• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES

JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR

ETHALIANI KARLINDA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

(3)

ABSTRAK

ETHALIANI KARLINDA. Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG.

Terjadi peralihan pengelolaan lahan dari Perhutani ke Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). Peralihan pengelolaan ini menimbulkan konflik yang bersifat tertutup karena lahan Perhutani berubah menjadi lahan konservasi taman nasional. Kemudian, konflik yang sebelumnya tertutup berubah menjadi konflik terbuka dan memanas karena adanya penangkapan salah satu petani Kampung Ciwaluh di lahannya yang berada pada jarak 100 meter sesuai perjanjian bersama. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan konflik terjadi antara pengelola TNGGP dengan petani Kampung Ciwaluh. Karakteristik petani yang berhubungan dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik yaitu pendidikan, pengalaman organisasi, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga. Konflik menimbulkan dampak tersendiri bagi petani. Kemudian, dilakukan pengelolaan konflik oleh pihak yang berkonflik maupun pihak ketiga agar terjadi penurunan konflik dan menanggulangi dampak konflik.

Kata kunci: akses, konflik SDA, petani, taman nasional

ABSTRACT

ETHALIANI KARLINDA. Conflict Expansion National Parks Conservation Area of Mount Gede Pangrango in Wates Jaya Village, District Cigombong, Bogor Regency. Guided by RILUS A. KINSENG.

There's transition land management from Perhutani to Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). The transition management cause a closed conflict, because the land turned into a national park conservation land. Then, the previously closed conflict turned into open conflict and heated because arrested one of the farmers Kampong Ciwaluh on their own land which is located 100 meters according to the agreement. This study combined quantitative approach and qualitative approach. The results showed conflicts happen between management of TNGGP and farmers Kampong Ciwaluh. Farmers characteristics correlated with the level of involved with conflict, such as education, experience of organization, income, and number of family dependents. Conflict own impacted for farmers Kampong Ciwaluh. Then, conducted conflict management by the conflicting parties and third parties to decrease conflict and mitigate the impact of conflict.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

KONFLIK PERLUASAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN

NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO DI DESA WATES

JAYA, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR

ETHALIANI KARLINDA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konflik Perluasan Kawasan Konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Desa Wates Jawa, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor” tepat pada waktunya. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan motivasi, kepada penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr Ir Saharuddin, MSi selaku dosen penguji utama dan Ibu Dr Ir Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji akademik atas saran dan masukannya. 3. Dosen-dosen Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

atas ilmu, kesabaran, bimbingan, dan pertolongan yang diberikan.

4. Cucu Indah dan Choirul Anwar selaku ibu dan ayah tercinta yang selalu mendoakan dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta Fitri Karlinda dan Rheyhan Fahri selaku kakak dan adik yang selalu menyemangati penulis.

5. Seluruh keluarga besar SKPM, terutama SKPM 48 atas kebersamaannya. Serta kakak-kakak SKPM 47 atas kesediaannya berbagi pengalaman dan memberikan saran-saran dalam penulisan proposal skripsi ini.

6. Pihak-pihak dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan aparat Desa Wates Jaya atas penerimaan, waktu, kesempatan, informasi, dan seluruh bantuan yang diberikan untuk kelancaran proses penelitian ini.

7. Seluruh petani di Kampung Ciwaluh yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data.

8. Teman-teman satu bimbingan Indah Erina Priska untuk motivasi yang positif dan kebersamaan selama proses penyusunan karya ilmiah.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(7)

DAFTAR ISI

Konflik Sumber Daya Alam 6

Dinamika Konflik 6

Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap Keterlibatannya dalam Konflik

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Pengambilan Sampel 19

Pengumpulan Data 20

Pengolahan dan Analisis Data 20

GAMBARAN UMUM 23

Gambaran Umum Desa Penelitian 23

Kondisi Geografis 23

Kondisi Demografis 23

Penggunaan Lahan 25

Sarana dan Prasarana 26

Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 26

Organisasi dan Tata Kerja 26

Kronologis Status Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

27

Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 27

(8)

Aktor-Aktor dalam Konflik 29

Pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 29

Petani Kampung Ciwaluh 29

Aparat Desa Wates Jaya 30

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) 30

Rimbawan Muda Indonesia (RMI) 30

Relasi antar Aktor dalam Konflik 31

Dinamika Konflik 32

PENGELOLAAN DAN DAMPAK KONFLIK 39

Pengelolaan Konflik 39

Kerjasama melalui Koperasi Mandiri Kampung Ciwaluh 39 Bantuan dari Pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango

40

Rapat dengan Berbagai Pihak 41

Sosialisasi oleh Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 42

Sosialisasi oleh Aparat Desa Wates Jaya 42

Pengukuran Ulang Batas Konservasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI)

42

Mediasi oleh Aparat Desa Wates Jaya 43

Mediasi oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) 43

Dampak Konflik 44

Penurunan Luas Penguasaan Lahan 44

Keresahan Petani 45

Persepsi Negatif Petani 45

Kesadaran Petani 46

Peningkatan Kohesivitas Kelompok 46

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK PETANI TERHADAP TINGKAT KETERLIBATAN DALAM KONFLIK

Tingkat Keterlibatan dalam Konflik 58

(9)
(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014

23

2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Wates Jaya tahun 2014

24

3 Jumlah dan persentase agama penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014 24 4 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk di Desa Wates Jaya

tahun 2014

25

5 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Wates Jaya tahun 2014 26 6 Jumlah dan persentase responden menurut kelompok usia di Kampung

Ciwaluh tahun 2014

49

7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di Kampung Ciwaluh tahun 2014

49

8 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah organisasi di Kampung Ciwaluh tahun 2014

51

9 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat organisasi di Kampung Ciwaluh tahun 2014

51

10 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan acara organisasi di Kampung Ciwaluh tahun 2014

52

11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pengalaman organisasi di Kampung Ciwaluh tahun 2014

52

12 Jumlah dan persentase responden menurut luas penguasaan lahan di Kampung Ciwaluh tahun 2014

53

13 Jumlah dan persentase responden menurut status penguasaan lahan di Kampung Ciwaluh tahun 2014

54

14 Jumlah dan persentase responden menurut pendapatan di Kampung Ciwaluh tahun 2014

54

15 Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan keluarga di Kampung Ciwaluh tahun 2014

55

16 Jumlah dan persentase responden menurut jenis lahan di Kampung Ciwaluh tahun 2014

56

17 Jumlah dan persentase responden menurut pertemuan rapat mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014

57

18 Jumlah dan persentase responden menurut keikutsertaan demonstrasi mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014

57

19 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam rapat mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014

58

20 Jumlah dan persentase responden menurut peranan dalam demonstrasi mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014

58

21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat keterlibatan konflik mengenai perluasan kawasan konservasi TNGGP di Kampung Ciwaluh tahun 2014

59

22 Koefisien korelasi Rank Spearman dan nilai signifikansi karakteristik responden (skala rasio dan ordinal) dengan tingkat keterlibatan konflik

(11)

24 Tabulasi silang jenis lahan dengan tingkat keterlibatan konflik 62

DAFTAR GAMBAR

1 Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung 7

2 Bagan kerangka pemikiran 14

3 Hubungan antara analisis data dengan pengumpulan data 21 4 Persentase zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 28 5 Pemetaan aktor-aktor dalam konflik di Kampung Ciwaluh 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sketsa wilayah Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor

71

2 Jadwal pelaksanaan penelitian 71

3 Populasi dalam penelitian kuantitatif 72

4 Contoh hasil uji statistik menggunakan Rank Spearman 73 5 Contoh hasil uji statistis menggunakan Chi-square 73 6 Bagan struktur organisasi Balai Besar Besar Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango

74

7 Data kronologis status kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

75

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya alam sangat penting bagi kehidupan manusia terutama untuk kelanjutan hidup dan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sumber daya alam seringkali dipertentangkan atau menjadi konflik. Hal ini semakin rumit karena sifat sumber daya alam (SDA) yang terbatas dan dapat dikatakan langka. Konflik umumnya tak terhindarkan karena banyak pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan sumber daya alam dan umumnya kepentingan masing-masing pihak berbeda tergantung kepada kebutuhan mereka. Keberadaan akan kebutuhan selalu mengalami peningkatan tergantung kepada status sosial dan ekonomi masyarakat. Konflik di bidang SDA merupakan salah satu permasalahan besar di Indonesia pasca reformasi. Sepanjang tahun 2013, telah terjadi 232 konflik SDA di 98 kabupaten dan kota di 22 provinsi (Batubara 2013).

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam, yaitu sumber daya alam hayati. Perubahan rezim yang terjadi di Indonesia menyebabkan hutan diklaim menjadi milik negara. Selain itu, adanya peraturan yang mengatasnamakan konservasi untuk mengambil akses pihak lain. Akan tetapi, peraturan atau kebijakan yang dibuat biasanya tidak memikirkan aspek sosial ekonomi masyarakat lokal di kawasan hutan dan hak menguasai hanya diberikan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah saja. Hal ini bertolak belakang dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yaitu:

“Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.” (UU Nomer 5 Tahun 1960)

“Hak menguasai negara atas bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan di dalamnya dapat di kuasakan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat.” (UU Nomer 5 Tahun 1960)

Peraturan yang mengatasnamakan konservasi seringkali terjadi di taman nasional. Hal ini karena hutan mempunyai keanekaragaman yang tinggi. Hak Pengelolaan Hutan (HPH) direalisasikan pada awal 1970-an, para pejabat kehutanan saat itu berasumsi bahwa hutan di seluruh Indonesia bebas masalah (Cahyono 2012). Hutan di Indonesia dianggap sebagai obyek yang tidak mempunyai keterkaitan dengan masyarakat lokal di kawasan taman nasional. Hutan hanya dianggap sebagai penghasil kayu, mempunyai keanekaragaman flora, beserta sebagai tempat kehidupan fauna di dalamnya sehingga tidak heran ketika membuat peraturan pihak yang berkuasa tidak memikirkan masyarakat lokal. Hal ini bertolak belakang dengan UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:

(14)

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.“ (UU Nomer 5 Tahun 1990)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu taman nasional di Indonesia. Kawasan TNGGP merupakan perwakilan hutan hujan tropis dataran tinggi dengan ketinggian 1000 meter hingga 3019 meter di atas permukaan laut. Pengelolaan TNGGP dilaksanakan oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002, tanggal 10 Juni 2002. Kawasan TNGGP awalnya memiliki luas 15196 ha, dan secara administratif terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor (4514.73 ha), Kabupaten Sukabumi (6781.98), dan Kabupaten Cianjur (3599.29 ha). Setelah adanya perluasan kawasan maka luasnya menjadi 21975 ha sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 (Karsodi 2007).

Salah satu lahan yang dijadikan perluasan kawasan TNGGP, khususnya perluasan kawasan konservasi di Kabupaten Bogor adalah eks lahan Perhutani. Kampung Ciwaluh merupakan bagian dari Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan areal perluasan TNGGP. Kampung Ciwaluh di kelilingi perluasan kawasan TNGGP. Sebelum dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), areal ini dikelola oleh Perum Perhutani.

Mayoritas mata pencaharian warga Kampung Ciwaluh adalah bertani. Selama ini mereka mengandalkan eks lahan Perhutani sebagai sumber mata pencaharian mereka. Hanya beberapa warga saja yang memiliki lahan, sisanya mengandalkan eks lahan Perhutani untuk bercocok tanam dengan peraturan dari Perhutani yang masih berlaku.

Sebelum ditetapkan menjadi lahan perluasan kawasan konservasi, diadakan rapat antara pihak BB TNGGP dengan perwakilan warga Kampung Ciwaluh, serta aparat Desa Wates Jaya. Pertemuan ini membahas batas konservasi yang jika ditetapkan menjadi perluasan kawasan konservasi TNGGP maka jarak antara perluasan kawasan TNGGP dengan ujung perkampungan sebesar 100 meter. Kemudian ketika SK Menteri No.174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 telah dikeluarkan, surat perjanjian belum juga diberikan kepada warga.

Perumusan Masalah

Perluasan kawasan konservasi TNGGP menjadikan lahan bercocok tanam petani semakin terbatas. Hal ini karena sudah tidak diperbolehkan lagi adanya kegiatan pemanfaatan lahan. Meskipun tidak rela atas pengalihan lahan tersebut, petani Kampung Ciwaluh memilih pasrah dan tunduk terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Adanya kebijakan yang bersifat top down, masyarakat lokal selalu menjadi pihak yang paling diabaikan.

(15)

kembali sehingga konflik yang sebelumnya bersifat tertutup menjadi terbuka. Petani Kampung Ciwaluh juga meminta surat sesuai perjanjian bersama untuk membela dirinya ketika terjadi penangkapan kembali.

Tingkat keterlibatan petani Kampung Ciwaluh dalam konflik berbeda sesuai dengan karakteristik individu petani. Konflik yang terjadi tidak terlepas dari relasi antar aktor dalam konflik. Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah tidak mungkin dapat dihindari. Konflik memberikan dampak tersendiri bagi petani Kampung Ciwaluh. Selain itu, terdapat pengelolaan konflik yang telah dilakukan untuk menurunkan konflik dan menanggulangi dampak konflik yang terjadi. Maka, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian adalah:

1. Siapa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan bagaimana dinamika konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?

2. Bagaimana pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan dampak konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi?

3. Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam konflik dan dinamika konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.

2. Menganalisis keefektifan pengelolaan konflik yang telah dilakukan dan dampak konflik yang terjadi akibat perluasan kawasan konservasi.

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak, antara lain:

1. Instansi terkait

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam pembuatan surat sesuai perjanjian bersama. Selain itu, dapat menjadi referensi dalam menyusun pengelolaan konflik yang sesuai sehingga dapat menanggulangi konflik yang terjadi.

2. Masyarakat umum

Bagi masyarakat umum, khususnya bagi masyarakat yang bertempat tinggal berbatasan dengan taman nasional. Melalui penelitian ini dapat menjadi masukan apabila konflik terjadi di daerahnya sehingga mereka dapat menyusun pengelolaan konflik yang kira-kira sesuai dari hasil penelitian.

3. Para peneliti

(16)

diharapkan dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada dalam penelitian ini.

