• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan, Reproduksi Dan Eksploitasi Ikan Layur (Lepturacanthus Savala, Cuvier 1829) Di Perairan Selat Sunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan, Reproduksi Dan Eksploitasi Ikan Layur (Lepturacanthus Savala, Cuvier 1829) Di Perairan Selat Sunda"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERTUMBUHAN, REPRODUKSI DAN EKSPLOITASI IKAN

LAYUR (

Lepturacanthus savala,

Cuvier 1829) DI PERAIRAN

SELAT SUNDA

LUKMAN GUAM HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pertumbuhan, Reproduksi

dan Eksploitasi Ikan Layur (Lepturacanthus savala, Cuvier 1829) di Perairan Selat Sunda” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

LUKMAN GUAM HAKIM. Pertumbuhan, Reproduksi dan Eksploitasi Ikan Layur (Lepturacanthus savala, Cuvier 1829) di Perairan Selat Sunda. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, dan SULISTIONO.

Potensi sumberdaya ikan di Perairan Selat Sunda terdiri dari ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang. Ikan demersal di Kabupaten Pandeglang merupakan produksi tertinggi kedua dengan jumlah total produksi pada tahun 2013 sebesar 9361.724 ton. Salah satu dari ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan Banten adalah ikan layur. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pertumbuhan ikan layur, mengkaji biologi reproduksi ikan layur, mengkaji laju eksploitasi dan mengidentifikasi karakteristik ukuran hasil tangkapan ikan layur yang tertangkap pada alat tangkap yang digunakan nelayan antara lain arad (mini trawl), payang (seine net) dan jaring lingkar (purse seine) sebagai informasi dalam penentuan strategi pengelolaan ikan layur di Selat Sunda. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Agustus 2015 dengan interval pengambilan contoh satu bulan sekali dan dilanjutkan pada bulan Maret 2016 di PPP Labuan Banten. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan teknik Penarikan Contoh Acak Berlapis (PCAB) dari bulan April – Agustus 2015 dengan interval waktu pengambilan satu bulan sekali. Pada setiap waktu pengambilan ikan contoh, masing-masing gundukan ikan layur yang didaratkan di TPI Labuan dipilih secara acak dengan mengambil pada tiap lapis dalam gundukan ikan yang mewakili tiap selang kelas ukuran (kecil, sedang, besar) dengan total sebanyak ± 200 ekor pada tiap bulan nya. Kemudian ikan contoh tersebut di bawa menuju Laboratorium Biologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selain itu dalam penelitian ini juga diambil ikan contoh dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tanggap arad (mini trawl), payang (seine net) dan jaring lingkar (purse seine). Observasi ini dilakukan pada bulan Maret 2016 untuk mengetahui karakteristik hasil tangkapan ikan layur dari masing-masing alat tangkap tersebut. Data sekunder diperoleh dari DKP Pandeglang meliputi laporan tahunan statistik perikanan tangkap PPP Labuan dari tahun 2008 sampai 2015.

(5)

hanya memiliki satu puncak yang mengindikasikan bahwa tipe pemijahan ikan layur adalah total spawner. Panjang pertama kali matang gonad ikan layur jantan sebesar 605.35 mm sedangkan betina sebesar 638.94 mm. Panjang pertama kali tertangkap pada ikan jantan sebesar 522.66 mm dan betina sebesar 577.36 mm, hal tersebut mengidentifikasikan bahwa sumberdaya ikan layur telah mengalami growth overfishing. Laju eksploitasi pada ikan layur jantan sebesar 77% dan betina sebesar 84%. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikan layur jantan dan betina sudah mengalami over exploitasi. Jumlah trip yang dilakukan pada tahun 2014 sudah menunjukkan tangkap lebih yaitu 810.2 ton dengan jumlah trip yaitu 37535.83 sedangkan berdasarkan perhitungan MSY menunjukkan 835.64 ton dengan 24680 trip hal tersebut menunjukkan bahwa status pemanfaatan ikan layur adalah over fishing.

(6)

LUKMAN GUAM HAKIM. Growth, Reproduction and Exploitation of Fish Layur (Lepturacanthus savala, Cuvier 1829) in the Sunda Strait. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI, and SULISTIONO.

The potential of fish resources in the waters of the Sunda Strait consists of pelagic fish, demersal fish, reef fish, shellfish, squid and shrimp. Demersal fish in Pandeglang is the second highest production with a total production in 2013 amounted to 9361.724 tons. One of demersal fish landed in Labuan Banten PPP is ribbonfish. This study aims to assess the growth of fish ribbonfish, examines the reproductive biology of ribbonfish, assess the rate of exploitation and identify the characteristics of the size of the catches ribbonfish caught in the fishing gear used fishermen among others mini trawl, seine net and purse seine as the information in the determination of management strategies of ribbonfish in the Sunda Strait. This research was conducted in April to August 2015 with a sampling interval of one month and resumed in March 2016 in PPP Labuan Banten. Data collected in the form of primary data and secondary data. Primary data were obtained with a Layered Random Sampling technique of the month from April to August, 2015 by making the time interval once a month. At any time of taking of samples, each mound of ribbonfish landed in TPI Labuan selected randomly by taking on each layer in the mound of fish representing each interval class sizes (small, medium, large) for a total of as much as ± 200 individuals in each his month. Then the fish are brought to the examples of Fisheries Biology Laboratory of the Faculty of Fisheries and Marine Science, Bogor Agricultural University. Additionally in this study were also taken of samples of the catches of fishermen using the tool response mini trawl, seine net and purse seine. This observation was conducted in March 2016 to investigate the characteristics of the catches ribbonfish of each of the fishing gear. Secondary data were obtained from fisheries government in Pandeglang annual report covers statistics Labuan PPP's fisheries from 2008 to 2015.

(7)

growth overfishing. The rate of exploitation in ribbonfish male fish by 77% and females 84%. It shows that the male and female ribbonfish have experienced over the exploitation. The number of trips made in 2014 already showed that overfishing 810.2 tons by the number of trips is 37535.83 while based on MSY calculations show 835.64 tons to 24680 trip it shows that the utilization status of ribbonfish is over fishing.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

PERTUMBUHAN, REPRODUKSI DAN EKSPLOITASI IKAN

LAYUR (

Lepturacanthus savala,

Cuvier 1829) DI PERAIRAN

SELAT SUNDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Karya ilmiah ini berjudul “Reproduksi, Pertumbuhan dan Eksploitasi Ikan Layur

(Lepturacanthus savala, Cuvier 1829) di Perairan Selat Sunda”. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2015 No. 544/IT3.11/PL/2015, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan dan Pengabdian

kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika Populasi dan Biologi

Reproduksi Sumberdaya Ikan Ekologis dan Ekonomis Penting di Perairan Selat

Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh Prof Dr Ir Mennofatria Boer,

DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, M Si (sebagai anggota peneliti).

2. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof Dr Ir Sulistiono sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku penguji luar komisi.

4. Keluarga: Bapak Ibu, Ade, dan Lusita Meilana atas dukungan dan kasih sayang yang diberikan.

5. Tim BOPTN 2015: Widi Boim, Agustiani, Herman Sarumaha, M Charis, Nur Ilmi, Vera, Putri, Nidya, Wulandari dan seluruh tim lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasamanya selama penelitian berlangsung. 6. Teman-teman: Ganang, Mulkan, Agus, Budhi, Sekar, Yusrianti, Aluh, Kukuh,

Andi, Liya, teman-teman IKAUndip dan SDP 2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan.

