenaga medis dari berbagai spesialisasi dan sub spesialisasi, 604

orang paramedic perawatan, 298 orang paramedic non perawatan dan 263 tenaga

non medis serta ditambah dengan Dokter Brigade Siaga Bencana (BSB) sebanyak

8 orang.

RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri

dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat

darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi gizi,

farmasi, Central Sentrilization Supply Department (CSSD), bioelektrik medik,

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non

medis (instalasi tata usaha pasien, teknik sipil pemulasaraan jenazah). Bagian

(29)

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diperoleh selama periode 1 Januari 2014 sampai 1 Januari

2015 sebanyak 127 sampel pasien migren di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Namun data yang dapat digunakan dibagian rekam medik hanya 109 sampel.

Semua data diperoleh dari data sekunder yaitu rekam medik pasien migren yang

dirawat di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2014. Data yang diambil

berdasarkan umur, jenis kelamin, faktor resiko, tanda gejala klinis, faktor

pencetus dan faktor komorbid.

5.1.3. Hasil Analisa Data

Tabel 5.1. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Umur

Umur (tahun) n %

<18 7 6,4

19-34 48 42,2

35-50 39 35,8

>50 17 15,6

Total 109 100

Dari tabel 5.1 diatas dapat dilihat bahwa pada 1 Januari 2014 hingga 1

Januari 2015 terdapat sebanyak 109 penderita migren. Proporsi kasus migren

lebih besar terjadi pada kelompok umur 19-34 tahun yaitu sebanyak 48 orang

(42,2 %), diikuti oleh kelompok umur 35-50 tahun sebanyak 39 orang (35,8 %),

kelompok umur >50 tahun sebanyak 17 orang (15,6%). Proporsi kasus migren

yang paling kecil adalah pada kelompok umur <18 tahun yaitu sebanyak 7 orang

(6,4%). 7 (6,4%) 48 (42,2%) 39 (35,8%) 17 (15,6%) 0 10 20 30 40 50 60

<18 tahun 19-34 tahun 35-50 tahun >50 tahun

(30)

30

Gambar 5.1. Proporsi migren berdasarkan umur

Tabel 5.2. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 35 32,1

Perempuan 74 67,9

Total 109 100

Berdasarkan tabel 5.2, didapati sebanyak 35 orang adalah laki-laki (32,1

%) sedangkan 74 orang adalah perempuan (67,9%).

[image:30.595.249.368.311.487.2]

Gambar 5.2. Proporsi migren berdasarkan jenis kelamin

Tabel 5.3. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Aura

Aura n %

Aura visual 22 20,2

Aura auditorik 6 5,5

Tanpa aura 81 74,3

Total 109 100

Berdasarkan tabel 5.3, didapatkan bahwa proporsi kasus migren paling

tinggi adalah migren tanpa aura, yaitu sebanyak 81 orang (74,3 %). Sedangkan

penderita migren dengan aura sebanyak 28 orang (25,7 %). Penderita migren

dengan aura ini terbagi dua, yaitu penderita migren dengan aura visual sebanyak Laki-laki

32% Perempuan

68%

(31)

22 orang (20,2 %) dan penderita migren dengan aura auditorik sebanyak 6 orang

[image:31.595.113.506.141.475.2]

(5,5 %).

[image:31.595.118.359.145.330.2]

Gambar 5.3. Proporsi migren berdasarkan aura

Tabel 5.4. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Jenis Nyeri

Jenis Nyeri n %

Episodik 88 80,7

Kronik 21 19,3

Total 109 100

Dari tabel 5.4 diatas, penderita migren dengan jenis nyeri tertinggi adalah

episodik sebanyak 88 orang (80,7 %). Penderita migren dengan jenis nyeri kronik

sebanyak 21 orang (19,3 %). 22 (20,2%)

6 (5,5%)

81 (74,3%)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

aura visual aura auditorik tanpa aura

(32)
[image:32.595.198.434.133.299.2]

32

[image:32.595.110.518.379.450.2]

Gambar 5.4. Proporsi migren berdasarkan nyeri

Tabel 5.5. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Aktivitas yang Memperberat

Aktivitas n %

Ya 75 68,8

Tidak 34 31,2

Total 109 100

Berdasarkan tabel diatas didapati bahwa sebanyak 75 penderita migren

diperberat oleh aktivitas, yaitu 68,8 % . Sedangkan 34 penderita migren tidak

dipengaruhi oleh aktivitas, yaitu 31,2%. 88 (80,7%) 21(19,3%)

Episodik

Kronik

75 (68,8%) 34 (31,2%)

Ya

[image:32.595.210.433.555.709.2]
(33)
[image:33.595.111.516.127.202.2]

Tabel 5.6. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Gangguan Rasa Nyaman

Gangguan Rasa Nyaman n %

Ya 70 64,2

Tidak 39 35,8

Total 109 100

Berdasarkan tabel 5.6, didapati pasien migren yang memiliki gangguan

rasa nyaman adalah sebanyak 70 orang (64,2 %) sedangkan pasien migren yang

[image:33.595.220.417.310.447.2]

tidak memiliki gangguan rasa nyaman adalah sebanyak 39 orang (35,8 %).

