• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

HELMY AKBAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(3)

Kabupaten Sumbawa Barat. Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, dan KADARWAN SOEWARDI.

Pengelolaan suatu sumberdaya pesisir yang baik perlu memperhatikan aspek keberlanjutan. Selain itu, pengetahuan dan informasi sejauh mana potensi sumberdaya pesisir serta konsep pengembangannya kedepan sangat menentukan keluaran (output) yang dihasilkan. Komoditas rumput laut selama ini masih menjadi andalan sektor kelautan dan perikanan. Dalam konsep minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rumput laut menjadi salah satu sektor basis dalam pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. Pada skala lokal, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat menargetkan peningkatan produksi rumput laut dengan pengalokasian lahan pesisir secara maksimal untuk pengembangan budidaya. Tentunya target ini perlu diikuti dengan riset yang menunjang sebagai justifikasi ilmiah agar konsep pengelolaan dan pengembangan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagaimana diketahui Kabupaten Sumbawa Barat terletak di Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan area yang potensial untuk budidaya rumput laut seperti Kappaphycus alvarezii. Pada saat ini, pusat budidaya rumput laut berlokasi di Teluk Kertasari dan Poto Tano. Dari hasil identifikasi ditemukan ada tiga varian rumput laut ekonomis yang diperoleh pada lokasi budidaya yaitu

Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var maumere

+ tambalang) brown red , dan Kappaphycus striatum (sacol) green.

Permintaan pasar untuk komoditas K. alvarezii cenderung meningkat, dan karena itu pembukaan daerah-daerah baru untuk budidaya sangat diperlukan untuk dikembangkan. Studi fisika, kimia dan biologi kelautan diperlukan untuk menilai kesesuaian lokasi budidaya. Metode penentuan daerah kesesuaian menggunakan pembobotan nilai kriteria ekologis dengan analisis GIS (Geographical

Information System). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecamatan Poto Tano

memiliki 805 ha lahan yang cocok untuk budidaya. Sedangkan, Kecamatan Taliwang dan Jereweh memiliki sekitar 70 ha dan 86 ha. Sehingga, total jumlah lahan yang cocok untuk budidaya rumput laut sekitar 961 ha.

(4)

Sumbawa. Supervised by MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL, ARIO DAMAR, and KADARWAN SOEWARDI.

Management of coastal resources is needed a good consideration of sustainability. The extent of knowledge and information as well as the coastal resource potential future development concept will determine the output. Seaweed commodities are still a mainstay for marine and fisheries sector. The Ministry of Maritime Affairs and Fisheries with concept of “minapolitan” include seaweed as one of the flagship commodities in the economic development of coastal communities. At the local scale, the Government of West Sumbawa is targeting to increase seaweed production with a maximum land allocation for marine culture development. Obviously, this target needs to be followed by supporting research as the scientific justification for management and development.

West Sumbawa is included in the Province of West Nusa Tenggara, which is a potential area for seaweed farming. Currently, the center activity for seaweed farming was located in the Gulf of Kertasari and Poto Tano. Three variants are found during field survey on study location as commercial product of seaweed, i.e. Kappaphycus alvarezii (var tambalang) brown yellow, K. alvarezii (var Maumere + tambalang) brown red, and Kappaphycus striatum (var sacol) green.

Market demand for commodities of K. alvarezii tends to be increase, and new areas of cultivation are required to be developed. Through a study of physics, chemistry and biology of marine aspect is needed to assess the area suitability. The method that used for suitability analysis is scoring value based on ecological criteria trough GIS (Geographical Information System) analysis. The result showed that Poto Tano has the biggest suitable for farming (805 ha). While, Taliwang and Jereweh are consist about 70 ha and 86 ha, respectively. Total suitable for seaweed farming is about 961 ha.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis initanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

HELMY AKBAR

Tesis

Sebagai syarat untuk meraih gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian telaah kriteria ekobiologi dan lingkungan alga laut budidaya.dengan judul Analisis Kesesuaian Lokasi untuk Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat.

Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih atas saran dan nasehat dari komisi pembimbing yaitu Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, MSc, Bapak Dr. Ir. Ario Damar, MSi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi selaku penguji luar komisi dan Dr Yon Vitner SPi MSi selaku perwakilan dari program studi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Syamsul Hidayat, MSi (BAPPEDA-KSB), Bapak Iman Teguh, S.Pi, Singgih A. Putra, SPi, MSi, M. Arif Nasution, SPi, MSi, Ahmad M Rangkuti, SPi, MSi yang telah membantu selama penelitian. Serta Bapak Dr. Mujio Sukir dan Destilawaty SPi, MSi yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi pascasarjana.

Terakhir, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada bapak dan ibu di Bima NTB, Imam dan Bang Yudi di Malang serta keluarga di Bogor (A. Solikhah, Abdullah Ismail, dan Abbas Abdurrahman) atas perhatiannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(10)

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Kerangka Pikir dan Perumusan Masalah ... 2

Pendekatan Studi ... 5

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Biologi dan Ekologi Rumput Laut ... 6

Teknik Budidaya Rumput Laut yang Berkelanjutan ... 7

Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut... 8

Suhu ... 8

Kecerahan ... 8

TSS………... ... 9

Arus ... 10

Kedalaman perairan ... 10

Salinitas ... 11

pH ... 11

Nutrien ... 11

Kandungan oksigen terlarut (DO) ... 11

Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) ... 12

Logam berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb)) ... 13

Hama dan penyakit ... 13

Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ... 14

Produktivitas Rumput Laut ... 17

Kandungan Karaginan Rumput Laut ... 18

Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya... 18

Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir ... 19

METODOLOGI PENELITIAN ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Teknik Pengumpulan Data ... 24

Data Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi ... 24

Produksi ... 25

Pengumpulan data sekunder ... 27

Analisis Data ... 27

Analisis Kualitas Perairan dan Identifikasi Jenis Rumput Laut... 27

Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut ... 27

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 30

(11)

