Lampiran 1
RIWAYAT HIDUP PENELITI (Curriculum Vitae)
Nama : Ayu Zulhafni Lubis
Tempat/ tanggal lahir : Medan, 28 Agustus 1993
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bajak II Pasar VII, gg sekolah No. 308
Marendal-Medan, Sumatera Utara
Nomor Telepon : 085761104573
Orang Tua : Ayah : Zulkifli Lubis, SH
Ibu : Zainab Nasution, SE, MH
Riwayat Pendidikan : TK Swasta RIZA (1997 – 1998) SD Negeri 060812 (1998 – 2004) SMP Negeri 34 Medan (2004 – 2007) SMA Negeri 10 Medan(2007 – 2010)
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN PENELITIAN
Dengan hormat,
Saya, Ayu Zulhafni Lubis, adalah seorang mahasiswi di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) angkatan tahun 2010. Saat ini
saya sedang melakukan penelitian dengan judul proporsi gangguan pendengaran
pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan.
Tujuan penelitian ini adalah unuk mengetahui berapa proporsi pasien
hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan yang menderita gangguan
pendengaran.
Untuk keperluan tersebut,saya memohon kesediaan anda untuk menjadi
partisipan dalam penelitian ini. Saya memohon kesediaan anda untuk bersedia
dilakukan pemeriksaan telinga atau tes pendengaran dengan menggunakakn
Garpu Tala. Jika anda bersedia, silahkan menandatangani lembar persertujuan ini
sebagai bukti sukarelawanan.
Identitas pribadi anda sebagai partisipan akan disamarkan, kerahasiaan
data anda akan dijamin sepenuhnya, dan semua informasi yang anda berikan
hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Bila terdapat hal yang kurang
dimengerti, anda dapat bertanya langsung kepada saya atau dapat menghubungi
saya di nomor 085761104573.
Demikian informasi ini saya sampaikan, atas bantuan, partisipasi dan kesediaan
waktu anda,saya ucapkan terimakasih.
Hormat Saya,
Peneliti,
Lampiran 5
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN PENELITIAN (INFORM CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ...
Umur : ... tahun
Jenis kelamin : laki-laki/perempuan
Alamat :...
TD : .../...
Lama Menderita : ...
Setelah mendapat keterangan dan penjelasanyang cukup dari peneliti secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menyatakan ‘BERSEDIA’ berpartisipasi menjadi sukarelawan dalam penelitian ini yang berjudul proporsi gangguan pendengaran pada pasien hipertensi pasien di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan yang menderita gangguan pendengaran.
Mengetahui, Menyatakan,
Peneliti, Responden,
(Rana Fathiyya Srg) (………)
79 rbg 35 tahun Perempuan > 10 Tahun 180/100 Sensori-neural
80 es 56 tahun Perempuan > 10 Tahun 180/80 Campuran
81 lhd 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/90 Sensori-neural
82 ppd 47 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 140/80 Konduktif
83 emy 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/70 Campuran
84 rs 35 tahun Laki-laki < 5 Tahun 120/80 Normal
85 nl 37 tahun Perempuan < 5 Tahun 120/70 Normal
86 cbs 45 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/90 Sensori-neural
87 it 48 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 160/80 Sensori-neural
88 sw 33 tahun Perempuan > 10 Tahun 140/70 Konduktif
89 ebs 45 tahun Perempuan > 10 Tahun 130/80 Konduktif
90 asi 34 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/90 Sensori-neural
91 bjm 55 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 110/80 Normal
92 lbt 47 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/80 Konduktif
93 tpe 47 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 180/70 Sensori-neural
94 pdu 35 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 160/80 Sensori-neural
95 sbsi 35 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 140/70 Konduktif
96 npt 48 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 180/80 Sensori-neural
97 fe 50 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 130/80 Konduktif
98 ras 31 tahun Laki-laki 5 - 10 Tahun 130/70 Konduktif
99 dis 34 tahun Perempuan 5 - 10 Tahun 150/80 Konduktif
Lampiran 7
Hasil Output SPSS
jeniskelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 38 38.0 38.0 38.0
perempuan 62 62.0 62.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
umur
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 21-30 21 21.0 21.0 21.0
31-40 27 27.0 27.0 48.0
41-50 36 36.0 36.0 84.0
51-60 16 16.0 16.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
lama
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid < 5 tahun 11 11.0 11.0 11.0
5 - 10 tahun 69 69.0 69.0 80.0
> 10 tahun 20 20.0 20.0 100.0
jenisgangguan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative konduktif sensori-neural campuran normal
umur 21-30 7 5 0 9 21 konduktif sensori-neural campuran normal
lama < 5 tahun 1 2 0 8 11
5 - 10 tahun 22 33 2 12 69
> 10 tahun 6 11 1 2 20
DAFTAR PUSTAKA
American Speech-Language-Hearing Association. Type, Degree, and Configuration of Hearing loss. Audiology Information Series. ASHA 2011 7976-16
Bainbridge, K.E., Hoffman, H.J., Cowie, C.C., 2008. Diabetes and Hearing
Impairment in the United States: Audiometric Evidence from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999 to 2004. Annals of Internal Medicine 149 (1) : 1
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I.A., 2005.
Kardiologi:Lecture Notes. ed 4. Jakarta : Penerbit Erlangga, 57-69.
Guyton, Arthur C. & Hall, John E. Editor bahasa Indonesia : Irawati
Setiawan.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.9. Jakarta. EGC, 1018-1055.
Hanifa, Anggie. 2011. Prevalensi Hipertensi Sebagai Penyebab Penyakit Ginjal
Kronik Di Unit Hemodialisis RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2009. Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Kumar, Parveen ; Clark, Michael. 2005. Kumar & Clark : Clinical Medicine .
Sixth edition.Saunders Ltd.
Maqbool, M., 2000. Deafness: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 9th
Metsler,Ina; Tahera, Yeasmin; Simpson, Evan ; et al. Estrogen receptor ß protects
against acoustic trauma in mice. 2008. The Journal of Clinical Investigations, vol 118.
