• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat di Provinsi Jawa Barat"

Copied!
218
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT

DI PROVINSI JAWA BARAT

`

DISERTASI

Oleh:

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: “DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR EKONOMI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT DI PROVINSI JAWA BARAT” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Febuari 2012

(3)

IFAN HARYANTO. Impact of The Transportation Infrastructure Investment towards Economic Sector’s Labor Absorption and Household’s Income Distribution In West Java Province (DEDI BUDIMAN HAKIM as a Committee Chairman, W.H. LIMBONG, and MUHAMMAD FIRDAUS as committee members).

The existing condition of transportation infrastructure in West Java Province does not support effectively the economic performance of the region. The physical condition of West Java’s road infrastructure in the recent years is deteriorating. In the linkage analysis, the driving economic sectors in West Java are strongly connected with the transportation infrastructure’s condition. The leading sectors of backward and forward linkage in the West Java Province are industry, agriculture and trade. The path analysis indicates that every single policy related to road infrastructure’s improvement encourage the performance of leading sectors as well as influence the employment’s absorption and household’s income distribution. This is clearly proven by the research result that reveals the shock of transportation infrastructure’s improvement will provide a multiplier effect to the economic sectors and to the various types of household. Generally, based on findings, the improvement of transportation’s infrastructure in west java Province will boost the economic performance and increase the absorption of employment. Obviously, the investment in transportation infrastructure will also affect the distribution of household income in West Java.

(4)

IFAN HARYANTO. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh: BUDIMAN HAKIM, DEDI, LIMBONG, W.H, FIRDAUS, MUHAMMAD.

Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan wilayah-wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan lebih baik. Efektifitas investasi infrastruktur transportasi untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen serta sektor-sektor unggulan, sehingga mampu memberikan stimulus perekonomian seperti yang diharapkan.

Jawa Barat sebagai daerah ekonomi potensial memiliki berbagai keunggulan, diantaranya keunggulan letak geografis. Peningkatan infrastruktur transportasi diperkirakan akan menjadi stimulan bagi peningkatan investasi, baik investasi dalam negeri maupun luar negeri. Penyediaan infrastruktur transportasi yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur transportasi harus didasari atas berbagai pertimbangan seperti halnya pertimbangan terhadap sektor ekonomi yang berkembang maupun pertimbangan kewilayahan. Pengembangan dengan mempertimbangkan sektor ekonomi misalkan dengan melihat kepada sektor-sektor unggulan yang berkembang di Jawa Barat. Sedangkan dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan infrastruktur transportasi dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, menyerap tenaga kerja serta memperbaiki pemerataan pendapatan. Secara garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan menjadi pemicu peningkatan perekonomian daerah maupun nasional.

(5)

produksi berada pada kelompok rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di desa maupun di kota. Di sisi lain, rumah tangga golongan bawah sektor industri di desa dan buruh tani menerima dampak terendah dikarenakan nilai pengganda global yang dimiliki merupakan yang terendah dibandingkan golongan rumah tangga lainnya.

Selanjutnya untuk mengetahui sektor produksi unggulan di propinsi Jawa Barat dapat dijelaskan melalui nilai pengganda global yang di terima oleh sektor-sektor produksi di provinsi Jawa Barat. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai pengganda global terbesar yang diterima oleh sektor produksi di provinsi ini baik yang disebabkan oleh injeksi faktor produksi, institusi serta sektor produksi berada pada sektor produksi jasa perdagangan dan jasa perorangan, serta jasa lainnya. Sebaliknya,sektor kehutanan dan pertanian tanaman lainnya merupakan sektor-sektor yang menerima dampak terendah dikarenakan nilai pengganda global yang dimiliki merupakan yang terendah dibandingkan sektor produksi lainnya.

Berdasarkan analisis dekomposisi diperoleh hasil bahwa rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di kota memperoleh pengaruh terbesar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lainnya. Simulasi investasi infrastruktur transportasi sebesar Rp. 20.95 trilyun yang diinjeksikan pada perekonomian Jawa Barat menyebabkan peningkatan pendapatan sebesar 18.76% untuk rumah tangga golongan ini. Sebaliknya, rumah tangga golongan bawah sektor industri di desa memperoleh peningkatan pendapatan terendah. Sedangkan sektor produksi yang mendapatkan peningkatan terbesar akibat dari investasi ini adalah sektor industri kertas, percetakan, alat angkutan, industri barang dari logam dan industri lainnya. Sedangkan sektor kehutanan dan perburuan hanya memperoleh peningkatan sebesar 0.36% akibat investasi tersebut.

Sementara itu, berdasarkan analisis jalur terlihat bahwa rumah tangga golongan atas sektor bukan industri di kota memiliki nilai pengganda global terbesar. Bila ditelaah lebih lanjut, rumah tangga golongan atas tersebut mendapatkan pengaruh terbesar dikarenakan kepemilikan atas faktor produksi bukan tenaga kerja atau kapital. Sedangkan golongan rumah tangga bawah sektor industri di desa mendapatkan pengaruh terkecil, dimana pengaruh tersebut diperoleh karena kepemilikan faktor produksi tenaga kerja sebagai buruh, manual dan operator alat angkutan di desa. Temuan ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Harrod-Domar yang menyatakan bahwa pemilik faktor produksi, yang umumnya adalah rumah tangga golongan atas akan memperoleh lebih banyak keuntungan dari sistem perekonomian yang berjalan.

(6)
(7)

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012. Hak Cipta dilindungi Undang-undang.

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

TENAGA KERJA SEKTOR EKONOMI DAN

DISTRIBUSI PENDAPATAN MASYARAKAT

DI PROVINSI JAWA BARAT

IFAN HARYANTO

Disertasi

Sebagai Salahsatu Syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M,Ec

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ardi Adji

Fungsional Peneliti, Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden RI

2. Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec

(10)

dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi

Jawa Barat

Nama

:

Ifan Haryanto

Nomor Pokok

:

H361064144

Program Studi

:

Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui:

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

Ketua

Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS Muhammad Firdaus, MSi.,Ph.D

Anggota

Anggota

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian,

(11)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Ekonomi dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengkaji kondisi infrastruktur dan karakteristik perekonomian Jawa Barat seperti halnya struktur ekonomi sektoral, struktur pendapatan faktorial serta struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga, (2) mengkaji pengaruh dan keterkaitan investasi infrastruktur transportasi terhadap penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan institusi, (3) mengkaji mekanisme transmisi investasi infrastruktur transportasi dapat berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga melalui sektor produksi dan faktor produksi, (4) merumuskan dampak pengembangan infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan serta distribusi pendapatan di Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih dan penghormatan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing; Bapak Prof. Dr. Ir. W.H. Limbong, MS dan Bapak Muhammad Firdaus, MSi., Ph.D masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian disertasi ini.

(12)

4. Sekretariat Program Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya Mba Ruby, Mba Yani, Pak Iwan, Bu kokom dan Pak Husen yang telah membantu penulis dalam kelancaran penyelesaian administrasi selama Penulis mengikuti studi.

5. Istri tercinta, Melany P Lestari dan anak-anak, Aikon, Alyssa dan Aurheva yang telah ikut memberi motivasi dan pengorbanan waktu selama kurang lebih 5 tahun.