Pertumbuhan Ekonomi... 34

PDRB Perkapita ... 35

Potensi Perikanan Laut ... 35

Perikanan Tangkap... 35

Perikanan Budidaya Laut ... 36

Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil ... 37

Kondisi Lokasi Berpotensi Menjadi Sentra Budidaya Rumput Laut ... 38

Keragaan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat... 39

Jalan dan Transportasi ... 42

Potensi Perikanan Budidaya Air Laut... 43

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Biologi dan Ekologi Rumput Laut ... 45

Reproduksi ... 47

Ekologi ... 48

Pemilihan Kriteria Ekologis ... 49

Analisis Kualitas Air... 56

Arus ... 56

Suhu ... 57

Dasar perairan ... 59

Kedalaman air ... 60

Salinitas ... 61

Kecerahan ... 63

Kekeruhan ... 64

pH ... 65

Kandungan Oksigen Terlarut ... 66

Kebutuhan Oksigen Biologis ... 67

Kebutuhan Oksigen Kimiawi ... 68

Nutrien ... 69

Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), tembaga (Cu), mercury (Hg) dan timbal (Pb))... 70

Pencemaran ... 72

Analisis Kesesuaian Budidaya Rumput Laut ... 72

Potensi Budidaya Rumput Laut ... 75

Beberapa Teknologi dan Pengelolaan Budidaya Rumput Laut ... 75

Sistem dan Metode Budidaya ... 75

Potensi Produksi, Kualitas dan Strategi Pengembangan... 79

KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

Kesimpulan ... 81

Saran ... 81

(12)

1 Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk

Budidaya Laut ... 14

2 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 15

3 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 15

4 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 16

5 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 16

6 Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut ... 17

7 Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen ... 18

8 Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian ... 24

9 Data Kecamatan dan Luas Wilayah di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 ... 31

10 Jumlah Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat per Kecamatan ... 32

11 Data Aggregat Kependudukan Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 .. 32

12 Perkembangan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 1971-2008 ... 33

13 Nama pulau-pulau kecil yang ada di KSB dan potensinya ... 37

14 Potensi dan Pemanfaatan Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 40

15 Nilai Produksi Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Jenis Tahun 2009 .... 40

16 Produksi Budidaya Rumput Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 40

17 Luas Areal dan Produksi Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Sumbawa Barat 2004-2008 ... 41

18 Jumlah Nelayan dan Penduduk Desa/Kelurahan Pantai di Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2008 ... 41

19 Potensi Areal, Pemanfaatan dan Produksi Budidaya Laut di Kabupaten Sumbawa Barat 2008 ... 42

20 Potensi Areal Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 (Ha) ... 42

21 Potensi Produksi Perikanan di Kabupaten Sumbawa Barat Dirinci Menurut Kecamatan dan Sub Sektor Tahun 2008 ... 42

22 Potensi, Pemanfaatan Areal, Jumlah RTP Budidaya Laut Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2009 ... 43

23 Potensi Wilayah Budidaya Rumput Laut KSB Tahun 2005 – 2009 ... 44

24 Produksi Budidaya Rumput Laut KSB Tahun 2005 – 2009 ... 44

25 Target Produksi Budidaya Rumput Laut tahun 2010 – 2014 ... 44

26 Karaginan dari beberapa jenis alga (Chapman & Chapman 1980). ... 47

27 Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii berdasarkan Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. ... 48

28 Beberapa parameter atau kriteria ekologis untuk budidaya rumput laut .... 50

(13)

32 Matriks kesesuaian lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii berdasarkan teknologi budidaya mengapung, rakit bambu, dan long line di Kabupaten

Sumbawa Barat ... 55

33 Komparasi perbandingan jenis sedimen pada stasiun pengamatan... 59

34 Komparasi nilai DO, BOD, COD pada stasiun pengamatan ... 69

35 Hasil Analisis Logam Berat di Kolom Air ... 71

(14)

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 4

2 Morfologi Kappaphycus alvarezii ... 7

3 Lokasi penelitian ... 23

4 Metode Budidaya Long Line ... 26

5 Jenis rumput laut dibudidayakan di Pulau Sumbawa ... 46

6 Varian dari K. alvarezii (a) Tambalang, (b) Sacol) ... 47

7 Grafik hasil pengukuran kecepatan arus di enam stasiun ... 57

8 Suhu permukaan laut di enam stasiun pengamatan... 58

9 Grafik rataan kedalaman pada masing-masing stasiun ... 60

10 Grafik nilai salinitas pada lokasi pengamatan ... 62

11 Nilai kecerahan(%) pada masing-masing stasiun pengamatan ... 63

12 Grafik nilai kekeruhan pada masing-masing stasiun pengamatan ... 65

13 Grafik derajat keasaman pada masing-masing stasiun pengamatan .... 66

14 Grafik nilai kandungan DO yang terukur pada stasiun pengamatan.... 67

15 Grafik nilai BOD pada masing-masing stasiun pengamatan ... 68

16 Grafik nilai COD pada masing-masing stasiun pengamatan ... 68

17 Kandungan nitrat pada stasiun pengamatan ... 70

18 Kandungan fosfat ... 70

19 Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam mengapung atau long line ... 73

20 Peta kesesuaian untuk budidaya rumput laut dengan metode tanam tancap dasar ... 74

21 Budidaya rumput laut dengan menggunakan metode longline ... 76

22 Budidaya rumput laut metode atausistem dasar ... 77

23 Jenis hama pengganggu yang ditemukan ... 77

24 Budidaya rumput laut metode rakit ... 78

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara ekonomi rumput laut merupakan komoditas yang perlu dikembangkan karena produk sekundernya dapat memberi manfaat yang cukup besar pada berbagai bidang industri seperti industri farmasi (salep dan obatan-obatan), industri makanan (agar, alginate, dan karaginan). Realisasi produksi rumput laut pada tahun 2010 adalah sebesar 3,082 juta ton. Berdasarkan data Statistik KKP 2010-2011 produksi budi daya rumput laut selama lima tahun yaitu sejak tahun 2005 hingga 2010 mengalami kenaikan yang signifikan. kenaikan jumlah produksi pada 2005-2006 mencapai 0,46 juta ton atau setara dengan 50,55%. Pada 2006-2007 sebanyak 0,36 juta ton atau setara dengan 26,28%, Pada 2007-2008 sebesar 0,417 juta ton atau setara dengan 24,13%. Pada 2008-2009 sebesar 0,43 juta ton atau setara dengan 20 %. Pada 2009-2010 sebesar 0,51 juta ton atau setara denga 19,74%. Dengan demikian rata-rata kenaikan selama lima tahun mencapai 28,14%.