Gambar 5.6. Proporsi migren berdasarkan gangguan rasa nyaman

Tabel 5.7. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Fotofobia dan Fonofobia

Fotofobia dan Fonofobia N %

Fotofobia 40 36,7

Fonofobia 9 8,3

Fotofobia dan Fonofobia 32 29,4

Negatif 28 25,7

Total 109 100

Berdasarkan tabel diatas, didapati kasus migren terbanyak pada pasien

migren dengan fotofobia sebanyak 40 orang (36,7 %) diikuti oleh pasien migren

dengan fotofobia dan fonofobia sebanyak 32 orang (29,4 %). Pasien migren

dengan fonofobia sebanyak 9 orang (8,3 %). Sebanyak 28 pasien migren (25,7 %)

tidak mengeluhkan fotofobia ataupun fonofobia. 70 (64,2

%) 39

(35,8%)

Ya

[image:33.595.111.515.541.630.2]
(34)
[image:34.595.151.434.115.259.2]

34

[image:34.595.113.509.329.418.2]

Gambar 5.7. Proporsi migren berdasarkan fotofobia dan fonofobia

Tabel 5.8. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Faktor Komorbid

Faktor Komorbid n %

Hipertensi 34 31,2

Trauma kapitis 10 9,2

Dislipidemia 28 25,7

Negatif 37 33,9

Total 109 100

Dari tabel 5.8 dapat dilihat bahwa faktor komorbid paling tinggi pada

pasien migren adalah hipertensi, yaitu sebanyak 34 orang (31,2 %), diikuti oleh

dislipidemia sebanyak 28 orang (25,7 %) dan trauma kapitis sebanyak 10 orang

(9,2 %).

Gambar 5.8. Proporsi migren berdasarkan komorbid 34 (31,2%) 10 (9,2%) 28 (25,7%) 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Hipertensi Trauma kapitis Dislipidemia 0 10 20 30 40 50

[image:34.595.117.454.484.721.2]
(35)

5.2. Pembahasan

Migren adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72

jam. Nyeri biasanya unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang

sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual, muntah,

fotofobia dan fonofobia. Migren merupakan gangguan bersifat familial dengan

karakteristik serangan nyeri kepala yang berulang-ulang yang intensitas, frekuensi

dan lamanya bervariasi. Nyeri kepala umumnya unilateral, disertai anoreksia,

mual, dan muntah. Dalam beberapa kasus, migren didahului oleh gangguan

neurologik dan gangguan perasaan hati. Migren dapat menimbulkan dampak

kerugian ekonomi (biaya yang dikeluarkan untuk penanganan, hilangnya hari

kerja, terganggunya performa kerja). Selain itu, kerugian terbesar adalah jika

migren dikaitkan dengan penyakit lain dan menjadi faktor resiko untuk

komplikasi lain (Cevoli et al., 2012)

Pada penelitian ini diperoleh 109 pasien migren yang terdiri dari 35

laki-laki (32,1 %) dan 74 perempuan (67,9 %). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat

bahwa migren lebih banyak diderita oleh perempuan (67,9 %) dibandingkan

laki-laki (32,1 %). Hal ini sejalan dengan penelitian dari American Migraine Study

(AMS) dan the American Migraine Prevalence and Prevention (AMPP) Study.

Menurut hasil penelitian, dari 20,468 responden, 17,6 % perempuan dan 5,7 %

laki-laki mengalami satu atau lebih migren per tahun (3:1). Para peneliti juga

menemukan bahwa perempuan dengan migren memiliki serangan lebih sering

daripada laki-laki.

Berdasarkan tabel 5.1, didapati bahwa dari 109 orang penderita migren,

terdapat 48 orang dengan kelompok umur 19-34 tahun (42,2 %) dan 39 orang

dengan kelompok umur 35-50 tahun (35,8%). Penelitian yang dilakukan oleh

Ertas et al (2012) menyatakan bahwa dari 6000 responden, ada 5323 responden

(89 %) dengan kelompok umur 18-65 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian

saya dimana migren paling banyak didapati pada orang yang berada di kelompok

umur produktif baik laki-laki maupun perempuan. Belum ada penyebab pasti

bagaimana migren banyak terjadi pada orang dalam umur produktif namun para

(36)

36

karena faktor pekerjaan, masalah rumah tangga, kelelahan, stres dan kurang tidur.

Disamping itu, gaya hidup modern juga ikut berperan atas terjadinya migren

seperti makanan cepat saji, makanan olahan dan makanan kaleng yang terdapat

nitrit dan monosodium glutamat (MSG) serta konsumsi kafein seperti kopi atau

teh.

Berdasarkan tabel 5.3, jenis migren yang paling banyak diderita adalah

migren tanpa aura sebanyak 81 orang (74,3 %). Aura ditemukan pada 28 orang

(25,7 %), 22 orang (20,2 %) mengalami aura visual, 6 orang (5,5 %) mengalami

aura auditorik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh MacGregor

et al (2011) dimana dari studi 1000 kasus migren, prevalensi migren dengan aura

sebesar 5 %, dengan rasio laki-laki banding perempuan 1 : 2. Prevalensi migren

tanpa aura sebesar 8 %, dengan rasio laki-laki banding perempuan 1 : 7. Studi

yang dilakukan di German menunjukkan bahwa 1 tahun prevalensi migren

sebesar 10,6 % dan prevalensi migren dengan aura visual sebesar 3,6 %.

Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa kekambuhan nyeri pada 88 pasien (80,7

%) bersifat episodik dan 21 pasien (19,3 %) lainnya kronik. Karakteristik dari

migren episodik itu sendiri antara lain minimal mengalami 5 kali serangan migren

dan migren berlangsung kurang dari 15 hari dalam sebulan. Sedangkan yang

dimaksud migren kronik adalah migren dengan serangan sama dengan atau lebih

dari 15 hari dalam sebulan. Migren episodik dan migren kronik memiliki

hubungan yang kompleks. Kecendrungan migren episodik untuk dapat

berkembang menjadi migren kronik sekitar 2,5 % setiap tahunnya (Katsarava,

2012).

Berdasarkan tabel 5.5, terdapat 75 penderita migren (68,8 %) yang

diperberat oleh aktivitas, sedangkan 34 penderita migren (31,2 %) tidak diperberat

oleh aktivitas. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas berperan besar atas

terjadinya migren. Hal ini bisa disebabkan antara lain oleh karena aktivitas

intensitas berat atau ekstrim, kebutuhan oksigen yang meningkat secara tiba-tiba

sebelum atau sesudah melakukan aktivitas dan kadar gula darah yang jatuh atau

(37)

Berdasarkan tabel 5.6, dari 109 penderita migren, terdapat 70 orang (64,2

%) yang memiliki gangguan rasa nyaman dan 39 orang (35,8 %) tidak memiliki

gangguan rasa nyaman. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa penderita migren

yang memiliki gangguan rasa nyaman lebih dominan. Hal ini sejalan dengan

penelitian Hedborg & Anderberg (2011) yang menyatakan dari 150 responden

yang terdiri dari 106 perempuan dan 46 laki-laki, memiliki skor mean tinggi untuk

kerentanan stress dan skor mean rendah untuk agresifitas dan mencari hal baru.

Pada perempuan didapati hal ini memiliki hubungan erat dengan

pengalaman-pengalaman hidup yang negatif. Jadi, gangguan rasa nyaman khususnya perasaan

cemas dan stres mempunyai peranan penting pada kejadian migren.

Berdasarkan tabel 5.7, terdapat 40 kasus (36,7 %) fotofobia, 9 kasus (8,3

%) fonofobia, 32 kasus (29,4 %) fotofobia dan fonofobia. Gejala penyerta ini

dapat muncul pada saat migren ataupun menjadi pencetus migren. Fotofobia

umumnya terjadi pada kelainan-kelainan mata dan neurologis, akan tetapi

mekanismenya masih belum pasti dan sulit diobati. Migren adalah kelainan

neurologis yang paling banyak menyebabkan fotofobia yang mana merupakan

salah satu kriteria mayor untuk diagnosis migren. Hingga 80 % penderita migren

mengalami fotofobia pada saat serangan. Dapat disimpulkan bahwa fotofobia

merupakan satu bagian dari migren itu sendiri (Digre, 2012).

Dari tabel 5.8 dapat dilihat proporsi faktor komorbid pada migren. Faktor

komorbid terbesar adalah hipertensi sebanyak 34 orang (31,2 %), diikuti oleh

dislipidemia sebanyak 28 orang (25,7 %) dan trauma kapitis sebanyak 10 orang

(9,2 %). Penelitian yang dilakukan oleh Harandi et al (2013) membandingkan 347

pasien migren tanpa aura dengan 267 pasien non-migren, didapati bahwa pasien

dengan migren tanpa aura memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena

hipertensi (ORadj = 1,9; P = 0,029) tetapi tidak ada perbedaan untuk resiko

lainnya seperti hiperglikemia, dislipidemia, obesitas, merokok dan riwayat

keluarga untuk conorany artery disease. Migren merupakan nyeri kepala yang

paling sering ditemukan pasca cedera kepala (62,8 %), namun tidak didapatkan

hubungan yang bermakna dengan derajat keparahan cedera kepala (Subagya,

(38)

38

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Migren lebih banyak didapatkan pada perempuan dibandingkan laki-laki,

angka kejadian tertinggi pada usia produktif antara 19-34 tahun. Angka kejadian

migren tanpa aura paling tinggi, diikuti migren dengan aura. Aura yang paling

banyak ditemukan merupakan aura visual. Distribusi nyeri kepala migren paling

banyak adalah unilateral dengan tipe serangan episodik lebih sering dibandingkan

migren kronis. Karakteristik migren yang paling banyak adalah nyeri berdenyut

yang dirasakan menjalar dan dipengaruhi atau diperberat aktivitas.

Gejala klinis yang terdapat pada penelitian ini adalah fotofobia, fonofobia,

mual dan/ atau muntah dan syncope. Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa

pasien masih dapat menjalankan aktivitas saar migren, sedangkan beberapa pasien

harus menghentikan aktivitasnya.

Pada penelitian ini faktor resiko migren yang paling menonjol adalah jenis

kelamin, dimana migren lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan

dengan laki-laki. Sedangkan faktor resiko lainnya seperti stres, depresi dan

gangguan cemas lebih sedikit.

Faktor komorbid migren dengan jumlah paling banyak adalah hipertensi.

Selain itu terdapat juga dislipidemia, trauma kapitis dan kelainan mata yang lebih

sedikit.

6.2. Saran

1. Masyarakat harus berusaha menerapkan prilaku hidup sehat dalam

kehidupan sehari-hari dan diedukasi supaya dapat menyesuaikan diri dan

mengerti cara mengatasi tekanan fisik, mental, emosi ataupun faktor resiko

(39)

2. Masyarakat yang mengalami migren harus mengambil tindakan preventif

apabila timbul gejala-gejala migren sehingga tingkat keparahannya tidak

berlanjut.