6. Pak Margo Yuwono, Pak Setianto, Pak Windi, Pak Wisnu dan rekan-rekan di BPS yang telah memberikan segala dukungannya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang dimiliki penulis, penelitian ini jauh dari sempurna. Walaupun demikian, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Febuari 2012

(13)

Penulis lahir di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 4 Januari 1975, sebagai putra kedelapan dari sepuluh bersaudara putera-puteri keluarga Bapak Hofoer Adiatmodjo, BSc dan Ibu Siti Musringah. Penulis menikah dengan Melany P Lestari Amd,SIP, dan dikaruniai tiga orang anak yaitu : Aikon, Alyssa dan Aurheva

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR………. ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I. PENDAHULUAN………... 1

1.1. Latar Belakang………... 1

1.2. Perumusan Masalah………. 8

1.3. Tujuan Penelitian………... 9

1.4. Kegunaan Penelitian………. 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian……… 11

II. TINJAUAN PUSTAKA………. 13

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi...……… 14

2.2. Teori Kutub Pertumbuhan………... 19

2.3. Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah………... 24

2.4. Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri………... 28

2.5. Perkembangan, Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri di Indonesia……… 35 2.6. Tinjauan Studi Dampak Pembangunan Infrastruktur Dalam Pembangunan Perekonomian Suatu Wilayah………. 40 2.6.1. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi……… 47

2.6.2. Debat: Sebuah Perspektif Sejarah………. 49

2.6.2.1. Periode Awal 1800-1970: Teori Lokasi……….. 50

2.6.2.2. Periode Awal 1970an–1980an: Modelling Wilayah & Perkotaan.. 51

2.6.2.3. Periode 1990an: Pendekatan makroekonomi……….. 53

2.7. Teori Distribusi Pendapatan……… 54

2.8. Studi-Studi Terdahulu………... 59

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS………... 68

(15)

3.3.3. Asumsi dan Keterbatasan Model……… 81

3.4. Investasi Infrastruktur Transportasi dan Pertumbuhan Ekonomi.. 82

3.4.1. Evaluasi Ekonomi Proyek Transportasi………. 82

3.4.2. Dampak Ekonomi Infrastruktur Transportasi……… 83

IV METODOLOGI PENELITIAN………. 86

4.1. Kerangka Sederhana SNSE……… 86

4.2. Kerangka Analisis Pengganda SNSE……… 91

4.3. Metode Penyusunan SNSE………. 96

4.4. Aplikasi Model SNSE Jawa Barat………... 100

4.4.1. Konstruksi SNSE Jawa Barat……….. 100

4.4.2. Tahapan Penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat……….. 101

4.4.3. Pendefinisian Klasifikasi………... 103

4.4.4. Metode Analisis………. 107

4.4.4.1. Analisis Struktur PDRB, dan Struktur Pendapatan serta Pengeluaran Rumah Tangga……….. 107 4.4.4.2. Analisis Dampak Multiplier……….. 108

4.4.4.3. Analisis Dekomposisi……… 108

4.4.4.4. Analisis Jalur (Structural Path Analysis)……… 109

4.4.4.5. Metode Simulasi……… 110

4.4.4.6. Analisis Tenaga Kerja…….……….. 111

4.4.4.7. Analisis Distribusi Pendapatan: Dekomposisi Matrik Income Multiplier……….. 111 V. INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN……….. 114 5.1. Peran Infrastruktur dalam Perekonomian………. 114

5.2. Kondisi Infrastruktur Transportasi Jalan……… 116

5.3. Struktur dan Kinerja Perekonomian………... 119

5.4. Ketenagakerjaan………... 124

(16)

VI ANALISIS MULTIPLIER& DISTRIBUSI PENDAPATAN RMAH

TANGGA………

138

6.1. Infrastruktur dan Kinerja Perekonomian……… 138

6.2. Analisis Keterkaitan Sektoral Jawa Barat………. 140

6.2.1. Analisis Backward dan Forward Linkages……… 142

6.2.2. Interdependensi Sektoral Jawa Barat……… 146

6.3. Analisis Multiplier Sektoral………... 148

6.4. Analisis Multiplier Institusi Rumah Tangga………... 150

6.5. Analisis Dekomposisi Keterkaitan Investasi Infrastruktur Trasportasi……….. 152 6.6. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja……… 157

6.7. Analisis Jalur (Structural Path Analysis) ………... 158

6.8. Dekomposisi global Effect Multiplier mHjA39………. 161

VII. KESIMPULAN DAN SARAN………..……… 169

7.1. Kesimpulan ……….. 169

7.2. SARAN……… 171

(17)

Halaman

1. PDRB (adh berlaku) Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat

Tahun 2010 (persen)………... 5

2. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)………..………... 6

3. Kerangka Data Matriks SNSE………..………... 88

4. Klasifikasi SNSE Jawa Barat, Tahun 2010………... 106

5. Perkembangan Panjang Jalan Menurut Tingkat Kewenangan Pemerintah……….…………...………...……… 117

6. Perkembangan Kondisi Jalan Menurut Kualitas dan Jenis Permukaan Jalan di Jawa Barat Tahun 2008-2010 (km)…………... 118

7. Perkembangan Pangsa PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor………..……….. 121

8. PDRB Harga Berlaku dan Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, Berdasarkan Sektor ………...……….. 123

9. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama, TPAK dan Tingkat Pengangguran di Provinsi Jawa Barat….………...………...……… 124

10. Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan kerja Jawa Barat, Tahun 2009-2010 (persen)……….....……… 125

11 Perkembangan Pangsa penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor………...………... 126

12. Elastisitas Tenaga Kerja Jawa Barat………... 129

13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010……….. 130

14. Struktur Rumah Tangga Jawa Barat 2010………... 133

15. Persentase Pendapatan dan Pengeluaran Terhadap Total Pendapatan Menurut Golongan Rumah Tangga Jawa Barat, 2010 (persen) ………...………...……….. 136

(18)

19. Nilai Pengganda Global Yang Diterima Sektor Produksi di Provinsi

Jawa Barat Tahun 2010………...………... 147

20. Nilai Pengganda Global yang Diterima Rumah Tangga di Provinsi

Jawa Barat Tahun 2010……….. 151

21. Dekomposisi Nilai Pengganda Akibat Injeksi Investasi Infrastruktur

Transportasi di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2010……….. 155

22. Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan

Tenaga Kerja Menurut Sektor di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010…. 158

(19)

Halaman

1. Arus Perputaran uang dalam Perekonomian ……….. 55

2. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional ………... 56

3. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga kerja Sektor Industri dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat……… 70

4. Tahapan Analisis Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi Terhadap Penyerapan Tenaga kerja Sektor Industri dan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat………. 71

5. Skema Sederhana SNSE………..……….. 78

6. Proses Pengganda Antara Neraca Endogen SNSE……… 94

7. Tahapan Penyusunan SNSE Provinsi Jawa Barat……….. 102

8. Dampak Langsung dari jalur (i, j)……….…….. 109

9. Dampak Langsung dari jalur (i, x, y, j)……….…….. 109

10. Pengaruh Total dari jalur (i, x, y, j), berikut adjacent sirkuit………….. 110

11. Pengaruh Global: seluruh jalur utama serta sirkuit yang menghubungkan sektor i dan j……….………….. 110

12.

Transmisi yang Diakibatkan oleh Pengaruh dari Investasi

Infrastruktur Transportasi terhadap Golongan Rumah Tangga

di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

………. 159
(20)

Halaman

1. Dekomposisi global effect multiplier mH1A39 dari matriks Ma…………... 175

2.

