• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza Sativa L.) Yang Ditanam Dengan Metode System Of Rice Intensification (Sri) Di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza Sativa L.) Yang Ditanam Dengan Metode System Of Rice Intensification (Sri) Di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH

(

Oryza sativa

L.) YANG DITANAM DENGAN METODE

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI

KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR

BARAT, BOGOR, JAWA BARAT

NINDYA AYU UTARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

NINDYA AYU UTARI. Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI.

Sistem ratoon (ratun) untuk tebu sudah diterapkan sejak lama karena produksi ratun tebu tidak jauh berbeda dengan tanaman induknya. Ratun merupakan tunas yang muncul dari tanaman induknya bila tanaman induk sudah dipanen. Sisa tanaman yang telah dipanen akan menghasilkan bibit baru yang kemudian dipelihara menjadi tanaman baru dengan demikian pada sistem ratun tidak diperlukan bibit baru, pengolahan tanah, sehingga biaya produksi berkurang dari tanaman musim pertama, dan keuntungan petani bisa meningkat. Selama ini ratun padi tidak menjadi perhatian petani karena produksi ratun sangat rendah dibandingkan dengan produksi tanaman utamanya. Beberapa tahun terakhir di Sumatera Barat telah diterapkan sistem ratun untuk padi dengan produksi yang menyamai produksi tanaman pertamanya, yang dikenal dengan Salibu. Penelitian secara ilmiah mengenai padi salibu ini masih sangat terbatas. Tinggi pemotongan dan waktu pemotongan dilaporkan merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan ratun untuk tanaman padi.

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh budidaya dan tinggi pemotongan terhadap pertumbuhan dan produksi ratun. Rancangan penelitian yang dicobakan adalah rancangan acak kelompok dengan dua faktor dan lima ulangan. Faktor pertama adalah sistem budidaya padi yaitu; (1) sistem budidaya padi secara Konvensional dan (2) sistem budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). Faktor kedua adalah tinggi pemotongan jerami padi yaitu; (1) 3 cm dan (2) 15 cm dari permukaan tanah. Hasil penelitian menunjukkan pada musim tanam pertama, budidaya padi SRI menghasilkan jumlah anakan produktif lebih banyak (29.6 anakan rumpun-1) dibanding dengan budidaya konvensional (17.4 anakan rumpun-1). Hasil produksi gabah kering panen (7.78 ton ha-1) dan hasil gabah kering giling (6.69 ton ha-1) pada budidaya SRI lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional yaitu sebesar 6.08 ton ha-1 pada gabah kering panen dan 5.23 ton ha-1 pada gabah kering giling. Pada musim tanam kedua (ratun), variabel pertumbuhan dan hasil produksi perlakuan pemotongan 3cm lebih tinggi dibanding dengan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya SRI maupun konvensional. Hasil produksi gabah kering panen sebesar 3.86 ton ha-1 dan gabah kering giling sebesar 3.32 ton ha-1 pada pemotongan 3 cm pada sistem budidaya konvensional sedangkan pada budidaya SRI menghasilkan gabah kering panen sebesar 5.34 ton ha-1 dan gabah kering giling sebesar 4.59 ton ha-1.

(5)

ABSTRACT

NINDYA AYU UTARI. The Growth and Yield of Rice Ratoon (Oryza sativa L.) that were planted with System of Rice Intensification (SRI) in Sindangbarang, Bogor, West Java. Supervised by ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.

Ratooning for sugarcane has been applied for a long time because its productions are not much different from the first growth. Ratoon crop is the new cane which grows from the stubble of a previously harvested crop. The stubble will produce new seeds which then maintained into a new plant, thus ratoon didn’t need new seedlings, soil preparation, so less production cost, therefore farmers will get more benefits. Ratooning is not interesting for rice, since yields of conventionally-grown ratooned rice are very low. In the last few years in West Sumatra has been reported that the yield of ratooned crop can be equally from the first growing season , which is known as Salibu. Scientific research regarding Salibu is still very limited. The length of straw cutting and harvesting time are reported as the most important factors determined the success of rice ratooning.

The aim of this experiment was to evaluate the effect of rice cultivation methods and length of straw cutting on the growth and yield of ratoon . The experiment was set up according to randomized block design with two factors and five replications. The first factor was rice cultivation system, i.e.; (1) Conventional rice cultivation and (2) System of Rice Intensification (SRI). The second factor was the length of straw cutting i.e.; (1) 3 cm and (2) 15 cm from the soil surface. The results showed in the first growing season, SRI cultivation produces more number of productive tillers (29.6 tillers ) compared to conventional cultivation (17.4 tillers). The yield harvested-dried grain (7.78 tons ha-1) and milled dried grain yield (6.69 ton ha-1) at SRI cultivation was significantly higher than conventional cultivation with harvested-dried frain yield 6.08 tons ha-1 and milled dried grain yield 5.23 tons ha-1. In the second growing season (ratoon crop), the growth and yield of short straw cutting (3cm) appeared to be better for both cultivation than long straw cutting (15 cm). The yield of harvested-dried grain and milled dried grain yield of 3 cm cutting were 3.86 tons ha-1 and 3.32 ton ha-1 for conventional cultivation systems while at SRI cultivation were 5.34 tons ha-1 and 4.59 ton ha-1.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RATUN PADI SAWAH

(

Oryza sativa

L.) YANG DITANAM DENGAN METODE

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) DI

KELURAHAN SINDANGBARANG, KECAMATAN BOGOR

BARAT, BOGOR, JAWA BARAT

NINDYA AYU UTARI

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat

Nama : Nindya Ayu Utari NIM : A14090046

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc Pembimbing I

Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Pertumbuhan dan Produksi Ratun Padi Sawah (Oryza sativa L.) yang ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Manajemen Sumberdaya Lahan IPB.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir Iswandi Anas, M.Sc selaku dosen pembimbing pertama sekaligus penyandang dana dalam penelitian ini yang telah memberikan arahan, nasehat, dan masukan yang berharga selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis berikan kepada Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan, saran, dan kritik yang berharga selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen penguji skripsi, Bapak Dr.Arief Hartono, M.Sc yang telah memberikan arahan dan masukan demi perbaikan skripsi ini. Penghargaan penulis berikan kepada kedua orang tua, adik, teman-teman Ilmu Tanah 46 atas doa, motivasi, saran, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dalam perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 11

Latar Belakang ... 11

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Tanaman Padi ... 3

Tanah Sawah ... 4

System of Rice Intensification (SRI) ... 5

Ratun ... 8

Padi Salibu ... 9

METODE PENELITIAN ... 11

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Prosedur Penelitian ... 11

Penanaman Padi Pertama ... 12

Penanaman Padi Ratun ... 13

Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil ... 14

Analisis Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Tanaman Pertama ... 16

Tanaman Ratun ... 20

SIMPULAN DAN SARAN ... 24

Simpulan ... 24

Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

LAMPIRAN ... 29

(12)