3. Perlunya penelitian lebih lanjut terhadap angka kejadian dan gambaran

karakteristik migren dengan rancangan penelitian prospektif,

menggunakan tabel penelitian yang sudah disusun sebelumnya terhadap

populasi yang lebih luas. Dengan harapan dapat mempelajari migren

dengan lebih terperinci, dimana seluruh kriteria mengenai tanda gejala

klinis, faktor pencetus, faktor resiko (terutama faktor genetik) dan faktor

komorbid dapat dicantumkan dengan lebih lengkap. Dan dengan penelitian

tersebut gambaran profil faktor pencetus migren di Indonesia terutama

(40)

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Migren

Menurut International Headache Society, 2013, migren adalah nyeri

kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya

unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sedang sampai berat dan

diperberat oleh aktivitas, dan dapat disertai mual, muntah, fotofobia dan

fonofobia.

Konsep klasik mengatakan migren adalah gangguan fungsional otak

dengan manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut atau

mendentum yang terjadi mendadak disertai mual atau muntah.Konsep tersebut

telah diperluas oleh The Research Group On Migraine and Headache of The

World Federation Of Neurology. Migren merupakan gangguan bersifat familial

dengan karakteristik serangan nyeri kepala yang berulang-ulang yang intensitas,

frekuensi dan lamanya bervariasi.Nyeri kepala umumnya unilateral, disertai

anoreksia, mual, dan muntah.Dalam beberapa kasus migren ini didahului oleh

gangguan neurologik dan gangguan perasaan hati.

Definisi migren yang lain yang ditetapkan oleh panitia ad hoc mengenai

nyeri kepala (Ad Hoc Comittee on Classification of Headache) adalah serangan

nyeri kepala unilateral berulang-ulang dengan frekuensi lama dan hebatnya rasa

nyeri yang beraneka ragam dan biasanya berhubungan dengan tidak suka makan

dan terkadang dengan mual dan muntah. Terkadang didahului oleh gangguan

sensorik, motorik, dan kejiwaan.Sering dengan faktor keturunan.

Harsono (2011) mengusulkan definisi migren sebagai nyeri kepala

berulang-ulang berlangsung antara 2-72 jam dan bebas nyeri antara serangan nyeri

kepala, harus berhubungan dengan gangguan visual atau gastrointerstinal atau

keduanya.Gejala visual timbul sebagai aura dan/atau fotofobia selama nyeri

(41)

2.2. Etiologi dan Faktor Resiko Migren

Menurut Harsono (2011), sampai saat ini belum diketahui dengan pasti

faktor penyebab migren, diduga sebagai gangguan neurobiologis, perubahan

sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal vaskular, sehingga migren

termasuk dalam nyeri kepala primer. Diketahui ada beberapa faktor resiko

timbulnya serangan migren yaitu :

1. Perubahan hormonal

Beberapa wanita yang menderita migren merasakan frekuensi serangan

akan meningkat saat menstruasi. Bahkan ada diantaranya yang hanya

merasakan serangan migren saat menstruasi. Istilah ‘menstrual migraine’

sering digunakan untuk menyebut migren yang terjadi pada wanita saat

dua hari sebelum menstruasi dan sehari setelahnya. Ini terjadi disebabkan

penurunan kadar estrogen.

2. Kafein

Kafein terkandung dalam banyak produk makanan seperti minuman

ringan, teh, cokelat, dan kopi. Kafein dalam jumlah yang sedikit akan

meningkatkan kewaspadaan dan tenaga, namun bila diminum dalam dosis

yang tinggi akan menyebabkan gangguan tidur, lekas marah, cemas dan

sakit kepala.

3. Puasa dan terlambat makan

Puasa dapat mencetuskan terjadinya migren oleh karena saat puasa terjadi

pelepasan hormone yang berhubungan dengan stres dan penurunan kadar

gula darah.

4. Ketegangan jiwa (stres) baik emosional maupun fisik atau setelah istirahat

dari ketegangan.

5. Cahaya kilat atau berkelip

Cahaya yang terlalu terang dan intensitas perangsangan visual yang terlalu

tinggi akan menyebabkan sakit kepala pada manusia normal. Mekanisme

ini juga berlaku untuk penderita migren yang memiliki kepekaan cahaya

(42)

7

6. Makanan

Penyedap makanan atau MSG dilaporkan dapat menyebabkan sakit

kepala, kemerahan pada wajah, berkeringat dan berdebar-debar jika

dikonsumsi dalam jumlah yang besar pada saat perut kosong. Fenomena

ini disebut ‘Chinese Restaurant Syndrome’.Aspartam atau pemanis buatan

pada minuman diet dan makanan ringan, dapat menjadi pencetus migren

bila dimakan dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama.

7. Banyak tidur atau kurang tidur

Gangguan mekanisme tidur seperti tidur terlalu lama, kurang tidur, sering

terjaga tengah malam, sangat erat hubungannya dengan migren dan sakit

kepala tegang, sehingga perbaikan dari mekanisme tidur ini akan

membantu mengurangi frekuensi timbulnya migren.

8. Faktor herediter

9. Faktor kepribadian

10.Faktor cuaca

Polusi udara, temperatur, suhu ruang yang tidak stabil dipercaya

mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap insidensi terjadinya

(43)
[image:43.595.111.511.126.527.2]

Tabel 2.1. Potential Migraine Triggers

Behavioral • Fasting

• Emotions

• Sleep disturbances

• Stress

• Exercise

Environmental • Bright light/visual stimuli

• Odors

• Weather changes

• Cigarette smoke

Infectious • Upper respiratory infections

Dietary • Caffeinated beverages

• Alcoholic beverages

• Aged cheeses

• Chocolate

• Ice cream

Chemical • Monosodium glutamate

• Tyramine

• Nitrates

• Aspartame

Hormonal • Menstruation

Dikutip dari : (Martin and Behbehani, 2007).