4. Swasta

(17)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Definisi Konflik

Pruitt dan Rubin (2004) seperti dikutip Kinseng (2013) mengatakan bahwa konflik merupakan persepsi mengenai perbedaan kepentingan (percived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Sedangkan menurut Fisher dkk (2001) yang mengatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Konflik adalah situasi kompetisi dimana para pihak menyadari ketidakcocokan potensial masa depan dan posisi di mana masing-masing pihak ingin menempati posisi yang tidak sesuai dengan keinginan yang lain (Boulding seperti dikutip Oberschall 1978) seperti dikutip (Kinseng 2013). Kemudian, Broom dan Selznick (1973) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik terjadi ketika kelompok-kelompok tidak hanya bersaing untuk tujuan langka yang sama tetapi berusaha untuk melukai atau bahkan menghancurkan satu sama lain. Menurut Coser (1964) seperti dikutip Kinseng (2013), konflik sosial berarti perjuangan atas nilai-nilai dan klaim status langka, kekuasaan dan sumber daya di mana tujuan dari pendukung adalah untuk menetralisir, melukai atau menghilangkan saingan mereka. Konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang ditandai oleh pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik dinyatakan secara terbuka ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-masing (Kinseng 2013). Selanjutnya menurut Kinseng (2013), jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan itu terbuka maka merupakan suatu konflik terbuka, sementara jika pertentangan atau perselisihan dan kemarahan itu bersifat tersembunyi atau tertutup maka masuk dalam kategori konflik laten.

Masyarakat Sekitar Hutan

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.691/Kpts-II/1991 yang dimaksud dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Hotte (2001) menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan memerlukan pengakuan oleh orang lain. Merealisasikan pengakuan hak tersebut dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila terdapat rasa tidak adil akan menjadi pemicu bagi timbulnya konflik.

(18)

karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling tergantung. Lebih lanjut, Nugraha (1999) menyatakan bahwa dampak positif pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah (masyarakat pedesaan sekitar hutan) masih sangat kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat, seperti ketika dalam kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat langsung dengan kegiatan kehutanan itu sendiri.

Konflik Sumber Daya Alam

Konflik dalam pengelolaan sumber daya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam dan keberadaan akan kebutuhan yang selalu meningkat, fungsi dan manfaat sumber daya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumber daya yang sama sehingga berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumber daya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, baik perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum, dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumber daya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian maka akan terdapat suatu potensi konflik.

Konflik terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu (Wirajardjo 2001).

Dinamika Konflik

Menurut Oberschall (1978) seperti dikutip Fisher et al. (2001) dinamika konflik merupakan proses interaksi antara kelompok yang berkonflik, bentuk konflik, jangkauan konflik dan lamanya, eskalasi dan de-eskalasi, regulasi konflik dan resolusi, dampak dari konflik yang terjadi terhadap kelompok yang sedang bersaing dan masyarakat yang lebih besar.

Fisher et al. (2001) konflik berubah tiap saat melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Analisis dasar dari lima tahap konflik, yaitu:

1. Pra-konflik. Periode ini adalah awal mula terdapatnya ketidaksesuaian antara dua pihak atau lebih yang kemudian menimbulkan konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.

(19)

melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfronatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin akan mengumpulkan sumber daya atau kekuatan dan akan mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di antara kedua belah pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara masing-masing pendukung.

3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan terjadi paling hebat. Di dalam konflik skala besar, ini adalah periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan putus. Pertanyaan-pertanyaan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya.

4. Akibat. Suatu krisis pasti menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin akan menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi, dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

5. Pasca konflik. Tahapan terakhir, ketika situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri segala konfrontasi kekerasan, keregangan berkurang, dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi konflik.

Aktor-aktor dalam Konflik

Bebbington (1997) dan Luckham (1998) seperti dikutip Dharmawan (2006) menyatakan bahwa konflik sosial dapat berlangsung pada aras antar ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu: ruang kekuasaan negara, masyarakat sipil atau kolektivitas sosial, dan sektor swasta. Konflik sosial dapat berlangsung di dalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruangan kekuasaan seperti:

Gambar 1 Tiga ruang ketika konflik sosial berlangsung Negara

Masyarakat sipil atau kolektivitas sosial

(20)

Dharmawan (2006), konflik sosial antar pemangku kekuasaan dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadapan melawan negara dan sebaliknya. Konflik sosial ini dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh negara atau pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum.

2. Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan swasta dan sebaliknya.

3. Konflik sosial yang berlangsung antara swasta berhadapan melawan negara dan sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah atau negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial yang tidak terelakkan berupa konflik tipe ini.

Secara umum, pihak yang berkonflik dapat berlangsung antar pemangku kekuasaan, yaitu negara, masyarakat sipil atau kolektivitas, dan sektor swasta. Namun dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Hubungan antar pihak ini dapat meliputi hubungan konflik maupun kolaborasi atau kerjasama (Kinseng 2013).

Intensitas Konflik

Menurut Robbins (1996) seperti dikutip Dharmawan (2006), intensitas konflik dapat digolongkan, yaitu: (1) mewakili sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; (2) mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa pihak lain itu keliru atau tidak; (3) mengajukan serangan-serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak lain itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap seperti yang diinginkannya; (4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi verbal mulai muncul apabila terdapat upaya agar pihak lain bersikap seperti dirinya, atau yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya; (5) melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik; dan (6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain.

(21)

bertentangan dan tumpang tindih yang mengakibatkan semakin meningkatkan intensitas konflik atas sumber daya alam (Ilham 2006).

Bentuk Reaksi Masyarakat

Tipe dan bentuk reaksi yang dimunculkan masyarakat dalam menyikapi suatu konflik yang terjadi, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 6 variasi tipe/bentuk reaksi (Dharmawan 2006) sebagai berikut:

1. Gerakan sosial damai, berupa aksi penentangan dalam bentuk aksi kolektif, mogok kerja, mogok makan, dan aksi diam. Ketika aksi tersebut tidak menemukan resolusi yang memuaskan maka dapat memunculkan aksi yang membuat gangguan umum dalam bentuk demonstrasi atau huru-hura.

2. Demonstrasi atau protes bersama adalah kegiatan yang mengekspresikan atau ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu kelompok atas isu tertentu. Derajat tekanan konflik kurang lebih sama dengan pemogokan. Aksi kolektif seperti ini biasanya diambil sebagai protes reaksioner yang dilakukan secara berkelompok ataupun massal atas ketidaksepahaman yang ditunjukkan oleh suatu pihak tertentu kepada pihak berseberangan atau suatu masalah tertentu. Hal ini Biasanya bersifat lokal dan sporadik.

3. Kerusuhan dan huru-hara (riots) adalah peningkatan derajat keberingasan (degree of violence) dari sekedar demonstrasi. Kerusuhan berlangsung sebagai reaksi massal atau keresahan umum. Oleh karena disertai dengan histeria missal maka huru-hara seringkali tidak dapat dikendalikan dengan mudah tanpa memakan korban luka, bahkan kematian.

4. Pemberontakan (rebellion) adalah konflik sosial yang berkepanjangan dan biasanya digagas dan direncanakan lebih konstruktif dan terorganisasikan dengan baik. Pemberontakan dapat mengenai perjuangan atas suatu kedaulatan atau mempertahankan kawasan termasuk eksistensi ideologi tertentu. Pemberontakan tidak harus berlangsung secara manifest, melainkan dapat diawali secara laten.