Penurunan suatu produksi dapat disebabkan oleh lemahnya teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang dan sumberdaya). Akibat simultan yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti ice-ice yang menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte, 1996). Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi budidaya (Rorrer et al. 1998; Peira, 2002).

Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2001 sebesar 212.478 ton basah dan tahun 2004 sebesar 410.570 ton basah. Rendahnya produksi rumput laut dikarenakan pemanfaatan potensi laut belum maksimal. Areal strategis yang dapat digunakan untuk pengembangan budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 1.110.900 ha, namun baru dimanfaatkan sekitar 222.180 ha atau 20% (Ditjenkanbud, 2005 dalam Sirajuddin, 2008). Pada tahun 2010, total produksi telah mencapai 3,082 juta ton.

Sebaran geografis lokasi pengembangan budidaya rumput laut masih terbatas pada jenis dan daerah tertentu misalnya jenis Gracilaria terdapat di Sulawesi Selatan, untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et al. 2000).

Budidaya rumput laut telah berkembang di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), luas areal mencapai 150 Ha dengan potensi pengembangan 1.550 Ha pada tahun 2010, adapun produksi rumput laut pada tahun tersebut mencapai 62,507.50 ton basah (DKPP-KSB, 2010).

(16)

optimum pengembangan yang dapat dicapai dengan membangun sentra budidaya rumput laut.

Pemilihan lokasi penelitian dapat dilakukan dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua 1992; Gurno 2004), terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.

Kerangka Pikir dan Perumusan masalah

Keragaman potensi sumberdaya pesisir dan laut tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu sektor unggulan dalam menunjang pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Sumbawa Barat. Usaha budidaya rumput laut di Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi para nelayan pesisir untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan. Adanya hambatan melaut ketika musim tertentu karena cuaca buruk memungkinkan pengembangan usaha budidaya ini. Permasalahan dan isu pokok yang terkait dengan pengelolaan untuk pengembangan budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat meliputi :

1. Belum adanya kriteria yang komprehensif didalam analisis kesesuaian untuk budidaya rumput laut, sehingga diperlukan adanya kriteria yang komprehensif. Dalam hal ini termasuk penentuan kriteria ekologis berdasarkan teknologi budidaya yang digunakan.

2. Dalam hal penataan ruang; Penetapan lokasi dan pengaturan ruang perlu diperjelas untuk membangun wilayah pesisir yang sesuai untuk peruntukan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii), sehingga kajian terkait analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut perlu dilakukan. Tentunya dengan mempertimbangkan aspek biofisik dan kimia perairan yang semuanya dipadukan dalam konsep kesesuaian lahan untuk tata ruang kawasan pesisir.

3. Peranan faktor lingkungan terhadap produksi rumput laut perlu dikaji karena akan berpengaruh terhadap pencapaian biomass optimum, kandungan karaginan rumput laut yang nantinya akan berpengaruh terhadap kualitas gel strength dari Kappaphycus alvarezii. Selain itu, dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut perlu memperhatikan teknologi budidaya yang efektif.

Secara umum maka pemecahan masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah bagaimana pemanfaatan kawasan pesisir untuk pengembangan budidaya rumput laut (Kappaphycus alvarezii) yang memenuhi persyaratan teknis agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Untuk meminimalkan kerusakan dan tekanan ekologis perairan dalam pengembangan budidaya rumput laut, maka terlebih dahulu perlu dilakukan suatu kajian tentang “Analisis Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Di Kabupaten Sumbawa Barat" yang diangkat dalam topik tesis pada kesempatan ini.

(17)
(18)

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi dan Permasalahan

Wilayah Pesisir Kabupaten Sumbawa Barat

Analisis Spasial (GIS) Studi Pustaka

Survey Lapangan

Zonasi pengembangan budidaya rumput laut

Pemanfaatan tahun sebelumnya Pemanfaatan lokasi

terkini

Evaluasi pemanfaatan Kriteria ekologis kesesuaian lingkungan

Kajian penentuan parameter utama lingkungan

Identifikasi jenis rumput laut budidaya dan penilaian

produktivitas Kondisi ekosistem dan

lingkungan perairan

(19)

Pendekatan Studi

Pendekatan studi dilakukan dengan cara mengkaji literatur yang berkaitan dengan penentuan aspek ekologis (bio-fisik dan kimia perairan) yang pernah digunakan untuk kriteria kesesuaian untuk ruang hidup rumput laut (Kappaphycus alvarezii) lalu merancang dan membuat kriteria kesesuaian yang baru, serta kajian mengenai aspek produktivitas rumput laut yang dihasilkan dari proses budidaya. Pendekatan terhadap aspek produktivitas dilakukan untuk menentukan kelayakan dari hasil produksi. Jumlah produksi per tali ris rumput laut dihitung untuk menentukan produktivitas rumput laut.

Tujuan dan manfaat penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Sumbawa Barat untuk budidaya rumput laut melalui pengalokasian kawasan yang sesuai. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan kebijakan zonasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut di pesisir Kabupaten Sumbawa Barat. Sekaligus sebagai bahan masukan untuk penataan ruang pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan 2 (tiga) langkah penelitian yaitu :

1. Mengkaji kriteria kesesuaian lingkungan (biofisik dan kimia perairan) sebagai bahan informasi pengembangan kawasan berbasis budidaya rumput laut.