Gambar 2.1. Frequency of individual triggers occurring at least occasionally (%)

dikutip dari : (Kelman, 2007). 2.3 Klasifikasi Migren

Menurut The International Headache Society (2013), klasifikasi migren

[image:43.595.115.504.532.709.2]
(44)

9

1. Migren tanpa aura

2. Migren dengan aura

• Migren dengan aura yang khas

• Migren dengan aura yang diperpanjang

• Migren dengan lumpuh separuh badan (familial hemiflegic migraine)

• Migren dengan basilaris

• Migren aura tanpa nyeri kepala

• Migren dengan awitan aura akut

3. Migren oftalmoplegik

4. Migren retinal

5. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial

6. Migren dengan komplikasi

Status migren (serangan migren dengan sakit kepala lebih dari 72 jam)

• Tanpa lebihan penggunaan obat

• Kelebihan penggunaaan obat untuk migren Infark migren

7. Gangguan seperti migren yang tidak terklasifikasikan

Dahulu dikenal adanya classic migraine dan common migraine.Classic

migraine didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologik fokal,

misalnya gangguan penglihatan, sensorik, atau wicara.Sedangkan common

migraine tidak didahului atau disertai dengan fenomena defisit

neurologikfokal. Oleh Ad Hoc Comittee of the International Headache

Society diajukan perubahan nama atau sebutan untuk keduanya menjadi

migren dengan aura untuk classic migraine dan migren tanpa aura untuk

common migraine.

2.4 Patofisiologi migren

(45)

yang menyebutkan bahwa pada serangan migren terjadi vasodilatasi arteri ekstra

kranial. Teori kedua adalah teori neurologi yang menyebutkan bahwa migren

adalah akibat perubahan neuronal yang terjadi di area otak yang berbeda dan

dimediasi perubahan sistem neurotransmisi. Teori ini fokus pada fenomena

depolarisasi kortikal yang menyebar yang menyebabkan munculnya aura. Teori

ketiga menyebutkan tentang perubahan vaskular akibat disfungsi neuronal

sehingga terjadi vasodilatasi meningeal (Charles and Brennan, 2011).

Berdasarkan gejala klinis migren, terdapat tiga fase terjadinya migren

yaitu pencetus, aura dan nyeri kepala. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa

pencetus melibatkan batang otak sebagai pembangkit migren dan mungkin

berhubungan dengan channelopathy familial. Setelah itu, aliran darah otak

regional berkurang yang diikuti depresi gelombang penyebaran kortikal. Pada

penderita dengan aliran darah otak yang menurun, maka aura akan muncul. Aliran

darah otak yang berkurang ini akan diikuti oleh vasodilatasi selama munculnya

nyeri kepala, yang mungkin akibat dari perubahan aktivitas neuron yang

mensarafi arteri kranial. Penelitian imunohisto kimiawi mendapatkan adanya

neurotransmiter selain noradrenalin dan asetilkolin yang bersifat vasodilator yaitu

5-HT, vasoactive intestinal peptide (VIP), nitric oxide (NO), substansi P,

neurokinin A dan CGRP. Vasodilatasi kranial menyebabkan aliran darah yang

meningkat setiap kali jantung berdetak sehingga terjadi pulsasi pada pembuluh

darah yang terlibat. Pulsasi tersebut akan dirasakan oleh reseptor regangan pada

dinding vaskular dan menyebabkan peningkatan sensorik saraf perivaskular

(trigeminus) sehingga terjadi nyeri kepala dan gejala lain (Noseda and Burstein,

2013). Rangsangan trigeminal ini akan mengeluarkan neuropeptida sehingga

(46)
[image:46.595.119.573.134.547.2]

11

Gambar 2.2. Mekanisme Migren

(47)
[image:47.595.115.532.113.562.2]

Gambar 2.3. Patofisiologi migren dikutip dari : (Shankar, 2009)

2.5 Manifestasi Klinis Migren

Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada

setiap individu.Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi

semuanya tidak harus dialami oleh setiap individu.Fase-fase tersebut antara lain

(Aminoff, MJ et al, 2015) :

1. Fase Prodromal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya

(48)

13

letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti

cokelat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari

sebelum fase nyeri kepala. Fase ini memberi petanda kepada penderita

atau keluarga bahwa akan terjadi serangan migren.

2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang

mendahului atau menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap

selama 5-20 menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik,

motorik, atau kombinasi dari aura-aura tersebut. Aura visual muncul pada

64% pasien dan merupakan gejala neurologis yang paling umum terjadi.

Yang khas untuk migren adalah scintillating scotoma (tampak

bintik-bintik kecil yang banyak) , gangguan visual homonym, gangguan salah

satu sisi lapangan pandang, persepsi adanya cahaya berbagai warna yang

bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan visual lainnya adalah adanya

scotoma (fenomena negatif) yang timbul pada salah satu mata atau kedua

mata. Kedua fenomena ini dapat muncul bersamaan dan berbentuk

zig-zag. Aura pada migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan

kemudian diikuti dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala,

walaupun ada yang melaporkan tanpa periode laten.

