• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proporsi Gangguan Pendengaran pada Pasien Hipertensi di Poli Ginjal Hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proporsi Gangguan Pendengaran pada Pasien Hipertensi di Poli Ginjal Hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

RIWAYAT HIDUP PENELITI (Curriculum Vitae)

Nama : Ayu Zulhafni Lubis

Tempat/ tanggal lahir : Medan, 28 Agustus 1993

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Islam

Alamat : Jl. Bajak II Pasar VII, gg sekolah No. 308

Marendal-Medan, Sumatera Utara

Nomor Telepon : 085761104573

Orang Tua : Ayah : Zulkifli Lubis, SH

Ibu : Zainab Nasution, SE, MH

Riwayat Pendidikan : TK Swasta RIZA (1997 – 1998) SD Negeri 060812 (1998 – 2004) SMP Negeri 34 Medan (2004 – 2007) SMA Negeri 10 Medan(2007 – 2010)

(2)

Lampiran 2

(3)

Lampiran 3

(4)
(5)

Lampiran 4

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN PENELITIAN

Dengan hormat,

Saya, Ayu Zulhafni Lubis, adalah seorang mahasiswi di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan tahun 2010. Saat ini

saya sedang melakukan penelitian dengan judul proporsi gangguan pendengaran

pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan.

Tujuan penelitian ini adalah unuk mengetahui berapa proporsi pasien

hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan yang menderita gangguan

pendengaran.

Untuk keperluan tersebut,saya memohon kesediaan anda untuk menjadi

partisipan dalam penelitian ini. Saya memohon kesediaan anda untuk bersedia

dilakukan pemeriksaan telinga atau tes pendengaran dengan menggunakakn

Garpu Tala. Jika anda bersedia, silahkan menandatangani lembar persertujuan ini

sebagai bukti sukarelawanan.

Identitas pribadi anda sebagai partisipan akan disamarkan, kerahasiaan

data anda akan dijamin sepenuhnya, dan semua informasi yang anda berikan

hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang

dimengerti, anda dapat bertanya langsung kepada saya atau dapat menghubungi

saya di nomor 085761104573.

Demikian informasi ini saya sampaikan, atas bantuan, partisipasi dan kesediaan

waktu anda,saya ucapkan terimakasih.

Hormat Saya,

Peneliti,

(6)

Lampiran 5

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN PENELITIAN (INFORM CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...

Umur : ... tahun

Jenis kelamin : laki-laki/perempuan

Alamat :...

TD : .../...

Lama Menderita : ...

Setelah mendapat keterangan dan penjelasanyang cukup dari peneliti secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menyatakan ‘BERSEDIA’ berpartisipasi menjadi sukarelawan dalam penelitian ini yang berjudul proporsi gangguan pendengaran pada pasien hipertensi pasien di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan yang menderita gangguan pendengaran.

Mengetahui, Menyatakan,

Peneliti, Responden,

(Rana Fathiyya Srg) (………)

(7)
(8)
(9)

79 rbg 35 tahun Perempuan > 10 Tahun 180/100 Sensori-neural

80 es 56 tahun Perempuan > 10 Tahun 180/80 Campuran

81 lhd 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/90 Sensori-neural

82 ppd 47 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 140/80 Konduktif

83 emy 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/70 Campuran

84 rs 35 tahun Laki-laki < 5 Tahun 120/80 Normal

85 nl 37 tahun Perempuan < 5 Tahun 120/70 Normal

86 cbs 45 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/90 Sensori-neural

87 it 48 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 160/80 Sensori-neural

88 sw 33 tahun Perempuan > 10 Tahun 140/70 Konduktif

89 ebs 45 tahun Perempuan > 10 Tahun 130/80 Konduktif

90 asi 34 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/90 Sensori-neural

91 bjm 55 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 110/80 Normal

92 lbt 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/80 Konduktif

93 tpe 47 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 180/70 Sensori-neural

94 pdu 35 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 160/80 Sensori-neural

95 sbsi 35 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 140/70 Konduktif

96 npt 48 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/80 Sensori-neural

97 fe 50 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 130/80 Konduktif

98 ras 31 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 130/70 Konduktif

99 dis 34 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/80 Konduktif

(10)

Lampiran 7

Hasil Output SPSS

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid laki-laki 38 38.0 38.0 38.0

perempuan 62 62.0 62.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 21-30 21 21.0 21.0 21.0

31-40 27 27.0 27.0 48.0

41-50 36 36.0 36.0 84.0

51-60 16 16.0 16.0 100.0

Total 100 100.0 100.0

lama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid < 5 tahun 11 11.0 11.0 11.0

5 - 10 tahun 69 69.0 69.0 80.0

> 10 tahun 20 20.0 20.0 100.0

(11)

jenisgangguan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative konduktif sensori-neural campuran normal

umur 21-30 7 5 0 9 21 konduktif sensori-neural campuran normal

lama < 5 tahun 1 2 0 8 11

5 - 10 tahun 22 33 2 12 69

> 10 tahun 6 11 1 2 20

(12)
(13)

DAFTAR PUSTAKA

American Speech-Language-Hearing Association. Type, Degree, and Configuration of Hearing loss. Audiology Information Series. ASHA 2011 7976-16

Bainbridge, K.E., Hoffman, H.J., Cowie, C.C., 2008. Diabetes and Hearing

Impairment in the United States: Audiometric Evidence from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999 to 2004. Annals of Internal Medicine 149 (1) : 1

Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I.A., 2005.

Kardiologi:Lecture Notes. ed 4. Jakarta : Penerbit Erlangga, 57-69.

Guyton, Arthur C. & Hall, John E. Editor bahasa Indonesia : Irawati

Setiawan.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.9. Jakarta. EGC, 1018-1055.

