• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

KOKSIDIOSIS PADA SAPI PERAH

DI KABUPATEN BANDUNG

ISROK MALIKUS SUFI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ISROK MALIKUS SUFI. Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ETIH SUDARNIKA.

Koksidiosis pada ternak sapi merupakan salah satu penyakit parasitik yang menyebar di seluruh dunia dan disebabkan oleh Eimeria spp. Iklim yang cukup dingin pada daerah bagian selatan di kabupaten Bandung menjadi pusat kawasan peternakan sapi perah, yaitu kelompok peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Sapi perah merupakan salah satu komoditas peternakan yang sangat rentan terhadap koksidiosis karena terjadinya stres dan sanitasi kandang yang kurang baik sehingga dapat mengurangi produksi susu dan berdampak pada kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional pada sapi perah di kabupaten Bandung dari bulan Juli 2014 sampai Januari 2015 yang bertujuan untuk menentukan prevalensi, komposisi spesies dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian koksidiosis. Selain itu, studi ini bertujuan untuk mengevaluasi berbagai faktor seperti jenis kelamin, umur ternak dan tipe alas kandang yang mempengaruhi jumlah ookista Eimeria yang keluar bersama tinja sapi perah.

Sampel didapatkan dari 400 ekor ternak sapi perah (sebanyak 196 ekor untuk pedet umur kurang dari 6 bulan, 37 ekor untuk anak sapi umur 6-12 bulan dan 167 ekor untuk sapi dewasa umur lebih dari 12 bulan). Sampel tinja dikoleksi dengan cara per rektal, kemudian diperiksa dan dihitung untuk menghitung prevalensi, komposisi spesies dan jumlah ookista tiap gram tinja (OTGT) Eimeria dengan metode McMaster. Kuisioner digunakan untuk mengetahui informasi tentang kesehatan hewan dan manajemen peternakan pada individu sapi perah. Jumlah OTGT tidak menyebar normal sehingga data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney untuk peubah penjelas yang memiliki 2 kategorik dan uji Kruskal-Wallis untuk peubah penjelas yang memiliki lebih dari 2 kategorik yang dilanjutkan dengan uji Dunn sebagai uji perbandingan berganda. Adapun faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi Eimeria dianalisis dengan uji khi-kuadrat dan model regresi logistik berganda. Prevalensi total koksidiosis dan rata-rata jumlah ookista pada sapi masing-masing sebanyak 179 (44.8%; Selang Kepercayaan (SK) 95%: 40.0%-49.6%) dan 286.8 otgt (ookista tiap gram tinja) (SK 95%: 135.7-437.8), sedangkan prevalensi tertinggi (67.3%; SK 95%: 60.8-73.9) terdapat pada pedet berumur kurang dari 6 bulan.

(5)

Prevalensi akibat infeksi Eimeria pada sapi berumur lebih dari 12 bulan memiliki hubungan yang berbeda nyata lebih rendah secara statistik (P<0.05) dibandingkan dengan pedet berumur kurang dari 6 bulan dan umur 6-12 bulan. Sistem imunitas pada sapi muda yang belum terbentuk secara sempurna menyebabkan sapi memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap koksidiosis. Diantara faktor manajemen dan kesehatan hewan, hanya faktor tipe alas lantai kandang yang memiliki hubungan secara signifikan dengan prevalensi Eimeria pada sapi.

(6)

SUMMARY

ISROK MALIKUS SUFI. Estimation of Coccidiosis Prevalence and Risk Factors in Dairy Cattle of Bandung District. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and ETIH SUDARNIKA.

Bovine coccidiosis is one of the most widely distributed parasitic diseases of cattle throughout the world, and its infection of ruminants caused by Eimeria spp. Bandung district has highland areas and cooler climate, so that, in southern part of Bandung district becomes as a dairy farm center area which called Cooperation of South Bandung Dairy Farm (KPBS) Pangalengan. Dairy cattle is one of farming comodity which has high susceptibility to coccidiosis infection due to stress condition and poor sanitation causing great economical losses include reduced milk production. This study was conducted with a cross-sectional study design in dairy cattle of Bandung district from July, 2014 to January, 2015 which aimed to determine the prevalence, species composition, and associated risk factors with coccidiosis. Another aim of the study was to evaluate various factors such as: sex, age of the cattle and type of pen flooring influencing the number of Eimeria oocysts shedding in dairy farm.

Samples were obtained from 400 dairy cattle (196, 37 and 167 for aged less than 6 months, 6-12 months and more than 12 months, respectively). Fecal samples were collected, examined and counted for prevalence, species composition and number of oocysts per gram of feces (OPG) to determine for Eimeria by McMaster technique. A questionnaire was completed for individual dairy cattle to record information about animal health and husbandry. OPG counts presented asymmetrical distribution and for this reason, the data were analyzed using a Mann-Whitney test for explanatory variable with 2 categorical factors and a Kruskal-Wallis test for explanatory variable with more than 2 categorical factors followed by Dunn test as a multiple comparison test. Meanwhile, associated factors with risk of Eimeria infection were performed by chi-square test and multivariate logistic regression models. Overall prevalence and mean of oocysts number of Eimeria in cattle was 179 (44.8%; Confidence Interval (CI) 95%: 40.0%-49.6%) and 286.8 opg (oocysts per gram of feces) (CI 95%: 135.7-437.8) respectively, while highest prevalence of Eimeria (67.3%; CI 95%: 60.8-73.9) was observed in calves aged less than 6 months.

Ten species of Eimeria were identified in total infected cattle. Among the identified species of Eimeria, E. bovis was found to be highest prevalent species (42.5%), followed in order by E. wyomingensis, E. bukidnonensis, E. pellita, E. auburnensis, E. zuernii, E. cylindrica, E. canadensis, E. brasiliensis and E. alabamensis with prevalence of 39.1%, 32.4%, 26.3%, 19.6%, 17.3%, 3.9%, 3.9%, 3.4% and 1.1% respectively. Sex, age of the cattle and type of pen flooring have significantly effect (P<0.05) with the number of oocysts shed. Younger calves aged less than 6 months shed highest amounts of oocysts than older cattle.

(7)

and animal health practices, only floor type which had significantly association with the prevalence of Eimeria in cattle.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

PENDUGAAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

KOKSIDIOSIS PADA SAPI PERAH

DI KABUPATEN BANDUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung

Nama : Isrok Malikus Sufi NIM : B252130071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS Ketua

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

(12)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan seru sekalian alam atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga studi dan tesis ini berhasil diselesaikan dengan baik serta sholawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah tentang koksidiosis, dengan judul Pendugaan Prevalensi dan Faktor Risiko Koksidiosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bandung.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan Ibu Dr Drh Elok Budi Retnani, MS selaku dosen penguji luar komisi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa dan Balai Veteriner Subang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat menjalani proses pendidikan magister (S2) di Sekolah Pascasarjana IPB. Penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Drs Lasimin Isnur Sukmana, MPdI, Ibunda Santiyani, SPd, Kakanda Abduh Maheswara Solikha, SE dan Bustan Indra Jazuli, SE (alm) serta istri tercinta Hanina, SP dan anak-anakku tersayang Giri dan Gendhis atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Taksonomi Eimeria spp. 2

Siklus Hidup 4

Gejala Klinis Koksidiosis 5

Faktor Risiko Kejadian Koksidiosis 5

Epidemiologi 6

Dampak Ekonomi Akibat Koksidiosis 7

3 METODE 7

Waktu dan Tempat Penelitian 7

Desain Penelitian 7

Alat dan Bahan 8

Identifikasi Spesies Eimeria 8

Penghitungan Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) 9

Analisis Data 9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 9

Prevalensi Kejadian Koksidiosis 10

Identifikasi dan Komposisi Spesies Eimeria 11

Infeksi Campuran Eimeria 15

Pengaruh Jenis Kelamin, Umur Ternak dan Tipe Alas Kandang terhadap

Jumlah OTGT Eimeria 16

Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Koksidiosis 21

5 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 31

(14)

DAFTAR TABEL

1 Morfologi ookista spesies Eimeria pada sapi 3

2 Prevalensi koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan

berdasarkan kelompok umur 11

3 Hasil pengamatan panjang, lebar, indeks dan karakteristik ookista Eimeria pada sampel tinja sapi perah di KPBS Pangalengan 13 4 Pengamatan panjang, lebar, indeks dan karakteristik ookista Eimeria

menurut referensi 14

5 Komposisi, prevalensi dan rata-rata jumlah OTGT tiap spesies Eimeria

pada sapi perah di KPBS Pangalengan 15

6 Infeksi tunggal dan campuran dari spesies Eimeria 16 7 Hasil analisis uji Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis yang dilanjutkan

dengan uji Dunn dari jumlah OTGT sapi perah di KPBS Pangalengan 17 8 Analisis khi-kuadrat terhadap faktor risiko koksidiosis 22 9 Analisis regresi logistik berganda faktor risiko koksidiosis 23