3. Fase nyeri kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral, dan

awalnya berlangsung didaerah frontotemporalis dan okular, kemudian

setelah 1-2 jam menyebar secara difus kearah posterior. Serangan

berlangsung selama 4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada

anak-anak berlangsung selama 1-48 jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang

sampai berat, dan kadang-kadang sangat mengganggu pasien dalam

menjalani aktivitas sehari-hari.

4. Fase Postdromal. Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi

menurun, dan terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa

“segar” atau euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya

(49)

Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara pada

penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodromal, fase

[image:49.595.116.522.198.553.2]

nyeri kepala, dan fase postdromal.

Gambar 2.4. Fase Migren

dikutip dari : (Dodick and Gargus, 2008)

2.6 Kriteria Diagnosis (Aminoff, MJ et al, 2015)

2.6.1 Kriteria Diagnosis Migren Tanpa Aura

A. Sekurang-kurangnya 10 kali serangan termasuk B-D

B. Serangan nyeri kepala berlangsung antara 4-72 jam (tidak diobati atau

pengobatan yang tidak adekuat) dan diantara serangan tidak ada nyeri

kepala

(50)

15

berikut:

1. Lokasi unilateral

2. Sifatnya berdenyut

3. Intensitas sedang sampai berat

4. Diperberat dengan kegiatan fisik

D. Selama serangan sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut di bawah

ini:

1. Mual atau dengan muntah

2. Fotofobia atau dengan fonofobia

E. Sekurang-kurangnya ada satu dari yang tersebut dibawah ini:

1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan adanya

kelainan organik

2. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik diduga adanya kelainan

organik tetapi pemeriksaan neroimaging dan pemeriksaan tambahan

lainnya tidak menunjukkan kelaianan

2.6.2 Kriteria Diagnosis Migren dengan Aura

A. Sekurang-kurangnya 2 serangan seperti tersebut dalam B

B. Sekurang-kurangnya terdapat 3 dari karakteristik tersebut dibawah ini:

1. Satu atau lebih gejala aura yang reversible yang menunjukkan

disfungsi hemisfer dan/atau batang otak

2. Sekurang-kurangnya satu gejala aura berkembang lebih dari 4 menit,

atau 2 atau gejala aura terjadi bersama-sama

3. Tidak ada gejala aura yang berlangsung lebih dari 60 menit; bila lebih

dari satu gejala aura terjadi, durasinya lebih lama. Nyeri kepala

mengikuti gejala aura dengan interval bebas nyeri kurang dari 60

menit, tetapi kadang kadang dapat terjadi sebelum aura.

C. Sekurang-kurangnya terdapat satu dari yang tersebut dibawah ini:

1. Riwayat, pemeriksaan fisik dan neurologik tidak menunjukkan adanya

(51)

organik, tetapi pemeriksaan neuroimaging dan pemeriksaan tambahan

lainnya tidak menunjukkan kelainan.

2.6.3 Kriteria Diagnosis Migren Retinal

Sekurang-kurangnya terdiri dari 2 serangan sebagaimana tersebut dibawah

ini:

A. Scotoma monocular yang bersifat reversibel atau buta tidak lebih dari 60

menit, dan dibuktikan dengan pemeriksaan selama serangan atau penderita

menggambarkan gangguan lapangan penglihatan monokular selama

serangan tersebut.

B. Nyeri kepala yang mengikuti gangguan visual dengan interval bebas nyeri

tidak lebih dari 60 menit, tetapi kadang-kadang lebih dari 60 menit. Nyeri

kepala bisa tidak muncul apabila penderita mempunyai jenis migren lain

atau mempunyai 2 atau lebih keluarga terdekat yang mengalami migren.

C. Pemeriksaan oftalmologik normal di luar serangan. Adanya emboli dapat

disingkirkan dengan pemeriksaan angiografi, CT scan, pemeriksaan

jantung dan darah.

2.6.4 Kriteria Diagnosis Migren Dengan Gangguan Intrakranial

A. Sekurang-kurangnya terdapat satu jenis migren

B. Gangguan intrakranial dibuktikan dengan pemeriksaan klinik dan neuro

imaging

C. Terdapat satu atau keduanya dari :

1. Awitan migren sesuai dengan awitan gangguan intrakranial

2. Lokasi aura dan nyeri sesuai dengan lokasi gangguan intrakranial

D. Bila pengobatan gangguan intrakranial berhasil maka migren akan hilang

(52)

17

2.7 Komplikasi Migren

a. Status Migrenosus

Serangan migren dengan fase nyeri kepala lebih dari 72 jam, mendapat

pengobatan atau tidak, dengan interval bebas nyeri kurang 4 jam (tidak

termasuk tidur) (Headache Classification Comittee of International

Headache Society ,2013).

b. Infark Migrenosus

Dahulu disebut migren komplikata. Migren komplikata adalah keadaan

satu atau lebih gejala aura yang tidak sepenuhnya hilang dalam waktu 7

hari dan atau didapatkan infark iskemik pada konfirmasi pemeriksaan

neuroimaging. Insidensi sangat rendah, biasanya jenis migren ini terjadi

setelah lama menderita migren dengan aura. Patogenesis belum diketahui,

tetapi faktor hiperaglutinasi dan hiperviskositas mempunyai peranan

penting.

