• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida Di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida Di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN HUTAN KOTA BERDASARKAN

EMISI KARBONDIOKSIDA DI KOTA PRABUMULIH

PROVINSI SUMATERA SELATAN

YUNIAR PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Yuniar Pratiwi

(4)

RINGKASAN

YUNIAR PRATIWI. Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan. Dibimbing oleh ENDES NURFILMARASA DACHLAN dan LILIK BUDI PRASETYO.

Hutan kota merupakan salah satu bentuk dari ruang terbuka hijau (RTH) publik. Permasalahan antara pembangunan dengan keberadaan RTH merupakan suatu permasalahan yang kompleks. RTH mampu menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbondioksida (CO2), sedangkan kegiatan pembangunan yang dilakukan manusia menurunkan produksi O2 dan meningkatkan emisi CO2 akibat hilangnya tutupan lahan. Selain itu, pertumbuhan penduduk mengakibatkan meningkatnya kegiatan transportasi khususnya diperkotaan. Diperlukan luasan hutan kota yang mencukupi untuk mengatasi peningkatan emisi CO2.

Tujuan utama penelitian adalah mengidentifikasi dan memprediksi kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan total emisi CO2 di Kota Prabumulih serta menentukan lokasi yang tepat untuk diprioritaskan sebagai hutan kota. Sumber emisi CO2 yang ada di Kota Prabumulih berasal dari penggunaan bahan bakar (premium, solar, LPG), areal pertanian (areal persawahan padi), ternak (sapi potong, kerbau, kuda, kambing, domba dan unggas) serta penduduk dan identifikasi lokasi prioritas hutan kota berdasarkan karakteristik hutan kota.

Hasil penelitian menunjukan emisi CO2 pada tahun 2014 sebesar 190.64 Gg CO2 dengan kebutuhan luasan hutan kota seluas 3 262.44 ha dan emisi CO2 diprediksi mengalami peningkatan hingga tahun 2024. Hasil simulasi model menunjukan emisi CO2 pada tahun 2024 diprediksi sebesar 230.38 Gg CO2 dengan kebutuhan luasan hutan kota seluas 3 944.55 ha. Lokasi hutan kota berprioritas tinggi berada di Kecamatan Cambai, Prabumulih Barat, Prabumulih Timur, dan Prabumulih Utara. Emisi CO2 perlu dikurangi agar kebutuhan luasan hutan kota untuk menyerap emisi CO2 tidak terus meningkat. Hal itu dapat dicapai dengan cara: (1) mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan bahan bakar rendah emisi; (2) menggunakan bahan bakar rendah emisi secara masal; (3) menanam pohon yang mempunyai daya serap CO2 tinggi seperti trembesi (S.saman), akasia (Cassia sp), beringin (F.benjamina); (4) lahan terbangun disarankan dibangun secara vertikal.

(5)

SUMMARY

YUNIAR PRATIWI. Urban Forest Needs Analysis Based on Carbon Dioxide Emissions in Prabumulih City South Sumatra Province. Supervised by ENDES NURFILMARASA DACHLAN and LILIK BUDI PRASETYO.

Urban forest is one form of green open space (RTH) public. Problems between the presence of green space development is a complex problem. RTH is able to produce oxygen (O2) and absorb carbon dioxide (CO2), whereas human development activities undertaken to reduce production of O2 and increase emissions of CO2 results of land cover disapperearance. In addition, population growth resulting in increased transportation activity, especially in urban transport. Required city forest area that sufficient to overcome the increase of CO2 emissions.

The aims of this research was to identify and predict the needs of the forest area of the city based on the total emissions of CO2 in Prabumulih city and determine the exact location to be prioritized as an urban forest. Source of CO2 emissions in Prabumulih city derived from the use of fuel (premium, diesel, LPG), agricultural areas (rice fields), livestock (cattle, buffalo, horses, goats, sheep and poultry) as well as the population and the identification of priority sites urban forest based on the characteristics of the urban forest.

The results of research showed that CO2 emissions in 2014 amounted to 190.64 Gg CO2 with the needs of the urban forest area covering 3 262.44 ha and CO2 emisin predicted the CO2 emissions increased until 2024. The results of simulation model indicate CO2 emissions in 2024 was predicted at 230.38 Gg CO2 with the needs of the urban forest area covering an area of 3 944.55 Ha. High priority of urban forest located in Cambai District, West Prabumulih, East Prabumulih and North Prabumulih. CO2 emissions need to be reduced so that the needs of forest area cities to absorb the CO2 emissions do not continue to rise. It can be achieved by: (1) reduce the use of fossil fuels and replace them with low fuel emissions; (2) using a low-emission fuel; (3) planting trees that have a high CO2 absorption capacity as trembesi (S.saman), akasia (Cassia sp), beringin (F.benjamina); (4) recommended undeveloped land are built vertically.

Keywords: CO2 emissions, urban forest, the priority location.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

ANALISIS KEBUTUHAN HUTAN KOTA BERDASARKAN

EMISI KARBONDIOKSIDA DI KOTA PRABUMULIH

PROVINSI SUMATERA SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan

Nama : Yuniar Pratiwi NIM : P052130341

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Endes Nurfilmarasa Dachlan, MS Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah hutan kota, dengan judul Analisis Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi Karbondioksida di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Endes Nurfilmarasa Dachlan, MS dan Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi banyak pengetahuan dan saran dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda (Bapak Iskandar, SH), ibunda (Ibu Yusdiah, MSi), Kakak (Pratama Yumaris, SKM), Adik (Sheni Tri Puspa Sari dan Ratih Yulia Putri) serta Angga Franugraha, Amd terima kasih atas kasih sayang, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan tesis ini, dan terima kasih kepada PSL 50 atas pengalaman dan kekeluargaan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 2

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Hutan Kota 6

Emisi Karbondioksida 7

Pendekatan Sistem dan Pemodelan 10

Sistem Informasi Geografis 12

3 METODE 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Alat dan Bahan 13

Prosedur Penelitian 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Model Sistem Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi CO2 Prabumulih 26

Emisi CO2 31

Total Emisi CO2 Kota Prabumulih 37

Kesesuaian dengan Kondisi Sekarang dan RTRW Kota Prabumulih 43

Klasifikasi Citra 46

Penutupan Lahan pada Masing-Masing Kecamatan 50

Lokasi Prioritas Hutan Kota di Kota Prabumulih 51

5 SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 65

(13)

DAFTAR TABEL

1 Kemampuan tipe vegetasi dalam menyerap CO2 8

2 Jenis, bentuk dan sumber data 15

3 Nilai kalori bersih berdasarkan jenis bahan bakar 15 4 Faktor emisi karbon berdasarkan jenis bahan bakar 16 5 Faktor emisi dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak 17 6 Faktor emisi dari pengelolaan pupuk berdasarkan temperatur atau iklim 17

7 Faktor penentuan lokasi hutan kota 24

8 Selang prioritas 25

9 Simulasi pertumbuhan jumlah penduduk Kota Prabumulih 27 10 Simulasi Konsumsi jenis bahan bakar premium, solar dan LPG Kota

Prabumulih 28

11 Simulasi jumlah ternak di Kota Prabumulih 29

12 Simulasi luasan sawah di Kota Prabumulih 31

13 Simulasi emisi CO2 yang dihasilkan penduduk (Gg CO2) 32

14 Simulasi emisi CO2 sumber energi 33

15 Simulasi total emisi CH4 ternak (Gg CH4), total emisi CO2 ternak (Gg

CO2) 35

16 Simulasi Total Emisi CH4 Lahan sawah (Gg CH4), Total Emisi CO2

Lahan sawah (Gg CO2) 36

17 Total emisi CO2 kebutuhan luas hutan kota dan penambahan luas hutan

kota di Kota Prabumulih 38

18 Kebutuhan jumlah pohon berbagai daya sink CO2 39 19 Kebutuhan luasan hutan kota berbagai daya sink CO2 40 20 Tabel perbandingan populasi penduduk aktual dengan hasil simulasi

model populasi penduduk Kota Prabumulih 44

21 Penutupan Lahan Kota Prabumulih Tahun 2014 50

22 Luas kemiringan lereng Kota Prabumulih 52

23 Kelas ketinggian Kota Prabumulih 53

24 Kelas suhu Kota Prabumulih 53

25 Luas sebaran suhu permukaan Kota Prabumulih 55

26 Luas tutupan lahan Kota Prabumulih 2014 56

27 Luas penggunaan lahan Kota Prabumulih 57

28 Luas kepadatan penduduk Kota Prabumulih 57

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 3

2 Peta lokasi penelitian 13

3 Diagram input output sistem kebutuhan hutan kota di Kota Prabumulih 20 4 Diagram causal loop kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 di