DAFTAR TABEL

1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS 16 2 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase

gabah hampa tanaman padi musim pertama 17

3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP) 20 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase

gabah hampa tanaman ratun 21

5 Persentase hasil produksi GKG ratun terhadap tanaman musim pertama 21

DAFTAR GAMBAR

1 Profil Tanah Sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan van

Breemen (1978) 5 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama 13 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi karakteristik padi verietas Ciherang (Suprihatno et al. 2007) 29

2 Kandungan analisis pupuk 30

3 Analisis awal sifat kimia tanah yang digunakan dalam penelitian di

Kelurahan Sindangbarang 30

4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase

gabah hampa tanaman ratun 30

5 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang tanaman ratun (5

ulangan) 31

6 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang berbasis

hari setelah semai (HSS) 31

7 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil

pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang 32 8 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman

contoh pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari

setelah panen (HSP) 32

9 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil

pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang 33

10Pertumbuhan tanaman padi musim tanam pertama 34

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional. Kebutuhan beras yang semakin meningkat saat ini tidak sebanding dengan produksi padi per hektar dan konversi lahan pertanian menjadi non- pertanian merupakan penyebab utama rendahnya produksi beras nasional. Rata-rata peningkatan produksi padi nasional beberapa tahun terakhir masih rendah yaitu 2.2-2.3 persen per tahun. Indonesia setidaknya harus menambah ketersediaan beras hingga tujuh juta ton pada 2025-2030 untuk mengantisipasi penambahan jumlah penduduk (Departemen Pertanian 2009). Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) adalah kegiatan peningkatan produksi beras disertai penyediaan input sarana dan prasarana melalui optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian, teknologi, dan kelembagaan. Untuk mengejar kekurangan target produksi tersebut, Kementerian Pertanian melakukan upaya percepatan dengan cara peningkatan produktivitas padi, bantuan benih unggul, bantuan langsung pupuk, irigasi, bantuan alat mesin pertanian serta penyuluh pertanian (Retno 2012).

System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu sistem budidaya yang dapat digunakan untuk intensifikasi pertanian. Sistem budidaya SRI memiliki prinsip yaitu: bibit tanaman dipindahtanamkan ketika masih sangat muda (7-11 hari), satu bibit per lubang tanam, jarak tanam longgar 25 cm x 25 cm, sistem irigasi terputus dan tidak tergenang, dan penggunaan pupuk anorganik sedapat mungkin dikurangi dan digantikan dengan pupuk organik (Dobermann dan Fairhurst 2004). Perbedaan antara metode konvensional dan SRI adalah pendekatan SRI berbentuk paket teknologi yang diyakini dapat diterapkan pada semua kondisi, komponen teknologi SRI mudah diadopsi petani (Balitbang Pertanian 2006).

(14)

2

yang sering dilakukan para petani setelah menanam padi adalah memberakan lahannya. Akibatnya, nilai produktivitas lahan menjadi menurun padahal mereka dapat memanfaatkan ratun tersebut (Chauhan et al. 1985).

Tujuan

1. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi padi musim tanam pertama dan musim tanam kedua (ratun) pada sistem budidaya konvensional dengan SRI.

2. Mempelajari pertumbuhan dan hasil produksi ratun padi yang dipotong 3 cm dengan 15 cm.

Hipotesis

1. Pertumbuhan dan produksi padi musim tanam pertama dan musim tanam kedua (ratun) yang ditanam secara SRI lebih baik dari padi yang ditanam secara konvensional.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi

Padi (Oryza sativa L.) yang termasuk golongan tumbuhan golongan tumbuhan Graminae tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara yang cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan tergenang. Secara umum ciri-ciri padi adalah sebagai berikut: berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk, serta buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir atau kariopsis (Chang dan Bardenas 1976).

Menurut Yoshida (1981), keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan organ generatif (reproduktif) yang meliputi malai, gabah dan bunga. Pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari berkecambah sampai dengan inisiasi primodia malai, fase reproduktif dimulai dari inisiasi primodia malai sampai berbunga dan fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai masak panen.

Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Di samping itu, fase reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan. Fase pemasakan benih terdiri dari 4 stadia, yaitu stadia masak susu ditandai dengan tanaman padi yang masih berwarna hijau, malai yang sudah terkulai, ruas batang bawah terlihat kuning dan jika gabah ditekan dengan jari akan keluar cairan seperti susu.Selanjutnya stadia masak kuning seluruh tanaman tampak kuning hanya buku-buku bagian atas yang masih hijau, isi gabah sudah mengeras tetapi mudah pecah dengan kuku. Selanjutnya stadia masak penuh yang ditandai dengan buku atas sudah menguning, batang mulai kering da nisi gabah sukar dipecahkan. Stadia terakhir dalam fase pemasakan benih adalah stadia mati dimana isi gabah sudah mengeras dan kering, pada varietas yang mudah rontok pada stadia ini sudah mulai rontok (Yoshida 1981).

Nitrogen, fosfor dan kalium merupakan unsur yang biasa diberikan sebagai pupuk. Hal ini karena kandungan ketiga unsur tadi dalam tanah jumlahnya sedikit, sedangkan yang diangkut tanaman tiap tahunnya sangat banyak. Pengaruh nitrogen bagi tanaman antara lain merangsang pertumbuhan di atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Pada serelia, nitrogen dapat memperbesar bulir-bulir dan persentase protein (Soepardi 1983). Umumnya nitrogen sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vagetatif tanaman seperti daun, batang dan akar namun jika telalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan tanaman (Sarief 1985).

(16)

4

tanaman lebih tahan terhadap penyakit dan merangsang pertumbuhan akar. Unsur ini diperlukan oleh serelia sewaktu pengisian bulirnya. Kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983). Apabila tidak disertai dengan kalium yang cukup, efisiensi nitrogen dan fosfor akan rendah dan produksi yang tinggi tidak mungkin dicapai (Sarief 1985).

Tanah Sawah

Tanah sawah (paddy soil) adalah tanah yang dimanfaatkan atau berpotensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanaman padi sawah (aquatic rice atau lowland rice). Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah; dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan.

Secara lebih rinci, proses pembentukan profil tanah sawah meliputi (a) gleisasi dan eluviasi; (b) pembentukan karatan besi (Fe) dan mangan (Mn); (c) pembentukan warna kelabu (grayzation); (d) pembentukan selaput (cutan); (e) penyebaran kembali basa-basa; dan (f) akumulasi dan dekomposisi bahan organik.

