SANWACANA
Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar
sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh
sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pengalaman tersebut kelak dapat bermanfaat
di masa yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
3. Ibu Maya Syafira S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan masukan, serta kesabarannya dalam membimbing
Penulis selama penulisan skripsi ini;
4. Bapak Gunawan Djatmiko, S.H., M.H., Pembimbing I yang senantiasa memberikan saran dan masukan, serta atas kesabarannya dalam membimbing
Penulis selama penulisan skripsi ini;
5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., Pembahas I yang telah banyak memberikan
saran dan masukan untuk kebaikan penulisan skripsi ini;
6. Ibu Donna Raisa, S.H., M.H., Pembahas II yang telah memberikan masukan
dan saran untuk kebaikan penulisan skripsi ini;
7. Ibu Erna Dewi, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah memberikan
nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan;
8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan atas
bantuannya selama ini;
9. Mbak Sri, Mbak Yanti,Babe Narto terima kasih atas bantuannya selama ini;
10. Seluruh responden yang telah bersedia memberikan info dan masukan
sehingga skripsi ini bisa di selesaikan oleh Penulis dengan baik;
11. Ayah dan Ibu tercinta, atas doa, pengorbanan serta dukungan dan kasih sayang
tak henti-henti yang membuat Penulis selalu bersemangat memberikan yang
terbaik bagi masa depan;
12. adikku tersayang, atas motivasi, dukungan dan semangat yang diberikan;
13. Sahabat dan Someone special dikampus dan Rumah Suci Srs, Seto Portal,
Mamen, Agung, Erwin SH, Ibror SH, Puji SH, Veno
SH.Edwin,Arif,Lukman,Vina,Indra,Okto dan yang tidak bisa disebutkan satu
persatu terima kasih buat segala bantuan, semangat, dan kegalauan nya selama
beberapa tahun ini, tetap semangat kawan semoga kita semua bisa sukses
kedepannya.
Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan
dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi
kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Bandar Lampung, 16 Mei 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 23 Januari
1990, yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan
Bapak Sujana dan Salmalinda.
Penulis menyelesaikan pendidikan dimulai dari Taman Kanak-kanak di TK
Aisyiah tahun 1995, pendidikan dasar di SD Negeri 2 Talang Teluk betung pada
tahun 2001, pendidikan lanjutan di SMP Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun
2004, dan pendidikan menengah atas di SMA Xaverius Pahoman pada tahun
2007.
Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan kemudian
mengambil minat pada bagian Hukum Pidana.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan
mahasiswa seperti PAMA FH, Selain itu, pada Tahun 2010 penulis mengikuti
kegiatan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) program Studi Banding yang
PERSEMBAHAN
Puji syukurku sebagai hamba yang lemah kepada Allah SWT
atas semua nikmat dan karunia-Nya.
Sebagai wujud ungkapan rasa cinta, kasih dan sayang serta bakti yang tulus,
kupersembahkan karya ini
teruntuk :
Kedua orang tuaku tercinta yang terus berjuang tanpa kenal lelah, menyayangi
dengan tulus ikhlas tanpa mengharap balasan dan senantiasa berdoa untuk
kebahagiaan dan masa depan anak-anaknya.
Kakak, adik dan kekasihku tersayang yang selalu memberi motivasi
dan semangat dalam hidupku.
MOTTO
“Bacalah”
(QS: Al-Alaq)
Kehidupan sesungguhnya adalah detik ketika kamu dapat melihat
mendengar dan merasakan,
“Born To Be Wealth n’ Health”
Judul Skripsi : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)
Nama Mahasiswa :SATRIA PARANDAY
No. Pokok Mahasiswa : 0742011306
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Gunawan Djatmiko, S.H., M.H. Maya Syafira, S.H., M.H.
NIP 196004061989031003 NIP 19776012005012002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :Gunawan Djatmiko, S.H., M.H.
...
Sekretaris/Anggota :Maya Syafira, S.H., M.H.
...
Penguji Utama :Eko Rahardjo, S.H., M.H.
...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H. M.S.
