DI KABUPATEN DELI SERDANG
EKO NURWIJAYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung dalam Rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2008
ABSTRACT
EKO NURWIJAYANTO. Analysis of Forest and Protected areas in order to Formulate Land Allocation in Deli Serdang District. Supervised by DWI PUTRO
TEJO BASKORO and WIDIATMAKA
As an upstream and buffer areas, the ecological existence of forest and other protected areas have an important role in Deli Serdang district. Nowadays, forest and other protected areas has been degraded due to the increasing population and development activities. Without any effort to reduce the degradation, the problem will even more serious and give a worse impact in the future.
A research that aims to : (1) analyze forest area and other protected area in accordance to biophysical condition that should be maintained; (2) formulate guidelines of land allocation of district according to biophysical condition; (3) analyze the possibility of improper use of protected area function in Deli Serdang district and (4) find out the indication of population pressure to protected area was carried out at Deli Serdang district.
Data processing and analysis were done with GIS system through overlay operation of different themes of data. The result of analysis showed that the forest area that should be maintained were 50.009 ha (20,02 %). Identification of protected area based on Presidential Decree No. 32 year 1990 showed that 96,764 ha (38.74%) were the protected area, while the remaining 153,016 ha or 61.26 % were the cultivation area. In total, there were 34.95% of the protected areas which were used for production or cultivation. According to the analysis result, there were 312 villages which have population pressure more than 1 and 66.59% of those villages are in the protected area.
RINGKASAN
EKO NURWIJAYANTO. Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung dalam Rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan WIDIATMAKA.
Terpeliharanya kelangsungan fungsi ekologis dari kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya di Kabupaten Deli Serdang mempunyai arti penting bagi wilayah di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena secara fisik wilayah Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan hulu dan penyangga bagi wilayah tersebut. Saat ini kondisi kawasan hutan dan kawasan lindung yang ada telah mengalami kerusakan akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan yang bila terus dibiarkan akan menimbulkan akibat yang buruk di masa datang.
Penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya yang sesuai dengan kondisi biofisik yang harus tetap dipertahankan keberadaannya; (2) Menyusun arahan penataan ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan kondisi biofisik dimaksud; (3) Menganalisis adanya kemungkinan penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan lindung di wilayah Kabupaten Deli Serdang serta (4) Mengetahui adanya indikasi tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan lindung di wilayah Kab. Deli Serdang.
Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) terhadap data dengan tema berbeda. Berdasarkan hasil analisis, arahan kawasan hutan yang harus tetap dipertahankan adalah 50.009 ha atau 20,02 % dari luas wilayah Kab. Deli Serdang. Berdasarkan hasil identifikasi kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menunjukan bahwa arahan kawasan lindung adalah 96.764 ha atau 38,74 % dari luas wilayah Kab. Deli Serdang dan arahan kawasan budidaya adalah 153.016 ha (61,26 %).
Hasil analisis kemungkinan penyimpangan kawasan lindung menunjukkan bahwa : 1) Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan kondisi eksisting, terdapat penyimpangan pemanfaatan kawasan lindung sebesar 28,47 % dari luas kawasan lindung dalam RTRW Propinsi Sumatera Utara dan 30,96 % dalam RTRW Kabupaten Deli Serdang. 2) Berdasarkan RTRW dengan kawasan lindung sesuai Keppres, terdapat 44,89 % dari luas kawasan lindung sesuai yang belum ditetapkan dan dialokasikan sebagai kawasan lindung dalam RTRWP dan seluas 45,27 dalam RTRWK. 3) Berdasarkan kondisi eksisting dengan kawasan lindung sesuai Keppres, terdapat penyimpangan pemanfaataan fungsi kawasan lindung sebesar 34,95 % dari luas kawasan lindung yang dimanfaatkan sebagai kawasan produktif/budidaya berupa lahan pertanian/tegalan, sawah, tambak, semak belukar, lahan terbuka serta pemukiman. Berdasarkan hasil analisis tekanan penduduk, bahwa dari 403 desa di Kabupaten Deli Serdang, terdapat 312 desa yang memiliki nilai tekanan penduduk > 1 yang berpotensi untuk mendorong penduduk dalam melakukan perluasan lahan pertanian dalam kawasan lindung.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.
ANALISIS KAWASAN HUTAN DAN KAWASAN LINDUNG
DALAM RANGKA ARAHAN PENATAAN RUANG
DI KABUPATEN DELI SERDANG
EKO NURWIJAYANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung dalam Rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang
Nama : Eko Nurwijayanto
NRP : A353060234
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, MSc.
Ketua
Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 30 Januari 2008
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunianya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini diberi judul Analisis Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung dalam Rangka Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang.
Proses penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Ayah dan Ibu atas segala doa dan kasih sayang yang senantiasa mengiringi langkah penulis;
2. Istri dan Putra-putri tercinta, sebagai sumber inspirasi hidup selama ini; 3. Bapak Dr. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc dan Bapak Dr. Ir. Widiatmaka,
DAA selaku Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingannya serta Bapak Dr. Ir. Setiahadi, M.Si selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan sarannya guna penyempurnaan karya ilmiah ini;
4. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB;
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis;
6. Pimpinan dan staf Pemerintah Kabupaten Deli Serdang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan tugas belajar. 7. Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Tahun 2006 atas segala bantuan dan kritiknya, serta langkah-langkah kebersamaan yang penuh kenangan di kampus IPB;
8. Rekan-rekan Rimbawan di Medan dan Bogor atas dukungannya dalam proses penelitian;
9. Keluarga besar Bogor dan Medan, atas doa dan dukungan morilnya selama ini serta;
10.Semua pihak yang telah berperan dalam penulisan karya ilmiah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan mohon maaf apabila terdapat kekhilafan dalam karya ilmiah ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bogor, Maret 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 September 1974 dari seorang Ayah yang bernama Supriyadi dan Ibu bernama Aisyah. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara, dan mempunyai seorang istri bernama Noviyanti serta dua orang putra-putri yang bernama Fathiya Emerillia Zahra dan Muhammad Faiz Althea.
Pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan penulis di Bogor. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang ditamatkan pada tahun 1998.
Pada tahun 2006, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) melalui bantuan beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
teruntuk :
Ayahanda Supriyadi dan Ibunda Aisyah
Ayahanda Dahrul, SE dan Ibunda Witaningsih
Adinda Noviyanti,S.Sos.