Berdasarkan proses pembentukan profil tanah seperti yang telah diuraikan, maka terbentuklah profil tanah sawah dengan sifat morfologi yang berbeda-beda, tergantung dari sifat tanah asalnya. Profil tanah sawah yang tipikal, atau Aquorizem , yang terbentuk pada tanah kering dengan air tanah dalam seperti yang dikemukaan oleh Koenings (1950), sedikit berbeda profil tanah sawah dengan air tanah yang agak dangkal (Moorman dan Van Breemen 1978) (Gambar 1)

Pada tanah kering dengan air tanah dalam yang disawahkan, akan terbentuklah susunan horizon sebagai berikut:

1. Lapisan olah yang tereduksi dan tercuci (eluviasi) (Ap); 2. Lapisan tapak bajak (Adg);

3. Horizon iluviasi Fe (Bir) di atas horizon iluviasi Mn (Bmn), yang sebagian besar teroksidasi;

4. Horizon tanah asal, yang tidak terpengaruh perswahan (Bw, Bt). 5. Horizon terduksi permanen (Cg)

(17)

5

Gambar 1. Profil tanah sawah menurut Koenings (1950) serta Moorman dan van Breemen (1978)

Karena banyak tanah sawah di Indonesia terdapat di daerah pelembahan atau dataran aluvial yang terus-menerus tergenang air, baik air hujan, air luapan sungai atau air tanah dangkal, dan kondisi topografi yang tidak memungkinkan gerakan air ke bawah solum tana, maka horizon iluviasi Fe dan Mn ataupun lapisan tapak bajak sulit terbentuk. Demikian juga, tekstur tanah yang terlalu kasar atau halus , atau adanya sifat tanah mengembang dan mengerut, menghalangi pembentukan horizon-horizon tersebut.

System of Rice Intensification (SRI)

(18)

6

Menurut Berkelaar (2001), terdapat beberapa komponen penting dalam SRI ,yaitu:

a. Penggunaan bibit yang lebih muda. Bibit padi dipindahtanamkan saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Penyemaian bibit dilakukan dalam petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air. Pada saat pindah tanam dari petak semaian ke lahan sawah dilakukan secara hati-hati serta dijaga kelembabannya. Sisa benih yang telah berkecambah dibiarkan agar tetap menempel dengan akar tunas, karena merupakan sumber energi bagi bibit muda. Pindah tanam bibit dilakukan secepat mungkin tidak lebih dari setengah jam. Saat penanaman bibit di lahan dilakukan secara dangkal 1-2 cm dengan posisi akar membentuk huruf L (horizontal) karena ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh. Pemindahtanaman bibit yang masih muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif, lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan akan menghasilkan bulir padi yang lebih banyak setiap malainya.

b. Penanaman bibit tunggal. Hal ini dilakukan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi dalam tanah sehinggga sistem perakaran menjadi sangat baik. c. Jarak tanam lebar. Bibit yang ditanam dalam pola luasan yang cukup

lebar dari segala arah akan lebih baik dibandingkan dengan bibit yang ditanam di baris yang sempit. Biasanya jarak minimal SRI adalah 25 cm x 25 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup untuk tumbuh. Jarak tanam yang lebar akan memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa. Budidaya SRI membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit yaitu 7 kg ha-1 dibandingkan budidaya konvensional.

d. Kondisi tanah lembab. Tanah dijaga agar tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Kondisi tanah tidak tergenang selama pertumbuhan vegetatif, selanjutnya setelah pembungaan sawah digenangi setinggi 2 cm. Petak sawah mulai dikeringkan saat 25 hari sebelum panen.

(19)

7 1. Memiliki hasil panen yang lebih tinggi (peningkatannya mencapai 50-200 % dengan hasil 4-8 ton ha-1, tetapi hasil di atas 10 ton ha-1 juga sering kali dilaporkan).

2. Hasil kerja yang lebih efisien (dengan produksi lebih tinggi per hari kerja).

3. Penghematan air sampai dengan 50 %.

4. Perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang lebih efisien (baik organik maupun anorganik).

5. Kebutuhan benih yang lebih sedikit hanya memerlukan benih sekitar 5-10 kg ha-1 atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah yang biasa digunakan.

6. Kebutuhan atas input yang digunakan lebih sedikit (biaya produksi atau input yang digunakan lebih sedikit tentu menyumbang pendapatan yang lebih tinggi bagi para petani).

7. Mutu benih yang lebih bagus (ketersediaan benih unggul lebih cepat karena jauh lebih banyak benih yang dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja).

8. Diversifikasi produksi (untuk menghasilkan jumlah padi yang sama, lahan yang digunakan lebih sedikit, sehingga tanah sisa dapat dipakai lagi untuk menghasilkan pupuk hijau atau tanaman lain yang nilainya lebih tinggi).

9. Keuntungan bagi lingkungan hidup (sebagai dampak berkurangnya kebutuhan air dan pemakaian pupuk anorganik dan pestisida).

(20)

8

daya manusia, yang merupakan keuntungan dan bukan dilihat sebagai kerugian semata. (Uphoff dan Fernandes 2003).

Ratun

Morfologi dari tanaman ratun (ratoon) atau tanaman yang pangkal batangnya dibiarkan tumbuh menjadi tanaman baru setelah dipanen sangat berbeda tanaman non-ratoon. Biasanya, tinggi tanaman sangat rendah dan cabang muda yang efektif lebih sedikit pada ratun jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Namun, sebagian tanaman penghasil jenis ratun mempunyai total produksi cabang muda yang lebih besar daripada tanaman non-ratun. Ratun juga mengembangbiakkan banyak cabang yang tidak produktif dan tunas yang muncul dari ketiak daun yang mengandung aktivitas metabolik saat proses pengisian bulir padi (Sun et al. 1988).

Tunas yang muncul dari ketiak daun akan berkembang pada bagian cabang, dan akan terus tumbuh hingga menjadi cabang ratun. Cabang muda tumbuh dari ruas cabang yang lebih tinggi serta berkembang dan matang lebih cepat. Ruas cabang biasanya juga memiliki jumlah daun yang lebih sedikit. Malai ratun berasal dari bonggol yang lebih rendah yang memproduksi lebih banyak butir padi per malai daripada yang diproduksi oleh ruas cabang yang lebih tinggi, tetapi dengan persentase pengisian yang lebih rendah. Malai yang berasal dari ruas cabang yang lebih tinggi akan memberikan kontribusi lebih banyak terhadap produksi butir pada ratun jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh ruas cabang yang lebih rendah (Sun et al., 1988).

Varietas yang berbeda akan memproduksi cabang ratun yang berbeda pula. Beberapa cabang tumbuh dari ruas muda pada pangkal tunggul jerami, sedangkan yang lainnya dibentuk dari ruas yang lebih muda, tepatnya pada ruas ketiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman ratun akan memproduksi lebih baik jika tunggul utamanya terdiri dari 2-3 cabang muda. Cabang yang berasal dari ruas yang lebih tinggi dengan perbandingan C/N yang lebih tinggi, akan bereaksi seperti benih yang sudah tua. Sebaliknya, cabang dari ruas yang paling rendah dengan kondisi C/N yang rendah juga mempunyai karakteristik benih muda (Chauhan et al., 1985).

Menurut Chauhan et al. (1985), tinggi tunggul menunjukkan jumlah tunas yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali. Pengaruh dari tinggi ini akan bervariasi. Sebagian varietas akan memproduksi ratun dari ruas yang lebih tinggi sedangkan yang lainnya memproduksi dari ratun pada posisi terbawah yang tidak terkena proses pemotongan.

