• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infestasi Kutu Pada Kerbau Albino (Bubalus Bubalis) Di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infestasi Kutu Pada Kerbau Albino (Bubalus Bubalis) Di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

INFESTASI KUTU PADA KERBAU ALBINO

(Bubalus bubalis)

DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

FIRNA KRISTIN N K

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Kutu pada Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

FIRNA KRISTIN N K. Infestasi Kutu pada Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan mengukur derajat infestasi kutu serta pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu pada kerbau albino di peternakan kerbau Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Koleksi kutu menggunakan metode pengambilan secara manual dan pengukuran derajat infestasi kutu berdasarkan jumlah kutu pada beberapa regio tubuh kerbau yang dilakukan sebelum dan sesudah berkubang. Kutu yang dikoleksi dipreservasi ke dalam preparat kaca untuk proses identifikasi. Total kerbau albino yang diteliti sebanyak 10 ekor dengan pembagian 8 regio tubuh yang terdiri atas regio I (kepala), II (leher), III (dada), IV (abdomen 1), V (abdomen 2), VI (punggung), VII (ekor), dan VIII (kaki). Jenis kutu yang diperoleh hanya satu jenis yaitu Haematopinus tuberculatus (Phthiraptera: Haematopinidae). Infestasi kutu sebelum berkubang terdapat pada regio VIII (kaki) sebesar 21.89%. Penurunan infestasi kutu tertinggi akibat aktivitas berkubang terdapat pada regio VI (punggung) sebesar 8.34%. Hasil analisis Wilcoxon menunjukkan penurunan derajat infestasi kutu yang signifikan sebelum dan sesudah berkubang.

Kata kunci: kutu, derajat infestasi, kerbau albino, peternakan kerbau, berkubang.

ABSTRACT

FIRNA KRISTIN N K. Lice Infestation on Albino Buffalo (Bubalus bubalis)in Sukamaju Village, Ciampea, Bogor, West Java. Supervised by SUSI SOVIANA.

This study is aimed to determine the diversity of lice species, measure the degree of lice infestation and the influence of buffalo wallowing toward the lice infestation in albino buffalos at a buffalo farm in Sukamaju Village, Ciampea, Bogor, West Java. Collected lice using manual retrieval methods and measuring the degree of lice infestation based on the number of lice on multiple body regions buffalo were performed before and after wallowing. Collected lice preserved into glass preparation for identification process. Total albino buffalo that used in this study were 10 animal with 8 body regional division consisting of region I (head), II (neck), III (chest), IV (abdominal 1), V (abdominal 2), VI (back), VII (tail), and VIII (feet). Only one species obtained which was H. tuberculatus (Phthiraptera: Haematopinidae). Lice infestation in the region VIII (feet), which is 21.89% obtained prior to wallow. Decreased of lice infestations was highest cause to wallow activity in the region VI (back) of 8.34%. The results of Wilcoxon analysis showed decrease in the degree of lice infestation significantly before and after wallowing.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

INFESTASI KUTU PADA KERBAU ALBINO (

Bubalus bubalis

)

DI DESA SUKAMAJU KECAMATAN CIAMPEA KABUPATEN BOGOR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 hingga Januari 2014 ini ialah Infestasi Kutu pada Kerbau Albino (Bubalus bubalis) di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Susi Soviana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan nasihat selama proses penulisan skripsi. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr Drh Sri Murtini, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua tercinta Bapak Ofir dan Ibu Ratna atas segala doa, kasih sayang, dan nasihat serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Geochelone (46), Rumah putih, dan teman-teman yang telah mendukung dan membantu dalam proses akademik. Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN Error! Bookmark not defined.1

Latar Belakang Error! Bookmark not defined.1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kerbau 2

Ragam Jenis dan Biologi Kutu Kerbau 3

Masalah Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau 6

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Metode Penelitian 6

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Kondisi Peternakan 8

Ragam Jenis Kutu pada Kerbau 9

Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu 10

Pengaruh Berkubang terhadap Infestasi Kutu 12

Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau 13

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 17

(10)

DAFTAR TABEL

1 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sebelum

berkubang 11

2 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sesudah

berkubang 12

3 Jumlah total dan penurunan jumlah kutu sebelum dan sesudah

berkubang kerbau 13

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi kutu Anoplura (Ignoffo 1959 dalam Mullen et al.) 5

2 Siklus hidup kutu (Remedylice 2014) 5

3 Pembagian regio 7

4 Bangunan kandang kerbau, kondisi bagian dalam kandang, bagian luar

peternakan, aktivitas berkubang kerbau 8

5 Ciri morfologi umum H. tuberculatus, rambut pada paratergal, sternal plate, H. tuberculatus betina, H. tuberculatus jantan 10 6 Persentase rata-rata derajat infestasi kutu tiap regio sebelum berkubang 11

7 Lesio pada kerbau 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil data penelitian kerbau albino di peternakan di Desa Sukamaju

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau merupakan satu diantara ruminansia besar penghasil bahan makanan berupa daging dan susu yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan arti penting dalam kehidupan masyarakat. Prospek peternakan kerbau di Indonesia sangat terbuka dalam waktu yang lama. Permintaan akan kebutuhan daging dan susu di Indonesia mengalami peningkatan seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk, dan meningkatnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (2013) bahwa tingkat konsumsi daging di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 7.05 kg/kapita/tahun dan tingkat konsumsi susu sebesar 11.01 kg/kapita/tahun.

Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan daging nasional yaitu dengan meningkatkan populasi, produksi, dan produktivitas ternak ruminansia di antaranya kerbau. Keberadaan parasit di sekitar lingkungan peternakan memberikan pengaruh terhadap produktivitas dan kesehatan ternak. Kutu merupakan satu diantara beberapa ektoparasit pengisap darah. Menurut Hadi (2011) infestasi kutu pada kerbau dapat mengganggu kenyamanan sehingga menurunkan nafsu makan, status gizi dan hasil produksi ternak.

Permasalahan lain akibat infestasi kutu pada kerbau dapat menimbulkan beberapa gejala klinis. Menurut Walker (2007) akibat langsung gejala klinis pada kerbau yang ditimbulkan oleh kutu adalah iritasi, alopesia, dan anemia. Akibat tidak langsung yang ditimbulkan antara lain ketidaknyamanan, kegatalan, menurunnya aktivitas merumput (Weeks et al. 1995). Selain itu, penurunan bobot badan dan produksi susu dapat mencapai 15-25% per hewan/tahun (Solusby 1982; Otteret et al. 2003 dalam Kakar and Kakarsulemankhel 2009). Permasalahan infestasi kutu baik akibat secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan kondisi imun sehingga menjadi rentan terhadap penyakit lain.

Beragamnya permasalahan infestasi kutu pada kerbau di lingkungan peternakan menuntut peternak untuk melakukan program pengendalian. Program pengendalian perlu dilakukan untuk menurunkan, menekan, serta mengendalikan perkembangbiakan kutu. Informasi tentang ektoparasit pada kerbau jumlahnya sangat sedikit. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keragaman jenis, sebaran kutu pada kerbau dan pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu pada kerbau.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar tentang infestasi kutu pada kerbau di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Jawa Barat. Selain itu, dapat meningkatkan kewaspadaan peternak dan menentukan pengendalian yang tepat dalam menurunkan infestasi kutu pada kerbau. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah Bubalus mindorensis, Bubalus depressicornis dan Bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan 2006).

Berbagai keragaman jenis kerbau banyak ditemukan di seluruh dunia. Menurut The Water Buffalo Co-operative (2007), terdapat dua spesies kerbau yaitu kerbau liar Afrika atau African Buffalo (Syncerus) dan Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri atas dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah.

Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut :

Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau sungai (riverine buffalo) memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Kerbau sungai merupakan salah satu ternak penghasil susu. Bahri dan Talib (2007) melaporkan sebanyak 16.5% susu yang dikonsumsi masyarakat dunia berasal dari susu kerbau. Populasi kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania (Fahimuddin 1975).

(13)

3 lumpur. Kerbau rawa merupakan salah satu hewan ternak penghasil daging dan sebagai hewan kerja.

FAO (2010) melaporkan populasi kerbau di dunia mencapai 190 juta ekor serta meningkat hampir 1.3% per tahun (Borghese 2005). Populasi kerbau di Indonesia sekitar 3.0 juta ekor dan populasinya terus menurun sampai tahun 2005. Kerbau di Indonesia paling banyak adalah tipe kerbau rawa atau lumpur dan hanya beberapa ratus ekor kerbau tipe sungai yang terdapat di Sumatera Utara (Situmorang 2005). Ternak kerbau merupakan ternak semi akuatik sehingga Indonesia menjadi habitat yang tepat untuk ternak kerbau karena 40% dari wilayah Indonesia beriklim tropis basah.

Populasi kerbau di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sebanyak 16 662 ekor yang tersebar di hampir seluruh kecamatan kecuali Gunung Putri. Populasi kerbau tertinggi terdapat di Kecamatan Sukajaya sebanyak 2 566 ekor dan jumlah terendah terdapat di Kecamatan Cibinong sebanyak 9 ekor. Populasi kerbau tahun 2007 di Kecamatan Ciampea sebanyak 307 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2008). Daerah Bogor pada umumnya memiliki kerbau yang berasal dari Lebak Banten dan peternakan lokal di daerah Bogor (Dinas Peternakan Kabupaten Bogor 2007 dalam Robbani et al. 2010).

Kerbau merupakan ternak yang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan ternak lainnya. Kerbau dapat bertahan hidup di daerah yang minim pakan. Kerbau juga dapat berkembang biak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. (Diwyanto dan Handiwirawan 2006). Selain itu, kerbau memiliki kebiasaan yaitu berkubang. Siang hari kerbau menghabiskan waktunya dengan berkubang, sehingga kerbau tidak mudah terserang kutu atau ektoparasit lainnya.