Kota Prabumulih 20

5 Ilustrasi model sistem kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 21 6 Struktur model dinamik kebutuhan hutan Kota Prabumulih 26 7 Simulasi pertambahan jumlah penduduk di Kota Prabumulih 27 8 Simulasi pertumbuhan konsumsi LPG, premium dan solar 29 9 Simulasi pertumbuhan jumlah ternak Kota Prabumulih 30 10 Simulasi luas areal persawahan Kota Prabumulih 30

11 Simulasi emisi CO2 penduduk Kota Prabumulih 31

12 Simulasi emisi CO2 sumber energi di Kota Prabumulih 34

13 Simulasi emisi CO2 ternak di Kota Prabumulih 35

14 Simulasi emisi CO2 areal persawahan di Kota Prabumulih 37 15 Simulasi total emisi CO2 dan kebutuhan luas hutan kota di Kota

Prabumulih 37

16 Hasil simulasi kebutuhan jumlah pohon dan kebutuhan luasan hutan

kota dengan jenis berdaya sink tinggi 39

17 Simulasi emisi CO2 di Kecamatan Cambai, RKT dan Prabumulih

Selatan 41

18 Simulasi emisi CO2 dan kebutuhan hutan kota di Kecamatan Prabumulih Barat, Prabumulih Timur dan Prabumulih Utara 42

19 Perkebunan karet di Kota Prabumulih 47

20 Semak di Kota Prabumulih 47

21 Lahan terbuka untuk di bangun perumahan dan lahan terbuka untuk

olahraga 48

22 Lahan terbangun yang digunakan untuk permukiman dan lahan terbangun yang digunakan untuk sarana dan prasarana 48

23 Badan Air Sungai Kelekar di Kota Prabumulih 49

24 Peta tutupan lahan Kota Prabumulih tahun 2014 49

25 Peta kemiringan lereng Kota Prabumulih 52

26 Peta ketinggian Kota Prabumulih 53

27 Peta suhu permukaan Kota Prabumulih 54

28 Peta kepekaan erosi Kota Prabumulih 55

29 Peta tutupan lahan Kota Prabumulih tahun 2014 56

30 Peta penggunaan lahan (RTRW) Kota Prabumulih 57

31 Peta kepadatan penduduk Kota Prabumulih 2014 58

32 Bagan alir penentuan bobot lokasi prioritas hutan kota 58

33 Peta lokasi prioritas hutan Kota Prabumulih 59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis kebutuhan (Stakeholders) dalam pengembangan sistem

kebutuhan hutan kota 71

2 Skala banding secara berpasangan 72

3 Daftar nama jenis kayu yang ada di hutan kota Desa Pangkul

Kecamatan Cambai Kota Prabumulih. 73

4 Simulasi emisi CO2 di setiap Kecamatan Kota Prabumulih 74 5 Simulasi kebutuhan luasan dan persentase hutan kota setiap kecamatan

di Kota Prabumulih 75

6 Overall Classification Accuracy dan Overall Kappa Statistics 76 7 Tutupan lahan setiap Kecamatan di Kota Prabumulih Tahun 2014 77

8 AHP overall inconsistency 78

9 Peta emisi CO2 di Kecamatan Kota Prabumulih tahun 2014 CO2 79 10 Overlay peta prioritas sedang dan rendah dengan tutupan lahan Kota

Prabumulih 80

11 Kuisioner kebutuhan hutan kota 81

12 Struktur model kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 di Kota

Prabumulih 86

13 Equations model kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 di Kota

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global mengakibatkan dampak merugikan terhadap kualitas mahluk hidup. Karbon berada di atmosfer bumi dalam bentuk gas karbondioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer, CO2 memiliki peran penting dalam menyokong kehidupan. Penyebab lain mempercepat pemanasan global (Global Warming) adalah berkurangnya vegetasi di permukaan bumi akibat konversi dan atau penebangan hutan (Yuliasmara dan Wibawa 2007). Pemilihan jenis tanaman yang tepat untuk ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu bentuk yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan pemanasan global (Aenni 2011). Menurut Dachlan (2011) gas CO2 dapat diserap oleh tanaman dan pepohonan yang terdapat di RTH.

RTH adalah area memanjang/jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang di sengaja ditanam (Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007). RTH yang dikelola dengan baik dapat menyediakan berbagai keuntungan ekologis dan mendukung keberlanjutan kota (Nowak et al. 2001). Keberadaan RTH di kawasan perkotaan sangat penting dalam mendukung keberlangsungan sebuah kota ditinjau dari segi ekologis. Fungsi intrinsik (utama) RTH beragam, di antaranya yaitu sebagai produsen (penghasil) oksigen (O2). O2 merupakan kebutuhan dasar yang mutlak diperlukan oleh sebuah kota baik oleh penduduk, kendaraan bermotor, hewan ternak, maupun industri. Gas O2 merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses respirasi (Sesanti et al. 2011).

Hutan kota merupakan salah satu bentuk dari ruang terbuka hijau yang terdiri atas vegetasi pohon. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 definisi hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. Menurut Dwyer et al. (1992) hutan kota adalah komponen yang signifikan dan berpengaruh bagi lingkungan di perkotaan.

(17)

2

Peningkatan jumlah penduduk terjadi di Kota Prabumulih, salah satu kota yang berada di Sumatera Selatan selama 5 tahun terakhir, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kota Prabumulih sebanyak 137 786 jiwa, tahun 2010 sebanyak 161.984 jiwa, tahun 2011 sebanyak 165 960 jiwa, tahun 2012 sebanyak 169 022 jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak 171 804 jiwa (BPS 2014). Akibat meningkatnya penduduk, maka akan meningkat pula akitivitas seperti transportasi, yang membuat kebutuhan akan bahan bakar minyak dan gas menjadi meningkat. Pembakaran bahan bakar minyak dan gas selain menghasilkan pencemar udara juga menghasilkan gas CO2. Konsentrasi gas ini semakin meningkat dengan semakin meningkatnya populasi dan beragam kegiatan manusia yang banyak membutuhkan bahan bakar minyak dan gas (Dachlan 2007).

Kota Prabumulih membutuhkan hutan kota sebagai penghasil O2 dan penyimpan CO2 dan hutan kota mampu menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota. Menurut Gasman 1984 dalam Septriana et al. (2004) 1 ha daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2/jam, yang setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 manusia dalam waktu yang sama sebagai hasil pernafasannya.

Peningkatan jumlah penduduk akibat aktivitas manusia seperti kebutuhan akan lahan, pertanian (pangan dan perternakan), transportasi (energi) dan pembangunan infrastruktur kota mampu meningkatkan CO2. Kebutuhan akan hutan kota pun semakin meningkat. Untuk menanggulangi hal tersebut maka jumlah luasan kebutuhan hutan kota harus memadai agar dapat mengurangi CO2.

Kerangka Pemikiran

Hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar atau bergerombol dengan struktur meniru atau menyerupai hutan alam membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa, menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estesis (Irwan 1994). Menurut Konijnendijk (2003) hutan kota adalah vegetasi yang didominasi pepohon dan komunitasnya berada diperkotaan. Hutan kota menurut Wengger (1984) perhutanan kota adalah pengelolaan lahan baik milik umum maupun pribadi yang wilayahnya berada diperkotaan.

Hutan kota diharapkan dapat menanggulangi masalah lingkungan terutama mereduksi kebisingan dan menurunkan kadar CO2. Hutan kota akan sangat bermanfaat jika fungsinya sesuai dengan syarat ekologi dan estetika (Ratnaningsih dan Suhesti 2010). Menurut Irwan (2008) hutan kota diharapkan dapat mengatasi masalah lingkungan diperkotaan dengan menyerap hasil negatif yang disebabkan oleh aktivitas kota dipicu oleh pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap tahun. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 fungsi hutan kota adalah untuk memperbaiki, menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan, keserasian lingkungan fisik kota serta mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.