(21)

9 lain, tetapi dengan pertumbuhan ratun yang lebih sehat, bobot bulir yang lebih berat, serta masa pematangan yang lebih panjang jika dibandingkan dengan yang lain.

Mahadevappa et al. (1986), menyatakan bahwa pada waktu pemanenan ratoon ( dilakukan pada umur sekitar 70 hari setelah panen tanaman utama) dari varietas Intan yang dipotong pada ketinggian 8-10 cm di atas permukaan tanah, dari sejumlah 742 anakan (46 rumpun), terdapat 360 anakan yang sudah masak (48%, 315 anakan dalam tahap pembungaan (42.5%), dan 67 anakan masih dalam masa pertumbuhan vegetatif (9.0%). Dari data didapat rata-rata 8 anakan per rumpun dalam kondisi masak serta nilai produksi ratoon mencapai 3.6 ton ha-1.

Padi Salibu

Budidaya padi salibu (ratun yang dimodifikasi) dapat memacu peningkatan produksi dengan meningkatkan indeks panen (IP). Padi salibu adalah tanaman padi yang tumbuh lagi setelah batang sisa panen ditebas/dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada di dalam tanah tunas ini akan mengeluarkan akar baru sehingga suplai hara tidak lagi tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanaman pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan produksinya sama atau lebih tinggi dibanding tanaman pertama (ibunya). Ratun adalah padi yang tumbuh dari batang sisa panen tanpa dilakukan pemangkasan batang, tunas akan muncul pada buku paling atas, suplai hara tetap dari batang lama. (Erdiman, 2013)

Pertumbuhan tunas setelah dipotong sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air tanah, dan pada saat panen sebaiknya kondisi air tanah dalam keadaan kapasitas lapang. Untuk menimbang kebutuhan unsur hara pada masa pertumbuhan anakan, padi salibu perlu pemupukan yang cukup terutama hara nitrogen. Unsur nitrogen merupakan komponen utama dalam sintesis protein, sehingga sangat dibutuhkan untuk fase vegetatif tanaman, khususnya dalam proses pembelahan sel . Tanaman yang cukup mendapatkan nitrogen memperlihatkan daun yang hijau tua dan lebar, fotosintesis berjalan dengan baik, unsur nitrogen adalah faktor penting untuk produktivitas tanaman.

Hasil uji coba padi salibu pada beberapa daerah di Sumatera Barat cukup bagus antara lain: di Nagari Pauh, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam hasil (7.2 ton ha-1) meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya, di Lima Kaum Kabupaten Tanah Datar hasil (6.4 ton ha-1) meningkat 10-15% dibanding tanaman pertama. Di daerah ini sudah ada petani yang mensalibukan padinya lebih 2 kali, berarti 1 kali tanam telah 3 kali panen, hasilnya tetap stabil, di Koto Nan Ampek Payakumbuh hasil padi salibu juga sama dengan tanaman pertamanya.

(22)

10

(23)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 hingga Maret 2014. Lokasi penelitian bertempat di Kelurahan Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Musim tanam I dilaksanakan mulai dari bulan September 2013-Desember 2013, sedangkan musim tanam II (tanaman ratun) dilaksanakan mulai dari Desember 2013 hingga Maret 2014. Penelitian laboratorium dan analisis sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas Ciherang yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Muara, contoh tanah untuk analisis tanah (disajikan pada Lampiran 3), pupuk urea (46.77% N), KCl (60.73% K2O), dan SP-36 (36.48% P2O5). Alat yang digunakan dalam

penelitian lapang adalah cangkul, meteran, timbangan serta alat-alat laboratorium untuk analisis tanah dan alat-alat lain yang diperlukan dalam penelitian.

Prosedur Penelitian

Analisis tanah digunakan untuk mengetahui kondisi kesuburan tanah yang terdiri atas analisis sifat kimia dan sifat fisika tanah,dilakukan satu kali pada saat sebelum tanam. Pengambilan tanah di lapang dilakukan secara komposit setelah pembuatan petak penelitian selesai. Contoh tanah diambil dari lima titik yang berbeda pada setiap petak dengan kedalaman 0-20 cm untuk memperkecil keragaman dari areal yang mewakili. Hasil analisis awal sifat kimia tanah di Kelurahan Sindangbarang dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah yang disajikan pada Lampiran 3.

Pelaksanaan Penelitian Lapang

(24)

12

Penanaman Padi Pertama

1). Persiapan Lahan dan Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah dilakukan 2 minggu sebelum penanaman dengan cara pembajakan, pembalikan tanah dan pelumpuran. Lahan tersebut selanjutnya dibuat petak percobaan masing-masing berukuran 4m x 5m. Pengaturan air dibuat sedemikian rupa mulai dari air masuk ke lokasi penelitian sampai air keluar sehingga air yang keluar dari setiap petak percobaan tidak dapat masuk kembali, seperti pada Gambar 1. Untuk menghindari tercampurnya air dari satu petakan dengan petakan lainnya dibuat pematang dengan lebar 50 cm. Pengaturan air pada setiap petakan percobaan dilakukan dengan menggunakan paralon dan knee (belokan pipa) untuk mengukur dan mengontrol ketinggian air.

2). Persemaian

Seleksi benih dilakukan dengan cara merendam benih ke dalam air. Benih yang tenggelam adalah benih yang akan disemai. Benih selanjutnya dicuci dan direndam selama satu malam. Benih yang telah direndam selanjutnya ditiriskan dan diperam selama 2 hari hingga berkecambah. Persemaian padi konvensional dan SRI dilakukan secara bersamaan sedangkan waktu tanamnya berbeda sehingga perbandingan umur tanaman pada kedua sistem budidaya tersebut sama. Penyemaian benih untuk budidaya padi konvensional dilakukan dengan menyebar benih yang telah berkecambah secara langsung di lahan sedangkan budidaya SRI dilakukan di nampan.

3). Penanaman

Penanaman padi konvensional dilakukan pada waktu umur bibit 25 hari setelah semai (HSS), jarak tanam 20 cm x 20 cm sebanyak 3 bibit per lubang tanam. Penanaman padi SRI dilakukan pada waktu umur bibit 10 hari setelah semai (HSS), jarak tanam 25 cm x 25 cm sebanyak satu bibit per lubang tanam dan dangkal 2 cm, serta posisi akar membentuk huruf L (horizontal).

4). Pengairan

Pengairan budidaya padi konvensional dilakukan secara kontinu dengan ketinggian air 5cm. Pada saat pindah tanam patakan sawah mulai digenangi pada hari ke-5 setelah tanam untuk menghindari hama keong. Pengairan padi budidaya SRI diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tetapi tidak tergenang selama waktu pertumbuhannya. Pengairan dihentikan pada saat satu minggu menjelang panen.

5). Pemupukan

Pupuk untuk tanaman pertama diberikan dengan dosis 250 kg Urea, 150 kg SP-36 dan 100 kg KCl per hektar sesuai rekomendasi di lokasi setempat. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak dua kali yaitu setengah dosis urea, seluruh dosis SP-36 dan KCl diberikan pada 25 HST, sedangkan sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Cara aplikasi ditebar secara merata pada setiap petakan. Pada budidaya konvensional, air keluar ditutup agar tidak terjadi pencucian hara.