Hanifa, Anggie. 2011. Prevalensi Hipertensi Sebagai Penyebab Penyakit Ginjal

Kronik Di Unit Hemodialisis RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2009. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kumar, Parveen ; Clark, Michael. 2005. Kumar & Clark : Clinical Medicine .

Sixth edition.Saunders Ltd.

Maqbool, M., 2000. Deafness: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 9th

(14)

Metsler,Ina; Tahera, Yeasmin; Simpson, Evan ; et al. Estrogen receptor ß protects

against acoustic trauma in mice. 2008. The Journal of Clinical Investigations, vol 118.

Mondelli, Maria F Capoani ; Lopes, Andrea C. Relation between hypertension

and hearing loss. 2009. Intl. Arch. Otorhinolaryngol.,São Paulo, v.13, n.1, p. 63-68.

Netter, Frank H. 2010. Atlas Of Human Anatomy. 5th edition. United States of

America.Saunder Elsevier, 268.

Santoso, Sugeng ; Muyassaroh. 2012. Kurang pendengaran sensorineural pada

lansia dengan dan tanpa hipertensi. Bagian/SMF ilmu kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Med Hosp 2012; Vol 1(1) :

16-19.

Sherwood, Lauralee. Alih bahasa Brahm U. Pendit. 2001. Fisiologi Manusia dari

sel kesistem. Edisi 2. Jakarta. EGC, 551-563.

Sigsbee W, Duck, MD ; Jiri Prazma, MD, et al. 1997. Interaction Between

Hypertension and Diabetes Mellitus in the Pathogenesis of Sensorineural Hearing Loss. The Laryiigoscope Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. 107:1696-1605,199.

Supramaniam, Sukganti. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa

SMA Swasta Raksana di Kota Medan Tahun 2010. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Suryaatmaja,Oppy. 2012. Preeklampsia sebagai salah satu factor risiko terhadap

(15)

Kesehatan Telinga, hidung dan tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas

Gadjah Mada.

Tortora, G.J. & Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.

12th edition. Volume 2. John Wiley and Sons, Inc, 937-942.

Tripena, Nenny. 2011. Karakteristik Penderita Hipertensi Rawat Inap di Rumah

Sakit Bhayangkara Medan Tahun 2008-2010. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yathavan, Sugumar. 2011. Gambaran Etiologi Gangguan Pendengaran Di

RSUP. H. Adam Malik, Medan Dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,

Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., 2006. Buku Ajar Penyakit Ilmu

(16)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah:

3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Penelitian

a. Penderita hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan

b. Gangguan pendengaran

3.2.2. Definisi Operasional

a) Penderita hipertensi

Definisi : Pasien yang datang ke poli ginjal hipertensi dengan

diagnosa hipertensi atau yang memiliki tekanan darah sistol diatas

140 mmHg dan tekanan darah diastol diatas 90 mmHg.

Cara Ukur : Tekanan darah pasien diukur dengan menggunakan

spigmomanometer kemudian hasil tekanan darah yang diukur

dicatat.

Alat Ukur : Spigmomanometer

Kategori : Menurut The Seventh Report of The Joint National

(17)

High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 >160 > 100

Tabel 3.1. Klasifikasi Tekanan Darah

Skala : Ordinal

b) Gangguan pendengaran

Definisi : Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total

atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua

telinga.

Cara ukur : Terdapat 3 jenis pemeriksaan yaitu:

a. Tes Rinne

Intepretasi :

- Rinne positif artinya telinga normal atau dapat juga tuli

sensori-neural

- Rinne negatif artinya tuli konduktif

(18)

- Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya

pada telinga kanan lebih hebat.

- Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke

sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.

- Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah

kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.

Secara ringkas, intepretasinya pemeriksaan Rinne dan Weber

berupa :

Tabel 3.2. Intepretasi Pemeriksaan Rinne dan Weber

c. Tes Berbisik

Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa

dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam

meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 - 6/6.

Alat ukur : Garpu tala 512 Hz

Kategori : Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi tiga

kategori utama yaitu gangguan pendengaran konduktif, gangguan

pendengaran sensori-neural dan gangguan pendengaran campuran.

Skala : Ordinal

(19)

Definisi : Persentase penderita hipertensi yang mengalami

gangguan pendengaran sensori-neural

Cara Ukur : Nilai proporsi diukur dengan cara membagikan jumlah

penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran

sensori-neural dengan total seluruh penderita hipertensi kemudian

dikali seratus persen

d) Jenis kelamin sampel

Definisi : Jenis kelamin penderita hipertensi yang berobat ke poli

ginjal hipertensi RSUP HAM yang dijadikan sampel

Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien

Kategori : Laki-laki atau perempuan

Skala : Nominal

e) Umur Sampel

Definisi : Umur penderita hipertensi yang berobat ke poli ginjal

hipertensi RSUP HAM yang dijadikan sampel

Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien

Kategori : Umur 21-30 Tahun, Umur 31-40 Tahun, Umur 41-50

Tahun, atau Umur 51-60 Tahun

Skala : Ordinal

f) Lama menderita hipertensi

Definisi : Berapa lama sejak sampel didiagnosis menderita

hipertensi sampai saat dilakukan pencatatan data.

Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien

Kategori : < 5 Tahun, 5-10 Tahun atau > 10 Tahun

(20)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan

desain cross sectional untuk mengetahui proporsi gangguan pendengaran pada

pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2013. Lokasi

penelitian ini adalah di Poli ginjal klinik hipertensi RSUP Haji Adam Malik

Medan. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah dikarenakan RSUP Haji

Adam Malik merupakan rumah sakit umum yang menjadi tempat rujukan di

kota Medan, dimana kasus hipertensi dan gangguan pendengaran banyak

ditemukan.