(18)

3 kegiatan transportasi khususnya diperkotaan. Hal tersebut dapat menyebabkan permasalahan pencemaran udara diakibatkan oleh proses pembakaran yang menghasilkan emisi CO2 (Wardhana 2009).

Kota Prabumulih memiliki luas wilayah seluas 434.46 km2. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota pasal 8 ayat 3 menetapkan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Peningkatan jumlah penduduk di Kota Prabumulih berpengaruh terhadap potensi hutan kota karena alih fungsi lahan sebagai lahan terbangun dapat mengurangi luasan potensi hutan kota. Proporsi hutan kota sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, Kota Prabumulih memiliki luas wilayah 434.460 km2 atau 43 446 ha sehingga hutan kota minimal yang harus dimiliki yaitu 10 % dari luas wilayah yaitu ± 4 344.6 ha. Untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan dari hutan kota menjadi ruang terbangun, dibutuhkan luas yang diprioritaskan untuk tetap dipertahankan dan perlu adanya pemenuhan hutan kota berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002. Oleh karena itu, diperlukan prediksi dan analisis luasan hutan kota berdasarkan emisi CO2 (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Emisi CO2

(energi, areal persawahan, ternak, penduduk) Ruang Terbuka Hijau

PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota

Kota Prabumulih

Meningkatnya aktivitas, pembangunan & jumlah penduduk Meningkatnya

kebutuhan ruang

Prediksi Kebutuhan Luasan Hutan Kota Penentuan Lokasi Hutan Kota

Hutan Kota

Hasil Perhitungan emisi CO2

(19)

4

Perumusan Masalah

Kota Prabumulih memiliki luasan wilayah seluas 434.46 km² terdiri atas 6 Kecamatan, yaitu Kecamatan Rambang Kapak Tengah, Kecamatan Prabumulih Timur, Kecamatan Prabumulih Barat, Kecamatan Cambai, Kecamatan Prabumulih Utara dan Kecamatan Prabumulih Selatan. Kota Prabumulih memerlukan ketersediaan hutan kota yang cukup sebagai penyerap CO2 karena kota Prabumulih merupakan salah satu kota di Sumatera Selatan yang berkembang menjadi kota metropolitan. Menurut Keputusan Walikota Prabumulih Nomor 202/KPTS/PERTA/2010 tentang penunjukan lokasi hutan kota, Kota Prabumulih memiliki hutan kota seluas ±10 ha di Desa Pangkul Kecamatan Cambai. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota yang menetapkan persentase luas hutan kota minimal 10% dari wilayah perkotaan. Kota Prabumulih hanya memiliki 0.023% (±10 ha) dari 10% (± 4 344.6 ha) luas minimal hutan kota yang harus dimiliki.

Penyebab terbatasanya hutan kota di Prabumulih disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah kota selaku stakeholder dalam pengelolaan tata ruang. Oleh karena itu, diduga CO2 di Kota Prabumulih akan meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas penduduk. Menurut BPS Kota Prabumulih (2014) tahun 2012-2013 mengalami peningkatan kepadatan jumlah penduduk sebesar 6.4 jiwa/km2. Aktivitas penduduk di Kota Prabumulih mengalami peningkatan yang terdiri atas: (1) penambahan jumlah kendaraan bermotor sebesar 43.53% dari 63 610 kendaraan pada tahun 2012 menjadi 91 301 kendaraan pada tahun 2013, (2) luas lahan sawah pada tahun 2012-2013 mengalami penurunan akibat konversi lahan menjadi lahan terbangun seluas 145 ha, (3) pada tahun 2013, daya listrik terpasang adalah sebesar 693 926 KW, meningkat sebesar 26.11% dari tahun 2012 sebesar 550 224 KW.

Penelitian ini mengasumsikan sumber emisi CO2 di Kota Prabumulih berasal dari penggunaan bahan bakar (energi), areal pertanian (areal persawahan), ternak dan penduduk. Pemenuhan kebutuhan hutan kota di Kota Prabumulih sangat diperlukan sebagai penyimpan CO2 dihasilkan dari sumber emisi CO2. Kota Prabumulih memiliki luasan hutan kota yang minim sehingga memerlukan penambahan hutan kota. Penentuan lokasi hutan kota menjadi prioritas penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan hutan kota diharapkan mampu mengurangi CO2 dihasilkan dari sumber emisi CO2. Berdasarkan uraian tersebut, maka dirumuskan permasalahan yang akan dibahan dalam penelitian ini antara lain:

1. Berapakah kebutuhan luasan hutan kota pada tahun 2014 berdasarkan emisi CO2 di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan?

2. Bagaimana prediksi kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan emisi CO2 sampai dengan tahun 2024 di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan?

3. Dimana lokasi yang tepat untuk di prioritaskan sebagai hutan kota di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan?

(20)

5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kebutuhan luasan hutan kota pada tahun 2014 berdasarkan emisi CO2 di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan. 2. Memprediksi kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan emisi CO2 sampai

dengan tahun 2024 di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan.

3. Menentukan lokasi yang tepat untuk di prioritaskan sebagai hutan kota di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan informasi dasar pengambilan keputusan dalam upaya pengelolaan, pengembangan, perencanaan dan pembangunan hutan kota di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

6 yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang pada dasarnya memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya yaitu manfaat konservasi serta manfaat estetika.

Hutan kota yang efektif, efisien perlu dibangun agar kota menjadi lebih sejuk, segar, nyaman, hijau dan berbunga. Hutan kota harus fungsional artinya tanaman dapat berfungsi dalam pengelolaan lingkungan (Dachlan 2004). Fungsi tanaman harus disesuaikan dengan masalah lingkungan yang telah ada atau diperkirakan akan muncul di masa akan datang. Dengan adanya hutan kota yang luas dan fungsional diharapkan kualitas lingkungan kota akan meningkat dan daya dukung kota pun akan tinggi (Dachlan 2007).

Ada dua pendekatan digunakan dalam membangun hutan kota. Pendekatan pertama adalah pendekatan parsial, yakni paradigma yang menyatakan bahwa sebagaian lahan kota untuk dijadikan kawasan hutan kota. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan: (1) persentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota, (2) perhitungan per kapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya, (3) berdasarkan isu penting yang muncul. Misalnya untuk menghitung hutan kota pada suatu kota dapat dihitung berdasarkan tujuan pemenuhan akan oksigen, air dan kebutuhan lainnya. Pendekatan kedua adalah pendekatan global. Pendekatan global menganggap bahwa semua wilayah administratif kota dan kabupaten ditetapkan sebagai areal wilayah kota yang harus dihijaukan. Permukiman, perkantoran, perdagangan dan industri dianggap sebagai enklave yang harus dihijaukan kembali agar fungsi hutan kota dapat terwujud secara nyata (Dachlan 2013).

Hutan kota merupakan cara yang digunakan untuk mengurangi tingkat polusi udara di kota. Selain itu, hutan kota mempunyai fungsi lain yang dapat mendukung terwujudnya lingkungan yang baik, di antaranya meredam kebisingan, menyerap debu, menyerap panas, dan dapat digunakan sebagai tempat rekreasi. Pengembangan hutan kota ini sangatlah memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang baik agar fungsi-fungsi hutan kota tersebut dapat terwujud secara maksimal. Informasi yang akurat, cepat dan efisien tentang lokasi, sebaran dan luas hutan kota akan sangat membantu dalam perencanaan pembangunan (Lestari dan Jaya 2005)

(22)

7 penapis cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, meningkatkan industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 hutan kota berfungsi untuk memperbaiki, menjaga iklim mikro, nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan, keserasian lingkungan fisik kota, mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 penunjukan hutan kota dan luas hutan kota didasarkan pada luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota dalam satu hamparan paling sedikit 0,25 ha dan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% dari luas perkotaan atau disesuaikan dengan kondisi setempat.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08 Tahun 2008 menyebutkan hutan kota dapat berbentuk (1) bergerombol atau menumpuk, hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan, (2) menyebar, hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas minimal 2500 m. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau bergerombol kecil, (3) luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90%-100% dari luas hutan kota, (4) berbentuk jalur, hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 m.