5. Aksi radikalisme-revolusioner adalah gerakan penentangan yang menginginkan perubahan sosial secara cepat atas suatu keadaan tertentu.

6. Perang adalah bentuk konflik antar negara yang sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat dunia karena dampaknya sangat luas terhadap manusia.

Pengelolaan Konflik

(22)

seperti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya.

Condliffe (1991) seperti dikutip Sardjono (2004) mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu:

1. Lumping it. Terkait isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologis.

3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain secara memaksa.

4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga, dan mencapai kesepakatan melalui konsensus.

5. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

7. Arbitration. Ketika kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan, dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan.

Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir negoisasi, konsiliasi, dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini karena ketiganya mengandung unsur win-win solutuion yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono (2004) bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang akan diperoleh adalah „menang-kalah‟ atau „gembira-kecewa‟. Oleh karena itu, cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik.

(23)

melalui jalur hukum pengadilan namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan melainkan melalui negosiasi.

Dampak Konflik

Menurut penelitian Kausar (2010), penetapan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagai salah satu kawasan konservasi yang berbentuk taman nasional di Indonesia membawa implikasi munculnya konflik sosial, karena masyarakat sekitar tidak diperbolehkan dengan bebas melakukan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan seperti dahulu. Keterbatasan akses ini menyebabkan turunnya luas penguasaan lahan masyarakat sekitar taman nasional.

Kesadaran kelas muncul dan dibentuk melalui exposure orang-orang yang menempati posisi sosial tertentu terhadap kondisi sosial tertentu pula (Coser 1977) seperti dikutip (Kinseng 2014). Secara lebih terperinci dan sistematis bahwa menurut Marx, ada empat faktor yang mendorong tumbuhnya kedasaran kelas dari kelompok subordinat (Turner 1998) seperti dikutip Kinseng (2014). Keempat faktor tersebut adalah: (1) adanya gangguan terhadap kehidupan atau kondisi sosial kelas subordinat akibat perubahan-perubahan yang disebabkan oleh kelas dominan, (2) praktik-praktik yang dilakukan oleh kelas dominan yang menyebabkan terjadinya alienasi pada kelas subordinat, (3) anggota-anggota kelas subordinat dapat mengomunikasikan kesulitan dan keluhan mereka satu sama lain, dan (4) kelas subordinat dapat membangun ideologi yang mempersatukan mereka. Coser (1956) seperti dikutip Turner (1997), konflik dengan kelompok lain akan memperkuat kohesivitas internal kelompok karena ketika ada tekanan dari pihak luar suatu kelompok akan mempertahankan diri dan mereka diharuskan memperbaiki kondisi internal dengan cara meningkatkan kohesivitas internal kelompok.

Hubungan antara karakteristik individu terhadap keterlibatannya dalam konflik

Menurut penelitian Marina dan Dharmawan (2011) keterlibatan konflik masyarakat adat Kesepuhan Sinar Resmi dengan Balai Besar Taman Nasional Halimun Salak didominasi oleh Abah Anom dan Abah Pelen yang merupakan tokoh masyarakat adat setempat dan usianya sudah tergolong tua. Berbeda dengan penelitian Fairuza (2009), terjadi ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan kadar alkohol tertentu. Konflik ini didominasi oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan pengurus Cafe X. Dari kedua penelitian tersebut, diduga terdapat hubungan antara usia individu terhadap keterlibatannya dalam konflik.

(24)

seseorang dalam konflik karena tidak hanya cepat tanggap terhadap inovasi, terhadap kepentingan yang tidak sejalan saja pasti mereka lebih tanggap.

Diduga terdapat hubungan antara tingkat pengalaman organisasi individu terhadap keterlibatannya dalam konflik. Menurut Mahfud dan Toheke (2010) perempuan yang tergabung di Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro mulai menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang nyaris terkubur karena kebijakan nasional. Kesadaran ini disebabkan keikutsertaan mereka dalam organisasi sehingga berniat menanamkan konsep masa silam masyarakat Adat Ngata Toro di Kecamatan Kulawi tentang posisi perempuan. Selain itu, menurut Khair dan Irawan (2013), seseorang yang punya pengalaman berorganisasi yang matang pasti memiliki cara berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi dan lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi. Diduga apabila seseorang mengikuti beberapa organisasi, maka tingkat pengalaman organisasinya lebih tinggi. Selain itu, apalah artinya mengikuti organisasi tanpa pernah berpartisipasi pada pertemuan rapat organisasi dan ikutserta dalam acara organisasi karena melalui pertemuan rapat organisasi maupun ikutserta dalam acara organisasi, seseorang dapat berpikir sistematis, analisis mendalam, paham situasi dan lingkungan, mahir berkomunikasi dan bernegosiasi sehingga jumlah pertemuan yang diikuti juga menentukan tingkat pengalaman organisasi seseorang.

Diduga terdapat hubungan antara luas penguasaan lahan individu dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik. Menurut pendapat Darwis (2008) di daerah pedesaan ketimpangan distribusi penguasaan lahan akan berdampak pada ketimpangan distribusi pendapatan mengingat sebagian besar pendapatan rumah tangga pedesaan berasal dari usaha pertanian yang membutuhkan lahan sebagai faktor produksi utama.

Menurut Darwis (2008), umumnya petani kaya cukup efisien dalam mengelola asset yang dimiliki sehingga mereka selalu memperoleh surplus kegiatan usahanya. Diduga hal ini karena status penguasaan lahan yang dimiliki oleh petani kaya adalah hak milik sehingga mereka lebih merasa memiliki lahan tersebut dibandingkan dengan status penguasaan lainnya. Oleh karena itu, diduga apabila terjadinya konflik, perbedaan status penguasaan lahan akan menyebabkan perbedaan keterlibatan konflik.

Tatanan pertanian perdesaan, secara garis besar sistem penguasaan lahan dapat diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap/bagi hasil, dan gadai. Status hak milik adalah lahan yang dikuasai dan dimiliki oleh perorangan atau kelompok atau lembaga/organisasi (Darwis 2008). Sementara itu, menurut Pakpahan et al. (1993), status sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai adalah bentuk-bentuk penguasaan lahan dimana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Namun dalam pertanian pedesaan, juga sering dijumpai status penguasaan lahan pinjam pakai.

(25)

(a) lahan sawah irigasi yaitu lahan sawah yang pasokan airnya dapat bersumber dari jaringan irigasi teknis, semi teknis atau irigasi sederhana/irigasi desa, dan (b) lahan sawah non irigasi, yaitu lahan sawah yang pasokan airnya tidak berasal dari jaringan irigasi yang termasuk kategori lahan sawah ini adalah lahan sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan sawah lebak. Berdasarkan hasil survei, ditemukan jenis lahan yang berbeda di lapang sehingga diduga jenis lahan berhubungan dengan tingkat keterlibatan seseorang dalam konflik.