NIP 19621109 198703 1 003
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM UI, Jakarta.
Moeljatno. 2005.Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggung-jawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Utomo. Bandung.
Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Angkasa. Jakarta.
Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Gema Insani Press. Jakarta.
Soedarto. 1981. Suatu Dalam Pembaharuan System Pidana Indonesia, Dalam Beberapa Guru Besar Berbicara Tentang Hukum Dan Pendidikan Hukum, Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan. Alumni. Bandung.
_______. 1990.Hukum Pidana I. Yayasan Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Soekanto, Soerjono. 1984.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Surayin. 2007.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Yrama Widya. Bandung.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.
DAFTAR PUSTAKA
Daliyo, J.B. 2001.Pengantar Hukum Indonesia. Prenhallindo. Jakarta.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia. Sentra HAM UI, Jakarta.
Hull, Terence H, Endang Sulistyaningsih, Gavin W. Jones. 1997. Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya. Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan The Ford Foundation, Jakarta.
Kansil, C.S.T. 2004.Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Moeljatno. 2005.Asas-asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Poernomo, Bambang. 1997. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soejono. 1984.Penelitian Hukum Normatif. Rajawali Press. Jakarta. Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Normatif Suatu
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7
E. Sistematika Penulisan ... 12
DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 14
B. Pengertian dan Jenis-jenis Tindak Pidana... 17
C. Pengertian Mucikari atau Germo ... 21
D. Pengertian Perdagangan Orang ... 24
DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 30
B. Jenis dan Sumber Data ... 31
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34
E. Analisa Data ... 35
DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 36
C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap
Mucikari dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang... 49
DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 58
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No 470/Pidsus/2011/PN.TK)
( Skripsi )
Oleh :
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
2012 Satria Paranday
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjung Karang No 470/Pidsus/2011/PNTK)
Oleh: Satria Paranday
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapi Gelar Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam
penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi
ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan
berdasarkan perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah didakwa dalam
dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
296 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 6 (enam), selanjutnya
diputus oleh Majelis Hakim dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dan
15 (lima belas) hari. Terdakwa sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan tersebut, karena sudah memenuhi unsur-unsur
suatu tindak pidana yaitu perbuatan terdakwa telah mempunyai unsur-unsur
perbuatan manusia, diancam atau dilarang oleh undang-undang, bersifat
melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu
mempertanggungjawabkannya. Oleh sebab itu, terdakwa Andre bin Herman
secara sah dan meyakinkan bersalah terbukti melakukan tindak pidana yaitu
orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul dengan menjadi
59
2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap Mucikari dalam
dalam perkara Nomor: 470/Pid/Sus/2011/PN.TK adalah telah terpenuhinya
unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 296 KUHP, unsur tersebut yaitu unsur
barangsiapa, unsur dengan sengaja, unsur menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul orang lain dengan orang lain serta unsur sebagai pekerjaan
atau kebiasaan. Selain sudah terpenuhinya seluruh unsur tindak pidana tersebut
yang merupakan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana, hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
terdakwa yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan norrma agama dan
norma kesusilaan, terdakwa secara sadar melakukan perbuatannya tersebut,
Perbuatan terdakwa telah merugikan saksi korban. Dan juga terdapat hal yang
meringankan diantaranya terdakwa bersikap sopan dan mengakui terus terang
atas perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya, Terdakwa dalam
melakukan perbuatannya tidak menggunakan paksaan, terdakwa belum pernah
dihukum.
B. Saran
Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai
alternatif pemecahan masalah tindak pidana mucikari di masa yang akan datang
sebagai berikut :
1. Mengenai pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana
kesusilaan hendaknya pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi hukuman yang
60
merupakan salah satu kejahatan dan penyakit masyarakat yang begitu
complicated yang di dalamnya terdapat bentuk pelecehan terhadap kaum perempuan terutama anak-anak.