(13)

DAFTAR TABEL vi

2. METODE PENELITIAN 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Alat dan Bahan 4

Pengumpulan Data 5

Analisis Laboratorium 5

Analisis Histologi Gonad 6

Analisis Lapangan 6

Analisis Data 7

Sebaran frekuensi panjang 7

Pendugaan parameter pertumbuhan 7

Nisbah kelamin 8

Hubungan panjang bobot 8

Faktor kondisi 10

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) 10

Indeks kematangan gonad (IKG) 10

Fekunditas 11

Tipe pemijahan 11

Ukuran pertama kali matang gonad (Lm) 11

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) 11

Laju mortalitas dan laju eksploitasi 12

Standarisasi alat tangkap 13

Model produksi surplus 13

Karakteristik ukuran hasil tangkapan 14

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Sebaran frekuensi panjang 15

Pendugaan parameter pertumbuhan 16

Nisbah kelamin 17

Hubungan panjang bobot 17

Faktor kondisi 18

Tingkat kematangan gonad (TKG) 18

Pengamatan mikroskopis 20

Indeks kematangan gonad (IKG) 21

(14)

Sebaran diameter telur 22 Panjang pertama kali matang gonad (Lm) 22

Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) 23

Laju mortalitas dan laju eksploitasi 23

Model produksi surplus 23

Karakteristik ukuran hasil tangkapan 24

Pembahasan 26

4. SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 38

(15)

1. Tingkat kematangan gonad 10

2. Pendugaan parameter pertumbuhan ikan layur 16

3. Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) 22

4. Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc) 23

5. Mortalitas dan laju eksploitasi 23

6. Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan layur 24

7. Jumlah hasil tangkapan 24

8. Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian 27

DAFTAR GAMBAR

1. Produksi ikan layur di Selat Sunda 2

2. Diagram alir perumusan masalah kajian pertumbuhan, reproduksai dan eksploitasi ikan layur di perairan Selat Sunda 3

3. Peta lokasi Penelitian 4

4. Spesies ikan layur (Lepturacanthus savala) 4

5. Sebaran frekuensi panjang ikan layur 15

6. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy 16

7. Nisbah kelamin ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh 17

8. Hubungan panjang bobot ikan layur 17

9. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh 18 10. TKG ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh 19

11. TKG ikan layur berdasarkan selang kelas 19

12. Hasil histologi (a) jantan (b) betina 20

13. IKG ikan layur berdasarkan pengambilan contoh 21 14. Hubungan fekunditas berdasarkan panjang bobot dan ikan layur betina 22

15. Sebaran diameter telur ikan layur 22

16. Nilai Lc dengan metode covered coden method ikan layur 23

17. Model produksi surplus (model fox) 24

18. Distribusi hasil tangkapan arad 25

19. Distribusi hasil tangkapan payang 25

(16)

1. Proses penentuan laju mortalitas total (Z) melalui kurva yang dilierkan

berdasarkan data panjang 39

2. Frekuensi panjang berdasarkan pengambilan contoh 41 3. Pendugaan parameter pertumbuhan menggunakan metode ELEFAN I dalam

software FISAT II 42

4. Nisbah kelamin ikan layur 44

5. Faktor kondisi berdasarkan pengambilan contoh 44 6. Tingkat kematangan gonad berdasarkan pengamatan morfologi 45

7. Persentase tingkat kematangan gonad 46

8. Tingkat kematangan gonad berdasarkan selang kelas 46

9. Indeks kematangan gonad 47

10. Sebaran diameter telur 47

11. Pendugaan ukuran rata-rata matang gonad ikan layur 48 12. Pendugaan rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc) 50

13. Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi 52 14. Frekuensi panjang berdasarkan tangkapan pada alat tangkap 54

(17)
(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dugaan potensi sumber daya perikanan di Selat Sunda pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) 572 adalah 565.30 ribu ton/tahun dan pada tahun 2011 penangkapan sudah mencapai 558.60 ribu ton/tahun yang didaratkan di Provinsi Lampung dan Provinsi Banten (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap/ DJPT 2011). Total produksi perikanan di Provinsi Banten sebesar 30% berasal dari Selat Sunda (Boer dan Aziz 2007). Menurut Irhamni (2009) Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu pusat produksi perikanan di Provinsi Banten karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda dan Samudera Hindia dengan produksi sekitar 30 ribu ton (20%) atau 117 milyar rupiah pada tahun 2003 (BRKP 2003). Kabupaten Pandeglang memiliki satu Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yaitu PPP Labuan dan tujuh Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yaitu TPI Panimbang, Carita, Citeureup, Sidamuki, Sumur, Tamanjaya, dan Pulu Merak (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten 2006). Potensi sumberdaya ikan di Kabupaten Pandeglang terdiri dari ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, kerang-kerangan, cumi-cumi dan udang (DKP Pandeglang 2013). Ikan demersal di Kabupaten Pandeglang merupakan produksi tertinggi kedua setelah ikan pelagis kecil dengan jumlah total produksi pada tahun 2013 sebesar 9361.724 ton, salah satu dari ikan demersal yang didaratkan di PPP Labuan Banten adalah ikan layur.

Ikan layur (Lepturacanthus savala) merupakan hewan dari famili Trichiuridae (Carpenter & Neim 2001) dan terkenal dengan sebutan Ribbonfish (Pakhmode dan Swapnaja 2015). Menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) status ikan layur belum terevaluasi. Ikan ini tersebar luas di perairan Atlantik dan Indo-Pasifik dari india dan Sri Lanka sampai Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Papua New Genea dan Australia bagian utara (Carpenter dan Neim 2001) serta banyak ditemukan di daerah estuari (Kamal dan Khan 2009; Nayak et al. 2014). Ikan layur dapat ditemukan sepanjang tahun dengan musim puncaknya pada akhir tahun sampai awal tahun (Satria et al. 2006). Pada saat musim pemijahan ikan layur akan bermigrasi ke perairan yang lebih dalam (Lazarus et al. 1992). Ikan layur merupakan ikan predator dan mencari makan pada malam hari dan biasanya memakan ikan kecil seperti teri, lemuru, tembang (Pakhmode dan Swapnaja 2014) dan crustacea (Carpenter & Neim 2001). Ikan layur merupakan ikan komersial (Jadhav dan Rathod 2014) dan mulai diperhitungkan sebagai komoditi ekspor (El Haweet dan Ozawa 1995). Konsentrasi protein pada ikan layur sebesar 68.79%, lemak sebesar 8.28%, kadar air sebesar 17.23% dan abu sebesar 4.80% (Siddique et al. 2012). Hal tersebut yang menyebabkan permintaan ikan layur untuk tujuan ekspor cenderung meningkat terutama dari beberapa negara Asia khususnya Cina, Jepang, Taiwan dan Korea (Ye dan Rosenberg 1991). Ikan layur ditangkap dengan menggunakan alat tangkap trawl (Jadhav dan Rathod 2014; Tingote et al. 2015; Carpenter dan Neim 2001), jaring lingkar (purse seine) dan payang (seine net) (Satria et al. 2006).

(19)

pertumbuhan, reproduksi dan eksploitasi layur di Selat Sunda belum dilakukan. Parameter biologi reproduksi seperti ukuran pertama kali ikan memijah, fekunditas, rasio jenis kelamin adalah hal penting dalam perumusan langkah-langkah manajemen (Morgan 2008).

Rumusan Masalah

Intensitas penangkapan terhadap ikan layur beberapa tahun terakhir yaitu pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2014 di Selat Sunda mengalami peningkatan sebesar 93.8% (DKP Pandeglang 2015). Dari data tersebut dapat diartikan bahwa tekanan penangkapan tiap tahun semakin bertambah yang dapat membahayakan stok sumberdaya ikan layur di perairan Selat Sunda di masa mendatang.

Arad (mini trawl), payang (seine net) dan jaring lingkar (purse seine) adalah alat tangkap yang mendominansi dalam penangkapan ikan layur di PPP Labuan Banten, dengan rata-rata penangkapan 822 ton/tahun dengan produksi tertinggi pada tahun 2009 sebesar 975 ton dan terendah pada tahun 2011 sebesar 622 ton (Gambar 1). Fakta tersebut dapat membahayakan stok sumberdaya ikan layur di masa mendatang karena pada dasarnya sumberdaya perikanan memiliki sifat dapat dipilih (renewable) namun harus dipertimbangkan tingkat pemanfaatannya agar tidak menimbulkan efek negatif bagi sumberdaya perikanan. Namun, permasalahan ekonomi masyarakat menimbulkan aktivitas penangkapan yang sulit untuk dikendalikan. Selain itu, berbagai perusahaan perikanan tangkap memaksimalkan upaya hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan kelestarian sumberdaya perikanan.

Tahun

Gambar 1. Produksi ikan layur di Selat Sunda.

Pembatasan dan pelarangan pengoperasian alat tangkap arad (mini trawl) dan payang (seine net) sudah diatur dalam PERMEN KP No. 2 Tahun 2015, akan tetapi pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan populasi ikan layur apabila penangkapan menggunakan alat tangkap tersebut terus terjadi karena pada kenyataannya alat tangkap arad dioperasikan kurang dari 2 mil dari garis pantai yang mana daerah pesisir adalah tempat ikan-ikan kecil.