Soetarso (1979) seperti dikutip oleh Yasin (2005) menunjukkan bahwa faktor usia, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan lama menetap di suatu daerah ternyata berhubungan dengan kecenderungan masyarakat untuk berpartisipasi. Selanjutnya menurut Risyandra (2012), warga yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, pendapatan mereka berasal dari lahan yang mereka garap sehingga jika lahan mereka hilang, pendapatan mereka akan hilang juga. Semakin besar pendapatan akan semakin besar tingkat keterlibatan seseorang dalam konflik. Diduga terdapat hubungan antara pendapatan individu terhadap tingkat keterlibatannya dalam konflik.

Menurut Yasin (2005), banyaknya jumlah tanggungan keluarga membuat peternak berpartisipasi terhadap pelaksanaan program inseminasi buatan (IB) di Lombok Barat sehingga peternak dapat berkembang secara mandiri. Diduga jumlah tanggungan keluarga ini dapat berhubungan dengan keterlibatan seseorang dalam konflik karena tidak hanya berpartisipasi dalam pelaksanaan inovasi yang memerlukan kemauan dalam diri sendiri, seseorang juga pasti akan terlibat dalam konflik apabila akses mereka dibatasi.

(26)

Kerangka Pemikiran

Sebelum adanya penetapan perluasan kawasan konservasi TNGGP, telah dilakukan rapat antara perwakilan warga Kampung Ciwaluh, pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan tokoh masyarakat dari Kantor Desa Wates Jaya. Pertemuan ini menghasilkan perjanjian apabila ditetapkan menjadi perluasan kawasan TNGGP, khususnya perluasan kawasan konservasi, maka jarak antara lahan perluasan kawasan konservasi TNGGP dengan ujung perkampungan sebesar 100 meter. Selanjutnya, ketika dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, surat mengenai perjanjian jarak bersama yang sekaligus dapat menentukan batas konservasi belum juga dikeluarkan.

Keterangan

: Menyebabkan : Berhubungan : Aspek yang diteliti : Merupakan bagian

Gambar 2 Bagan kerangka pemikiran Konflik sumber daya alam

Aktor

Karakteristik petani (X)

X.1 Usia

X.2 Tingkat pendidikan X.3 Tingkat pengalaman

oganisasi

X.4 Luas penguasaan lahan X.5 Status penguasaan

lahan X.6 Pendapatan

X.7 Jumlah tanggungan keluarga

X.8 Jenis lahan

Tingkat keterlibatan petani dalam konflik (Y)

Dampak konflik

Pengelolaan konflik Intensitas konflik

(27)

Mayoritas mata pencaharian warga di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor hingga saat ini adalah bertani. Karena sumber mata pencaharian warga berasal dari lahan yang mereka garap maka ketika terjadi ketidakjelasan batas menyebabkan warga melakukan tindakan dalam memperjelas apa yang telah disepakati bersama. Terlebih lagi, lahan yang mereka garap ini berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi TNGGP. Tindakan dalam memperjelas batas bertujuan untuk memperoleh akses dan kontrolnya kembali. Tindakan ini berawal ketika adanya penangkapan warga oleh polisi hutan. Hal ini diungkapkan oleh Ketua RT 04 RW 08 Kampung Ciwaluh, yaitu:

Warga ada yang ditangkap oleh polisi hutan karena dianggap menggarap lahan konservasi, padahal dia menggarap di lahannya sendiri yang jauh dari lahan konservasi.” (Ketua RT 04, 40 tahun)

Petani disini adalah petani RT 03 dan RT 04, RW 08, Desa Wates Jaya yang biasa dikenal dengan Kampung Ciwaluh. Karakteristik petani yang diteliti yaitu berupa usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, dan jenis lahan. Karakteristik petani ini merupakan bagian dari aktor yang terlibat dalam konflik. Akan tetapi karakteristik petani tidak mewakili sepenuhnya aspek aktor karena aktor disini bukan hanya warga Kampung Ciwaluh yang bermata pencaharian sebagai petani saja, melainkan adanya pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah. Dalam penelitian ini tidak melibatkan sektor swasta. Selanjutnya, karakteristik petani ini akan diteliti apakah memiliki hubungan dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik atau tidak. Tingkat keterlibatan petani dalam konflik dapat dilihat dari keikutsertaan petani dalam rapat dan demonstrasi, serta peran petani dalam rapat dan demonstrasi tersebut. Selanjutnya, tingkat keterlibatan petani dalam konflik ini merupakan bagian dari intensitas konflik yang terjadi.

Konflik yang terjadi akan memberikan dampak tersendiri bagi warga Kampung Ciwaluh, khususnya warga yang bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, tentu adanya pengelolaan konflik yang dilakukan. Pengelolaan konflik dilakukan oleh pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, petani, maupun pihak ketiga untuk mengurangi konflik dan menanggulangi dampak yang terjadi.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang tertera pada Gambar 2, maka hipotesis uji penelitian yang disusun, yaitu:

1. Terdapat hubungan nyata yang positif antara karakteristik petani (usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, luas penguasaan lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga) dengan tingkat keterlibatan petani dalam konflik. Secara lebih rinci adalah sebagai berikut:

(28)

keterlibatannya dalam konflik. petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

Ha : Terdapat hubungan antara tingkat pengalaman organisasi petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

- Ho : Tidak terdapat hubungan antara pendapatan petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

Ha : Terdapat hubungan antara pendapatan petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

- Ho : Tidak terdapat hubungan antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

Ha : Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan keluarga petani dengan tingkat keterlibatannya dalam konflik.

2. Terdapat perbedaan yang nyata antara jenis lahan petani dengan tingkat keterlibatan petani dalam konflik.

Definisi Operasional

1. Karakteristik petani, yaitu ciri-ciri yang melekat pada diri petani dan ditetapkan dengan 8 karakteristik, yaitu usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman organisasi, kepemilikan lahan, penguasaan lahan, status penguasaan lahan, pendapatan, dan jumlah tanggungan keluarga.

a. Usia adalah lama hidup petani yang dihitung sejak tanggal kelahiran hingga saat penelitian dilakukan yang dinyatakan dalam tahun. Pengukuran usia dinyatakan dalam tahun dan diukur menggunakan skala rasio.

b. Tingkat pendidikan adalah lamanya petani menempuh jenjang pendidikan formal. Apabila petani pernah tidak naik kelas, maka ketidaknaikan kelas tersebut tidak dihitung dalam pengukuran. Pendidikan diukur menggunakan skala ordinal. Pendidikan dikategorikan sebagai berikut:

(29)

c. Tingkat pengalaman organisasi diukur berdasarkan jumlah organisasi, peretemuan rapat organisasi yang dihadiri, dan keikutsertaan acara organisasi. Pengalaman organisasi diukur dengan skala ordinal. Pengalaman organisasi dikategorikan sebagai berikut:

1. Pengalaman organisasi rendah (jika total skor 3 – 5) : skor 1 2. Pengalaman organisasi sedang (jika total skor 6 - 7) : skor 2 3 Pengalaman organisasi tinggi (jika total skor 8 - 9) : skor 3

 Jumlah organisasi adalah banyaknya organisasi yang pernah diikuti oleh petani sampai dengan saat peneitian. Jumlah organisasi dikategorikan sebagai berikut:

- Rendah, skor 1: 0 organisasi - Sedang, skor 2: 1 organisasi

- Tinggi, skor 3: 2 organisasi

 Pertemuan rapat organisasi adalah banyaknya pertemuan rapat organisasi yang diikuti oleh petani. Pengukuran ini menggunakan persentase pertemuan rapat organisasi yang diikuti oleh petani dari total pertemuan rapat organisasi. Jika jumlah organisasi lebih dari satu maka gunakan keikutsertaan rapat yang paling besar dari total rapat, atau yang petani paling ingat keikutsertaannya dalam rapat organisasi serta total pertemuan rapat organisasi tersebut. Pertemuan rapat organisasi dikategorikan sebagai berikut:

- Rendah, skor 1: 0%-30%

- Sedang, skor 2: 31%-61% - Tinggi, skor 3: 62%-92%

 Keikutsertaan acara organisasi adalah banyaknya acara organisasi yang diikuti oleh petani. Pengukuran ini menggunakan persentase keikutsertaan petani dalam acara organisasi dari total acara organisasi. Jika jumlah organisasi lebih dari satu maka gunakan keikutsertaan acara yang paling besar dari total acara, atau yang petani paling ingat keikutsertaannya dalam acara organisasi serta total acara organisasi tersebut. Keikutsertaan acara organisasi dikategorikan sebagai berikut:

- Rendah, skor 1: 0%-33% - Sedang, skor 2: 34%-67%

- Tinggi, skor 3: 68%-100%

d. Luas penguasaan lahan adalah besarnya lahan garapan petani saat penelitian dilakukan, meskipun lahan tersebut bukan milik petani. Lahan tersebut terletak berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Luas penguasaan lahan dinyatakan dalam hektar dan diukur menggunakan skala rasio.

e. Status penguasaan lahan adalah keadaan lahan garapan petani secara hukum saat penelitian dilakukan. Lahan tersebut terletak berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jika status penguasaan lahan lebih dari satu maka gunakan status penguasaan lahan yang paling besar. Pengukuran status penguasaan lahan diukur menggunakan skala ordinal. Status penguasaan lahan dikategorikan sebagai berikut:

1. Pinjam pakai : skor 1

2. Sewa : skor 2

(30)

g. Pendapatan adalah sejumlah uang yang didapat dari hasil menggarap lahan, baik hasil lahan yang akan dikonsumsi pribadi maupun hasil lahan yang akan dijual kemudian dihitung ke dalam rupiah (Rp). Pendapatan disini berasal dari lahan didekat perbatasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang mereka garap selama setahun. Pengukuran pendapatan diukur menggunakan skala rasio.

h. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya individu dalam keluarga yang ditanggung oleh petani saat penelitian dilakukan. Jumlah tanggungan keluarga diukur menggunakan skala rasio.

f. Jenis lahan adalah sifat fisik dari lahan garapan petani saat penelitian dilakukan. Jenis lahan diukur menggunakan skala nominal. Jenis lahan dikategorikan sebagai berikut:

1. Lahan sawah : skor 1 2. Lahan kebun : skor 2 3. Lahan sawah dan kebun : skor 3

2. Tingkat keterlibatan konflik, diukur berdasarkan pertemuan rapat yang diikuti petani, demonstrasi yang diikuti petani, peranan petani dalam rapat, dan peranan petani dalam demonstrasi mengenai permasalahan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Kampung Ciwaluh, Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Pengukuran keterlibatan dalam konflik diukur menggunakan skala ordinal. Keterlibatan dalam konflik dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Keterlibatan konflik rendah (skor 3 - 10) : skor 1 2. Keterlibatan konflik sedang (skor 11 - 17) : skor 2 3. Keterlibatan konflik tinggi (skor 18 - 24) : skor 3

 Pertemuan rapat adalah banyaknya rapat yang diikuti oleh petani mengenai permasalahan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

 Keikutsertaan demonstrasi adalah banyaknya demonstrasi yang diikuti oleh petani mengenai permasalahan perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

 Peranan dalam rapat adalah tanggung jawab petani di dalam suatu rapat yang mereka ikuti. Rapat ini membahas permasalahan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Peranan dalam rapat diukur dengan menggunakan jenis pertanyaan tertutup, yaitu selalu (skor 4), terkadang (skor 3), jarang (skor 2), dan tidak pernah (skor 1).  Peranan dalam demonstrasi adalah tanggung jawab petani di dalam suatu

(31)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung oleh penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian dengan menggunakan pertanyaan terstruktur atau sistematis yang sama kepada banyak orang, untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis (Prasetyo dan Jannah 2005). Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga data kualitatif untuk memperkaya dan memperdalam analisis. Penelitian kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terkait, diantaranya beberapa petani Kampung Ciwaluh, aparat Desa Wates Jaya, maupun Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP).

Penelitian disajikan secara deskriptif, asosiasi korelasional, dan uji beda. Deskriptif digunakan untuk melukiskan variabel-variabel dan untuk mengumpulkan infromasi aktual secara rinci yang melukiskan keadaan yang terdapat di lapang (Prasetyo dan Jannah 2005). Sementara, asosiasi korelasional digunakan untuk menguji apakah dua variabel atau lebih yang ada mempunyai hubungan atau tidak (Sujarweni 2014).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini mempertimbangkan bahwa RT 03 dan RT 04, RW 05, Desa Wates Jaya atau yang dikenal dengan Kampung Ciwaluh letaknya berbatasan dengan perluasan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Selain itu, kampung ini rawan konflik dengan pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, karena sampai saat ini perjanjian yang telah disepakati bersama mengenai jarak perluasan TNGGP dengan ujung perkampungan belum juga dirumuskan secara tertulis.

Penelitian dilaksanakan selama enam bulan yaitu sejak dari bulan Juni 2014 sampai dengan Januari 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Rangkaian kegiatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pengambilan Sampel

(32)

dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang, atau peneliti yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, ketika semua anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono 2009). Jadi, dalam penelitian ini seluruh populasi sebanyak 57 petani dijadikan sebagai sampel sedangkan untuk wawancara mendalam dengan beberapa petani Kampung Ciwaluh, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan aparat Desa Wates Jaya dilakukan secara purposive sampling.

Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Isi kuesioner terdiri atas dua bagian yang ditujukan kepada petani dengan menggunakan teknik pendekatan kuantitatif, berupa karakteristik petani (6 pertanyaan), dan tingkat keterlibatan dalam konflik (4 pertanyaan).

Wawancara mendalam juga dilakukan dengan beberapa petani Kampung Ciwaluh, aparat Desa Wates Jaya, dan pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk menggali lebih banyak tentang konflik sumber daya alam yang telah berlangsung selama ini. Wawancara mendalam ini dilakukan melalui teknik pendekatan kualitatif yang digunakan untuk melengkapi informasi penelitian. Pedoman pertanyaan juga digunakan untuk wawancara mendalam kepada beberapa petani Kampung Ciwaluh sebanyak 32 pertanyaan, aparat Desa Wates Jaya sebanyak 6 pertanyaan, dan pihak Balai Besar TNGGP sebanyak 16 pertanyaan. Data sekunder diperoleh dari kantor desa mengenai profil desa, dan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango mengenai profil Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Pengolahan dan Analisis Data

Data diperoleh menggunakan kuesioner. Setelah seluruh data terkumpul, data dianalisis secara kuantitatif dan selanjutnya dilakukan pengkodean data. Analisis data ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan (Singarimbun dan Effendi 1989). Data yang telah terkumpul tersebut kemudian disajikan secara deskriptif menggunakan Microsoft Excel 2007. Data yang diperoleh disajikan dengan beberapa teknik, antara lain menggunakan tabel frekuensi ataupun gambar diagram untuk menganalisis data primer, yaitu karakteristik petani dan tingkat keterlibatan dalam konflik. Selanjutnya, pengolahan data dilakukan uji korelasi dengan Rank Spearman di SPSS for Windows versi 16.0, serta uji beda dengan Chi-square di SPSS for Windows versi 16.0.