DAFTAR GAMBAR

1 Ookista yang telah bersporulasi pada beberapa spesies Eimeria yang

menginfeksi sapi 3

2 Siklus hidup Eimeria bovis 4

3 Pedet dicampur dalam satu kandang dengan sapi yang lebih dewasa di

KPBS Pangalengan 10

4 Hasil identifikasi ookista pada beberapa spesies Eimeria yang

menginfeksi sapi perah di KPBS Pangalengan 12

5 Alas kandang ternak yang tidak dibersihkan secara benar dapat meninggalkan akumulasi tinja yang mengandung ookista Eimeria pada

celah-celah lantai kandang 20

6 Gejala klinis (demam, diare, anoreksia, kelemahan, anemia dan kehilangan berat badan) dalam hubungannya dengan kejadian koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan dan jenis pengobatan lain-lain (vitamin, obat tradisional, anthelmintik dan lain-lain) 24

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki bentuk topografi tanah berupa dataran tinggi dan berhawa sejuk. Iklim yang cukup dingin pada daerah bagian selatan di kabupaten Bandung menjadi pusat kawasan peternakan sapi perah, yaitu kelompok peternak sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Sapi perah merupakan salah satu komoditas peternakan yang sangat rentan terhadap koksidiosis karena terjadinya stres dan sanitasi kandang yang kurang baik sehingga dapat mengurangi produksi susu dan berdampak pada kerugian ekonomi yang cukup signifikan.

Koksidiosis disebabkan oleh protozoa dari genus Eimeria menyebabkan permasalahan yang cukup komplek di bidang kesehatan hewan dan ekonomi pada dunia peternakan, terutama peternakan sapi. Penyakit ini memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan gejala klinis berupa berkurangnya konsumsi pakan, kehilangan berat badan dan efisiensi pakan, kelemahan, diare, depresi serta anemia (Pandit 2009). Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh koksidiosis mencapai US$ 400 juta/tahun di Amerika Serikat (Bruhn et al. 2011) dan umumnya menyerang sapi muda (pedet) sampai umur 2 tahun (Quigley dan Sinks 1997).

Kejadian koksidiosis dapat mengganggu kesehatan saluran pencernaan. Kesehatan saluran pencernaan (gut health) ternak sapi merupakan salah satu faktor penting dalam kelancaran proses absorpsi nutrisi pada saluran pencernaan sehingga kondisi pencernaan yang baik dapat meningkatkan performa sapi dalam bentuk peningkatan produksi daging dan susu. Gangguan kesehatan pencernaan umumnya terjadi pada pedet dari sejak lahir sampai masa sapih yang ditandai dengan terjadinya scours (tinja dengan tingkat kekeringan di bawah 10%) pada pedet yang baru lahir karena terjadinya interaksi satu atau lebih antara bakteri patogen, virus, protozoa saluran pencernaan, status imun pedet dan lingkungan. Agen-agen patogen seperti protozoa saluran pencernaan, virus dan bakteri tersebut berkolonisasi dan menyebar pada bagian distal dan proksimal usus besar dan dapat menyebabkan sekretori atau diare eksudativ karena rusaknya vili-vili usus (Marquez 2014). Faktor-faktor risiko yang berhubungan erat dengan tingginya prevalensi Eimeria adalah usia ternak, sistem pemberian pakan, sistem pemberian air minum, kondisi perkandangan, tipe lantai dan kepadatan populasi ternak (Rehman et al. 2011).

(16)

2

penampilan (performance) dan berakibat kerugian ekonomi yang cukup besar pada industri peternakan sapi (Daughschies dan Najdrowski 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pendugaan tingkat prevalensi kejadian koksidiosis pada sapi perah pada tingkat umur yang berbeda, komposisi spesies Eimeria, pengaruh jenis kelamin, umur ternak dan tipe alas kandang terhadap jumlah ookista Eimeria yang dikeluarkan pada sampel tinja serta melakukan pendugaan terhadap faktor risiko terhadap infeksi Eimeria pada sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Bandung. Informasi yang didapatkan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan Bandung serta memberikan gambaran epidemiologi dan faktor risiko sapi perah terhadap infeksi Eimeria.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Eimeria spp.

Eimeria spp. sebagai penyebab koksidiosis pada sapi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Soulsby 1986):

(17)

3 yang umum pada sapi (Levine 1990). Ookista dapat dilihat di bawah mikroskop pada perbesaran 100x, 400x dan 1000x untuk scaled microphotograph seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Ookista yang telah bersporulasi pada beberapa spesies Eimeria yang menginfeksi sapi. (a) Eimeria alabamensis; (b) Eimeria auburnensia; (c) Eimeria bovis; (d) Eimeria ellipsoidalis; (e) Eimeria subspherica; (f) Eimeria zuernii (perbesaran 1000x).

Sumber : Daugschies dan Najdrowski (2005). Tabel 1 Morfologi ookista spesies Eimeria pada sapi

No Spesies Panjang

(µm)

Lebar

(µm) Bentuk

1 Eimeria alabamensis 13-24 11-16 Ovoid/piriform/asimetri 2 Eimeria auburnensis 32-46 20-25 Ovoid /ellipsoid 3 Eimeria bovis 23-34 17-23 Ovoid/subellipsoidal 4 Eimeria brasiliensis 34-43 24-30 Ellipsoid

5 Eimeria bukidnonensis 47-50 33-38 Bentuk pir 6 Eimeria canadensis 28-37 20-27 Ovoid/ellipsoid 7 Eimeria cylindrica 16-27 12-15 Ellipsoid/subsilindris 8 Eimeria ellipsoidalis 20-26 13-17 Ellipsoid/silindris 9 Eimeria illinoisensis 24-29 19-22 Ellipsoid/ovoid 10 Eimeria pellita 36-41 26-30 Ovoid

11 Eimeria subspherica 9-14 8-13 Bundar/subspherical 12 Eimeria wyomingensis 37-45 26-31 Ovoid/bentuk pir 13 Eimeria zuernii 15-22 13-18 Subspherical/elliptik

Sumber : Daugschies dan Najdrowski (2005).

(18)

4

terdapat di dalam sel epitel vili yang berukuran 13 x 10 µ m dan mengandung 24-26 merozoit. Untuk makrogamon berukuran sekitar 14 x 11 µm dan mikrogamon berukuran sekitar 14 x 10 µ m yang memiliki habitat pada sel epitel vili usus. Selain itu, E. zuernii mempunyai periode prepaten selama 15-17 hari serta periode paten selama sekitar 11 hari dan bersifat sangat patogen yang menyebabkan koksidiosis pada musim dingin di negara dengan 4 (empat) musim (Levine 1990). Morfologi spesies Eimeria lainnya seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Siklus Hidup

Siklus hidup Eimeria dimulai dari tertelannya ookista dan sporozoit akan terlepas dari ookista di dalam usus inang. Selanjutnya sporozoit memasuki sel epitel usus dan mengalami fase perbanyakan (multiplikasi) yang disebut skizogoni dan terbentuk menjadi merozoit. Merozoit-merozoit ini kemudian menginvasi sel usus lainnya dan tahapan ini akan berulang dua atau tiga kali. Setelah mengalami tahapan fase aseksual, pada akhirnya merozoit-merozoit tersebut kembali menginvasi sel-sel epitel usus dan berkembang menjadi gametosit jantan dan betina.

.,

(19)

5 Nukleus dari mikrogamet (gametosit jantan) membagi diri menjadi banyak dan memproduksi mikrogamet yang memiliki flagela yang kemudian akan menuju ke makrogamet (gametosit betina) untuk menghasilkan zigot. Dinding kista atau bentuk ookista menyelubungi zigot yang nukleusnya akan membagi diri dua kali untuk menghasilkan empat sporokista. Setiap sporokista akan menghasilkan dua sporozoit sehingga pada stadium ookista infektif akan menghasilkan empat sporokista yang tiap sporokistanya mengandung dua sporozoit (Cox 1993). Gambar 2 diatas menunjukkan siklus hidup E. bovis.

Gejala Klinis Koksidiosis

Beberapa spesies Eimeria pada sapi menunjukkan kemampuan untuk menyebabkan gejala klinis yang berupa diare berair sampai diare berdarah, tingkat morbiditas yang tinggi dan bahkan tingkat mortalitas yang tinggi tergantung spesies Eimeria utama yang paling berperan dalam menginfeksi inang. Di lapangan, infeksi oleh lebih dari satu spesies Eimeria sering ditemukan walaupun pada beberapa kasus infeksi tunggal (monoinfeksi) oleh hanya satu spesies Eimeria juga kadang-kadang ditemukan (Himmelstjerna et al. 2005).