2. Membangun kriteria kesesuaian yang baru melalui analisis untuk selanjutnya dilakukan pengelompokan kawasan budidaya rumput laut (berdasarkan teknologi budidaya) melalui analisis spasial.

3. Mengkaji produksi budidaya rumput laut yang telah dibudidaya menggunakan indikator jumlah produksi untuk mengukur produktivitas budidaya.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi dan Ekologi Rumput Laut

Rumput laut merupakan nama komoditi dalam perdagangan nasional untuk jenis alga (seaweed). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati tetapi hanya mempunyai batang yang disebut thallus. Rumput laut hidup di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu, dan benda keras lainnya (Rorrer, et al. 2004; Lee, et al. 1999).

Pertumbuhan dan penyebaran rumput laut sangat tergantung dari faktor-faktor ekologis serta jenis substrat dasarnya. Untuk pertumbuhannya, rumput laut mengambil nutrisi dari lingkungan sekitarnya secara difusi melalui dinding thallusnya. Perkembangbiakannya dilakukan dua cara, yaitu secara kawin antara gamet jantan dan gamet betina (generatif) serta secara tidak kawin dengan melalui vegetatif, konjugatif dan persporaan (Ditjenkan Budidaya, 2005).

Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada famili yang sama antara Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum, patogen thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut, baik dalam mengidentifikasi jenis, genus maupun famili (Aslan, 1988). Selanjutnya Kadi dan Atmaja (1988) memberikan ciri-ciri umum dari Eucheuma adalah thallus bulat silindris atau pipih, berwarna merah, merah coklat, hijau-kuning dan bercabang tidak teratur, mempunyai benjolan-benjolan atau duri, substansi thalli gelatinus dan atau kartilagenus.

Menurut klasifikasi Doty (1985) dalam www.algaebase.org rumput laut jenis E. cottonii berganti nama menjadi Kappaphycus alvarezii. Penggunaan nama

Kappaphycus oleh Doty (1985) digunakan untuk keluarga Euchema yang menjadi

komoditas budidaya yang menghasilkan kappa karaginan. Adapun untuk jenis Euchema lain nama speciesnya tidak berubah seperti Euchema denticulatum. Adapun E. cottonii menjadi nama sinonim. Walau demikian beberapa peneliti ditemukan masih menggunakan nama E. cottonii, berikut klasifikasinya:

Empire : Eukaryota Kingdom : Plantae Subkingdom : Biliphyta

Phylum : Rhodophyta

Subphylum : Eurhodophytina Class : Florideophyceae Subclass : Rhodymeniophycidae Order : Gigartinales

Family : Areschougiaceae

Tribe : Eucheumatoideae

Genus : Kappaphycus

(21)

Gambar 2. Morfologi Kappaphycus alvarezii

Menurut beberapa peneliti seperti Dawson, 1956; Rorrer, et al. 2004, bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir dan berlumpur misalnya Gracilaria sp. (Jones, et al. 2003). Substrat yang paling umum untuk tempat hidup rumput laut adalah kapur (Dawes, 1981). Selanjutnya (Dawes, 1981) juga menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut.

Teknik Budidaya Rumput Laut Yang Berkelanjutan

Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah : mono species, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar, dan bahan kimia lainnya.

Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Kadi dan Atmadja, 1988).

Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi juga oleh jarak bibit yang diikat pada tali ris (lihat Gambar 6) Sulistijo (1987). Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa dengan jarak tanam 35 cm dengan menggunakan jaring apung didapat pertumbuhan harian yang paling tinggi yaitu 3,95 % per hari. Untuk metode rakit jarak tanam antar rumpun adalah 20 cm, sedangkan metode untuk tali gantung bibit jarak antar rumpun yakni 30 cm. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada kesesuaian metode budidaya (Kadi dan Atmadja 1988).

(22)

500-600 gram atau dengan tingkat pertumbuhan per hari 2 – 3 %. Jika dilakukan 6 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton/ha rumput laut basah atau kira-kira 11 ton/ha rumput laut kering.

Kondisi Lingkungan yang Mempengaruhi Budidaya Rumput Laut Suhu

Suhu lingkungan berperan penting dalam proses fotosintesa, dimana semakin tinggi intensitas matahari dan semakin optimum kondisi temperatur, maka akan semakin nyata hasil fotosintesanya (Lee, et al. 1999). Kecukupan sinar matahari sangat menentukan kecepatan rumput laut untuk memenuhi kebutuhan nutrien seperti karbon (C), nitrogen (N) dan posfor (P) untuk pertumbuhan dan pembelahan selnya. Rumput laut memiliki toleransi terhadap kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim, dan akan tumbuh subur pada daerah yang sesuai dengan suhu di laut yaitu pada kisaran suhu 20 - 30°C (Luning, 1990).

Menurut Lee et al. (1999), bahwa suhu yang dibutuhkan oleh beberapa rumput laut berbeda satu sama lain, tetapi secara umum suhu yang dibutuhkan oleh rumput laut untuk pertumbuhan berkisar antara 20 - 30°C. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), bahwa suhu dapat mempengaruhi perkembangan reproduksi beberapa jenis alga, misalnya perkembangan gamet Gigartina scicularis, akan terbentuk pada suhu antara 14 – 18°C. Dalam pertumbuhannya, Eucheuma membutuhkan suhu sekitar 27-30 °C dan Gracilaria 20 - 28°C. Menurut Hutagalung (1988), bahwa batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah adalah 34,5°C dan untuk alga biru hijau 37°C. Suhu mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981).

Dawes (1981) menyatakan bahwa rumput laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya enzim pada rumput laut yang tidak dapat berfungsi pada suhu yang terlalu dingin maupun terlalu panas. Kisaran suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimum rumput laut berbeda untuk setiap jenis.