Ananda Fathiya Elmerillia Zahra dan Ananda Muhammad Faiz Althea
DAFTAR ISI
Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung Lainnya ... 13
METODE PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi ... 39
Kondisi Fisik Wilayah ... ... 42
Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 47
HASIL DAN PEMBAHASAN Arahan Kawasan Hutan . ... 50
Arahan Kawasan Lindung ... 65
Penyimpangan Fungsi Kawasan Lindung ... 74
Analisis Tekanan Penduduk ………... 85
VI.KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 90
Saran .……... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kriteria penetapan fungsi kawasan ... 20
2. Jenis dan sumber data yang digunakan . ... 30
3. Kriteria pembobotan parameter fisik berdasarkan skoring ... 32
4. Indeks wilayah dan klasifikasi kawasan ... 32
5 Kriteria kawasan lindung menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 ... ... 35
6. Luas wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang ... 40
7 Luas wilayah berdasarkan ketinggian di Kabupaten Deli Serdang ... 43
8. Luas wilayah berdasarkan kemiringan lereng di Kabupaten Deli Serdang 44
9. Tipe iklim di Kabupaten Deli Serdang ... ... 45
10. Luas dan jenis tanah di Kabupaten Deli Serdang ... 46
11. Komposisi dan penggunaan lahan di Kabupaten Deli Serdang ... 47
12. Perkembangan dan distribusi penduduk Deli Serdang tahun 2000-2005 ... 48
13. Kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2003 ... 50
14. Kawasan hutan berdasarkan skoring fisik kawasan ... 55
15. Satuan lahan dan peruntukan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan ... ... .... 58
16. Kawasan hutan yang masih berhutan di Kabupaten Deli Serdang ... 60
17. Hasil analisi dan arahan kawasan hutan di Kabupaten Deli Serdang ... 62
18. Kawasan lindung hasil analisis di Kabupaten Deli Serdang ... 65
19. Arahan penataan ruang di Kabupaten Deli Serdang . ... 72
20. Rencana tata ruang (RTRW) Kabupaten Deli Serdang tahun 1999-2009 .. 74
21. Rencana Tata Ruang Propinsi Sumatera utara di Kabupaten Deli Serdang tahun 2003-2018 ... ... 74
22. Penutupan/penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Deli Serdang . ... 75
23. Penggunaan lahan eksisting Kabupaten Deli Serdang berdasarkan RTRW Propinsi Sumatera Utara di Kabupaten Deli Serdang tahun 2003-2018.... 76
24. Penggunaan lahan eksisting Kabupaten Deli Serdang berdasarkan RTRW Kabupaten Deli Serdang tahun 1999-2009 ... ... 78
26. Kawasan lindung hasil analisis dalam RTRW Kabupaten Deli Serdang .... 82
27. Penggunaan lahan eksisting pada kawasan lindung berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 ... 84
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram Alir Pendekatan Penelitian ... 29
2. Proses Analisis Kawasan Hutan ... 33
3. Proses Analisis Kawasan Lindung ... 36
4. Peta Administrasi Kabupaten Deli Serdang ... 41
5. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Deli Serdang ... 51
6. Cagar Alam Sibolangit di Kabupaten Deli Serdang ... 54
7. Peta Kawasan Hutan Lindung Hasil Skoring Fisik Kawasan ... 56
8. Peta Kawasan Hutan Berdasarkan Kemampuan Lahan ... 59
9. Peta Kawasan Hutan Berdasarkan Kondisi Eksitingnya ... 61
10.Peta Arahan Kawasan Hutan di Kabupaten Deli Serdang ... 63
11.Peta Kawasan Lindung Kabupaten Deli Serdang ... 66
12.Hutan Lindung Sibayak di Kabupaten Deli Serdang ... 67
13.Sempadan Sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang ... 69
14.Hutan Bakau Percut Sei Tuan di Kabupaten Deli Serdang ... 70
15.Kawasan Rawan Bencana Longsor di Kabupaten Deli Serdang ... 71
16.Peta Arahan Penataan Ruang di Kabupaten Deli Serdang... 73
17.Grafik Penutupan/Penggunaan lahan Kawasan Lindung di dalam RTRW Propinsi Sumatera Utara di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2003-2018 ... 77
18.Grafik Penutupan/Penggunaan lahan Kawasan Lindung di dalam RTRW Kabupaten Deli Serdang Tahun 1999-2009 ... 79
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta iklim Kabupaten Deli Serdang ... 96
2. Peta satuan tanah dan lahan di Kabupaten Deli Serdang. ... 97
3. Peta kelas lereng di Kabupaten Deli Serdang. ... 98
4. Peta ketinggian lahan di Kabupaten Deli Serdang... 99
5. Peta DAS di Kabupaten Deli Serdang ... 100
6. Peta rawan bencana longsor di Kabupaten Deli Serdang ... 101
7. Peta RTRW Kabupaten Deli Serdang... 102
8. Peta RTRW Propinsi Sumatera Utara di Kabupaten Deli Serdang ... 103
9. Peta penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Deli Serdang ... ... 104
10.Indeks tekanan penduduk di Kabupaten Deli Serdang ... 105
11.Kepadatan geografis desa-desa di Kabupaten Deli Serdang ... 112
Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa
yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah,
hutan mempunyai nilai filosofi yang sangat dalam bagi kepentingan umat
manusia. Dengan segala kekayaan alam yang dikandungnya hutan memberikan
kehidupan bagi makhluk hidup di bumi terutama bagi umat manusia. Nilai filosofi
hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena
pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti dan hakekat yang
terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi
terganggu dan pengelolaan hutan lebih mengejar keuntungan ekonomi semata.
Kawasan hutan secara fungsional mengandung arti sebagai suatu kesatuan
lahan atau wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi
ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan
(Suhendang, 2005). Karena sifatnya yang demikian itu, peruntukan lahan tersebut
harus ditetapkan dan dipertahankan sebagai hutan untuk selamanya. Itulah
sebabnya mengapa kawasan hutan secara yuridis diartikan sebagai wilayah
tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah (pusat) untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 Butir 3 UU No. 41
Tahun 1999).