Koksidiosis merupakan self-limiting disease dan penyakit akan sembuh dengan sendirinya apabila proses reproduksi parasit di dalam usus telah selesai yang ditunjukkan dengan tidak ditemukan lagi ookista pada waktu keluar bersama tinja sapi. Sebagian besar Eimeria menginduksi inangnya dengan infeksi yang rendah sehingga menghasilkan kasus koksidiosis subklinis atau diare ringan. Infeksi oleh E. bovis dan E. zuernii dengan menggunakan ookista dalam jumlah besar menyebabkan diare berat dengan tinja yang mengandung darah, fibrin dan jaringan usus. Pedet yang terinfeksi oleh E. bovis dan E. zuernii ini menunjukkan gejala klinis berupa demam, sakit perut, kadang-kadang tenesmus dan anemia, dehidrasi, kelemahan, anoreksia, kehilangan berat badan dan bisa berakibat kematian (Daugschies dan Najdrowski 2005; Heidari et al. 2014).

Faktor Risiko Kejadian Koksidiosis

Berbagai faktor risiko dapat menyebabkan terjadinya infeksi Eimeria pada ternak sapi. Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab terjadinya koksidiosis sehingga pada peternakan sapi perah, sapi jantan umumnya lebih mudah terinfeksi Eimeria yang disebabkan karena kurangnya perawatan pada sapi jantan dibandingkan sapi betina. Sapi betina mendapatkan perawatan yang lebih intensif karena dimanfaatkan sebagai sapi perah (Dawid et al. 2012; Heidari dan Gharekhani 2014).

(20)

6

Perbedaan tipe alas kandang pada ternak sapi juga menjadi salah satu faktor risiko penyebaran koksidiosis (Bangoura et al. 2011). Lantai kandang dengan tipe alas semen memiliki tingkat kejadian prevalensi koksidiosis lebih rendah dibandingkan dengan alas kandang yang tidak menggunakan semen (Rehman et al. 2011). Alas kandang yang kurang dibersihkan dengan baik akan menyebabkan akumulasi tinja sapi pada lantai sehingga dapat meningkatkan penyebaran infeksi Eimeria (Daugschies dan Najdrowski 2005). Selain ketiga faktor tersebut, jenis ras sapi, cara pemberian pakan, tipe kandang, sumber air, tingkat kepadatan ternak dan kondisi tubuh ternak juga merupakan faktor-faktor risiko kejadian infeksi Eimeria pada ternak sapi (Rehman et al. 2011).

Epidemiologi

Eimeria merupakan parasit yang menyebar secara kosmopolitan di seluruh dunia. Oleh karena itu anak sapi (pedet) dapat terinfeksi beberapa saat setelah lahir sampai umur 3 bulan, sedangkan sapi dewasa umumnya akan terlindungi dari koksidiosis karena telah memiliki tingkat kekebalan (imunitas) yang cukup. Tingkat prevalensi dan tingkat infeksi yang menyebabkan tingkat patogenitasnya rendah ataupun tinggi dipengaruhi oleh faktor manajemen peternakan, area, iklim dan kelompok umur. Tingkat prevalensi penyakit berkisar antara 2% sampai 48% pada pedet di Jerman bagian utara, sedangkan di Belanda telah dilaporkan bahwa tingkat ookista yang keluar pada pedet sebesar 10-100% (Daugschies dan Najdrowski 2005; Davoudi et al. 2011).

Kondisi umum peternakan sangat berpengaruh terhadap risiko terjadinya kasus outbreak koksidiosis. Kasus klinis koksidiosis dapat ditemukan pada kondisi minimnya ventilasi yang berakibat kurangnya pergantian udara antara udara bersih dan udara kotor sehingga menyebabkan tingginya tingkat konsentrasi ammonia, CO2 dan kelembaban. Kasus subklinis koksidiosis pada peternakan sapi di Belanda juga dapat ditemukan pada status peternakan yang memilki tingkat sanitasi yang baik (Daugschies dan Najdrowski 2005; Bangoura et al. 2011).

Sapi yang mengeluarkan jutaan ookista pada tinja di dalam kandang yang tertutup setiap hari selama masa paten dapat meningkatkan penularan parasit dan juga meningkatkan tingkat reproduksi Eimeria. Ookista dapat bertahan di dalam kandang lebih dari satu tahun pada suhu 400C dan 8 bulan di dalam jerami yang disimpan. Kasus koksidiosis umumnya muncul 2-3 minggu setelah infeksi pada suatu lingkungan yang baru tercemar Eimeria (Lassen 2009).

(21)

7

Dampak Ekonomi Akibat Koksidiosis

Koksidiosis dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Estimasi biaya yang harus dikeluarkan untuk mengendalikan penyakit ini mencapai US$100 juta setiap tahun di Amerika Serikat (Mass 2007). Di seluruh dunia, biaya pengendalian koksidiosis yang menyerang sapi dan kerbau ini sekitar US$731 juta per tahun serta mendatangkan kerugian dalam industri peternakan mencapai US$400 juta/tahun. Selain itu. hewan ternak yang sembuh dari koksidiosis yang ganas menunjukkan keterlambatan pertumbuhan dan diperkirakan tidak akan pernah menjadi profitable (Daugschies dan Najdrowski 2005). Rendahnya body condition score (BCS) akibat koksidiosis menyebabkan rendahnya tingkat produksi susu (Lassen 2009).

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Januari 2015. Sampel tinja diambil dari peternakan sapi perah rakyat di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Bandung. Pemeriksaan sampel tinja dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Bandung untuk mengetahui tingkat prevalensi koksidiosis, derajat infeksi, spesies Eimeria pada sapi berdasarkan morfologi dan faktor-faktor risiko terkait kejadian koksidiosis. Satuan penarikan contoh dari penelitian ini adalah sapi perah.

Jumlah populasi sapi perah di KPBS Pangalengan adalah 14 000 ekor sapi yang tersebar di 37 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dan jumlah kelompok peternak sebanyak 225 peternak. Dengan menggunakan asumsi tingkat kepercayaan sebesar 95%, prevalensi dugaan (p) sebesar 50%, dan tingkat kesalahan (L) sebesar 5%, maka didapatkan ukuran contoh (n) sebesar 400 sampel. Rumus ukuran contoh untuk menduga prevalensi penyakit adalah (Thrusfield 2007):

Keterangan :

: ukuran contoh : prevalensi dugaan

:

(22)

8

Peternak sampel di dalam penelitian ini adalah peternak sapi perah yang memiliki komposisi umur yang lengkap, yaitu memiliki sapi dewasa (lebih dari 12 bulan), anak (6-12 bulan) dan pedet (0-6 bulan). Dari 225 kelompok ternak, dipilih 10 kelompok peternak yang terbanyak memiliki peternak yang memenuhi kriteria tersebut dan selanjutnya dipilih 80 peternak secara acak pada setiap kelompok. Pada setiap peternak diambil sebanyak 5 ekor sapi sebagai sampel dengan ketentuan bahwa seluruh pedet diambil sebagai sampel, sedangkan sisanya adalah sampel anak sapi dan sapi dewasa.

Sampel tinja harus diambil secara langsung dari rektum sapi (perektal) (Zajac dan Conboy 2012). Dalam pengambilan sampel perlu diperhatikan bentuk konsistensi tinjanya (Cahyaningsih dan Supriyanto 2007). Sampel tersebut diidentifikasi berdasarkan tanggal pengambilan, nama peternak, umur, jenis kelamin, dan nomor ternak. Sampel tinja dimasukan ke dalam cool box selama perjalanan dan disimpan di dalam pendingin pada suhu 4-6 °C sampai tinja tersebut akan dilakukan pemeriksaan.

Pada setiap sampel diambil tinja dan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur. Kuisioner terbagi dua yaitu untuk peternak dan individu ternak. Data yang diambil dari peternak meliputi manajemen peternakan dan status kesehatan ternak.

Alat dan Bahan

Sampel tinja segar dari sapi perah diambil dari peternakan sapi perah di wilayah kerja KPBS Pengalengan. Volume sampel tinja yang diambil sebesar 20-50 gram dari masing-masing tingkatan umur yang berbeda. Kemudian sampel tinja disimpan pada suhu 4°C sampai dilakukan pemeriksaan di laboratorium. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini diantaranya sentrifuse, mikroskop, kamar hitung McMaster dan alat penunjang laboratorium lainnya yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium. Bahan (media) yang digunakan pada penelitian ini adalah aquades dan larutan pengapung gula garam jenuh (Zajac dan Conboy 2012).