Perbedaan antara Migren Tanpa Aura dengan Migren Aura

Dalam klasifikasi nyeri kepala menurut International Headache

Association, definisi migren tanpa aura (MTA) dan migren aura (MA) dibedakan

oleh kriteria diagnostik. Secara klinisnya keduanya dapat dibedakan dari ada dan

tidak adanya gejala aura, gejala aura terjadi secara simultan dengan penurunan

aliran darah otak, sedangkan pada MTA aliran darah otak normal. Selanjutnya

pada fase nyeri terjadi dilatasi dari arteri serebri media baik pada MTA maupun

MA.Hal tersebut menunjukkan bahwa patogenesis MA dan MTA pasa fase awal

berbeda tetapi hampir serupa pada fase nyeri. Beberapa perbedaan lain antara MA

(53)
[image:53.595.111.514.125.421.2]

Tabel 2.2. Perbedaan migren tanpa aura dengan migren aura

Migren tanpa aura Migren aura

prevalensi 14.7% 7.9%

Rasio laki-laki : perempuan 1:2,2 1:1,5

Usia saat onset Sesuai kurva normal

(unimodal)

Kurva dengan dua puncak

(bimodal) Sensitivitas terhadap hormon

wanita

-migren menstruasi

-onset migren dan menarche sama -migren ovulasi 24,8% 64,3% 3,6% 8,1% 0 6,6%

Sensitifitas terhadap sinar

terang

(-) >>

Pola keluarga < >

Frekuensi serangan Sering Jarang

Lama serangan Panjang Pendek

Penurunan CBF (-) (+)

dikutip dari : (Harsono, 2011).

2.8 Diagnosis Migren

Diagnosis migren ditegakkan berdasarkan anamnesis, karena nyeri kepala

merupakan keluhan yang sangat subjektif, jarang sekali didapatkan kelainan

neurologis dan bila ada biasanya terjadi saat serangan.

2.8.1 Anamnesis

Dalam anamnesis perlu digali lokasi, penjalaran, intensitas, kualitas, gejala

premonitory, aura, gejala penyerta, faktor pencetus, faktor peringan/perberat dan

riwayat keluarga. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ketepatan

diagnosis migren mencapai 95%. Apabila didapatkan kelainan neurologis saat

serangan migren, untuk membedakan dengan kelainan neurologis lain perlu

dilakukan pemeriksaan ulang saat bebas serangan, sebelum dilakukan

(54)

19

2.8.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

Disamping pemeriksaan fisik secara umum, dilakukan pemeriksaan

neurologis yang meliputi: Nervus kranialis, pupil, lapangan pandang, gerakan

bola mata, funduskopi untuk evaluasi keadaan n. II, retina dan pembuluh darah

retina, kekuatan otot, tonus dan koordinasi,reflex fisiologis dan patologis, sensorik

terutama sensorik kortikal (stereognosis), gait, bising orbita, palpasi arteri

superfisialis temporalis.

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk membantu menegakkan

diagnosis. Pemeriksaan penunjang diperlukan bila dicurigai adanya kelainan

struktural yang mempunyai gejala seperti migren (Sprenger, 2012).

a. EEG. Gambaran abnormal yang sering dijumpai adalah perlambatan

aktifitas listrik, peningkatan gelombang teta dan delta di daerah kepala

belakang, pada sisi nyeri kepala kadang-kadang didapatkan gelombang

tajam yang tidak spesifik.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pemeriksaan MRI pada 91

penderita migren dan 98 kontrol, didapatkan lesi kecil di substansia alba

pada 15 dari 51 penderita (29,4%), sedangkan pada kontrol 11 dari 98

orang (11,2%) dan ini mempunyai perbedaan bermakna.

c. PET (Positron Emission Tomography). Sachs membangkitkan serangan

migren pada 5 penderita dengan injeksi reserpin subkutan, kemudian

dilakukan pemeriksaan PET 1,5 jam setelah pemberian, terjadi penurunan

(55)

2.9 Penatalaksanaan Migren

2.9.1 Mencegah atau menghindari faktor pencetus.

2.9.2 Pengobatan non-medik.

Karena faktor pencetus tidak selalu bisa dihindari, maka dianjurkan

pengobatan non- medik, oleh karena hal ini dapat mengurangi banyaknya obat

migren sehingga efek samping dari obat-obatan dapat dikurangi.Termasuk dalam

pengobatan non-medik adalah latihan relaksasi otot (Emma, 2012).

2.9.3 Pengobatan simptomatik

Harsono (2011), menganjurkan pada waktu serangan migren sebagai

berikut :

a. Mencegah pemberian obat-obat yang mengganggu tidur

b. Obat-obat anti mual seperti metoklopramid. Obat anti mual dapat memicu

aktivitas normal pencernaan (gastrointestinal) yang terganggu saat

serangan migren.

c. Analgetika sederhana. Misalnya aspirin atau parasetamol dapat

menghilangkan nyeri kepala bila sebelumnya diberi yang memicu aktivitas

gastrointestinal.

d. Ergotamin tartrat. Cara kerja obat ini bifasik, bergantung pada tahanan

darah yang telah ada sebelumnya.

2.9.4 Pengobatan abortif

Harus diberikan sedini mungkin, tetapi sebaiknya saat timbul nyeri kepala.