Analisis pertumbuhan, reproduksi dan eksploitasi ikan layur berguna untuk acuan yang mendasari pengelolaan sumber daya ikan layur itu sendiri sedangkan analisis karakteristik hasil tangkapan berguna untuk membedakan ukuran ikan layur

0

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(20)

pada masing-masing alat tangkap. Berikut merupakan diagram alir perumusan masalah (Gambar 2).

Gambar 2. Diagram alir perumusan masalah kajian pertumbuhan, reproduksi dan ekploitasi ikan layur di perairan Selat Sunda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji pertumbuhan ikan layur 2) mengkaji biologi reproduksi ikan layur 3) mengkaji laju eksploitasi dan mengidentifikasi karakteristik ukuran hasil tangkapan ikan layur yang tertangkap pada alat tangkap yang digunakan nelayan antara lain arad (mini trawl), payang (seine net) dan jaring lingkar (purse seine) sebagai informasi dalam penentuan strategi pengelolaan ikan layur di Selat Sunda.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pertumbuhan, biologi reproduksi, laju eksploitasi serta penggunaan alat tangkap yang ramah terhadap ikan layur guna pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.

Sumberdaya ikan layur

Aktivitas penangkapan

Populasi ikan layur

Pertumbuhan Biologi reproduksi Eksploitasi

- Sebaran frekuensi

(21)

2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Agustus 2015 dengan interval pengambilan contoh satu bulan sekali dan dilanjutkan pada bulan Maret 2016. Ikan layur yang diambil selama penelitian merupakan hasil tangkapan nelayan diperairan Selat Sunda yang didaratkan di TPI, PPP Labuan Kabupaten Pandeglang (Gambar 3). Sedangkan analisis morfometrik dilaksanakan di Laboratorium Biologi Perikanan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penggaris, timbangan digital, meteran, kamera, alat tulis, alat bedah, hand counter, mikroskop, petridish, slide glass, botol sampel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu formalin 4%, larutan BNF (Buffer Netral Formalin) 10% dan spesies layur yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

(22)

Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode survei lapang untuk mendapatkan gambaran yang dapat mewakili kondisi populasi di perairan Selat Sunda. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh dengan teknik Penarikan Contoh Acak Berlapis (PCAB) dari bulan April – Agustus 2015 dengan interval waktu pengambilan satu bulan sekali. Pada setiap waktu pengambilan ikan contoh, masing-masing gundukan ikan layur yang didaratkan di TPI Labuan dipilih secara acak dengan mengambil pada tiap lapis dalam gundukan ikan yang mewakili tiap selang kelas ukuran (kecil, sedang, besar) dengan total sebanyak ± 200 ekor pada tiap bulan nya. Kemudian ikan contoh tersebut dibawa menuju Laboratorium Biologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selain itu dalam penelitian ini juga diambil ikan contoh dari hasil tangkapan nelayan dengan menggunakan alat tanggap arad (mini trawl), payang (seine net) dan jaring lingkar (purse seine). Observasi ini dilakukan pada bulan Maret 2016 untuk mengetahui karakteristik hasil tangkapan ikan layur dari masing-masing alat tangkap tersebut.

Data sekunder diperoleh dari DKP Pandeglang meliputi laporan tahunan statistik perikanan tangkap PPP Labuan dari tahun 2011 sampai 2015.

Analisis Laboratorium

Analisis dilakukan di laboratorium Biologi Perikanan FPIK IPB meliputi: 1. Pengukuran panjang total dan bobot ikan contoh

Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm dengan cara mengukur dari ujung kepala sampai ujung ekor. Penimbangan bobot ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1 g.

2. Pembedahan ikan contoh

Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari anus menuju belakang operculum kemudian dibuka sehingga gonad di dalamnya dapat terlihat dengan jelas.

3. Penentuan jenis kelamin

Jenis kelamin ditentukan dengan melihat secara morfologis gonad secara langsung pada masing-masing ikan contoh yang telah dibedah.

4. Penentuan tingkat kematangan gonad

Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan melalui pengamatan morfologi gonad secara langsung dengan mengacu pada Cassie yang dimodifikasi oleh Effendie dan Subardja (1976).

5. Fekunditas

(23)

6. Diameter telur

Telur diambil sebanyak 50 butir kemudian diukur diameternya menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4x10.

Analisis Histologi Gonad

Analisis dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan FPIK IPB

1. Gonad dicuci dengan NaCl fisiologis 0.65%, selanjutnya difiksasi dalam larutan bouin campuran asam piktrat formalin dan asam asetat dengan perbandingan (15 : 5 : 1) selama 24 jam. Gonad yang sudah difiksasi dipindahkan ke dalam alkohol 70% beberapa kali hingga kuning telur hilang. 2. Gonad didehidrasi ke dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat yaitu (80%,

85%, 90%, dan 95%) masing-masing selama 2 jam kemudian dipindahkan ke dalam alkohol berkonsentrasi 100% sebanyak 4 kali masing-masing selama satu jam.

3. Organ dibersihkan, didalam alkohol 100% + xylol (1 : 1) selama 45 menit, kemudian ke dalam xylol I, II dan III masing-masing selama 45 menit.

4. Organ direndam kembali kedalam xylol + parafin (1 : 1) selama 45 menit pada suhu 600C. Kemudian direndam ke dalam parafin I, II dan III masing-masing selama 45 menit dalam suhu 650C.

5. Selanjutnya organ ditanam dalam blok parafin cair pada suhu 600C selama 24

jam sampai parafin mengeras.

6. Spesimen dipotong setebal 6-7 μm, ditempel pada gelas obyek yang telah ditetesi dengan Ewid, selanjutnya di taruh diatas pemanas dan keringkan selama 24 jam pada suhu 450C.

7. Untuk deparafinasi, preparat berturut – turut direndam dengan menggunakan xylol I, II, alkohol 100% I, 100% II, 95%, 90%, 85%, 80%, 70% dan 50% dan dicuci sampai warna putih.

8. Pewarnaan preparat dilakukan dengan merendam ke dalam cairan hamotoxylin selama 2 menit selanjutnya dibersihkan dengan mencuci dengan air kran mengalir.

9. Dehidrasi terhadap preparat dilakukan dengan merendam secara berturut-turut dalam alkohol 70%, 80%, 85%, 90%, 95% I, 95% II, 100% I dan 100% II masing-masing selama satu menit.

10. Penjernihan warna objek preparat dilakukan dengan merendam di dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 menit.

11. Preparat diberi zat perekat Canada balsem, selanjutnya ditutup dengan gelas penutup, dikeringkan selama 10 menit dan di beri label sesuai dengan perlakuan sehingga didapatkan preparat permanen histologi gonad yang dapat diamati dibawah mikroskop.

Analisis Lapang

(24)

kemudian dari hasil pengukuran pada masing-masing alat tangkap digunakan sebagai acuan untuk penggelompokan contoh yang sudah diambil sebelumnya.

Analisis Data

Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran yang dapat menduga kelompok umur ikan. Data panjang total ikan dikelompokkan ke dalam beberapa kelas panjang, sehingga kelas panjang ke-i memiliki frekuensi (fi). Pendugaan kelompok umur dilakukan dengan analisis frekuensi panjang ikan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation) (FISAT II, FAO-ICLARM Stock Assesment Tool) untuk menentukan sebaran normalnya. Menurut Boer et. al. (1996), jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang ke-i (i = 1,2, ... ,N), µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam kelompok umur ke-j (j=1,2, ... ,G), maka fungsi objektif yang digunakan untuk menduga {�̂ , �̂ , �̂ } adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function):

= ∑�= � log ∑ = (1)

dihitung dengan persamaan:

= √ �

� −�

(2)

qij adalah fungsi kepekatan sebaran normal dengan nilai tengah μj dan simpangan

baku σj, dan xi adalah titik tengah kelas panjang ke-i. Fungsi objektif L ditentukan dengan cara mencari turunan pertama L masing-masing terhadap μj, σj, pj sehingga diperoleh dugaan �̂ , �̂ dan �̂ yang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Pendugaan parameter pertumbuhan

Pertumbuhan dapat diestimasi menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999):

= ∞[ − − − ] (3)

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan K dan L∞ dilakukan dengan menggunakan metode Ford Wallford yang diturunkan dari model von Bertalanffy, untuk t adalah t+1, persamaan menjadi:

�+ = ∞ − − �−� (4)

Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (mm), ∞ adalah panjang maksimal secara

teoritis/ panjang asimtotik (mm), adalah koefisien pertumbuhan (tahun-1), � adalah umur hipotesis ikan pada panjang nol (tahun).