Identifikasi Spesies Eimeria

Metode yang digunakan untuk identifikasi berdasarkan ukuran (panjang dan lebar) ookista dengan menggunakan mikrometer okuler yang dipasang pada lensa okuler dari mikroskop dengan pembesaran 10 dan 40 kali dari lensa obyektif mikroskop. Pengelompokan spesies Eimeria dilakukan berdasarkan karakteristik morfologis dari ookista Eimeria (ukuran, bentuk, warna, tekstur dinding ookista serta keberadaan mikropil dan polar cap) (Rind et al. 2000), sedangkan pengukuran nilai indeks ookista dengan metode ukuran panjang dibagi ukuran lebar.

(23)

9 Supriyanto 2007). Hasil pengamatan yang didapatkan kemudian dibandingkan dengan referensi. Referensi yang digunakan untuk identifikasi Eimeria adalah Soulsby (1986) dan Daugschies dan Najdrowski (2005).

Penghitungan Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT)

Metode McMaster adalah metode pemeriksaan dan penghitungan ookista tiap gram tinja (OTGT) pada satu individu ternak. Penghitungan metode McMaster dilakukan dengan menimbang tinja sebanyak 2 gram, selanjutnya dilarutkan ke dalam larutan gula garam sebanyak 28 ml dan dihomogenkan. Kemudian hasil yang telah homogen tersebut diambil dengan menggunakan pipet dan dimasukan ke dalam kamar hitung McMaster, selanjutnya didiamkan selama 5 menit dan dihitung. Adapun rumus yang digunakan dengan kamar hitung McMaster yaitu sebagai berikut (Zajac dan Conboy 2012):

Keterangan :

: Jumlah ookista terhitung

: Volume tinja

: Volume larutan pengapung

: Volume kamar hitung (McMaster)

Analisis Data

Jumlah OTGT tidak menyebar normal sehingga data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney untuk peubah penjelas yang memiliki 2 kategorik dan uji Kruskal-Wallis untuk peubah penjelas yang memiliki lebih dari 2 kategorik yang dilanjutkan dengan uji Dunn sebagai uji perbandingan berganda, sedangkan faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian koksidiosis dianalisis dengan menggunakan uji khi-kuadrat dan model regresi logistik berganda.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

(24)

10

melaporkan bahwa unsur-unsur iklim mikro seperti suhu, kelembaban udara, radiasi, kecepatan angin, evaporasi dan curah hujan mempengaruhi produktivitas sapi perah yang juga dapat menjadi penyebab meningkatnya prevalensi koksidiosis pada sapi.

Prevalensi Kejadian Koksidiosis

Koksidiosis pada ternak sapi dilaporkan telah menyebar di seluruh dunia (Alemayehu et al. 2013), sedangkan penelitian tentang koksidiosis pada sapi yang berhubungan dengan prevalensi dan faktor-faktor risiko penyebab koksidiosis di Indonesia belum banyak dilaporkan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada beberapa kelompok umur sapi, prevalensi dan rata-rata jumlah ookista Eimeria tertinggi terjadi pada pedet berumur kurang dari 6 bulan masing-masing sebesar 67.3% (Selang Kepercayaan (SK) 95%; 60.8-73.9) dan 537.0 otgt (ookista tiap gram tinja) (SK 95%; 231.8-842.2), sedangkan prevalensi dan rata-rata jumlah ookista terendah ditunjukkan oleh sapi berumur lebih dari 12 bulan sebesar 16.8% (SK 95%; 11.1-22.4) dan 22.5 otgt (SK 95%; 11.0-33.9) (Tabel 2). Peternak masih mencampurkan antara pedet dengan sapi yang berumur lebih dewasa dalam satu kandang di KPBS Pangalengan sehingga tingkat prevalensi dan rata-rata jumlah OTGT yang tinggi terjadi pada pedet berumur kurang dari 6 bulan (Gambar 3).

Gambar 3 Pedet dicampur dalam satu kandang dengan sapi yang lebih dewasa di KPBS Pangalengan

(25)

11 Prevalensi yang lebih tinggi pada pedet dibandingkan dengan sapi yang lebih dewasa juga telah dilaporkan oleh Abebe et al. (2008), Priti et al. (2008) serta Heidari dan Gharekhani (2014) yang menyatakan bahwa faktor umur sapi sangat berhubungan dengan tingginya tingkat infeksi Eimeria pada sapi. Sementara itu, Heidari et al. (2014) menyatakan bahwa pedet lebih rentan terinfeksi Eimeria karena tingkat imunitasnya yang masih rendah atau pedet tertular dari sapi yang lebih dewasa apabila dicampurkan dalam satu kandang. Pada sapi dewasa, paparan infeksi Eimeria sebelumnya telah meningkatkan berkembangnya sistem imunitas pada sapi tersebut secara sempurna sehingga sapi dewasa lebih resisten apabila terjadi reinfeksi.

Tabel 2 Prevalensi koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan berdasarkan kelompok umur

Prevalensi total 400 179 44.8 (40.0-49.6) 286.8 (135.7-437.8)

Pada pengukuran tingkat prevalensi total terhadap infeksi Eimeria pada ternak sapi perah di KPBS Pangalengan, Bandung menunjukkan hasil sebanyak 179 (44.8%; SK 95%: 40.0-49.6) dari 400 sampel tinja yang telah diamati dan diidentifikasi dengan rata-rata jumlah ookista total sebesar 286.8 otgt (SK 95%; 135.7-437.8) (Tabel 2). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat prevalensi koksidiosis pada sapi yang telah dilaporkan di Indonesia, yaitu di kabupaten Karanganyar (Istiyani 2013), kabupaten Wonogiri (Ardianto 2013) dan kabupaten Sragen (Nanditya 2014) dengan prevalensi masing-masing sebesar 38.7%, 43.24% dan 38.78%, akan tetapi prevalensi dari penelitian ini lebih rendah daripada penelitian yang telah dilakukan di kabupaten Boyolali dengan prevalensi sebesar 48.2% (Wicaksana 2013). Perbedaan prevalensi ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan kondisi iklim, manajemen peternakan, jenis ras sapi dan agroekologi suatu daerah (Yu et al. 2011; Dong et al. 2012).

Identifikasi dan Komposisi Spesies Eimera

Total sebanyak 10 spesies Eimeria (E. bovis, E. wyomingensis, E. bukidnonensis, E. pellita, E. auburnensis, E. zuernii, E. cylindrica, E. canadensis, E. brasiliensis dan E. alabamensis dapat diidentifikasi dari sampel tinja sapi yang diperiksa berdasarkan ukuran panjang, lebar, indeks dan karakteristik ookista Eimeria lainnya (Tabel 3) berdasarkan referensi yang digunakan (Tabel 4), sedangkan untuk gambaran hasil pengamatan di bawah mikroskop terhadap ukuran panjang, lebar dan karakteristik ookista Eimeria dalam sampel tinja sapi perah di KPBS Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 4.

(26)

12

patogenitas rendah (E. ellipsoidalis, E. alabamensis, E auburnensis dan E. subspherica) dan non-patogen (E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E. pellita dan E. wyomingensis).

Pada komposisi spesies Eimeria, prevalensi dan rata-rata jumlah ookista tertinggi ditunjukkan oleh Eimeria bovis masing-masing sebesar 42.5% (SK 95%; 37.1-47.8) dan 538.2 otgt (SK 95%; 191.5-884.8), selanjutnya yang memiliki tingkat prevalensi tertinggi kedua dan ketiga dengan rata-rata jumlah ookistanya adalah E. wyomingensis (39.1%; SK 95%: 33.8-44.4 dan 285.0 otgt; SK 95%: 136.0-434.0) dan E. bukidnonensis (32.4%; SK 95%: 27.3-37.5 dan 237.1 otgt; SK 95%: 128.3-345.9). Sementara itu, rata-rata jumlah ookista tertinggi yang kedua ditunjukkan oleh Eimeria zuernii sebesar 509.7 otgt (SK 95%; 46.1-973.3), sedangkan Eimeria alabamensis menunjukkan hasil prevalensi dan rata-rata jumlah ookista terendah masing-masing sebesar 1.1% (SK 95%; 0.0-2.3) dan 75.0 otgt (SK 95%; 0.0-392.7) (Tabel 5).

Gambar 4 Hasil identifikasi ookista pada beberapa spesies Eimeria yang menginfeksi sapi perah di KPBS Pangalengan. (a) Eimeria bovis; (b) Eimeria wyomingensis; (c) Eimeria bukidnonensis; (d) Eimeria pellita; (e) Eimeria auburnensis; (f) Eimeria zuernii; (g) Eimeria cylindrica; (h) Eimeria canadensis; (i) Eimeria brasiliensis; (j) Eimeria alabamensis.

10 µm

10 µm 10 µm

10 µm x400

(a) (b)

(c)

(d) 10 µm (e)

10 µm (f) 10 µm (g)

10 µm (h) 10 µm

(i)

(27)

13 Tabel 3 Hasil pengamatan panjang, lebar, indeks dan karakteristik ookista Eimeria pada sampel tinja sapi perah di KPBS Pangalengan

Panjang (µm) Lebar (µm) Indeks Bentuk Warna Karakteristik lainnya Jenis Eimeria spp.