(33)

konflik yang berskala ordinal. Sementara uji beda Chi-square digunakan untuk menguji perbedaan jenis lahan petani yang berskala nominal dengan tingkat keterlibatan dalam konflik. Selanjutnya menurut Sujarweni (2014), keeratan korelasi dapat dikelompokkan menjadi enam yaitu: (1) 0.00 sampai 0.20 berarti korelasi memiliki keeratan sangat lemah, (2) 0.21 sampai 0.40 berarti korelasi memiliki keeratan lemah, (3) 0.41 sampai 0.70 berarti korelasi memiliki kuat, (4) 0.71 sampai 0.90 berarti korelasi memiliki keeratan sangat kuat, (5) 0.91 sampai 0.99 berarti korelasi memiliki kuat sekali, dan (6) 1 berarti korelasi sempurna.

Kemudian, untuk menganalisis data yang diperoleh dengan wawancara mendalam dilakukan kodifikasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Afrizal 2014).

Gambar 3 Hubungan antara analisis data dengan pengumpulan data

Selanjutnya menurut Miles dan Huberman seperti dikutip Afrizal (2014), ketiga langkah tersebut dilakukan atau diulangi setiap setelah melakukan pengumpulan data hingga penelitian berakhir.

Pengumpulan data Penyajian data

Reduksi data Penarikan

(34)
(35)

GAMBARAN UMUM

Gambaran Umum Desa Penelitian

Kondisi Geografis

Desa Wates Jaya secara administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berjarak 23 km ke ibu kota Kabupaten Bogor, berjarak 116 km ke ibu kota Provinsi Jawa Barat, dan berjarak 82 km ke ibu kota Negara Indonesia. Wilayah administratif Desa Wates Jaya terdiri dari 8 wilayah rukun warga (RW) dan 29 wilayah rukun tetangga (RT). Adapun batas-batas geografisnya adalah sebagai berikut:

Sebelah utara : Desa Srogol Sebelah barat : Desa Cigombong

Sebelah timur : Lahan perluasan kawasan konservasi TNGGP Sebelah selatan : Kabupaten Sukabumi

Kondisi Demografis

Pendidikan warga Desa Wates Jaya tergolong rendah, dapat terlihat dari persentase tertinggi pendidikan warga sebesar 32.47 persen tamat SLTP/sederajat. Sebesar 29.81 persen tamat SD/sederajat dan sebesar 27.30 persen tamat SMU/sederajat. Kemudian sisanya dengan persentase yang tidak sampai 5 persen.

Tabel 1 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014

No Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Belum sekolah 41 0.96

2 Tidak tamat SD/sederajat 46 1.08

3 Tamat SD/sederajat 1271 29.81

4 Tamat SLTP/sederajat 1384 32.47

5 Tamat SMU/sederajat 1164 27.30

6 Tamat D1 105 2.46

7 Tamat D2 84 1.97

8 Tamat D3 61 1.43

9 Tamat D4 41 0.96

10 Tamat S1 56 1.31

11 Tamat S2 10 0.23

Total 4263 100

Sumber: Profil Desa Wates Jaya Tahun 2014

(36)

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Wates Jaya tahun 2014

No Kelompok usia (tahun)

Jumlah jiwa (orang) Jumlah (orang)

Persentase (%) Laki-laki Perempuan

1 0-4 337 320 657 8.80

2 5-9 330 256 586 7.85

3 10-14 300 271 571 7.64

4 15-19 304 311 615 8.23

5 20-24 291 274 565 7.56

6 25-29 300 270 570 7.63

7 30-34 300 259 559 7.48

8 35-39 260 234 494 6.61

9 40-44 260 214 474 6.35

10 45-49 270 255 525 7.03

11 50-54 190 176 366 4.90

12 55-59 270 210 480 6.43

13 60-64 250 227 477 6.39

14 65-69 251 215 467 6.25

15 ≥70 182 101 283 3.79

Total 3893 3576 7469 100

Sumber: Profil Desa Wates Jaya Tahun 2014

Agama di Desa Wates Jaya cukup beragam, yaitu ada agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Akan tetapi hampir sebesar 99.69 persen warga Desa Wates Jaya menganut agama Islam. Kemudian sisanya dengan persentase yang tidak sampai 1 persen.

Tabel 3 Jumlah dan persentase agama penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014

No Agama Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Islam 7446 99.69

2 Katolik 6 0.08

3 Protestan 4 0.05

4 Hindu 10 0.13

5 Budha 3 0.04

Total 7469 100

Sumber: Profil Desa Wates Jaya Tahun 2014

(37)

Tabel 4 Jumlah dan persentase mata pencaharian penduduk di Desa Wates Jaya tahun 2014

No Mata pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 2714 74.21

2 Pengusaha 127 3.47

3 Pengrajin 30 0.82

4 Buruh industri 435 11.89

5 Buruh bangunan 90 2.46

6 Buruh pertambangan 26 0.71

7 Buruh perkebunan 10 0.27

8 Pedagang 47 1.29

9 Pengemudi 37 1.01

10 PNS 61 1.67

11 TNI/POLRI 10 0.27

12 Pensiunan TNI/POLRI/PNS 70 1.91

Total 3657 100

Sumber: Profil Desa Wates Jaya Tahun 2014

Penggunaan Lahan

(38)

Tabel 5 Luas dan persentase penggunaan lahan di Desa Wates Jaya tahun 2014

No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Sawah 10 0.75

2 Pemukiman 290 21.66

3 Pekarangan 50 3.73

4 Danau 16 1.19

5 Tambak 0.5 0.04

6 Hutan konservasi 40 2.99

7 Hutan lindung 60 4.48

8 Hutan produksi 60 4.48

9 Perkebunan negara 60 4.48

10 Fasilitas umum 750.5 56.05

11 Pemakaman 2 0.15

Total 1339 100

Sumber: Profil Desa Wates Jaya tahun 2014

Sarana dan Prasarana

Kepemilikan sarana keagamaan didominasi oleh sarana beribadah bagi agama Islam, yaitu berupa 1 masjid agung, 12 masjid jami, 13 musholla, 10 langgar, dan 26 majelis ta‟lim. Sementara untuk sarana keagamaan lain, hanya terdapat 1 gereja. Untuk sarana pemerintahan terdapat 1 kantor Desa Wates Jaya dan 1 kantor Polsek. Sarana keuangan atau perkreditan terdapat 1 koperasi simpan pinjam. Selain itu, terdapat 10 toko, 5 kios, 150 warung, 3 toserba, 2 supermarket, dan 1 minimarket untuk sarana perekonomian. Sarana kesehatan terdapat 2 balai pengobatan, 2 rumah bersalin, dan 13 puskesmas pembantu. Kemudian, terdapat 1 SMU Negeri, 2 SMU Swasta, 1 SMP Negri, 2 SMP Swasta, 3 SD Negri, dan 2 pondok pesantren untuk sarana pendidikan. Penunjang pengairan, terdapat prasarana berupa 3 buah air PAM, 2 sungai, dan 1 situ. Selain itu, untuk menunjang perhubungan warga terdapat jalan provinsi sebesar 3 km, jalan kabupaten sebesar 5 km, dan jalan desa sebesar 2.5 km.