(25)

+ − = [ ∞− ][ − − ] (5)

atau:

+ = ∞[ − − ] + − (6)

Persamaan diatas dapat diduga dengan persamaan regresi linier y= b0 + b1x, dengan

Lt sebagai absis (x) diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat (y), sehingga terbentuk

kemiringan (slope) sama dengan e-Kdan titik potong dengan absis sama dengan L∞[1 – e-K]. Nilai K dan L

∞diperoleh dengan cara:

= − ln (7)

∞ = (8)

Nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) diduga melalui

persamaan Pauly (1983) in Sparre dan Venema (1999):

log (-t0) = -0.3922-0.2752 (log L∞)- 1.0380 (log K) (9)

L∞ adalah panjang maksimal secara teoritis/ panjang asimtotik (mm), K adalah koefisien laju pertumbuhan (tahun-1), � adalah umur hipotesis ikan pada panjang nol (tahun).

Nisbah kelamin

Persamaan untuk menghitung nisbah kelamin (Effendie 1979):

NK=nn (10)

NK adalah nisbah kelamin, nJ adalah jumlah ikan jantan, nB adalah jumlah ikan betina.

Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui dengan melakukan analisis nisbah kelamin ikan menggunakan uji Chi square (χ2)

(Steel dan Torrie 1980):

χ =∑ i− i

i (11)

χ adalah nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran khi kuadrat (chi square), � adalah jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati (individu), adalah jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina (individu).

Nilai-nilai χ yang diperoleh dibandingkan dengan χ tabel dengan taraf nyata 5% dan derajat bebas (n-1).

Hubungan panjang bobot

(26)

W = Lβ (12) sebagai y dan log L sebagai x. sehingga diperoleh persamaan regresi:

yi= β0+ β1xi+ εi (14)

sedangkan a dan b diperoleh melalui hubungan b=b1 dan a=10b0

Hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter), yaitu dengan hipotesis:

H0 : =3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik (pola

pertumbuhan bobot sebanding dengan pola pertumbuhan panjang)

H1 : ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik (pola

pertumbuhan bobot tidak sebanding dengan pola petumbuhan panjang) Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam adalah allometrik positif (b>3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b<3) yang berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Selanjutnya untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik uji sebagai berikut:

(27)

hipotesis nol (H0) dengan pola pertumbuhan allometrik dan jika thitung < ttabel, maka

gagal tolak atau terima hipotesis no (H0) dengan pola pertumbuhan isometrik

(Walpole 1993).

Faktor Kondisi

Faktor kondisi menunjukan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan sistem metrik berdasarkan hubungan panjang bobot ikan sampel.

Jika pertumbuhan ikan isometrik (Effendie 2002):

K = 5 (20)

K adalah faktor kondisi, adalah bobot ikan (g), adalah panjang total ikan (mm). Jika pertumbuhan bersifat allometrik (Effendie 2002):

Kn= aLWb (21)

Kn adalah faktor kondisi relatif, W adalah bobot ikan (g), L adalah panjang total

ikan (mm), dan b adalah konstanta.

Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG)

Analisis tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologi menggunakan modifikasi Cassie dalam Effendie dan Sjafei (1976) (Tabel 1) yang didasarkan pada bentuk, warna, ukuran, dan bobot gonad.

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan

TKG Betina Jantan

I Ovari seperti benang, panjang sampai ke

depan rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

Testis seperti benang, lebih pendek, terlihat ujungnya di rongga tubuh. Warna jernih. Permukaan licin.

II Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan

lebih gelap kekuningkuningan, telur belum jelas dilihat dengan mata.

Ukuran testis lebih besar. Pewarnaan lebih putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I.

III Ovari berwarna kuning. Secara

morfologis telur mulai kelihatan

butirannya dengan mata.

Permukaan testis tampak lebih bergerigi. Warna makin putih, testis makin besar. Dalam keadaan diawetkan mudah putus.

IV Ovari makin besar. Telur berwarna

kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak. Mengisi ½ - 2/3 rongga perut, usus terdesak.

Seperti pada tingkat III, tampak lebih jelas dan testis makin pejal.

V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur seperti pada tingkat II.

Testis bagian belakang kempis dan di bagian dekat pelepasan masih berisi

Indeks kematangan gonad (IKG)

(28)

IKG % = x (22)

IKG adalah indeks kematangan gonad, BG adalah bobot gonad (g), BT adalah bobot tubuh ikan (g).

Fekunditas

Penghitungan fekunditas pada TKG III dan TKG IV dengan menggunakan metode gabungan sebagai berikut (Effendie 1979):

F = × × (23)

F adalah fekunditas, G adalah bobot gonad total (g), V adalah volume pengenceran (ml), X adalah jumlah telur dalam 1 ml, Q adalah bobot telur sampel (g).

Tipe Pemijahan

Diameter telur diamati di bawah mikroskop binokuler majemuk dengan bantuan mikrometer okuler yang telah ditera sebelumnya dengan perbesaran 4x10. Pengukuran ini dilakukan pada telur-telur yang berada pada tingkat kematangan gonad (TKG) III dan IV. Selanjutnya diameter telur dianalisis dalam bentuk histogram.

Ukuran pertama kali matang gonad (Lm)

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan mencapai matang gonad (M) adalah Metode Spearman-Karber yang menyatakan bahwa logaritma ukuran rata-rata mencapai matang gonad adalah (Udupa 1986):

= [ + ] − Ʃ (24)

dengan,

Lm = antilog m (25)

dan selang kepercayaan 95% bagi log m dibatasi sebagai:

�� ± . √ ∑� −. (26)

M adalah log panjang ikan pada kematangan gonad pertama, xk adalah log nilai

tengah kelas panjang yang terakhir ikan telah matang gonad, x adalah log pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada

kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah

ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, Lm adalah panjang ikan pertama kali

matang gonad.

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc)

(29)

dari perhitungan tersebut membentuk kurva ogif selektifitas alat berbentuk sigmoid yang menyerupai kurva distribusi normal komulatif yang mengacu pada Beverton dan Holt (1957) dalam Sparre dan Venema (1999) dengan rumus:

SL = + p − ∗ (27)

SL adalah jumlah estimasi, L adalah interval titik tengah panjang kelas, a dan b adalah konstanta. Sehingga a dan b dapat dihitung melalui dugaan regresi linier:

ln

c− = a − b ∗ L (28)

SLc adalah frekuensi kumulatif, L adalah nilai tengah panjang kelas (mm). Adapun

Lc dapat dihitung melalui:

L = − (29)

Lc adalah panjang ikan pertama kali tertangkap (mm), a dan b adalah konstanta

Laju mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang sedemikian sehingga diperoleh hubungan:

ln� ,, = ℎ − � + (30)

Persamaan diatas diduga melalui persamaan regresi linier sederhana y=b0+b1x dengan y=ln� ,

∆ , = ℎ − � +

sebagai ordinat, x=t + sebagai absis, dan Z = -b (Lampiran 1).

Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) dalam Spare dan Venema (1999) sebagai berikut:

ln M = -0.0152 – 0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T (31) M adalah mortalitas alami, L∞ adalah panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (mm), K adalah koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy, t0 adalah umur ikan pada saat panjang 0,

dan T adalah rata-rata suhu permukaan air (oC).

Pauly (1980) dalam Sparre dan Venema (1999) menyarankan untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0.8, sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan Layur nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah:

M = . e − . − . ln ∞+ . ln + . ln (32)

(30)

F = Z – M (33) Laju ekploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E = + = (34)

M adalah laju mortalitas alami, F adalah laju mortalitas penangkapan, dan Z adalah mortalitas total.