2. Hendaknya hakim dalam mempertimbangkan putusan pidana bagi pelaku
mucikari dalam tindak pidana kesusilaan tidak hanya berpedoman pada hukum
positif saja, tetapi menggunakan pertimbangan hati nurani karena dampak dari
perbuatan terdakwa nyata-nyata dapat merugikan masa depan kaum
perempuan dan merusak moral serta martabat penerus bangsa apabila
III.METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif
dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan,
doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan
dengan permasalahan yaitu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan
mucikari dalam tindak pidana kesusilaan. Pendekatan masalah secara yuridis
normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan
yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis
berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji
melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang
merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan-penemuan
ilmiah (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1986: 15).
Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan
31
pendapat, sikap dan perilaku hukum yang didasarkan pada identifikasai hukum
dan efektifitas hukum.
B. Jenis dan Sumber Data
Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam penelitian
ini data yang diperoleh berdasarkan data lapangan dan data pustaka. Jenis data
pada penulisan ini menggunakan dua jenis data, yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama
(Soerjono Soekanto, 1984:12). Dengan demikian data primer merupakan data
yang diperoleh dari studi lapangan yang tentunya berkaitan dengan pokok
penulisan. Penulis akan mengkaji dan meneliti sumber data yang diperoleh dari
hasil penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan
dengan melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan
mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep dan
pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan permasalahan penelitian.
Jenis data sekunder dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer,
32
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP).
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia.
4) Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik
Indonesia.
5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang diartikan Perdagangan Orang.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer, dalam hal ini yaitu terdiri dari :
1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2) Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan
Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung.
3) Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 470/Pidsus/2011/
33
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, terdiri
dari literatur-literatur, mass media dan lain-lain.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga
(Masri Singarimbun, 1987: 152). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi
yaitu Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim
Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang dan Dosen Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi,
penulis melakukan metode wawancara kepada responden yang telah dipilih
sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh responden.
Metode penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti yaitu menggunakan
Metode Proporsional Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan penunjukan yang sesuai dengan wewenang atau kedudukan
sampel (Irawan Suhartono, 1999: 89). Adapun sampel yang dijadikan responden
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung = 2 orang
b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang = 1 orang
34
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan
Yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan baik dari bahan
hukum primer berupa undang-undang dan peraturan pemerintah maupun dari
bahan hukum skunder berupa penjelasan bahan hukum primer, dilakukan
dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur maupun pendapat para
sarjana atau ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.
b. Studi Lapangan
Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden untuk memperoleh
data tersebut dilakukan studi lapangan dengan cara menggunakan metode
wawancara.
2. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari data skunder maupun data primer kemudian dilakukan
metode sebagai berikut :
a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah
masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan
penulisan yang akan dibahas.
b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian
dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara
35
c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan masing-masing
data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga mempermudah
pembahasan.
E. Analisis Data
Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif,
yaitu analisis yang dilakukan secara deskriptif, yakni penggambaran argumentasi
dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Kemudian hasil analisis tersebut
dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir
yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Van Hammel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan
kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat.
c. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat
disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.
(P.A.F. Lamintang, 1997: 108)
Menurut Moeljatno (2005 : 37) menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana
tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping
itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam
asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).
Selanjutnya, dalam hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak
pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar.
15
keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
44, 48 dan 49 ayat (2) KUHP.
Selain hal di atas, juga alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang
yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang
mengatur bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
48, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.
Pasal 44 KUHP :
a. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
b. Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
c. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.
Pasal 48 KUHP :
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
Pasal 49 ayat (1) KUHP :
a. Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP :
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang,
16
Pasal 51 KUHP :
a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
b. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Menurut Van Hamel, pada delik-delik yang oleh Undang-Undang telah
disyaratkan bahwa delik-delik itu harus dilakukan dengan sengaja,opzetitu hanya dapat ditujukan kepada :
a. Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan
untuk tidak melakukan sesuatu.
b. Tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.
c. Dipenuhi unsur-unsur selebihnya dari delik yang bersangkutan.
(P.A.F. Lamintang, 1997: 284).
Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku
karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum
pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa untuk dapat
dipertanggungjawabakan secara pidana, tidak ada alasan pemaaf sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44, 48 dan 49 (2) KUHP dan tidak ada alasan pembenar
sebagaimana dimaksud pada Pasal 48, 49 (1), 50, dan 51 KUHP. Penegasan
tentang pertanggungjawaban adalah suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan
17
keduanya diadakan oleh aturan hukum, jadi pertanggungjawaban tersebut adalah
pernyataan dari suatu keputusan hukum.
B. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana menurut Bambang Poernomo (1997: 86), yaitu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan
umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang
berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang
menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.
Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo (1997: 87), tindak pidana adalah
suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa
oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang
menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan
diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang
mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga
siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman)
(J.B. Daliyo, 2001: 93).
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
18
siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.
(Moeljatno, 2005: 54)
Menurut D. Simons dalam C.S.T. Kansil (2004: 37), Peristiwa pidana itu adalah
“Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande
handeling Van een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah
perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut Simons, unsur-unsur peristiwa pidana adalah:
a. Perbuatan manusia(handeling)
b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum(wederrechtelijk)
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana(Strafbaar gesteld)oleh Undang-undang d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab
(Toerekeningsvatbaar)
19
Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.
Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu
memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan
hukum.
d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang
dilanggar itu dicantumkan sanksinya.
(J.B. Daliyo, 2001: 93)
Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa
pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu
kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang
20
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan.
b. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.
c. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.
d. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.
e. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.
f. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.
(J.B. Daliyo (2001: 94)
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal
kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu:
1. Kejahatan(Crimes)
2. Perbuatan buruk(Delict)
3. Pelanggaran(Contravention)
Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dua
jenis yaitu“Misdrijf”(kejahatan) dan“Overtreding”(pelanggaran).
(Moeljatno, 2005: 40)
Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan
praktek dibedakan pula antara lain dalam:
a. Delik CommissionisdanDelikta Commissionis.
Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
21
(berbuat sesuatu) pernuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
Delikta Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.
b. Ada pula yang dinamakan delikta Commissionis Peromissionem Commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pulaDelik DolusdanDelik Culpa
Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP.
dilakukan dengan tidak berbuat.
c. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan) d. Delik menerus dan tidak Menerus.
(Moeljatno, 2005: 75-77)
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat diketahui ada beberapa pengertian
tindak pidana maupun perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya memmpunyai
pengertian, maksud yang sama yaitu perbuatan yang melawan hukum pidana dan
diancam dengan hukuman/sanksi pidana yang tegas.
C. Pengertian Mucikari atau Germo
Germo-germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, cab-cab dan anggota-anggota
organisasi gelap penjual wanita dan pengusaha bordir melakukan pemaksaan
terhadap para pelacur dengan cara ditawan atau dijebak dan dipaksa. Dengan
bujukan dan janji-janji manis, ratusan bahkan ribuan gadis-gadis cantik dipikat
dengan janji akan mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar. Namun
pada akhimya mereka dijebloskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang dijaga
dengan ketat. Dengan paksa, kejam dan sadis dengan pukulan dan hantaman
mereka itu harus melayani buaya-buaya seks yang tidak berperikemanusiaan. Jika
para gadis itu tampak ragu-ragu dan enggan melakukan relasi seks maka mereka
22
sehingga mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Gadis-gadis yang
dieksksploitir oleh para germo-germo akan diancam dengan pembunuhan apabila
mereka itu mencoba melarikan diri atau mengadukan nasib kepada polisi.
Lokalisasi yang pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu
merah. dikelola oleh mucikari atau germo. Di tempat tersebut disediakan segala
perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian dan alat berhias juga tersedia
macam-macam gadis dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Disiplin
di tempat-tempat lokalisasi tersebut diterapkan dengan ketat, misalnya tidak boleh
mencuri uang langganan, dilarang merebut langganan orang lain, tidak boleh
mengadakan janji di luar, dilarang memonopoli seorang pelanggan dan lain-lain.