FAO (2000) melaporkan di beberapa negara kerbau dikembangbiakkan terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar lemak susu kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi. Negara Italia memproduksi keju yang terbuat dari susu kerbau yang berkualitas tinggi. Kerbau juga memiliki peran penting dalam bidang ekonomi khususnya di beberapa negara seperti Brazil, India, Pakistan, Turki, dan Italia (Zicarelli 2004).

Kerbau albino termasuk ke dalam jenis kerbau rawa (swamp buffalo). Kerbau albino memiliki kulit berwarna putih (albino), dengan ukuran tubuh lebih kecil dari jenis kerbau rawa lainnya, dan tidak memiliki garis kalung atau chevron (Kampas 2008). Kerbau albino merupakan satu diantara ternak penghasil susu, daging dan sebagai hewan pekerja. Selain itu, kerbau albino di percaya memiliki peran penting dalam masyarakat antara lain sebagai ternak pembawa keberuntungan, urinnya dapat dijadikan obat penyakit tertentu serta sebagai pengukur status sosial masyarakat di daerah Banten (Fadillah 2010). Walaupun harga kerbau albino lebih murah dibanding kerbau lainnya karena penampilannya kurang menarik (Tappa 2010).

Ragam Jenis dan Biologi Kutu Kerbau

(14)

4

Anoplura (kutu pengisap), dan Rhynchophtirina (kutu gajah). Kutu yang terdapat pada kerbau terutama dari subordo Anoplura, famili Haematopinidae, dan spesies Haematopinus sp. (Hadi dan Soviana 2010). Terdapat 22 spesies pada genus Haematopinus diantaranya adalah H. tuberculatus, H. eurysternus, dan H. quadripertusis yang merupakan jenis kutu yang banyak ditemukan pada kerbau.

H. eurysternus merupakan kutu berwarna abu-abu kehitaman. Paling banyak ditemukan pada sapi. Ukuran tubuh kutu betina sebesar 3-5 mm sedangkan pada jantan berukuran lebih kecil. Kutu tersebut memiliki probosis pendek serta banyak ditemukan di sekitar tanduk, mata, dan ujung telinga kerbau. H. quadripertusis disebut kutu ekor karena banyak ditemukan pada rambut panjang di sekitar ekor. Ukuran tubuh kutu ini sekitar 4.5 mm. H. quadripertusis banyak ditemukan di daerah tropis (Cotter 2009).

H. tuberculatus lebih dikenal sebagai kutu kerbau. Memiliki ukuran tubuh relatif besar sekitar 5.5 mm (Cotter 2009). H. tuberculatus merupakan kutu pengisap yang memiliki tiga stilet penusuk yang terdapat pada bagian dorsal, tengah, dan ventral. Bagian mulut memiliki rostrum pendek pada ujung anterior kepala. Selain itu, memiliki ukuran kaki pendek dan cakar pengait yang termodifikasi untuk melekat pada inang (Borror et al. 1996; Elzinga 1978).

Kerbau tidak hanya terinfestasi oleh kutu H.tuberculatus, tetapi sering kali dilaporkan juga terinfestasi oleh kutu H.quadripertusis dan H. eurysternus. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Kakar and Kakarsulemankhel (2009) bahwa infestasi campuran dari kutu H. quadripertusis dan H. eurysternus ditemukan pada menginfestasi 271 ekor kerbau dari total populasi 671 ekor kerbau di kota Quetta, Pakistan.

Tubuh kutu terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, thoraks, dan abdomen jelas terpisah (Gambar 1). Kepala dilengkapi dengan 3-5 ruas antena berbentuk filiform yang menonjol keluar. Kutu tidak memiliki sayap dan sebagian besar tidak bermata. Bagian mulut kutu disesuaikan untuk menusuk, menghisap atau mengunyah. Kutu memiliki tipe mulut penusuk atau pengisap dan probosis halus dan kecil (haustellum). Bagian dalam mulut dilengkapi dengan gigi-gigi kecil yang diarahkan ke luar untuk ditancapkan pada kulit inangnya. Selain itu, terdapat tiga buah organ penusuk seperti jarum (stilet) keluar untuk mengisap darah dan menyuntikkan kelenjar ludah ke tubuh inang. (Hadi dan Soviana 2010).

(15)

5

Gambar 1 Morfologi kutu Anoplura (Ignoffo 1959 dalam Mullen et al. 2009) Telur kutu menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5 sampai 18 hari tergantung jenis kutu. Nimfa kutu dewasa berwarna keputih-putihan, dan makin tua umurnya akan berwarna gelap. Kutu dewasa bisa hidup selama 10 hari hingga beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010). Seluruh stadium dalam siklus hidup kutu Anoplura membutuhkan darah untuk menyelesaikan siklus reproduksi. Kutu betina dewasa meletakkan satu telur per hari dan menempelkan ke batang rambut dekat dengan kulit. Telur menetas dalam 1-2 minggu. Setiap nimfa mengalami tiga tahap, masing-masing tahap membutuhkan waktu 10 hari. Siklus hidup lengkap membutuhkan waktu antara 3 sampai 6 minggu (Cotter 2009). Menurut Walker (2007) siklus hidup pada H. eurysternus dan H. tuberculatus sama dengan kutu lainnya.