Standarisasi alat tangkap

Standarisasi alat tangkap digunakan untuk menyeragamkan upaya penangkapan yang ada sehingga dapat diasumsikan upaya penangkapan suatu alat tangkap dapat menghasilkan tangkapan yang relatif seperti alat tangkap yang dijadikan standar. Alat tangkap yang digunakan standar adalah alat tangkap yang dominan menangkap menangkap jenis ikan tertentu dan memiliki nilai Fising Power Index (FPI) saat nilai FPI satu. Nilai FPI dari masing-masing alat tangkap lainnya dapat diketahui dengan membagi laju penangkapan rata-rata unit penangkapan yang dijadikan standar. Menurut Spare dan Venema (1999) nilai FPI diketahui dengan rumus:

CPUEi= i

i (35)

FPIi = i (36)

CPUEi adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap ke-i, Ci adalah

jumlah tangkapan jenis alat tangkap ke-i, fi adalah jumlah upaya penangkapan jenis

alat tangkap ke-i, CPUEs adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan alat

tangkap yang dijadikan standar, dan FPI adalah faktor upaya tangkap pada jenis alat tangkap ke-i.

Model produksi surplus

Pendugaan potensi ikan layur dapat diduga dengan model produksi surplus yang menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Model ini pertama kali dikembangkan oleh Schaefer (1954) dalam Sparre dan Venema (1999). Model produksi surplus dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema 1999). Menurut Sparre dan Venema (1999) tingkat upaya penangkapan optimun (fMSY) dan

tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat dihitung melalui persamaan:

= a − bf (37)

dan

(31)

Masing-masing untuk model Schaefer (persamaan 37) dan model Fox (persamaan 38), sehingga diperoleh dugaan fMSY untuk model Schaefer dan model

Fox masing-masing:

f = (39)

dan

f = (40)

Serta MSY masing-masing untuk model Schaefer dan model Fox adalah:

MSY = (41)

dan

MSY = e − (42)

Model yang digunakan adalah model yang memiliki nilai determinasi (R2) yang

paling tinggi. Nilai Potensi Lestari (PL), jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC), dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dapat ditentukan dengan analisis produksi surplus berdasarkan prinsip kehati-hatian (FAO 1995 in Syamsiyah 2010):

PL = % x MSY (43)

TAC = % x PL (44)

Karakteristik ukuran hasil tangkapan

Analisis karakteristik hasil tangkapan digunakan untuk menentukan jenis alat tangkap yang direkomendasikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan layur di perairan Selat Sunda. Parameter yang digunakan dalam penentuan jenis alat tangkap yang direkomendasikan menggunakan data panjang pertama kali matang gonad (Lm). Adapun alat tangkap yang mendominasi dalam penangkapan ikan layur

(32)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Sebaran frekuensi panjang

Selama penelitian jumlah ikan contoh yang diperoleh adalah 725 ekor dengan kisaran panjang total 320 – 756 mm dan bobot antara 22 – 378 g. Jumlah tersebut terdiri atas 325 ekor jantan dan 400 ekor betina. Jumlah contoh ikan yang diambil dibedakan menjadi 14 kelompok dengan selang 15 mm yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Selang kelas (mm)

Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang ikan layur

Komposisi ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh cukup bervariatif. Pengambilan contoh terbanyak pada bulan April sebanyak 191 ekor yang terdiri dari 89 ekor jantan dan 102 ekor betina, sedangkan pengambilan contoh paling sedikit pada bulan Juli sebanyak 99 ekor yang terdiri dari 33 ekor jantan dan 60 ekor betina (Lampiran 2).

(33)

Jumlah ikan contoh yang diambil pada bulan April sebanyak 191 ekor, dimana didapatkan 89 ekor jantan dan 102 ekor betina yang didominasi pada selang kelas ukuran 512 – 527 mm sebanyak 25 ekor jantan dan 27 ekor betina. Jumlah ikan contoh pada bulan Mei sebanyak 156 ekor, dimana didapatkan 79 ekor jantan dan 77 ekor betina yang didominasi pada selang kelas ukuran 464 – 479 mm sebanyak 14 ekor untuk ikan jantan sedangkan ikan betina didominasi pada selang kelas ukuran 496 – 511 mm sebanyak 15 ekor. Jumlah ikan contoh pada bulan Juni sebanyak 122 ekor dimana didapatkan 80 ekor jantan dan 42 ekor betina dengan didominasi pada selang kelas ukuran 528 – 543 mm sebanyak 17 untuk ikan jantan sedangkan ikan betina didominasi pada selang kelas ukuran 560 – 575 mm sebanyak 8 ekor. Pada bulan Juli jumlah ikan contoh sebanyak 93 ekor dimana didapatkan 33 ekor jantan dan 60 ekor betina dengan didominasi pada selang kelas ukuran 528 – 575 mm sebanyak 7 ekor untuk ikan jantan sedangkan ikan betina didominasi pada selang kelas ukuran 560 – 575 mm sebanyak 9 ekor. Pada bulan Agustus jumlah ikan contoh sebanyak 163 ekor dimana didapatkan 44 ekor jantan dan 119 ekor betina dengan didominasi pada selang kelas ukuran 528 – 543 mm sebanyak 6 ekor untuk ikan jantan sedangkan ikan betina didominasi pada selang ukuran 480 – 495 mm sebanyak 18 ekor.

Pendugaan parameter pertumbuhan

Pendugaan parameter pertumbuhan mula-mula melalui analisis pemisahan kelompok ukuran, kemudian dilanjutkan menggunakan metode ELEFAN I dalam program FISAT II. Berdasarkan data kelompok ukuran ikan maka dapat dilakukan pendugaan parameter pertumbuhan meliputi panjang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) dan umur teoritis pada saat panjang ikan nol (t0) yang dianalisis

menggunakan model von Bertalanffy yang disajikan pada Gambar 6 dan pendugaan parameter pertumbuhan disajikan pada Tabel 2 dan Lampiran 3.

Tabel 2. Pendugaan parameter pertumbuhan ikan layur

Jenis kelamin Parameter pertumbuhan

L∞(mm) K (tahun-1) t0

Jantan 722.4 0.39 -0.7544

Betina 828.0 0.32 -0.6816

Umur (tahun)

Gambar 6. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy

Berdasarkan jenis kelamin diperoleh panjang asimtotik (L∞) ikan jantan sebesar 722.4 mm, koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.39 tahun-1 dan umur teoritis

(34)

pada saat panjang ikan nol (t0) sebesar -0.7544 tahun. Sedangkan ikan betina

diperoleh panjang asimtotik (L∞) sebesar 828 mm, koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.32 tahun-1 dan umur teoritis pada saat panjang ikan nol (t0) sebesar

-0.6816 tahun. Dari hasil diatas maka dapat diaplikasikan ke dalam persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menurut panjang ikan per satuan waktu untuk ikan jantan adalah Lt = 722.4 mm (1-e-0.39(t-(-0.7544))) dan betina adalah Lt = 828.0 mm

(1-e-0.32(t-(-0.6816))).

Nisbah kelamin

Jumlah ikan contoh dalam penelitian ini terdiri dari 325 ekor jantan dan 400 ekor betina. Berdasarkan waktu pengambilan contoh secara keseluruhan didapatkan perbandingan nisbah kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 1.2 atau 45% jantan dan 55% betina yang artinya ikan betina lebih mendominasi. Berdasarkan uji “chi-square” pada taraf nyata 0.05 diperoleh bahwa nisbah kelamin jantan dan betina secara keseluruhan adalah tidak seimbang. Perbandingan nisbah kelamin pada masing-masing pengambilan contoh disajikan pada Gambar 7.

Waktu pengambilan contoh

Gambar 7. Nisbah kelamin ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh Berdasarkan waktu pengambilan contoh diketahu bahwa pada bulan Juni perbandingan ikan jantan lebih banyak dibandingkan ikan betina yaitu sebanyak 80 ekor ikan jantan dan 42 ekor ikan betina. Sedangkan pada bulan Agustus perbandingan ikan jantan lebih seikit dibandingkan ikan betina yaitu sebanyak 44 ekor ikan jantan dan 119 ekor ikan betina (Lampiran 4).

Hubungan panjang dan bobot

Analisis hubungan panjang dan bobot menghasilkan model pola pertumbuhan. Hasil analisis hubungan panjang bobot disajikan pada Gambar 8.