6). Pemeliharaan

(25)

13 bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah bibit cadangan yang telah ditempatkan di masing-masing petak percobaan. Penyiangan gulma dilakukan dengan menggunakan landak. Pada budidaya SRI dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada saat 10, 20, 30 dan 40 HST, sedangkan pada budidaya konvensional penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat 20 dan 40 HST. Pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata lamarck) dilakukan secara manual baik dengan menggunakan tangan maupun memakai jebakan daun-daunan. Menjelang panen pengendalian serangan burung dilakukan dengan menggunakan jaring.

7). Panen

Tanaman pertama dipanen pada umur 100 hari setelah semai. Tanaman yang memasuki masa panen diamati terlebih dahulu baik pada fase vegetatif maupun fase generatifnya. Pemanenan dilakukan dengan memangkas batang padi dengan ketinggian ± 20 cm dari permukaan tanah.

Gambar 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama

Penanaman Padi Ratun

(26)

14

tanaman berumur 40 HSP. Perlakuan menurut sistem budidaya konvensional maupun SRI dilakukan mulai minggu ke 4 stelah panen. Pemeliharaan ratun dilakukan dengan penyiangan gulma dan penggemburan tanah secara berkala. Panen tanaman ratun dilakukan pada umur 100 hari setelah panen (HSP). Tata letak plot-plot percobaan tanaman ratun disajikan pada Gambar 2.

Gambar 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun

Penetapan Variabel Pertumbuhan dan Komponen Hasil

(27)

15

Analisis Data

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman Pertama

Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS, terlihat bahwa pada Tabel 1 bahwa tinggi tanaman budidaya SRI pada umur 56 HSS lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional pada umur yang sama. Hal ini dikarenakan pada sistem budidaya konvensional, tanaman baru ditanam setelah 25 hari semai, sedangkan sistem budidaya SRI sudah ditanam lebih dahulu yaitu pada umur 10 hari semai sehingga memiliki waktu yang lebih lama untuk beradaptasi. Pada 90 hari setelah setelah semai (90 HSS) tinggi tanaman pada perlakuan konvensional tidak berbeda nyata dengan budidaya SRI. Tinggi tanaman pada konvensional dapat menyamai tinggi tanaman SRI karena fase pertumbuhan vegetatif telah berakhir dan mulai memasuki fase pertumbuhan generatif.

Tabel 1 Tinggi tanaman padi musim pertama pada umur 56 dan 90 HSS Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif

56 HSS 90 HSS

. . . cm . . . . . anakan rumpun -1 . .

Konvensional 53.10b 106.20 17.40b

SRI 59.96a 105.76 29.60a

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

(29)

17 ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun.

Berdasarkan uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman musim pertama, sistem budidaya SRI menghasilkan bobot gabah kering panen dan bobot gabah kering giling lebih tinggi (kadar air 14%) 27.90% dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional. Persentase gabah hampa antar kedua perlakuan tidak berbeda nyata walaupun rataan persentase gabah hampa pada metode konvensional sedikit lebih besar dibanding kan metode SRI.

Tabel 2 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman padi musim pertama

Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Persentase Gabah Hampa . . . ton ha-1 . . . . . . % . . .

Konvensional 6.08b 5.23b 23.80

SRI 7.78a 6.69a 23.04

a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Peningkatan serapan hara N dan P metode konvensional jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode SRI sebagai respon aplikasi pupuk NPK bisa disebabkan oleh kondisi rizosfer tanaman padi konvensional yang cenderung anaerob, sehingga menyebabkan serapan unsur-unsur hara kurang optimal. Tanaman padi sawah tidak menghendaki kondisi anaerob pada media pertumbuhannya, namun tanaman ini toleran terhadap kondisi anaerob tersebut. Pada kondisi jenuh air, tanaman sulit mendapatkan O2

sehingga tanaman menyiasatinya dengan membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama tanaman padi tumbuh pada kondisi anaerob maka akan semakin banyak dan semakin besar aerenchym yang terbentuk. Apabila jaringan aerenchym yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar tanaman (Sumardi 2007).

(30)

18

Tanah yang lembap dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI membuat akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal karena akar teraerasi dengan baik. Akar padi pada metode SRI lebih panjang dibanding metode konvensional karena kelembaban tanah dan aerasi tanah yang baik pada metode SRI memiliki dampak besar pada pertumbuhan akar, viabilitas akar, dan akhirnya berpengaruh juga pada pertumbuhan tanaman (Huang 1999).

Nilai Eh tanah yang rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut bersifat reduktif (Mer dan Roger 2001). Semakin lama tanah tergenang maka nilai Eh tanah akan semakin turun. Nilai potensial redoks tanah (Eh) pada metode konvensional dan metode SRI pada saat umur tanaman padi 55 HSS berturut-turut -210.1 mV dan -149.4 mV, sedangkan pada saat umur tanaman padi 70 HSS nilai potensial redoks tanah (Eh) turun menjadi -327.8 mV dan -266.9 mV (Hutabarat 2011). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jumlah O2 semakin sedikit sehingga akar akan melakukan respirasi secara

anaerob. Selama respirasi anaerobik pada akar, terbentuk metabolit yang berpotensi beracun seperti etanol, asam laktat, asetaldehida dan senyawa sianogen yang dapat terakumulasi dalam sel tanaman yang akhirnya dapat terjadi asidosis sitosol dalam sel. Selain itu, akumulasi asam laktat dalam sitoplasma akan menyebabkan kematian sel. Pada kondisi tergenang air ada kemungkinan lebih banyak akar yang mati. Pembentukan aerenkim akar yang lebih tinggi pada metode konvensional sangat berdampak pada pertumbuhan tanaman karena jaringan aerenkim yang terbentuk menyebabkan terjadinya kerusakan struktur akar tanaman. Pembentukan aerenkim akar mengambil 30-40% kortek akar yang dapat berpotensi menghentikan penyaluran unsur hara secara horizontal dari tanah ke akar. Apabila jaringan aerenkim yang terbentuk semakin banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar (Sumardi 2007). Selain itu, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenkim untuk memasok O2, akibatnya

energi berkurang untuk pertumbuhan tanaman terutama pembentukan anakan, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air tidak tergenang (Bakrie et al. 2010).

(31)

19 merupakan hubungan saling ketergantungan yang disebut sebagai interaksi akar dengan tajuk (Samejima et al. 2004).

Thakur et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan hasil gabah pada budidaya SRI terutama disebabkan oleh morfologi dan fisiologi tanaman padi yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Fisiologi padi yang lebih baik pada metode SRI itu didukung oleh pertumbuhan akar yang lebih baik yaitu terutama meningkatnya jumlah rambut akar dan pembentukan aerenkim akar berkurang.