Salah satu pemanfaatan ruang yang sangat penting adalah pemanfaatan
ruang untuk sektor kehutanan. Data resmi terbaru yang diterbitkan Departemen
Kehutanan menyatakan bahwa peruntukan secara hukum kawasan hutan adalah
120 juta hektar, atau sekitar 62% dari luas daratan Indonesia. Hal ini didasarkan
pada proses ’harmonisasi’ dengan melibatkan Departemen Kehutanan dan
Pemerintah Daerah dengan menggabungkan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP).
Secara garis besar TGHK dimaksudkan sebagai kerangka acuan dalam
perencanaan pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari untuk menentukan
kenyataannya, penataan hutan menurut fungsinya dalam TGHK umumnya tidak
sesuai dengan kondisi biofisik dan daya dukung wilayahnya. Hal ini disebabkan
dalam perencanaan penatagunaan fungsi hutan tersebut tidak memperhatikan
keragaman kondisi biofisik hutan disetiap wilayah, ukuran dan keakuratan data
dan peta yang digunakan pada skala kecil, kurangnya lengkapnya data mengenai
kondisi biofisik wilayah serta banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
daerah yang dibuat hanya atas dasar kesepakatan berbagai pihak untuk
kepentingan berbagai sektor di daerah.
Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menegaskan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Sehingga dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan
dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan
Menilik dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan
yang hendak dicapai adalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan. Ruang kehidupan yang nyaman mengandung
pengertian adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk
mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia.
Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan
secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk
kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara
berkelanjutan mengandung pengertian dimana kualitas lingkungan fisik dapat
dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi
saat ini, namun juga bagi generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini
diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera; mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam konteks penataan ruang, sumberdaya hutan memiliki peran ganda
kawasan hutan produksi dan manfaat ekologi yang didelinasi sebagai kawasan
hutan lindung dan hutan yang masuk dalam kawasan lindung lainnya seperti cagar
alam, taman nasional, suaka margasatwa, dan lain-lain. Fungsi sumberdaya hutan
yang sedemikian membawa konsekuensi pengelolaan hutan yang komprehensif
dan melibatkan seluruh stakeholders, khususnya masyarakat yang berada di sekitar hutan itu sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan
lindung dan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang dimanfaatkan
untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang
dimanfaatkan untuk budidaya atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam.
Dalam kaitan inilah maka kegiatan evaluasi penataan ruang khususnya
dibidang penatagunaan kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya memegang
peranan penting dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan yang menjamin
tingkat produktifitas yang optimal dengan tetap memperhatikan aspek
keberlanjutan agar memberikan kenyamanan bagi masyarakat dengan
memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability).
Perumusan Masalah
Seiring dengan berputarnya waktu dan dengan semakin variatif dan
kompleksnya aktivitas kehidupan masyarakat, saat ini telah terjadi banyak
perubahan meliputi perubahan pemanfaatan ruang bahkan sampai pada perubahan
batas administrasi wilayah akibat pemekaran Kabupaten. Terkait dengan
pemekaran wilayah ini, terhitung sejak tahun 2003, Kabupaten Deli Serdang telah
mengalami perubahan wilayah seperti tercantum pada Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2003 tentang Pemekaran Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang
Bedagai. Setelah Undang-undang tersebut dikeluarkan, secara administratif
wilayah Kabupaten Deli Serdang berubah dari sebelumnya memiliki 33
Kecamatan menjadi 22 Kecamatan dengan luas wilayah keseluruhan 2.497,72
Kabupaten Deli Serdang, yang secara administrasi terletak berdampingan
langsung dengan Kota Medan (ibukota Propinsi Sumatera Utara) secara fisik terus
mengalami perubahan dalam penggunaan lahan baik langsung maupun tidak
langsung dari perkembangan Kota Medan. Daerah ini secara geografis terletak
pada wilayah pengembangan pantai timur Sumatera Utara yang memiliki
topografi, kontur dan iklim yang bervariasi serta terdapat 5 (lima) daerah aliran
sungai (DAS).
Sebagai daerah hulu dan penyangga Kota Medan, tentu saja keberadaan
ekologis, termasuk keberadaan hutan mempunyai arti yang sangat penting. Saat
ini keberadaan hutan dan kawasn lindung lainnya di Kabupaten Deli Serdang
telah mengalami kerusakan akibat meningkatnya aktivitas pembangunan dan
meningkatnya jumlah penduduk, yang bila hal ini terus dibiarkan maka akan
menimbulkan permasalahan dimasa datang dan dapat menimbulkan akibat yang
buruk di Kab. Deli Serdang, Kota Medan dan sekitarnya.
Untuk itu upaya pelestarian fungsi ekologis dari hutan dan kawasan lindung
lainnya harus terus dijaga demi keberlangsungan hidup kota medan dan
sekitarnya. Upaya pemantapan kawasan hutan dan kawasan lindung merupakan
prioritas utama yang harus segera dilakukan terutama bagi kawasan konservasi
dan lindung, yang salah satunya adalah dengan melakukan analisis kawasan hutan
dan kawasan lindung lainnya di Kabupaten Deli Serdang.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Dimanakah kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya yang secara kondisi
biofisik harus tetap dipertahankan?
2. Bagaimana arahan pola penataan ruang kabupaten yang sesuai dengan kondisi
biofisik wilayah dimaksud ?
3. Apakah pengalokasian dan pemanfaatan ruang kawasan lindung di wilayah
Kabupaten Deli Serdang yang tertuang dalam dokumen perencanaan tata
ruang (RTRWP) Kabupaten dan Propinsi telah sesuai dengan kondisi
fisiknya?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya yang sesuai dengan
kondisi biofisik dan harus tetap dipertahankan.
2. Menyusun arahan penataan ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan kondisi
biofisik dimaksud.
3. Menganalisis adanya kemungkinan penyimpangan pemanfaatan fungsi
kawasan lindung di wilayah Kabupaten Deli Serdang.
4. Mengetahui adanya indikasi tekanan penduduk terhadap keberadaan kawasan
hutan dan kawasan lindung lainnya di wilayah Kabupaten Deli Serdang.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penentuan kebijakan pemanfaatan ruang di Kabupaten Deli Serdang yang
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang dan Penataan Ruang
Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan
manusia (Jayadinata 1992). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang
darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang didalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia
dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk
beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan
akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus
dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga dalam konteks ini ruang
harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan
(Dardak, 2006).
Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk melakukan
kegiatannya. Hal ini tidak berarti bahwa wilayah nasional akan habis dibagi oleh
ruang-ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan
tetapi harus dipertimbangkan pula danya ruang-ruang yang mempunyai fungsli
lindung dalam kaitannya terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi
flora dan fauna serta kesatuan ekologi (Sugandhy, 1999).
Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa tata ruang merupakan wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang yang terbentuk secara alamiah dan sebagai wujud
dari hasil pembelajaran (learning process). Selanjutnya proses ’pembelajaran” tesebut merupakan rangkaian siklus tanpa akhir berupa pemanfaatan -
dan mengatisipasi masa depan) – pemanfaatan -..., dan seterusnya yang disebut
penataan ruang.
Tata ruang perlu dikelola berdasarkan pola terpadu melalui pendekatan
wilayah dengan memperhatikan sifat lingkungan alam dan lingkungan sosial.
Sebagai suatu keadaan, tata ruang mempunyai ukuran kualitas yang bukan semata
menggambarkan mutu tata letak dan keterkaitan hierarkis baik antar kegiatan
maupun antara kegiatan dengan fungsi ruang, akan tetapi juga menggambarkan
mutu komponen penyusunan ruang. Mutu ruang itu sendiri ditentukan oleh
terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang
mengindahkan faktor daya dukung lingkungan, lokasi, dan struktur dalam
mendayagunakan sumberdaya alam untuk memajukan kesejahteraan umum
seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (khususnya pasal 33) dan
untuk mencapai kebahagiaan hidup perlu di usahakan pelestarian kemampuan
lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan, dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh
serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang (Ditjen
Penataan Ruang, 2005).
Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini
secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan
Undang-Undang ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya
merupakan sumberdaya alam yang perlu dikelola dan dilindungi untuk
mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat (UU No. 5/1960). Untuk itu pengelolaan sumberdaya alam
yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan
terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang
berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam dalam satu kesatuan tata
lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan
lingkungan hidup (Djajono, 2006).
Untuk memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil, menghindari
dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 disebut penataan ruang. Dalam
kegiatan tersebut, berbagai sumberdaya alam ditata dari segi letak maupun luas
sebagai satu kesatuan dengan memperhatikan keseimbangan antara berbagai
pemanfaatan, misalnya pemukiman dengan lahan pertanian, kawasan
pertambangan dengan kawasan hutan lindung dan tata letak jalur transportasi
(Dardak, 2005).
Rustiadi et al. (2006) menyatakan setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, pertama menyangkut proses penataan fisik ruang dan kedua menyakut
unsur kelembagaan/institusional penataan ruang. Selanjutnya secara lebih tegas
penataan ruang dilakukan sebagai upaya (1) optimasi pemanfataan sumberdaya
(mobilitas dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) (prinsip efisiensi dan
produktifitas), (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya : asas pemerataan,
keberimbangan dan keadilan, dan (3) keberlanjutan (sustainability).
Penataan ruang adalah suatu konsep pemikiran atau gagasan yang mencakup
penataan semua kegiatan beserta karakteristiknya berkaitan dengan ruang atau
lokasi dalam suatu wilayah kawasan. Untuk meningkatkan manfaat wilayah atau
kawasan yang maksimal diperlukan perhatian yang teliti terhadap perlindungan
lingkungan, efisiensi, sinergi dan keserasian pada potensi ekonomi di lingkungan
tersebut. Ini dapat diartikan bahwa pentingnya keterpaduan dalam perencanaan
pembangunan adalah untuk mencapai peningkatan kesejahteraan yang maksimal
(Ditjen Penataan Ruang, 2006).
Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan
bahwa penataan ruang terdiri atas : perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang disusun berasaskan
(a) pemanfataan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna,
serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan (b) keterbukaan, persamaan, keadilan
dan perlindungan hukum.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang meletakkan
pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan nyata kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota, maka penyelenggaraan penataan ruang secara operasional, termasuk
Adapun kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dibidang penataan ruang
meliputi:
a. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta perangkat
regulasi (insentif dan disinsentif) pemanfaatan ruang
b. Melakukan konsultasi/koordinasi teknis dalam rangka penataan ruang dengan
instansi / pemerintah yang lebih tinggi
c. Melakukan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh instansi pemerintah
daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat
d. Melakukan penyelenggaraan (pengelolaan) pemanfaatan ruang, pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Selanjutnya rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud
struktur pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud dengan pemanfaatan ruang
adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierakis dan saling
berhubungan satu sama lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan pola
pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara dan sumberdaya alam
lainnya.
Menurut Rustiadi et al. (2006) perencanaan tata ruang dapat diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi
untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang di dalam memilih cara
yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat secara berkelanjutan. Sehingga rencana tata ruang dapat merupakan
dokumen pelaksanaan pembangunan yang harus dipatuhi oleh semua pihak
termasuk masyarakat setempat.
Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antar-daerah dalam satu
ekosistem dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman,
produktif, dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosistem,
tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Pengabaian terhadap
prinsip ini akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain,
misalnya di wilayah hilir apabila perencanaan di wilayah hulu tidak
memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari implementasi rencana tata
Menurut tingkat administrasi pemerintahan, perencanaan tata ruang
dilaksanakan secara berhierarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Dikaitkan dengan
substansinya, RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang
yang memiliki nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan
struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem propinsi
dengan memperhatikan sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN.
Sementara RTRWK berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang di
wilayahnya dengan memperhatikan hal-hal yang telah diatur dalam rencana tata
ruang pada hirarki di atasnya. Rencana tata ruang yang berhierarki ini harus
dilaksanakan dengan memperhatikan kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing tingkat pemerintahan, untuk menghindari tumpang tindih pengaturan
pada obyek yang sama. Dengan kata lain, perencanaan yang berhirarki harus
memenuhi prinsip saling melengkapi (komplementer) (Dardak, 2006).
Terkait dengan perencanaan, penyusunan rencana tata ruang wilayah
(RTRW) diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan
perkembangan di wilayah perencanaan. RTRW Kabupaten/Kota disusun
berdasarkan perkiraan kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan di masa datang sesuai dengan jangka waktu
perencanaannya.