Selain itu stuktur hutan kota terdiri atas (1) hutan kota berstrata dua, yaitu hanya memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan pepohonan dan rumput, (2) hutan kota berstrata banyak, yaitu memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan selain terdiri atas pepohonan dan rumput juga terdapat semak dan penutup tanah dengan jarak tanam tidak beraturan. Adapun kriteria dalam pemilihan vegetasi untuk hutan kota yaitu memiliki ketinggian bervariasi, merupakan tanaman yang mengundang kehadiran burung, tajuk cukup rindang dan kompak, mampu menjerap dan menyerap cemaran udara, tahan terhadap hama penyakit, berumur panjang, toleran terhadap keterbatasan sinar matahari dan air, tahan terhadap pencemaran kendaraan bermotor dan industri, batang dan sistem percabangan kuat, batang tegak kuat dan tidak mudah patah, sistem perakaran yang kuat sehingga mampu mencegah terjadinya longsor, serasah yang dihasilkan cukup banyak dan tidak bersifat alelopati, agar tumbuhan lain dapat tumbuh baik sebagai penutup tanah, jrnis tanaman yang ditanam termasuk golongan evergreen bukan dari golongan tanaman yang menggugurkan daun (decidous), dan memiliki perakaran yang dalam.

Hutan kota diakui sebagai komponen penting untuk kota yang berkelanjutan, tetapi masih ada ketidakpastian tentang bagaimana stratifikasi dan cara mengklasifikasikan lanskap perkotaan menjadi bagian yang penting dalam ekologi pada skala spasial yang sesuai dengan pengelolaan (Steenberg et al.

2015).

Emisi Karbondioksida

(23)

8

global yang mengakibatkan perubahan iklim. Ada 6 jenis gas digolongkan GRK yaitu karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfur heksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon (HFCs).

Vegetasi juga mempunyai peranan dalam ekosistem, apalagi jika kita mengamati pembangunan yang meningkat di perkotaan yang sering kali tidak menghiraukan kehadiran lahan untuk vegetasi. Vegetasi ini sangat berguna dalam produksi O2 yang diperlukan manusia untuk proses respirasi, serta dapat mengurangi keberadaan gas CO2 yang semakin banyak di udara akibat kendaraan bermotor dan industri (Irwan 1992). Penyerapan CO2 oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi CO2 sebanyak 800 ton pertahun (Simpson dan McPherson 1999).

Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkan ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui fotosintesis. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al. 2004).

6 CO2 +12 H2O C6H12O6 + 6 H2O + 6 O2

Tumbuhan mendapatkan CO2 dari udara melalui fotosintesis, selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman (Hairiah et al. 2011).

Cahaya matahari dimanfaatkan oleh tumbuhan melalui fotosintesis berfungsi untuk mengubah gas CO2 menjadi karbohidrat dan O2. Proses ini sangat bermanfaat bagi manusia karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan mengakibatkan efek rumah kaca. Jumlah emisi CO2 akan berpengaruh terhadap jumlah luas ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau diperlukan untuk menyerap emisi CO2, sehingga diperlukan standar luas agar emisi CO2 mampu diserap seluruhnya oleh tanaman (Tinambunan 2006).

Setiap jenis tanaman memiliki kemampuan menyerap CO2 yang berbeda. Sengon menyerap CO2 sebesar 33.03 ton CO2/ha/tahun, perkebunan kopi 8.07 ton CO2/ha/tahun (Hairiah 2001). Untuk karet tradisional mampu menyerap CO2 sebesar 72.59 ton CO2 e/ha dan karet klon unggul menyerap sebesar 155.45 ton CO2 e/ha (Ginoga et al. 2002). Menurut Dachlan (2007) S.saman daya sink CO2 nya sebesar 28 488.39 kg/pohon/tahun. Selain itu kemampuan tipe vegetasi lahan dalam menyerap emisi CO2 bermacam-macam (Tabel 1). Hutan yang mempunyai berbagai macam tipe vegetasi memiliki kemampuan atau daya serap terhadap CO2 yang berbeda.

Tabel 1 Kemampuan tipe vegetasi dalam menyerap CO2 No Tipe tutupan lahan Daya serap CO2

(24)

9 Bahan Bakar Minyak dan Gas

Manusia membutuhkan bahan bakar minyak dan gas diperoleh dari minyak bumi yang mengandung hidrokarbon. Bahan bakar minyak dan gas yang dipergunakan saat ini adalah premium, solar dan LPG.

Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan. Bahan bakar ini sering juga disebut motor gasoline atau petrol. Bio Solar adai macam tipe bahan bakar campuran untuk mesin diesel terdiri atas minyak hayati non fosil (biofuel) sebesar 5% minyak kelapa sawit yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dan 95% solar murni bersubsidi. Bahan bakar ini secara bertahap akan mengurangi peran solar (Pertamina 2015). Liquid petrolium gas

(LPG) mengandung propana dan butana yang dipisahkan kemudian dicairkan Turunnya kualitas udara disebabkan oleh meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak dan gas yang melepas gas hidrokarbon dan CO2 ke udara. Gas CO2 dapat dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar minyak dan gas yang banyak dipergunakan di kota. Setiap jenis bahan bakar yang dipergunakan menghasilkan jumlah emisi gas CO2 yang berbeda-beda.

Gas buang sisa pembakaran bahan bakar minyak mengandung bahan bahan pencemar seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), volatile hydrocarbon (VHC), suspended particulate matter dan partikel lainnya. Bahan-bahan pencemar tersebut dapat berdampak negatif terhadap manusia ataupun ekosistem bila melebihi konsentrasi tertentu. Peningkatan penggunaan bahan bakar minyak untuk sektor transportasi menyebabkan gas buang yang mengandung polutan juga akan naik dan akan mempertinggi kadar pencemaran udara (Sugiyono 1998).

Ternak

(25)

10

Penduduk

Manusia juga menghasilkan gas CO2. Rata-rata manusia bernapas 12 kali dalam semenit. Sebanyak 500 ml udara dihirup pada setiap tarikan napas. Setiap hembusan napas mengandung gas CO2 sebanyak 4%. Jumlah gas CO2 yang dihasilkan dari pernapasan manusia sebanyak 3.96 gr CO2/jam. Ketika udara dihirup CO2 akan larut ke plasma darah dan sebagian lagi diikat oleh hemoglobin membentuk Hb-CO2 (Dachlan 2007). Lingkungan yang gas CO2 nya tinggi dapat mengancam kesehatan manusia. Kadar gas CO2 dapat mengancam manusia lebih dari 1.5%. Jika kadar gas melebihi 3% dapat mengakibatkan gejala sakit kepala dan kelelahan disertai dengan sesak napas, hilang kesadaran bahkan kematian. Areal Persawahan

Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan oleh keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd dan Taylor 1980).

Penggenangan merupakan karakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju penyediannya rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick dan Reddy 1978).

Sawah merupakan salah satu sumber penting gas metan. Orgasnisme yang berperan dalam proses pembentukan CH4 ini disebut bakteri metanogenik, sedangkan bakteri yang menyebabkan berkurangnya CH4 adalah bakteri metanotropik. Bakteri metanogenik sangat peka terhadap oksigen sedangkan metanotropik menggunakan CH4 sebagai satu-satunya sumber energi untuk metabolisme. Mikroorganisme-mikroorganisme ini berfungsi dengan maksimal sesuai perannya masing-masing tergantung dari ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi cepat-lambatnya proses produksi dan konsumsi gas CH4 adalah reaksi reduksi dan oksidasi (redoks) dari oksidan-oksidan tanah (Setyanto 2004).

Bakteri menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi, dan (3) gas metan yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusif dalam pembuluh aerinkima untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir (Rennenberg et al. 1992).

Pendekatan Sistem dan Pemodelan

(26)

11 dibandingkan dunia nyata, sehingga manusia lebih mudah mengatasinya. Menurut Tamin (2000) model dalam sistem dikategorikan menjadi 2 yaitu: (1) Model dinamik, yakni model yang memiliki peubah waktu didalamnya sehingga respon akan berubah jika terjadinya perubahan waktu, (2) model statik, yakni model yang tidak memiliki peubah waktu.

Menurut Aminullah dalam Ramadan (2015) pendekatan sistem terdapat beberapa tahapan untuk menyelesaikan permasalahan kompleks, antara lain:

1. Analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua

stakeholders dalam sistem.