Mondelli, Maria F Capoani ; Lopes, Andrea C. Relation between hypertension
and hearing loss. 2009. Intl. Arch. Otorhinolaryngol.,São Paulo, v.13, n.1, p. 63-68.
Netter, Frank H. 2010. Atlas Of Human Anatomy. 5th edition. United States of
America.Saunder Elsevier, 268.
Santoso, Sugeng ; Muyassaroh. 2012. Kurang pendengaran sensorineural pada
lansia dengan dan tanpa hipertensi. Bagian/SMF ilmu kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Med Hosp 2012; Vol 1(1) :
16-19.
Sherwood, Lauralee. Alih bahasa Brahm U. Pendit. 2001. Fisiologi Manusia dari
sel kesistem. Edisi 2. Jakarta. EGC, 551-563.
Sigsbee W, Duck, MD ; Jiri Prazma, MD, et al. 1997. Interaction Between
Hypertension and Diabetes Mellitus in the Pathogenesis of Sensorineural Hearing Loss. The Laryiigoscope Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia. 107:1696-1605,199.
Supramaniam, Sukganti. 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa
SMA Swasta Raksana di Kota Medan Tahun 2010. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Suryaatmaja,Oppy. 2012. Preeklampsia sebagai salah satu factor risiko terhadap
Kesehatan Telinga, hidung dan tenggorok. Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada.
Tortora, G.J. & Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
12th edition. Volume 2. John Wiley and Sons, Inc, 937-942.
Tripena, Nenny. 2011. Karakteristik Penderita Hipertensi Rawat Inap di Rumah
Sakit Bhayangkara Medan Tahun 2008-2010. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yathavan, Sugumar. 2011. Gambaran Etiologi Gangguan Pendengaran Di
RSUP. H. Adam Malik, Medan Dari Periode 1 Januari - 31 Desember 2009. Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,
Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., 2006. Buku Ajar Penyakit Ilmu
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
3.2. Variabel dan Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Penelitian
a. Penderita hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan
b. Gangguan pendengaran
3.2.2. Definisi Operasional
a) Penderita hipertensi
Definisi : Pasien yang datang ke poli ginjal hipertensi dengan
diagnosa hipertensi atau yang memiliki tekanan darah sistol diatas
140 mmHg dan tekanan darah diastol diatas 90 mmHg.
Cara Ukur : Tekanan darah pasien diukur dengan menggunakan
spigmomanometer kemudian hasil tekanan darah yang diukur
dicatat.
Alat Ukur : Spigmomanometer
Kategori : Menurut The Seventh Report of The Joint National
High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 >160 > 100
Tabel 3.1. Klasifikasi Tekanan Darah
Skala : Ordinal
b) Gangguan pendengaran
Definisi : Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total
atau parsial untuk mendengar suara di salah satu atau kedua
telinga.
Cara ukur : Terdapat 3 jenis pemeriksaan yaitu:
a. Tes Rinne
Intepretasi :
- Rinne positif artinya telinga normal atau dapat juga tuli
sensori-neural
- Rinne negatif artinya tuli konduktif
- Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya
pada telinga kanan lebih hebat.
- Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
- Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah
kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.
Secara ringkas, intepretasinya pemeriksaan Rinne dan Weber
berupa :
Tabel 3.2. Intepretasi Pemeriksaan Rinne dan Weber
c. Tes Berbisik
Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa
dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam
meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 - 6/6.
Alat ukur : Garpu tala 512 Hz
Kategori : Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi tiga
kategori utama yaitu gangguan pendengaran konduktif, gangguan
pendengaran sensori-neural dan gangguan pendengaran campuran.
Skala : Ordinal
Definisi : Persentase penderita hipertensi yang mengalami
gangguan pendengaran sensori-neural
Cara Ukur : Nilai proporsi diukur dengan cara membagikan jumlah
penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran
sensori-neural dengan total seluruh penderita hipertensi kemudian
dikali seratus persen
d) Jenis kelamin sampel
Definisi : Jenis kelamin penderita hipertensi yang berobat ke poli
ginjal hipertensi RSUP HAM yang dijadikan sampel
Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien
Kategori : Laki-laki atau perempuan
Skala : Nominal
e) Umur Sampel
Definisi : Umur penderita hipertensi yang berobat ke poli ginjal
hipertensi RSUP HAM yang dijadikan sampel
Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien
Kategori : Umur 21-30 Tahun, Umur 31-40 Tahun, Umur 41-50
Tahun, atau Umur 51-60 Tahun
Skala : Ordinal
f) Lama menderita hipertensi
Definisi : Berapa lama sejak sampel didiagnosis menderita
hipertensi sampai saat dilakukan pencatatan data.
Cara Ukur : Anamanesis atau rekam medis pasien
Kategori : < 5 Tahun, 5-10 Tahun atau > 10 Tahun
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan
desain cross sectional untuk mengetahui proporsi gangguan pendengaran pada
pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP HAM Medan.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2013. Lokasi
penelitian ini adalah di Poli ginjal klinik hipertensi RSUP Haji Adam Malik
Medan. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah dikarenakan RSUP Haji
Adam Malik merupakan rumah sakit umum yang menjadi tempat rujukan di
kota Medan, dimana kasus hipertensi dan gangguan pendengaran banyak
ditemukan.
4.3. Populasi dan sampel 4.3.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi yang
datang berobat ke poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik pada
tahun 2013 dan bersedia menjadi sampel.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel yang dipilih
berdasarkan counsecutive sampling, (penarikan sampel dengan tehnik
ini berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan berdasarkan teori
dan pertimbangan para ahli). Rumus yang digunakan adalah:
(Wahyuni, 2008)
n = zα2PQ
Keterangan:
n : Besar sampel
zα : Tingkat kepercayaan yang dikehendaki (95 % = 1,96)
P : Proporsi atau keadaan yang akan dicari
Q : 1 – P
d : Tingkat ketepatan yang diinginkan
n = (1.96)2 X (0.377) X (1 - 0.377) = 90,22
(0.1)2
Berdasarkan rumus diatas, dengan tingkat ketepatan 10 %, proporsi
sebelumnya 37,7 % (dipergunakan P = 0.377) dari penelitian Santosa
dan Muyassaroh(2012) didapatkan jumlah sampel sebanyak 90,22 .