Gambar 2 Siklus hidup kutu (Remedylice 2014)

Kepala

Thoraks

(16)

6

Masalah Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau

Kutu merupakan serangga yang berperan sebagai vektor penyakit pada hewan ternak ruminansia terutama kerbau. Kutu Anoplura berperan dalam timbulnya penyakit pada kerbau. Beberapa gejala klinis yang timbul akibat infestasi kutu diantaranya anemia, penurunan berat badan, penurunan produksi susu, ketidaknyamanan kerbau dengan menggaruk yang berlebihan, serta rambut berminyak dan kusam (Otteret et al. 2003 dalam Kakar and Kakarsulemankhel 2009).

Menurut Walker (2007) infestasi pada H. eurysternus menyebabkan iritasi, alopesia, kehilangan darah dan anemia. Selain itu, kerbau menjadi gelisah, nafsu makan berkurang, serta penurunan kondisi imun sehingga rentan terinfeksi penyakit lain. Chaudhry (1978) melaporkan infestasi kutu H.tuberculatus menyebabkan kulit yang terinfestasi kutu menyebabkan gatal dan menimbulkan erythematosa. Kondisi tersebut menyebabkan kerbau menjadi gelisah, adanya lesi pada kulit sehingga menurunkan bobot badan kerbau seperti anoreksia, cachexia, serta mengurangi produktivitas.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 hingga Januari 2014. Pengoleksian kutu dilakukan pada peternakan kerbau di Desa Sukamaju, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Koleksi dan Identifikasi Kutu

Koleksi kutu (sampling), pengukuran derajat dan sebaran kutu dilakukan setiap seminggu sekali pada satu ekor kerbau albino. Jumlah Kerbau albino yang digunakan sebanyak 10 ekor dengan waktu penelitian selama 10 minggu (1 ekor kerbau/minggu). Koleksi kutu dilakukan secara manual dengan mengambil 5 kutu tiap regio tubuh. Pengambilan kutu menggunakan pinset kemudian kutu yang didapat pada masing-masing regio tubuh di masukkan ke dalam botol kecil berisi alkohol dan diberi label pada setiap botol.

(17)

7 yang digunakan dalam pembuatan preparat kaca mengacu pada Hadi dan Soviana (2010). Acuan yang digunakan untuk kunci identifikasi kutu adalah Insects of Micronesia: Anoplura (Ferris 1959).

Pengukuran Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu

Penghitungan kutu dilakukan setelah pengambilan kutu menggunakan counter yang dihitung pada masing-masing regio tubuh. Penghitungan dilakukan sebelum waktu berkubang pada pukul 05.00 WIB serta sesudah berkubang pukul 10.00 WIB dan dibagi menjadi delapan regio tubuh. Pembagian regio terdiri atas regio I (kepala), II (leher), III (dada), IV (abdomen 1), V (abdomen 2), VI (punggung), VII (ekor), dan VIII (kaki) sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3. Data yang diperoleh pada penghitungan infestasi kutu pada kerbau dari hasil pengoleksian dan identifikasi dilakukan secara deskriptif. Pengukuran derajat infestasi kutu kerbau sebelum dan sesudah berkubang disajikan dalam bentuk Tabel. Derajat infestasi dan sebaran kutu sebelum dan sesudah berkubang pada kerbau disajikan dalam bentuk persentase (%).

Analisis Data

Selain data mengenai hasil identifikasi kutu yang disajikan berupa deskripsi morfologi dan persentase ragam jenis kutu yang diperoleh dari hasil sampling kutu, juga disampaikan prevalensi infestasi kutu pada populasi kerbau di lokasi penelitian. Prevalensi dinyatakan dalan persentase jumlah kerbau albino yang terinfestasi kutu dibandingkan terhadap seluruh populasi kerbau albino yang ada di lokasi penelitian. Pengukuran pengaruh berkubang terhadap infestasi kutu dilakukan dengan membandingkan jumlah kutu pada kerbau sebelum dan sesudah berkubang menggunakan uji Wilcoxon.

Gambar 3 Pembagian regio

II I

IV V

VI

VII

(18)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Peternakan

Peternakan kerbau yang dikelola oleh Yayasan Panti Asuhan Rumah Doa terletak di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Peternakan kerbau tersebut menerapkan manajemen beternak secara sederhana. Kerbau yang dipelihara di peternakan tersebut sebagian besar adalah kerbau bule atau albino. Ternak kerbau yang dipelihara berjumlah 16 ekor yang terdiri atas 6 betina dan 10 jantan. Peternakan terletak jauh dari pemukiman warga.