Menurut Kadi dan Atmaja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya rumput laut E. Cottonii berkisar antara 27-29 ºC. Sedangkan Ditjenkanbud (2005) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 27-29 ºC Eucheuma memberikan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5 %. Menurut Rorrer, et al. (2004), bahwa suhu 10 - 15°C dapat meningkatkan pertumbuhan sel dan jaringan rumput laut (L.

saccharina) 10% / hari dan suhu 10 - 18°C dapat tumbuh 15% /hari pada rumput

laut jenis (A. coalita). Menurut Moll dan Deikman (1995), bahwa rumput laut tumbuh dengan cepat pada suhu 35°C dan pada suhu 40°C dapat mematikan.

Kecerahan

Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesa. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybakken, 1988).

(23)

dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Menurut Kadi dan Atmadja (1988) mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap produksi dan pertumbuhan rumput laut.

Menurut Archibold (1995), bahwa persaingan untuk mendapatkan cahaya dianggap sebagai faktor paling penting yang mempengaruhi penyebaran species rumput laut. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik yang tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Menurut Rorrer et al. (2004), bahwa alga coklat (L. sacharina) dapat tumbuh dengan intensitas cahaya (dp < 1 mm), alga hijau ( A. coalita) (dp < 3 mm) dan alga merah (A. subulata, O. secundiramea) (dp = 1,6 mm – 8 mm). Selanjutnya rumput laut jenis (A. coalita) intensitas cahaya (10 – 80 mm) dapat tumbuh 15%/hari. Menurut Levina (1984), Jones (1993), Msuya dan Neori (2002), bahwa sinar matahari berfungsi dalam proses fotosintesa dalam sel rumput laut.

Total Suspended Solid (TSS)

Total Padatan Tersuspensi atau Total Suspended Solid (TSS) didefinisikan sebagai bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000).

Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Menurut Effendi (2000) bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air.

Nilai TSS dapat dipengaruhi oleh musim. Sebagai contoh, TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama. Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulan-bulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah 109.7 mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana et al. 1980).

Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barrett dan Curtis, 1982).

(24)

gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997).

Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance).

Ketentuan TSS pada perairan laut untuk budidaya dimuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yaitu Kep.Men.02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut. Pada level yang diperbolehkan nilai TSS mencapai 80 sedang nilai TSS yang diinginkan yaitu lebih kecil (<) dari 25. Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menilai kualitas air untuk peruntukan budidaya rumput laut.

Arus

Arus dan gerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan oksigen terlarut untuk menjaga kestabilan suhu (Trono dan Fortes, 1988), Peranan lain arus adalah menghindarkan akumulasi lumpur dan epifit yang melekat pada thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan rumput laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979). Menurut Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007), bahwa arus merupakan faktor yang dapat mengontrol dan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Arus berperan penting bagi penyediaan nutrien dalam perairan dan dapat mengontrol peningkatan suhu air. Menurut Sulistijo (1987), bahwa arus yang kuat, gelombang yang besar dengan disertai angin menyebabkan terjadinya kerusakan pada rumput laut seperti terputusnya thallus, robek ataupun terlepas dari substratnya dan pelepasan spora yang baru menempel pada substrat tertentu.

Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/s. Selain itu penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang tenang.

Kedalaman Perairan

(25)

Salinitas

Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai. Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut (Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50 ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17 ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988).

pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp. berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987), pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990). Menurut Luning (1990), bahwa perubahan pH perairan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah asam (pH turun) akan mengganggu kehidupan rumput laut dan organisme akuatik lainnya. Nilai pH sangat penting diketahui karena banyak reaksi kimia dan biokimia yang terjadi pada tingkat pH tertentu. Perairan yang menerima limbah organik dalam jumlah yang besar berpotensi memiliki tingkat keasaman yang tinggi.

Nutrien

Rumput laut sebagai tanaman berklorofil memerlukan nutrien sebagai bahan baku fotosintesa. Unsur fosfor dan nitrogen diperlukan rumput laut bagi pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfor yang dapat diserap oleh rumput laut dalam bentuk orthofosfat. Sedangkan nitrogen diserap dalam bentuk nitrat, nitrit maupun amonium (Dawes, 1981).

Menurut Sulistijo (1987) bahwa kandungan nitrat yang mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut adalah lebih besar dari 0,014 ppm. Selanjutnya Law (1969) dalam Syahputra, (2005) bahwa perairan dengan kandungan fosfat di atas 0,110 ppm adalah tergolong perairan dengan kriteria subur.

Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut dalam air dapat berasal dari proses difusi dari udara dan hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air lainnya. Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang diperlukan dalam melakukan proses respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme.

(26)

Selanjutnya menyatakan bahwa oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk dalam proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri. Proses dekomposisi ini memerlukan oksigen terlarut dalam jumlah yang banyak. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan dapat menghambat pertumbuhan rumput laut.

Oksigen terlarut (DO) pada umumnya banyak dijumpai di lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air laut. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Air laut mengandung sejumlah gas-gas terlarut di dalamnya. Semua gas-gas yang terdapat di atmosfir dapat dijumpai dalam air laut, walaupun dalam jumlah yang tidak sama seperti yang ada di udara. Gas oksigen terlarut sangat penting, karena gas ini sangat dibutuhkan oleh organisme air. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme.

Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Adanya oksigen di laut berasal dari fotosintesis tanaman air dan fitoplankton serta adanya proses pertukaran dengan udara di atasnya.

Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

COD menggambarkan kandungan bahan organik dan anorganik di perairan. Muatan bahan organik yang ada dapat diketahui dengan menghitung konsentrasi oksigen berdasarkan reaksi dari suatu bahan oksidasi (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimia bahan organik baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar degradasi secara biologi (non- biodegradable), menjadi CO2 dan H2S. Pada

prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988).

(27)

Logam Berat (cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb))

Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al. 2004). Logam berat (Pb, Cu, Cr, Zn dan lainnya) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat (Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan Teluk Loreto California Mexico ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd) dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002).