Dekomposisi global effect multiplier m

H2A39

dari matriks M

a…… 176

3.

Dekomposisi global effect multiplier m

H3A39

dari matriks M

a…… 177

4.

Dekomposisi global effect multiplier m

H4A39

dari matriks M

a…… 178

5.

Dekomposisi global effect multiplier m

H5A39

dari matriks M

a…… 179

6.

Dekomposisi global effect multiplier m

H6A39

dari matriks M

a…… 180

7.

Dekomposisi global effect multiplier m

H7A39

dari matriks M

a…… 181

8.

Dekomposisi global effect multiplier m

H8A39

dari matriks M

a…… 182

9.

Dekomposisi global effect multiplier m

H9A39

dari matriks M

a…… 183

10.

Dekomposisi global effect multiplier m

H10A39

dari matriks M

a…… 184

11.

Dekomposisi global effect multiplier m

H11A39

dari matriks M

a…… 185

12.

Dekomposisi global effect multiplier m

H12A39

dari matriks M

a…… 186

13.

Dekomposisi global effect multiplier m

H13A39

dari matriks M

a…… 187
(21)

1.1 Latar Belakang

Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting

sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

sarana untuk memperlancar hubungan antara wilayah terpencil dengan pusat

pusat pertumbuhan. Kelancaran arus barang dan jasa serta keterbukaan

wilayah-wilayah potensial dapat digunakan sebagai pendorong percepatan

pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur transportasi yang baik, sumber daya

manusia maupun kapital yang tersebar tersebut juga dapat dimanfaatkan dengan

lebih baik. Efektifitas investasi infrastruktur transportasi meningkatkan

perekonomian dan memberikan manfaat bagi masyarakat tergantung kepada

pemanfaatan sarana transportasi tersebut oleh produsen maupun konsumen

serta sektor sektor unggulan, sehingga mampu memberikan stimulus

perekonomian seperti yang diharapkan.

Jawa Barat sebagai daerah ekonomi potensial memiliki berbagai

keunggulan, diantaranya keunggulan letak geografis. Peningkatan infrastruktur

transportasi diperkirakan akan menjadi stimulan bagi peningkatan investasi, baik

investasi dalam negeri maupun luar negeri. Penyediaan infrastruktur transportasi

yang baik seperti halnya jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya diyakini dapat

memicu limpahan (spill-over) investasi dari wilayah sekitarnya ke wilayah Jawa Barat. Terkait dengan hal tersebut, pengembangan investasi infrastruktur

transportasi harus didasari atas berbagai pertimbangan seperti halnya

(22)

Jawa Barat seperti halnya sektor industri dan sektor pertanian. Sedangkan

dimensi kewilayahan diperhatikan agar pengembangan infrastruktur transportasi

dapat menjangkau wilayah atau daerah terpencil (desa) yang potensial secara

ekonomi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut,

menyerap tenaga kerja serta memperbaiki pemerataan pendapatan. Secara

garis besar, stimulus berupa investasi infrastruktur transportasi diharapkan

menjadi pemicu perekonomian daerah maupun nasional.

Berdasarkan data BPS, nilai investasi fisik (PMTB-Pembentukan Modal

Tetap Bruto) perekonomian nasional, baik yang berasal dari dalam negeri

ataupun luar negeri dari tahun 2007 sampai dengan 2010 mengalami kenaikan

(BPS, 2011). Jika pada tahun 2007 nilai investasi fisik di tingkat nasional adalah

sebesar Rp.985.627,10 milyar, maka pada tahun 2008 naik menjadi

Rp.1.370.716,97 milyar, dan kemudian naik kembali menjadi Rp.1.744.357,09

milyar pada tahun 2009 serta menjadi Rp.2.064.999,83 milyar. Kenaikan nilai

investasi fisik ini merupakan sinyal positif membaiknya perekonomian nasional.

Lebih jauh lagi, berdasarkan data statistik BPS juga dapat disampaikan bahwa

investasi jalan, rel dan jembatan mengalami kenaikan dari Rp.1.103,94 milyar

pada tahun 2007 menjadi Rp.1.458,92 milyar pada tahun 2008 dan naik tajam

menjadi Rp.3.740,67 milyar pada tahun 2009. Namun demikian investasi di

sektor ini mengalami penurunan menjadi Rp.2.730,61 milyar pada tahun 2010.

Sebagai tambahan nilai investasi terminal, pelabuhan, stasiun dan bandara

menunjukkan tren penurunan dari tahun 2007-2009. Jika pada tahun 2007 nilai

investasi di sektor ini sebesar Rp.4.638,87 milyar maka pada tahun 2008 dan

(23)

Namun demikian pada tahun 2010 investasi di sektor ini mengalami kenaikan

menjadi Rp. 3.819,58 milyar.

Di sisi lain, berdasarkan data BPS Jawa Barat, dapat disampaikan bahwa

nilai investasi fisik (PMTB) di Provinsi Jawa Barat selama periode 2007-2010

juga mengalami kenaikan (BPS Jawa Barat, 2011). Jika pada tahun 2007 nilai

investasi fisik di Jawa Barat hanya sebesar Rp. 87.498,79 milyar, maka pada

tahun 2010 adalah sebesar Rp.138.629,06 milyar. Sementara itu berdasarkan

data BPS dapat juga diungkapkan bahwa nilai investasi jalan, rel dan jembatan di

Jawa Barat mengalami penurunan pada kurun waktu 2007-2008 dari

Rp.19.261,72 milyar pada tahun 2007 menjadi Rp.12.510,90 pada tahun 2008.

Setelah mengalami kenaikan tajam menjadi Rp. Rp.30.575,88 milyar pada tahun

2009, investasi di sektor ini turun kembali menjadi Rp.21.212,05 milyar pada

tahun 2010. Sebagai tambahan, investasi terminal, pelabuhan dan stasiun dan

bandara mengalami penurunan dari Rp.5.337,85 milyar pada tahun 2007

menjadi Rp. 4.466,16 milyar pada tahun 2008. Namun demikian setelah itu

investasi di sektor ini secara konsisten mengalami kenaikan dari tahun

2008-2010. Pada tahun 2008 investasi di sektor ini senilai Rp.4.466,18 milyar

kemudian naik menjadi Rp.6.046,90 milyar pada tahun 2009 dan Rp. 6.536,92

pada tahun 2010.

Dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah seperti paket infrastruktur

yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja

Sama Pemerintah dan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010, dan

peningkatan anggaran stimulus fiskal pada bidang infrastruktur serta perluasan

(24)

mengalokasikan dana untuk membiayai berbagai kegiatan memberikan peluang

yang lebih besar bagi setiap daerah untuk melaksanakan aktivitas pembangunan

sesuai dengan potensi yang dimiliki dan memilih sektor-sektor prioritas dalam

mempercepat pertumbuhan ekonomi (Saragih, et al, 2010). Hal ini menunjukkan

perhatian pemerintah yang sangat besar pada pembangunan infrastruktur.

Perhatian pemerintah yang besar pada infrastruktur ini sangatlah relevan

mengingat beberapa temuan studi mengindikasikan pentingnya infrastruktur

terkait dengan dampaknya terhadap perekonomian. Pengungkapan data

perkembangan nilai investasi fisik dan nilai investasi infrastrutur transportasi di

atas, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat Provinsi Jawa Barat dapat

menjadi sinyal awal dukungan pemerintah pada pembangunan infrastruktur

transportasi.