26.25-33.00 18.75-22.50 1.17-1.48

Ovoid Coklat kehijauan Dinding dua lapis, mikropil E. bovis

*29.77±1.37 *21.58±0.73 *1.38±0.05

37.50-43.50 26.25-30.75 1.22-1.49

Ovoid Coklat kehijauan Dinding satu lapis, mikropil E. wyomingensis

*42.67±2.04 *29.58±1.20 *1.44±0.04

47.25-49.50 33.75-37.50 1.26-1.47

Ovoid Coklat kekuningan Dinding dua lapis, mikropil E. bukidnonensis

*48.70±0.68 *35.72±1.88 *1.37±0.08

36.00-37.50 26.25-29.25 1.26-1.37

Ovoid Coklat tua Dinding tebal, mikropil E. pellita

*37.43±0.28 *29.16±0.51 *1.28±0.02

37.50-45.75 22.50 1.67-2.03

Elips Coklat kekuningan Dinding dua lapis, mikropil E. auburnensis

*38.74±2.73 *22.50±0.00 *1.72±0.12

15.75-20.25 15.00-17.25 1.05-1.35

Ovoid Kuning pucat Dinding tipis, tidak ada

mikropil E. zuernii

*19.87±1.19 *16.65±1.01 *1.20±0.08

25.50-27.00 15.00 1.70-1.80

Elips Kuning pucat Dinding satu lapis, tidak ada

mikropil E. cylindrica

*25.93±0.73 *15.00±0.00 *1.73±0.05

30.00-33.75 25.50-26.25 1.14-1.32

Ovoid Kekuningan Dinding dua lapis, mikropil E. canadensis

*30.42±1.25 *26.00±0.38 *1.17±0.06

41.25-42.75 25.50-26.25 1.60-1.63

Elips Kuning kecoklatan Dinding dua lapis, mikropil E. brasiliensis

*41.50±0.53 *25.67±0.33 *1.62±0.007

15.00-18.75 11.25-15.00 1.25-1.33

Ovoid Kuning pucat Dinding halus, tidak ada

mikropil E. alabamensis

*16.88±2.65 *13.13±2.65 *1.29±0.06

Keterangan : * rata-rata; ± standar deviasi

(28)

14

Tabel 4 Pengamatan panjang, lebar, indeks dan karakteristik ookista Eimeria menurut referensi

Spesies

Menurut Soulsby (1986) Menurut Daugschies dan Najdrowski (2005)

Panjang

E. wyomingensis 37-44.9 26.4-30.8 1.40-1.46 Ovoidal Coklat

kehijauan Mikropil 37-45 26-31 1.42-1.45 Ovoid

Coklat

36.1-40.9 26.5-30.2 1.35-1.36 Bentuk

telur Coklat tua

E. brasiliensis 34.2-42.7 24.2-29.9 1.64-1.65 Elips Kuning

(29)

15 Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa E. bovis merupakan spesies Eimeria yang memiliki prevalensi tertinggi pada ternak sapi, namun demikian tidak ditemukan gejala klinis baik pada pedet maupun sapi dewasa (Kennedy dan Kralka, 1987; Lucas et al. 2006; Heidari dan Gharekhani, 2014). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan ini bahwa tidak ditemukan gejala klinis yang signifikan pada ternak sapi yang diamati. Menurut Waruiru et al. (2000) bahwa keberadaan Eimeria spp. yang bersifat patogen tidak selalu berhubungan dengan timbulnya gejala klinis pada sapi.

Penelitian-penelitian sebelumnya juga telah melakukan identifikasi terhadap spesies dan komposisi Eimeria yang dilaporkan oleh Arslan dan Tuzer (1998), Lucas et al. (2006), Rind et al. (2007) dan Abebe et al. (2008) yang menunjukkan bahwa E. bovis merupakan spesies koksidia yang memiliki tingkat prevalensi yang paling tinggi diantara spesies lainnya. Menurut Daugschies dan Najdrowski (2005) bahwa E. bovis bersama dengan E. zuernii merupakan dua spesies yang bersifat paling patogen dengan gejala klinis berupa diare berdarah, demam, kesakitan pada bagian perut, tenesmus, anemia, dehidrasi, kelemahan, anoreksia, kehilangan berat badan dan dapat berakibat kematian. Selain itu, E. alabamensis juga dapat menyebabkan gejala klinis berupa diare berair tanpa darah, dehidrasi, depresi dan pertumbuhan yang lambat apabila menginfeksi dengan jumlah dosis ookista yang besar (lebih dari 10 juta ookista).

Tabel 5 Komposisi, prevalensi dan rata-rata jumlah OTGT tiap spesies Eimeria pada sapi perah di KPBS Pangalengan

Spesies

Jumlah ternak (n = 179)

Rata-rata OTGT (SK 95%) Jumlah hasil

positif Prevalensi (%) (SK 95%)

Eimeria bovis 76 42.5 (37.1-47.8) 538.2 (191.5-884.8)

Eimeria wyomingensis 70 39.1 (33.8-44.4) 285.0 (136.0-434.0)

Eimeria bukidnonensis 58 32.4 (27.3-37.5) 237.1 (128.3-345.9)

Eimeria pellita 47 26.3 (21.5-31.1) 177.7 (124.7-230.7)

Eimeria auburnensis 35 19.6 (15.2-23.9) 397.1 (0.0-820.9)

Eimeria zuernii 31 17.3 (13.2-21.4) 509.7 (46.1-973.3)

Eimeria cylindrica 7 3.9 (1.8-6.02) 78.6 (42.2-115.0)

Eimeria canadensis 7 3.9 (1.8-6.02) 121.4 (51.5-191.3)

Eimeria brasiliensis 6 3.4 (1.4-5.3) 125.0 (45.4-204.6)

Eimeria alabamensis 2 1.1 (0.0-2.3) 75.0 (0.0-392.7)

Infeksi Campuran Eimeria

(30)

16

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilaporkan oleh Kennedy dan Kralka (1987) tentang identifikasi infeksi campuran sebanyak 2 hingga 5 spesies di Kanada. Hasil pengamatan infeksi campuran spesies Eimeria ini lebih rendah dibandingkan dengan laporan dari Arslan dan Tuzer (1998) bahwa telah terjadi infeksi campuran Eimeria antara 2 hingga 6 spesies di Turki dan juga menurut Abebe et al. (2008) di Ethiopia bahwa terjadi infeksi campuran spesies Eimeria sebanyak 2 hingga 7 spesies, sedangkan menurut Yu et al. (2011) dan Dong et al. (2012) bahwa terjadi infeksi campuran spesies Eimeria masing-masing sebanyak 2 hingga 10 spesies dan 2 hingga 8 spesies di Cina. Berbagai penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa pada kondisi alami, infeksi spesies campuran lebih umum ditemukan daripada infeksi spesies tunggal (Nyberg et al. 1967; Himmelstjerna et al. 2005; Yu et al. 2011; Dong et al. 2012). Tingkat patogenitas spesies Eimeria dapat meningkat lebih tinggi apabila terjadi infeksi campuran dengan spesies Eimeria patogen lainnya dan dapat mengakibatkan kematian pada ternak sapi (Daughschies dan Najdrowski 2005).

Pengaruh antara Jenis Kelamin, Umur Ternak dan Tipe Alas Kandang terhadap Jumlah OTGT Eimeria

Pengaruh antara jenis kelamin, umur ternak dan tipe alas kandang terhadap jumlah OTGT dianalisis dengan menggunakan uji Mann-Whitney apabila terdapat 2 kelompok variabel yang dibandingkan, sedangkan uji Kruskal-Wallis digunakan untuk membandingkan antara jumlah OTGT dengan 3 atau lebih kelompok variabel yang dilanjutkan dengan uji Dunn sebagai uji perbandingan berganda. Nilai P kurang dari 0.05 menunjukkan pengaruh yang signifikan (Tabel 7).