Demikian juga pada alga merah (P. colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999). Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual bahkan dapat ditolak oleh konsumen.

Menurut Palupi (1994), standar timbal dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang ditetapkan oleh Food Chemical

Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar 0,004%. Selanjutnya standar mutu

yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung Pb < 10 mg/liter (King, 1983). Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang berbahaya antara lain cadmium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury (Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008).

Menurut Villares et al. (2002), bahwa rumput laut banyak yang terakumulasi logam berat pada berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan (Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian konsentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan (Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya Wright dan Mason (1999), melaporkan bahwa konsentrasi logam berat pada alga laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akumulasi dengan logam berat (cu, cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb).

Hama dan Penyakit

(28)

rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006).

Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis

Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman

tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat ice-ice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama. Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Perifiton yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik, fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005).

Matrik Kesesuaian Budidaya Rumput Laut

Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut secara tersirat tertuang dalam ketentuan mutu tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Parameter oseanografi sendiri meliputi kedalaman, arus, substrat dasar, keterlindungan, Suhu, Salinitas, pH, TSS.

Tabel 1. Persyaratan ekologis untuk lokasi budidaya rumput laut Euchema cottonii menurut Kep. Men. 02/MenKLH/I/1988 tentang Kualitas Air Laut untuk Budidaya Laut.

No. Parameter Satuan Diperbolehkan Diinginkan A. Oseanografi

1 Kedalaman m 5-40 7 –15

2 Arus m/detik 0.15 - 0.50 0.25-0.35

3 Substrat Dasar - Pasir Karang

4 Keterlindungan - Terlindung Sangat terlindung

B. Kualitas Air

1 Suhu 0C alami alami

2 Salinitas ±10% alami

3 pH mg/l 6-9 6.5-8.5

4 TSS - 80 < 25

Adapun bobot menurut Aslan (1988) dan Ditjekanbud (2005), bahwa kecerahan, salinitas, nitrat dan fosfat memperoleh nilai bobot (12%), sedangkan arus, keterlindungan, suhu, kedalaman, gelombang, substrat dan pencemaran nilai bobotnya (8%) (Tabel 2).

(29)

Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut

Parameter Satuan

Skor (S) Bobot

(%) Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai

1 2 3 5

Arus cm/s <10 atau >40 10-20 atau 30-40

20-30 8

Kecerahan m <3 3-5 >5 12

Keterlindungan - terbuka agak

terlindung

Menurut Aslan (1988) dan Ditjenkanbud (2005), bahwa pemberian bobot untuk matrik kesesuaian budidaya rumput laut tergantung dari pengaruhnya terhadap pengembangan budidaya rumput laut, artinya bobot yang tinggi diberikan apabila parameter tersebut sangat diutamakan untuk keberhasilan budidaya rumput laut. Sedangkan bobot yang rendah diberikan sebagai pelengkap saja, namun semuanya saling melengkapi.

Selanjutnya Bakosurtanal (2005), memberikan bobot yang tinggi pada kedalaman (35%), kecerahan (25%), sedangkan DO, salinitas, suhu dan pH memperoleh bobot yang rendah (10%) (Tabel 3).

Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut

(30)

Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut

Sumber: Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et al. (2007)

Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee, (1990) dalam Radiarta, et al. (2007) memberikan bobot yang tinggi pada kecerahan (0.4%), kedalaman (0.3%), dan arus (0.2%). Sedangkan gelombang diberikan bobot yang rendah (0.1%) (Tabel 5).

Tabel 5. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut

Parameter Satuan Bobot

Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit

Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit

Jumlah 100

Sumber: Radiarta et al. (2005)

Menurut Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007), bahwa pembobotan pada setiap faktor pembatas/peubah ditentukan berdasarkan pada dominannya peubah tersebut terhadap suatu peruntukan kelayakan lahan budidaya laut (ikan, rumput laut, dan tiram mutiara). Kemudian diurutkan faktor-faktor pembatas tersebut dimulai dari yang paling berpengaruh terhadap suatu peruntukan.

Selanjutnya Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007) memberikan bobot yang paling tinggi pada morfologi, substrat dasar, kecerahan dan logam berat (0.1%), arus, kedalaman, dan salinitas (0.09%), hewan herbivora (0.08%), keterjangkauan (0.07%). Sedangkan tenaga kerja dan keamana bobotnya yang rendah dari parameter sebelumnya (0.06%) (Tabel 6).

(31)

Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter Satuan Bobot

(%)

Nilai (Value)

4 3 2 1

Morfologi 0,1 Terlindung Agak

terlindung

Dari kelima matrik yang disusun oleh para peneliti tersebut di atas (Tabel 2, 3, 4, 5 dan 6) dapat diambil suatu gambaran bahwa parameter utama yang perlu diperhatikan sebelum melakukan usaha budidaya rumput laut di suatu lokasi adalah kedalaman, kecerahan, salinitas, morfologi, arus, nitrat dan fosfat.

Produktivitas Rumput Laut

(32)

yang dipelihara pada suhu 17°C dan 21°C, pH 8.46, DO 8 – 10 mg/l dan salinitas 33 ppt dapat mencapai pertumbuhan maksimum 11,5 gram berat kering /hari.

Kandungan Karaginan Rumput Laut

Karaginan merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan yang kandungannya sangat bervariasi tergantung musim, spesies, dan habitat (Percival, 1968). Menurut WHO (1999), karaginan adalah suatu polisakarida linier dengan berat molekul di atas 100 kDa. Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut dan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut (Hellebust dan Cragie, 1978; Levring, et al. (1969) dalam Fritsch, (1986). Karaginan rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 7).

Tabel 7. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Euchema yang dinyatakan dalam persen

No. Jenis Kandungan karaginan Lokasi

1. Euchema spinosum 72,8 Tanzania

2. Euchema striatum 69,0 Tanzania

3. Euchema platycladum 85,0 Tanzania

4. Euchema okamurai 58,0 Tanzania

5. Euchema spinosum 54,0 Tanzania

6. Euchema spinosum 65,7-67,5 Indonesia

7. Euchema cottonii 61,5 Indonesia

Sumber: Gliksman (1983)

Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya. Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rumput laut. Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut.