Kandang kerbau memiliki ukuran 14x7 m dengan populasi kerbau sebanyak 16 ekor (Gambar 4A). Kondisi tersebut menyebabkan kerbau di dalam kandang saling berdekatan (Gambar 4B). Kandang memiliki atap sebagai penutup yang terbuat dari kayu. Dinding kandang terbuat dari semen yang tidak menutupi semua bangunan kandang. Alas atau lantai kandang terbuat dari semen. Bagian dalam kandang terdapat ruangan khusus berukuran 3x4 m untuk kerbau yang sakit.

Kandang memiliki sistem pembuangan air yang baik sehingga memiliki tempat menampung air dari kandang yang airnya akan dialirkan ke parit. Kandang memiliki saluran khusus sebagai tempat pembuangan urin, sedangkan saluran khusus pembuangan feses tidak ada. Feses dibersihkan oleh petugas kandang menggunakan serokan selama kandang tersebut penuh dengan feses. Feses dikumpul kemudian dibuang dan lantai semen kandang dibersihkan menggunakan air. Tempat pakan terbuat dari semen yang berada di luar kandang sebelah kiri dan kanan. Tidak ada ruang khusus untuk menyimpan pakan. Pakan ditumpuk dan diletakkan diluar kandang (Gambar 4C). Pakan yang diberikan berupa jerami.

Gambar 4 A. Bangunan kandang kerbau, B. Kondisi bagian dalam kandang, C. Kondisi bagian luar kandang, D. Aktivitas berkubang kerbau.

B

D

A

(19)

9 Aktivitas berkubang kerbau pada peternakan biasanya dilakukan tiga kali sehari. Jarak antara kandang dengan kolam berkubang sekitar 15 m dengan jalan menurun. Kolam berkubang kerbau memiliki ukuran 25x10 m. Kondisi air pada kolam berkubang cukup keruh. Petugas kandang membuka palang kayu pada jam 05.00 WIB untuk kerbau berkubang. Kerbau berkubang selama dua jam dengan melakukan aktivitas menggesekan tubuh ke tubuh kerbau lainnya atau ke dinding semen kolam berkubang, menaiki kerbau lain, serta menenggelamkan tubuh dan wajahnya ke air (Gambar 4D).

Petugas kandang mengambil pakan dan menaruh di tempat pakan kerbau saat berkubang. Waktu berkubang selesai, petugas kandang akan memukul lantai semen menggunakan kayu untuk memanggil kerbau-kerbau tersebut naik dari kolam berkubang ke kandang. Kerbau-kerbau berbaris menaiki jalan dan terdapat palang kayu yang harus mereka lewati. Seluruh kerbau saat melewati palang kayu akan menggesek-gesekan kepala dan punggung selama 2 menit. Seluruh kerbau sudah berada dalam kandang, petugas kandang menutup kandang dengan palang kayu kemudian kerbau-kerbau tersebut makan. Selanjutnya pada jam 10.00 WIB dan jam 15.00 WIB, kerbau-kerbau berkubang kembali.

Ragam Jenis Kutu pada Kerbau

Koleksi kutu yang didapat dari 10 kerbau albino sebanyak 400 kutu. Berdasarkan kutu yang diidentifikasi hanya diperoleh satu jenis kutu yang ditemukan pada peternakan kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor termasuk dalam famili Haematopinidae yaitu Haematopinus tuberculatus (Gambar 5A). H. tuberculatus memiliki ukuran tubuh relatif besar sekitar 5.5 mm. Pengukuran kutu betina yang diteliti sekitar 4.8 mm sedangkan ukuran kutu jantan sekitar 3.9 mm. Ukuran tubuh betina relatif besar dibandingkan dengan jantan (Cotter 2009). Ciri morfologi pada H. tuberculatus memiliki rambut berjumlah lima atau lebih pada paratergal plate (Gambar 5B). Sternal plate pada bagian ventral H. tuberculatus yang khas seperti lempeng yang terdapat penonjolan kearah kranial (Gambar 5C).

Perbedaan kutu jantan dan betina H. tuberculatus terdapat pada bagian kaudal. Bagian kaudal H.tuberculatus betina seperti penjepit (Gambar 5 D1), sedangkan H. tuberculatus jantan berbentuk lancip (Gambar 5 D2). Berdasarkan hasil identifikasi 400 kutu yang diambil dari tiap regio tubuh kerbau albino pada peternakan kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea hanya satu jenis yaitu H. tuberculatus. Peternakan kerbau tersebut terletak pada dataran tinggi sehingga kutu H. tuberculatus dapat bertahan hidup pada suhu dingin. Kerbau merupakan inang bagi H. tuberculatus.

(20)

10

Gambar 5 A. Ciri morfologi umum H. tuberculatus, B. Rambut pada paratergal. C. Sternal plate. D. H. tuberculatus betina (1) dan H. tuberculatus

jantan (2).

Derajat Infestasi dan Sebaran Kutu

Pengambilan dan penghitungan jumlah kutu pada kerbau dilakukan pada pagi hari sebelum berkubang. Jumlah kerbau yang dilakukan pengambilan dan penghitungan kutu sebanyak 10 ekor kerbau albino. Kutu diambil berdasarkan pembagian 8 regio tubuh pada kerbau albino. Derajat infestasi kutu pada kerbau sebelum berkubang disajikan pada Tabel 1.