Di samping keterpaduan antar-daerah dalam satu ekosistem, perencanaan
tata ruang juga harus disusun dengan memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2007, perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan
dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak sampai melampau batas-batas
kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas
manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kemampuan tersebut
mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam
menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan
kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan
Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan
pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Program pemanfaatan ruang
disusun berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan oleh masing-masing
pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangannya. Dalam penyusunan dan
pelaksanaan program masing-masing pemangku kepentingan tetap harus
melakukan koordinasi dan sinkronisasi untuk menciptakan sinergi dalam
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang
(Dardak, 2006).
Selanjutnya Iftitah (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang
merupakan suatu pengambilan keputusan yang sangat penting apabila dikaitkan
dengan lingkungan hidup, karena pemanfaatan ruang merupakan hasil
penggabungan antar aktivitas manusia, kondisi biofisik wilayah/lahan dan
keinginan manusia terhadap wilayah tersebut, sehingga dalam pemanfaatan ruang
dikembangkan pola tata guna air, tata guna udara dan tata guna tanah serta tata
guna sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya hutan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), tujuan pemanfaatan ruang adalah
pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui
upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan
berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan
kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya untuk mengarahkan
pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan melalui peraturan
zonasi, perizinan, pemantauan, evaluasi, dan penertiban terhadap pemanfaatan
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, rencana tata ruang
juga mencakup arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan yang berfungsi
lindung. Pengaturan arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung
dimaksudkan agar:
a. Kawasan-kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
budidaya tetap terjaga keberadaannya, sehingga kawasan budidaya dapat
dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, termasuk
kebutuhan bagi generasi yang akan datang.
b. Kawasan-kawasan yang secara spesifik perlu dilindungi untuk kepentingan
pelestarian flora dan fauna (plasma nuftah), pelestarian warisan budaya
bangsa, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kepentingan lainnya dapat
tetap dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Terkait dengan upaya menjamin keberadaan kawasan lindung, dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997, telah dirumuskan strategi untuk
memelihara dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi :
a. Menetapkan kawasan lindung baik di ruang daratan, di ruang lautan dan
ruang udara;
b. Mempertahankan luas kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau
pada tingkat sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen) dari luas pulau
tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya;
c. mewujudkan dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup melalui perlindungan
kawasan-kawasan di darat, laut, dan udara secara serasi dan selaras;
d. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah
menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya dalam rangka
mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.
Menurut Ditjen Penataan Ruang (2005) dalam rangka mewujudkan
pembangunan berkelanjutan melalui upaya konservasi dan pengelolaan
sumberdaya alam, maka prinsip penataan ruang demi terwujudnya harmonisasi
fungsi ruang untuk kawasan lindung dan budidaya sebagai satu kesatuan
ekosistem tidak dapat diabaikan lagi, dan diselenggarakan secara terpadu dengan
Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi
hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk
mencapai manfaat lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi yang seimbang dan
lestari; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan
kemampuan untuk mengembangan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara
partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu
menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan akibat perubahan
ekternal serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Bahwa pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa ” hutan, tanah dan air, ...
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, wajib ditafsirkan dalam konteks
maksimalisasi fungsi dan manfaat serta minimalisasi dampak/eksternalitas
pengelolaannya, sehingga perlu dilindungi keberadaannya dan diatur
pengelolaannya sebijaksana mungkin sesuai karakter sumberdaya-sumberdaya
dimaksud, sehingga ketika tata ruang/tata guna lahan yang mencerminkan land capability dan land suitability telah disepakati didasari oleh karakteristik sumberdaya, maka konteks untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat haruslah
berbasis pada konsistensi kesepakatan yang telah dibuat tersebut (Ramadhan,
2005).
Menurut Santoso (2001), Penatagunaan kawasan hutan pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari penataan ruang daerah. Upaya untuk mewujudkan
hal ini telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan
Pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) sejak tahun 1994 hingga 1999, yang hasilnya
ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur dan di beberapa propinsi dengan
diketahui/disetujui oleh Ketua DPRD Propinsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan
telah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal
30 % dari luas daerah aliran sungai (DAS) atau pulau dengan sebaran yang
proporsional guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat
ekonomi masyarakat setempat. Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota yang memiliki
kawasan hutan yang fungsinya sangat penting bagi perlindungan lingkungan
Propinsi dan atau Kabupaten/Kota wajib mempertahankan kecukupan luas
kawasan hutan, serta mengelola kawasan hutan sesuai fungsinya (CIFOR, 2004).
Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar
memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai
manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik
sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan
penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur
iklim global. Sehingga pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk
mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan
kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat
kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis
seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS, sehingga
pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan-pertimbangan
dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia
(Suryatmojo, 2005).
Kawasan hutan dalam penataan ruang terdapat dalam kawasan budidaya dan
bisa pula dalam kawasan lindung. Kawasan hutan yang masuk dalam kawasan
budidaya adalah hutan produksi (hutan produksi tetap dan hutan produksi
terbatas), baik itu hutan alam maupun hutan tanaman, termasuk hutan rakyat,
sedang kawasan hutan yang masuk dalam kawasan lindung adalah kawasan
pelestarian alam yang meliputi taman nasional, taman hutan raya, taman wisata
alam dan kawasan suaka alam yang meliputi suaka margasatwa, cagar alam dan
taman buru (Djajono, 2006).
Menurut Setiahadi (2006), selama ini dalam penataan ruang, luas kawasan
hutan seakan-akan statis karena dikaitkan dengan masalah kewenangan sektor
kehutanan, tidak perduli apakah hutan tersebut bervegetasi atau tidak. Mestinya
multi fungsi dengan sub-sistem biogeofisik, sub-sistem ekonomi, dan sub sistem
sosial, budaya, kependudukan, bahkan hankam.
Optimasi penataan kawasan hutan dilakukan berdasarkan pertimbangan
hal-hal sebagai berikut: daya dukung, potensi, kebutuhan kayu dan kebutuhan non
kayu, resiko lingkungan, dan DAS prioritas. Selanjutnya dilakukan analisis
berdasarkan faktor-faktor penentu dalam penataan ruang kawasan hutan yang
meliputi analisis kesesuaian lahan, analisis potensi hutan (tegakan persediaan),
analisis supplay-demand kayu dan non kayu, dan analisis resiko lingkungan.
Pemanfaatan ruang kawasan hutan optimal dicirikan oleh: pemenuhan berbagai
kebutuhan terhadap hasil hutan, pemecahan masalah sosial dan lingkungan, dan
pelestarian sumberdaya hutan (Setia Hadi, 2006).
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan, ditetapkan bahwa hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi
utama yaitu :
1. Hutan konservasi terdiri dari hutan suaka alam (cagar alam dan suaka
margasatwa), hutan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya,dan
taman wisata alam) serta taman buru.
2. Hutan lindung
3. Hutan produksi terdiri dari produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan
produksi konversi.
Dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional yang
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997, kawasan hutan
berdasarkan fungsi pokoknya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Hutan konservasi yang meliputi kawasan suaka alam dan kawasan hutan
pelestarian alam yang dikelompokkan ke dalam kawasan lindung berupa
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
2. Hutan konservasi yang meliputi taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai
berhutan bakau dikelompokkan kedalam kawasan lindung lainnya.
3. Hutan lindung dikelompokkan ke dalam kawasan lindung berupa kawasan
yang memberikan perlindungan kawasan di bawahnya bersama kawasan
4. Hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap
dan hutan produksi yang dapat dikonversi dikelompokkan kedalam kawasan
budidaya berupa kawasan hutan produksi.
Penatagunaan hutan di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 680/Kpts/Um/8/81 tentang Pedoman
Penatagunaan Hutan Kesepakatan (TGHK) yang antara lain menetapkan
penatagunaan hutan kesepakatan di suatu wilayah propinsi adalah kegiatan yang
bertujuan menentukan peruntukan hutan di wilayah propinsi yang bersangkutan
menurut fungsinya berdasarkan kesepakatan antar instansi yang berkaitan dengan
penggunaan lahan di daerah. Akan tetapi menurut Sitorus (1996) sistem
klasifikasi ini tidak mempertimbangkan kualitas hutan di dalam penyusunannya/
pembagiannya, meskipun dapat memberikan kerangka untuk pemecahan yang
mendesak dari status konflik atau penggunaan lahan.
Seperti halnya rencana umum tata ruang, TGHK-pun perlu ditinjau kembali
untuk dapat disesuaikan dengan perkembangan penduduk, pembangunan
prasarana, serta meningkatnya kebutuhan akan lahan. Proses penyesuaian TGHK
dan tata ruang disebut 'padu serasi'. Secara praktis padu serasi menghasilkan
perubahan status dari kawasan hutan menjadi bukan hutan menurut kebutuhan
setempat. Sejak otonomi daerah hal ini sedikit rumit karena tidak jelasnya
wewenang kabupaten dalam pengaturan tata ruang dan perubahan kawasan hutan.
Secara hukum, perubahan atas kawasan hutan tetap merupakan kewenangan
Menteri Kehutanan tetapi kenyataan di lapangan, Pemerintah Kabupaten bahkan
masyarakat dan pengusaha telah banyak mengalihfungsikan kawasan hutan untuk
keperluan lain. Masalah lain adalah tidak adanya kejelasan hak kepemilikan
dan/atau penguasaan terhadap luasan lahan sehingga menimbulkan tumpang
tindihnya banyak kepentingan pada satu areal lahan yang sama (CIFOR, 2002).
Di Indonesia kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai
kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak
ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi
sebagai ‘hutan’ ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian.
Hasil dari proses perencanaan tersebut menyebabkan 61 % wilayah daratan
secara kualitas masih sangat kasar, sehingga pemerintah harus melakukan
klasifikasi-ulang terhadap hutan dan melepas kawasan-kawasan yang
kenyataannya sudah digunakan untuk tujuan lain atau sudah tidak lagi layak untuk
dipertahankan karena tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan. Departemen
Kehutanan sendiri mengakui hal ini sebagai kekeliruan sistematik yang muncul
pada peruntukan status kawasan hutan sehingga menimbulkan konflik sosial yang
hingga kini masih terus berlangsung (Fay dan Michon, 2005).
Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat penting
bagi perdebatan hukum menyangkut prioritas pengelolaan lahan tersebut. Wilayah
yang secara resmi diperuntukkan sebagai bagian dari kawasan hutan yang harus
dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat
mengarah kepada perampasan hak-hak lokal tetapi juga untuk membatasi secara
administratif beberapa pola pemanfaatan hutan (ICRAF, 2006).
Penetapan suatu kawasan hutan negara didasarkan atas terpenuhinya
karakteristik dimensi fungsi hutan. Sedangkan fungsi kawasan hutan dengan
luasan lahan di bawahnya diklasifikasikan berdasarkan bentangan daerah aliran
sungai (DAS), karena DAS mewakili topografi yang mencerminkan klasifikasi
karakteristik tingkat resiko ekternalitas negatif dari pengelolaannya terhadap
kepentingan umum kehidupan secara menyeluruh (sebesar besarnya bagi
kemakmuran rakyat), yaitu semakin besar kemiringan lahan dan semakin tinggi
lahan dari atas permukaan laut serta semakin dekat dekat dengan sumber-sumber
air semakin besar potensi ekternalitas negatif pengelolaannya (ICRAF, 2006).
Berkaitan dengan penetapan fungsi kawasan tersebut, dikeluarkan beberapa
kebijakan mengenai penetapan fungsi kawasan tersebut, antara lain :
Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan
penggunaan kawasan hutan menurut Badan Planologi Departemen Kehutanan,
(2005) berupa: 1) Penetapan fungsi kawasan hutan adalah pemberian kepastian
hukum mengenai fungsi suatu kawasan hutan tetap dengan Keputusan Menteri
serta 2) Pinjam pakai kawasan adalah penyerahan penggunaan atas sebagian
kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan hutan
tersebut.
Adapun beberapa kriteria penetapan hutan didasarkan pada faktor-faktor
kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas intensitas hujan menurut Badan
Planologi Departemen Kehutanan (2005), adalah :
1. Kelerengan (L) = a/b x 100%
a = tinggi relatif b = Jarak Datar
2. Kelas tanah didasarkan tingkat kepekaannya terhadap erosi
3. Kelas intensitas hujan didasarkan perhitungan rata-rata curah hujan dalam
milimeter setahun dibagi dengan rata-rata jumlah hari hujan setahun.
