• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

DONI SAHAT TUA MANALU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Doni Sahat Tua Manalu

(4)
(5)
(6)

RINGKASAN

DONI SAHAT TUA MANALU. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah. Dibimbing oleh SUHARNO dan NETTI TINAPRILLA.

Kebijakan sektor pertanian secara umum dapat memberikan dampak sektoral, baik yang dikehendaki maupun tidak dikehendaki. Secara lebih khusus kebijakan pertanian dalam hal perdagangan hasil pertanian akan mengubah struktur insentif pelaku usahatani. Policy Analysis Matrix (PAM) memberikan kerangka dan alat analisis dampak kebijakan secara sederhana dan terukur, di sini diterapkan pada dampaknya terhadap perubahan daya saing usahatani kentang di Banjarnegara, sebagai satuan sample.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif.

Metode kualitatif digunakan untuk mendeksripsikan gambaran umum lokasi penelitian sedangkan metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis daya saing kentang dan dampak kebijakan pemerintah yaitu analisis Policy Analysis Matrix. Hasil analisis yang diperoleh adalah usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memiliki daya saing dengan nilai PCR sebesar 0,852 dan DRC sebesar 0,981 masing-masing lebih kecil dari satu serta menguntungkan secara finansial dan ekonomi sehingga usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara memiliki daya saing dan layak untuk dijalankan. Kebijakan pemerintah terhadap output serta terhadap input sudah mendukung peningkatan daya saing usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Pada analisis sensitivitas, digunakan empat asumsi skenario yaitu terjadi peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen diperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Skenario peningkatan harga obat-obatan sebesar 10 persen, memperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah masih memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi dan masih layak untuk dijalankan. Skenario penurunan harga kentang yang dijual ke pasar sebesar 50 persen diperoleh hasil bahwa usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah tidak berdaya saing dan tidak layak untuk dijalankan. Skenario peningkatan harga pupuk sebesar 15 persen dan obat-obatan 10 persen, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengah masih memiliki keunggulan kompetitif akan tetapi sudah tidak memiliki keunggulan komparatif.

(7)
(8)

SUMMARY

DONI SAHAT TUA MANALU. Competitiveness and Impact of Government Policy on Commodity Potatoes in Banjarnegara District, Central Java. Supervised by SUHARNO and NETTI TINAPRILLA.

Agricultural policy in any country causes intended and unintended impact on related sectors. Essentially, introduction of new commodity policy changes incentive structure to participating farmers of the sector. Policy analysis matrix (PAM) provides a framework and tools of analysis regarding the impact of policy change in simple but quantitative measure. This PAM analysis concerned mainly on the potato sector at sample area, Banjarnegara.

The aim of this study was to analyze the impact of policies on the competitiveness of potatoes in Banjarnegara district, Central Java. Location of the research conducted in Banjarnegara district, the analysis method that used in this study are qualitative and quantitative analysis.

Qualitative method is used to study the location decribe general description while quantitative method is used to analyze the competitiveness of the potato and the impact of government policies that analyzes the Policy Analysis Matrix. The analysis showed on the potato farm commodity Banjarnegara district, Central Java competitive with PCR values of 0.852 and 0.981 for the DRC each smaller than one as well as financially and economically profitable to farm potatoes in Banjarnegara commodity competitiveness and eligible to run. Government policy on output and the input support increased competitiveness of farm commodities potatoes in Banjarnegara district, Central Java.

In the sensitivity analysis, which used four scenarios assuming an increase in the price of fertilizer by 15 percent obtained the result that farming in the potatoes Banjarnegara district, Central Java still provide benefit financially and economically and is still eligible to run. Scenario increase in pesticide prices by 10 percent, obtaining results that potato farming in Banjarnegara district, Central Java still provide benefit financially and economically feasible. Scenario reduction in prices of potatoes by 50 percent obtained the result that farming in the potatoes Banjarnegara district, Central Java is not competitive and is not eligible to run. Scenario increase in fertilizer prices by 15 percent and 10 percent medicine, farming potatoes in Banjarnegara district, Central Java will still have a competitive advantage but it does not have a comparative advantage.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam

(10)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(11)

Dosen Penguji Ujian Tesis Luar Komisi : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

(12)

Judul Tesis : Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

Nama : Doni Sahat Tua Manalu NIM : H351120071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, M.Adev Ketua

Dr Ir Netti Tinaprilla, MM

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc Agr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno M.Adev dan Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla MM selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Ir Anna Faryanti, MSi dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA selaku dosen penguji pada saat pelaksanaan ujian tesis yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis. Demikian juga kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Kaprodi Program Studi Magister Sains Agribisnis atas dukungan dan arahan yang diberikan kepada penulis sejak memulai studi di Program Studi Magister Sains Agribisnis hingga penyelasaian studi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh Petani responden, Bapak Kepala Desa Bakal dan Kepala Desa Batur, Bapak Sukamto, SP dari penyuluh di Kecamatan Batur, Para pedagang kentang dan pemilik toko pertanian di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yang telah bersedia sebagai responden pada penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Almarhum Ayahanda tercinta Bapak B. Manalu dan Ibunda tercinta Thioland Boru Sinambela serta seluruh keluarga besar Opung Eko Manalu atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

(15)
(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL Vi

DAFTAR GAMBAR Vi

DAFTAR LAMPIRAN Vi

1. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

2. TINJAUAN PUSTAKA 9

Teori Daya Saing

Metode Daya saing

9 12 Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analisis Matrix 14 Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing 15