4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi yang

datang berobat ke poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik pada

tahun 2013 dan bersedia menjadi sampel.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel yang dipilih

berdasarkan counsecutive sampling, (penarikan sampel dengan tehnik

ini berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan teori

dan pertimbangan para ahli). Rumus yang digunakan adalah:

(Wahyuni, 2008)

n = zα2PQ

(21)

Keterangan:

n : Besar sampel

zα : Tingkat kepercayaan yang dikehendaki (95 % = 1,96)

P : Proporsi atau keadaan yang akan dicari

Q : 1 – P

d : Tingkat ketepatan yang diinginkan

n = (1.96)2 X (0.377) X (1 - 0.377) = 90,22

(0.1)2

Berdasarkan rumus diatas, dengan tingkat ketepatan 10 %, proporsi

sebelumnya 37,7 % (dipergunakan P = 0.377) dari penelitian Santosa

dan Muyassaroh(2012) didapatkan jumlah sampel sebanyak 90,22 .

Untuk itu peneliti akan mengambil sampel sebanyak 100 orang untuk

mempermudah perhitungan dan analisis data.

4.3.3. Kriteria Inklusi

Pasien Hipertensi yang berobat ke Poli Ginjal Hipertensi yang bersedia

menjadi sampel

4.3.4. Kriteria Eksklusi

1. Pasien Hipertensi dengan gangguan pendengaran konduktif

2. Pasien Hipertensi dengan riwayat konsumsi obat-obatan ototoksik

3. Pasien Hipertensi yang menderita presbikusis

4. Pasien berumur diatas 60 tahun

4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data

primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien hipertensi yang

(22)

Medan. Sebelum pengambilan data, dilakukan persiapan berupa

pengurusan izin meneliti ke RSUP Haji Adam Malik. Kemudian

dipersiapkan informed consent bagi pasien yang akan dijadikan

sampel.

Data mengenai nama, jenis kelamin, umur dan lama mengidap

penyakit hipertensi, dilihat dari status pasien. Setelah dijelaskan

mengenai prosedur penelitian kepada pasien dan pasien setuju untuk

menjadi sampel penelitian, maka pasien diminta untuk

menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan

langsung terhadap pasien menggunakan garpu tala. Pemeriksaan yang

dilakukan pada pasien berupa tes Rinne dan tes Weber untuk menilai

ada atau tidak gangguan pendengaran. Akhirnya, data yang diperoleh

tersebut dicatat sesuai dengan yang didapat.

4.4.2. Instrumen Penelitian

Instrumen dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu

tala 512 Hz.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisa secara deskriptif

dengan menggunakan komputerisasi. Data yang telah dianalisis akan

(23)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik merupakan suatu unit pelayanan kesehatan di Kota Medan yang

berlokasi di Jl. Bungalau No 17, Medan Sumatera Utara. RSUP Haji Adam

Malik Medan dipilih sebagai lokasi penelitian karena rumah sakit tersebut

merupakan rumah sakit pusat rujukan, sehingga diharapkan banyak ditemukan

kasus gangguan pendengaran pada pasien hipertensi yang berobat kerumah

sakit tersebut.

5.1.2. Deskripsi Sampel

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data – data

sampel yang dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel seperti yang

diuraikan dibawah ini:

Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Lama Menderita Hipertensi

(24)

Total 100 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sampel berjenis kelamin

laki-laki berjumlah 38 orang ( 38%) dan sampel berjenis kelamin perempuan

berjumlah 62 orang (62%). Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sampel

yang berusia 21-30 tahun sebanyak 21 orang (21%), sampel yang berusia 31-40

tahun sebanyak 27 orang (27%), sampel yang berusia 41 – 50 tahun sebanyak 36

orang (36%) dan sampel yang berusia 51 – 60 tahun sebanyak 16 orang (16%).

Berdasarkan lama menderita hipertensi, sampel yang menderita hipertensi kurang

dari 5 tahun sebanyak 11 orang (11%), sampel yang menderita hipertensi selama

5-10 tahun sebanyak 69 orang (69%) dan sampel yang menderita hipertensi

selama lebih dari 10 tahun sebanyak 20 orang (20%).

5.1.3. Hasil Analisis Data

Dari hasil pengumpulan data dan pemeriksaan gangguan pendengaran pada

sampel yang menderita hipertensi di poli ginjal RSUP Haji Adam Malik medan,

didapati bahwa dari 100 sampel yang menderita hipertensi, 78 orang (78%)

mengalami gangguan pendengaran dan 22 orang (22%) tidak mengalami

gangguan pendengaran.

(25)

5.1.3.1.Distribusi Jenis Kelamin Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran

Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran

Jenis Kelamin Gangguan Pendengaran Jumlah sampel Persentase (%)

Laki-Laki 27 34,6

Perempuan 51 65,4

Total 78 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa sampel berjenis kelamin laki-laki yang

mengalami gangguan pendengaran sebanyak 27 orang (34,6%) dan sampel

perempuan yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 51 orang (65,4%).

5.1.3.2. Distribusi Umur Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran

78 22

Penderita Hipertensi

gangguan pendengaran 78%

(26)

Tabel 5.3. Distribusi Umur Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa sampel berusia 21-30

tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 12 orang (15,4%),

sampel berusia 31-40 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak

21 orang (26,9%), sampel berusia 41 – 50 tahun yang mengalami gangguan

pendengaran sebanyak 31 orang (39,7%) dan sampel berusia 51 – 60 tahun

yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 14 orang (17,9%).

5.1.3.3. Distribusi Lama Sampel menderita Hipertensi yang Mengalami Gangguan Pendengaran

Berdasarkan data yang didapatkan, dilakukan pengelompokkan sampel

yang mengalami gangguan pendengaran berdasarkan lama menderita

hipertensi. Distribusi sampel yang mengalami gangguan pendengaran

berdasarkan lama sampel tersebut menderita hipertensi dapat dilihat pada tabel

5.4.