Produksi fitohormon oleh organisme tanah dapat merangsang pertumbuhan akar yang akan menguntungkan tanaman dan mikroba yang berasosiasi dalam rhizosfer. Turner & Haygarth (2001) mengemukakan bahwa ketertersediaan P merupakan hasil dari dinamika populasi pada bakteri pelarut fosfat (PSB) dan jamur, yang akan meningkat ketika tanah bersifat aerobik, dengan mengambil P dari bentuk yang tidak tersedia dari tanah . P ini terdapat dalam partikel tanah yang terikat atau dalam bentuk molekul fosfat kompleks yang sebagian besar tidak larut (Turner et al. 2006).

Ketika tanah digenangi dan menjadi anaerobik, sebagian kecil dari sel-sel mikroba tanah akan melisiskan dan melepaskannya hara ke dalam larutan tanah. Cara yang sama untuk melepaskan nitrogen pada mikroba tanah ketika terjadi penggenangan tanah.(Birch, 1958.) Ketika tanah dikeringkan, PSB hidup dan berkembang untuk melarutkan P yang tidak tersedia . SRI menganjurkan menjaga tanah tetap lembab tapi tidak tergenang, menambahkan sejumlah kecil air setiap hari, berhenti aplikasi untuk 3- 6 hari beberapa kali selama fase pertumbuhan vegetatif untuk membiarkan tanah lapisan atas mengering; atau pengelolaan air secara bergantian banjir dan pengeringan tanah. Hal ini akan memobilisasi P tidak tersedia melalui PSB, efek yang akan lebih besar jika ada bahan organik yang melimpah di tanah untuk mendukung pertumbuhan mikroba (Ayaga et al. 2006).

Saat sawah tidak terus menerus digenangi, maka pertumbuhan gulma akan lebih banyak, sehingga memerlukan langkah-langkah pengendalian. Strategi SRI untuk pengendalian gulma adalah dengan menggunakan penyiangan mekanik sederhana di antara baris tanaman. Ketika gulma tersebut terurai, maka akan memberikan nutrisi tambahan untuk tanah dan tanaman (Thiyagarajan et al. 2005).

(32)

20

Tanaman Ratun

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan tinggi pemotongan tunggul 15 cm dari permukaan tanah pada usia 56 hari setelah panen (HSP) menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi pemotongan tunggul 3 cm. Hal ini dikarenakan pada tanaman yang dipangkas 15 cm, anakan tumbuh pada buku yang lebih tinggi dan terus berlangsung setelah masa pertumbuhan vegetatif selesai. Secara visual tunas ratun dari tinggi pemotongan 3 dan 15 cm mulai muncul pada 2-5 hari setelah pemangkasan dan hampir sama pada semua perlakuan tinggi pemotongan.

Tabel 3 Tinggi tanaman ratun umur 56 dan 90 Hari Setelah Panen (HSP) Perlakuan Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Produktif

56 HSP 90 HSP

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

(33)

21 Pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa kombinasi sistem budidaya dan tinggi pemangkasan yang berbeda akan berpengaruh nyata terhadap parameter hasil produksi yaitu bobot gabah kering panen dan gabah kering giling. Pada tanaman ratun ini, variabel pertumbuhan dan hasil produksi menunjukkan bahwa perlakuan pemotongan 3cm lebih baik dibandingkan perlakuan pemotongan 15 cm baik pada sistem budidaya konvensional maupun SRI. Tinggi pemotongan 3cm yang menghasilkan gabah kering giling (kadar air 14%) tanaman ratun pada sistem budidaya konvensional dan SRI masing-masing sebesar 3.32 ton ha-1, dan 4.59 ton ha-1. Persentase gabah hampa tidak berbeda nyata pada semua perlakuan.

Tabel 4 Bobot gabah kering panen, bobot gabah kering giling, dan persentase gabah hampa tanaman ratun

Perlakuan Bobot GKP Bobot GKG Persentase Gabah Hampa

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Pada Tabel 5 terlihat jika dibandingkan dengan musim tanam pertama, maka hasil produksi ratun dengan sistem budidaya SRI dengan pemotongan tunggul setinggi 3 cm adalah paling tinggi dibandingkan perlakuan lain.

(34)

22

Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ratun lebih rendah dibandingkan tanaman musim pertama. Kondisi ini diduga karena perbedaan jumlah asimilat yang tersisa pada tunggul setelah panen tanaman pertama. Jika cadangan asimilat tinggi dan tunggul bekas panen tetap vigor, maka tunas-tunas ratun akan muncul menjadi anakan ratun. Sebaliknya jika cadangan asimilat rendah atau kurang, pertumbuhan anakan akan terhambat dan perlu diberikan tambahan hara untuk memacu pertumbuhan tunas ratun.

Dosis pemupukan tanaman musim pertama dengan tanaman ratun adalah sama yaitu NPK 100%. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung dengan komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan. Untuk menghasilkan ratun yang baik, maka pemupukan tidak hanya diberikan kepada tanaman musim pertama tetapi juga pada tanaman ratun (Wei et al. 2003). Pemberian N dapat meningkatkan rumpun dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun serta hasil tanaman ratun (De Datta dan Bernasor 1988). Islam et al.(2008) menyebutkan pemupukan tanaman musim pertama dan ratun merupakan sumber suplai hara bagi tanaman yang memacu pertumbuhan tunas ratun. Ini sejalan dengan yang dilaporkan Dobermann dan Fairhurst (2000), nitrogen merupakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar untuk membentuk asam amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil. Konsentrasi nitrogen yang tinggi pada tanaman, mampu merangsang pembelahan sel, sehingga perkembangan anakan dan daun menjadi lebih banyak. Hal ini akan mendorong proses fotosintesis dan produksi biomassa tumbuhan. Pembentukan anakan, perkembangan akar, pembungaan, dan pemasakan tanaman padi ditentukan oleh kecukupan fosfat selama stadia pertumbuhannya. Lain halnya dengan kaliumyang memiliki fungsi utama dalam osmoregulasi, aktivasi enzim, pengaturan pH selular, keseimbangan ion-ion dalam sel, ketegaran tanaman, transpirasi melalui stomata, transportasi asimilat, dan mengatasi stres tanaman akibat kekurangan air pada tingkat tertentu.

Pada usaha tani padi dengan sistem ratun, kelangsungan proses fotosintesis sangat ditentukan oleh keadaan tunggul tanaman yang masih tersisa setelah panen pertama., demikian juga dengan daya vigor dari sistem perakaran. Tunggul yang vigor merupakan prasyarat untuk keberhasilan tanaman ratun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan faktor lingkungan lainnya seperti kelembaban, suhu, dan cahaya. Tanaman ratun akan menghasilkan tunas jika keadaan tunggul setelah panen tetap hijau (Charoen 2003), dan diperlukan ketersediaan air untuk mempertahankan daya vigor pada tunggul setelah panen. (Dawn 2001).

(35)

23 sebab jika dilakukan segera setelah pemotongan batang sisa panen, dapat mengakibatkan tunggul busuk dan mengalami kematian. Ratun yang kekurangan air mengakibatkan tunggul kering dan tidak mampu menghasilkan tunas-tunas ratun.