2. Formulasi permasalahan yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan dalam sistem

3. Identifikasi sistem untuk menentukan variabel-variabel sistem dalam rangka memenuhi kebutuhan semua stakeholders dalam sistem.

4. Pemodelan abstrak mencakup proses interaktif antara analisis sistem dengan pembuat keputusan dengan menggunakan model untuk mengeksploitasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem.

5. Implementasi dengan tujuan utama untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan.

6. Operasi, pada tahapan ini akan dilakukan validasi sistem dan seringkali pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi.

Menurut Hartrisari (2007) model diciptakan dan digunakan untuk mempermudah dalam melakukan pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh karena itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Model terbaik akan mampu memberikan gambaran perilaku dunia nyata sesuai dengan permasalahan dan akan meminimalkan perilaku yang tidak signifikan dari sistem yang dimodelkan. Salah satu solusi menyelesaikan permasalahan kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi sistem dinamis. Penggunaan model tersebut akan mengkomputasi jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Penyusunan model dapat dilakukan berdasarkan basis data (data base) maupun pengetahuan (knowledge base) (Eriyatno 2003).

(27)

12

Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan salah satu metode digunakan untuk mengatur serta menyajikan data spasial yang memungkinkan untuk melakukan perencanaan pengelolaan lingkungan secara efektif (Rojas 2007). Menurut Irwansyah (2013) SIG adalah sebuah sistem di desain untuk menangkap, menyimpan, memanipulasi, menganalisa, mengatur dan menampilkan seluruh jenis data geografi. SIG data spasial merupakan sebuah data yang mengacu pada posisi, obyek dan hubungan di antaranya dalam ruang bumi. Data spasial salah satu item dari informasi di mana di dalamnya terdapat informasi mengenai bumi termasuk bumi, dibawah permukaan bumi, perairan, kelautan dan di bawah atmosfer.

SIG merupakan terkologi yang berkembang dengan cepat. Sulit untuk mendefinisikan SIG dengan jelas karena memiliki aplikasi yang luas. Pada prinsipnya, SIG menggabungkan teknologi dan kemampuan peta dan atributnya. SIG adalah suatu sistem digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan data spasial yang mengambarkan bumi. Di awal perkembangannya, SIG hanya digunakan untuk pemetaan digital, untuk keperluan persediaan sumberdaya, kadaster, perencanaan, transportasi dan sensus, tetapi saat ini SIG telah banyak digunakan untuk permodelan dan pengambilan keputusan dengan berbagai tingkat temporal dan resolusi spasial. Data penginderaan jauh dapat digunakan sebagi input dan validasi pemodelan spasial dapat menggunakan SIG (Prasetyo 2013).

SIG mempresentasikan real world dengan data spasial terbagi atas dua model yaitu model data raster dan model data vektor. Dalam data vektor, bumi dipresentasikan sebagai suatu mosaik terdiri atas garis, polygon, titik/point dan

nodes. Data raster dalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh dipresentaikan sebagai struktur grid disebut pixel (picture element). Resolusi pada raster tergantung pada ukuran pixel-nya. Resolusi pixel mengambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi diwaliki oleh setiap pixel pada citra. Semakin kecil ukuran bumi dipresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi resolusinya. Data raster sangat baik untuk mempresentasikan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah, kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya (Irwansyah 2013).

Ada beberapa alasan mengapa perlu menggunakan SIG yaitu (1) SIG menggunakan data spasial maupun atribut yang terintegrasi, (2) SIG digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam meningkatkan pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan bumi, (3) SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data, (4) SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi ke dalam beberapa layer atau coverage data spasial, (5) SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menvisualisasi data spasial beserta atributnya, (6) semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif, (7) SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta tematik, (8) semua operasi SIG di

(28)

13

3

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Prabumulih terletak pada 3020’09.01”-3034’24.7” LS dan 104007’50.4”-104019’41.6” BT dengan luas wilayah 434 460 km2. Pengelolaan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat tulis, kamera digital, GPS, software Powersim constructor 2.5d, ERDAS Imagine 9.1, ArcGIS 9.3,

software Expert Choice 11 dan computer/laptop. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 ETM (path 124 row 62), Peta Administrasi, Peta RBI, Peta Digital RTRW dan Data Statistik Kota Prabumulih yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika dan BAPPEDA Kota Prabumulih.

Prosedur Penelitian

(29)

14

Lalu dari hasil tersebut dilakukan prediksi kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 per kecamatan dan dilakukan penentuan lokasi hutan kota per kecamatan sesuai kriteria. Lalu untuk menentukan lokasi prioritas hutan kota dilakukan dengan metode skoring lalu untuk bobotnya diproses dengan software Expert Choice 11.

Asumsi dan Batasan Penelitian

Beberapa asumsi dan batasan penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Studi area di Kota Prabumulih merupakan sistem tertutup dimana tidak ada input output dari luar.

2. Sumber sumber CO2 hanya berasal dari sumber energi (solar, premium, dan LPG), areal persawahan (areal sawah padi), ternak serta penduduk dan emisi CO2 yang berada di luar Kota Prabumulih diabaikan, serta serapan CO2 hanya dilakukan oleh hutan kota (pohon).

3. Gas CO2 selama berada di udara tidak mengalami perubahan fisik dan

8. Tidak ada kegiatan pemuliaan ternak yang berpengaruh signifikan terhadap populasi ternak.

9. Paradigma masyarakat terhadap pertanian tidak berubah. Masyarakat beranggapan sektor pertanian bukan merupakan sektor pertanian pangan. 10.Tidak ada perubahan ekologis yang drastis.

Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Inventarisasi dan pengumpulan data

a. Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan bertujuan memperoleh data sekunder untuk melengkapi data penelitian. Studi litelatur diperoleh dari instansi-instasi terkait, antara lain: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perhubungan, Pertamina, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pertanian serta pustaka lainnya.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan bertujuan memperoleh informasi yang didapat dari pihak pemerintah Kota Prabumulih seperti BAPPEDA, BPS, dan Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan serta instansi-instansi terkait dalam pengembangan hutan kota.

c. Observasi lapang

(30)

15 Tabel 2 Jenis, bentuk dan sumber data

No Jenis Data Bentuk data Sumber Data 1. Aspek Klimatogis

Suhu udara, kelembaban relatif, curah hujan.

Deskripsi BPS

2. Geologi dan geografi

Batas tapak, letak geografi, luas wilayah

Deskripsi dan Peta

BPS dan Bappeda

3. Penggunaan Lahan Deskripsi dan Peta

Bappeda 4. Rencana Tata Ruang Wilayah Deskripsi

dan Peta

Bappeda

5. Demografi Penduduk

Kepadatan dan jumlah penduduk

Deskripsi BPS

6. Tingkat konsumsi Bahan Bakar

Premium, solar, LPG dan minyak tanah

Deskripsi Pertamina

7. Jumlah dan jenis hewan ternak Deskripsi Dinas

Peternakan dan Perikanan

Metode Analisis Data

Perhitungan prediksi emisi CO2

Sumber emisi yang diperhitungkan berasal dari pengunaan bahan bakar, ternak, sawah dan penduduk mengacu pada Qodriyanti (2010) yang dilakukan oleh IPCC 1996.

a. Energi

Pengukuran CO2 dilakukan dengan mengetahui jenis bahan bakar yang digunakan serta jumlah konsumsi bahan bakar. Jumlah konsumsi bahan bakar dapat dicari dengan cara :

C (TJ/tahun) = a (103 ton/tahun) x b (TJ/103 ton) Keterangan :

C = Jumlah konsumsi bahan bakar berdasarkan jenis bahan bakar (TJ/tahun) a = Konsumsi bahan bakar berdasarkan jenis bahan bakar (103 ton/tahun)

b = Nilai kalori bersih/faktor konversi berdasarkan jenis bahan bakar (TJ/103 ton) Tabel 3 Nilai kalori bersih berdasarkan jenis bahan bakar

(31)

16

Kandungan karbon yang terdapat pada masing-masing bahan bakar minyak maupun gas dihitung dengan cara :

E (t C/tahun) = C (TJ/tahun) x d (t C/TJ) Keterangan :

E = Kandungan karbon berdasarkan jenis bahan bakar (t C/tahun)

c = Jumlah konsumsi bahan bakar berdasarkan jenis bahan bakar (TJ/tahun) d = Faktor emisi karbon berdasarkan jenis bahan bakar (t C/TJ)