Prevalensi infestasi kutu pada seluruh kerbau albino di peternakan sebesar 100%. Hal ini menunjukkan pada 10 kerbau albino terinfestasi kutu. Rata-rata kutu/kerbau sebelum berkubang sebanyak 734 kutu pada tiap ekor kerbau albino. Derajat infestasi kutu tertinggi sebesar 21.89% yang terdapat pada regio VIII (kaki) (Gambar 6). Hal ini disebabkan pada regio kaki memiliki pembuluh darah paling banyak. Selain itu, sulit dicapai saat kerbau melakukan aktivitas menggesek-gesekan badan ke dinding kandang dan pada lipatan kaki bagian ventral lembab sehingga kutu bertahan hidup lebih lama. Hal ini sesuai menurut Soulsby (1982) bahwa kutu H. tuberculatus sering ditemukan pada betis kerbau. Kondisi tersebut juga dilaporkan Rawat et al. (1992) bahwa populasi kutu H. tuberculatus paling tinggi ditemukan pada daerah betis kerbau sebanyak 60.58% dari total 373 ekor kerbau yang diteliti.

C

D1

D2

(21)

11 Tabel 1 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sebelum berkubang

Kerbau Regio

I II III IV V VI VII VIII

Kerbau 1 12.07 3.23 10.58 19.92 8.71 9.33 9.33 26.77

Kerbau 2 8.19 7.85 6.17 19.30 14.81 13.46 5.49 24.69

Kerbau 3 7.14 7.49 18.95 10.22 14.10 5.46 14.55 22.04

Kerbau 4 17.96 13.54 20.83 10.93 10.41 7.03 7.81 11.45

Kerbau 5 10.28 9.19 7.40 21.94 11.65 6.31 6.85 26.33

Kerbau 6 11.36 8.80 9.72 13.81 11.05 16.27 3.99 24.97

Kerbau 7 14.41 10.36 9.90 8.10 19.81 1.80 6.30 29.27

Kerbau 8 12.86 11.60 6.32 16.24 18.98 5.06 10.75 18.14

Kerbau 9 15.05 8.94 11.92 14.90 14.90 10.43 5.96 17.88

Kerbau 10 16.38 10.23 10.23 13.65 13.65 11.94 6.82 17.06

Rata-rata (%) 12.57 9.12 11.20 14.90 13.81 8.71 7.79 21.89

Derajat infestasi kutu terendah ditemukan pada regio VII (ekor) sebesar 7.79%. Kondisi ini disebabkan pada regio ekor tidak memiliki banyak pembuluh darah serta rambut dengan jumlah sedikit. Hal ini juga dilaporkan Figueiredo (2013) bahwa derajat infestasi kutu terendah yang terinfestasi kutu H. tuberculatus pada kerbau di negara Brazil terdapat di regio ekor sebesar 2.3%.

Derajat infestasi kutu yang paling sedikit ditemukan pada kerbau 7 di regio VI (punggung) sebesar 1.80%. Perbedaan infestasi kutu yang terlihat signifikan pada kerbau 7 di regio VI (punggung) dengan kerbau yang lain disebabkan 2 hari sebelum dilakukan pengambilan dan penghitungan kutu, petugas kandang melakukan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif cypermethrin. Insektisida yang biasanya digunakan untuk mengurangi infestasi kutu adalah insektisida dengan bahan aktif cypermethrin.

(22)

12

Alphacypermethrin merupakan insektisida dengan bahan aktif paling efektif dalam menurunkan infestasi kutu pada peternakan (Committee for Veterinary Medicinal Products 2011).

Pengaruh Berkubang terhadap Infestasi Kutu

Pengambilan dan penghitungan jumlah kutu pada kerbau yang dilakukan setelah 2 jam berkubang mengalami penurunan. Derajat infestasi kutu pada tiap regio sesudah berkubang dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil penelitian derajat infestasi kutu kerbau sesudah berkubang pada tiap regio mengalami penurunan dibandingkan dengan sebelum berkubang.

Rata-rata infestasi kutu/kerbau sesudah berkubang mengalami penurunan dari 734 kutu/kerbau menjadi 679 kutu/kerbau. Derajat infestasi kutu kerbau albino yang mengalami penurunan terlihat pada regio VI (punggung) sebesar 8.34%. Penurunan infestasi kutu pada regio VI (punggung) disebabkan saat berkubang kerbau melakukan aktivitas menggesek-gesekan punggung pada palang kayu yang terdapat di pinggir kolam berkubang.

Kerbau merupakan ternak yang memiliki kebiasaan berkubang. Jumlah total dan penurunan jumlah kutu pada kerbau sebelum berkubang dan sesudah berkubang disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis uji Wilcoxon didapatkan hasil bahwa seluruh kerbau terdapat nilai negatif yang berarti derajat infestasi kutu sebelum berkubang lebih besar daripada derajat infestasi kutu sesudah berkubang.