Panjang (mm)

Gambar 8. Hubungan panjang bobot ikan layur

0,0

300 400 500 600 700 800

W = 0.0000002L3.1819

300 400 500 600 700 800

(35)

Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang bobot pada ikan jantan didapatkan nilai a sebesar 0.0000001 dan nilai b sebesar 3.2701 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.92. Sedangkan pada ikan betina didapatkan nilai a sebesar 0.0000002 dan nilai b sebesar 3.1819 dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.91. Berdasarkan uji t didapatkan nilai ttabel sebesar 1.9668 dan thitung pada

ikan jantan dan betina masing-masing sebesar 5.3799 dan 3.6928 yang artinya thitung

> ttabel sehingga dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan layur jantan dan

betina adalah allometrik positif (b>3) yang artinya pertumbuhan bobot lebih dominan dibanding pertumbuhan panjang.

Faktor kondisi

Analisis faktor kondisi ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh disajikan pada Gambar 9.

Waktu pengambilan contoh

Gambar 9. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh Berdasarkan hasil analisis menunjukkan faktor kondisi pada ikan jantan berkisar antara 1.31 – 1.41 dan pada ikan betina berkisar antara 1.06 – 1.25. nilai faktor kondisi tertinggi pada ikan jantan dan betina berada pada bulan Juni yaitu sebesar 1.41 untuk ikan jantan dan 1.25 untuk ikan betina. Sedangkan faktor kondisi terendah pada ikan jantan dan betina berada pada bulan Juli yaitu sebesar 1.31 untuk ikan jantan dan 1.06 untuk ikan betina (Lampiran 5).

Tingkat kematangan gonad

(36)

sebesar 92%, TKG II sebesar 6%, dan TKG IV sebesar 2% (Gambar 10 dan Lampiran 7).

Waktu pengambilan contoh

Gambar 10. TKG ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh

Berdasarkan selang kelas ukuran pada ikan jantan ditemukan TKG I pada selang kelas 320 – 655 mm, TKG II ditemukan pada selang kelas 432 – 687 mm, TKG III ditemukan pada selang kelas 480 – 703 mm dan TKG IV ditemukan pada selang kelas 448 – 623 mm. Sedangkan pada ikan betina ditemukan TKG I pada selang kelas 336 – 735 mm, TKG II ditemukan pada selang kelas 320 – 767 mm, TKG III ditemukan pada selang kelas 432 – 655 mm dan TKG IV ditemukan pada selang kelas 400 – 655 mm (Gambar 11 dan Lampiran 8).

Selang kelas (mm)

Gambar 11. TKG ikan layur berdasarkan selang kelas

(37)

Pengamatan mikroskopis

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dari preparat histologi ikan layur jantan dan betina dengan menggunakan mikroskop pembesaran 10x10 adalah sebagai berikut:

a. jantan

1. S1 = Spermatosit primer 2. S2 = Spermatosit sekunder 3. S3 = Spermatid 4. S4 = Spermatozoa

b. betina

1. O1 = Oogonia 2. O2 = Oosit 3. O3 = Ootid 4. O4 = Ovum 5. N = Nukleus

Gambar 12. Hasil histologi (a) jantan (b) betina

S3 S4

S1

S2

O2

N O1

O3 O4

(38)

Secara histologis testes TKG I ditemukan spermatosit primer. Pada TKG II mulai terbentuk kantung tubulus seminiferi yang terisi oleh spermatogonia sekunder. Pada TKG III, kantung tubulus seminiferi mulai membesar dan spermatosit primer berubah menjadi spermatid. Pada TKG IV terdapat spermatid dan sudah menyebar, juga sudah terbentuk spermatozoa yang siap dikeluarkan untuk membuahi. Pada ovarium TKG I gonad belum matang dan didominasi oogonia dan sedikit oosit. TKG II sel telur semakin besar, didominasi oleh oosit dan nukleus semakin banyak. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, kuning telur dan butiran minyak sudah mulai terbentuk. Pada TKG IV ootid berkembang menjadi ovum, jumlah butir kuning telur dan butiran minyak semakin banyak dan semakin besar (Gambar 12).

Indeks kematangan gonad (IKG)

Secara keseluruhan diperoleh index kematangan gonad berdasarkan jenis kelamin untuk jantan berkisar antara 0.18 ± 0.11 sampai 0.61 ± 0.49 Sedang ikan betina berkisar antara 0.20 ± 0.13 sampai 1.9 ± 1.49 (Gambar 13 dan Lampiran 9). IKG jantan dan betina tertinggi pada bulan April dan terendah pada bulan Juni.

Waktu pengambilan contoh

Gambar 13. IKG ikan layur berdasarkan waktu pengambilan contoh

Fekunditas

Hasil pengamatan fekunditas ikan layur, dilakukan pada ikan-ikan yang matang gonad/siap memijah, karena jumlah telur dianggap akan mencapai maksimum pada tingkat tersebut. Dalam penelitian ini fekunditas berdasarkan definisi sebagai jumlah telur dalam ovari yang akan matang selama suatu musim pemijahan tertentu.

(39)

Gambar 14. Hubungan fekunditas berdasarkan panjang dan bobot ikan layur betina

Sebaran diameter telur

Diameter telur ikan layur betina dengan TKG III dan IV yang diamati berkisar antara 0.250 mm – 1.539 mm. Jumlah ikan layur dengan TKG III sebanyak 29 ekor dan TKG IV 44 ekor. Pada TKG III ditemukan dua puncak selang kelas yaitu pada ukuran selang kelas 0.422 – 0.507 mm sebesar 17% dan 0.680 – 0.765 mm sebesar 23%, sedangkan pada TKG IV hanya ditemukan satu puncak selang kelas yaitu pada ukuran selang kelas 0.938 – 1.023 mm sebesar 25%. (Gambar 15 dan Lampiran 10).

Selang kelas (mm)

Gambar 15. Sebaran diameter telur ikan layur

Panjang pertama kali matang gonad (Lm)

Panjang ikan pertama kali matang gonad dianalisis berdasarkan data tingkat kematangan gonad ikan dengan metode Spearman-Karber (Udupa 1986) (Lampiran 11). Hasil perhitungan panjang pertama kali matang gonad disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm)

(40)

Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc)

Panjang pertama kali ikan tertangkap adalah panjang ikan yang sebanyak 50% ditangkap di suatu perairan. Analisis panjang ikan layur pertama kali tertangkap disajikan pada Tabel 4 dengan grafik pertama kali tertangkap pada Gambar 16 dan Lampiran 12.

Tabel 4. Panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc)

Jenis Kelamin Lc (mm)

Jantan 522.66

Betina 577.36

Nilai tengah panjang (mm)

Gambar 16. Nilai Lc dengan metode covered coden method ikan layur

Mortalitas dan Eksploitasi

Pendugaan laju mortalitas total (Z) dilakukan dengan metode kurva hasil tangkapan yang dilinearkan sehingga berbasis data panjang. Mortalitas (Z) terdiri dari mortalitas akibat kematian alami (M) dan mortalitas akibat adanya penangkapan (F). Laju eksploitasi sumber daya ikan diduga melalui hubungan antara mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Perhitungan laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Lampiran 13. Laju eksploitasi dianalisis dengan menggunakan data panjang ikan, sehingga perhitungannya berdasarkan data primer biologi. Nilai mortalitas (M, F, dan Z) dan laju eksploitasi (E) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Mortalitas dan eksploitasi ikan layur

Jenis Kelamin Mortalitas selama tujuh tahun terakhir disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 diperoleh dari proses standarisasi alat tangkap dengan memproporsikan tangkapan ikan layur dan tangkapan total pada alat tangkap tertentu. Alat tangkap yang paling efisien dengan nilai FPI tertinggi yaitu jaring lingkar (purse seine). Model produksi surplus yang digunakan adalah model Fox dengan nilai determinasi sebesar 70%. Grafik analisis

0,0

327 377 427 477 527 577 627 677 727 777

0,0

327 377 427 477 527 577 627 677 727 777

(41)

model produksi surplus berdasarkan model Fox dapat dilihat pada Gambar 17 dan Lampiran 15.

Tabel 6. Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan layur Tahun Hasil tangkapan (ton) Upaya penangkapan (trip) CPUE

2008 971.20 19369.42 0.050

Gambar 17. Model produksi surplus (model Fox)

Hasil tangkapan ikan layur dari tahun 2008 – 2014 berfluktuasi. Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2009 sedangkan upaya tertinggi terjadi di tahun 2014. Nilai tangkapan lestari dan upaya lestari berdasarkan model Fox yaitu sebesar 835.64 ton dengan 24680 trip. Nilai Total Allowable Catch (TAC) yaitu sebesar 601.66 ton.