Studi Empiris Kentang (Solanum tuberosum L.) 16

3. KERANGKA PENELITIAN 18

Kerangka Teoritis 18

Kerangka Pemikiran Operasional 31

4. METODE PENELITIAN 33

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Jenis dan Sumber Data 34

Metode Pengambilan Responden 34

Metode Analisis Data 35

5. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 43

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 43

Karakteristik Petani Responden 46

Kepemilikan Lahan 48

Keragaan Usahatani 48

Lembaga Pemasaran 50

Keuntungan Usahatani 51

Kebijakan Input pada Usahatani Kentang 53

Kebijakan Output pada Usahatani Kentang 54

6. HASIL DAN PEMBAHASAN 54

Analisis Daya Saing Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

54 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing

Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

59 Analisis Sensitivitas Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara,

Jawa Tengah

65

7. SIMPULAN DAN SARAN 69

Simpulan 69

Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 70

LAMPIRAN 74

(17)

DAFTAR TABEL

1. Produk Domestik Bruto (PDB) Tahun 2008-2011 1

2 Volume, Nilai, dan Neraca Ekspor-Impor Kentang Segar di Indonesia Tahun 2004-2012

6

3. Tipe Alternatif Kebijakan Pemerintah 23

4. Policy Analisys Matrix 29

5. Tabulasi Matrix Analisis Kebijakan 36

6. Luas Wilayah Kecamatan Batur menurut Desa dan Presentase 44

7 Kepadatan Penduduk setiap Desa di Kecamatan Batur 45

8. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Batur 45

9. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan, Pengalaman dan Keanggotaan dalam Kelompok Tani di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

47

10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Garapan Kentang di Kecamatan 48

11. Sebaran Petani Responden Menurut Lembaga Pemasaran 50

12 Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

55 13. Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kentang di Kabupaten

Banjarnegara

56 14. Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Kentang

di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

60 15. Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap

Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

66

16 Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk sebesar 15 persen (Rp/Ha) 66 17. Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Obat-obatan sebesar 10 persen (Rp/Ha) 67 18. Tabulasi PAM Skenario Harga Kentang Turun sebesar 50 persen (Rp/Ha) 68 19. Tabulasi PAM Skenario Kenaikan Harga Pupuk Sebesar 15 Persen dan Kenaikan

Harga Obat-obatan Sebesar 10 Persen (Rp/Ha)

69

DAFTAR GAMBAR

1. Persentase Produksi Sayuran Potensi Menurut Provinsi Tahun 2011 2 2. Kondisi Produksi Kubis, Kentang, Tomat, Bawang Merah, dan Cabai Besar dari

Tahun 2006 hingga Tahun 2011 di Indonesia

3 3. Perkembangan Produksi Kentang di Jawa Tengah Tahun 2009-2011 3

4. Aliran Perdagangan Internasional 20

5. Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor 25

6. 7. 8.

Pajak dan Subsidi pada Input Tradable

Pajak dan Subsidi pada Input Non Tradable

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis Keuntungan Usahatani dan Persentase Komponen Biaya Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

74 2. Alokasi Biaya Komponen Domestik dan Asing pada Sistem Komoditas Kentang 75 3. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow Price Exchange Rate, Tahun

2013

76

4. Perhitungan Harga Bayangan Output 76

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara agraris dan beriklim tropis, memiliki potensi alam yang mendukung pertumbuhan berbagai macam tanaman dan salah satunya adalah hortikultura. Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional atas produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat.

Pembangunan hortikultura bertujuan untuk mendorong berkembangnya agribisnis hortikultura yang mampu menghasilkan produk hortikultura yang berdaya saing, mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan pelaku usaha di bidang hortikultura, memperkuat perekonomian wilayah serta mendukung pertumbuhan pendapatan nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2012). Oleh sebab itu diperlukan pembangunan hortikultura yang mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien supaya mampu memenuhi permintaan domestik dan jika memungkinkan dapat mengekspor ke luar negeri. Indikator ekonomi makro berupa Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui peranan dan kontribusi hortikultura terhadap pendapatan nasional.

Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2008 sampai tahun 2009 nilai kontribusi sub sektor hortikultura terhadap PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 2.47 persen. Namun pada tahun 2010, nilai PDB hortikultura mengalami penurunan sebesar 1.01 persen. Penurunan PDB hortikultura pada tahun 2010 disebabkan oleh penurunan jumlah produksi dan harga berlaku dari komoditas buah-buahan dan tanaman biofarmaka. Kemudian pada tahun 2011, nilai PDB hortikultura mengalami peningkatan kembali sebesar 1.30 persen.

BPS (2012) mencatat bahwa pada sub sektor hortikultura perkembangan PDB selama kurun waktu 2008-2011, diikuti dengan penyerapan tenaga kerja yang relatif meningkat di sub sektor tersebut. Pada tahun 2009 tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 2.95 juta orang, sementara tahun 2010 penyerapan tenaga kerja naik sebesar 3.00 juta orang dan tahun 2011 menjadi 3.32 juta orang. Pada tahun 2012 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan sebesar 3.10 juta orang. Proporsi rata-rata kontribusi subsektor hortikultura dalam penyerapan tenaga kerja selama kurun waktu tahun 2009 – 2012 sebesar 8.25 persen dari keseluruhan pekerja di sektor pertanian. Melihat kontribusinya dalam PDB dan Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2008-2011

No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2008 % 2009 % 2010 % 2011 % 1 Buah-buahan 47 060 55.97 48 437 54.83 45 482 52.54 46 736 52.60 2 Sayuran 28 205 33.55 30 506 34.54 31 244 36.09 33 137 37.30 3 Tanaman Hias 4 960 5.90 5 494 6.22 6 174 7.13 5 984 6.73 4 Biofarmaka 3 853 4.58 3 897 4.41 3 665 4.24 2 995 3.37

(20)

penyerapan tenaga kerja yang terjadi di sub sektor hortikultura membuat pentingnya sub sektor ini dibangun.

Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan mempunyai beberapa peranan strategis, yaitu : (1) sumber bahan makanan bergizi bagi masyarakat yang kaya akan vitamin dan mineral, (2) sumber pendapatan dan kesempatan kerja serta kesempatan berusaha, (3) bahan baku agroindustri, (4) sebagai komoditas potensial ekspor yang merupakan sumber devisa negara, (5) pasar bagi sektor non pertanian, khususnya industri hulu (Rahmawati, 2006). Menurut Rahmawati (2006), meskipun komoditas hortikultura mempunyai beberapa peran strategis akan tetapi masih terdapat permasalahan yang dihadapi, secara umum adalah belum mampunya memenuhi kuantitas, kualitas dan kontinuitas pasokan yang sesuai dengan permintaan pasar. Hal tersebut berkaitan dengan faktor-faktor berikut : (1) pola kepemilikan lahan yang sempit dan tersebar; (2) rendahnya penguasaan teknologi mulai dari pembibitan, sistem usahatani, panen dan pasca panen; (3) harga berfluktuasi ; (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal; dan (5) kurangnya informasi bagi pengusaha swasta (investor) tentang kelayakan finansial dan ekonomi usahatani sayuran.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sayuran dan buah-buahan yang potensial. Berdasarkan data BPS tahun 2012, menunjukkan bahwa beberapa daerah di Indonesia yang berpotensi untuk memproduksi kentang seperti terdapat pada Gambar 1 yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan wilayah lain.

Gambar 1. Persentase Produksi Sayuran Potensi Menurut Provinsi di Indonesia pada Tahun 2011

Sumber BPS, 2012

Gambar 1 menunjukkan bahwa provinsi penghasil kentang pada tahun 2011 secara berturut-turut adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Keempat Provinsi tersebut menyumbang sebesar 26.21 persen, 23.04 persen, 12.88 persen dan 8.95 persen. Total produksi yang dihasilkan keempat provinsi tersebut yaitu : 71.07 persen dan provinsi lainnya sebesar 28.93 persen. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa provinsi Jawa Tengah adalah salah satu sentra produksi kentang di Indonesia.

(21)

kembali mengalami penurunan. Kondisi produksi kubis, kentang, tomat, bawang merah, dan cabai besar dari tahun 2006 hingga tahun 2011 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 yang memperlihatkan pola serta data tentang kenaikan dan penurunan produksi setiap tahunnya.

Gambar 2. Kondisi Produksi Kubis, Kentang, Tomat, Bawang Merah, dan Cabai Besar dari Tahun 2006 hingga Tahun 2011 di Indonesia Sumber BPS, 2012

Penurunan produksi yang sangat drastis pada tahun 2010 dikarenakan adanya impor kentang dari negara China dan Bangladesh. Adanya impor kentang tersebut menimbulkan persaingan dengan kentang lokal. Harga kentang impor ternyata lebih rendah jika dibandingkan dengan harga kentang lokal, hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan permintaan kentang lokal, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kentang lokal tidak mampu bersaing dengan kentang impor.

Ketidakmampuan kentang lokal dalam bersaing perlu diketahui penyebabnya, oleh karena itu diperlukan penelitian yang mendukung khususnya di sentra produksi kentang agar dapat menggambarkan kondisi daya saing kentang lokal. Di Indonesia, Provinsi Jawa Tengah adalah Provinsi terbesar yang memproduksi kentang dan beberapa daerah di Jawa Tengah yang memproduksi kentang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Perkembangan Produksi Kentang di Jawa Tengah Tahun 2009-2011 Sumber BPS, 2012

(22)

yang ada di Jawa Tengah. Menurunnya produksi kentang di Banjarnegara sejak tahun 2009 hingga tahun 2011 diakibatkan terjadinya beberapa permasalahan yang ada, terutama dari sisi kebijakan pemerintah, adanya issue penting sehubungan dengan adanya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan penetapan tarif impor nol persen sehingga tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mengalami penurunan.

Kondisi di atas tidak terlepas dari sudah sejauh mana penerapan sistem agribisnis yang terdapat pada komoditas kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara. Kualitas dan kontinuitas benih kentang yang masih kurang (hulu), Penurunan harga kentang segar (hilir) yang berakibat pada penurunan produksi kentang yang terdapat di subsistem usahatani (onfarm) serta adanya kebijakan pemerintah yang mengatur perdagangan kentang yang terdapat di subsistem penunjang (supporting system) dalam sistem agribisnis. Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara pandang baru untuk melihat pertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang saling berkaitan satu sama lain. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat meningkatkan daya saing adalah dengan penerapan konsep pengembangan sistem agribisnis karena apabila sistem agribisnis yang terdiri dari subsistem sarana produksi (Hulu), subsistem usahatani (onfarm), subsistem pengolahan dan pemasaran (Hilir) serta subsistem penunjang (supporting system) dikendalikan dengan tepat dan terintegrasi dengan baik maka hal tersebut akan dapat meningkatkan daya saing suatu komoditas.

Daya saing suatu komoditas dapat dilihat dengan mengetahui bahwa setiap tempat atau wilayah mempunyai keunggulan tertentu karena kekhasan wilayahnya, oleh karena itu komoditas sayuran yang dikembangkan merupakan komoditas spesifik yang sesuai dengan kekhasan wilayah tersebut sehingga diharapkan komoditas sayuran tersebut mampu bersaing baik di pasar regional, nasional maupun internasional karena memiliki keunggulan komparatif yang berasal dari kelimpahan dan kekhasan wilayahnya tersebut. Mekanisme pasar akan mendorong suatu daerah untuk bergerak ke arah sektor dimana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, akan tetapi mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur perekonomian daerah ke arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif tersebut (Tarigan, 2004).

Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu komoditas tertentu tidak dapat menjamin terjadinya keunggulan kompetitif. Demikian halnya dengan kondisi yang terjadi pada pasar kentang, setiap kebijakan yang ada akan dapat mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif seperti dengan adanya perkembangan pasar komoditas sayuran yang semakin kompetitif dan diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas baik multilateral melalui WTO (World Trade Organization) maupun regional dan bilateral melalui FTA (Free Trade Agreement).

(23)

beradaptasi dengan baik akan tetapi harus ditanam pada daerah yang bersuhu dingin atau sejuk, suhu udara ideal untuk tanaman kentang adalah 150-180 celcius. Keunggulan kompetitif dan komparatif kentang yang terdapat di Indonesia khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah dipengaruhi oleh beberapa permasalahan lain yang juga masih terjadi yaitu (1) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi input dan output belum berpihak kepada petani, (2) menurunnya produksi kentang yang berindikasi kepada menurunnya pendapatan petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, (3) kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulai sejak tanam hingga panen serta pasca panen, (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal. Pada akhirnya setiap permasalahan yang ada pada sektor agribisnis kentang akan mempengaruhi daya saing komoditas kentang dan dengan adanya beberapa permasalahan tersebut maka orientasi sistem produksi komoditas kentang tersebut harus dikembangkan ke arah peningkatan daya saing. Sehubungan dengan itu, usahatani komoditas kentang harus lebih diarahkan pada penerapan teknologi tepat guna serta efisien dalam pemanfaatan sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.

Kondisi aktual yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara serta beberapa kebijakan yang telah dijelsakan di atas akan mempengaruhi pendapatan usahatani kentang baik dari sisi biaya input, output dan transportasi lalu pada akhirnya akan berdampak pada daya saing kentang di Indonesia secara khusus di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Selain itu, adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas akan mendorong para produsen kentang dalam negeri untuk dapat meningkatkan daya saing agar mampu bersaing dengan kentang dari negara lain Oleh karena itu penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang sangat penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Dari sisi kebijakan pemerintah, terdapat issue penting yang mempengaruhi daya saing yaitu diberlakukannnya perjanjian perdagangan bebas melalui ACFTA

(ASEAN China Free Trade Agreement) pada awal tahun 2010, hal ini adalah implementasi kebijakan liberalisasi pasar pertanian yang dihasilkan dari perjanjian perdagangan bebas baik multilateral melalui WTO maupun regional dan bilateral melalui FTA (Free Trade Agreement) tersebut sehingga beberapa komoditas dari China masuk ke Indonesia tanpa dikenakan tarif masuk nol persen. Komoditas yang masuk dalam kategori nol persen tersebut diatur dalam skema Early Harvest Program (EHP) (Lemhannas, 2012). Terdapat 530 pos tarif lainnya yang resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan RI No. 355/KMK.01/2004 21 Juli 2004 tentang penetapan tarif bea masuk dalam skema EHP.

(24)

Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan pajak impor 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan serta Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan.

Akibat langsung yang terjadi karena adanya kebijakan pemerintah pada tahun 2010 tentang penetapan tarif impor kentang sebesar nol persen adalah volume impor kentang terus meningkat. Ketersediaan kentang Indonesia yang masih di bawah 5 kg/kapita/tahun, membuat Indonesia mengalami penurunan khususnya dari sisi ekspor kentang segar. Tabel 2 menunjukkan bahwa volume ekspor kentang di Indonesia tahun 2004 hingga 2012 (triwulan 1) mengalami penurunan yang cukup besar hingga 15,022 ton sehingga nilai ekspornya menurun hingga 2,971,000 US$, sedangkan volume impor kentang mengalami peningkatan yang tinggi sebesar 7,528 ton dalam 8 tahun terakhir sehingga nilai impor kentang segar mencapai peningkatan hingga 5,506,000 US$.

Penurunan juga terlihat pada neraca volume sebesar -9,275 ton di tahun 2012 (triwulan 1). Di tahun yang sama, neraca nilai kentang segar menjadi -6,146,000 US$ sementara di tahun sebelumnya mencapai penurunan terbesar yaitu -43,833,000 US$ hal ini dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Volume, Nilai, dan Neraca Ekspor-Impor Kentang Segar di Indonesia Tahun 2004-2012

Keterangan

Tahun

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(Tw.1)

Volume

Ekspor (ton) 16 422 13 644 85 922 9 652 7 958 6 320 6 771 5 117 1 400 Volume Impor

(ton) 3 148 5 031 4 211 5 559 5 345 11 727 24 204 78 419 10 676 Nilai Ekspor

(000 US$) 3 547 3 526 5 917 2 855 2 340 2 160 2 426 2 579 576 Nilai Impor

(000 US$) 1 217 2 248 1 959 2 686 2 880 6 689 14 591 46 412 6 723 Neraca

Volume (ton) 13 274 8 612 81 712 4 093 2 612 -5 407 -17 433 -73 301 -9 275 Neraca Nilai

(000 US$) 2 330 1 278 3 959 169 -540 -4 529 -12 165 -43 833 -6 146

Sumber : BPS, 2012

(25)

Kondisi di pasar sebelum terjadinya peningkatan impor kentang adalah harga jual kentang lokal di daerah Banjarnegara rata-rata Rp5,000 – Rp6,000 per kg, setelah meningkatnya jumlah impor kentang yang masuk ke Indonesia maka harga kentang mengalami penurun sehingga harga rata-rata menjadi Rp3,000 – Rp4,000 per kg. Sementara harga rata-rata kentang impor yang dijual di pasar hanya Rp2,500 – Rp3,500 per kg (Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara, 2012). Hal ini menunjukkan kompetisi yang kuat antara produk kentang lokal dengan impor, sehingga perlu upaya yang dilakukan agar dapat meningkatkan daya saing kentang lokal.