Untuk itu peneliti akan mengambil sampel sebanyak 100 orang untuk
mempermudah perhitungan dan analisis data.
4.3.3. Kriteria Inklusi
Pasien Hipertensi yang berobat ke Poli Ginjal Hipertensi yang bersedia
menjadi sampel
4.3.4. Kriteria Eksklusi
1. Pasien Hipertensi dengan gangguan pendengaran konduktif
2. Pasien Hipertensi dengan riwayat konsumsi obat-obatan ototoksik
3. Pasien Hipertensi yang menderita presbikusis
4. Pasien berumur diatas 60 tahun
4.4. Teknik Pengumpulan Data 4.4.1. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien hipertensi yang
Medan. Sebelum pengambilan data, dilakukan persiapan berupa
pengurusan izin meneliti ke RSUP Haji Adam Malik. Kemudian
dipersiapkan informed consent bagi pasien yang akan dijadikan
sampel.
Data mengenai nama, jenis kelamin, umur dan lama mengidap
penyakit hipertensi, dilihat dari status pasien. Setelah dijelaskan
mengenai prosedur penelitian kepada pasien dan pasien setuju untuk
menjadi sampel penelitian, maka pasien diminta untuk
menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan
langsung terhadap pasien menggunakan garpu tala. Pemeriksaan yang
dilakukan pada pasien berupa tes Rinne dan tes Weber untuk menilai
ada atau tidak gangguan pendengaran. Akhirnya, data yang diperoleh
tersebut dicatat sesuai dengan yang didapat.
4.4.2. Instrumen Penelitian
Instrumen dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah garpu
tala 512 Hz.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisa secara deskriptif
dengan menggunakan komputerisasi. Data yang telah dianalisis akan
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik merupakan suatu unit pelayanan kesehatan di Kota Medan yang
berlokasi di Jl. Bungalau No 17, Medan Sumatera Utara. RSUP Haji Adam
Malik Medan dipilih sebagai lokasi penelitian karena rumah sakit tersebut
merupakan rumah sakit pusat rujukan, sehingga diharapkan banyak ditemukan
kasus gangguan pendengaran pada pasien hipertensi yang berobat kerumah
sakit tersebut.
5.1.2. Deskripsi Sampel
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh data – data
sampel yang dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel seperti yang
diuraikan dibawah ini:
Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur dan Lama Menderita Hipertensi
Total 100 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sampel berjenis kelamin
laki-laki berjumlah 38 orang ( 38%) dan sampel berjenis kelamin perempuan
berjumlah 62 orang (62%). Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sampel
yang berusia 21-30 tahun sebanyak 21 orang (21%), sampel yang berusia 31-40
tahun sebanyak 27 orang (27%), sampel yang berusia 41 – 50 tahun sebanyak 36
orang (36%) dan sampel yang berusia 51 – 60 tahun sebanyak 16 orang (16%).
Berdasarkan lama menderita hipertensi, sampel yang menderita hipertensi kurang
dari 5 tahun sebanyak 11 orang (11%), sampel yang menderita hipertensi selama
5-10 tahun sebanyak 69 orang (69%) dan sampel yang menderita hipertensi
selama lebih dari 10 tahun sebanyak 20 orang (20%).
5.1.3. Hasil Analisis Data
Dari hasil pengumpulan data dan pemeriksaan gangguan pendengaran pada
sampel yang menderita hipertensi di poli ginjal RSUP Haji Adam Malik medan,
didapati bahwa dari 100 sampel yang menderita hipertensi, 78 orang (78%)
mengalami gangguan pendengaran dan 22 orang (22%) tidak mengalami
gangguan pendengaran.
5.1.3.1.Distribusi Jenis Kelamin Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Tabel 5.2. Distribusi Jenis Kelamin Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Jenis Kelamin Gangguan Pendengaran Jumlah sampel Persentase (%)
Laki-Laki 27 34,6
Perempuan 51 65,4
Total 78 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa sampel berjenis kelamin laki-laki yang
mengalami gangguan pendengaran sebanyak 27 orang (34,6%) dan sampel
perempuan yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 51 orang (65,4%).
5.1.3.2. Distribusi Umur Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran
78 22
Penderita Hipertensi
gangguan pendengaran 78%
Tabel 5.3. Distribusi Umur Sampel yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa sampel berusia 21-30
tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 12 orang (15,4%),
sampel berusia 31-40 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak
21 orang (26,9%), sampel berusia 41 – 50 tahun yang mengalami gangguan
pendengaran sebanyak 31 orang (39,7%) dan sampel berusia 51 – 60 tahun
yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 14 orang (17,9%).
5.1.3.3. Distribusi Lama Sampel menderita Hipertensi yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Berdasarkan data yang didapatkan, dilakukan pengelompokkan sampel
yang mengalami gangguan pendengaran berdasarkan lama menderita
hipertensi. Distribusi sampel yang mengalami gangguan pendengaran
berdasarkan lama sampel tersebut menderita hipertensi dapat dilihat pada tabel
5.4.
Tabel 5.4. Distribusi Lama Sampel menderita Hipertensi yang Mengalami Gangguan Pendengaran
Lama Menderita Jumlah sampel Persentase (%)
< 5 Tahun 3 3,8
5-10 Tahun 57 73,1
> 10 Tahun 18 23,1
Total 78 100.0
Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa sampel yang menderita hipertensi
kurang dari 5 tahun sebanyak 3 orang (3,8%) mengalami gangguan
Umur Jumlah sampel Persentase (%)
21 – 30 12 15,4
31 – 40 21 26,9
41 – 50 31 39,7
51 – 60 14 17,9
pendengaran, sampel yang menderita hipertensi selama 5-10 tahun sebanyak
57 orang (73,1%) mengalami gangguan pendengaran dan sampel yang
menderita hipertensi selama lebih dari 10 tahun sebanyak 18 orang (23,1%)
mengalami gangguan pendengaran.