Terdapat tenggang waktu antara perlakuan tinggi pemotongan dengan penggenangan air, yakni selama 2 minggu. Hal ini berdasarkan pernyataan Chauhan et al.(1985) bahwa ketika tanaman dipotong rendah, penundaan irigasi akan lebih baik daripada pemberian air satu hari setelah pemotongan dan pengurangan air dari lahan beberapa hari setelah panen akan mempercepat pertumbuhan ratun. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil uji coba padi Salibu yang dilakukan pada beberapa daerah di Sumatra Barat yang cukup bagus antara lain di Kabupaten Agam dengan hasil 7.2 ton ha-1 (meningkat 20% dibanding tanaman pertamanya), Kabupaten Tanah Datar dengan hasil 6.4 ton ha-1 (meningkat 10-15% dibanding tanaman pertamanya) (Erdiman 2013). Perbedaan hasil dari penelitian ini dimungkinkan karena perbedaan varietas, dan kesuburan tanah.

Pada penelitian lapang diketahui bahwa sistem budidaya SRI akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak, baik pada tanaman utama maupun ratun, dibanding dengan sistem budidaya konvensional, dikarenakan tinggi air pada SRI hanya macak-macak (0-2 cm). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2011) juga menyatakan bahwa penggenangan 0-2 cm akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi genangan 5 cm. Lingkungan yang oksidatif pada metode SRI menyebabkan mikroba tanah fungsional yang bersifat aerob seperti penambat N dan pelarut P lebih meningkat sehingga akan meningkatkan ketersediaan hara N dan P dalam tanah dan dengan sendirinya meningkat pula jumlah anakan produktif (Pan et al. 2009).

(36)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pertumbuhan dan produksi padi yang ditanam secara SRI nyata lebih baik dari padi yang ditanam secara konvensional. Pertumbuhan dan produksi ratun padi yang ditanam secara SRI nyata lebih baik dari ratun yang ditanam secara konvensional. Pemotongan batang sisa panen setinggi 3 cm menghasilkan pertumbuhan dan produksi ratun lebih baik daripada tinggi pemotongan 15 cm baik pada konvensional maupun SRI.

Saran

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Ayaga G, Todd A, Brookes PC. 2006. Enhanced biological cycling of phosphorus increases its availability to crops in low-input sub-Saharan farming systems. Soil Biology and Biochemistry 38:81–90. Bakrie MM, Anas I, Sugiyanta, Indris K. 2010. Aplikasi pupuk anorganik

dan organik hayati pada budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). J Tanah Lingk. 12:25-32.

[Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jakarta (ID): Departemen Pertanian.

[Balitbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Keong mas [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 23]. Tersedia pada: http://www.leisa.info/index.php?url=article-details.tpl&p[id]=67233. Berklaar D.2001. The System of Rice Intensification [Internet]. [diunduh

2013 September 11]. Tersedia pada:

http://www.elsppat.or.id/download/file/SRI-echo%20note.html. Birch HF. 1958. The effect of soil drying on humus decomposition and

nitrogen. Plant and Soil 10:9–31.

Chang TT, Bardenas EA. 1976. The Morphology and Varietal Characteristics of Rice Plant. 4th ed. Los Banos (PN): International Rice Research Institute (IRRI).

Charoen T. 2003. Ratoon cropping of lodged stubble. Chainat (TH): The Office of Agricultural Research and Development Region 5.

Chauhan JS, Vergara BS, Lopez FSS. 1985. Rice Ratooning. IRRI. Res. Pop. Ser 102.

Dawn B. 2001. Integrated rice management system for ratoon production. Di dalam: Rice Production Guidelines Bulletins. Texas Agriculture Experiment Station. B-6131: 02-12.

De Datta SK, Bernasor PC. 1988. Agronomic principles and practice of rice rationing. Di dalam: Smith WH, Kumble V, Cervantes EP, editor. Rice Ratooning. Los Banos (PN): IRRI. hlm163-176.

Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Pengembangan System of Rice Intensification (SRI) [Internet]. [diunduh 2013 Agustus 19]. Tersedia pada: http://www.pla.deptan.co.id/pdf/03 PEDOMAN TEKNIS SRI 2009.pdf.

Dobermann A, Fairhust T. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International Rice Research Institute. Los Banos (PN): Oxford Geographic Printers Pte Ltd p35-43.

Dobermann A, Fairhurst T. 2004. A critical assessment of the System of Rice Intensification (SRI). Agric. Sys. 79:261-281.

Erdiman, 2013.Teknologi salibu meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani [Internet]. [diunduh 2013 Juli 28]. Tersedia pada: http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ind/images/pdf/padi salibu.pdf. Gardner PF, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya

(38)

26

Hidayati N. 2015. Fisiologi, anatomi, dan sistem perakaran pada budidaya padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI) dan pengaruhnya terhadap produksi [Tesis]. Bogor: Institut Pertaninan Bogor.

Huang BR. 1999. Water relations and root Activities of Buchloe dactyloides and Zoysia japonica in response to localized soil drying. Plant & Soil. 208:179- 186.

Hutabarat TR. 2011. Populasi mikrob tanah emisi metan dan produksi padi dengan kombinasi pemupukan pada budidaya padi SRI (System of Rice Intensification) [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Islam MS, Hasannuzzaman M, Rukonuzzaman. 2008. Ratoon rice response

to different fertilizer doses in irrigated condition. J. Agric Conspect Sci 73(4): 197-202.

Jason B. 2005. It’s not too early to plant for ratoon rice crop. Los Angles (US): LSU Agricultural Center’s Rice Research Station.

Koenings FFFR. 1950. A sawah profile near Bogor (Java). Contr. General Agric. Research Station. Bogor , No.15

Mahadevappa M, Nagaraju, Narasimhareddy MK. 1986. Maturity behavior of Intan in main and ratoon crops. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI).

Mer JL, Roger P. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. Eur J Soil Bio. 37:25-50.

Moormann FR, van Breemen N. 1978. Rice, Soil, Water, Land. IRRI. Los Banos, Philippines.

Nakano H, Morita S, Kitagawa H, Takana M. 2009. Effect of cutting height and trampling over stubbles of the first crop on dry matter yield in twice harvest of forage rice. J Plant Prod Sci. 12(1):124-127.

Ndiiri JA, Mati BM, Home PG, Odongo B, Uphoff N. 2012. Comparison of water savings of paddy rice under System of Rice Intensification growing rice in Mwea, Kenya. Inter J Curr Res Rev. 4:63-73.

Pan G, Zhou P, Li Z, Pete S, Li L, Qiu D, Zhang X, Xu X, Shen S, Chen X. 2009. Combined inorganic / organic fertilization enhances N efficiency and increases rice productivity through organic carbon accumulation in a rice paddy from the Tai Lake region. China . AEE, 131:274-280.

Quddus MA, Pendleton JW.1983. Effect on ratoon rice of cutting height and time N applicationon the main crops. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI).8(13).

Retno. 2012. Kementerian Pertanian prioritaskan pengembangan program P2BN [Internet]. [diunduh 24 Februari 2013]. Tersedia pada: http://www.pertanian.go.id.

Samejima H, Kondo M, Ito O, Nozoe T, Shinano T, Osaki M. 2004. Root– shoot interaction as a limiting factor of biomass productivity in new tropical rice lines. Soil Sci Plant Nutr. 50:545–554.

(39)

27 Sato S, Uphoff N. 2007. A review of on-farm evaluations of SRI methods in Eastern Indonesia. Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 54: 1-12.

Setiadjie S, Wardana IP. 2008. Gagasan dan implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam kegiatan budidaya padi ekologis. J. Analisis Kebijakan Pertanian 6(1): 75-99.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Solaiman M Z, Hirata H. 1997. Responses of directly seeded wetland rice to arbuscular mycorrhizal fungi inoculation. Journal of Plant Nutrition 20:1479–1487.

Sumardi. 2007. Respon padi sawah pada teknik budidaya secara aerobik dan pemberian bahan organik. Akta Agro. 7:65-70.

Sumardi A, Syarif K, Kasim M, Akhir N. 2007. Pengaruh pengelolaan air pada fase vegetatif dan generative terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. J. Tanaman Tropika 10(1):1-10.

Sun XH, Zhang JG, Liang YJ. 1988. Ratooning with rice hybrids. Manila (PN): International Rice Research Institute Newsletter (IRRI).

Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SS, Widiarta IN, Setyono A. Indrasari SD, Lesmana OS, Sembiring H. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Subang (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Susilawati. 2011. Agronomi Ratun Genotipe – Genotipe Padi Potensial untuk Lahan Pasang Surut [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. morphology and physiology of water and associated management practices of the system of rice intensification and their implications for crop performance. Paddy Water Environ. 9:13–24.

Thiyagarajan T M, Senthilkumar K, Priyadarshini R, Sundarsingh J, Muthusankanarayan A, Hengsdijk H, Bindraban P S. 2005. Evaluation of water-saving irrigation and weeder use in the growth and yield of rice. In Transitions in Agriculture for Enhancing Water Productivity: Proceedings of an international Symposium, TNAU, 23–25 September, pp. 3–18. Eds T M Thiyagarajan, H Hengsdijk and P S Bindraban. Wageningen, Netherlands: Plant Research Institute

Turner BL, Haygarth P M. 2001. Phosphorus solubilization in rewetted soils. Nature 411:258.

(40)

28

Uphoff N, Fernandes E. 2003. Sistem intensifikasi padi tersebar pesat [Internet]. [diunduh 2013 September 20]. Tersedia pada: http://www.docjax.com/document/view.shtml?id=820406&title=sist em%20intensifikasi%20padi%20pesat%.

Wei JZ, Xiong LW, Zhen LY, Ying CZ, An HX. 2003. Effects of nitrogen fertilizer rates on uptake and distribution of nitrogen in ratoon rice. Fujian J Agric Sci. (02):14-29.

Wraith JM, Or D. 2001. Soil water characteristic determination from concurrent water content measurements in reference porous media. Soil Sci Soc Am J. 65:1659–1666.

Yamauchi T, Shimamura S, Nakazono M, Mochizuki T. 2013.Aerenchyma formation in crop species: A review. Field Crops Res. 152:8–16. Yang C, Yang L, Yang Y, Ouyang Z. 2004. Rice root growth and nutrient

uptake as influenced by organic manure in continuously and alternately flooded paddy soils. Agri Water Manag. 70:67–81.

(41)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Deskripsi karakteristik padi verietas Ciherang (Suprihatno et al.2007)

Deskripsi Penjelasan

Nama varietas : Ciherang

Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal Persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/2*IR19661-131-3-1-3//4*IR64

Cere

Umur tanaman : 116-125 hari

Bentuk tanaman : Tegak

Tinggi tanaman : 107-115 cm

Anakan produktif : 14-17 batang

Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna

Warna lidah daun : Tidak berwarna

Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar pada sebelah bawah

Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping

Warna gabah : Kuning bersih

Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang

Tekstur nasi : Pulen

Kadar amilosa : 23%

Bobot 1000 butir : 28 g

Rata-rata hasil : 6,0 t/ha GKG

Potensi hasil : 8,5 t/ha GKG

Ketahanan terhadap hama

: Tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3

Ketahanan terhadap penyakit

: Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah

(42)

30

Lampiran 2 Kandungan analisis pupuk

Nama Pupuk N - Total P2O5 Total K2O

Parameter Satuan Hasil Metode

pH - 5.8 H2O (1:1)

Lampiran 4 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang musim tanam pertama (5 ulangan)

Jenis Perlakuan Jenis Pupuk Kg/ha Kg/petak Total pupuk (kg)

(43)

31 Lampiran 5 Kebutuhan pupuk per perlakuan pada percobaan lapang

tanaman ratun (5 ulangan)

Jenis Perlakuan Jenis Pupuk Kg/ha Kg/petak Total pupuk Konvensional

Lampiran 6 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada musim tanam pertama di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah semai (HSS)

(44)

32

Lampiran 7 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap komponen hasil pada musim tanam pertama di Kelurahan

Lampiran 8 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman contoh pada tanaman ratun di Kelurahan Sindangbarang berbasis hari setelah panen (HSP)

(45)
(46)

34

Lampiran 10 Pertumbuhan tanaman padi musim tanam pertama : (a) Penyemaian (b) 70 hari setelah semai (c) 95 hari setelah semai

(a)

(b)

(47)

35 Lampiran 11 Pertumbuhan tanaman ratun padi: (a) 10 hari setelah

pemotongan (b) 60 hari setelah pemotongan (c) 90 hari setelah pemotongan

(a)

(b)

(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 1991 dari Ayah Drs. Budhi Sarmadha Usman dan Ibu Susatyorini, SE. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2009 penulis menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 70 Jakarta, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Gambar

Gambar 2 Tata letak petak penelitian lapang musim tanam pertama
Gambar 3 Tata letak petak penelitian lapang tanaman ratun
Tabel 4 Bobot gabah  kering panen, bobot gabah kering giling, dan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

ETSA merupakan anak perusahaan dengan 90% kepemilikan ELNUSA, yang bergerak di bidang jasa marine support yang secara spesifik memberikan jasa pendukung operasional bagi

Dari dua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa EOQ merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengoptimalkan pembelian bahan baku yang dapat menekan

bahwa dalam rangka pelaksanaan layanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin di Kabupaten Bantul melalui program JAMKESOS yang diselenggarakan oleh Badan

 Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai bidang tugasnya.  Bidang Bina Mutu, Usaha

Penelitian ini bertujuan 1) untuk mengetahui adanya perbedaan hasil belajar IPA antara strategi pembelajaran everyone is a teacher here dengan ekspositori, 2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Program kerja kepala madrasah dalam kegiatan pendidika n difungsikan dengan baik dan benar, hanya saja dalam aspek

Gum arab digunakan pada permen untuk mencegah melting/meleleh khususnya pada permen gum dengan kadar padatan terlarut yang tinggi, menjaga perisa dan aroma sehingga rasa permen