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan (P = 0.000) antara jenis kelamin ternak yang berbeda dengan tingkat keparahan infeksi Eimeria yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah OTGT yang menginfeksi sapi. Pada studi ini menunjukkan bahwa sapi jantan memiliki rata-rata jumlah ookista yang lebih tinggi sebesar 855.6 otgt (SK 95%; 150.9-1 560.4) dibandingkan dengan rata-rata jumlah ookista sapi betina yang sebesar 144.5 otgt (SK 95%; 77.7-211.4). Rata-rata jumlah OTGT sapi jantan yang tinggi disebabkan karena pada sapi jantan lebih jarang dimandikan dan dibersihkan kandangnya dibandingkan dengan sapi betina sehingga paparan dan tingkat keparahan Eimeria pada sapi jantan lebih banyak jumlahnya. Sementara itu, pada sapi betina, sapi

Tabel 6 Infeksi tunggal dan campuran dari spesies Eimeria

Jumlah spesies Eimeria

Jumlah ternak (n = 179)

Frekuensi Persentase (%) (SK 95%)

(31)

17 lebih sering dimandikan dan dibersihkan kandangnya oleh peternak terutama pada saat sebelum pemerahan susu untuk menjaga tingkat higienitas susunya pada sapi betina dewasa, sedangkan pada sapi betina yang berumur lebih muda, tingkat kebersihan ternak dan kandang juga dijaga dengan baik oleh peternak di KPBS Pangalengan untuk meningkatkan penampilan dan kesehatan ternak sebagai calon generasi sapi perah berikutnya sehingga sapi betina memiliki rata-rata jumlah OTGT yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi jantan.

Tabel 7 Hasil analisis uji Mann-Whitney dan Kruskal-Wallis yang dilanjutkan

dengan uji Dunn dari jumlah OTGT sapi perah di KPBS Pangalengan

Variabel Jumlah ternak (n) Rata-rata OTGT (SK 95%) P

Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama pada masing-masing variabel menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05); (*) terdapat pengaruh yang signifikan pada P<0.05.

(32)

18

menggunakan uji Dunn menunjukkan bahwa antara sapi dewasa dengan anak sapi serta pedet masing-masing menunjukkan pengaruh yang signifikan (P<0.05) terhadap jumlah OTGT Eimeria yang menginfeksi sapi, sedangkan antara anak sapi dengan pedet menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan (P>0.05) terhadap jumlah OTGT Eimeria yang menginfeksi sapi (Tabel 7).

Berbagai umur ternak yang berbeda merupakan faktor utama penyebaran koksidiosis pada sapi dengan tingkat morbiditas dan risiko infeksi yang lebih tinggi pada pedet dibandingkan dengan sapi yang lebih dewasa (Abebe et al. 2008). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Waruiru et al. (2000) di Kenya dan Dong et al. (2012) di Shanghai, China bahwa jumlah OTGT Eimeria yang keluar pada pedet lebih tinggi secara signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan sapi dewasa. Koksidiosis merupakan self-limiting disease dan penyakit ini akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan yang spesifik apabila tahapan perbanyakan (multiplikasi) dari Eimeria telah selesai. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan level imunitas yang cukup tinggi karena paparan infeksi Eimeria sebelumnya pada sapi yang lebih dewasa dibandingkan dengan pedet yang belum pernah mendapatkan paparan infeksi Eimeria sebelumnya (Dong et al. 2012; Heidari et al. 2014; Kocis et al. 2015). Selain itu, menurut Bruhn et al. (2011) bahwa faktor manajemen juga berhubungan dengan tingginya tingkat kerentanan pedet terhadap tingkat keparahan infeksi Eimeria.

Anak sapi yang berumur 6 sampai 12 bulan mengeluarkan jumlah ookista sebesar 154.1 otgt (SK 95%; 79.8-228.3). Jumlah OTGT ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah OTGT pada pedet yang berumur kurang dari 6 bulan (P>0.05). Hasil dari jumlah ookista Eimeria pada pedet dan anak sapi ini sesuai dengan laporan dari Bruhn et al. (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) pada jumlah TTGT dan OTGT antara pedet pada sebelum dan sesudah masa sapih.

(33)

19 Jumlah ookista Eimeria pada sapi dewasa yang berumur lebih dari 12 bulan di KPBS Pangalengan mencapai 22.5 otgt (SK 95%; 11.0-33.9). Pada sapi dewasa. jumlah OTGT menunjukkan jumlah yang paling rendah dibandingkan dengan jumlah OTGT pada pedet dan anak sapi (P<0.05). Meskipun dengan jumlah OTGT yang kecil, infeksi Eimeria pada sapi dewasa dapat mempengaruhi produktivitas sapi dewasa dalam menghasilkan susu. Pada sapi dewasa, umumnya memiliki tingkat keparahan akibat infeksi Eimeria yang lebih rendah dengan jumlah OTGT yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi muda karena pada sapi dewasa telah terbentuk sistem imunitas yang stabil dan dapat melindungi ternak dari koksidiosis (Mundt et al. 2003). Efisiensi dari imunitas ini dalam melindungi penyakit pada sapi dewasa dapat mengalami penurunan yang disebabkan oleh kondisi dan lingkungan yang kurang sesuai seperti perjalanan yang panjang, malnutrisi, terlalu banyak ternak yang dikumpulkan dalam satu kandang, pengaruh iklim serta tingkat sanitasi yang rendah. Selain itu, perubahan manajemen peternakan juga menyebabkan ternak mengalami stres yang dapat melemahkan respon imun sapi terhadap penyakit sehingga Eimeria juga dapat berkembang secara sporadis pada sapi dewasa (Mundt et al. 2007).

Terdapat pengaruh yang signifikan (P<0.05) pada variabel berbagai tipe alas kandang yang berbeda dengan jumlah OTGT yang dikeluarkan pada tinja sapi di KPBS Pangalengan. Alas jerami dengan rata-rata jumlah ookista sebesar 53.9 otgt (SK 95%; 0.0-162.4) memiliki pengaruh yang berbeda nyata lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan alas kayu (703.6 otgt; SK 95%: 0.0-1 450.2) dan alas karet (405.7 otgt; SK 95%: 116.9-694.6). Namun demikian, alas jerami memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan alas semen (116.7 otgt; SK 95%: 52.4-181.1). Selain itu, alas kayu juga memiliki pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan alas karet (P>0.05), namun memiliki pengaruh yang berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan alas semen (P<0.05). Tipe alas kandang yang berupa alas karet memiliki pengaruh yang berbeda nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan alas semen (Tabel 7). Hasil ini sesuai dengan laporan Bangoura et al. (2011) bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara statistik (P<0.05) antara jumlah ookista E. zuerni dengan berbagai macam tipe alas kandang yang berbeda.

Tipe alas kandang sangat berpengaruh dengan tingkat produksi ookista Eimeria. Pada studi ini, alas kayu dan alas karet memiliki rata-rata jumlah OTGT lebih tinggi dibandingkan dengan tipe alas kandang lainnya. Jumlah ookista yang bercampur dengan tinja pada celah-celah kayu dan karet menjadi lebih tinggi apabila alas kayu dan alas karet tidak disikat dan dibersihkan dengan benar. Sementara itu, pada alas jerami dan alas semen memiliki rata-rata jumlah OTGT lebih rendah dibandingkan dengan alas kayu dan alas karet karena alas jerami yang umumnya dipakai oleh pedet lebih sering dibersihkan dan diganti dengan jerami yang baru sehingga mencegah tingginya jumlah ookista yang mengkontaminasi jerami, sedangkan alas semen lebih mudah untuk dibersihkan dan didesinfeksi karena memiliki permukaan yang lebih rata sehingga jumlah ookista yang menjadi infektif atau bersporulasi menjadi lebih sedikit (Gambar 5).

(34)

20

satu faktor penting yang dapat mencegah tingginya jumlah ookista Eimeria pada alas kandang (Bangoura et al. 2011; Rehman et al. 2011).

Gambar 5 Alas kandang ternak yang tidak dibersihkan secara benar dapat meninggalkan akumulasi tinja yang mengandung ookista Eimeria pada celah-celah lantai kandang. A. Tipe alas kandang kayu; B. Tipe alas kandang karet; C. Alas jerami yang umum digunakan hingga pedet berumur sekitar 1 bulan untuk menghangatkan badan pedet; D. Alas semen lebih mudah dibersihkan dibandingkan dengan alas non-semen sehingga mengurangi infeksi Eimeria dari lingkungan.

A

B

C

(35)

21 Kondisi suhu, kelembaban, konsentrasi ammonia dan derajat keasaman (pH) pada lantai kandang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup (survival) dari ookista (Gulliksen et al. 2009; Bangoura et al. 2011). Gejala klinis koksidiosis pada ternak sapi dapat muncul pada kandang dengan aliran pergantian udara (aerasi) yang kurang baik sehingga menyebabkan tingginya konsentrasi ammonia, CO2 dan kelembaban pada kandang ternak tersebut atau kejadian outbreaks koksidiosis juga dapat terjadi pada kandang dengan akumulasi tinja di bagian lantainya yang kurang dibersihkan dengan baik (Daugschies dan Najdrowski 2005).