5.1.3.4. Distribusi Sampel berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran
Tabel 5.5. Distribusi Sampel berdasarkan Jenis Gangguan Pendengaran
Jenis Jlh sampel Persentase (%)
Konduktif 29 37,2
Sensori-neural 46 59
Campuran 3 3,8
Total 78 100.0
Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa sampel yang mengalami
gangguan pendengaran jenis konduktif sebanyak 29 orang (37,2%), sampel
yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori neural sebanyak 46
orang (59%) dan sampel yang mengalami gangguan pendengaran jenis
campuran sebanyak 3 orang (3,8%).
5.1.3.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur dan Jenis Gangguan Pendengaran
Berdasarkan data yang didapatkan, dilakukan pengelompokkan sampel
berdasarkan jenis gangguan pendengaran dan umur sampel.
Tabel 5.6. Distribusi Sampel berdasarkan Umur dan Jenis Kondutif Sensori Neural Campuran
21 – 30 7 5 0 12
31 – 40 9 12 0 21
41 – 50 10 20 1 31
Total 29 46 3 78
Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif
dialami oleh paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun, yaitu sebanyak 10
orang (34,5%) dan dialami paling sedikiti oleh sampel berumur 51 – 60, yaitu
sebanyak 3 orang (10,3%) . Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami
paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun yaitu sebanyak 20 orang
(43,5%), diikuti dengan sample yang berumur 31-40 tahun yaitu sebanyak 12
orang (26,1%), diikuti lagi dengan sampel yang berumur 51-60 tahun yaitu
sebanyak 9 orang (19,6%) dan dialami paling sedikit oleh sampel 21-30 tahun
yaitu sebanyak 5 orang (10,9%). Gangguan pendengaran jenis campuran dialami
paling banyak oleh sampel berumur 51 – 60 tahun, yaitu sebanyak 2 orang
(66,7%) dan tidak dialami oleh sampel berumur kurang dari 40 tahun.
5.1.3.6. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Menderita Hipertensi dan Jenis Gangguan Pendengaran
Tabel 5.7. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Menderita Hipertensi dan Jenis Gangguan Pendengaran Kondutif Sensori Neural Campuran
< 5 tahun 1 2 0 3
5 – 10 tahun 22 33 2 57
> 10 tahun 6 11 1 18
Total 29 46 3 78
Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif
dialami paling banyak oleh sampel dengan lama menderita hipertensi 5-10 tahun
yaitu sebanyak 22 orang (75,9%). Gangguan pendengaran jenis sensori-neural
dialami paling banyak oleh sampel dengan lama menderita hipertensi 5-10 tahun
yaitu sebanyak 33 orang (71,7%) dikuti dengan sample yang menderita hipertensi
sampel dengan lama menderita hipertensi adalah <5 tahun yaitu sebanyak 2 orang
(4,3%). Gangguan pendengaran jenis campuran dialami paling banyak oleh
sampel yang menderita hipertensi selama 5- 10 tahun yaitu sebanyak 2 orang
(66,7%).
5. 2. Pembahasan
Hipertensi diduga sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan
terjadinya gangguan pendengraran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso
dan Muyassaroh (2012), dikemukakan bahwa hipertensi mempunyai risiko
terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural yang lebih besar dibandingkan
normotensi.
Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin sampel yang lebih banyak
mengalami gangguan pendengaran adalah perempuan (51%), hal ini berbeda
dengan pendapat Metsler (2008), dimana gangguan pendengaran kurang terjadi
pada perempuan karena adanya hormon estradiol yang bekerja melalui reseptor
estrogen beta yang dapat memelihara sistem auditori dari trauma. Perbedaan ini
mungkin disebabkan karena mayoritas sampel berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan data umur penderita hipertensi
yang banyak mengalami gangguan pendengaran seperti yang bisa diliht di tabel
5.3. Sampel berusia 21-30 tahun yang mengalami gangguan pendengaran
sebanyak 12 orang (15,4%), sampel berusia 31-40 tahun yang mengalami
gangguan pendengaran sebanyak 21 orang (26,9%), sampel berusia 41 – 50 tahun
yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 31 orang (39,7%) dan sampel
berusia 51 – 60 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 14 orang
(17,9%). Dapat disimpulkan bahwa penderita hipertensi yang berumur diantar 41
tahun sampai 50 tahun merupakan yang terbanyak mengalami gangguan
pendengaran.
Kemudian Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa gangguan
pendengaran jenis konduktif dialami oleh paling banyak oleh sampel berumur 41
berumur 51 – 60, yaitu sebanyak 3 orang . Gangguan pendengaran jenis
sensori-neural dialami paling banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun, yaitu sebanyak
20 orang dan dialami paling sedikiti oleh sampel berumur 21 – 30, yaitu sebanyak
5 orang. Gangguan pendengaran jenis campuran dialami paling banyak oleh
sampel berumur 51 – 60 tahun, yaitu sebanyak 2 orang dan tidak dialami oleh
sampel berumur kurang dari 40 tahun. Dapat disimpulkan bahwa gangguan
pendengaran jenis sensori- neural paling banyak dialami oleh sampel dengan usia
41 tahun sampai 50 tahun. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh degeneratif
umur yang sudah tua, sehingga mengganggu fungsi organ pendengaran dan
bertambahnya proses aterosklerosis pada usia tua .Hal tersebut juga dihubungkan
dengan pendapat Menurut duck, et al (1997), hipertensi menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel-sel rambut koklea organ pendengaran. Kerusakan sel-sel
rambut koklea ini disebabkan oleh proses arteriosklerosis vaskuler telinga dalam.
Lama seseorang menderita hipertensi juga turut mempengaruhi terjadinya
gangguan pendengaran,seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.4. Berdasarkan
tabel 5.4 dapat dilihat bahwa sampel yang menderita hipertensi kurang dari 5
tahun sebanyak 3 orang (3,8%) mengalami gangguan pendengaran, sampel yang
menderita hipertensi selama 5-10 tahun sebanyak 57 orang (73,1%) mengalami
gangguan pendengaran dan sampel yang menderita hipertensi selama lebih dari 10
tahun sebanyak 18 orang (23,1%) mengalami gangguan pendengaran.
Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa gangguan pendengaran jenis konduktif,
sensori-neural dan campuran dialami oleh paling banyak oleh sampel yang
menderita hipertensi selama 5- 10 tahun dan paling sedikit dijumpai pada sampel
yang menderita hipertensi kurang dari 5 tahun. Terjadinya gangguan pendengaran
sensori-neural pada pasien yang menderita hipertensi dalam jangka waktu lama
mungkin disebabkan oleh gangguan mikrosirkulasi dan iskemia pada vaskularisasi
telinga dalam. Sesuai yang dikemukakan oleh suryaatmaja (2012), Telinga dalam
yang mendapatkan vaskularisasi end artery sangat rentan terhadap efek dari
vasospasme dan iskemia. Suplai darah koklea yang normal sangat penting untuk
proses depolarisasi dan repolarisasi selrambut, Jika jaringan kapiler pada stria
kalium menjadi minimal. Dengan demikian iskemia koklea diikuti penurunan
fungsi koklea secara dramatis dalam beberapa detik. Dalam jangka panjang, suplai
darah kaya oksigen yang tidak adekuat akan mengganggu fungsi koklea
Dari seluruh data dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa
terjadinya hipertensi merupakan penyebab gangguan pendengaran jenis
sensori-neural. Terjadinya gangguan pendengaran jenis sensori-neural pada penderita
hipertensi juga dipengaruhi oleh umur dan lama nya pasien tersebut menderita
hipertensi. Mekanisme terjadinya gangguan pendengaran jensi sensori-neural pada
pasien hipertensi sendiri masih banyak diperdebatkan, beberapa diantaranya
mengemukakan bahwa hipertensi menyebabkan kerusakan saraf pada organ
pendengaran dan gangguan vaskularisasi, Penelitian terkait oleh Mondelli dan
Lopes (2009) menyatakan bahwa terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural
pada pasien hipertensi adalah akibat ganguan pada mikrosirkulasi organ
pendengaran oleh karena emboli, hemoragik dan vasospasme pembuluh darah.
Selain hipertensi, masih banyak penyakit sistemik penyebab terjadinya
gangguan pendengaran, misalnya saja diabetes meilitus, seperti yang
dikemukakan oleh Bainbridge (2008) pada penelitian nya bahwa penderita
diabetes mellitus mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan
pendengaran berbanding yang non diabetes. Dimana gangguan pendengaran jenis
sensorineural lebih banyak dialami oleh penderita diabetes mellitus dibandingkan
jenis konduktif. Ini diduga karena adanya masalah perubahan patologi pada
sistem vestibular dan sistem neural telinga dalam, sehingga gangguan
pendengaran sensorineural terjadi. Oleh karena itu masih perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut bagaimana pengaruh diabetes meilitus itu sendiri terhadap
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan uraian dari pembahasan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Proporsi penderita hipertensi di Poli Ginjal Hipertensi yang
mengalami gangguan pendengaran adalah 78%. Proporsi
penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran
jenis sensori neural dan campuran adalah 49%.
2. Distribusi frekuensi pasien yang mengalami gangguan
pendengaran jenis sensori neural adalah 59%, gangguan
pendengaran jenis konduktif adalah 37,2%, dan gangguan
pendengaran jenis campuran adalah 3,8%
3. Gangguan pendengaran lebih banyak dialami oleh sampel
berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 65,4%, sedangkan
sampel berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit yaitu sebesar
34,6%.
4. Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami paling
banyak oleh sampel berumur 41 – 50 tahun yaitu sebesar 43,5%,
diikuti dengan sample yang berumur 31-40 tahun yaitu sebesar
26,1%, diikuti lagi dengan sampel yang berumur 51-60 tahun
yaitu sebesar 19,6%, dan dialami paling sedikit oleh sampel
21-30 tahun yaitu sebesar 10,9%.
5. Gangguan pendengaran jenis sensori-neural dialami paling
banyak oleh sampel yang menderita hipertensi selama 5-10 tahun
yaitu sebesar 71,7% ,dikuti dengan sample yang menderita
hipertensi selama >10 tahun, yaitu sebesar 23,9% dan paling
sedikit oleh sampel dengan lama menderita hipertensi adalah <5
6.2. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan peneliti setelah melakukan
penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek hipertensi
terhadap organ pendengaran dengan menggunakan jumlah
sampel yang lebih banyak dan alat-alat yang lebih baik seperti
audiometri sehingga didapati hasil yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
penyakit-penyakit sistemik lain yang dapat menyebabkan gangguan
pendengaran, baik jenis konduktif, sensori-neural maupun
konduktif
3. Diharapkan pihak rumah sakit,khusunya RSUPHAM Medan
untuk memberikan protap agar pasien atau masyarakat sekitar
mengetahui tentang adanya kemungkinan penderita hipertensi
dapat mengalami gangguan pendengaran sehingga masyarakat
BAB 2
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan
dipisahkan dari telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk
membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan
dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat
di depan meatus auditorius eksternus terdapat sendi temporal mandibular.
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga
lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua
pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius
eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung
kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin
yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan
perlindungan bagi kulit (Kumar dan Clark, 2005).
B. Telinga Tengah
Bagian atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian
bawah pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapisan lagi di
tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.
Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun
telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membrana timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius
termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga
tengah (Sherwood, 2001).
Gambar 2.1. Anatomi telinga Sumber : Netter, 2010
C. Telinga Dalam
Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua lapisan oleh suatu sekat. Bagian
spiralis membranasea.Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu skala
vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea yang
disebut helikotrema.
Skala vestibuli berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir
pada foramen rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea
kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut membrana
Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala media (duktus koklearis).
Duktus koklearis berbentuk segitiga, dihubungkan dengan labirin tulang oleh
jaringan ikat penyambung periosteal dan mengandung end organ dari nervus
koklearis dan organ Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan
perantaraan duktus Reuniens.