4. Angka penimbang (bobot) untuk faktor kelerengan = 20, jenis tanah = 15 dan
intensitas hujan = 10.
a. Kriteria penetapan hutan lindung
o Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah dan kelas kelas intensitas hujan setelah masing masing dikalikan
dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) 175 atau lebih
besar
o Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan 40 %
o Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian lapangan di atas permukaan laut 2.000 m atau lebih.
o Menyimpang dari ketentuan butir 1 s/d 3 di atas, kawasan hutan perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan lindung apabila memenuhi
salah satu atau beberapa syarat sebagai berikut :
Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol,
Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air,
sekurang-kurangnya 100 meter di kiri dan kanan sungai/aliran air
Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan
jari-jari 200 meter di sekeliling mata air
Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri
sebagai hutan lindung.
b. Kriteria penetapan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap
o Hutan produksi terbatas (HPT)
Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas
tanah dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan
dengan angka penimbang mempunyai total nilai (skor) 125-174.
o Hutan produksi tetap (HP)
Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng lapangan, kelas tanah
dan kelas intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan
angka penimbang mempunyai total nilai (skor) kurang dari 124.
c. Kriteria cagar alam
o Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan ekosistem.
o Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusun.
o Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia.
o Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas.
o Mempunyai ciri khas dan merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
d. Kriteria suaka margasatwa
o Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan berkembangbiak dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya.
o Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.
o Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. o Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang
e. Kriteria hutan wisata
o Kawasan hutan yang ditunjuk memiliki keadaan yang menarik dan indah baik secara alamiah maupun buatan manusia.
o Memenuhi kebutuhan manusia akan rekreasi dan olah raga serta terletak dekat pusat-pusat pemukiman penduduk.
o Mengandung satwa buru yang dapat dikembang biakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi
rekreasi, olah raga dan kelestarian satwa.
o Mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan. Secara umum kriteria penetapan fungsi kawasan hutan terdapat pada
beberapa kebijakan diatas, dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1. Kriteria penetapan fungsi kawasan hutan
Fungsi Kawasan Hutan Kriteria-kriteria
- Mempunyai jumlah skoring lebih dari 175 - Mempunyai kelerengan lapangan 40 % - Mempunyai ketinggian 2000 meter
- Mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi
- Mempunyai jumlah skoring kurang dari 125 - Berada di luar kawasan lindung, suaka alam,
pelestarian alam dan taman buru.
- Mempunyai jumlah skoring kurang dari 125
- Berada di luar kawasan lindung, suaka alam, pelestarian alam dan taman buru
Menurut Sugandhy (1999), kawasan lindung (non budidaya) adalah bagian
dari suatu wilayah yang mempunyai fungsi non-budidaya (dominasi fungsi
lindung terhadap tanah, air, flora, fauna dan budaya) dengan sudah
mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, dimana di dalamnya tidak
diperkenankan adanya fungsi budidaya ataupun kalau terpaksa diperkenankan
dalam fungsi terbatas.
Mengacu kepada pedoman WCPA(World Commission on Protected Areas) dan The World Conservation Union (IUCN, 1994) yang dimaksud kawasan lindung adalah suatu wilayah daratan dan/atau laut yang terutama diperuntukan
untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, sumberdaya alam
dan sumberdaya budaya yang dikelola melalui kegiatan/bentuk yang legal dan
sesuai dengan hukum. Adapun ukuran serta tata letak kawasan yang dilindungi di
dunia seringkali ditentukan oleh faktor-faktor seperti sebaran manusia, nilai
potensi lahan, dan upaya politik oleh warga yang berjiwa konservasi.
Kawasan lindung berdasarkan definisi menurut IUCN, terdiri dari enam (6)
kategori, yaitu :
1. Kategori I a : strict nature reserve, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk kepentingan keilmuan, yaitu suatu kawasan daratan dan
atau laut yang memiliki ekosistem, penampakan geologis atau fisiologis dan
atau jenis-jenis unik dan luar biasa atau mewakili yang kegunaan utamanya
bagi kepentingan riset dan atau monitoring lingkungan
2. Kategori I b : wilderness area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan hidupan liar, yaitu suatu kawasan daratan
dan atau laut yang masih utuh dan asli yang cukup luas dan belum
termodifikasi atau sedkit termodifikasi, ditetapkan untuk mempertahankan
karakter-karakter dan pengaruh alami tanpa adanya okupasi pemukiman
permanen atau yang significant lainnya yang dilindungi dan dikelola dalam rangka mengawetkan kondisi alam.
3. Kategori II : national park, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk perlindungan ekosistem dan wisata, yaitu kawasan
alami daratan dan atau laut yang ditetapkan untuk (i) melindungi integritas
(ii) meniadakan eksploitasi atau pemukiman yang tidak sesuai dengan tujuan
penetapannya; (iii) menyediakan landasan bagi pengunjung untuk tujuan
spritual, ilmiah, pendidikan, rekreasi yang ramah dan arif terhadap lingkungan
dan budaya.
4. Kategori III : natural monument, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi dari penampakan alam yang khas, yaitu
suatu kawasan yang berisi satu atau lebih penampakan-penampakan lam atau
gabungan alam dan budaya yang khas yang mempunyai nilai yang luar biasa
(outstanding) dan unik karena kelangkaannya, secara kualitas mewakili atau estetis atau mempunyai keunggulan budaya.
5. Kategori IV : habitat/spesies management area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi melalui intervensi manajemen/ pengelolaan, yaitu kawasan daratan dan atau laut yang mendapatkan campur
tangan aktif untuk keperluan pengelolaannya dalam rangka menjamin
terpeliharanya habitat dan atau memenuhi kebutuhan yang khas dari suatu
jenis.