Tabel 5.4. Distribusi Lama Sampel menderita Hipertensi yang Mengalami Gangguan Pendengaran

Lama Menderita Jumlah sampel Persentase (%)

< 5 Tahun 3 3,8

5-10 Tahun 57 73,1

> 10 Tahun 18 23,1

Total 78 100.0

Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa sampel yang menderita hipertensi

kurang dari 5 tahun sebanyak 3 orang (3,8%) mengalami gangguan

Umur Jumlah sampel Persentase (%)

21 – 30 12 15,4

31 – 40 21 26,9

41 – 50 31 39,7

51 – 60 14 17,9

(27)

pendengaran, sampel yang menderita hipertensi selama 5-10 tahun sebanyak

57 orang (73,1%) mengalami gangguan pendengaran dan sampel yang

menderita hipertensi selama lebih dari 10 tahun sebanyak 18 orang (23,1%)

mengalami gangguan pendengaran.

5.1.3.4. Distribusi Sampel berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran

Tabel 5.5. Distribusi Sampel berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran

Jenis Jlh sampel Persentase (%)

Konduktif 29 37,2

Sensori-neural 46 59

Campuran 3 3,8

Total 78 100.0

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa sampel yang mengalami

gangguan pendengaran jenis konduktif sebanyak 29 orang (37,2%), sampel

yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori neural sebanyak 46

orang (59%) dan sampel yang mengalami gangguan pendengaran jenis

campuran sebanyak 3 orang (3,8%).

5.1.3.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur dan Jenis Gangguan Pendengaran

Berdasarkan data yang didapatkan, dilakukan pengelompokkan sampel

berdasarkan jenis gangguan pendengaran dan umur sampel.

Tabel 5.6. Distribusi Sampel berdasarkan Umur dan Jenis Kondutif Sensori Neural Campuran

21 – 30 7 5 0 12

31 – 40 9 12 0 21

41 – 50 10 20 1 31

(28)

Total 29 46 3 78

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif

dialami oleh paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun, yaitu sebanyak 10

orang (34,5%) dan dialami paling sedikiti oleh sampel berumur 51 – 60, yaitu

sebanyak 3 orang (10,3%) . Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami

paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 20 orang

(43,5%), diikuti dengan sample yang berumur 31-40 tahun yaitu sebanyak 12

orang (26,1%), diikuti lagi dengan sampel yang berumur 51-60 tahun yaitu

sebanyak 9 orang (19,6%) dan dialami paling sedikit oleh sampel 21-30 tahun

yaitu sebanyak 5 orang (10,9%). Gangguan pendengaran jenis campuran dialami

paling banyak oleh sampel berumur 51 – 60 tahun, yaitu sebanyak 2 orang

(66,7%) dan tidak dialami oleh sampel berumur kurang dari 40 tahun.

5.1.3.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Menderita Hipertensi dan Jenis Gangguan Pendengaran

Tabel 5.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Menderita Hipertensi dan Jenis Gangguan Pendengaran Kondutif Sensori Neural Campuran

< 5 tahun 1 2 0 3

5 – 10 tahun 22 33 2 57

> 10 tahun 6 11 1 18

Total 29 46 3 78

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif

dialami paling banyak oleh sampel dengan lama menderita hipertensi 5-10 tahun

yaitu sebanyak 22 orang (75,9%). Gangguan pendengaran jenis sensori-neural

dialami paling banyak oleh sampel dengan lama menderita hipertensi 5-10 tahun

yaitu sebanyak 33 orang (71,7%) dikuti dengan sample yang menderita hipertensi

(29)

sampel dengan lama menderita hipertensi adalah <5 tahun yaitu sebanyak 2 orang

(4,3%). Gangguan pendengaran jenis campuran dialami paling banyak oleh

sampel yang menderita hipertensi selama 5- 10 tahun yaitu sebanyak 2 orang

(66,7%).

5. 2. Pembahasan

Hipertensi diduga sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan

terjadinya gangguan pendengraran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso

dan Muyassaroh (2012), dikemukakan bahwa hipertensi mempunyai risiko

terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural yang lebih besar dibandingkan

normotensi.

Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin sampel yang lebih banyak

mengalami gangguan pendengaran adalah perempuan (51%), hal ini berbeda

dengan pendapat Metsler (2008), dimana gangguan pendengaran kurang terjadi

pada perempuan karena adanya hormon estradiol yang bekerja melalui reseptor

estrogen beta yang dapat memelihara sistem auditori dari trauma. Perbedaan ini

mungkin disebabkan karena mayoritas sampel berjenis kelamin perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan data umur penderita hipertensi

yang banyak mengalami gangguan pendengaran seperti yang bisa diliht di tabel

5.3. Sampel berusia 21-30 tahun yang mengalami gangguan pendengaran

sebanyak 12 orang (15,4%), sampel berusia 31-40 tahun yang mengalami

gangguan pendengaran sebanyak 21 orang (26,9%), sampel berusia 41 – 50 tahun

yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 31 orang (39,7%) dan sampel

berusia 51 – 60 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 14 orang

(17,9%). Dapat disimpulkan bahwa penderita hipertensi yang berumur diantar 41

tahun sampai 50 tahun merupakan yang terbanyak mengalami gangguan

pendengaran.