Kejadian prevalensi Eimeria pada ternak sapi yang sehat atau tidak menimbulkan gejala klinis yang signifikan menunjukkan bahwa sapi yang sehat dapat berperan sebagai reservoir dari penyebaran Eimeria (Almeida et al. 2011). Pada kondisi pemeliharaan ternak secara intensif seperti yang umum diaplikasikam pada peternakan sapi perah dengan tingkat kepadatan populasi yang tinggi, penyebaran penyakit terjadi lebih cepat dan ookista dapat ditemukan dengan mudah pada lingkungan. Hal ini menyebabkan kasus koksidiosis terjadi lebih sering pada sapi perah yang dapat menimbulkan kerugian secara ekonomi dan penampilan ternak (Bruhn et al. 2011). Pada kondisi alami di lapangan, ternak sapi dalam satu kelompok kemungkinan terinfeksi Eimeria dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan.

Selain itu, ookista yang dikeluarkan secara terus menerus oleh pedet yang terinfeksi Eimeria dengan gejala subklinis dapat mengkontaminasi lingkungan atau pada rambut badan sapi sehingga menyebabkan penularan infeksi coccidiosis pada pedet yang baru datang dalam area kandang yang sama (Abebe et al. 2008; Alemayehu et al. 2013). Perbedaan kondisi higienitas, manajemen kandang, pembibitan sapi, desain penelitian, metode, iklim dan perbedaan daerah geografis menyebabkan terjadinya perbedaan hasil penelitian (Yu et al. 2011).

Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Koksidiosis

Data yang diperoleh dari kuisioner dan identifikasi Eimeria pada sampel tinja sapi di laboratorium kemudian diuji dengan analisis regresi logistik berganda. Adapun untuk pemilihan kandidat variabel, seluruh variabel diuji dengan analisis khi-kuadrat dengan kandidat terpilih yang memenuhi syarat P<0.25 (Tabel 8). Dari hasil analisis regresi logistik berganda, terdapat tiga variabel yang terpilih yaitu umur ternak, jenis pengobatan dan tipe alas kandang. Variabel-variabel tersebut kemudian diidentifikasi tingkat hubungan signifikasinya terhadap status kejadian koksidiosis dengan model regresi logistik berganda.

(36)

22

(Tabel 9). Hasil ini sesuai dengan laporan Dawid et al. (2012) bahwa terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) terhadap prevalensi koksidiosis diantara berbagai kategori umur sapi. Infeksi Eimeria pada sapi perah telah menyebar di seluruh dunia dan umumnya menginfeksi pedet yang berumur kurang dari 1 tahun sehingga prevalensi koksidiosis yang tinggi lebih umum terjadi pada pedet dibandingkan dengan sapi yang berumur lebih dewasa.

Tabel 8 Analisis khi-kuadrat terhadap faktor risiko koksidiosis

Faktor Risiko Variabel

Keterangan : (*) kandidat variabel risiko koksidiosis pada P<0.25

Siklus hidup Eimeria secara langsung menimbulkan infeksi yang konstan terhadap hewan yang rentan seperti ternak sapi yang berumur lebih muda (Vivas et al. 1996; Bruhn et al. 2011). Menurut Davoudi et al. (2011) menyatakan bahwa seluruh kelompok umur sapi rentan terinfeksi Eimeria, tetapi prevalensi koksidiosis pada pedet berumur kurang dari 1 tahun lebih umum terjadi dibandingkan dengan sapi berumur lebih dari 1 tahun. Manajemen peternakan yang masih bersifat tradisional dengan sanitasi yang buruk menyebabkan ternak sapi terutama pedet lebih mudah terpapar Eimeria pada umur yang lebih dini karena tingkat imunitasnya yang masih rendah.

(37)

23 obat tradisional, anthelmintik dan lain-lain) dengan pengobatan menggunakan antibiotik terhadap kejadian koksidiosis. Setelah dilakukan analisis yang mendalam terhadap variabel-variabel lain yang diduga berhubungan dengan variabel jenis pengobatan dan prevalensi kejadian koksidiosis menunjukkan bahwa gejala-gejala klinis pada sapi perah yang berupa demam, diare, anoreksia, kelemahan, anemia dan kehilangan berat badan memiliki kemungkinan adanya hubungan dengan jenis pengobatan yang digunakan dan kejadian koksidiosis.

Para peternak ataupun petugas kesehatan hewan umumnya akan segera mengobati ternak sapi dengan berbagai macam jenis obat seperti vitamin, obat tradisional, anthelmintik dan lain-lain apabila sapi menderita demam, diare, anoreksia, kelemahan, anemia dan kehilangan berat badan sehingga hubungan antara penggunaan jenis pengobatan lain-lain dengan kejadian koksidiosis bukan merupakan hubungan kausal, akan tetapi menghasilkan hubungan signifikan yang palsu karena pengaruh confounding dari gejala-gejala klinis tersebut pada sapi. Hal ini disebabkan karena baik gejala-gejala klinis tersebut maupun pengobatan lain-lain berhubungan dengan kejadian koksidiosis (Gambar 6).

Tabel 9 Analisis regresi logistik berganda faktor risiko koksidiosis

Faktor Risiko Variabel OR (SK 95%) P

Umur Ternak < 6 bulan 10.3 (5.9-17.6) 0.000*

6-12 bulan 5.4 (2.4-12.0) 0.000*

> 12 bulan Referensi

Pengobatan Tidak diobati 2.2 (0.7-7.1) 0.191

Lain-lain 7.4 (1.3-43.5) 0.027*

Keterangan: (*) terdapat hubungan yang signifikan pada P<0.05

Pada variabel jenis pengobatan yang diamati menunjukkan hasil adanya confounding factors (faktor perancu) diantara variabel yang dianalisis. Menurut Thrusfield (2007) bahwa confounding (Latin: confudere = perancu) merupakan pengaruh dari variabel luar yang dapat mempengaruhi sebagian atau seluruh hubungan antara variabel. Confounding dapat menghasilkan hubungan yang palsu diantara variabel yang diteliti atau dapat menyembunyikan hubungan antar variabel yang sebenarnya. Variabel yang bersifat confounds disebut variabel confounding atau confounder.

(38)

24

dengan semen. Adapun tipe alas kandang dengan karet memiliki kecenderungan untuk terinfeksi 4.0 kali lebih besar (SK 95%; 2.2-7.2) dibandingkan dengan tipe alas kandang dengan semen (Tabel 9). Hasil ini sesuai dengan laporan dari Rehman et al. (2011) bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (P<0.05) antara tipe alas kandang dengan infeksi Eimeria pada sapi. Di KPBS Pangalengan, pedet berumur 0 sampai 1 bulan umumnya diletakkan pada alas kandang dari jerami yang bertujuan untuk menghangatkan badan pedet. Kemudian setelah pedet berumur lebih dari 1 bulan, alas kandang diganti dengan tipe semen, karet ataupun kayu sampai sapi berunur dewasa sehingga alas jerami ini hanya digunakan sementara untuk pedet.

Gambar 6 Gejala klinis (demam, diare, anoreksia, kelemahan, anemia dan kehilangan berat badan) dalam hubungannya dengan kejadian koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan dan jenis

pengobatan lain-lain (vitamin, obat tradisional, anthelmintik, dll). - Hubungan sesungguhnya; Hubungan palsu.

Menurut Bangoura et al. (2011) dan Rehman et al. (2011) bahwa tipe alas kandang memiliki pengaruh yang penting terhadap tingkat frekuensi keluarnya ookista pada lingkungan. Tingkat kejadian prevalensi koksidiosis pada sapi lebih tinggi pada alas kandang tanpa semen dibandingkan dengan alas kandang dengan menggunakan semen karena alas kandang dengan semen lebih mudah dibersihkan daripada alas kandang tanpa semen sehingga mengurangi kemungkinan terinfeksi Eimeria dari lingkungan.

Tabel 7 menunjukkan pengaruh variabel jenis kelamin, umur ternak dan tipe alas kandang terhadap rata-rata jumlah OTGT yang dikeluarkan oleh ternak sapi perah. Beberapa faktor kategorik seperti sapi dengan jenis kelamin jantan, pedet berumur kurang dari 6 bulan, anak sapi berumur 6 hingga 12 bulan, tipe alas kayu dan tipe alas karet merupakan faktor kategorik utama yang mempengaruhi tingginya rata-rata jumlah OTGT pada sampel tinja sapi. Adapun pada Tabel 9 menunjukkan berbagai faktor risiko seperti umur ternak dan tipe alas kandang yang berhubungan dengan kejadian koksidiosis pada ternak sapi perah. Pedet berumur kurang dari 6 bulan dan tipe alas karet merupakan faktor risiko utama penyebab tingginya prevalensi koksidiosis pada sapi. Faktor-faktor kategorik

(39)

25 tersebut perlu mendapatkan perhatian yang lebih untuk program pengendalian koksidiosis pada peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan.