Untuk membatasi impor kentang yang masuk ke dalam negeri pemerintah melalui kementerian perdagangan dan kementerian pertanian telah mengeluarkan kebijakan mengenai impor produk hortikultura, diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Kedua beleid tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Dari kebijakan tersebut diharapkan ada pengelolaan impor kentang yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri, akan tetapi penerapan kebijakan tersebut perlu dievaluasi karena belum terlihat bagaimana dampaknya terhadap daya saing komoditas kentang di dalam negeri.

Selain itu, posisi daya saing usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dipengaruhi oleh kebijakan lain yang berdampak pada input dan output usahatani kentang seperti Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 tentang kenaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 87/Permentan/SR.130/12/2011 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun anggaran 2012, Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan1. Kebijakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp3,000 pada tahun 2013 yang tertuang dalam Pengumuman Nomor 07 PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu2.

Melalui penjelasan mengenai kondisi agribisnis kentang di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan usahatani yang terjadi di Banjarnegara adalah (1) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi input dan output belum berpihak kepada petani, (2) menurunnya produksi kentang yang berdampak pada menurunnya pendapatan petani di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, (3) kurangnya infrastruktur dan teknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulai sejak tanam hingga panen serta pasca panen, (4) lemahnya permodalan petani, sementara budidaya sayuran tergolong padat modal. Setiap permasalahan yang ada pada agribisnis kentang akan mempengaruhi

(26)

dilihat melalui keuntungan finansial dan ekonomi usahatani serta daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana respon sisi supply (petani) terhadap kebijakan dan dinamika pasar yang menyertai, sebagaimana digambarkan dalam rumusan masalah di atas? 2. Bagaimana kinerja industri kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa

Tengah? Ukuran kinerja dalam hal ini dapat dilihat melalui keuntungan finansial dan ekonomi usahatani serta daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

2. Menganalisis daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti, sarana dalam peningkatan kompetensi diri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta permasalahan yang terjadi pada daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

2. Bagi pelaku agribisnis, penelitian ini dapat menambah referensi mengenai daya saing komoditas kentang dan pengambilan keputusan pengembangan usaha.

3. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil analisis dampak kebijakan pemerintah diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan dan mengimplementasikan instrumen– instrument kebijakan yang lebih efektif dan efisien bagi pengembangan agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

1

Suwarta. 2012. Peraturan pajak: 32 Peraturan Menteri Keuangan. ttp://www.wartapajak.com/index.php.

2

(27)

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian dari studi mengenai “Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah” ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

2. Penelitian ini hanya sebatas menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.

3. Analisis dilakukan pada tingkat usahatani di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Teori Daya Saing

Pada dasarnya cakupan daya saing tidak hanya pada suatu negara, melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Pengembangan komoditas di daerah sesuai dengan kondisi sumberdaya alam untuk meningkatkan daya saing memberikan banyak manfaat, selain dapat meningkatkan efisiensi, menjaga kelestarian sumberdaya alam, juga dapat meningkatkan aktivitas pertanian dan perdagangan sehingga mampu meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif rendah dari biaya imbangan sosialnya dan dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia.

(28)

memproduksi dua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut kecil. Dari komoditas ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1997).

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson (2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu : (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.

Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya.

Keunggulan kompetitif suatu komoditas adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, jadi keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter (1991), ada empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu kondisi faktor (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri (firm strategy, structure, and rivalry). Ada dua faktor yang mempengaruhi interaksi antara keempat factor tersebut yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah

(goverment). Secara bersama-sama faktor-faktor ini membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut porter’s diamond theory.

1. Kondisi faktor (factor condition)

(29)

jumlah dan biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber modal, aksetabilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan.

Selain itu juga diperlukan peraturan keuangan, peraturan moneter dan fiskal untuk mengetahui tingkat tabungan masyarakat dan kondisi moneter dan fiskal. (5) sumberdaya infrastruktur terdiri dari ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi daya saing. Seperti sistem transportasi, komunikasi, pos dan giro, serta sistem pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik, dan lain-lain. Kelima kelompok sumberdaya tersebut sangat mempengaruhi daya saing nasional.

2. Kondisi Permintaan (demand condition)

Kondisi permintaan sangat mempengaruhi penentuan daya saing, terutama mutu permintaan. Mutu permintaan merupakan sarana pembelajaran bagi perusahaan-perusahaan untuk bersaing secara global. Mutu persaingan memberikan tantangan bagi perusahaan untuk meningkatkan daya saingnya dengan memberikan tanggapan terhadap persaingan yang terjadi. Ketika kondisi permintaan konsumsi dalam ekonomi lebih banyak akan menjadi tekanan terbesar bagi perusahaan untuk bergerak secara konstan bersaing melalui inovasi produk dan peningkatan kualitas.

3. Industri Terkait dan Industri Pendukung (related and supporting industry) Keberadaan industri terkait dan pendukung (related and supporting industry) mempengaruhi daya saing secara global. Diantaranya adalah industri hulu yang mampu memasok input bagi industri utama dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Sama halnya dengan industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan bakunya. Apabila industri hilir memiliki daya saing global maka akan dapat menarik industri hulu untuk memiliki daya saing pula.

4. Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan (firm strategy, structure, and rivalry)

Tingkat persaingan bagi perusahaan akan mendorong kompetisi dan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal merupakan penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan daya saing.

Perusahaan yang teruji dalam persaingan yang ketat akan memenangkan persaingan dibandingkan perusahaan yang berada dalam kondisi persaingan yang rendah. Struktur perusahaan maupun struktur industri menentukan daya saing dengan cara melakukan perbaikan dan inovasi. Hal ini jika dikembangkan dalam situasi persaingan akan berpengaruh pada strategi yang dijalankan oleh perusahaan.

5. Peran Pemerintah (goverment)

(30)

6. Peran Kesempatan (chance event)

Peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah namun mempengaruhi tingkat daya saing. Beberapa hal yang dianggap keberuntungan merupakan peran kesempatan, seperti adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang. Selain itu juga terjadinya peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya atau kondisi politik yang menguntungkan bagi peningkatan daya saing.

Sudaryanto dan simatupang (1993) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat di definisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing serta memperoleh laba setidaknya sesuai dengan biaya ongkos penggunaannya (opportunity cost) sumberdaya. Selanjutnya Sudaryanto dan Simatupang (1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi komoditas pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi pada konsumen.

Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang yang lebih murah dari pesaing) akan tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat

(private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasar internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah.

Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif, sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudian perijinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.

Metode Daya Saing

(31)

Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual, (Karim dan Ismail, 2007). Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan daya saing karena banyak manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah berbasiskan sumberdaya lokal (Sembiring, 2009). Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk melihat pentingnya penetapan komoditas daerah dalam meningkatkan daya saing seperti daerah Brebes Jawa Tengah yang memiliki potensi tanaman bawang merah (Purmiyanti, 2002).

Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas, Berlian Porter (Porter’s diamond) adalah model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu dalam memahami konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara, berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan dikompetisikan dengan berbagai perjuangan dan keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar.

Suatu komoditas mungkin saja dinyatakan berdaya saing dengan analisis deskriptif kualitatif atau kuantitatif, akan tetapi jika dianalisis dengan metode Berlian Porter ternyata tidak berdaya saing, seperti penelitian yang dilakukan oleh Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori Berlian Porter untuk menganalisis daya saing komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk analisis deskriptif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka, Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan Metode Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi belum memiliki daya saing yang optimal karena masih terdapat kendala dalam tiap komponen daya saing yang diteliti. Oleh karena itu manfaat penggunaan metode berlian porter dalam menilai daya saing sebuah komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas karena analisis yang dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehensif.

(32)

Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma 2011, Kasimin dan Suyanti 2012).

Dari beberapa metode yang telah dijelaskan di atas, masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan jika digunakan dalam suatu penelitian tertentu. Oleh karena itu perlu diperhatikan dengan baik tujuan penelitian yang akan dilakukan sebelum menentukan metode analisis daya saing yang ada agar pemilihan metode yang ditetapkan sesuai.

Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analisis Matrix (PAM) Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat, maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, Isu kedua ialah dampak investasi publik, Isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. (Pearson S,C dan S. Bahri 2005).

Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yakni apakah petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya keuntungan privat (private profitability). Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar).

Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (sosial profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisien. Investasi publik yang berhasil (misal investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial.

Isu ketiga berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan dan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan pertanian dalam ketiga isu tersebut.

(33)

dilakukan pada dasarnya adalah mampu melihat ketiga tujuan utama yang telah dijelaskan di atas.

Feryanto (2010) yang melakukan penelitian dengan menggunakan metode PAM, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya daya saing pada umumnya terdiri dari teknologi, produktivitas, harga, biaya input, struktur industri, kualitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi (1) faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, riset dan pengembangan, (2) faktor yang dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga,

exchange rate), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan regulasi pemerintah, (3) faktor semi terkendali, seperti kebijakan harga input, dan kualitas permintaan domestik, dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam. Hasil yang sama dikemukakan oleh Dewanata (2011) yang melakukan penelitian tentang Analisis daya saing dan kebijakan pemerintah terhadap komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut Jawa Barat. Oleh karena itu faktor yang dikendalikan oleh unit usaha, faktor pemerintah dan faktor semi terkendali perlu di perhatikan agar komoditas yang diusakan dapat memiliki daya saing.

Sebuah komoditas mungkin saja dapat berdaya saing secara komparatif dan kompetitif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2011) menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas belimbing dewa di kota depok memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Namun penelitian Oguntade (2009) mengenai pengolahan komoditas padi di Nigeria hanya memiliki keunggulan kompetitif, karena memiliki keuntungan privat yang lebih besar dari nol, yakni 9.445 dan didukung dengan nilai PCR yang kurang dari satu, yakni 0.78. Namun pengolahan padi ini tidak memiliki keunggulan komparatif, karena nilai keuntungan sosial yang dimiliki bernilai negatif, -26.256 dengan DRC mencapai 4.88 sehingga tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini terjadi karena bermula dari masalah yang terjadi yakni pasar-pasar sekunder kekurangan infrastruktur dan tidak sistematisnya pemasaran yang dilakukan.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada daya saing dengan menggunakan metode PAM adalah ditemukannya sebuah komoditas yang dapat berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara akan tetapi tidak dapat berdaya saing di pasar internasional. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Najarzadeh R et al (2011) yang menyatakan bahwa komoditas yang berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara belum tentu memiliki daya saing dalam pasar internasional.

Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing

(34)

kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian Sabaoni, et al.

(2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya saing di sebuah negara.

Hal yang berbeda diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Rasmikayati dan Nurasiyah (2004), Kasimin (2012) menyatakan bahwa secara umum usahatani kentang di Provinsi Jawa Barat dan di Provinsi Aceh tidak mendapat proteksi dari kebijakan pemerintah serta telah terjadi transfer harga dari produsen ke konsumen, dimana transfer tersebut lebih besar terjadi pada sistem usahatani kentang di Provinsi Aceh dibanding di Provinsi Jawa Barat akan tetapi dalam kondisi tersebut kentang di Provinsi Jawa Barat dan di Provinsi Aceh memiliki daya saing. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Rooyen (2001) dan Kirsten menyatakan bahwa kebijakan pemerintah mempengaruhi pasar input untuk produksi kentang di Afrika Selatan dan menghambat industri kentang sehinga dengan adanya kebijakan pemerintah maka pasar kentang di Afrika selatan tidak memiliki keunggulan komparatif. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Joubert et al. (2010) yang menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika selatan menghasilkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap kegiatan produksi kentang justru menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di Afrika Selatan.

Pranoto (2011) menganalisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Bangka Belitung dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix),

hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung layak untuk diusahakan. Adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.89. Berdasarkan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif sehingga tidak efisien lagi untuk diproduksi di dalam negeri.

Penelitian terdahulu yang menggunakan PAM memberikan gambaran yang jelas bahwa metode analisis ini digunakan pada komoditas yang dapat melihat kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun internasional dalam menganalisis daya saing suatu komoditas.

Studi Empiris Kentang (Solanum tuberosum L.)

(35)

adaptasi yang luas, sehingga dapat ditanam di kedua lingkungan tropis dan subtropis dan ketinggian dari permukaan laut hingga 4.000 m (Singh et al. 2012)

Kentang merupakan tanaman penting dari dunia dan ditanam di sekitar 18,3 juta hektar dengan produksi 295 juta ton. Hasil rata-rata dunia adalah 50,5 kg/tahun. Kentang menyumbang sekitar 1,23 persen terhadap produksi bruto dari kegiatan pertanian dan sekutu di India. Singh et al (2012), Manhokwe et al. (2010). Petani kentang di pulau Jawa memiliki produktivitas rata-rata 10-25 ton/ha. Besarnya produktivitas ini tergantung dari lokasi budidaya. Varietas kentang yang banyak ditanam petani yaitu Granola. Sementara itu, varietas lain seperti Atlantic, Cipanas, Agriya, Herta, Aquila, Ritek, Lamping, Kennebec, Grata, dan Marita, tidak banyak ditanam petani. Permasalahan yang dihadapi para petani kentang di Indonesia diantaranya: penyakit pada tanaman kentang, harga pupuk dan pestisida yang tinggi, perubahan iklim yang tidak menentu, kesulitan transportasi, dan kesulitan mendapatkan tambahan modal kerja. Sementara itu, permasalahan yang dihadapi sebagian besar para pedagang kentang adalah kesulitan mendapatkan kentang yang berkualitas baik seperti kentang dari Dieng, harga beli yang tinggi, ulah pedagang besar yang mempermainkan harga, serta kentang yang membusuk (Andarawati, 2011).

Penelitian Sunaryono (2007) menyatakan bahwa usaha (bisnis) komoditas kentang baik di dalam maupun di luar negeri masih memiliki potensi yang baik sehingga perlu penanganan yang serius agar kentang lokal memiliki daya saing, beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam upaya pengembangan usaha (bisnis) komoditas kentang adalah (1) Peluang pasar dan permintaan konsumen, (2) Lahan dan kondisi agroklimat, (3) Tingkat keuntungan, dan (4) Ketersedian bibit dan modal. Andrawati (2011) menyatakan bahwa terjadi penurunan produktivitas kentang di Kecamatan Batur, Jawa Tengah. Hal ini di duga karena ketersediaan dan penggunaan benih kentang yang kurang berkualitas di daerah tersebut, dari hasil Stochastic Frontier diperoleh bahwa varibel yang bernilai positif dan berpengaruh signifikan terhadap produksi kentang yakni benih dan pupuk organik. Sedangkan berdasarkan model inefisiensi teknis pengalaman usahatani, pendidikan formal, dan luas lahan merupakan faktor yang memberikan pengaruh negatif dan faktor umur merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap inefisiensi teknis usahatani kentang. Meskipun demikian, penelitian Novianto (2012) menyatakan bahwa pengusahaan kentang di Kecamatan Kejajar di provinsi yang sama dengan penelitian Andrawati (2011) yaitu Jawa Tengah menyatakan bahwa dengan sistem usahatani kentang yang ada ternyata usahatani kentang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

(36)

adalah menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan PAM untuk menganalisis daya saing dan kebijakan pada agribisnis kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

3 KERANGKA PENELITIAN

Kerangka Teoritis Teori Perdagangan Internasional

Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) dalam produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi segala jenis barang. Adapun berbagai macam teori perdagangan internasional diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Merkantilisme

Eksposisi pemikiran merkantilisme pertama kali ditulis oleh Antinio Serra pada tahun 1613, selanjutnya paham-paham ini dikembangkan oleh Sin James Steuart, Thomas Mun, Gerald de Malynes, dan Dudley Giggs. Merkantilisme belum mengenal konsep keunggulan komparatif sebagai penentu pola perdagangan, dan karenanya juga mempengaruhi struktur produksi dan distribusi pendapatan. Pada teori merkantilisme menyebutkan bahwa, negara berupaya sekuat mungkin untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor.negara dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan menjadi sangat dominan.