Berdasarkan pada Data Statistik Produk Domestik Bruto (PDB) 2010,

Sektor infrastruktur berkontribusi sebesar Rp.661 trilyun (10.29%) dan menyerap

tenaga kerja sejumlah 4.84 juta (4.5%) dari lapangan pekerjaan utama yang

tersedia (BPS, 2011). Pada tahun yang sama, kontribusi sektor infrastruktur

terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat adalah sebesar Rp. 29.05 trilyun (3.83%)

dan menyerap tenaga kerja sebesar 937.956 jiwa (6%) dari lapangan pekerjaan

utama yang tersedia. Gambaran kontribusi sektor infrastruktur (konstruksi)

dalam PDRB Provinsi Jawa Barat dan kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor

ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Dengan mengamati paparan data

PDRB Jawa Barat tersebut, dapat dilihat bahwa peran Sektor Infrastruktur cukup

penting dalam menopang perekonomian regional Jawa Barat. Dengan melihat

paparan data tersebut juga dapat dilihat kontribusi penting sektor infrastruktur

(25)

Tabel 1. PDRB (adh berlaku) Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)

Lapangan Usaha 2010

1. Pertanian 12.61

2. Pertambangan dan Penggalian 2.02

3. Industri 37.73

4. Listrik Gas dan Air Bersih 3.76

5. Konstruksi non transportasi  2.4

6. Konstruksi tranportasi  1.4

7. Perdagangan Hotel, & Restoran 22.41

8. Pengangkutan & Komunikasi 7.09

9. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 2.75

10. Jasa‐Jasa 8.86

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Meningkatnya aktivitas di sektor industri akan menyerap tenaga kerja dan

kinerja perekonomian. Baik di Indonesia maupun di Provinsi Jawa Barat kegiatan

industri merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian

serta mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Menurut data BPS

(2011), sektor industri menyumbang Rp.1.594,3 trilyun terhadap PDB adh

berlaku (24.82%), dengan tenaga kerja yang terserap pada sektor ini sebesar

13.05 juta jiwa (12.14%). Pada periode yang sama, sektor industri menyumbang

Rp. 290.75 trilyun (37.7%) terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat dan menyerap

tenaga kerja sejumlah 3.111.149 jiwa (18%) di Provinsi Jawa Barat. Gambaran

kontribusi sektor industri dalam PDRB Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada

Tabel 1. Sedangkan kontribusi sektor industri bagi penyerapan tenaga kerja

dapat dilihat pada Tabel 2. Menyadari pentingnya pengaruh sektor industri bagi

perekonomian, sektor ini perlu mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah,

(26)

membangkitkan kegiatan ekonomi nasional/wilayah. Sebagai catatan, pada

periode yang sama, sektor industri pengolahan di Jawa Barat menurut data

statistik berkontribusi sebesar 60 % dari total pendapatan sektor industri

pengolahan di tingkat nasional (BPS Jawa Barat, 2011). Dengan demikian peran

sektor industri di Provinsi Jawa Barat bisa dikatakan sangat penting bagi

perekonomian nasional.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)

Lapangan Usaha 2010

1. Pertanian 27.0

2. Pertambangan dan Penggalian 1.0

3. Industri 18.0

4. Listrik Gas dan Air Bersih 0.1

5. Konstruksi non transportasi  4.0

6. Konstruksi tranportasi  2.0

7. Perdagangan Hotel, & Restoran 26.0

8. Pengangkutan & Komunikasi 7.0

9. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 1.0

10. Jasa‐Jasa 14.0

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Dari segi struktur perekonomian, provinsi Jawa Barat dicirikan oleh tiga

sektor utama sebagai mesin penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing masing sektor Industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta

sektor pertanian. Dari ketiga sektor tersebut tercatat hingga tahun 2010, sektor

industri memberikan kontribusi sebesar 37.7% terutama industri alat angkutan,

mesin dan peralatannya (17.5%) dan industri tekstil, barang dari kulit dan alas

kaki (8.2%). Sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai kontribusi

(27)

Perekonomian Jawa Barat juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 10%

angkatan kerja secara nasional (BPS Jawa Barat, 2011).

Meskipun ekonomi terus tumbuh, namun persentase pengangguran di

Jawa Barat masih relatif besar dimana pada tahun 2010 menempati urutan

ketiga setelah Provinsi Banten, dan DKI Jakarta, masing-masing sebesar

14.13%, 11.32%, dan 10.57%. Kemiskinan di Jawa Barat juga menunjukkan

penurunan, namun angkanya masih relatif besar. Penduduk miskin di Jawa

Barat pada tahun 2010 menempati urutan ketiga terbesar yaitu 4.8 juta jiwa

setelah Jawa Tengah (5.4 juta jiwa) dan Jawa Timur (5.5 juta jiwa).

Kondisi diatas diperparah dengan kondisi infrastruktur jalan yang buruk

dimana pada akhir tahun 2010, tercatat panjang jalan di wilayah Jawa Barat

adalah 25.803 km meningkat hanya 0,1% dari tahun 2009. Sebaliknya jalan

pada tahun 2009 berkurang 0.3% dari tahun 2008 dengan panjang berkisar

25.857 km. Hal ini diperparah dengan kondisi jalan yang semakin buruk, dimana

kerusakan jalan tidak hanya terjadi di perkotaan (kotamadya) namun juga di

pedesaan (kabupaten). Kondisi jalan yang masih dalam kondisi baik berkurang

dari 8.895 km pada tahun 2009 menjadi hanya 7.980 km pada tahun 2010. Jalan

rusak meningkat dari 5.199 km pada akhir tahun 2009 menjadi 5.694 km. pada

tahun 2010. Jalan rusak parah kondisinya lebih buruk yaitu 2.404 km pada tahun

2009 menjadi 2.820 km pada tahun 2010 (BPS Jawa Barat, 2011)..

Dengan melihat fakta investasi infrastruktur (termasuk infrastruktur

transportasi) sangat diperlukan serta peran sektor ekonomi di Jawa Barat yang

penting bagi penyerapan tenaga kerja di tingkat nasional maupun perekonomian

regional Provinsi Jawa Barat, serta perlunya peningkatan pendapatan

(28)

pendapatan, maka penelitian ini penting dilakukan, terutama untuk mengetahui

bagaimana dampak investasi infrastruktur transportasi terhadap penyerapan

tenaga kerja sektor ekonomi dan distribusi pendapatan masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Dengan latar belakang penelitian yang disampaikan di atas maka

rumusan permasalahan yang ada didalam penelitian ini adalah sebagaimana

diuraikan pada paparan di bawah ini.

Ekonomi Jawa Barat merupakan kekuatan ketiga terbesar setelah DKI

Jakarta dan Jawa Timur. Peranan Jawa Barat adalah sebesar 14,7% dalam

perekonomian Indonesia (BPS, 2011) dibawah DKI Jakarta (16,4%) dan Jawa

Timur (14,8%). Keuntungan berupa lokasi yang terletak dekat dengan pusat

perekonomian dan pemerintahan (DKI Jakarta) dan terletak di pulau Jawa yang

sangat padat penduduknya menjadikan Jawa Barat sebagai bagian penting bagi

pusat pertumbuhan nasional. Walaupun perekonomian di Jawa Barat secara

umum merupakan perekonomian yang tumbuh dan potensial, namun demikian

masih ada berbagai permasalahan yang timbul. Sebagai titik awal untuk

memecahkan berbagai permasalahan perekonomian yang ada diperlukan

identifikasi tentang bagaimana karakteristik perekonomian di Jawa Barat.