Tabel 4 Faktor emisi karbon berdasarkan jenis bahan bakar Faktor emisi karbon

Bahan bakar Faktor emisi (t C/TJ)

Bensin 18.9

Solar/IFO 20.2

Minyak tanah 19.5

LPG 17.2

Sumber: IPCC (1996)

Emisi karbon aktual yang dihasilkan dari setiap bahan bakar dihitung dengan cara:

G (Gg C/tahun) = E (t C/tahun) x f Keterangan :

G = Emisi karbon aktual berdasarkan jenis bahan bakar (Gg C/tahun) E = Kandungan karbon berdasarkan jenis bahan bakar (t C/tahun)

f = Fraksi CO2, fraksi CO2 untuk bahan bakar minyak adalah 0.99 sedangkan untuk bahan bakar gas adalah 0.995

Sehingga total emisi CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar minyak dan gas dapat diperoleh dengan cara :

H (Gg CO2/tahun) = G (Gg C/tahun) x (44/12) Keterangan :

H = Emisi CO2 aktual berdasarkan jenis bahan bakar (Gg CO2/tahun) G = Emisi karbon aktual berdasarkan jenis bahan bakar (Gg C/tahun) b. Ternak

(32)

17 Tabel 5 Faktor emisi dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak

Faktor emisi CH4 dari hasil fermentasi

Ternak Faktor (kg/ekor/tahun)

C (ton/tahun) = a (ekor) x b (kg/ekor/tahun) Keterangan :

C = Emisi metana dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak (ton/tahun) a = Populasi ternak berdasarkan jenis ternak (ekor)

b = Faktor emisi CH4 dari hasil fermentasi berdasarkan jenis ternak (kg/ekor/tahun)

Tabel 6 Faktor emisi dari pengelolaan pupuk berdasarkan temperatur atau iklim

Faktor emisi CH4 dari hasil fermentasi

Ternak Faktor (kg/ekor/tahun)

Emisi metana dari proses pengelolaan pupuk diperoleh dari : E (ton/tahun) = a (ekor) x d (kg/ekor/tahun) Keterangan :

E = Emisi metana dari proses pengelolaan pupuk berdasarkan jenis ternak (ton/tahun)

a = Populasi ternak berdasarkan jenis ternak (ekor)

d = Faktor emisi CH4 dari pengelolaan pupuk berdasarkan jenis ternak (kg/ekor/tahun)

F = Total emisi metana berdasarkan jenis ternak (Gg/tahun) Sehingga total emisi metana yang dihasilkan oleh ternak adalah :

F (Gg CH4/tahun) = C (ton/tahun) + E (ton/tahun) Keterangan :

F = Total emisi metana berdasarkan jenis ternak (Gg/tahun)

E = Emisi metana dari proses pengelolaan pupuk berdasarkan jenis ternak (ton/tahun)

(33)

18

Metana yang dihasilkan diubah menjadi CO2 melalui rekasi kimia yaitu : CH4 + 2 O2 CO2 + 2 H2O

c. Pertanian (areal persawahan)

Dekomposisi anaerobik dari bahan organik di areal persawahan menghasilkan metana. Gas tersebut dikeluarkan ke udara melalui tanaman padi selama musim pertumbuhan. Metana yang dihasilkan dari persawahan tersebut dapat diketahui dari luas arel yang dijadikan persawahan dan jumlah musin panen.

D (Gg CH4/tahun) = a (m2) x b x c (g/m2) x d (tahun) Keterangan :

D = Total emisi metana dari areal persawahan (Gg/tahun) a = Luas areal persawahan (m2)

b = Nilai ukur faktor emisi CH4 c = Faktor emisi (18 g/m2)

d = Jumlah masa panen per tahun (tahun) d. CO2 yang dihasilkan penduduk

Sumber CO2 dihasilkan oleh penduduk seperti dari sistem respirasi maupun aktivitas sehari-hari

KKP(t) = (JPT(t) .KPt) Keterangan :

KKP(t) = Karbon dioksida yang dihasilkan penduduk pada tahun ke t (Gg CO2/tahun)

JPT(t) = Jumlah penduduk terdaftar pada tahun ke t (jiwa)

KPt = Jumlah karbon dioksida yang dihasilkan manusia yaitu 0.96 Kg CO2/jiwa/hari (0.3456 ton CO2/jiwa/tahun) (Grey dan Deneke 1978). e. Emisi CO2 Per kecamatan

Emisi CO2 per kecamatan dihitung dengan membagi total emisi CO2 yang dihasilkan oleh energi, ternak, persawahan dan dari penduduk dengan total jumlah penduduk lalu dikalikan dengan jumlah penduduk per kecamatan.

Emisi CO2 Kecamatan= ∑emisi CO2

∑jumlah penduduk ×jumlah penduduk/Kecamatan

f. Penentuan luas hutan kota berdasarkan fungsi sebagai penyerap CO2

Kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan daya serap CO2 dapat diperoleh dari kemampuan hutan kota dalam menyerap CO2. Kebutuhan hutan kota diperoleh dari jumlah emisi CO2 yang terdapat di Kota Prabumulih dibagi dengan kemampuan hutan kota dalam menyerap CO2.

(34)

19 Keterangan:

L = Kebutuhan luasan hutan kota (ha)

w = Total emisi CO2 dari energi (Gg CO2/tahun) x = Total emisi CO2 dari ternak (Gg CO2/tahun)

y = Total emisi CO2 dari areal persawahan (Gg CO2/tahun) z = Total emisi CO2 dari manusia(Gg CO2/tahun)

K = Nilai serapan CO2 oleh hutan sebesar 58.2576 CO2 (ton/tahun/ha), menurut (Inverson 1993 dalam Tinambunan 2006).

Setelah didapat kebutuhan luasan hutan kota berdasarkan CO2 lalu dihitung kebutuhan hutan kota di setiap kecamatan.

Kebutuhan luasan HK/Kec=∑Kebutuhan luasan hutan kota

∑jumlah penduduk ×jmlh penduduk/Kec

Nilai kebutuhan luasan hutan kota yang didapat berdasarkan daya serap CO2 maka akan diketahui seberapa luas hutan kota yang disediakan oleh Pemerintah Kota Prabumulih. Penambahan luasan hutan kota yang disediakan diperoleh dengan cara :

L (ha) = A (ha) – B (ha) Keterangan :

L = Penambahan luasan hutan kota (ha) A = Kebutuhan hutan kota (ha)

B = Luas hutan kota sekarang (ha)

Dengan menggunakan rumus perhitungan di atas lalu di analisis menggunakan pendekatan sistem dengan software Powersim constructor 2.5d. g. Pendekatan sistem

Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks. Menurut Manetsch dan Park dalam Hartrisari (2007) pendekatan sistem memiliki beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Analisis Kebutuhan

Analisis kebutuhan merupakan tahapan awal yang mengidentifikasi kebutuhan masing-masing pelaku sistem (stakeholders) hutan kota. Setiap pelaku memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tujuan dan diharapkan dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan yang di inginkan (Lampiran 1).

2. Formulasi Masalah

(35)

20

sistem. Berdasarkan hal tersebut disusun permasalahan kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 di Kota Prabumulih, antara lain:

1. Meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk pembangunan sehingga dapat mengurangi RTH eksisting.

2. Kurangnya partisipasi pemerintah akan pemenuhan hutan kota.

3. Lemahnya kerjasama masyarakat dengan pemerintah untuk menjaga luasan hutan kota.

4. Meningkatnya sumber pencemar CO2 sehingga terjadi peningkatan polusi. 5. Keterbatasan ketersedian hutan kota sebagai sarana penyimpan CO2 dan

penyaring udara. 3. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan untuk mengetahui antara kebutuhan dengan masalah yang harus diselesaikan. Lalu disusun diagram lingkar sebab akibat (causal-loop diagram) atau diagram input output (black box diagram) untuk mencapai kebutuhan tersebut.

Gambar 3 Diagram input output sistem kebutuhan hutan kota di Kota Prabumulih

(36)

21 4 Permodelan

Permodelan dilakukan untuk menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan, formulasi sistem, identifikasi dan menganalisis model. Ilustrasi model sistem kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 seperti Gambar 5 berikut.