Tabel 2 Derajat infestasi (%) dan sebaran kutu pada tiap regio sesudah berkubang

Kerbau Regio

I II III IV V VI VII VIII

Kerbau 1 12.26 2.17 10.62 21.11 8.17 8.85 8.17 28.61

Kerbau 2 8.29 7.80 6.09 19.63 14.26 12.56 5.48 25.85

Kerbau 3 6.75 7.31 18.98 10.64 14.44 4.72 14.72 22.40

Kerbau 4 17.15 14.53 21.80 10.17 10.17 7.26 7.26 11.62

Kerbau 5 9.91 8.87 7.39 22.63 11.53 5.91 6.95 26.77

Kerbau 6 11.15 8.64 9.62 13.45 10.94 16.41 3.82 25.92

Kerbau 7 14.50 10.36 8.29 8.29 21.24 1.03 5.18 31.08

Kerbau 8 13.20 11.28 5.53 16.93 18.96 4.85 10.60 18.62

Kerbau 9 15.39 9.07 12.15 14.91 15.07 10.37 5.18 17.82

Kerbau 10 17.17 10.30 9.92 13.54 14.31 11.45 5.72 17.55

(23)

13 Tabel 3 Jumlah total dan penurunan jumlah kutu sebelum dan sesudah berkubang

kerbau

Kerbau Jumlah Penurunan jumlah kutu

Sebelum Sesudah

Rata-rata (kutu/kerbau) 734.5 678.8 55.7

Hasil analisis menunjukkan tiap kerbau memiliki nilai (P<0.05) sehingga berbeda secara signifikan antara derajat infestasi kutu pada kerbau sebelum dansesudah berkubang. Hasil serupa juga ditunjukkan tiap regio pada analisis Wilcoxon. Hal ini menunjukkan bahwa faktor berkubang terbukti efektif dalam menurunkan infestasi kutu secara umum pada tubuh kerbau serta pada tiap regio. Menurut Cockrill (1984) berkubang dapat mengembalikan kondisi panas tubuh akibat sedikitnya kelenjar keringat dan rambut pada kerbau.

Infestasi Kutu terhadap Kesehatan Kerbau

Kerbau albino merupakan salah satu hewan ternak penghasil daging dan sebagai hewan pekerja. Infestasi ektoparasit salah satunya kutu dapat menimbulkan dampak negatif pada peternakan kerbau. Kutu merupakan salah satu ektoparasit penghisap darah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan jenis kutu yang menginfestasi peternakan kerbau di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor adalah H. tuberculatus. Infestasi kutu H. tuberculatus pada ternak dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan dan menurunkan produktivitas ternak kerbau.

(24)

14

Gambar 7 Lesio pada kerbau

SIMPULAN

Jenis kutu yang menginfestasi kerbau albino di peternakan di Desa Sukamaju Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor adalah Haematopinus tuberculatus. Derajat infestasi tertinggi kerbau terdapat pada regio kaki. Penurunan tertinggi infestasi kutu setelah berkubang terdapat pada regio punggung. Aktivitas berkubang terbukti efektif menurunkan infestasi kutu pada kerbau albino.

SARAN

Mengingat risiko infestasi Haematopinus tuberculatus yang dapat mengganggu kesehatan dan menurunkan produktivitas ternak perlu dilakukan program pengendalian untuk menekan infestasi kutu pada kerbau.

DAFTAR PUSTAKA

(25)

15 Bahri S dan Thalib. 2007. Strategi pengembangan pembibitan ternak kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor (ID).

Borghese A. 2005. FAO regional office for Europe inter-regional cooperative research network on buffalo (ESCORENA): buffalo production and research. Roma (IT): FAO. Hlm 1-40.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Penerjemah: Partosoedjono S. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.

Chaudhry NI. 1978. Common disease problems in buffalo calves. J of Sci. 30: 120-126.

Cockrill WR. 1984. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo. Roma (IT): FAO.

Committee for Veterinary Medicinal Products. 2011. Alphacypermethrin. The European Medicines Agency (EMEA). Veterinary Medicines and Inspections. EMEA/MRL/800/01.

Cotter J. 2009. Lice Infestation on Cattle. Western Australia (AU): Western Australian Agriculture Authority.

Desoky AESS. 2014. The relationship between sex and age of buffalo’s infestation with ectoparasites in Sohag Governorate, Egypt. J of Sci. 31-33. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2008. Katalog BPS

Kabupaten Bogor dalam Angka 2008. Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.

Diwyanto K dan Handiwirawan H. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Elzinga RJ. 1978. Fundamentals of Entomology. New Delhi (IN): Prentice Hall of India Private Ltd.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2000. The State of Food and Agriculture. Rome (IT): Food Agricultural Organization.

[FAO] Food Agricultural Organization. 2010. The State of Food and Agriculture. Rome (IT): Food Agricultural Organization.

Fadillah MA. 2010. Kerbau dan masyarakat Banten: perspektif etno-historis. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010. Banten (ID). 23-29.