Tatalaksana kesehatan hewan dan manajemen peternakan sapi perah yang baik dapat mencegah penyebaran infeksi Eimeria ini pada sapi. Sebagian peternak sapi perah di KPBS Pangalengan masih mencampur ternak sapi dengan umur yang berbeda dalam satu kandang sehingga hal ini dapat meningkatkan kasus tertularnya sapi muda oleh sapi yang lebih dewasa. Bruhn et al. (2011) melaporkan bahwa pedet dari ras sapi perah Friesian Holstein (FH) memiliki kemungkinan lebih tinggi terinfeksi Eimeria dibandingkan dengan jenis ras sapi lainnya. Pedet sapi perah yang dipelihara di dalam kandang memiliki kemungkinan lebih besar untuk terinfeksi eimeriosis karena memiliki beberapa faktor risiko yang mempengaruhinya yaitu: masa sapih yang terlalu awal, kegagalan untuk mendapatkan kolostrum dari induknya dan kesulitan untuk beradaptasi dengan jenis pakan artifisial seperti konsentrat.

Kejadian koksidiosis pada sapi perah di KPBS Pangalengan merupakan kasus infeksi Eimeria dengan gejala subklinis karena tidak adanya hubungan yang signifikan antara gejala klinis berupa diare dengan kejadian koksidiosis (P>0.05) (Tabel 8). Sapi pada berbagai kelompok umur tidak menunjukkan gejala klinis meskipun terdapat ookista Eimeria pada tinjanya (Rind et al. 2007). Akan tetapi, walaupun berupa gejala subklinis, lesi-lesi pada saluran pencernaan sapi yang disebabkan oleh berbagai spesies Eimeria menyebabkan gangguan penyerapan nutrisi sehingga mempengaruhi penampilan, kesehatan ternak dan produksi susu (Daugschies dan Najdrowski 2005; Lassen 2009). Sebagian besar kerusakan mukosa usus disebabkan oleh fase seksual dari Eimeria (Friend dan Stockdale 1980).

Identifikasi spesies Eimeria yang akurat sangat berguna untuk menentukan penanganan sapi perah yang tepat dari segi kesehatan hewan termasuk pengobatan dan manajemen peternakan sehingga dapat meningkatkan kualitas dan nilai ekonomi ternak sapi perah tersebut. Dalam menentukan spesies Eimeria, sebagian besar peneliti menggunakan metode identifikasi secara morfologis. Oleh sebab itu, untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan identifikasi spesies Eimeria secara molekuler yang bertujuan untuk menentukan hubungan diantara spesies Eimeria dalam kekerabatan filogenetik di Indonesia sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Kokuzawa et al. (2013) di Jepang tentang identifikasi 10 spesies Eimeria dan hubungan filogenetik diantara spesies tersebut berdasarkan sekuens 18S rDNA.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(40)

26

Eimeria bovis merupakan spesies Eimeria yang memiliki tingkat prevalensi dan rata-rata jumlah ookista paling tinggi masing-masing sebesar 42.5% (SK 95%; 37.1-47.8) dan 538.2 otgt (SK 95%; 191.5-884.8) dibandingkan dengan spesies lainnya serta pada satu individu ternak sebagian besar mengalami infeksi campuran dengan 2 hingga 5 spesies Eimeria (55.9%; 50.5-61.3). Sementara itu, variabel jenis kelamin, umur ternak dan tipe alas kandang yang berbeda memiliki pengaruh yang signifikan (P<0.05) terhadap jumlah OTGT Eimeria yang menginfeksi ternak sapi. Selain itu, faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian koksidiosis adalah umur ternak dan tipe alas kandang.

Saran

Pengaruh dan hubungan faktor-faktor tersebut terhadap jumlah OTGT dan kejadian koksidiosis menunjukkan bahwa Eimeria merupakan parasit patogen yang potensial sehingga perlu dilakukan sistem pengendalian yang menyeluruh pada peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan. Selain itu, surveilans dan sosialisasi kepada peternak tentang bahaya dan dampak infeksi Eimeria pada ternak sapi baik secara ekonomi maupun kesehatan ternak perlu dilaksanakan secara rutin oleh instansi pemerintah terkait serta identifikasi secara molekuler terhadap spesies Eimeria juga perlu dilakukan untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Kombolcha district of South Wollo, Ethiopia. J Vet Med Anim Health. 5(2):41-45. doi: 10.5897/JVMAH12.049.

Almeida VA, Magalhaes VCS, Neta ESM, Munhoz AD. 2011. Frequency of species of the Genus Eimeria in naturally infected cattle in Southern Bahia, Northeast Brazil. Rev Bras Parasitol Vet [Internet]. [diunduh 2015 Mei 21]; 20(1):78-81. Tersedia pada: http://www.cbpv.com.br/rbpv.

Ardianto A. 2013. Prevalensi Koksidiosis pada Pedet di Kabupaten Wonogiri [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.

(41)

27 Bangoura B, Mundt HC, Schmaschke R, Westphal B, Daugschies A. 2011. Prevalence of Eimeria bovis and Eimeria zuernii in German Cattle Herds and Factors Influencing Oocyst Excretion. Parasitol Res. 109(2011):S129-S138. doi: 10.1007/s00436-011-2409-1.

Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology for Veterinarians. Ed ke-9. Missouri (US): Saunders Elsevier.

Bruhn FRP, Lopes MA, Demeu FA, Perazza CA, Pedrosa MF, Guimaraes AM. 2011. Frequency of species of Eimeria in females of the holstein-friesian breed at the post-weaning stage during autumn and winter. Rev Bras Parasitol Vet [Internet]. [diunduh 2015 Maret 16]; 20(4):303-307. Tersedia pada: http://www.cbpv.com.br/rbpv.

Bruhn FRP, Junior FAS, Carvalho AHO, Orlando DR, Rocha CMBM, Guimaraes AM. 2012. Occurences of Eimeria spp. and gastrointestinal nematodes in dairy calves in southern Minas Gerais, Brazil. Rev Bras Parasitol Vet [Internet]. [diunduh 2015 Mei 1]; 21(2):171-175. Tersedia pada: http://www.cbpv.com.br/rbpv.

[B-Vet] Balai Veteriner Subang. 2013. Laporan Tahunan Penyidikan dan Pengujian Penyakit Parasiter Tahun 2013. Subang (ID): Balai Veteriner Subang.

Cahyaningsih U, Supriyanto. 2007. Kejadian Koksidiosis pada Domba Umur 6-12 Bulan di Ciomas, Bogor. Di dalam: [editor tidak diketahui]. Pembangunan Nasional Berbasis IPTEKS Untuk Kemandirian Bangsa. Seminar Nasional XIII Persada 2007 [Internet]. 2007 Agustus 9; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 159-163; [diunduh 2014 Mei 19]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/59111.

Cox FEG. 1993. Modern Parasitology: A Textbook of Parasitology. Ed ke-2. London (GB): Blackwell Scientific Publication.

Daugschies A, Najdrowski M. 2005. Eimeriosis in Cattle: Current Understanding. J. Vet. Med. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 19]; B 52:417-427. Tersedia pada:http:web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=4&sid=04c6da 30-a138-4c1f-b46a-69b5540bbc8b%40sessionmgr4004&hid=4109.

Davoudi Y, Garedaghi Y, Nourmohammadzadeh F, Eftekhari Z, Safarmashaei S. 2011. Study on prevalence rate of Coccidiosis in diarrheic calves in

Gambar

Gambar 1  Ookista yang telah bersporulasi pada beberapa spesies Eimeria yang
Gambar 2  Siklus Hidup Eimeria bovis  (Bowman 2009)
Gambar 3 Pedet dicampur dalam satu kandang dengan sapi yang lebih
Gambar 4 Hasil identifikasi ookista pada beberapa spesies Eimeria yang menginfeksi sapi perah di KPBS Pangalengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, analisa dilakukan terhadap paket data dengan protokol TCP dan UDP pada Link Aggregation dengan metode Load Sharing Weighted Round Robin.. Pada

Perancangan interior andry bakery menjadi hal yang substansional ketika dapat menjadi sebuah bangunan multifungsi yang bergerak pada usaha industry rumahan yang mampu

Pihak yang terlibat dalam program ini adalah mahasiswa KKN-PPM Universitas Udayana, perangkat desa serta masyarakat Desa Rendang, Karangasem, Bali... Nama

Karya Tulis Ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian akhir Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Nilai Kadar Air Media Hidroton Hasil pengujian kadar air media hidroton dapat dilihat pada Gambar 3 yang menunjukkan bahwa perlakuan yang menghasilkan kadar air

Kapan lagi, Anda bisa mendapatkan fasilitas gratisan di facebook marketing beserta penunjang ilmunya. Berupa teknik facebook graph yang nantinya akan membantu Anda dalam membuka

Pengidentifikasian telur cacing parasit usus dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Ju- rusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Anda lihat dilayar anda, ada beberapa elemen dari portal lain yang ikut terseleksi (elemen 1,2,3,4), untuk itu kita harus membatalkan seleksinya dengan cara tekan ctrl di