Gambaran Umum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Organisasi dan Tata Kerja

(39)

Sistem tata kerja tidak selamanya bersifat top down, dapat berasal dari masing-masing bidang tata usaha, bidang PTN, atau pejabat fungsional PEH, polhut dan penyuluh terlebih dahulu.

Bidang teknis terdiri dari seksi pemanfaatan dan pelayanan, serta seksi perlindungan, pengawetan dan perpetaan. Bidang pengelolaan taman nasional (PTN) wilayah I Cianjur terdiri atas seksi PTN wilayah I Cibodas dan seksi PTN wilayah II Gedeh. Seksi PTN wilayah I Cibodas terdiri dari resort pengelolaan taman nasional (RPTN) model Mandalawangi dan RPTN Gunung Putri, sedangkan seksi PTN wilayah II Gedeh terdiri dari RPTN model Sarongge dan RPTN Gedeh. Kemudian, Bidang PTN wilayah II Sukabumi terdiri atas seksi PTN wilayah III Selabintana dan seksi wilayah IV Situgunung. Seksi PTN wilayah III Selabintana terdiri atas RPTN Goalpara dan RPTN model Selabintana, sedangkan seksi PTN wilayah IV Situgunung terdiri atas RPTN model Situgunung, RPTN Nagrak, dan RPTN Pasir Hantap. Selanjutnya, bidang PTN wilayah III Bogor terdiri atas seksi PTN wilayah V Bodogol, dan seksi PTN wilayah VI Tapos. Seksi PTN wilayah V Bodogol ini terdiri atas RPTN model Bodogol dan RPTN model Cimande, sedangkan seksi PTN wilayah VI Tapos terdiri dari RPTN Tapos, dan RPTN Cisarua (lihat Lampiran 8).

Kronologis Status Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Sebelum ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kawasan TNGGP merupakan kawasan cagar alam (CA) Cibodas, Cimungkad, Gunung Gede, dan Pangrango, serta taman wisata alam (TWA) Situgunung dan areal hutan alam di lereng hutan Gunung Gede Pangrango seluas 15196 ha. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.736/Men-tan/X/1982 pada tanggal 14 Oktober 1982. Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.472/Kpts-II/1992 tanggal 22 Mei 1992, komplek hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur seluas 14100.75 ha sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan cagar alam.

Pada tahun 2003, terjadi perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 21975 ha melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003. Kemudian, tahun 2009 terjadi kembali perluasan kawasan TNGGP sehingga luas kawasan menjadi 22851.03 ha. Adanya serah terima pengelolaan dari Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten berdasarkan No.002/BAST–HUKAMAS/III/2009 dan No.123/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, luas kawasan yang diserahkan kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 7655 ha. Sehingga melalui Keputusan Dirjen PHKA No.39/IV-KKBHL/2011 tanggal 22 Februari 2011, luas kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 22851.03 ha (lihat Lampiran 9).

Zonasi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(40)

setiap zona di taman nasional ini berbeda. Pembagian luas zona Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: Profil Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Gambar 4 Persentase zonasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

(41)

AKTOR-AKTOR DAN DINAMIKA KONFLIK

Aktor-Aktor dalam Konflik

Pengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.6186/Kpts-II/2002, tanggal 10 Juni 2002, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berfungsi dalam mengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Pengelola taman nasional (PTN) dibagi menjadi 3 bidang, yaitu bidang PTN wilayah I Cianjur, wilayah II Sukabumi, dan wilayah III Bogor; dengan 6 seksi PTN, yaitu seksi PTN wilayah I Cibodas, wilayah II Gedeh, wilayah III Selabintana, wilayah IV Situgunung, wilayah V Bodogol, dan wilayah VI Tapos; dan dengan 13 resort pengelola taman nasional (RPTN). Masing-masing bidang, seksi, dan resort PTN bersama-sama mengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan pusat pengelola, yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP). Kepentingan BB TNGGP dengan bidang, seksi, dan resort PTN dalam konflik yang terjadi di Kampung Ciwaluh, yaitu mengelola Taman Nasional Gunung Gede Pangrango wilayah Bodogol, salah satunya dengan melindungi kawasan dari para perambah hutan. Tuntutan yang diinginkan oleh BB TNGGP dan bawahannya dari konflik yang terjadi yaitu warga khususnya petani Kampung Ciwaluh berhenti untuk merambah kawasan hutan agar kawasan konservasi dapat terlidungi. Posisi pengelola TNGGP bersifat positif terhadap perluasan kawasan konservasi TNGGP.

Petani Kampung Ciwaluh

Petani penggarap eks lahan Perhutani di jarak antara perkampungan dengan perluasan TNGGP berjumlah 39 orang, penggarap lahan sewa milik PT Agro berjumlah 2 orang dan penggarap lahan milik pribadi berjumlah 16 orang. Seluruh petani penggarap eks lahan Perhutani, seluruh petani penggarap lahan milik pribadi, dan seluruh petani penggarap lahan PT Agro yang lahannya berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bersifat negatif terhadap perluasan kawasan konservasi TNGGP (sebanyak 57 orang). Hal ini dikarenakan perluasan kawasan konservasi mengurangi lahan garapan mereka. Sebelum adanya penetapan kawasan, petani penggarap lahan milik pribadi dan petani penggarap lahan sewa PT Agro dapat menggarap eks lahan Perhutani dengan dibawah pengawasan Perum Perhutani.

Gambar

Gambar 2  Bagan kerangka pemikiran
Gambar 3  Hubungan antara analisis data dengan pengumpulan data
Tabel 1  Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk di Desa Wates Jaya
Tabel 2  Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Wates Jaya tahun 2014
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) mempunyai peranan yang penting dalam penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah karena di kawasan ini

WELNI DWISTA NINGSIH. Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi eksisting, kualitas estetika, karakter kualitas ekologi, dan pengelolaan lanskap Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Kegiatan eksplorasi dan pengoleksian biji dilakukan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Kabupaten Cianjur meliputi empat resort yaitu Resort

Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan obat!. Hal tersebut disebabkan tanah yang subur dan

(2007) menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis Anura di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sedangkan khusus di Sungai Cibeureum terdapat enam jenis Anura. Penelitian

Kawasan empat gunung Salak, Halimun, Pangrango, Gede adalah kawasan sangat luas, mulai dari puncak-puncak gunung, lereng gunung, kaki gunung, DAS berbagai sungai yang mengalir

Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dapat melakukan pendekatan kepada Pemerintah Daerah setempat (Lurah) serta masyarakat (termasuk ibu ibu) di kampung