Fahimuddin M. 1975. Domestic Water Buffalo. New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing Co.

Ferris GF. 1959. Insects of Micronesia: Anoplura. Amerika Serikat (US): Standford University.

Figueiredo MAP, Silva DF, Manrique WG and Guerra RMSN. 2013. Haematopinus tuberculatus Infestation and distribution in bubalines of Sao Luis, state of Maranhao, Brazil. The Biologist (Lima). 167-172.

Hadi UK dan Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Diagnosa, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

(26)

16

Hasinah H dan Handiwirawan H. 2006. Keragaman genetik ternak kerbau di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Juntozy. 2013. Siklus hidup Damalinia ovis [Internet]. [diunduh 2014 Februari 2].

Tersedia pada: http://www.bayeranimal.co.nz/livestock/sheep/lice.aspx. Kakar MN and Kakarsulemankhel JK. 2009. Prevalance of endo (trematodes) and

ectoparasites in cows and buffaloes of Quetta, Pakistan. Pakistan Vet J. 28(1): 34-36.

Kampas R. 2008. Keragaman fenotipik morfometrik tubuh dan pendugaan jarak genetik kerbau rawa di Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mason IL. 1974. The Husbandry and Health of The Domestic Buffalo. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of The United Nation.

Mullen G, Gary RM, and Lance D. 2009. Medical and Veterinary Entomology. Second Edition. Inggris (GB): El servier.

Rawat BS, Trivedi MC, Saxena AK and Kumar A. 1992. Incidence of the phthirapteran infestation upon the buffaloes of Dehradun (India). Angew Parasitol. 17-22.

Remedylice. 2014. The life cycle of the human head louse [Internet]. [diunduh 2014 September 15]. Tersedia pada: www.remedylice.com/factsoflice.html. Robert FHS. 1952. Insects Affecting Livestock. Australia (AU): Halstead Pr. Robbani AR, Jakaria, dan Sumantri C. 2010. Karakteristik fenotipik kerbau rawa

di Kabupaten Bogor. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010. Bogor. 49-56.

Situmorang P. 2005. Effect the administration of human chorionic gonadotrophin (hCG) hormone following superovulation in buffalo. J.Ilmu Peternakan dan Veteriner 10:286-292.

Soulsby EJ. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. Ed ke-7. London (GB): Balliere Tindall.

Tappa B. 2010. Optimalisasi produksi sperma sexing kerbau untuk mendukung program penyediaan bibit ternak nasional. Laporan akhir program insentif peneliti dan perekayasa LIPI tahun 2010: Hlm 6-7.

The Water Buffalo Co-operative Limited. 2007. What is a Buffalo [Internet].

(27)

17 Lampiran 1 Hasil data penelitian kerbau albino di peternakan di Desa Sukamaju

Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor.

Tabel 1 Derajat infestasi kutu pada tiap regio sebelum berkubang

Tabel 2 Derajat infestasi kutu pada tiap regio sesudah berkubang

(28)

18

Tabel 3 Hubungan antara jumlah kutu per regio dengan aktivitas berkubang Regio

Total kutu kerbau Uji T berpasangan

Sebelum berkubang

Sesudah

berkubang Wilcoxon Nilai P

Regio 1 857 789 -2.809 0.005

Tabel 4 Hubungan antara jumlah kutu pada kerbau dengan aktivitas berkubang Kerbau

Total kutu kerbau Uji T berpasangan

Sebelum berkubang

Sesudah

berkubang Wilcoxon Nilai P

Kerbau 1 803 734 -2.539 0.011

Tabel 5 Jumlah total dan penurunan jumlah kutu per regio sebelum dan sesudah berkubang

Regio Jumlah Penurunan jumlah

(29)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 Desember 1990 sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Ofir dan Ibu Ratna. Penulis menempuh pendidikan formal yang dimulai dari TK Ananda UT dan lulus pada tahun 1997, kemudian melanjutkan pendidikan di SD DHARMA KARYA UT hingga lulus tahun 2003, yang kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 14 Depok hingga lulus tahun 2006. Pendidikan SMA penulis diselesaikan di SMAN 5 Depok dan lulus pada tahun 2009, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jurusan yang dipilih penulis adalah Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1 Morfologi  kutu  Anoplura (Ignoffo 1959 dalam Mullen et al. 2009)
Gambar 3 Pembagian regio
Gambar 4  A. Bangunan kandang kerbau, B. Kondisi bagian dalam kandang,
Gambar 5  A. Ciri morfologi umum H. tuberculatus, B. Rambut pada paratergal.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan itu, tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi masyarakat Kampung Gunung Leutik tentang lingkungan, mengkaji kemampuan masyarakat dalam mengolah sampah

Penelitian ini bertujuan untuk menduga total potensi simpanan karbon yang terdapat pada seluruh jenis tanaman berkayu di pekarangan Desa Tegalwaru, Kecamatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertama struktur komunitas makrozoobenthos yang meliputi jenis, kelimpahan, keragaman, dominansi dan keseragaman