Aplikasi SIG dalam Penataan Ruang Pesisir untuk Budidaya

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan (Esri, 1990; Burrough, 1986; Burrough dan McDonnel, 1998). Dengan menggunakan SIG kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spasial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir (Gunawan, 1998).

(33)

daya dukung lingkungan perairan antara lain : (Ross et al. 1993; Ismail, et al. 1996; Ismail, et al. 1998; Tarunamulia et al. 2001; Radiartha, et al. 2003).

Menurut Ross, et al. (1993), bahwa faktor utama yang diperlukan untuk menentukan kelayakan budidaya ikan salmon dalam KJA di laut antara lain : kedalaman, kecepatan arus, salinitas, temperatur dan oksigen terlarut. Hasil analisa SIG diperoleh luasan lokasi yang cocok untuk KJA di teluk Camas Bruaich Ruaidhe di wilayah Scotlandia sebesar 1,26 ha yang terletak di kawasan tengah bagian selatan teluk. Menurut Ismail, et al. (1996), bahwa pemilihan lokasi untuk KJA reservat didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan baik teknis (kondisi perairan dan padang lamun) maupun non teknis (mudah tidaknya memperoleh induk, keamanan, lingkungan, tenaga kerja, dll). Hasil analisa SIG ternyata perairan Tanjung Duku Dompak Kepulauan Riau memperoleh skor yang paling tinggi (4,57). Selanjutnya Ismail, et al. (1998) menyatakan bahwa penempatan panti benih terapung ikan karang dilakukan atas dasar parameter teknis dan non teknis meliputi kualitas air, kesuburan air, ekosistem, ketersediaan induk dan kemudahan mencapai lokasi, bahan KJA, tenaga kerja, keamanan, sarana, masyarakat dan pasar. Hasil yang diperoleh bahwa perairan selatan Pulau Bintan memiliki lokasi yang lebih baik daripada perairan kepulauan Karimun Jawa dan memiliki skor paling tinggi yaitu 512,5.

Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk pengembangan budidaya laut di teluk Ekas, Tarunamulia, et al. (2001) melaporkan bahwa faktor resiko, oseanografi dan kemudahan menjadi acuan secara umum untuk mendukung usaha budidaya dalam KJA di teluk Pare-pare. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dari luas teluk 3.000 ha, diperoleh 2.185,67 ha tergolong layak dan 783,45 ha tergolong layak sedang. Menurut Radiarta, et al. (2003) bahwa penentuan lokasi untuk budidaya laut berdasarkan penggabungan beberapa faktor internal (kualitas perairan) dengan SIG serta memperhatikan faktor eksternal (penduduk, jalan, dll).

Penataan Ruang dan Zonasi Kawasan Pesisir

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang telah diperbaharui dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang didefinisikan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang darat, laut dan udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dengan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan demi memelihara kelangsungan hidupnya.

Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah Propinsi, ruang wilayah Kabupaten, dan ruang wilayah tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Selama ini, rencana tata ruang yang disusun dan digunakan lebih berorientasi pada wilayah daratan dan belum banyak memperhatikan wilayah pesisir dan laut seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Tata Ruang sebagaimana yang tersebut di atas, padahal perencanaan penataan ruang wilayah pesisir dan laut itu sendiri tidak dapat dipisah-pisahkan dari produk Rencana Tata ruang Wilayah Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

(34)

Pemerintahan Daerah, maka terjadi perubahan paradigma pembangunan dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan wilayah. Pembangunan dengan pendekatan sektoral yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan segi spasial sehingga sering terjadi konflik kepentingan antara stakeholders dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Untuk itu diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini maka pembangunan sektoral dengan pola vertikal-sentralistik dapat bergeser dari pembangunan wilayah dengan pola koordinatif-desentralistik, upaya koodinasi pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan berpedoman pada Rencana Tata Ruang.

Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan dalam optimalisasi pemanfaatan ruang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi manusia dengan berbagai ekosistem yang ada.

Perkembangan pembangunan di suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut.

Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian lahan (Dahuri, et al. 1997).

Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bangda Depdagri, 1998).

(35)
(36)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mempunyai potensi sumber daya pesisir seperti: Pesisir Kecamatan Poto Tano, Taliwang, Jereweh, dan Sekongkang. Untuk wilayah yang telah memiliki usaha budidaya rumput laut yaitu seperti Poto Tano dan Taliwang (Gambar 3), penelitian dilakukan untuk mengetahui optimalisasi pemanfaatan lahan. Sedang untuk Jereweh dan Sekongkang untuk meneliti peruntukan wilayah pesisir laut yang sesuai untuk pengembangan kawasan budidaya rumput laut.

Pengambilan data dilakukan di empat wilayah perairan kecamatan pesisir, dengan masing-masing dua hingga tiga titik pengambilan sampel. Direncanakan, dengan jarak ±0,5 sampai 1 km dari garis pantai ke arah laut, atau batas kedalaman yang masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya rumput laut. Penelitian lapangan untuk pengumpulan data primer dan sekunder sudah dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan September hingga Oktober 2011. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei ground check yang dirancang berdasarkan GIS (Geografic Information System).

Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan teknik purposive sampling. Menurut Hadi (2005), bahwa penentuan titik pengambilan sampel air muara atau air laut pada kedalaman tertentu didasarkan pada perbedaan suhu dan salinitas. Untuk daerah pantai atau pelabuhan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, titik pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan 0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Selain itu, penentuan lokasi atau stasiun penelitian juga memperhatikan faktor keterlindungan dengan melihat keberadaan teluk atau pulau-pulau kecil yang berada di depan daratan besar. Faktor keterlindungan akan mempengaruhi besaran gelombang dan kecepatan arus yang sesuai untuk budidaya rumput laut.