(37)

22

5 Pengujian Model

Pengujian model dilakukan untuk mengetahui bahwa model yang dibuat sesuai dengan solusi permasalahan sehingga dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Model yang dibuat harus mendekati sistem yang sebenarnya. Maka dari itu perlu dilakukan verifikasi dan validasi model. Verifikasi bertujuan melakukan pemerikasaan kembali konsistensi unit analisis dan dimensi keseluruhan interaksi dari unsur penyusun sistem. Validasi model bertujuan mengetahui apakah model yang dibuat menggambarkan sistem yang nyata atau tidak.

Prediksi Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi CO2

Pendugaan luasan hutan kota hingga tahun 2024 didasarkan atas perubahan emisi CO2 yang terdapat di Kota Prabumulih. Data perkiraan emisi ini diperoleh dari perhitungan sumber emisi yang berasal dari energi (bahan bakar fosil), ternak, lahan sawah padi dan manusia dengan menggunakan pendekatan sistem.

Analisis Penutupan Lahan

Analisis penutupan lahan dilakukan untuk memperoleh informasi penutupan lahan eksiting dan diperoleh dari hasil analisis interpretasi citra satelit Citra Landsat 8. Informasi yang masih bervegetasi diperlukan untuk mengetahui kecukupan vegetasi dalam memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau yang dihasilkan. Langkah yang dilakukan sebagai berikut:

1. Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian yang mencakup batas administratif Kota Prabumulih.

2. Ground truth dilakukan untuk memperoleh informasi dan kondisi Kota Prabumulih secara nyata. Di catat pengunaan lahan, lalu di tandai dengan GPS serta di foto.

3. Training area dibuat sesuai dengan kelas yang ditemukan saat melakukan cek lapangan serta informasi lain yang didapatkan.

4. Klasifikasi citra yang digunakan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan memilih kelas yang disesuaikan dengan penutupan lahan, lalu memilih training area yang mewakili setiap kelas.

5. Klasifikasi penutupan lahan pada penelitian ini menggunakan metode kemungkinan maksimum (maximum likelihood method).

6. Kelas yang telah ditentukan lalu digabungkan sesuai dengan tipe penutupan lahan yang sama (recode).

7. Uji akurasi dilakukan untuk melihat tingkat kesalahan pemetaan yang dilakukan pada klasifikasi training area pada citra satelit yang digunakan. Konversi Nilai Digital Number Menjadi Suhu Permukaan

(38)

23 �λ=�� �cal+A�

Keterangan:

� = radiance spectral Top of Atmosphere (TOA) (watts/m2 Srad µm) = (Radiance_mult_bandx), x = nomor band

� = (Radiance_add_bandx), x = nomor band

���� = Quantized and calibrated standart product pixel values (Digital number) Formulasi untuk mengubah formulasi untuk mengubah nilai piksel menjadi nilai suhu permukaan dengan rumus (Prakash et al. 1995):

� =

�n + Keterangan:

T = Suhu permukaan (K)

K1 = Konstanta kalibrasi 1 = 774.89 Onboard Operational land Imager and Thermal Infrared Sensor (OLI TIRS)

K2 = Konstanta kalibrasi 2 = 1321.08 (OLI TIRS)

Lλ = Nilai radiansi spektral

Hasil akhir pengolahan ini berupa suhu permukaan dalam satuan Kelvin, untuk merubah ke celcius bisa dihitung menggunakan tools bandmath dengan persamaan:

�scelcius = �s − 7

Penentuan Lokasi Hutan Kota

(39)

24

Tabel 7 Faktor penentuan lokasi hutan kota Faktor Sub Faktor Bobot

Regosol, Litosol, Organosol, Rezina 5

Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol,

Podsolik 4

Brown Forestrial, Non Clasis Brown,

Mediteran 3

Latosol 2

Aluvial, Tanah Glei Planosol Hidowarf kelabu, Laterik, Air Tanah 1

Penggunaan

Lahan 0.187

(40)

25 Faktor penentuan lokasi hutan kota akan menghasilkan skor total didapat dari penjumlahan nilai skor tiap faktor dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Lalu dari hasil tersebut didapatkan nilai maksimum dan nilai minimum yang digunakan untuk membuat selang prioritas, berikut persamaannya:

�elang prioritas =�ilai �aks − �ilai �in∑ selang

Tabel 8 Selang prioritas

No Kelas Prioritas Keterangan

1 A Prioritas Tinggi

2 B Prioritas Sedang

3 C Prioritas Rendah

Kondisi Umum Kota Prabumulih

Kota Prabumulih merupakan salah satu kota di Provinsi Sumatera Selatan terbentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2001 yang merupakan pecahan Kabupaten Muara Enim. Menurut BPS (2014) letak geografis Kota Prabumulih antara 3o-4o LS dan 104o-105o BT dengan ketinggian rata-rata 51 - 54 mdpl. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007, Kota Prabumulih dibagi menjadi 6 Kecamatan dan 37 Desa/Kelurahan yang terdiri atas Kecamatan Cambai, Kecamatan Rambang Kapak Tengah, Kecamatan Prabumulih Utara, Kecamatan Prabumulih Timur, Kecamatan Prabumulih Barat, dan Kecamatan Prabumulih Selatan. Secara geografis, Kota Prabumulih berbatasan dengan:

1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lembak Kabupaten Muara enim dan Kecamatan Tanah Abang Kabupaten Pali.

2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lembak Kabupaten Muara Enim dan Kecamatan Rambang Kuang Kabupaten Ogan Ilir

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Rambang dan Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim

4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Rambang Dangku Kabupaten Muara Enim.

Suhu udara rata-rata pada tahun 2013 berkisar antara 27.7 oC sampai 29.1 oC. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Juni (33.7 oC), suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus (23.7 oC). Kecepatan angin berkisar antara 3 knots-5 knots. Rata-rata curah hujan berkisar antara 86.0 mm3 (Juli) sampai 613.0 mm3 (Maret). Prabumulih mempunyai kelembaban udara relatif tinggi dimana pada tahun 2013 antara 77% (Oktober) sampai 85% (Januari).

(41)

26

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Model Sistem Kebutuhan Hutan Kota Berdasarkan Emisi CO2 Prabumulih Model dinamik kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 Kota Prabumulih dibangun berdasarkan logika berpikir hubungan antara komponen terkait dan interaksinya, sehingga membentuk struktur model yang memiliki keserupaan perilaku dengan perilaku sistem nyata yang berdasarkan faktor kunci. Faktor kunci tersebut, antara lain: (1) penduduk (populasi penduduk), (2) sumber energi (konsumsi solar, premium dan LPG), (3) ternak (populasi sapi potong, kambing, kerbau, domba, kuda, dan unggas), dan (4) areal persawahan (luas areal sawah padi) (Gambar 6). Oleh karena hasil uji validasi menyatakan sudah baik, maka dilakukan beberapa simulasi untuk menentukan luasan hutan kota. Analisis model ini dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun dimulai dari tahun 2010 dan berakhir pada tahun 2024 dimana satu tahun diasumsikan berjumlah 365 hari. Waktu 10 tahun tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perkembangan kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2 di Kota Prabumulih.

Gambar 6 Struktur model dinamik kebutuhan hutan Kota Prabumulih Penduduk

Data mengenai kependudukan merupakan aspek yang sangat penting dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan lingkungan, semakin banyak penduduk di suatu wilayah diduga permasalahan lingkungan yang ditimbulkan akan meningkat. Perkembangan jumlah penduduk di Kota Prabumulih tahun 2010 hingga tahun 2014 terus mengalami peningkatan signifikan dengan persentase pertumbuhan beda-beda setiap tahunnya.

Peningkatan jumlah penduduk di Kota Prabumulih dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian. Jumlah kelahiran menurut penolong kelahiran pada tahun 2010 yaitu 229 orang sedangkan pada tahun 2011 mengalami penurunan sesuai yang tercatat yaitu hanya 82 orang dan terus meningkat hingga pada tahun 2012 dan 2013 berjumlah 358 orang dan 567 orang.

(42)

27 dengan luas wilayah 13 400 ha yaitu sebanyak 63 672 orang dan jumlah penduduk terendah terdapat di Kecamatan Rambang Kapak Tengah yaitu sebesar 11 733 orang yang menempati wilayah seluas 7 234 ha.

Kepadatan penduduk Kota Prabumulih pada tahun 2010 sebesar 372.84 orang/km2 dan tahun 2013 meningkat menjadi 395.44 orang/km2. Tahun 2010 kepadatan terbesar terdapat di Kecamatan Prabumulih utara sebesar 2 855.43 orang/km2 dan terendah di Kecamatan Rambang Kapak Tengah dengan kepadatan sebesar 150.41 orang/km2. Pada tahun 2013 kepadatan terbesar masih di wilayah Prabumulih utara yaitu sebesar 2 881.97 orang/km2 dan kepadatan terendah juga berada di Kecamatan Rambang Kapak Tengah yaitu sebesar 162.19 orang/km2.

Gambar 7 Simulasi pertambahan jumlah penduduk di Kota Prabumulih Tabel 9 Simulasi pertumbuhan jumlah penduduk Kota Prabumulih

Tahun Jumlah Penduduk (orang)

2010 161 984

2011 165 098.05

2012 168 278.17

2013 171 525.75

2014 174 842.23

2015 178 229.05

2016 181 687.70

2017 185 219.69

2018 188 826.57

2019 192 509.93

2020 196 271.36

2021 200 112.54

2022 204 035.12

2023 208 040.84

2024 212 131.45

(43)

28

Sumber Energi

Bahan bakar minyak yang ada seperti solar, premium, minyak tanah dan LPG berasal dari minyak bumi. Untuk keperluan transportasi di Kota Prabumulih umumnya menggunakan bahan bakar premium dan solar. Konsumsi bahan bakar di Kota Prabumulih bisa dikategorikan masih cukup rendah jika dibandingkan kota besar seperti Kota Bogor yang konsumsi premiumnya mencapai 165 813 Kl pada tahun 2011. Hal ini dipengaruhi dari jumlah penduduk di Kota tersebut yang mencapai 960 000 pada tahun 2011 (Asyaebani 2013). Semakin banyak jumlah penduduk maka konsumsi akan bahan bakarpun akan cenderung meningkat.

Konsumsi terhadap bahan bakar minyak dan gas dalam 5 tahun terakhir cenderung meningkat (Tabel 10). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan transportasi pribadi sehingga mempengaruhi penggunaan bahan bakar. Konsumsi bahan bakar untuk keperluan transportasi lebih banyak menggunakan premium dari pada bahan bakar solar.

Tabel 10 Simulasi Konsumsi jenis bahan bakar premium, solar dan LPG Kota

(44)

29

Gambar 8 Simulasi pertumbuhan konsumsi LPG, premium dan solar Ternak

Ternak merupakan mahluk hidup yang sangat diperlukan setiap orang. Permintaan ternak cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, serta semakin sadar masyarakat akan makanan bergizi tinggi.

Tabel 11 Simulasi jumlah ternak di Kota Prabumulih

Tahun Jenis Ternak (ekor)

Sapi Potong Kambing Kerbau Kuda Domba Unggas

2010 1 498.05 4 455.49 4.44 3.46 100.38 509 414.94

2011 1 526.85 4 541.14 4.53 3.53 102.31 519 208.15

2012 1 556.26 4 628.62 4.61 3.60 104.28 529 209.14

2013 1 586.30 4 717.94 4.70 3.67 106.29 539 422.30

2014 1 616.97 4 809.16 4.79 3.74 108.35 549 852.11

2015 1 648.29 4 902.32 4.89 3.81 110.44 560 503.14

2016 1 680.28 4 997.45 4.98 3.88 112.59 571 380.06

2017 1 712.94 5 094.60 5.08 3.96 114.78 582 487.64

2018 1 746.30 5 193.81 5.18 4.04 117.01 593 930.73

2019 1 780.36 5 295.13 5.28 4.12 119.29 605 414.32

2020 1 815.15 5 398.59 5.38 4.20 121.62 617 243.47

2021 1 850.67 5 504.24 5.49 4.28 124.00 629 323.37

2022 1 886.95 5 612.14 5.59 4.36 126.44 641 659.31

2023 1 923.99 5 722.32 5.70 4.45 128.92 654 256.68

2024 1 961.82 5 834.83 5.82 4.54 131.45 667 121.02

(45)

30

Gambar 9 Simulasi pertumbuhan jumlah ternak Kota Prabumulih

Areal Persawahan

Lahan sawah mempunyai hubungan dengan ketahanan pangan. Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan di dalam negeri dan dihasilkan dari lahan sawah. Areal persawahan di Kota Prabumulih setiap tahun semakin menurun luasannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan yang semulanya dari lahan persawahan dialihfungsikan menjadi lahan terbangun atau lahan lainnya. Konversi lahan merupakan konsekuensi dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk. Berkurangnya proporsi lahan sawah sering terjadi terutama di wilayah urban atau perluasan pengembangan permukiman dan kawasan industri/pariwisata. Selain itu, alasan petani melakukan alih fungsi lahan akibat terjadinya penurunan debit air, tidak sesuainya harga jual komoditi padi serta terjadinya perubahan mata pencaharian dari petani menjadi pengelola karet mengingat tutupan lahan Kota Prabumulih didominasi oleh perkebunan karet.

(46)

31 Hasil simulasi menunjukan luas areal persawahan untuk 10 tahun kedepan diperkirakan akan terus menurun (Gambar 10), pada tahun 2024 luas areal persawahan diduga hanya 779.45 ha (Tabel 12).

Tabel 12 Simulasi luasan sawah di Kota Prabumulih

Tahun Lahan Sawah (ha)

2010 1 629.75

2011 1 576.30

2012 1 521.81

2013 1 466.28

2014 1 409.68

2015 1 351.98

2016 1 293.16

2017 1 233.21

2018 1 172.08

2019 1 109.77

2020 1 046.24

2021 981.47

2022 915.44

2023 848.11

2024 779.45

Emisi CO2 Kota Prabumulih Penduduk

Faktor yang sangat penting dalam permasalahan lingkungan adalah besarnya populasi manusia. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan permukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Pertambahan jumlah penduduk juga akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan bahan pangan dan ternak, kendaraan serta energi yang berdampak terhadap peningkatan jumlah CO2 yang dihasilkan (Ruslan dan Rahmad 2012).

Gambar 11 Simulasi emisi CO2 penduduk Kota Prabumulih

Gambar

Tabel 4 Faktor emisi karbon berdasarkan jenis bahan bakar
Tabel 5 Faktor emisi dari proses fermentasi berdasarkan jenis ternak
Gambar  3 Diagram input output sistem kebutuhan hutan kota di Kota Prabumulih
Gambar  5 Ilustrasi model sistem kebutuhan hutan kota berdasarkan emisi CO2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, yield biodiesel hasil reaksi esterifikasi minyak mikroalga dengan katalis sintesis dari abu vulkanik yang telah diaktivasi dengan H 2 SO 4 2M adalah

Dari kegiatan program kerja yang dilakukan pada Tim PKM tahun 2020 dengan tema “Bersama, Bersatu Melawan Covid-19 Kita Pasti Bisa, selama 2 bulan dapat disimpulkan sangat membantu

Identifikasi senyawa metabolit sekunder adalah proses mengidentifikasi senyawa yang terkandung dalam daun tebu, meliputi uji golongan senyawa metabolit secara

Meningkatnya minat dan bakat masyarakat terhadap Olahraga yang ada di Manado, serta kurang adanya fasilitas yang memadahi sehingga para atlit Manado harus berpindah ke

 Metode pembentukan deskriptor histogram dari fitur SIFT menunjukkan hasil yang relatif baik yaitu dengan nilai akurasi yang diperoleh mencapai 97,34% , nilai TPR mencapai 0,8200,

Definisi konsepsional dari penelitian ini adalah Evaluasi Strategi Dinas Tenaga Kerja Dalam Penyaluran Tenaga Kerja adalah kegiatan mencari informasi dan menilai strategi

Dari tabel diatas terlihat bahwa dalam masyarakat Gunuang Malintang khususnya dari Tradisi Alek Bakajang ini bisa tercipta hubungan yang harmonis antar masyarakat. Bentuk

Berdasarkan uraian yang penulis paparkan diatas khususnya pengalokasian dana desa yang diterapkan di Kecamatan Darul Imarah sesuai dengan konsep yang di kemukakan oleh Umer