Obat yang dapat digunakan (Kelley and Tepper, 2012) :

a. Ergotamin tartrat dapat diberikan tersendiri atau dicampur dengan obat

antiemetik, analgesik, atau sedatif.

b. Dihidroergotamin (DHE) merupakan agonis reseptor serotonin yang aman

dan efektif untuk menghilangkan serangan migren dengan efek samping

mual yang kurang dan lebih bersifat vasokonstriktor.

c. Sumatriptan suksinat merupakan agonis selektif reseptor 5- Hidroksi

(56)

21

2.9.5 Pengobatan pencegahan

Pengobatan pencegahan diberikan bila terdapat lebih dari 2 kali serangan

dalam sebulan. Obat pencegah migren adalah (Kelley, 2012) :

a. Beta-blocker

b. Antagonis Ca

c. Antiserotonin dan antihistamin

d. Antidepresan trisiklik

(57)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Migren adalah salah satu masalah klinis yang paling umum dan sering

dikeluhkan dalam dunia medis. Migren adalah gangguan neurovaskular yang

ditandai dengan episode nyeri kepala rekuren, disfungsi sistem saraf otonom dan

pada beberapa pasien tertentu disertai dengan aura berupa gejala neurologis

(Vanmolkot, De Hoon, 2010). Prevalensi migren biasanya dimulai setelah

pubertas dan berlanjut sampai usia pertengahan akhir. Prevalensi migren pada

orang dewasa adalah 10-12% setahun. Migren tanpa aura merupakan jenis migren

yang tersering dijumpai. Rasio migren tanpa aura berbanding migren dengan aura

adalah 5 : 1 (Peter P, 2009).

Menurut statistik, prevalensi migren sebesar enam kali lipat epilepsi,

namun masalah ini sering terabaikan di bidang pendidikan maupun penelitian

kedokteran. Padahal migren sering menjadi penyebab menurunnya kualitas hidup

dan mempunyai dampak besar di bidang sosial-ekonomi (Smitherman et al,

2011). Diperkirakan masalah ini mengakibatkan hilangnya pekerjaan sebesar

100.000 hari per 100 pernderita migren, sehingga menduduki peringkat ke-3

dalam pengeluaran terbanyak di bidang Neurologi setelah demensia dan stroke.

Sangat sulit untuk menentukan prevalensi yang tepat dari migren pada

masyarakat, mengingat tidak semua penderita berobat ke dokter (Lipton, 2007).

Angka kejadian migren lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan

laki-laki, kurang lebih tiga kali lebih banyak (Ojini, et al., 2009). Perempuan lebih

banyak terkena migren diduga karena faktor hormonal (hormonally-driven)

berupa estrogen. Di Negara Barat angka kejadian migren berkisar antara 8-14%,

sedangkan di Asia lebih rendah yaitu 4-8%. Penelitian di Eropa dan Amerika

menunjukkan bahwa 15-18% perempuan, 6-8% laki-laki, 4% anak-anak

mengalami migren setiap tahun, sedangkan di Asia 10% pada perempuan dan 3%

(58)

2

sebesar 18,26% pada perempuan dan 14,87% pada laki-laki sedangkan di Jakarta

sebesar 52,5% pada perempuan dan 35,8% pada laki-laki (Funaidi., 2013).

Patofisiologi terjadinya migren masih belum dapat dipastikan. Teori

mengenai patofisiologi migren yang berkembang saat ini adalah teori

neurovaskular yang komprehensif, yaitu gabungan antara teori neurogenik dan

teori vaskular. Teori neurovaskular menyatakan bahwa pada penderita migren

terdapat suatu keadaan hipereksitabilitas, yaitu bila otak terpapar lingkungan yang

mencetuskan migren, akan terjadi perubahan neurokimia, aktivasi sistem

trigeminovaskular, pelepasan peptida vasoaktif, inflamasi neurogenik dan

hipereaktivitas serebrovaskular (Goadsby, 2012).

Reaktivitas serebrovaskular merupakan kemampuan vasokonstriksi atau

vasodilatasi pembuluh darah serebral untuk beradaptasi terhadap suatu keadaan

tertentu sebagai salah satu mekanisme autoregulasi serebral, yang dinilai dengan

persentase perubahan aliran darah rata-rata. (Geppetti P, 2012). Reaktivitas

serebrovaskular dapat diprovokasi oleh beberapa hal, seperti perubahan kadar

CO2 (dengan stimulasi hiperventilasi dan tahan napas/inhalasi CO2), injeksi

asetazolamid, dan memposisikan kepala di bawah (Sloan, 2009).

Pada beberapa penelitian, telah dibuktikan adanya reaktivitas

serebrovaskular yang lebih tinggi pada penderita migren dengan

Gambar

Tabel 5.1. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Umur
Tabel 5.3. Proporsi Kasus Migren Berdasarkan Aura
Gambar 5.3. Proporsi migren berdasarkan aura
Gambar 5.4. Proporsi migren berdasarkan nyeri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola atau jenis kelainan kulit yang sering diderita pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.. Rancangan

Berdasarkan hasil survey,jumlah pasien stroke iskemik yang dirawat inap di Bagian Neurologi FK-USU/RSUP Haji Adam Malik Medan per tanggal 1 Januari sampai 31

polip hidung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012-2014. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan keluhan pada pasien

RSUP Haji Adam Malik Medan yang memiliki riwayat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil onikomikosis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RSUP Haji Adam Malik periode Januari

kodon yang bermutasi pada isolat klinis pasien MDR-TB pada RSUP Haji Adam Malik Medan sesuai dengan yang dilaporkan untuk strain dari bagian lain dunia,

RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit rujukan dimana hepatitis. C merupakan penyakit rujukan sehingga diharapkan dapat

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosa menderita hepatitis C berdasarkan data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik Medan mulai 01 Januari 2013 – 06