Wanita-wanita pelacur itu harus membayar pajak rumah dan pajak obat-obatan
sekaligus juga uang keamanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya.
Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil
saja dan pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus
diberikan kepada germo, cab-cab, centeng-centeng, pelindung dan lain-lain.
Dengan kata lain, ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan
keringat para pelacur ini.
Pengaturan pidana dan pemidanaan terhadap mucikari/germo di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada Buku II Bab XIV tentang
kejahatan terhadap kesusilaan dan Buku III Bab II tentang pelanggaran ketertiban
umum. Pada Kejahatan terhadap kesusilaan diatur di dalam Pasal 296 KUHP yang
23
terhadap ketertiban umum diatur di dalam Pasal 506 KUHP yang menjelaskan
tentang mucikari atau germo.
Pasal 296 KUHP menjelaskan:
“Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya
sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah”.
Selanjutnya Pasal 506 KUHP:
“Barangsiapa menarik keuntungan dan perbuatan cabul seorang wanita
dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama
satu tahun”.
Namun dalam praktek sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari mi selalu ditolerir
secara inkonvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan
pemerasan yang tidak resmi. Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP tentang praktik
mucikari/germo dan mucikari terdapat unsur-unsur pidana antara lain:
1. Dilakukan dengan sengaja.
2. Dengan menarik keuntungan dan perbuatan tersebut.
3. Adanya pencarian: jika dalam hal tersebut ada pembayaran.
24
D. Pengertian Perdagangan Orang
Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia. Pada
jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem
pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan
sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain
tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir
tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda
kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang
berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya
dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan
keluarga istana. Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri
seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai
barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya
kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks
menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi
kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para
utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang
(1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan
pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak
perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani
25
Masalah perbudakan atau penghambaan di era kemerdekaan terlebih di era
reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, tidak ditolerir lebih jauh
keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan
atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang yang
diancam dengan pidana penjara lima sampai dengan lima belas tahun (Pasal
324-337 KUHP).
Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi
terjadinya globalisasi, juga dimanfaatkan oleh hamba kejahatan untuk
menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru
yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan sangat halus
menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan
berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri.
Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai
26
payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“... rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau
pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun
penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang
secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk
eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ
tubuh”).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari
perdagangan orang, yaitu :
a. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.
b. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
c. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
27
Berdasarkan ketiga unsur tersebut, yang perlu diperhatikan adalah unsur tujuan,
karena walaupun untuk korban anak-anak tidak dibatasi masalah penggunaan
sarananya, tetapi tujuannya tetap harus untuk eksploitasi.
Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari
suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup,
dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi
timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari
kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan
sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah
mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi.
Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam
perdagangan orang.
Perdagangan Orang menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
28
Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menentukan bahwa
tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini. Kemudian, dijelaskan secara lengkap mengenai unsur-unsur yang
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 sebagai berikut :
Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4
29
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 6
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk
sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan, pengangkutan antar daerah
dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan orang, terutama perempuan
dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan, penipuan, pemanfaatan
posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk tujuan mengeksploitasi adalah
tindakan berupa penindasan, pemerasan dan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga
dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain dengan tujuan pelacuran dan
eksploitasi seksual (termasuk phaedopili) buruh imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri pornografi, peredaran obat terlarang,
penjualan organ tubuh yang dilakukan dengan cara sewenang-wenang atau
penipuan untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril.
(Harkristuti, 2003 : 45)
2
cara profesional dan sifatnya telah melampaui lintas negara sebagai salah satu
bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok yang
terorganisasi maupun sebuah korporasi. Permintaan pasar yang cukup besar
karena maraknya bisnis hiburan di kota-kota besar, sehingga membuat sebagian
perempuan dan anak termasuk orang tua, menjadi korban penipuan oleh para calo
atau perantara yang keluar masuk desa atau kelurahan. Kondisi ini didorong pula
oleh latar belakang keluarga di bidang ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan
dan terbatasnya lapangan kerja di daerah.