Organ Corti terletak di atas membrana basilaris yang mengandung
organel-organel yang penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ
Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000 sel dan
tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000 sel. Sel-sel ini menggantung
lewat lubang-lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk
oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung
bawah sel rambut. Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat
pada suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana
Gambar 2.2. Koklea Sumber : Netter, 2010
2.1.2. Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga
dan mengenai membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran
ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan
perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner
yang mendorong endolimfe dan membrana basalis ke arah bawah. Perilimfe
dalam skala timpani akan bergerak sehingga foramen rotundum terdorong ke arah
luar. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang
berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu.
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan
terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus. Rangsangan
fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya perbedaan ion Natrium
dan Kalium yang diteruskan ke cabang-cabang nervus vestibulokoklearis.
Kemudian meneruskan rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak
melalui saraf pusat yang ada di lobus temporalis (Sherwood, 2001).
2.2. Gangguan Pendengaran 2.2.1. Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan total atau parsial untuk
mendengar suara di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran diukur
dengan jumlah tingkat ketulian yang disebut desibel (dB). Saat volume suara
meningkat, jumlah desibel ikut meningkat. Percakapan normal biasanya antara
45-55 dB.
Menurut World Health Organization (WHO), gangguan pendengaran
adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan
pendengaran di satu atau kedua telinga. Menurut Weber et al. (2009) dalam
Yathavan (2011), gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan
dalam kemampuan seseorang untuk membedakan suara.
2.2.2. Epidemiologi
Menurut laporan Global Burden of Disease (GBD), estimasi penderita
gangguan pendengaran derajat sedang di dunia pada tahun 2004 berjumlah 360,8
juta orang, dan jumlah penderita gangguan pendengaran derajat berat di dunia
diperkirakan sebanyak 275,7 juta orang. Daerah Asia Tenggara mempunyai
distribusi tertinggi penderita gangguan pendengaran dengan estimasi penderita
sebanyak 178,3 juta orang, diikuti daerah Pasifik Barat (159,2 juta orang), Eropa
(120,3 juta orang), Amerika (76,7 juta orang), Afrika (56,2 juta orang), dan
Estimasi penderita gangguan pendengaran derajat sedang di Asia Tenggara
pada tahun 2004 berjumlah 88,5 juta orang, dan jumlah penderita gangguan
pendengaran derajat berat di Asia Tenggara diperkirakan sebanyak 89,8 juta
orang. (GBD, 2004). Prevalensi kasus gangguan pendengaran di Indonesia
dijumpai sebanyak 4,6%, dengan estimasi penderita gangguan pendengaran
sebanyak 9,6 juta orang. Indonesia mempunyai kasus gangguan pendengaran yang
kedua tertinggi di Asia Tenggara selepas India (630 juta penderita) (WHO, 2001).
2.2.3. Etiologi
Kehilangan pendengaran dapat konduktif (karena kesalahan transmisi
gelombang suara) atau sensorineural (penerimaan suara yang rusak oleh sel saraf),
atau keduanya. Penyebab umum gangguan pendengaran konduktif adalah laluan
telinga terblokir akibat sumbatan kotoran, gendang telinga berlubang, atau adanya
cairan di telinga. Penyebab umum untuk tuli sensorineural adalah paparan
kebisingan, perubahan yang berkaitan dengan usia, dan obat-obatan ototoksik
(yang merusak pendengaran).
2.2.4. Klasifikasi
Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi:
a. Gangguan pendengaran konduktif
Terjadi karena masalah mekanis di telinga luar atau tengah yang
mengakibatkan gelombang suara tidak secara adekuat dihantarkan.
Tiga tulang kecil di telinga tidak dapat metranportasi suara dengan
benar, atau mungkin gendang telinga tidak bergetar sebagai respons
terhadap suara. Adanya cairan di telinga tengah juga dapat
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif (Sherwood, 2001).
b. Gangguan pendengaran sensori-neural
Pada tuli sensori-neural, gelombang suara disalurkan ke telinga dalam,
tetapi gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf
terletak pada organ corti,saraf auditorius, jalur auditorius asendens atau
pada korteks auditorius itu sendiri (Sherwood, 2001).
c. Gangguan pendengaran campuran
Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran
jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensori-neural.
Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis konduktif, kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensori-neural, dapat pula
sebaliknya, dan dapat juga terjadi bersama-sama (Lassman, 1997
dalam Sukgandi, 2010). Menurut American Speech-Language Hearing
Association (ASHA) tahun 2011, gangguan pendengaran jenis campuran terjadi akibat kerusakan pada telinga luar atau telinga tengah
dan telinga dalam atau saraf pendengaran.
2.2.5. Diagnosis
Pemeriksaan dan diagnosis gangguan pendengaran meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga, tes-tes pendengaran, yaitu tes berbisik, tes
garputala dan tes audiometri serta melalui pemeriksaan-pemeriksaan penunjang
lain.
Pada anamnesis, pasien ditanya saat kapan dan sewaktu aktivitas apa
gangguan tersebut dialami. Kemudian dilakukan pula pemeriksaan telinga dengan
menggunakan auriskop atau otoskop, yaitu sebuah lampu suluh yg kecil, yang
digunakan untuk melihat ke dalam telinga pasien. Menggunakan alat ini, akan
dapat dilihat apakah ada terdapat cairan yang keluar dari dalam telinga,
pembangkakkan gendang telinga, sumbatan di dalam telinga disebabkan cairan
atau benda asing, atau terakhir sekali terdapat lubang pada gendang telinga
(Supramaniam, 2011).