6. Kategori V : protected landscape/seascape, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk konservasi bentang alam atau laut dan sebagai
tempat wisata, yaitu suatu kawasan daratan serta kawasan pantai dan laut yang
interaksi antara manusia dan alam telah menghasilkan suatu kawasan yang
mempunyai nilai estetika, ekologis dan atau budaya yang significant yang sering dibarengi dengan nilai kenekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga
integritas interaksi tradisional merupakan hal yang penting bagi pemeliharaan
dan evolusi dari kawasan
7. Kategori VI : managed resource protected area, yaitu kawasan lindung yang tujuan pengelolaannya untuk keseimbangan ekosistem alam yang
berkelanjutan, yaitu suatu kawasan yang memiliki sistem-sistem alami yang
belum termodifikasi, yang dikelola untuk menjamin perlindungan dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati jangka panjang, yang dalam waktu yang
sama menyediakan aliran yang lestari produk dan jasa bagi pemenuhan
Kawasan lindung memiliki manfaat yang besar bagi keberlangsungan hidup
manusia didunia, menurut Mac Kinnon et al. (1986) ada beberapa keuntungan dimana kawasan yang dilindungi dapat memberikan manfaat yang berharga bagi
masyarakat, antara lain :
• Menstabilkan fungsi hidrologi
• Melindungi tanah
• Stabilitas iklim
• Pelestarian sumberdaya pulih yang dapat dipanen
• Perlindungan plasma nutfah
• Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi dan
keanekaragaman hayati
• Pengembangan pariwisata
• Menciptakan kesempatan kerja
• Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan monitoring
• Menyediakan fasilitas pendidikan
Adapun kawasan lindung di Indonesia, sesuai dengan strategi dan arahan
pengembangan kawasan lindung sebagaimana disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 meliputi langkah-langkah untuk memelihara
dan mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah timbulnya
kerusakan lingkungan hidup. Untuk itu dilakukan penetapan dan perlindungan
terhadap kawasan lindung berdasarkan kriteria tertentu sebagaimana Keputusan
Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
(Aliati , 2007).
Kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung menurut Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 dibedakan ke dalam :
• Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain
• Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air;
• kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka lam,
kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan
bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar budaya
dan ilmu pengetahuan;
• Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan gempa bumi,
kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang dan
kawasan rawan banjir;
• kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawsan pengungsian satwa dan terumbu
karang.
Secara umum penjabaran kawasan tersebut telah diatur secara rinci dalam
Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), yakni :
1. Kawasan lindung
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
- Kawasan hutan lindung (HL)
- Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalamnya hutan kota
- Taman wisata alam (TWA)
- Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
b. Kawasan hutan rakyat
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi dan manfaat kawasan lindung maka
dilaksanakan upaya pengelolaan terhadap kawasan tersebut. Tujuan pengelolaan
kawasan lindung adalah untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan dan
melestarikan fungsi lindung serta menghindari berbagai kegiatan yang merusak
lingkungan (Aliati 2007). Sedangkan pengelolaan kawasan lindung dapat
memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi kepada stakeholders, memelihara keseimbangan lingkungan dan tata air serta mampu mendukung pembangunan
berkelanjutan (Supriadi, 2003).
Salah satu alasan mendasar pendirian kawasan lindung adalah keberadaan
kawasan ini akan tetap utuh selama-lamanya, untuk melestarikan nilai-nilai
biologi dan budaya yang dimilikinya. Namun, semakin banyak bukti yang
memperlihatkan adanya peningkatan gangguan serius dalam berbagai sistim
kawasan lindung dan akibatnya banyak kawasan lindung yang saat ini
terdegradasi dan hancur. Hanya beberapa kawasan yang masih tetap ada karena
berada pada lokasi yang terpencil. Pengakuan akan skala masalah yang dihadapi
oleh kawasan lindung mendorong timbulnya kebutuhan untuk melakukan
penilaian ulang terhadap desain dan pengelolaan kawasan dan juga kebutuhan
untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik mengenai status dan keefektifan
METODE PENELITIAN
Kerangka Pendekatan
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi
pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain
luas ruang sifatnya tetap, walaupun dari sisi komposisi baik fisik, ekonomi dan
sosial akan selalu berubah seiring dengan perubahan pemanfaatan ruang.
Begitupun juga dengan perkembangan yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang
yang disebabkan oleh adanya perubahan dari aktivitas penduduk wilayah dalam
memanfaatkan ruang yang ada. Perubahan pemanfaatan ruang yang ada ini jika
tidak memperhitungkan keseimbangan geobiofisik dapat berakibat pada
kemubaziran dan dampak bencana alam yang akan terjadi seperti banjir, longsor
dan lain sebagainya.
Selama ini hutan dan kawasan lindung lainnya telah mengalami degradasi
akibat adanya tekanan yang berat berupa eksploitasi yang berlebihan serta okupasi
untuk pemanfaatan lahan lainnya pada pada lahan yang tidak “bertuan” terlebih
lagi pada era otonomi daerah dimana pengurusan hutan telah diberikan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten. Mengingat fungsi hutan dan kawasan lindung
lainnya yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup manusia maka sudah
seharusnya ditentukan luas minimum kawasan bervegetasi yang harus ada di suatu
wilayah termasuk arahan spasialnya yang dapat menjamin keberlanjutan proses
pembangunan dalam arti mampu meminimalkan kemungkinan-kemungkinan
bencana yang muncul.
Dalam kajian ini, kondisi wilayah Kabupaten dianalisis secara spasial untuk
menentukan kawasan hutan dan kawasan lindung yang sesuai karakteristik dan
kondisi biofisiknya harus tetap dipertahankan demi menjamin kelestarian
lingkungan dan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam di Kabupaten Deli
Serdang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dokumen
Perencanaan Tata ruang (RTRW) Kabupaten Deli Serdang yang saat ini secara
legal digunakan diperbandingkan dengan analisisis hasil kajian dari kawasan
dihasilkan sebaran dan besaran ketidaksesuaian fungsi lindung di Kabupaten Deli
Serdang. Kerangka pendekatan ini dilakukan dengan suatu pendekatan sistem
sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Deli Serdang Propinsi Sumatera
Utara, yang secara geografis terletak diantara koordinat 2o 57’’ sampai dengan 3o
16’’ Lintang Utara serta 98o 33’’ sampai dengan 99o 27’’ Bujur Timur dengan luas
wilayah administrasi seluas 249.772 ha yang terdiri dari 22 Kecamatan, 14
Kelurahan dan 389 Desa.
Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang, dapat
diuraikan sebagai berikut :
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Selat Malaka.
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kab. Karo dan Kab. Simalungun.
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kab. Langkat dan Kab. Karo.
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab. Serdang Bedagai.
Penelitian dilaksanakan selama lima (5) bulan mulai bulan Juni sampai
Gambar 1. Diagram Alir Pendekatan Penelitian !
"
# $
#
# #