2. Adam Smith

Adam Smith mengajukan teori keuntungan absolut yang menyatakan bahwa keuntungan absolut merupakan basis perdaganga internasional. Setelah teori-teori tersebut, timbul teori-teori perdagangan yang menekankan bahwa keunggulan komparatif merupakan basis perdagangan internasional, yaitu terdiri dari The Ricardian Model, Mercantilsm, Adam Smith’s Theory, dan Ricardo’s Theory dikategorikan sebagai The Classical Model of International Trade, sedangkan The Heckscher-Ohlin model merupakan The Modern Theory of International Trade.

3. Teori Ricardian

(37)

4. Teori Heckscher-Ohlin (Modern Theori of Comparative Advantage)

Dengan mengabaikan perbedaan teknologi, di pihak lain Heckscher-Ohlin model (the H-O model) menekankan bahwa keunggulan komparatif ditentukan oleh perbedaan relatif kekayaan faktor produksi dan penggunaan faktor tersebut secara relatif intensif dalam kegiatan produksi barang ekspor.

Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah sehingga kegiatan produksi tersebut menguntungkan pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional (Simanjuntak 1992). Menurut Kadariah et al (1978), efisien tidaknya produksi suatu komoditas yang bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border price).

Daya saing identik dengan masalah produktivitas, yakni dengan melihat tingkat ouput yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktivitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter, 1991). Konsep daya saing dalam perdagangan internasional sangat terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu komoditas atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu komoditas tersebut secara efisien dibanding negara lain.

Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.

(38)

P

Gambar 4. Aliran Perdagangan Internasional Sumber: Salvator 1997

Keterangan:

P2 :Harga keseimbangan di pasar dunia

P3 :Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 :Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da :Permintaan domestik negara A

Sa :Penawaran domestik negara A D :Permintaan di pasar dunia S :Penawaran di pasar dunia Sb :Permintaan domestik negara B Db :Penawaran domestik negara B

Daya saing atas suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan bersaing negara-negara mencakup tersedianya sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi daya saing perusahaan-perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi. Atribut yang merupakan faktor-faktor keunggulan bersaing industri nasional, yakni kondisi faktor sumberdaya (resources factor conditions), kondisi permintaan (demand conditions), industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Daya saing didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mempertahankan keuntungan dan menjaga pangsa pasar secara berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya (Porter 1990).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Konsep Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif adalah kemampuan suatu wilayah atau negara dalam memproduksi satu unit dari beberapa komoditas dengan biaya yang relatif rendah dari biaya imbangan sosialnya dan dari alternatif lainnya. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang diterapkan suatu negara untuk

P Pasar Negara A Pasar Dunia

(39)

membandingkan beragam aktivitas produksi dan perdagangan di dalam negeri terhadap perdagangan dunia.

Konsep daya saing berasal dari konsep keunggulan komparatif yang pertama kali dikenal dengan model Ricardo. Hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan. Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting untuk menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Salah satu kelemahan teori Ricardo adalah kenapa tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi, kenapa output persatuan input tenaga kerja dianggap konstan.

Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh G. Haberler yang menafsirkan bahwa labor of value hanya digunakan untuk barang antara, sehingga menurut G. Haberler teori biaya imbangan (theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya dalam hal ini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan.

Salvatore (1997) menyatakan bahwa keunggulan komparatif masih dapat dilakukan sekalipun suatu negara mengalami kerugian memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan dengan negara lain. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang besar. Dinamisnya keunggulan komparatif yang berarti suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya antara lain ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Oleh karena itu konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur daya saing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual.

Konsep Keunggulan Kompetitif

Gambar

Gambar 3. Perkembangan Produksi Kentang di Jawa Tengah Tahun 2009-2011
Tabel 2 Volume, Nilai, dan Neraca Ekspor-Impor Kentang Segar di Indonesia
Gambar 4. Aliran Perdagangan Internasional
Gambar 5  Dampak Subsidi Positif terhadap Produsen dan Konsumen Barang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sirkulasi ruang dalam yang akan digunakan pada perancangan ini adalah pola sirkulasi Radial, yaitu pengunjung diarahkan dari plaza penerima hingga menuju loket pembayaran dan

strategi team assisted individualization bagi siswa kelas IX F Semester ganjil SMP Negeri 3 Colomadu tahun 2013/2014 ” sebagai salah satu syarat untuk

Dari empat item pertanyaan mengenai hambatan guru dalam mengembangkan keterampilan mengajar bahasa Jepang di atas, dapat disimpulkan bahwa guru bahasa Jepang di SMA/ SMK se

Adapun hasil refleksi siklus I yang dilakukan pada siklus II yaitu bahwa aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini dilihat dari lembar observasi yang dilakukan dalam

Penelitian ini perbandingan dengan posisi titik model permukaan 3D dari Tugu Pahlawan yang diperoleh dengan menggunakan instrumen teknologi Geomax Zoom 300

Harga Penawaran : Rp 357.549.000,- (Tiga ratus lima puluh tujuh juta lima ratus empat puluh sembilan

Skripsi yang berjudul “Hubungan Supervisi Kepala Ruang dengan Kepatuhan Tenaga Keperawatan dalam Penggunaan Alat Pelindung Diri sebagai Upaya Pencegahan

Tugas akhir ini bertujuan untuk menganalisa sedimentasi yang terjadi pada sudetan Pelangwot dengan menggunakan program bantu HEC-RAS 4.1.0 Konsep yang digunakan dalam