Karakteristik ukuran hasil tangkapan

Jumlah ikan layur yang diambil pada setiap pengambilan contoh berdasarkan alat tangkap yang digunakan adalah sebagai berikut (Tabel 6 dan Lampiran 14). Tabel 7. Jumlah hasil tangkapan

Stasiun Arad Payang Jaring lingkar

1 18 35 11

2 30 23 32

3 26 31 12

Total 74 89 55

Komposisi ikan layur yang tertangkap pada setiap stasiun cukup bervariatif. Total hasil tangkapan terbanyak pada alat tangkap payang sebanyak 89 ekor diikuti oleh arad sebanyak 74 ekor dan jaring lingkar sebanyak 55 ekor. Pada alat tangkap

0,00

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000

(42)

arad hasil tangkapan terbanyak pada stasiun 2 sebanyak 30 ekor dikuti oleh stasiun 3 sebanyak 26 ekor dan stasiun 1 sebanyak 18 ekor. Pada alat tangkap payang hasil tangkapan terbanyak pada stasiun 1 sebanyak 35 ekor diikuti oleh stasiun 3 sebanyak 31 ekor dan stasiun 2 sebanyak 23 ekor. Pada alat tangkap jaring lingkar hasil tangkapan terbanyak pada stasiun 2 sebanyak 32 ekor diikuti oleh stasiun 3 sebanyak 12 ekor dan stasiun 1 sebanyak 11 ekor (Tabel 7).

Selang kelas (mm)

Gambar 18. Distribusi hasil tangkapan arad

Hasil tangkapan ikan layur pada alat tangkap arad sebanyak 74 ekor dengan komposisi ikan jantan sebanyak 36 ekor dan betina 38 ekor. Ikan jantan yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki panjang berkisar antara 231 – 527 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 342 – 357 mm sebanyak 8 ekor dengan rata-rata panjang 389 mm, sedangkan ikan betina memiliki panjang berkisar antara 331 – 530 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 502 – 517 mm sebanyak 5 ekor dengan rata-rata panjang 423 mm (Gambar 19).

Selang kelas (mm)

Gambar 19. Distribusi hasil tangkapan payang

Hasil tangkapan ikan layur pada alat tangkap payang sebanyak 89 ekor dengan komposisi ikan jantan sebanyak 41 ekor dan betina 48 ekor. Ikan jantan yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki panjang berkisar antara 498 – 671 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 502 - 517 mm sebanyak 8 ekor dengan rata-rata panjang 555 mm, sedangkan ikan betina memiliki panjang berkisar antara 510 – 770 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 518 – 533 mm sebanyak 12 ekor dengan rata-rata panjang 577 mm (Gambar 20).

(43)

Selang kelas (mm)

Gambar 20. Distribusi hasil tangkapan jaring lingkar

Hasil tangkapan ikan layur pada alat tangkap jaring lingkar sebanyak 55 ekor dengan komposisi ikan jantan sebanyak 30 ekor dan betina 25 ekor. Ikan jantan yang ditemukan dalam penelitian ini memiliki panjang berkisar antara 457 – 596 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 550 - 565 mm sebanyak 9 ekor dengan rata-rata panjang 535 mm, sedangkan ikan betina memiliki panjang berkisar antara 475 – 575 mm yang didominasi pada ukuran selang kelas 518 – 533 mm sebanyak 6 ekor dengan rata-rata panjang 530 mm (Gambar 20).

Pembahasan

Parameter pertumbuhan ikan layur diduga dengan metode Ford Walford. Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi, panjang asimtot, koefisien pertumbuhan, dan waktu ketika panjang ikan nol. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa ikan jantan memiliki panjang asimtot sebesar 722.4 mm, sedangkan betina memiliki panjag asimtot sebesar 828.00 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan 0.39 tahun-1 untuk ikan jantan dan 0.32 tahun-1 untuk betina. Hal ini menunjukkan bahwa ikan layur jantan memiliki waktu yang lebih pendek dibandingkan ikan betina dalam mencapai panjang maksimal (L∞).

Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa nilai parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian berbeda-beda. Perbedaan parameter pertumbuhan ikan untuk setiap jenis dipengaruhi oleh struktur panjang ikan yang sering tertangkap. Dari penelitian yang dilakukan di Selat Sunda menunjukkan bahwa adanya penurunan panjang asimtot (L∞) dari tahun 2012 sebesar 1110.53 mm menjadi 722.4 mm untuk ikan jantan dan 828.0 mm untuk ikan betina. Hal tersebut dapat diakibatkan adanya tekanan penangkapan yang semakin banyak dan perbedaan jumlah serta kisaran panjang contoh. Menurut Aziz et al. (1992) dalam Prihatiningsih et al. (2013) perbedaan parameter pertumbuhan juga disebabkan oleh perbedaan ukuran ikan, umur, alat tangkap yang digunakan, musim penangkapan dan daerah penangkapan pada saat pengambilan contoh. Sehingga untuk spesies yang sama parameter pertumbuhan ikan jantan dan betina akan berbeda, begitupun juga spesies yang sama pada kolom perairan yang berbeda. Perbedaan nilai K dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti makanan, suhu dan kondisi lingkungan (Weatherley 1972). Menurut Sulistiono et al. (2001) makanan yang berlimpah berpengaruh terhadap pertumbuhan yang cepat.

(44)

Tabel 8. Parameter pertumbuhan ikan layur dari berbagai penelitian.

Risti (2015) Selat Sunda Jantan Betina

Penelitian ini Selat Sunda Jantan Betina

Pada penelitian ikan layur di perairan India menunjukkan bahwa rentang hidup ikan layur adalah 3.3 tahun (Azadi 2008). Menurut Sparre dan Venema (1999) bahwa semakin rendah koefisien pertumbuhan (K) maka semakin lama waktu yang dibutuhkan ikan untuk mencapai panjang maksimal (L∞) begitupun sebaliknya. Perbedaan spesies dan jenis kelamin juga dapat menyebabkan perbedaan parameter pertumbuhan. Hal ini sesuai pernyataan Sekharan (1959) dalam Radhakrishnan (1964) bahwa perbedaan struktur panjang menggambarkan adanya perbedaan pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor keturunan, sex, umur, parasit, penyakit, kondisi lingkungan serta adanya perbedaan waktu pengambilan contoh. Selain itu, pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di alam.

Dari hasil yang diperoleh nisbah kelamin berdasaran waktu pengamatan pada bulan April sampai bulan Agustus bahwa ikan layur jantan dan betina memiliki perbandingan 1:1.2. Ini berarti bahwa jumlah ikan betina lebih banyak dibandingkan ikan jantan di perairan Selat Sunda. Penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1:1 juga dapat timbul dari berbagai faktor. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa jika ketersediaan makanan berlimpah maka ikan betina akan lebih dominan dan sebaliknya ikan jantan dominan saat ketersediaan makanan berkurang. Penyataan ini didukung oleh Vicentini & Araujo (2003) yang menyatakan bahwa perbedaan nisbah kelamin pada ikan Micropogonias furnieri disebabkan ketersediaan makanan dan perbedaan laju pertumbuhan. Selanjutnya Turkmen et al. (2002) menyatakan bahwa perbedaan distribusi ikan, aktifitas dan gerakan ikan serta faktor pergantian dan variasi seksual jantan dan betina dalam masa pertumbuhan, mortalitas dan lama hidup. Ketidakseimbangan Nisbah kelamin jantan dan betina berhubungan dengan strategi pertumbuhan untuk kesuksesan reproduksi. Ikan jantan umumnya lebih cepat matang gonad karena ukurannya relatif panjang dibandingkan dengan ikan betina. Ini juga ada hubungannya dengan musim pemijahan dan faktor lingkungan (Halfawy 2007). Perbedaan ukuran dan jumlah salah satu jenis kelamin dalam suatu populasi disebabkan adanya perbedaan pola pertumbuhan, umur, awal kematangan dan adanya perubahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada (Nikolsky 1963).