Karekteristik ekonomi dimaksud termasuk halnya melihat bagaimana struktur

ekonomi sektoral di Jawa Barat, struktur pendapatan faktorialnya serta struktur

pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Dengan mengetahui karakteristik

perekonomian yang ada dapat dicari pendekatan terbaik untuk memecahkan

(29)

penelitian, diperlukan juga kajian kondisi eksisting infrastruktur transportasi untuk

melihat seberapa urgent investasi infrastruktur transportasi di Jawa Barat.

Investasi merupakan variabel yang penting dalam pertumbuhan ekonomi

(Mankiw, 2007). Berdasarkan pengalaman empiris, investasi infrastruktur,

termasuk halnya infrastruktur transportasi ini menjadi sektor yang paling efektif

untuk menaikkan output, meningkatkan penyerapan tenaga kerja serta

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Lalu

bagaimanakah dengan di Provinsi Jawa Barat, apakah investasi infrastruktur

transportasi berpengaruh dan terkait dengan penciptaan pendapatan sektoral,

faktorial serta pendapatan institusi? Hal ini akan dikaji lebih lanjut didalam

penelitian ini.

Injeksi investasi infrastruktur transportasi pada SNSE Provinsi Jawa Barat

2010 akan membawa dampak-dampak pada neraca-neraca sektor produksi,

faktor produksi, institusi, dan neraca lainnya. Secara spesifik timbul pertanyaan di

dalam studi ini tentang bagaimanakah dampak dari injeksi investasi infrastruktur

transportasi ini terhadap sektor industri dan bagaimanakah transmisi perubahan

pendapatan dapat diterima oleh rumah tangga melalui berbagai sektor dan faktor

produksi.

Hal terakhir yang menjadi pertanyaan didalam penelitian ini adalah

tentang apa dampak dari investasi infrastruktur transportasi terhadap

penyerapan tenaga kerja sektor industri dan distribusi pendapatan masyarakat

(rumah tangga) di Provinsi Jawa Barat.

1.3 Tujuan Penelitian

(30)

1.

Mengkaji karakteristik perekonomian Jawa Barat seperti halnya struktur

ekonomi sektoral, struktur pendapatan faktorial, dan struktur pendapatan dan

pengeluaran rumahtangga. Disamping itu juga akan dikaji kondisi eksisting

infrastruktur transportasi yang ada di Provinsi Jawa Barat.

2.

Mengkaji pengaruh dan keterkaitan investasi infrastruktur transportasi

terhadap penciptaan pendapatan sektoral, faktorial serta pendapatan

institusi.

3.

Mengkaji bagaimana mekanisme transmisi investasi infrastruktur transportasi

berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat (rumah tangga) melalui

sektor produksi dan faktor produksi.

4.

Mengkaji dampak pengembangan infrastruktur transportasi terhadap

penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi, pendapatan serta distribusi

pendapatan masyarakat (rumah tangga) di Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian dilakukan untuk memberikan berbagai manfaat:

1. Bagi pemerintah: sebagai masukan kedepan bagi perumusan kebijakan

investasi infrastruktur, khususnya investasi infrastruktur transportasi dan

memberikan bukti ilmiah kepada pemerintah bahwa investasi infrastruktur

transportasi sangat diperlukan dalam kerangka mendorong

perkembangan sektor ekonomi, menyerap tenaga kerja sektor-sektor dan

mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat.

2. Bagi Peneliti: sebagai masukan bagi peneliti dalam melakukan

(31)

Distribusi Pendapatan Masyarakat. Penelitian ke depan dapat diarahkan pada sektor-sektor lain.

3. Bagi masyarakat luas: sebagai bahan informasi bagi seluruh komponen

masyarakat (termasuk dunia usaha) untuk memberikan dasar pengertian

bahwa didalam proses pembangunan ekonomi diperlukan investasi

infrastruktur (termasuk halnya infrastruktur transportasi), sehingga

masyarakat dapat memberikan masukan-tanggapan-kontribusi dan kritik

yang konstruktif, dan jika memungkinkan turut teribat aktif dalam upaya

menyediakan infrastruktur transportasi tersebut.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji mengenai hubungan infrastruktur transportasi

dengan pertumbuhan ekonomi, ketenaga-kerjaan dan distribusi pendapatan

masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Studi ini mencakup wilayah provinsi Jawa

Barat dengan referensi tahun 2010. Penelitian ini menggunakan analisis yang

bersifat cross section/statis dengan menggunakan alat berupa kerangka data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). SNSE dapat mengkaitkan pelaku

ekonomi (rumah tangga, pemerintah, perusahaan dan luar negeri), sektor

ekonomi, faktor produksi serta variabel lain dalam bentuk matriks yang kompak

dan konsisten. SNSE merupakan kerangka data berbentuk matriks yang terdiri

dari blok blok neraca sebagai klasifikasi dan bersifat fleksibel.

Dalam penelitian ini, rincian klasifikasi disesuaikan dengan tujuan

penelitian dan ketersediaan data. Klasifikasi berupa blok neraca faktor produksi

dirinci menurut tenaga kerja dan kapital, blok neraca institusi dirinci menurut

(32)

dirinci dengan klasifikasi yang sama yaitu terdiri dari 26 kelompok sektor/komoditi

serta blok neraca lainnya seperti neraca kapital, luar negeri, marjin perdagangan

dan pengangkutan. Analisis kuantitatif menggunakan accounting multiplier, dekomposisi multiplier, analisis jalur (path analysis) serta pengembangan

multiplier untuk analisis redistribusi pendapatan rumah tangga.

Software yang digunakan dalam penghitungan multiplier adalah Excel

dan MATS untuk menghitung besaran jalur dari variabel asal ke variabel tujuan.

Makalah ini sendiri merupakan bagian dari keseluruhan penelitian yang

dilakukan.

investasi infrastruktur transportasi ini bisa berdampak pada semua sektor,

faktor produksi dan institusi yang ada di dalam perekonomian, namun demikian

secara spesifik penelitian ini akan mengkaji lebih mendalam dampak investasi

infrastruktur transportasi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor ekonomi.

Dimensi dampak yang dikaji didalam penelitian ini dibatasi pada dampak

investasi infrastruktur secara sektoral pada lingkup wilayah provinsi dan tidak

melihat dampaknya dengan kacamata dimensi keruangan yang lebih kecil,

sehingga analisis yang keluar pada akhir studi akan mengungkapkan kedalaman

(33)

Pada bab ini secara garis besar akan dibahas tinjauan pustaka dan landasan teori yang relevan dan mendukung penelitian ini. Beberapa teori dan ulasan terkait yang akan dibahas pada bab ini antara lain: teori pertumbuhan ekonomi; keterhubungan keterhubungan dan ketergantungan antar wilayah; teori lokasi optimum dan aglomerasi industri; perkembangan, kebijakan dan strategi pengembangan industri di Indonesia; tinjauan studi dampak pembangunan infrastruktur transportasi dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah; teori distribusi pendapatan dan studi-studi terdahulu.

(34)

pendapatan dan distribusi pendapatan dapat berubah dan mengalir ke institusi, dan secara spesifik ke institusi rumah tangga.