Kemudian Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa gangguan

pendengaran jenis konduktif dialami oleh paling banyak oleh sampel berumur 41

(30)

berumur 51 – 60, yaitu sebanyak 3 orang . Gangguan pendengaran jenis

sensori-neural dialami paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun, yaitu sebanyak

20 orang dan dialami paling sedikiti oleh sampel berumur 21 – 30, yaitu sebanyak

5 orang. Gangguan pendengaran jenis campuran dialami paling banyak oleh

sampel berumur 51 – 60 tahun, yaitu sebanyak 2 orang dan tidak dialami oleh

sampel berumur kurang dari 40 tahun. Dapat disimpulkan bahwa gangguan

pendengaran jenis sensori- neural paling banyak dialami oleh sampel dengan usia

41 tahun sampai 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh degeneratif

umur yang sudah tua, sehingga mengganggu fungsi organ pendengaran dan

bertambahnya proses aterosklerosis pada usia tua .Hal tersebut juga dihubungkan

dengan pendapat Menurut duck, et al (1997), hipertensi menyebabkan terjadinya

kerusakan pada sel-sel rambut koklea organ pendengaran. Kerusakan sel-sel

rambut koklea ini disebabkan oleh proses arteriosklerosis vaskuler telinga dalam.

Lama seseorang menderita hipertensi juga turut mempengaruhi terjadinya

gangguan pendengaran,seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.4. Berdasarkan

tabel 5.4 dapat dilihat bahwa sampel yang menderita hipertensi kurang dari 5

tahun sebanyak 3 orang (3,8%) mengalami gangguan pendengaran, sampel yang

menderita hipertensi selama 5-10 tahun sebanyak 57 orang (73,1%) mengalami

gangguan pendengaran dan sampel yang menderita hipertensi selama lebih dari 10

tahun sebanyak 18 orang (23,1%) mengalami gangguan pendengaran.

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif,

sensori-neural dan campuran dialami oleh paling banyak oleh sampel yang

menderita hipertensi selama 5- 10 tahun dan paling sedikit dijumpai pada sampel

yang menderita hipertensi kurang dari 5 tahun. Terjadinya gangguan pendengaran

sensori-neural pada pasien yang menderita hipertensi dalam jangka waktu lama

mungkin disebabkan oleh gangguan mikrosirkulasi dan iskemia pada vaskularisasi

telinga dalam. Sesuai yang dikemukakan oleh suryaatmaja (2012), Telinga dalam

yang mendapatkan vaskularisasi end artery sangat rentan terhadap efek dari

vasospasme dan iskemia. Suplai darah koklea yang normal sangat penting untuk

proses depolarisasi dan repolarisasi selrambut, Jika jaringan kapiler pada stria

(31)

kalium menjadi minimal. Dengan demikian iskemia koklea diikuti penurunan

fungsi koklea secara dramatis dalam beberapa detik. Dalam jangka panjang, suplai

darah kaya oksigen yang tidak adekuat akan mengganggu fungsi koklea

Dari seluruh data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa

terjadinya hipertensi merupakan penyebab gangguan pendengaran jenis

sensori-neural. Terjadinya gangguan pendengaran jenis sensori-neural pada penderita

hipertensi juga dipengaruhi oleh umur dan lama nya pasien tersebut menderita

hipertensi. Mekanisme terjadinya gangguan pendengaran jensi sensori-neural pada

pasien hipertensi sendiri masih banyak diperdebatkan, beberapa diantaranya

mengemukakan bahwa hipertensi menyebabkan kerusakan saraf pada organ

pendengaran dan gangguan vaskularisasi, Penelitian terkait oleh Mondelli dan

Lopes (2009) menyatakan bahwa terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural

pada pasien hipertensi adalah akibat ganguan pada mikrosirkulasi organ

pendengaran oleh karena emboli, hemoragik dan vasospasme pembuluh darah.

Selain hipertensi, masih banyak penyakit sistemik penyebab terjadinya

gangguan pendengaran, misalnya saja diabetes meilitus, seperti yang

dikemukakan oleh Bainbridge (2008) pada penelitian nya bahwa penderita

diabetes mellitus mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan

pendengaran berbanding yang non diabetes. Dimana gangguan pendengaran jenis

sensorineural lebih banyak dialami oleh penderita diabetes mellitus dibandingkan

jenis konduktif. Ini diduga karena adanya masalah perubahan patologi pada

sistem vestibular dan sistem neural telinga dalam, sehingga gangguan

pendengaran sensorineural terjadi. Oleh karena itu masih perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut bagaimana pengaruh diabetes meilitus itu sendiri terhadap

(32)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan uraian dari pembahasan dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Proporsi penderita hipertensi di Poli Ginjal Hipertensi yang

mengalami gangguan pendengaran adalah 78%. Proporsi

penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran

jenis sensori neural dan campuran adalah 49%.

2. Distribusi frekuensi pasien yang mengalami gangguan

pendengaran jenis sensori neural adalah 59%, gangguan

pendengaran jenis konduktif adalah 37,2%, dan gangguan

pendengaran jenis campuran adalah 3,8%

3. Gangguan pendengaran lebih banyak dialami oleh sampel

berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 65,4%, sedangkan

sampel berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit yaitu sebesar

34,6%.

4. Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami paling

banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun yaitu sebesar 43,5%,

diikuti dengan sample yang berumur 31-40 tahun yaitu sebesar

26,1%, diikuti lagi dengan sampel yang berumur 51-60 tahun

yaitu sebesar 19,6%, dan dialami paling sedikit oleh sampel

21-30 tahun yaitu sebesar 10,9%.

5. Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami paling

banyak oleh sampel yang menderita hipertensi selama 5-10 tahun

yaitu sebesar 71,7% ,dikuti dengan sample yang menderita

hipertensi selama >10 tahun, yaitu sebesar 23,9% dan paling

sedikit oleh sampel dengan lama menderita hipertensi adalah <5

(33)

6.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti setelah melakukan

penelitian ini adalah :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek hipertensi

terhadap organ pendengaran dengan menggunakan jumlah

sampel yang lebih banyak dan alat-alat yang lebih baik seperti

audiometri sehingga didapati hasil yang lebih akurat.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

penyakit-penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan gangguan

pendengaran, baik jenis konduktif, sensori-neural maupun

konduktif

3. Diharapkan pihak rumah sakit,khusunya RSUPHAM Medan

untuk memberikan protap agar pasien atau masyarakat sekitar

mengetahui tentang adanya kemungkinan penderita hipertensi

dapat mengalami gangguan pendengaran sehingga masyarakat

(34)

BAB 2

Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan

dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk

membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan

dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat

di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular.

Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga

lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua

pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius

eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung

kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin

yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan

perlindungan bagi kulit (Kumar dan Clark, 2005).

B. Telinga Tengah

Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian

bawah pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah

lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,

seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di

tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang

berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun

(35)

telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada

membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.

Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan

antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius

termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga

tengah (Sherwood, 2001).

Gambar 2.1. Anatomi telinga Sumber : Netter, 2010

C. Telinga Dalam

Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian

(36)

spiralis membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala

vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang

disebut helikotrema.

Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir

pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea

kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana

Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis).

Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh

jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus

koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan

perantaraan duktus Reuniens.

Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung

organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ

Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan

tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung

lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk

oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung

bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat

pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana

(37)

Gambar 2.2. Koklea Sumber : Netter, 2010

2.1.2. Fisiologi Pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga

dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran

ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.

Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan

perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner

yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe

dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah

luar. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang

berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu.

(38)

Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan

terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan

fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium

dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis.

Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak

melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Sherwood, 2001).

2.2. Gangguan Pendengaran 2.2.1. Definisi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk

mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur

dengan jumlah tingkat ketulian yang disebut desibel (dB). Saat volume suara

meningkat, jumlah desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara

45-55 dB.

Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran

adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan

pendengaran di satu atau kedua telinga. Menurut Weber et al. (2009) dalam

Yathavan (2011), gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan

dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara.

2.2.2. Epidemiologi

Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita

gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8

juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia

diperkirakan sebanyak 275,7 juta orang. Daerah Asia Tenggara mempunyai

distribusi tertinggi penderita gangguan pendengaran dengan estimasi penderita

sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa

(120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan

(39)

Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara

pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan

pendengaran derajat berat di Asia Tenggara diperkirakan sebanyak 89,8 juta

orang. (GBD, 2004). Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia

dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran

sebanyak 9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang

kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO, 2001).

2.2.3. Etiologi

Kehilangan pendengaran dapat konduktif (karena kesalahan transmisi

gelombang suara) atau sensorineural (penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf),

atau keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan

telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya

cairan di telinga. Penyebab umum untuk tuli sensorineural adalah paparan

kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik

(yang merusak pendengaran).

2.2.4. Klasifikasi

Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi:

a. Gangguan pendengaran konduktif

Terjadi karena masalah mekanis di telinga luar atau tengah yang

mengakibatkan gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan.

Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan

benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons

terhadap suara. Adanya cairan di telinga tengah juga dapat

menyebabkan gangguan pendengaran konduktif (Sherwood, 2001).

b. Gangguan pendengaran sensori-neural

Pada tuli sensori-neural, gelombang suara disalurkan ke telinga dalam,

tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf

(40)

terletak pada organ corti,saraf auditorius, jalur auditorius asendens atau

pada korteks auditorius itu sendiri (Sherwood, 2001).

c. Gangguan pendengaran campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran

jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensori-neural.

Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis konduktif, kemudian

berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensori-neural, dapat pula

sebaliknya, dan dapat juga terjadi bersama-sama (Lassman, 1997

dalam Sukgandi, 2010). Menurut American Speech-Language Hearing

Association (ASHA) tahun 2011, gangguan pendengaran jenis campuran terjadi akibat kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah

dan telinga dalam atau saraf pendengaran.

2.2.5. Diagnosis

Pemeriksaan dan diagnosis gangguan pendengaran meliputi anamnesis,

pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, tes-tes pendengaran, yaitu tes berbisik, tes

garputala dan tes audiometri serta melalui pemeriksaan-pemeriksaan penunjang

lain.

Pada anamnesis, pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa

gangguan tersebut dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan

menggunakan auriskop atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang

digunakan untuk melihat ke dalam telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan

dapat dilihat apakah ada terdapat cairan yang keluar dari dalam telinga,

pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga disebabkan cairan

atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lubang pada gendang telinga

(Supramaniam, 2011).

Beberapa jenis pemeriksaan tambahan lain yang dilakukan untuk

mendiagnosis gangguan pendengaran :

A. Pemeriksaan Garpu Tala

Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat beberapa jenis pemeriksaan

(41)

a. Tes Rinne

Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara

hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2

macam tes rinne , yaitu;

i. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu

menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid

pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien

tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan

didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif

jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne

negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya

ii. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu

menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum

mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus

akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah

bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras

dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum

mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan

maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne

negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus

eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.

Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne

positif, tuli konduksi apabila tes Rinne negatif (getaran dapat didengar

melalui tulang lebih lama).

b. Tes Weber

Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran

tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber adalah

membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak

lurus pada garis horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang

(42)

atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka terjadi lateralisasi

ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar

atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.

Interpretasinya:

i. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan

disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan

dan kiri sama kerasnya.

ii. Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya:

- Tuli konduktif sebelah kanan, misal adanya ototis

media disebelah kanan.

- Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya

pada telinga kanan lebih hebat.

- Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke

sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.

- Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah

kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.

B. Tes Berbisik

Tes berbisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara

bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu.