(37)

(38)

Teknik Pengumpulan Data

Data Parameter Fisika, Kimia, dan Biologi

Data primer dikumpulkan secara langsung di lapangan pada setiap stasiun. Parameter yang diamati/diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Secara rinci parameter yang diamati/diukur disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian

No Parameter Alat

current meter dan stopwatch Tali penduga dan meteran

Frekuensi : Satu kali pengambilan

A. Parameter Fisika

(39)

B. Parameter Kimia

Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30 cm dari dasar). Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur salinitasnya; pH diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas pH indikator ke dalam air lalu dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat, contoh air diambil langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang

berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP-IPB Bogor.

C. Parameter Biologi

Untuk hama pengganggu, pengamatan dilakukan dengan metode visual sensus dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan. Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan sensus ini diawali dengan pemasangan garis transek dengan ukuran 50 m dengan menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m (English, et al, 1994).

Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas 1.000 m2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun) pengamatan. Selama pengamatan berlangsung, direncanakan, akan dicatat apa yang diamati meliputi bulu babi (Tripneustes) dan teripang yang menempel pada thallus rumput laut. Serta jenis ikan seperti ikan beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), avertebrata air seperti bintang laut (Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus ke depan sampai sejauh 50 m. Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan alat bantu pernapasan.

Produksi

(40)

tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m, panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris (tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm. Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan biasanya memiliki 5 – 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 – 42 hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m2 atau satu unit budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m2 (Gambar 4).

Gambar 4. Metode Budidaya Long Line

Data yang diambil untuk menghitung produksi rumput laut diambil dengan cara ditimbang berat rumput laut saat awal budidaya dan pada saat panen. Pemeliharaan rumput laut dilakukan oleh nelayan (petani). Satu unit budidaya terdiri dari 10 tali ris. Jarak antara tali ris dengan tali ris yang lain ± 2 m. Jadi secara keseluruhan banyaknya ikatan rumput laut 200 rumpun/tali ris atau 2.000 rumpun/1.000 m2.

(41)

panen. Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya.

Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan sebagai berikut : Berat panen total (Bp) / tali ris dibagi dengan luas panen budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan :

P = Produksi total (kg/ha) Bp = Berat panen (kg) Lp = Luas panen (ha)

Pengumpulan data sekunder

Data sekunder antara lain diperoleh dari hasil-hasil penelitian, literatur-literatur penunjang dan peta-peta yang berhubungan dengan lokasi penelitian.

Analisa Data

Analisis Kualitas Perairan dan Identifikasi Jenis Rumput Laut

Analisis kualitas air dilakukan secara deskriptif terhadap hasil pengukuran yang diperoleh di lapang dengan membandingkan dengan baku mutu kualitas air yang dikeluarkan oleh KLH untuk kepentingan budidaya atau standar kriteria, batasan yang digunakan oleh para pakar yang berkecimpung dalam bidang budidaya rumput laut. Identifikasi jenis rumput laut dilakukan dengan melihat dan membandingkan sampel rumput laut yang diperoleh di lokasi dengan situs elektronik www.algaebase.org.

Analisis Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput Laut

Tahap awal dari analisis kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut meliputi penyusunan matrik kesesuaian yang merupakan dasar untuk analisa keruangan. Matrik ini disusun melalui studi pustaka sehingga sapat diketahui parameter-parameter lingkungan yang menjadi syarat untuk kegiatan budidaya rumput laut.

Kriteria yang digunakan dalam penyusunan matrik untuk menentukan kelayakan lokasi budidaya rumput laut mengacu pada kriteria yang telah disusun oleh KLH (1988 dan 2004), Aslan (1988) serta kriteria lain yang relevan. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu; (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk kesesuaian budidaya rumput laut.

A. Penyusunan peta kawasan

(42)

query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui :

 Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan budidaya rumput laut, dan kawasan mana saja yang dijadikan sebgai kawasan lindung.

 Hasil penyusunan peta kawasan yang sesuai dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang.

B. Penyusunan matrik kesesuaian

Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut berdasarkan hasil studi pustaka. Matrik ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matrik tersebut akan dapat diketahui data dari berbagai parameter dan cara analisisnya. Kategori kesesuaian pada matrik ini menggambarkan tingkat kesesuaian lokasi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 3 (tiga) kategori yang didefinisikan sebagai berikut :

Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable)

Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan.

Kategori (S2) : Sesuai (suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan.

Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable)

Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.

C. Pembobotan dan pengharkatan

(43)

D. Analisis Spasial

Gambar

Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut
Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut
Gambar 3. Lokasi Penelitian
Tabel 8. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati selama penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

R: Karena perubahan suhunya lebih tinggi, banyak P: Trus, kalor yang sama diberikan kepada dua buah benda dengan massa yang sama, suhu awal yang sama, tetapi kedua benda

Daya dukung sistem fondasi harus lebih besar daripada beban yang bekerja pada fondasi Penurunan yang terjadi akibat pembebanan tidak.. melebihi dari penurunan yang diijinkan

Untuk dapat mengembangkan eksibisi yang interaktif, museum dapat menggunakan alternatif membuat ruang penemuan ( discovery room ) atau paviliun untuk anak, tanpa harus

Berkas- berkas cahaya yang tiba di layar akan mengalami interferensi konstruktif dan destruktif juga sehingga akan dihasilkan pola gelap terang tetapi dalam bentuk

Dalam bentuk awalnya, yang bermula dari Perancis, Masa Adven merupakan masapersiapan menyambut Hari Raya Epifani, hari di mana para calon dibaptis menjadi warga Gereja;

Metode pembelajaran yaitu cara penyajian yang harus dikuasai oleh pendidik atau seorang guru untuk menyajikan materi pelajaran kepada siswa baik secara

10. Berikan contoh tindakan ekonomi yang didasarkan atas kejujuran, tanggung jawab dan santun!.. 10 Semoga Sukses.. Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Aplikasi Data