2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi

(35)

Salah satu pandangan yang dampaknya besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model ini berpijak pada pemikiran Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang. Dalam model Harrod-Domar seperti yang diungkapkan oleh Kartasasmita (1997), pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitu tingkat tabungan (investasi) dan produktivitas modal (capital output ratio). Agar dapat tumbuh secara berkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomian harus mempunyai tabungan yang merupakan sumber investasi. Makin besar tabungan, yang berarti makin besar investasi, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, makin rendah produktivitas kapital atau semakin tinggi capital output ratio, makin rendah pertumbuhan ekonomi.

(36)

Model pertumbuhan neoklasik merupakan teori pertumbuhan yang mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, di mana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.

Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain di luar modal dan tenaga kerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatan produktivitas. Menurut Becker (1967) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melalui pendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajat kesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuat dengan berbagai studi empiris, antara lain untuk Amerika Serikat oleh Kendrick (1976).

Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi di antara negara-negara yang membangun melahirkan pandangan mengenai teknologi bukan sebagai faktor eksogen, tapi sebagai faktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumber pertumbuhan dalam teori

(37)

tersebut dapat terjadi melalui kegiatan perdagangan internasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, komunikasi, pendidikan, dan aktivitas R & D.

Nurkse (1953) menunjukkan teori pertumbuhan yang menonjolkan peran perdagangan dalam pertumbuhan. Nurske menunjukkan bahwa perdagangan merupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 bagi negara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yang termaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembangan industri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yang miskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahan baku dan makanan dari negara-negara yang tersebut di atas. Dengan demikian, pertumbuhan yang terjadi di Inggris menyebar ke negara lain melalui perdagangan internasional. Kemudian kita lihat bahwa kemajuan ekonomi di negara-negara industri baru yang miskin sumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh perdagangan internasional.

(38)

pengembangan pemikiran dari Collin Clark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akan mengalami suatu transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa.

Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan terutama di bidang ekonomi memang mengalir ke arah manusia dan dalam konteks yang lebih luas ke arah masyarakat atau rakyat, sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan. Salah satu harapan atau anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa di Indonesia (1940-1970) menunjukkan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak senantiasa menikmati limpahan hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan di banyak negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged) karena memiliki faktor produksi yang lebih banyak, sehingga akan memperoleh bagian lebih banyak dari hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.

(39)

dunia, walaupun sesungguhnya bukti-bukti empiris dan uji teoritis menunjukkan bahwa trickle down process tidak pernah terwujud, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Berdasarkan pada kesadaran bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan semata memiliki banyak kelemahan, maka berkembanglah berbagai pemikiran lain yang berorientasi pada pembangunan sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan atau lebih merata.

2.2. Teori Kutub Pertumbuhan

Perkembangan modern dari teori titik pertumbuhan terutama berasal dari karya ahli-ahli teori ekonomi regional Perancis yang dipelopori oleh Francois Perroux. Menurut Perroux, seperti yang disampaikan oleh Adisasmita (2005), pertumbuhan ataupun pembangunan tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas pada beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang diidentifikasikannya sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat. Setiap kutub memiliki kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan tarikan ke dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan ekonomi dan khususnya mengenai perusahaan-perusahaan dan industri-industri serta saling ketergantungannya dan bukan mengenai pola geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupun secara inter, pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.

(40)

kemampuan tinggi untuk memindahkan dorongan-dorongan pertumbuhan melalui dampak berantai ke belakang dan ke depan (backward dan forward linkages) termasuk sebagai industri yang mempunyai kekuatan pendorong. Perroux sendiri tidak menggunakan istilah backward dan forward linkage effects.

Istilah tersebut dilontarkan oleh Hirschman. Konsep Hirschman didasarkan pada pemahaman matarantai-matarantai keterhubungan (masukan-keluaran) agar industri dan keberartian dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan ekonomi yang diciptakan.

Seperti yang diungkapkan oleh Adisasmita (2005), terdapat beberapa ciri penting dari konsep kutub pertumbuhan dapat dikemukakan. Pertama, terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi. Kedua, terdapat pengaruh multiplier. Ketiga, terdapat konsentrasi geografis. Sedangkan Growth Pole dapat diartikan dengan 2 (dua) cara, yaitu:

1. Secara Fungsional

Suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah belakangnya).

2. Secara Geografis

(41)

Konsep dasar ekonomi dari pada kutub pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) adalah:

1. Konsep industri utama dan industri pendorong

2. Konsep polarisasi, pertumbuhan dari pada industri utama dan perusahaan pendorong akan menimbulkan polarisasi unit-unit ekonomi lain ke kutub pertumbuhan.

3. Terjadinya aglomerasi, yang ditandai dengan: a. Scale Economies

• Keuntungan yang timbul bila kegiatan ekonomi dilakukan dengan skala besar.

• Biaya produksi rata-rata rendah, spesialisasi dan efisiensi.

b. Localization Economies

Kekuatan pusat pengembangan akan terletak pada keterkaitan yang erat antara beberapa kegiatan produksi yang berada dalam pusat tsb. Kekuatan itu timbul karena kegiatan produksi saling berkaitan dan terkonsentrasi pada pada suatu tempat, maka ongkos angkut bahan baku dan barang jadi akan berkurang. Produksi akan lebih besar karena persediaan bahan baku, tenaga terampil dan pasar terjamin.

c. Urbanization Economies

(42)

Daya tarik suatu daerah untuk berkembang menjadi pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005), secara garis besar disebabkan karena 2 (dua) hal, yaitu karena keadaan prasarana dan keadaan pasar. Sedangkan kaitannya antara keberadaan industri dengan keadaan pasar adalah:

1. Industri yang didasarkan pada ketersediaan bahan baku (resources based industri) contoh: bahan pertanian dan bahan makanan

2. Industri dekat pasar (market oriented industri) contoh: industri bahan makanan tidak tahan lama dan industri jasa

3. Industri yang letaknya netral (footloose) contoh: industri pengolahan karena tidak tergantung dari sumber bahan baku tetapi ketersediaan prasarana dan fasilitas.

Sedangkan pusat pertumbuhan menurut Adisasmita (2005) memiliki 4 (empat) ciri, yaitu:

1. Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan.

Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota, ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lain sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lain karena saling terkait. Kehidupan kota menjadi satu irama dengan berbagai komponen kehidupan kota dan menciptakan sinergi untuk saling mendukung terciptanya pertumbuhan.

2. Ada efek penggandaan (multiplier Effect)

(43)

terjadi akumulasi modal. Unsur efek penggandaan sangat berperan dalam membuat kota mampu memacu pertumbuhan belakangnya.

3. Adanya konsentrasi geografis

Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang salng membutuhkan juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari kota tersebut.

4. Bersifat mendorong daerah belakangnya.

Hal ini antarakota dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Kota membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan dirinya.

Agglomeration Economies adalah pemusatan produksi di lokasi tertentu, pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan di satu tempat akan menimbulkan penghematan eksternal (Capello, 2007). Untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori-teori lokasi yang telah kita pelajari, Central Place Theory dapat dianggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja secara spatial.