Telinga yang tidak diperiksa ditutup dan orang yang diperiksa tidak boleh

melihat pemeriksa Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara

pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam

meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 - 6/6.

2.2.6. Penyakit Penyebab Gangguan Pendengaran

Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural.

Tuli konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah.

Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga,

sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga.

(43)

tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan

dislokasi tulang pendengaran.

Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.

Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh

bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin,

neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli

mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.

Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut

pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan

otak lainnya. Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut

akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal

koklea. Presbikusis ialah penurunan kemampuan mendengar pada usia lanjut.

Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak karena hematoma, sehingga

terjadi gangguan pendengaran (Maqbool, 2000).

2.3. Hipertensi 2.3.1. Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.

Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan

hipertensi sekunder (5-10%).

Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari

peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan

oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer

(sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler,

serta akibat obat (Yogiantoro, 2006).

2.3.2. Epidemiologi

Hipertensi lebih sering dijumpai pada laki-laki muda dibandingkan wanita

muda, pada orang berkulit gelap dibandingkan orang berkulit cerah, pada orang

(44)

Sampai saat inim data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari

Negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition

Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insidensi hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti

terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta

dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan

95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2006).

2.3.3. Klasifikasi

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7)

klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi:

Klasifikasi Tekanan

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 >160 > 100

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

2.3.4. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu

(Yogiantoro, 2006) :

a. Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%

kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,

(45)

ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang

meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.

Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun.

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.

Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom

cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan

dengan kehamilan, dan lain – lain.

2.3.5. Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi

esensial antara lain (Gray, et al. 2005):

a. Curah jantung dan tahanan perifer

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh

terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi

esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.

Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada

arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada

peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot

halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah

arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal

meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.

b. Sistem Renin-Angiotensin

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan

ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem

endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi

oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus

underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem

(46)

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE

memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah

mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin

(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang

tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah

menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II

berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai

vasoconstriktor.

c. Sistem Saraf Otonom

Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan

dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting

dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena

interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama –

sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa

hormon.

d. Disfungsi Endotelium

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah

vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi

endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.

e. Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan

vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat

meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan

sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon

(47)

Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya

dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.

f. Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding

pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),

ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga

hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin

lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat

dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi.

g. Disfungsi diastolik

Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat

ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan

kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan

tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel.

2.3.6. Gejala Klinis

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala

pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah,

gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial

berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ

target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Hanifa, 2011).

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi

mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini

menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang

bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit

kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah

marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata

berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat

(48)

gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan

jumlah morbiditas dan mortalitas (Hanifa, 2011).

2.3.7. Pengaruh Hipertensi Terhadap Pendengaran

Hipertensi diduga sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan

terjadinya gangguan pendengraran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso

dan Muyassaroh (2012), dikemukakan bahwa hipertensi mempunyai risiko

terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural yang lebih besar dibandingkan

normotensi. Menurut Sigsbee, et al (1997), hipertensi menyebabkan terjadinya

kerusakan pada sel-sel rambut koklea organ pendengaran.Kerusakan sel-sel

rambut koklea ini disebabkan oleh proses arteriosklerosis vaskuler telinga dalam.

Penelitian terkait oleh Mondelli dan Lopes (2009) menyatakan bahwa

terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural pada pasien hipertensi adalah

akibat ganguan pada mikrosirkulasi organ pendengaran oleh karena emboli,

hemoragik dan vasospasme pembuluh darah.

Telinga dalam yang mendapatkan vaskularisasi end artery sangat rentan

terhadap efek dari vasospasme dan iskemia. Suplai darah koklea yang normal

sangat penting untuk proses depolarisasi dan repolarisasi sel rambut, dimana

mekanisme energi suara diubah menjadi signal listrik yang diteruskan sepanjang

jalur saraf pendengaran hingga ke pusat saraf pendengaran. Jika jaringan kapiler

pada stria vaskularis tidak tersuplai darah, potensial endolimfatik akan turun,

sirkulasi kalium menjadi minimal. Dengan demikian iskemia koklea diikuti

penurunan fungsi koklea secara dramatis dalam beberapa detik. Dalam jangka

panjang, suplai darah kaya oksigen yang tidak adekuat akan mengganggu fungsi

(49)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah besar yang terjadi

di masyarakat. Data WHO pada tahun 2000 menunjukkan bahwa terdapat 250 juta

(4,2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran dan lebih kurang

setengahnya (75-140 juta) terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil "WHO Multi

Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%),

tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).

Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan

Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan morbiditas yang tinggi,

yaitu penyakit telinga (18,5%), prevalensi gangguan pendengaran (16,8%),

sedangkan ketulian didapatkan pada (0,4%) populasi (Supramaniam, 2011).

Gangguan pendengaran dapat berupa gangguan konduktif, sensorineural

maupun campuran. Penyebab gangguan pendengaran bersifat multifaktor, seperti

penyakit telinga, kebisingan, obat-obatan ototoksik, dan lain-lain. Menurut

Sigsbee, et al (1997), hipertensi juga disebut-sebut sebagai salah satu penyakit

yang menyebabkan gangguan pendengaran.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah utama yang

dihadapi oleh orang dewasa di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi terus

meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup seperti merokok, inaktifitas fisik

dan stres psikososial. Berdasarkan data WHO tahun 2000, sekitar 972 juta orang

atau 26,4% penduduk diseluruh dunia menderita hipertensi. Sebanyak 333 juta

(proporsi 34,26%) berada di negara maju dan 639 juta (65,74%) berada di negara

berkembang termasuk Indonesia. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 2001 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami

peningkatan dari 96 per 1000 penduduk pada tahun 1995 menjadi 110 per 1000

penduduk pada tahun 2001. Prevalensi hipertensi pada golongan umur diatas 25

(50)

penelitian yang dilakukan Rasmaliah, dkk tahun 2004 diwilayah kerja Puskesmas

Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan diketahui bahwa angka kejadian

hipertensi pada masyarakat di atas usia 26 tahun adalah 26,4% dan penderita

hipertensi lebih banyak pada kelompok umur 45-60 tahun yaitu 30,8% (Tripena,

2011).