(45)

untuk ikan jantan dan 0.91 untuk ikan betina. Nilai b pada hubungan panjang bobot menunjukkan bahwa ikan layur jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan allometrik positif yang artinya pertumbuhan bobot lebih dominan dibandingkan pertumbuhan panjang nya. Pola yang sama dilaporkan oleh Sholeh (2012) yaitu allometrik positif. Pola yang berbeda dilaporkan oleh Risti (2015) di perairan Selat Sunda adalah allometrik negatif dan Pakhmode (2013) di perairan Ratnagiri India adalah isometrik. Panjang bobot akan dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi seperti suhu, makanan, habitat dan faktor-faktor lainnya seperti usia, jenis kelamin, daerah penangkapan, kapal penangkap ikan dan alat tangkap juga mempengaruhi hubungan panjang bobot (Ricker 1973). Hubungan panjang bobot berguna untuk memberikan informasi terhadap ikan sampel (Maroto 2001). Persamaan hubungan panjang bobot sering digunakan dalam memperkirakan bobot ikan sampel dilapangan karena pengukuran bobot ikan dapat memakan waktu ketika dilapangan (Sinovcic 2004). Banyak peneliti sebelumnya yang menggunakan persamaan hubungan panjang bobot sebagai acuan untuk menentukan rata-rata bobot pada panjang tertentu (Bayer 1991).

Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Tetapi hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda (Effendie 1979). Bentuk tubuh ikan cenderung berubah dengan adanya pertambahan panjang dan ini ditunjukkan dengan nilai b menjadi lebih besar dari 3 bila ikan menjadi lebih gemuk, dan bila nilai b lebih kecil dari 3 menunjukkan ikan lebih kurus (Jobling 2002). Shukor et al. (2008) menyebutkan bahwa ikan yang hidup di perairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang lebih besar. Fenomena ini diduga disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai dengan pernyataan Muchlisin et al. (2010) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya nilai b juga dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang berenang pasif. Perubahan bobot ikan dapat dihasilkan dari perubahan pakan dan alokasi energi untuk tumbuh dan reproduksi yang mengakibatkan bobot ikan berbeda walaupun panjangnya sama (Meretsky et al. 2000).

Faktor kondisi merupakan suatu angka yang menunjukkan kegemukan ikan. Dari sudut pandang nutrisional, faktor kondisi merupakan akumulasi lemak dan perkembangan gonad (Effendie 2002). Berdasarkan analisis faktor kondisi dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor kondisi tertinggi pada ikan jantan berada pada bulan Juni dan faktor kondisi terendah berada pada bulan Juli, sedangkan pada ikan betina nilai faktor kondisi tertinggi pada bulan Juni dan faktor kondisi terendah pada bulan April. Nikolsky (1969) menyatakan bahwa faktor kondisi secara tidak langsung menunjukkan kondisi fisiologis ikan yang menerima pengaruh dari faktor intrinsik (perkembangan gonad dan cadangan lemak) dan faktor ekstrinsik (ketersediaan sumber daya makanan dan tekanan lingkungan. Selain menunjukkan kondisi ikan, faktor kondisi juga memberikan informasi kapan ikan memijah (Weatherley dan Rogers, 1978; Hossain et al. (2006) dalam Rahardjo dan Simanjuntak 2008).

(46)

ikan betina menunjukkan adanya indikasi terjadi peningkatan dari aktivitas reproduksi. Selain menggambarkan aktivitas reproduksi, nilai faktor kondisi juga menggambarkan kondisi kelimpahan makanan di alam (Weatherley dan Gill 1987). Penurunan nilai faktor kondisi pada ikan jantan dan betina pada bulan Juli diduga disebabkan oleh perubahan iklim, dimana pada bulan Juli adalah musim peralihan dari musim penghujan menuju musim kemarau. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap pemanfaatan energi pertumbuhan yang digantikan untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Peningkatan nilai TKG merupakan indikasi dari peningkatan bobot tubuh. Faktor kondisi ikan akan terus berkembang pada setiap siklusnya dan akan mencapai nilai maksimum pada TKG IV, kemudian menurun saat memasuki fase pemijahan. Akan tetapi pada kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan, penurunan faktor kondisi dapat terjadi sebelum mencapai pemijahan apabila terjadi terjadi atresia (penyerapan kembali oosit oleh tubuh ikan oleh gangguan dalam proses reproduksi pada tahap perkembangan gonad) (Tamsil 2000). Kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan diduga menyebabkan bervariasinya nilai faktor kondisi pada ikan layur di perairan Selat Sunda. Secara keseluruhan baik berdasarkan waktu pengamatan maupun berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dari pada faktor kondisi ikan jantan. Hal ini diduga pada ikan betina memerlukan jumlah energi yang lebih besar untuk perkembangan ovari. Individu betina mengalokasikan energi untuk perkembangan gonad 2.7 – 4.5 kali lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan (Craig 1977).

Presentase ikan jantan yang mulai matang gonad mulai terlihat pada selang kelas panjang 320 – 335 mm. Pada selang kelas panjang 336 – 655 mm ikan jantan didominasi oleh ikan dengan TKG I dan II, kemudian pada selang kelas 656 – 719 mm didominasi oleh ikan jantan dengan TKG III. Sedangkan ikan layur betina terlihat pada selang kelas panjang 336 – 735 didominasi oleh ikan betina dengan TKG I dan II, dimana pada TKG III dan IV mulai ditemukan pada selang panjang 400 – 655 mm dan memiliki presentasi terbanyak pada selang kelas panjang 544 – 559 mm (Gambar 11). Semakin panjang selang ukuran maka tahap perkembangan gonad juga akan semakin meningkat, karena semakin panjang ukuran maka ikan semakin dewasa dan mulai mengalami pertumbuhan gonad. Lagler (1977) menyatakan bahwa tahapan perkembangan gonad pada ikan dipengaruhi oleh umur, ukuran, dan fungsi fisiologis individu.

Terdapatnya TKG III dan IV pada setiap waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan layur diduga sedang melakukan pemijahan. Namun, TKG III dan IV tidak mendominasi hal tersebut mengindikasikan bahwa pada bulan April – Agustus adalah bukan musim pemijahan ikan layur. Suhendra & Merta (1986) menyatakan bahwa ditemukannya ikan yang sudah mencapai TKG III dan IV dapat merupakan indikator adanya ikan yang memijah pada perairan tersebut. Pemijahan ikan dilakukan pada saat kondisi lingkungan mendukung keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva (Moyle & Cech 1982). Pada penelitian ini terlihat bahwa pada bulan April menunjukkan adanya pemijahan pada ikan layur akan tetapi pada gambar VGBF yang dianalisis menggunakan program FISAT II menunjukkan bahwa ikan layur lahir pada bulan Februari, hal disebabkan ikan contoh yang diamati tidak ada yang berukuran kecil.

Gambar

Gambar 2. Diagram alir perumusan masalah kajian pertumbuhan, reproduksi dan
Gambar 3. Peta lokasi penelitian
Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan
Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang ikan layur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kajian di atas, maka dapat diasumsikan hipotesis tindakannya adalah dengan memulai penerapan model pembelajaran examples non examples dengan gambar seri

Agar memiliki kemampuan seperti itu maka siswa harus paham konsep PLSV dan algoritma menyelesaikan PLSV atau memahami prinsip (dalil) kesetaraan.. Bila itu terwujud maka ia

Melalui penggunaan CD animasi sebagai sosialisasi cinta anak terhadap pembelajaran matematika masalah-masalah pendidikan dan pembelajaran anak dapat dikaji,

Activity Diagram View Fasilitas pada Gambar 4.6 muncul setelah guest memilih icon Profil Sekolah pada menu bar di website yang sistem kemudian akan merespon dengan

Parasit Gyrodactylus paling banyak menginfeksi ikan lele di daerah Cijeruk dengan nilai prevalensi sebesar 96,667% yang berarti terdapat 29 dari 30 ekor ikan

pembelajaran IPA Kelas VI di Sekolah Dasar Katolik Kecamatan Langke Rembong pada umumnya sudah memadai untuk terlaksananya kegiatan pembelajaran, tetapi dari

Dari hasil pengukuran sesaat tersebut dapat di hitung potensi daya yang dihasilkan adalah 3262,16 kW, sehingga dapat diklasifikaskan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mini

Auwloh juga memutuskan utk menambahkan penderitaan para istri tersebut dengan membuat Maria hamil dan melahirkan anak lelaki yang dinamakan Ibrahim, anak lelaki yang sangat