(44)

yang terjadi dalam sistem pusat-pusat serta pengendalian pertumbuhan kota (Capello, 2007). Ditinjau dari segi lain terdapat kekurangan-kekurangan, yaitu tempat sentral tidak menjelaskan gejala-gejala pembangunan. Central Place Theory dikategorisasikan sebagai teori statis, yang hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu dan tidak membahas adanya perubahan-perubahan pola tertentu. Teori Boudeville merupakan teori kutub pertumbuhan yang telah dimodifikasikan, dan dapat digunakan untuk menganalisis gejala-gejala dinamis tersebut.

2.3. Keterhubungan dan Ketergantungan Antar Wilayah

Pembangunan wilayah antar provinsi yang berdekatan akan dapat mengembangkan daya pertumbuhan yang kuat yang terdapat dalam lingkungan suatu provinsi dan dapat pula perkembangan provinsi-provinsi lainnya yang relatif terbelakang. Dalam hubungan ini perlu digairahkan kerja sama antar wilayah (provinsi) secara saling menguntungkan (mutual regional cooperation). Hal ini berarti bahwa produksi dan usaha-usaha pembangunan dikaitkan dengan keuntungan komparatif dan regionalisasi wilayah pembangunan.

(45)

yang relatif lebih kecil atau mengimpor barang-barang yang mempunyai kerugian produksi yang lebih besar (comparative disadvantage). Masing-masing wilayah akan menspesialisasikan produksi pada satu atau beberapa barang tertentu. Wilayah-wilayah yang tidak memproduksi sendiri barang-barang yang dibutuhkan akan membeli barang-barang yang dimaksud dari wilayah-wilayah lain menjadi produsennya. Jelaslah bahwa di antara wilayah-wilayah yang ada mempunyai pengaruh timbal balik dan saling berkepentingan satu sama lainnya dan sedemikian rupa akan menciptakan suatu pola perdagangan antar wilayah.

Lebih lanjut Adisasmita (2005) menyampaikan bahwa regionalisme termasuk dalam kerangka kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang mengelompokkan lingkungan teritorial menjadi wilayah-wilayah sub nasional. Dalam pengelompokkan itu dipertimbangkan dua aspek utama yaitu pola fisik dan pola kegiatan. Pola fisik meliputi pemanfaatan tata ruang untuk permukiman penduduk, fasilitas-fasiilitas produktif, trayek-trayek transportasi, tata guna tanah, dan lain-lainnya. Sedangkan pola kegiatan terdiri dari arus modal, tenaga kerja, komoditas dan komunikasi yang menghubungkan elemen-elemen fisik dalam tata ruang. Dilihat dari pertimbangan integrasi nasional, salah satu fungsi pengembangan wilayah adalah membina dan mengefektifkan keterhubungan antar wilayah yang berspesialisasi secara fungsional dan berorientasi pada pasar secara nasional. Jadi regionalisasi wilayah pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan baik sektoral maupun regional secara lebih efektif dan efisien.

(46)

digunakan adalah homogenitas kondisi wilayah, kriteria tersebut dapat dinyatakan sebagai karakteristik geografis, sosial, dan ekonomi. Suatu perencanaan wilayah yang semata-mata hanya didasarkan pada kriteria geografis dapat dikatakan kurang bermanfaat ditinjau dari kepentingan analisis ekonomi. Untuk menentukan homogenitas ekonomi dapat digunakan ciri-ciri keserupaan dalam kegiatan-kegiatan produksi, tingkat keterampilan tenaga kerja, dan pendapatan perkapita. Selanjutnya suatu wilayah didefinisikan sebagai suatu gabungan dari sejumlah titik-titik spasial mempunyai kegiatan-kegiatan produksi yang serupa atau tingkat pendapatan per kapita yang sama. Dengan demikian dapat dibedakan dengan mudah antara wilayah-wilayah yang berorientasi pada sektor tersier. Dapat dibedakan pula antara wilayah-wilayah dengan tingkat pendapatan rendah (miskin) dan wilayah dengan tingkat pendapatan tinggi (kaya).

(47)

Konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi terletak pada tata ruang-tata ruang yang pada umumnya adalah kota-kota. Proses industrialisasi dan urbanisasi ke kota-kota berlangsung terus dan meningkat. Tiap-tiap kota-kota besar mempunyai kota satelit, dan selanjutnya kota-kota satelit tersebut mempunyai desa-desa satelit. Gejala ini sangat penting dalam perkembangan peradaban manusia, perkembangan industri dan perdagangan, dimana pertumbuhan kota telah meningkat pesat.

Interdependensi pertukaran (pembelian dan penjualan) mencerminkan karakteristik suatu perangkat kota-kota regional dalam suatu perangkat yang lebih besar yaitu suatu bangsa atau Negara (Adisasmita, 2005). Wilayah polarisasi didefinisikan sebagai perangkat kota-kota dengan daerah-daerah disekitarnya yang mengadakan pertukaran lebih banyak dengan metropolis tingkat regional dari kota-kota lainnya yang mempunyai orde yang sama di suatu negara. Justifikasi dari pengertian wilayah polarisasi adalah sifat empirik. Daerah-daerah di sekitar pusat mempunyai keterhubungan dan ketergantungan yang sangat erat dengan pusatnya. Jadi wilayah polarisasi berarti tidak autarkis. Artinya bersifat terintegrasi antara pusat dengan daerah komplementernya.

(48)

antara pusat sedang dengan pusat-pusat kecil. Pola transportasi semacam ini disebut conventional tree pattern yang mendasarkan pada susunan pohon, yang terdiri dari batang, dahan, cabang dan ranting. Dalam susunan trayek atau rute pelayaran dan penerbangan dikenal trunk route dan feeder route. Jaringan jalan raya meliputi jalan arteri (urat nadi), jalan kolektor dan jalan lokal.

Untuk melayani kegiatan pembangunan dan mobilisasi yang semakin meningkat dan meluas, maka jaringan transportasi nasional harus dikembangkan selaras dengan tingkat pertumbuhan arus muatan di seluruh wilayah. Jaringan transportasi yang menghubungkan masing-masing pusat ke seluruh pusat lainnya dikenal sebagai “polygrid pattern” atau pola segala jurusan seperti penerapan di Negara-negara maju (Adisasmita, 2005).

2.4. Teori Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri

Teori lokasi merupakan sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi. Selain itu, teori lokasi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis dari sumberdaya yang langka, serta pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain

(activity). Ruang dikeliingi dengan aktivitas ekonomi, dan seluruh bentuk produksi memerlukan ruang (Capello, 2007). Seluruh wilayah geografis tidak memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan produksi dan pengembangan karena tidak samanya distribusi bahan dasar (raw material), faktor produksi dan permintaan.

(49)

berbagai ilmu pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara dan kebijakan daerah (peraturan daerah).

Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama di balik urbanisasi yang cepat di kawasan Asia sejak dasawarsa 1980-an. Berbeda dalam kasus industri berbasis sumberdaya (resource-based industries), industri manufaktur cenderung berlokasi didalam dan di sekitar kota. Pertanian dan industri berdampingan, bahkan kadang berebut lahan di seputar pusat-pusat kota yang pada gilirannya semakin mengaburkan perbedaan baku antara desa dan kota. Industri cenderung mengelompok pada daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan.

(50)

kegiatan ekonomi terjadi memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies). Seperti yang dikatakan oleh Bradley dan Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan ekonomi. Selanjutnya adanya ekonomi aglomerasi dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibatnya daerah-daerah yang termasuk dalam aglomerasi pada umumnya mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan aglomerasi.