Perdagangan orang menurut Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diartikan
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Selanjutnya bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan sanksi yang
cukup berat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu dipidana
3
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Tabel 1. Data Korban Perdagangan Orang Mulai dari Maret 2005-April 2008
No Provinsi Jumlah
Sumber :http://www.detikNew.com, diakses tanggal 13 Oktober 2011.
Berdasarkan daerah asal, maka para korban sebagian besar berasal Kalimantan
Barat (707), Jawa Barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340), Nusa
Tenggara Barat (217), Sumatera Utara (211), Lampung (157), Nusa Tenggara
Timur (122), Sumatera Selatan (65), Banten (64), Sulawesi Selatan (55), dan DKI
Jakarta (42). Sementara dilihat dari daerah atau negara tujuan mereka
diperdagangkan adalah selain di dalam negeri, sebagian besar ke Malaysia, Saudi
Arabia, Singapura, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan, Iraq.
Perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana untuk
memperkaya diri sendiri. Biasanya, perdagangan perempuan lebih kearah
praktek-praktek prostitusi dan tunasusila yang dilakukan oleh germo/mucikari. Pengertian
4
Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna
Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, adalah orang laki-laki atau
perempuan yang menyelenggarakan pengusahaan rumah atau tempat pelacuran
dengan memelihara pelacur wanita.
Salah satu kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh seorang mucikari atas
nama Andre bin Herman dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa
putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor: 470/Pidsus/2011/
PN.TK. Dimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun secara
alternatif yaitu dengan dakwaan pertama melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP
Jo. 506 KUHP dan dakwaan kedua melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Setelah proses persidangan, ternyata terdakwa didakwa dengan dakwaan pertama
dan dijatuhi pidana penjara selama 4 bulan 15 hari. Apabila dibandingkan dengan
ancaman pada dakwaan kedua tentunya masih belum efektif dan belum mampu
menimbulkan efek jera bagi pelaku yang lain, maksudnya dengan adanya sanksi
yang ringan menyebabkan seseorang tidak mengurungkan niatnya untuk
melakukan perbuatan serupa. Sedangkan ancaman tersebut masih sangat jauh
dibandingkan dengan ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Ancaman pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana kesusilaan dalam kasus di
5
dimana penegakan hukum pada dasarnya sebagai instrumen untuk memperoleh
rasa keadilan ternyata belum maksimal. Penderitaan yang dialami oleh korban di
mata hukum ternyata belum mampu dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum
dalam proses penegakan hukum terutama penjatuhan pidana penjara bagi pelaku
tindak pidana.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan
judul : “Pertanggungjawaban Pidana Mucikari dalam Tindak Pidana Kesusilaan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang No. 470/Pidsus/2011/
PN.TK)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan
dikemukakan adalah :
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana
kesusilaan?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK?
2. Ruang Lingkup
Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Pidana yang ruang
lingkupnya membahas tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak
6
Negeri Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/ 2011/PN.TK. Sedangkan
ruang lingkup tempat penelitian yaitu pada wilayah hukum Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjungkarang.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang :
a. Pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan.
b. Dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis, kegunaan penulisan ini adalah dalam rangka pengembangan
kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan
disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
b. Secara Praktis, kegunaan penulisan ini adalah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan pemikiran
bagi aparat penegak hukum dalam rangka penjatuhan pidana terhadap pelaku
7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Menurut Soerjono Soekanto (1984:125, kerangka teoritis adalah konsep-konsep
yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan
pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi
sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.
Teori yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada yaitu
menggunakan pendapat ahli hukum tentang pertanggungjawaban pidana pelaku
mucikari dalam tindak pidana perdagangan orang serta dasar pertimbangan hakim
dalam memutus perkara yang dapat digunakan penulis sebagai acuan dalam
menganalisis permasalahan yang ada.
Moeljatno (2005: 73) menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup
dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada
kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum
yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine straf).
Roeslan Saleh (1981 : 126), mengemukakan bahwa pertanggungjawaban adalah
sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan,
yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan dipertanggungjawabkan oleh si
pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai,
8
berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum yang tetap. Untuk adanya
pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan, ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan
sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana.