Hipertensi sebagai salah satu penyakit degeneratif merupakan faktor yang

sangat penting terhadap timbulnya berbagai gangguan pada organ-organ vital

tubuh, seperti jantung, ginjal dan otak. Perjalanan penyakit hipertensi sangat

perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama

bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai

terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat

tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering

ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di

tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. (Hanifa, 2011).

Hipertensi sering menimbulkan komplikasi seperti stroke, penyakit

jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada

kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung, serta dapat

berakibat kecacatan bahkan kematian (Tripena,2011). Pada organ pendengaran,

hipertensi diduga menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran berupa tuli

sensorineural. Gangguan pendengaran ini terjadi karena hipertensi menyebabkan

kerusakan pada sel-sel rambut organ pendengaran (Sigsbee, et al, 1997).

Melihat adanya hubungan terjadinya gangguan pendengaran pada

penderita hipertensi, peneliti tertarik untuk meneliti proporsi gangguan

pendengaran pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut : Berapa besar proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP

(51)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji

Adam Malik Medan yang menderita gangguan pendengaran.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui proporsi yang mengalami gangguan pendengaran

sensori-neural dan campuran pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP

Haji Adam Malik Medan.

2. Mengetahui distribusi frekuensi sampel menurut jenis gangguan

pendengaran, jenis kelamin, umur dan lama menderita hipertensi.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Pengetahuan dan informasi tentang proporsi gangguan pendengaran pada

pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Pengetahuan dan informasi tentang proporsi gangguan pendengaran jenis

sensori-neural pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji

Adam Malik Medan.

3. Masukan dan tambahan rujukan untuk instansi dan mahasiswa yang akan

(52)

ABSTRAK

Hipertensi sebagai salah satu penyakit degeneratif merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai gangguan pada organ vital tubuh. Pada organ pendengaran, hipertensi diduga menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural. Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah besar yang terjadi di masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik yang menderita gangguan pendengaran jenis sensori-neural.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional pada 100 orang sampel. Sampel merupakan pasien poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan yang menderita hipertensi. Pada sampel dilakukan pemeriksaan pendengaran untuk menentukan jenis gangguan pendengaran. Hasil akhir yang dilihat adalah proporsi sampel yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori-neural. Data kemudian disajikan dan dianalisis dalam bentuk tabel.

Proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran adalah sebesar 78% dan yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebesar 22%. Proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis konduktif sebesar 37,2%, proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori-neural sebesar 59% dan proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis campuran sebesar 3,8%.

(53)

ABSTRACT

Hypertension as one of the degenerative disease is a significant factor in the incidence of vital organ dysfunction. In hearing organ, hypertension is suspected to cause hearing disturbance, especially sensory-neural deaf. Hearing distrurbance is one of the huge problems happening in the community.

This study is aimed to know the proportions of patients with hypertension in renal hypertension polyclinic at haji adam malik general hospital is having sensory-neural type hearing disturbance.

This is descriptive study with cross sectional design done on 100 samples. Samples are patient from renal hypertension polyclinic at haji adam malik general hospital who is suffering from hypertension. Hearing examination is done on each sample to determine type of hearing disturbance. The result obtained is sample proportion of those having sensory-neural type hearing disturbance. Data is then presented and analyzed in tabular from.

The proportion of patiens with hypertension who is experiencing hearing disturbance is 78% and those without hearing disturbance is 22 % . the proportion of patiens with hypertension who is experiencingg conductive type hearing disturbance is 37,2 % , those with sensory-neural type hearing disturbance as much as 59%, and those with mixed type as much as 3,8% .

(54)

PROPORSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA PASIEN HIPERTENSI DI POLI GINJAL HIPERTENSI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

Oleh :

AYU ZULHAFNI LUBIS 100100024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(55)

PROPORSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA PASIEN HIPERTENSI DI POLI GINJAL HIPERTENSI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

AYU ZULHAFNI LUBIS 100100024

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Gambar

Tabel 3.1. Klasifikasi Tekanan Darah
Tabel 3.2. Intepretasi Pemeriksaan Rinne dan Weber
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan
Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Sampel yang Mengalami Gangguan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil uji coba yang dilakukan, alat timer &amp; clock dengan tampilan digital menggunakan AT89S51 dapat bekerja sesuai yang diharapkan ketika tombol saklar 2 ditekan maka

Pada hari ini Kamis tanggal Tigabelas bulan Oktober tahun dua ribu enam belas, mulai pukul 09.00 s/d 11.00 waktu server LPSE (10.00 s/d 12.00 WITA) bertempat di

Nama Prosiding : Prosiding Senlinar Nasional &#34; Peran Orang Tua DalalTI Perlindungan Anak Untuk Menlbentuk J&lt;.arakter Generasi Z&#34;.. Jumlah halaman

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 dan Dokumen Pengadaan, apabila ada hal-hal yang dianggap kurang memuaskan atau ada kejanggalan dalam proses pemilihan

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga buku Prosiding Seminar Nasional dengan telna

[r]

Judul Penelitian : PENGARUH LArrIHAN BEBAN DENGAN meャセode seセイ sysセイem TERI1ADAP PENAMBAIIAN beraセイ BADAN DAN PERSENrrASE

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, negosiasi teknis dan harga serta verifikasi dokumen kualifikasi oleh Kelompok Kerja Khusus Pengadaan