Hubungan positif antara aglomerasi geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi telah banyak dibuktikan. Aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan. Semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya (Capello, 2007). Daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan. Alasannya adalah daerah-daerah yang mempunyai industri pengolahan lebih banyak mempunyai akumulasi modal. Dengan kata lain, daerah-daerah dengan konsentrasi industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang tidak punya konsentrasi industri pengolahan.

(51)

buruh, rnanajemen, dan lainnya dianggap tidak menunjukkan variasi secara spasial, berarti harga-harga faktor produksi adalah sama di mana-mana. Bagaimana pengusaha akan meminimisasikan biaya transport? Biaya transport dianggap sebagai suatu variabel penting dalam penentuan lokasi industri. Asumsi yang sangat sederhana ditetapkan yaitu tingkat biaya transportasi adalah

flat berdasarkan pada berat muatan dan fasilitas transportasi tersedia ke segala jurusan. Asumsi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, yaitu pada umumnya biaya transportasi untuk hasil akhir seringkali lebih tinggi dari pada untuk bahan baku dan fasilitas transportasi hanya terbatas pada sejumlah rute.

Biaya penanganan (handling cost) mempunyai peranan penting (seringkali begitu tinggi) dalam keseluruhan biaya transpor, tidak hanya dari unsur-unsur biaya keuangan tetapi juga biaya non moneter, seperti kerugian waktu, ketidaknyamanan dan sebagainya. Terbatasnya pelayanan transportasi pada beberapa rute bersama-sama biaya penanganan merupakan faktor penting terhadap pemilihan lokasi industri, yang pada umumnya cenderung menempatkan pada lokasi nodal, yang sering merupakan transportation junctions

(simpang transportasi) atau transhipment point di mana transportasi darat dan laut bertemu satu sama lainnya yang kemudian menunjang terbentuknya pusat-pusat industri.

(52)

biaya transpor yang lebih tinggi dari pada tingkat biaya transpor minimum pada titik P.

Terdapat kemungkinan terjadinya deviasi atau penyimpangan lokasi industri dari titik biaya transportasi minimum, misalnya lokasi industri mendekati lokasi tenaga kerja yang murah, hal ini masih dapat dipertanggungjawabkan jika penghematan dalam faktor per unit (upah buruh) lebih besar atau paling sedikit sama dengan tambahan total biaya transportasi. Jika selisih antara tambahan biaya transpor sama dengan keuntungan-keuntungan biaya non transport yang dapat diperoleh pada suatu tempat alternatif, maka tempat tersebut berada pada isodapan kritis. Jika tempat tersebut terletak di dalam lingkaran kritis, maka tempat tersebut merupakan lokasi produksi yang lebih efisien daripada titik biaya minimum.

Secara teoritis, menurut Weber (1929) tempat optimal (optimal site)

adalah tempat di mana biaya-biaya transportasi bagi kombinasi keluaran total adalah yang paling rendah. Dalam praktek, hal ini berarti bahwa yang terbesar di antara ketiga perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan yang lebih kecil ke suatu lokasi di dalam segmen yang lebih dekat kepada titik biaya transpor minimumnya perusahaan terbesar tersebut. Kerena perubahan posisi lokasi yang harus dilakukan oleh perusahaan terbesar adalah lebih kecil kemungkinannya dari pada yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kecil lainnya, maka deviasi total dari titik-titik biaya transpor minimum dapat dikatakan kecil saja kemungkinannya.

(53)

ini pengaruh permintaan tidak diperlihatkan. Lokasi dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal. Kekuatan-kekuatan aglomerasi atau terjadinya konsentrasi industri-industri dan kegiatan-kegiatan lainnya itu harus dipahami sepenuhnya untuk dapat menganalisis perkembangan wilayah dan khususnya pertumbuhan daerah urban. Kedua, Weber merupakan pencetus teori lokasi yang dapat digunakan sebagai teori umum, digunakan untuk pemilihan lokasi industri, meskipun pendekatannya masih secara deskriptif dan kasar, tetapi ia telah menjelaskan terjadinya evolusi ekonomi tata ruang dalam arti munculnya strata yang sukses seperti pambangunan industri (pusat-pusat kegiatan ekonomi), terjadinya urbanisasi dan struktur masyarakat kota dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari strata pertanian.

(54)

keuntungan lokalisasi. Aspek ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam analisis aglomerasi. Keuntungan lokalisasi yaitu terkonsentrasinya perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam industri yang sejenis pada suatu lokasi tunggal tertentu akan menimbulkan keuntungan-keuntungan yang dinikmati oleh semua perusahaan tersebut. Sebagai ilustrasi yaitu beberapa buah industri tekstil akan memperoleh manfaat berupa biaya listrik yang lebih rendah jika mereka bersama-sama membangun sebuah pabrik pembangkit tenaga listrik dari pada masing-masing mendirikan instalasi pembangkit tenaga berkapasitas listrik besar yang berkapasitas kecil secara sendiri-sendiri.

(55)

Analisis aglomerasi di atas menjelaskan pengelompokan kegiatan-kegiatan ekonomi pada suatu lokasi tertentu, tetapi tidak menekankan pada kecenderungan pertumbuhan regional yang berkesinambungan sebagai akibat dari pengelompokan tersebut. Proses pengelompokan kegiatan-kegiatan selama suatu jangka waktu dijelaskan dalam analisis polarisasi, sedangkan aglomerasi itu dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari proses polarisasi (Adisasmita, 2005).

2.5. Perkembangan, kebijakan dan Strategi pengembangan Industri di Indonesia

(56)

kesempatan yang lebih baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri. Walaupun terdapat persoalan kompleks yang menyebabkan proses industrialisasi pada banyak kasus mengalami hambatan/stagnasi, namun penulis percaya bahwa industri masih tetap dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi banyak negara.

Proses industrialisasi di Indonesia ditengarai mulai berkembang pada awal tahun 1990-an yang ditandai dengan meningkatnya peran sektor industri dalam struktur perekonomian nasional. Meski didalam beberapa penelitian, seperti halnya yang dilakukan o

Gambar

Tabel 1. PDRB (adh berlaku) Menurut Lapangan Usaha        Propinsi Jawa Barat Tahun 2010 (persen)
Gambar 1. Arus Perputaran Uang dalam Perekonomian  
Gambar 3.
Gambar 4. Tahapan Analisis Dampak Investasi Infrastruktur Transportasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi yang menyertakan perubahan struktural ekonomi di Provinsi Jawa Barat ditemukan bukti, Pertama , sektor-sektor

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisis perubahan struktur output dan tenaga kerja di Provinsi Jawa Barat, (2) mengkaji keterkaitan antar sektor pada saat

Gambar 6 Pemetaan kabupaten/kota Jawa Barat berdasarkan laju pertumbuhan penerimaan pajak daerah dan panjang jalan dengan kondisi baik tahun 2011 Daerah lainnya yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan sektor- sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat sebelum, pada masa, dan setelah krisis ekonomi, yang dilihat

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi yang menyertakan perubahan struktural ekonomi di Provinsi Jawa Barat ditemukan bukti, Pertama , sektor-sektor

Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Jawa Barat, Panjang Jalan (Km), investasi yang diteliti

Hasil dari penelitian pada variabel penanaman modal dalam negeri pada infrastruktur transportasi, gudang dan telekomunikasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa

Penelitian ini bertujuan untuk: (i) Menganalisis besamya peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Propinsi Surnatera Barat dalam pembentukan struktur permintaan