Barda Nawawi Arief (1995:106) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban
menurut ilmu hukum adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap
kesalahannya telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan dilarang
oleh undang-undang dan tidak dibenarkan masyarakat atau tidak patut menurut
pandangan masyarakat, melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur
peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) dan antara keduanya terdapat
hubungan yang erat dan saling terkait.
Menurut Harkristuti (2003 : 45), Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama
perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia. Perdagangan orang (trafficking) dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan eksploitasi, meliputi kegiatan perekrutan, penerimaan,
pengangkutan antar daerah dan atau antar negara, penyerahan, dan penerimaan
orang, terutama perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan
kekerasan, penipuan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang untuk
tujuan mengeksploitasi adalah tindakan berupa penindasan, pemerasan dan
pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan atau kemampuan seseorang oleh pihak lain
9
imigran, adopsi, kawin paksa, pekerja rumah tangga, pengemis, industri
pornografi, peredaran obat terlarang, penjualan organ tubuh yang dilakukan
dengan cara sewenang-wenang atau penipuan untuk mendapatkan keuntungan
baik materil maupun immateril.
Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 menentukan bahwa
perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara
maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi
Kebebasan Hakim atau pengadilan adalah “gebonden vrijheid”, yaitu kebebasan terikat/terbatas karena diberi batas oleh undang-undang yang berlaku dalam batas
tertentu. Hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan menentukan jenis pidana
(strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (strafmodus) dan kebebasan untuk menemukan hukum (rechtvinding).
Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak
mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat,
10
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Soedarto (1990 : 74) menyatakan bahwa kebebasan hakim mutlak dibutuhkan
terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan.
Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :
a. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan
perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;
b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
dan dapat dipidana dan akhirnya;
c. Keputusan mengenai pidananya, apakah terdakwa memang dapat dipidana.
Bismar Siregar (1995 : 36) berpendapat bahwa segala putusan pengadilan selain
harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang
hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim
dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara
yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya
dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi
yang lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
11
2. Konseptual
Menurut Soerjono Soekanto (1984: 124), kerangka konseptual adalah suatu
kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti,
baik dalam penelitian normatif maupun empiris.
Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
melakukan penelitian. Maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok
yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang
tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan
tindak pidana (Wirjono Projodikoro, 2003: 71).
b. Pelaku yaitu orang yang melakukan dan menjadi penanggung jawab mandiri
(Wirjono Projodikoro, 2003 : 89).
c. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat (Mulyana W. Kusumah,
1984: 58)
d. Mucikari adalah orang yang dengan sengaja menghubungkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan
12
e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan
mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).
f. Tuna susila adalah seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan
hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dengan
bergantian pasangan di luar perkawinan yang sah dengan mendapat uang,
materi atau jasa (Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan
Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung).
E. Sistematika Penulisan
Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka
penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun
sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan
diangkat dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan
yang dianggap penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian.
Selanjutnya juga membuat tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi
dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu
pembahasan tentang pokok permasalahan mengenai pengertian
pertanggungjawaban pidana, pengertian dan jenis-jenis tindak pidana,
13
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian
berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan
masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur
analisis data yang telah didapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi
serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan
tentang tentang pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana
kesusilaan dan dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri
Kelas IA Tanjungkarang Nomor 470/Pidsus/2011/ PN.TK.
V. PENUTUP
Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan
hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta
ABSTRAK
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA MUCIKARI DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN
Oleh
SATRIA PARANDAY
Tindak pidana kesusilaan biasanya dilakukan melalui praktek-praktek prostitusi dan tuna susila yang dilakukan oleh germo atau mucikari. seperti halnya kasus yang yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang yang tertuang dalam putusan Nomor 470/Pid.Sus/2011/PN.TK. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban pidana mucikari dalam tindak pidana kesusilaan? Apakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap mucikari dalam tindak pidana kesusilaan?
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpilan secara deduktif.
Satria Paranday