Beberapa jenis pemeriksaan tambahan lain yang dilakukan untuk
mendiagnosis gangguan pendengaran :
A. Pemeriksaan Garpu Tala
Pada pemeriksaan garpu tala, terdapat beberapa jenis pemeriksaan
a. Tes Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara
hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2
macam tes rinne , yaitu;
i. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid
pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien
tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan
didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif
jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya
ii. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum
mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus
akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras
dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum
mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan
maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne
negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus
eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
Ada 2 interpretasi dari hasil tes Rinne yaitu normal apabila tes Rinne
positif, tuli konduksi apabila tes Rinne negatif (getaran dapat didengar
melalui tulang lebih lama).
b. Tes Weber
Tujuan dilakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran
tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan tes Weber adalah
membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya diletakkan tegak
lurus pada garis horizontal kepala. Menurut pasien, telinga mana yang
atau mendengar lebih keras ke arah 1 telinga maka terjadi lateralisasi
ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar
atau sam-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi.
Interpretasinya:
i. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan
disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan
dan kiri sama kerasnya.
ii. Pada lateralisasi ke kanan terdapat kemungkinannya:
- Tuli konduktif sebelah kanan, misal adanya ototis
media disebelah kanan.
- Tuli konduktif pada kedua telinga, tetapi gangguannya
pada telinga kanan lebih hebat.
- Tuli sensori-neural sebelah kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
- Tuli sensori-neural pada kedua telinga, tetapi sebelah
kiri lebih hebat dari pada sebelah kanan.
B. Tes Berbisik
Tes berbisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara
bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu.
Telinga yang tidak diperiksa ditutup dan orang yang diperiksa tidak boleh
melihat pemeriksa Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara
pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih dapat didengar enam
meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6 - 6/6.
2.2.6. Penyakit Penyebab Gangguan Pendengaran
Penyakit telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural.
Tuli konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau telinga tengah.
Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah atresia liang telinga,
sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta dan osteoma liang telinga.
tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan
dislokasi tulang pendengaran.
Tuli sensorineural dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.
Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirintitis (oleh
bakteri atau virus) dan intoksikasi obat (streptomisin, kanamisin, garamisin,
neomisin, kina, asetosal, atau alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli
mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan bising.
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut
pons serebelum, myeloma multiple, cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan
otak lainnya. Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut
akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal
koklea. Presbikusis ialah penurunan kemampuan mendengar pada usia lanjut.
Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak karena hematoma, sehingga
terjadi gangguan pendengaran (Maqbool, 2000).
2.3. Hipertensi 2.3.1. Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.
Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan
hipertensi sekunder (5-10%).
Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari
peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan
oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer
(sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler,
serta akibat obat (Yogiantoro, 2006).
2.3.2. Epidemiologi
Hipertensi lebih sering dijumpai pada laki-laki muda dibandingkan wanita
muda, pada orang berkulit gelap dibandingkan orang berkulit cerah, pada orang
Sampai saat inim data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari
Negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insidensi hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti
terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta
dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan
95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2006).
2.3.3. Klasifikasi
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7)
klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi:
Klasifikasi Tekanan
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 >160 > 100
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
2.3.4. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
(Yogiantoro, 2006) :
a. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,
ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.
Hipertensi primer biasanya timbul pada umur 30 – 50 tahun.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.
Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,
hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom
cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan, dan lain – lain.
2.3.5. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi
esensial antara lain (Gray, et al. 2005):
a. Curah jantung dan tahanan perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.
Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada
arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot
halus ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah
arteriol yang mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal
meningkatnya tahanan perifer yang irreversible.
b. Sistem Renin-Angiotensin
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem
endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi
oleh juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang
tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai
vasoconstriktor.
c. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting
dalam pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena
interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama –
sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa
hormon.
d. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi
endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.
e. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat
meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan
sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon
Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya
dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi.
f. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga
hipertensi dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin
lama akan semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat
dicegah dengan pemberian obat anti-hipertensi.
g. Disfungsi diastolik
Hipertrofi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat
ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan
tekanan atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel.
2.3.6. Gejala Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala
pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan darah,
gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi esensial
berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ
target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Hanifa, 2011).
Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi
mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini
menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang
bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya sakit
kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis, mudah
marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata
berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat
gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat menurunkan
jumlah morbiditas dan mortalitas (Hanifa, 2011).
2.3.7. Pengaruh Hipertensi Terhadap Pendengaran
Hipertensi diduga sebagai salah satu penyakit yang menyebabkan
terjadinya gangguan pendengraran. Pada penelitian yang dilakukan oleh Santoso
dan Muyassaroh (2012), dikemukakan bahwa hipertensi mempunyai risiko
terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural yang lebih besar dibandingkan
normotensi. Menurut Sigsbee, et al (1997), hipertensi menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel-sel rambut koklea organ pendengaran.Kerusakan sel-sel
rambut koklea ini disebabkan oleh proses arteriosklerosis vaskuler telinga dalam.
Penelitian terkait oleh Mondelli dan Lopes (2009) menyatakan bahwa
terjadinya gangguan pendengaran sensori-neural pada pasien hipertensi adalah
akibat ganguan pada mikrosirkulasi organ pendengaran oleh karena emboli,
hemoragik dan vasospasme pembuluh darah.
Telinga dalam yang mendapatkan vaskularisasi end artery sangat rentan
terhadap efek dari vasospasme dan iskemia. Suplai darah koklea yang normal
sangat penting untuk proses depolarisasi dan repolarisasi sel rambut, dimana
mekanisme energi suara diubah menjadi signal listrik yang diteruskan sepanjang
jalur saraf pendengaran hingga ke pusat saraf pendengaran. Jika jaringan kapiler
pada stria vaskularis tidak tersuplai darah, potensial endolimfatik akan turun,
sirkulasi kalium menjadi minimal. Dengan demikian iskemia koklea diikuti
penurunan fungsi koklea secara dramatis dalam beberapa detik. Dalam jangka
panjang, suplai darah kaya oksigen yang tidak adekuat akan mengganggu fungsi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah besar yang terjadi
di masyarakat. Data WHO pada tahun 2000 menunjukkan bahwa terdapat 250 juta
(4,2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran dan lebih kurang
setengahnya (75-140 juta) terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil "WHO Multi
Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%),
tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%).
Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan
Pendengaran pada tahun 1994-1996 juga menunjukan morbiditas yang tinggi,
yaitu penyakit telinga (18,5%), prevalensi gangguan pendengaran (16,8%),
sedangkan ketulian didapatkan pada (0,4%) populasi (Supramaniam, 2011).
Gangguan pendengaran dapat berupa gangguan konduktif, sensorineural
maupun campuran. Penyebab gangguan pendengaran bersifat multifaktor, seperti
penyakit telinga, kebisingan, obat-obatan ototoksik, dan lain-lain. Menurut
Sigsbee, et al (1997), hipertensi juga disebut-sebut sebagai salah satu penyakit
yang menyebabkan gangguan pendengaran.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah utama yang
dihadapi oleh orang dewasa di seluruh dunia. Prevalensi hipertensi terus
meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup seperti merokok, inaktifitas fisik
dan stres psikososial. Berdasarkan data WHO tahun 2000, sekitar 972 juta orang
atau 26,4% penduduk diseluruh dunia menderita hipertensi. Sebanyak 333 juta
(proporsi 34,26%) berada di negara maju dan 639 juta (65,74%) berada di negara
berkembang termasuk Indonesia. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia mengalami
peningkatan dari 96 per 1000 penduduk pada tahun 1995 menjadi 110 per 1000
penduduk pada tahun 2001. Prevalensi hipertensi pada golongan umur diatas 25
penelitian yang dilakukan Rasmaliah, dkk tahun 2004 diwilayah kerja Puskesmas
Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan diketahui bahwa angka kejadian
hipertensi pada masyarakat di atas usia 26 tahun adalah 26,4% dan penderita
hipertensi lebih banyak pada kelompok umur 45-60 tahun yaitu 30,8% (Tripena,
2011).
Hipertensi sebagai salah satu penyakit degeneratif merupakan faktor yang
sangat penting terhadap timbulnya berbagai gangguan pada organ-organ vital
tubuh, seperti jantung, ginjal dan otak. Perjalanan penyakit hipertensi sangat
perlahan. Penderita hipertensi mungkin tidak menunjukkan gejala selama
bertahun-tahun. Masa laten ini menyelubungi perkembangan penyakit sampai
terjadi kerusakan organ yang bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat
tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering
ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang. (Hanifa, 2011).
Hipertensi sering menimbulkan komplikasi seperti stroke, penyakit
jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada
kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung, serta dapat
berakibat kecacatan bahkan kematian (Tripena,2011). Pada organ pendengaran,
hipertensi diduga menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran berupa tuli
sensorineural. Gangguan pendengaran ini terjadi karena hipertensi menyebabkan
kerusakan pada sel-sel rambut organ pendengaran (Sigsbee, et al, 1997).
Melihat adanya hubungan terjadinya gangguan pendengaran pada
penderita hipertensi, peneliti tertarik untuk meneliti proporsi gangguan
pendengaran pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut : Berapa besar proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji
Adam Malik Medan yang menderita gangguan pendengaran.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui proporsi yang mengalami gangguan pendengaran
sensori-neural dan campuran pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP
Haji Adam Malik Medan.
2. Mengetahui distribusi frekuensi sampel menurut jenis gangguan
pendengaran, jenis kelamin, umur dan lama menderita hipertensi.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Pengetahuan dan informasi tentang proporsi gangguan pendengaran pada
pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Pengetahuan dan informasi tentang proporsi gangguan pendengaran jenis
sensori-neural pada pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji
Adam Malik Medan.
3. Masukan dan tambahan rujukan untuk instansi dan mahasiswa yang akan
ABSTRAK
Hipertensi sebagai salah satu penyakit degeneratif merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai gangguan pada organ vital tubuh. Pada organ pendengaran, hipertensi diduga menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural. Gangguan pendengaran merupakan salah satu masalah besar yang terjadi di masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi pasien hipertensi di poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik yang menderita gangguan pendengaran jenis sensori-neural.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan desain cross sectional pada 100 orang sampel. Sampel merupakan pasien poli ginjal hipertensi RSUP Haji Adam Malik Medan yang menderita hipertensi. Pada sampel dilakukan pemeriksaan pendengaran untuk menentukan jenis gangguan pendengaran. Hasil akhir yang dilihat adalah proporsi sampel yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori-neural. Data kemudian disajikan dan dianalisis dalam bentuk tabel.
Proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran adalah sebesar 78% dan yang tidak mengalami gangguan pendengaran sebesar 22%. Proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis konduktif sebesar 37,2%, proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis sensori-neural sebesar 59% dan proporsi penderita hipertensi yang mengalami gangguan pendengaran jenis campuran sebesar 3,8%.
ABSTRACT
Hypertension as one of the degenerative disease is a significant factor in the incidence of vital organ dysfunction. In hearing organ, hypertension is suspected to cause hearing disturbance, especially sensory-neural deaf. Hearing distrurbance is one of the huge problems happening in the community.
This study is aimed to know the proportions of patients with hypertension in renal hypertension polyclinic at haji adam malik general hospital is having sensory-neural type hearing disturbance.
This is descriptive study with cross sectional design done on 100 samples. Samples are patient from renal hypertension polyclinic at haji adam malik general hospital who is suffering from hypertension. Hearing examination is done on each sample to determine type of hearing disturbance. The result obtained is sample proportion of those having sensory-neural type hearing disturbance. Data is then presented and analyzed in tabular from.
The proportion of patiens with hypertension who is experiencing hearing disturbance is 78% and those without hearing disturbance is 22 % . the proportion of patiens with hypertension who is experiencingg conductive type hearing disturbance is 37,2 % , those with sensory-neural type hearing disturbance as much as 59%, and those with mixed type as much as 3,8% .
PROPORSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA PASIEN HIPERTENSI DI POLI GINJAL HIPERTENSI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
Oleh :
AYU ZULHAFNI LUBIS 100100024
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROPORSI GANGGUAN PENDENGARAN PADA PASIEN HIPERTENSI DI POLI GINJAL HIPERTENSI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
AYU ZULHAFNI LUBIS 100100024
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA