• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS DI RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR

TAHUN 2013 – 2014

SKRIPSI

OLEH

JANNI TOGUMAITO BUTARBUTAR NIM. 111000147

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA HIV/AIDS DI RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR

TAHUN 2013 – 2014

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

JANNI TOGUMAITO BUTARBUTAR NIM. 111000147

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul ―KARAKTERISTIK

PENDERITA HIV/AIDS DI RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013–2014” ini beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam

masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini saya siap menanggung resiko atau

sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemungkinan ditemukan adanya

pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini atau klaim dari pihak

lain terhadap karya saya ini.

Medan, Oktober 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

AIDS (Acquired Imunne Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit (sindrom) spesifik yang disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan infeksi HIV (Human Imunnodeficiency Virus). Prevalensi AIDS di Indonesia tahun 2014 sebesar 23,48 dengan CFR 1,67%,. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014.

Penelitian ini bersifat desktiptif dengan desain case series. Populasi dan sampel adalah seluruh penderita HIV/AIDS sebanyak 145 kasus. Jenis data yang dikumpulkan data sekunder yang dianalisis dengan uji Chi-Square.

Hasil penelitan menunjukkan karakteristik berdasarkan sosiodemografi tertinggi adalah kelompok umur 30-39 tahun (49,0%), laki-laki (72,4%), tamat SLTA (55,2%), wiraswasta (53,1%), menikah (66,9%), bertempat tinggal di Kota Pematangsiantar (57,9%). Transmisi penularan tertinggi heteroseksual (65,5%), keadaan klinis tidak ada IO (54,5%), jenis IO tuberkulosis (48,5%), jumlah CD4 <200 sel/μl (60,0%), tahap terapi ARV stop (64,1%), keadaan terakhir penderita hidup (76,6%). Ditemukan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan (p=0,372), jenis kelamin berdasarkan keadaan terakhir (p=0,297), status pekerjaan berdasarkan transmisi penularan (p=0,172), status pernikahan berdasarkan transmisi penularan (p=0,190), serta ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan (p<0,001) dan keadaan klinis berdasarkan keadaan terakhir (p<0,001).

Kepada masyarakat harus setia pada satu pasangan (be faithful) untuk mencegah penularan melalui heteroseksual berganti-ganti pasangan, kepada tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama untuk ikut berperan dalam pendidikan moral masyarakat, kepada petugas Poliklinik HIV/AIDS untuk meningkatkan pelaksanaan pendampingan ODHA, memantau kepatuhan mengonsumsi ARV pasien serta mencatat informasi lebih rinci mengenai jenis infeksi oportunistik yang dimiliki oleh penderita, dan kepada pemerintah setempat untuk menutup lokalisasi di Bukit Maraja.

Kata Kunci: Karakteristik, HIV/AIDS

(6)

ABSTRACT

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is specific illness (syndrome) collecting caused by damaging immune system which is related to HIV (Human Immunodeficiency Virus). Prevalance rate of AIDS in Indonesia in 2014 was 23,48 with CFR of AIDS was 1,67. The main purpose of this research is to know characteristic of HIV/AIDS patients.

This research is descriptive study with case series design. The population and sample was all HIV/AIDS patients as many as 145 cases. Type of data collected is secondary data which is analyced by chi square-test.

The result of research showed the characteristic based on highest demograhy social with the age 30-39 years (49,0%), male (72,4%), Senior High School passed (55,2%), enterpreuner (53,1%), married (66,9%), Pematangsiantar Living (57,9%), highest infection transmission of heterosexual (65,5%), Clinic with no opportunity Infection (OI) (54,5%), Tuberculosis as OI type (48,5%), number of CD4<200 (60,0%), stop therapy phase (64,1%), alive living (76,6%). It is faound that no significant and different proportion between age and infection transmission (p=0,372), sex and last living (p=0,297), work status and infection transmission (p=0,172), marrige status and infection transmission (p=0,190). There is significant difference proportion between sex and infection transmission (p<0,001), and also clinic and last living (p<0,001).

It is suggested for society to be faithful to one person as living mate to prevent transmission through heterosexual in promiscuity, to public figure especially to public religion to get involved in morality education for education for society. It is suggested for staff of HIV/AIDS Poly clinic to monitor patient obedience in consuming ARV and to record information more detail about type of opportunity infection of patients. It is suggested to local government to close prostitution place in Bukit Maraja.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan karena berkat dan kasih-Nya

yang senantiasa berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul: “Karakteristik Penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014” yang merupakan salah satu prasyarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis

ingin menyampaikan ucapan terima kasih terkhusus kepada Ibu dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph. D selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu drh. Hiswani, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, saran, dan petunjuk kepada penulis

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penuis juga mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes. selaku Ketua Departemen Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak dr. M. Makmur Sinaga, M.S. selaku Dosen Penguji II yang telah

memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Drs. Jemadi, M.Kes selaku Dosen Penguji III yang telah memberikan

(8)

5. Ibu Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes. selaku Dosen Pembimbing Akademik

dan Pembantu Dekan 1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

6. Direktur RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar dr.Ria Talumbanua,

M.Kes., dan Koordinator CST dr. Saiden Saragih, MM dan Koordinator

VCT dr. Robby Sebayang beserta seluruh staf Poliklinik HIV/AIDS yang

telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.

7. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan staf Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Epidemiologi.

8. Teristimewa kepada orangtua tercinta Junner M. Butarbutar dan Tiurlena

Hasugian yang dengan penuh kasih selalu mendoakan, memberikan semangat serta memberikan didikan dalam menjalani hidup ini.

9. Saudara-saudaraku terkasih , kakak-kakakku (Marlina, SKM, Mardina S.P.)

dan adik-adikku (Sihol; Paskah; Alice) atas doa, perhatian, dan semangat

yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat dan saudaraku ―Tujuh‖ (Lamtiur, Elisabeth, Jane, Medis, Riris, dan

Sri Dewi) yang selalu memberikan semangat, serta waktunya untuk

sama-sama berjuang dan bertumbuh di dunia mahasiswa, seluruh ipar-ipar (bang

Lafandy, Tomcat, Bang Potan, Bang Tomcong, Bang Ario) dan mommy

(Desima Hutapea) si perfeksionis beserta Daddy (Fredy Bukit) si cuek berat.

11. PK GMKI Masa Bakti 2012 – 2013 (Bang Hotman, Kak Les, Kak Nancy,

Kak Sikap, Kak Sri, Bang Lucky, Kak Asni, Bang Manda, Lamtiur, Anjela,

(9)

Yolela, Yanti, Welsa, Rizky Manggor dan ‗beliaunya‘ Dedy) Kak Rini, Kak

Kristine, Kak Devi, Kak Raisa serta seluruh civitas GMKI FKM USU yang

telah memberikan motivasi dan menghabiskan waktu bersama dalam

melayani Dia Sang Kepala Gerakan. Serta semua orang yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para

pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

Medan, Oktober 2015

(10)

DAFTAR ISI

2.6.1 Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS... 32

(11)

3.2.2 Waktu Peneltian ... 46

4.1.1 RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar ... 52

4.1.2 Poliklinik HIV/AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar ... 54

4.2 Analisis Univariat ... 55

4.2.1 Sosiodemografi Penderita HIV/AIDS ... 56

4.2.2 Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS ... 58

4.2.3 Keadaan Klinis Penderita ... 58

4.2.4 Jenis Infeksi Oportunistik Penderita ... 59

4.2.5 Jumlah CD4 Penderita ... 60

4.2.6 Tahap Terapi Antiretroviral (ARV) ... 60

4.2.7 Keadaan Terakhir Penderita HIV/AIDS ... 61

4.3 Analisis Bivariat ... 61

4.3.1 Umur Berdasarkan Transmisi Penularan ... 61

4.3.2 Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan ... 62

4.3.3 Jenis Kelamin Berdasarkan Keadaan Terakhir ... 63

4.3.4 Status Pekerjaan Berdasarkan Transmisi Penularan .. 64

4.3.5 Status Pernikahan Berdasarkan Transmisi Penularan . 65 4.3.6 Jumlah CD4 Berdasarkan Transmisi Penularan ... 66

4.3.7 Keadaan Klinis Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita ... 66

BAB 5 PEMBAHASAN ... 67

5.1 Deskriptif ... 67

5.1.1 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasakan Sosiodemografi ... 67

5.1.2 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasar – kan Transmisi Penularan ... 73

5.1.3 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Klinis Penderita ... 74

5.1.4 Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Infeksi Oportunistik ... 75

5.1.5 Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4 Penderita ... 76

5.1.6 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasar kan Tahap Terapi ARV ... 77

5.1.7 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita... 79

(12)

5.2.1 Umur Berdasarkan Transmisi Penularan ... 80

5.2.2 Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan ... 81

5.2.3 Jenis Kelamin Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita ... 82

5.2.4 Status Pekerjaan Berdasarkan Transmisi Penularan ... 83

5.2.5 Status Pernikahan Berdasarkan Transmisi Penularan ... 84

5.2.6 Jumlah CD4 Penderita Berdasarkan Transmisi Penularan ... 85

5.2.7 Keadaan Klinis Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita ... 86

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

6.1 Kesimpulan ... 88

6.2 Saran ... . 89

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Susunan Petugas Poliklinik HIV/AIDS RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar………... 55

Tabel 4.2 Distribusi Proporsi Sosiodemografi Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013– 2014 ... 57

Tabel 4.3 Distribusi Proporsi Berdasarkan Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014 ... 58

Tabel 4.4 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Klinis Penderita di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013 – 2014 ... 59

Tabel 4.5 Distribusi Jenis Infeksi Oportunistik Pada Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 ... 59

Tabel 4.6 Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4 Penderita di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 ... 60

Tabel 4.7 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tahap Terapi Antiretroviral (ARV) di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013 – 2014... 60

Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 ... 61

Tabel 4.9 Distribusi Proporsi Umur Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Transmisi Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 ………...…. 62

Tabel 4.10 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Transmisi Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 …... 63

(14)

Tabel 4.12 Distribusi Proporsi Status Pekerjaan Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Transmisi Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 …….……... 64

Tabel 4.13 Distribusi Proporsi Status Pernikahan Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Transmisi Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 .…... 65

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Umur di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 67

Gambar 5.2 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 68

Gambar 5.3 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tingkat Pendidikan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 69

Gambar 5.4 Diagram Bar Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Pekerjaan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 70

Gambar 5.5 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Status Pernikahan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014... 71

Gambar 5.6 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Tempat Tinggal di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 72

Gambar 5.7 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Transmisi Penularan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 73

Gambar 5.8 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Klinis Penderita di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsinatar Tahun 2013 – 2014 ... 74

(16)

Gambar 5.10 Diagram Pie Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4 di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013–2014 ... 76

Gambar 5.11 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tahap Terapi ARV Tahun 2013-2014 di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar ... 77

Gambar 5.12 Diagram Pie Proporsi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pemtangsiantar Tahun 2013-2014 ... 79

Gambar 5.13 Diagram Bar Proporsi Umur Berdasarkan Transmisi Penularan pada Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 80

Gambar 5.14 Diagram Bar Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Tahun 2013 – 2014... 81

Gambar 5.15 Diagram Bar Proporsi Jenis Kelamin Berdasarkan Keadaan Terakhir Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Tahun 2013 – 2014 ... 82

Gambar 5.16 Diagram Bar Proporsi Status Pekerjaan Berdasarkan Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 83

Gambar 5.17 Diagram Bar Proporsi Status Pernikahan Berdasarkan Transmisi Penularan Penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Tahun 2013-2014 ... 84

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian ……… 96

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Penelitian ………... 97

Lampiran 3. Master Data ……….………... 98

(18)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Janni Togumaito Butarbutar

Tempat Lahir : Pematangsiantar

Tanggal Lahir : 16 Januari 1993

Suku Bangsa : Batak Toba

Jenis Kelamin : Perempuan

Anak ke : 3 dari 6 bersaudara

Agama : Kristen Protestan

Nama Ayah : Junner M. Butarbutar

Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Tiurlena Hasugian

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Pendidikan Formal

1. SD/ Tamat Tahun : SD Swasta Budi Mulia 1 Pematangsiantar / 2005

2. SMP/ Tamat Tahun : SMP Swasta Budi Mulia Pematangsiantar / 2008

3. SMA/ Tamat Tahun : SMA Negeri 3 Pematangsiantar / 2011

4. Akademi/ Tamat Tahun : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU/ 2015

(19)

ABSTRAK

AIDS (Acquired Imunne Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit (sindrom) spesifik yang disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh yang berkaitan dengan infeksi HIV (Human Imunnodeficiency Virus). Prevalensi AIDS di Indonesia tahun 2014 sebesar 23,48 dengan CFR 1,67%,. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2013-2014.

Penelitian ini bersifat desktiptif dengan desain case series. Populasi dan sampel adalah seluruh penderita HIV/AIDS sebanyak 145 kasus. Jenis data yang dikumpulkan data sekunder yang dianalisis dengan uji Chi-Square.

Hasil penelitan menunjukkan karakteristik berdasarkan sosiodemografi tertinggi adalah kelompok umur 30-39 tahun (49,0%), laki-laki (72,4%), tamat SLTA (55,2%), wiraswasta (53,1%), menikah (66,9%), bertempat tinggal di Kota Pematangsiantar (57,9%). Transmisi penularan tertinggi heteroseksual (65,5%), keadaan klinis tidak ada IO (54,5%), jenis IO tuberkulosis (48,5%), jumlah CD4 <200 sel/μl (60,0%), tahap terapi ARV stop (64,1%), keadaan terakhir penderita hidup (76,6%). Ditemukan tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara umur berdasarkan transmisi penularan (p=0,372), jenis kelamin berdasarkan keadaan terakhir (p=0,297), status pekerjaan berdasarkan transmisi penularan (p=0,172), status pernikahan berdasarkan transmisi penularan (p=0,190), serta ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan transmisi penularan (p<0,001) dan keadaan klinis berdasarkan keadaan terakhir (p<0,001).

Kepada masyarakat harus setia pada satu pasangan (be faithful) untuk mencegah penularan melalui heteroseksual berganti-ganti pasangan, kepada tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama untuk ikut berperan dalam pendidikan moral masyarakat, kepada petugas Poliklinik HIV/AIDS untuk meningkatkan pelaksanaan pendampingan ODHA, memantau kepatuhan mengonsumsi ARV pasien serta mencatat informasi lebih rinci mengenai jenis infeksi oportunistik yang dimiliki oleh penderita, dan kepada pemerintah setempat untuk menutup lokalisasi di Bukit Maraja.

Kata Kunci: Karakteristik, HIV/AIDS

(20)

ABSTRACT

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) is specific illness (syndrome) collecting caused by damaging immune system which is related to HIV (Human Immunodeficiency Virus). Prevalance rate of AIDS in Indonesia in 2014 was 23,48 with CFR of AIDS was 1,67. The main purpose of this research is to know characteristic of HIV/AIDS patients.

This research is descriptive study with case series design. The population and sample was all HIV/AIDS patients as many as 145 cases. Type of data collected is secondary data which is analyced by chi square-test.

The result of research showed the characteristic based on highest demograhy social with the age 30-39 years (49,0%), male (72,4%), Senior High School passed (55,2%), enterpreuner (53,1%), married (66,9%), Pematangsiantar Living (57,9%), highest infection transmission of heterosexual (65,5%), Clinic with no opportunity Infection (OI) (54,5%), Tuberculosis as OI type (48,5%), number of CD4<200 (60,0%), stop therapy phase (64,1%), alive living (76,6%). It is faound that no significant and different proportion between age and infection transmission (p=0,372), sex and last living (p=0,297), work status and infection transmission (p=0,172), marrige status and infection transmission (p=0,190). There is significant difference proportion between sex and infection transmission (p<0,001), and also clinic and last living (p<0,001).

It is suggested for society to be faithful to one person as living mate to prevent transmission through heterosexual in promiscuity, to public figure especially to public religion to get involved in morality education for education for society. It is suggested for staff of HIV/AIDS Poly clinic to monitor patient obedience in consuming ARV and to record information more detail about type of opportunity infection of patients. It is suggested to local government to close prostitution place in Bukit Maraja.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari penyakit ini. HIV/AIDS

menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan,

krisis pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis

kemanusiaan. Hal ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS menyebabkan krisis

multidimensi (Djoerban, 2010).

Penderita AIDS pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika

Serikat dan sampai saat ini telah berkembang menjadi masalah kesehatan global.

Berdasarkan data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2008 terdapat 33,4 juta penderita HIV di dunia dengan proporsi pada

anak-anak <15 tahun sebesar 6.29%. Jumlah kasus baru 2,7 juta orang dengan proporsi

pada anak-anak <15 tahun 14,81% (430.000 orang), proporsi pada orang dewasa

85,19% (2,3 juta orang). Dengan CFR akibat AIDS sebesar 5,99%, dan dengan

proporsi 85% diantaranya adalah orang dewasa (UNAIDS, 2009).

Sub Sahara Afrika merupakan wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi

di dunia dengan 22,4 juta orang menderita HIV/AIDS, kasus baru 1,9 juta orang,

Prevalens Rate (PR) pada penderita dewasa 5,2%. Sedangkan CFR akibat AIDS

(22)

Barat terdapat 2,3 juta penderita HIV/AIDS dengan kasus baru 75.000 orang dan

jumlah kematian 38.000 orang dengan CFR 1,65 % (UNAIDS, 2009).

Berdasarkan data WHO (2014), 15 juta orang meninggal karena HIV di

dunia pada tahun 2013 (CFR 42,86 %). Diperkirakan 35.000.000 orang hidup

dengan HIV sampai dengan akhir tahun 2013 dan 21.000.000 orang di dunia

terinfeksi HIV pada tahun 2013. Sub-Sahara Afrika merupakan wilayah dengan

kasus tertinggi, yaitu 24.700.000 orang terinfeksi HIV pada tahun 2013. Jumlah

kasus ini merupakan 70% dari seluruh kasus baru HIV di dunia pada tahun 2013

(WHO, 2014).

Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) pada tahun 2013 terdapat 2.100.000 kasus baru HIV tersebar di seluruh dunia. Sebanyak

35.000.000 orang hidup dengan HIV dan 12.900.000 orang telah mendapatkan

antiretroviral therapy (ARV). Diestimasi 1.500.000 orang meninggal karena AIDS dan 39.000.000 orang dengan AIDS telah meninggal sejak epidemik terjadi

pertama kali di seluruh dunia. Sub-Sahara Afrika merupakan bagian dunia dengan

kasus HIV/AIDS tertinggi, dengan proporsi 70% dari seluruh kasus baru HIV

yang terjadi di dunia. Asia Pasifik, Amerika Latin dan Karibia, serta Eropa Barat

dan Asia Tengah merupakan bagian dunia dengan kasus HIV/AIDS yang cukup

signifikan (CDC, 2013).

Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada 1987, yang terjadi

pada seorang warga negara asing di Bali. Tahun berikutnya mulai dilaporkan

adanya kasus di berbagai provinsi. Perkembangan penyakit HIV/AIDS terus

menunjukkan peningkatan (BAPPENAS,2013). Semakin tingginya mobilitas

(23)

Indonesia, meningkatnya perilaku seksual yang tidak aman, dan meningkatnya

penyalahgunaan NAPZA (Narkota, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) melalui

suntikan secara simultan telah memperbesar tingkat risiko penyebaran HIV/AIDS.

Saat ini Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epidemis yang

terkonsentrasi (consentrated level epidemic) (Depkes RI, 2004).

HIV di Indonesia telah berkembang dari sejumlah kasus kecil HIV dan

memasuki tahap epidemis dengan beberapa sub-populasi beresiko tinggi yang

memiliki angka insiden di atas 5%. Salah satu hal yang ada di Indonesia adalah

tingginya variasi spesial tingkat kemunculan kasus ini. Angka tertinggi terjadi di

Propinsi Irian Jaya/Papua, Jakarta, Bali, Riau, dan Sulawesi Utara. Kondisi di

Propinsi Irian Jaya/Papua merupakan hal yang paling mengganggu dengan

tingginya tingkat infeksi yang tercatat di beberapa wilayah di propinsi ini dan

pada penduduk berisiko tinggi (Hugo, 2001).

Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung

es (iceberg phenomena), yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah penderita yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa jumlah

penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti.

Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sejak tahun 2000 sampai dengan 31

Desember 2004 sebanyak 3.368 kasus. Sedangkan untuk kumulatif kasus AIDS

sejak tahun 1998-2004 adalah 2.682 kasus. Terdapat 740 kasus dari seluruh kasus

di tahun 2000-2004 telah meninggal dunia (CFR 21,97%). Kasus AIDS tertinggi

dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta disusul Papua, Jawa Timur dan Bali. Sesuai

(24)

penduduk secara nasional sebesar 1,33. Rate tertinggi terjadi di Papua diikuti DKI

Jakarta, Bali, Maluku, dan Sulawesi Utara (Depkes RI, 2004).

Setelah tiga tahun berturut—turut yaitu sejak 2010 – 2012, jumlah kasus

HIV positif di Indonesia cukup stabil. Perkembangan jumlah kasus baru HIV

positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan,

dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012 yaitu dari 21.511 kasus

menjadi 29.037 kasus. Namun sejak tahun 2004 CFR akibat AIDS cenderung

menurun. Pada tahun 2013 CFR AIDS di Indonesia sebesar 1,67%, menurun

2,12% dari tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2014).

Lebih dari dua per lima provinsi (14 provinsi) di Indonesia memiliki

jumlah kasus HIV>440, meliputi seluruh provinsi di Pulau Papua dan Pulau Jawa

Bali serta berbagai provinsi di Sumatera (salah satunya Sumatera Utara),

Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah kasus HIV pada kelompok tersebut

menyumbang hampir 90% dari seluruh jumlah kasus HIV di Indonesia. Provinsi

dengan jumlah HIV tertinggi adalah DKI Jakarta, Papua dan Jawa Timur

(Kemenkes RI, 2014).

Menurut Laporan Ditjen PP & PL (2014) bahwa kasus tertinggi HIV dan

AIDS berada di provinsi Papua dengan Prevalensi kasus AIDS per 100.000

penduduk sebesar 359,43, diikuti Provinsi Papua Barat dengan prevalensi 228,03,

Provinsi Bali (prevalensi 109,52), Kalimantan Barat (Prevalensi 38,65).

Sedangkan prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk Indonesia pada tahun

2014 adalah sebesar 23,48 (Ditjen PP & PL, 2014).

Di Sumatera Utara pada tahun 2010 terdapat jumlah kasus baru untuk

(25)

546 kasus (prevalensi per 100.000 penduduk 4,17). Penambahan kasus baru pada

tahun 2011 menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS secara

keseluruhan menjadi 3.237 kasus. Pada tahun 2012, kasus baru HIV sebesar 821

dan kasus baru AIDS sebesar 643. Hal ini mengakibatkan jumlah kasus

HIV/AIDS meningkat tajam menjadi 6.430 kasus dengan rincian, 2.189 kasus

HIV dan 4.241 kasus kumulatif kasus AIDS. Maka, prevalensi HIV per 100.000

penduduk adalah 6,21 dan prevalensi AIDS sebesar 4,87 (Dinkes Sumut, 2012).

Keadaan ini belum merupakan jumlah keseluruhan kasus. Namun masih

banyak kasus yang tidak terlihat. Hal ini dikarenakan oleh fenomena gunung es

“ice berg fenomen” yang memperlihatkan jumlah kasus yang ditemukan lebih

sedikit dari jumlah sebenarnya di dalam populasi. Kasus baru HIV/AIDS

tertinggi di 4 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2012 secara berturut-turut

adalah kota Medan yaitu 506 kasus atau sekitar 34,56%, Kabupaten Karo 347

kasus (23,70%), Kabupaten Deli Serdang sebanyak 172 kasus (11,75%) dan Kota

Pematangsiantar sebanyak 85 kasus (5,8%) dari total seluruh penderita baru

(Dinkes Sumut, 2012).

Berdasarkan karakteristik penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara (2012)

diketahui penderita terbanyak adalah pria dengan proporsi 75%, sedangkan

proporsi pada wanita yaitu 25%. Sumber penularan terbanyak melalui hubungan

heteroseksual 65% dan pengguna jarum suntik (IDUs) 26%. Presentase penularan

dari ibu ke bayi (prenatal) meningkat dari 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,6% pada tahun 2012. Berdasarkan golongan umur yaitu 84% adalah kelompok usia

20-39 tahun. Berdasarkan kewarganegaraan diketahui 99,2% adalah Warga

(26)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purnama di Puskesmas Tanjung

Morawa sejak Agustus 2006 – Mei 2010, dilaporkan bawa jumlah kasus

HIV/AIDS sebanyak 97 orang (Sidebang, 2008). Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Desima di Klinik VCT Rumah Sakit Umum HKBP Balige tahun

2008 – 2012, dilaporkan bahwa jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 145 orang,

yaitu 37 kasus HIV dan 108 kasus AIDS (Hutapea, 2013).

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSUD Djasamen

Saragih Pematangsiantar, diperoleh jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun

2013-2014 terdapat 145 kasus , 61 kasus dari 543 orang yang melakuan tes pada tahun

2013 dan 84 kasus dari 506 orang yang melakukan tes tahun 2014. Jumlah kasus

ini diperoleh dari data pengunjung Poliklinik HIV/AIDS yang melakukan tes HIV.

Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Dr. Djasamen Saragih

Pematangsiantar tahun 2013 – 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Belum diketahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Djasamen

Saragih Pematangsiantar tahun 2013 – 2014.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui karakteristik penderita HIV/AIDS di RSUD Djasamen

(27)

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan

sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status

pernikahan, dan daerah tempat tinggal).

b. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan transmisi

penularan.

c. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan keadaan

klinis penderita.

d. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan jenis

infeksi oportunistik.

e. Mengetahui distribusi proporsi penderita HIV/AIDS berdasarkan jumlah

CD4 penderita.

f. Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS berdasarkan tahap terapi

Antiretroviral (ARV) yang diterimanya.

g. Mengetahui distribusi penderita HIV/AIDS berdasarkan keadaan terakhir

penderita.

h. Mengetahui distribusi proporsi umur penderita HIV/AIDS berdasarkan

transmisi penularan.

i. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIV/AIDS

berdasarkan transmisi penularan.

j. Mengetahui distribusi proporsi jenis kelamin penderita HIV/AIDS

berdasarkan keadaan terakhir penderita.

k. Mengetahui distribusi proporsi status pekerjaan penderita HIV/AIDS

(28)

l. Mengetahui distribusi proporsi status pernikahan penderita HIV/AIDS

berdasarkan transmisi penularan.

m. Mengetahui distribusi proporsi jumlah CD4 penderita berdasarkan transmisi

penularan.

n. Mengetahui distribusi proporsi keadaan klinis penderita berdasarkan

keadaan terakhir penderita.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum

Daerah Djasamen Saragih Pematangsiantar.

b. Sebagai sarana meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai

HIV/AIDS sehingga masyarakat mau dan mampu melakukan perubahan

perilaku dalam mencegah penularan HIV/AIDS.

c. Sebagai sarana meningkatkan wawasan penulis mengenai HIV/AIDS dan

sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan

Masayarakat USU Medan.

d. Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang berguna dalam

pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya mengenai

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV dan AIDS 2.1.1 Definisi HIV

HIV (Human Imunnodeficiency Virus) merupakan oportunis sistem imun yang dapat menggunakan aktivitas sistem imun untuk replikasinya. Virus ini dapat

melumpuhkan sebagian besar komponen respons imun penjamu melalui

mekanisme langsung maupun tidak langsung (Alam, 2012). HIV merupakan virus

golongan retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. Seperti retrovirus yang

lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten),

dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV

menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal

tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4 dan limfosit untuk

mereplikasi diri. Dalam proses ini, virus tersebut menghancurkan CD4 dan

limfosit (Kurniawati, 2011).

Virus ini pertama kali diisolasi pada tahun 1983 oleh ilmuwan Prancis

Montagnier (Institute Pasteur, Paris). Beliau mengisolasi virus dari pasien dengan

gejala limfadenopati dan menemukan virus HIV, sehingga virus ini dinamakan

lymphadenopathy associated virus (LAV). Pada tahun 1984 Gallo (National Institute of Health, USA) menemukan virus human T lymphotropic (HTLV-III) yang juga menyebabkan AIDS. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa

tipe HIV, yaitu HIV-1 yang sering menyerang manusia dan HIV-2 yang

(30)

Virion HIV berukuran sekitar 100 nm dan mengandung dua kopi genom

RNA single-stranded. Genom RNA ini dilapisi oleh protein nukleokapsid (NC) dan kompleks protein-RNA ini dilapisi oleh kapsid (CA). Sama seperti virus

dengan envelope lainnya, membran virus didapatkan selama proses budding dari sel penjamu, tetapi komponen protein permukaan dan glikoprotein transmembran

merupakan hasil pengkodean genom virus. Selain protein stuktural ini, virion juga

mengandung tiga protein spesifik yang penting untuk proses replikasi, yaitu

reverse transcriptase (RT), protase (PR), dan integrase (IN) (Alam, 2012).

2.1.2 Definisi AIDS

AIDS adalah singkatan dari Acquired Imunne Deficiency Syndrome. Acquired berarti didapat, ditularkan dari satu orang ke orang lain. Bukan penyakit bawaan. Imunne berarti kebal, sistem pertahanan/kekebalan tubuh, yang melindungi tubuh terhadap infeksi. Deficiency berarti kekurangan, menunjukkan adanya kadar atau nilai yang lebih rendah dari normal/biasanya. Dan Syndrome berarti sindrom, suatu kumpulan tanda atau gejala yang bila didapatkan secara

bersamaan, menunujukkan bahwa seseorang mengidap suatu penyakit/keadaan

tertentu. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit (sindrom) spesifik yang

disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh maupun spektum keseluruhan

masalah kesakitan yang berkaitan dengan infeksi HIV (Ditjen PP&PL RI, 1989).

Acquired Imunne Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1, dan

beberapa kasus seperti di Afrika tengah disebabkan HIV-2 (Baratwidjaja,K.G.,

2006). Virus ini menyerang dan merusak sel-sel limfosit T CD4 sehingga

(31)

suatu penyakit saja, tetapi merupakan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh

infeksi berbagai jenis mikroorganisme seperti; infeksi bakteri, virus, jamur,

bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita

(Murtiastutik, 2008).

2.2 Etiologi dan Patogenesis HIV/AIDS

Retrovirus merupakan virus RNA single-stranded dengan envelope. Virus ini akan mengkode reverse transkriptase (RNA-dependent DNA polymerase) yang mengkopi genom virus menjadi DNA double strainded dan akan berintegrasi dengan genom pejamu. Retrovirus sangat sensitif terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tekanan permukaan, sehingga tidak dapat

ditransmisikan melalui udara dan debu, tetapi membutuhkan kontak erat dengan

sumber infeksi. Secara garis besar, retrovirus terdiri atas dua kelompok besar, yaitu oncovirus dan lentivirus. Virus HIV termasuk dalam kelompok lentivirus. Lentivirus dapat bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan laten tanpa menyebabkan kematian sel dan kemudian akan bersifat sitolik saat sel yang

terinfeksi mendapat stimulasi tertentu (Alam, 2012).

Secara sederhana sel HIV terdiri dari:

1. Inti-RNA dan enzim transkriptase reversi (polimerase), protease, dan

integrase.

2. Kapsid – antigen p24.

3. Sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp120 dan gp41).

HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp120 sehingga akan

terjadi fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk ke dalam

(32)

HIV melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu DNA

HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk (Widoyono, 2008).

DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai DNA sel induk, akan

membentuk RNA dengan fasilitas sel induk. Sedangkan mRNA dalam sitoplasma

akan diubah oleh enzim protease menjadi partikel HIV. Partikel ini selanjutnya

mengambil selubung dari bahan sel induk untuk dilepaskan sebagai virus HIV

lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun (imunosupresi) ini akan

menyebabkan pengurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel limfosit T

(Widoyono, 2008).

HIV menyerang CD4, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat

fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebutkan sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4 yang kemudian

menghambat aktivitas sel yang mempresentasikan antigen (APC). Setelah HIV

melekat melalui reseptor CD4 dan co-reseptor bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada

bagian ini terdapat enzim reverse transcriptase yang terdiri atas DNA polimerase dan ribonuklease. Pada inti yang mengadung RNA, enzim DNA polimerase

menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuklease memusnahkan RNA

asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama

yang tersusun sebagai cetakan (Baratawidjaja, K.G., 2006).

Setelah terbentuk, kode genetik DNA berupa untaian rantai ganda akan

masuk ke inti sel. Kemudian enzim integrase, DNA kopi dari virus disisipkan

(33)

bereplikasi menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis. Selain itu, virus

HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien juga menginfeksi berbagai

macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel bobfour plasenta, sel-sel dedrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel

Langerhans di kulit (Kurniawati, 2011).

Patogenesis infeksi HIV merupakan proses yang kompleks dan

multifaktoral yang melibatkan faktor penjamu dan virus. Tingkat replikasi virus

in vivo menggambarkan keseimbangan antara faktor positif dan negatif yang mengatur ekspresi virus. Tingkat replikasi virus juga berhubungan erat dengan

tingkat depresi sel limfosit CD4 dan kecepatan progresi penyakit (Alam, 2012).

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,

sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan

menunjukkan gambaran penyakit kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti

adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta

penyakit keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang

menjadi AIDS pada 3 tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan

hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun

(Kurniawati, 2011).

Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel

pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi.

Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, nyeri menelan,

pembengkakan kelenjar getah bening, ruam diare, atau batuk pada 3-6 minggu

(34)

Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali

masuk ke dalam tubuh. Pada fase awal proses infeksi (imunokompeten) akan

terjadi respon imun berupa peningkatan aktivitas imun, yaitu pada tingkat seluler

(HLA-DR; sel T; IL-2R); serum atau humoral (beta-2 mikroglobulin, neopterin,

CD8, IL-R) dan antibodi unpregulation (gp 120, anti p24; IgA). Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga T-helper tidak dapat memberikan induksi kepada sel-sel efektor sistem imun. Dengan tidak adanya T-helper, sel-sel efektor sistem imun seperti T8 sitotoksik, sel NK, monosit dan sel B tidak dapat berfungsi

secara baik. Daya tahan tubuh menurun sehingga pasien jatuh ke dalam stadium

lebih lanjut (Kurniawati, 2011).

Pada fase infeksi primer ini, darah pasien menunjukkan jumlah virus yang

sangat tinggi, yang berarti banyak virus lain di dalam darah. Sejumlah virus dalam

darah atau plasma per milimeter mencapai 1 juta. Orang dewasa yang baru

terinfeksi sering menunjukkan sindrom retroviral akut. Tanda dan gejala dari

sindrom retroviral akut ini meliputi: panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah,

diare, berkeringat di malam hari, kehilangan berat badan, serta timbul ruam.

Tanda dan gejala tersebut biasanya terjadi 2 – 4 minggu setelah infeksi, kemudian

hilang atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai

influenza atau infeksi mononukleosis (Kurniawati, 2011).

Selama infeksi akut, jumlah limfosit CD4 dalam darah menurun dengan

cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4 pada nodus limfa dan thymus selama waktu tersebut. Individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi

(35)

Tes antibodi HIV menggunakan enzym linked imunoabsorbent away (ELISA) yang akan menunjukkan hasil positif (Kurniawati, 2011).

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).

Masa tanpa gejala ini berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok

orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada

pula yang perjalanannya sangat lambat (Kurniawati, 2011).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai

menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik (penurunan berat badan, demam

lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,

herpes, dan lain-lain). Fase ini disebut dengan imunodefisiensi. Pada fase ini

ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T di

dalam serum pasien yang terinfeksi HIV. Adanya supresif pada proliferasi sel T

tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi limfokin, sehingga sel T tidak mampu

memberikan respons terhadap mitogen, terjadi disfungsi imun yang ditandai

dengan penurunan kadar CD4, sitokin (IFNχ; IL-2; IL-6); antibodi down regulation (gp120; anti p-24); TNF α; antinef (Kurniawati, 2011).

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkoba. Lamanya

penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia dan

tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan membuat HIV membelah lebih cepat.

Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi virus di dalam limfosit T sehingga

(36)

2.3 Transmisi HIV/AIDS

Pola transmisi yang berhubungan dengan unsur tempat ke luar dan

masuknya agen adalah transmisi seksual yang berhubungan dengan semen dan

cairan vagina/seviks, serta transmisi non seksual yang berhubungan dengan darah.

Hal ini juga terjadi pada transmisi HIV (Ditjen PP&PL, 1989). Proses penularan

virus HIV melalui berbagai cara yaitu: secara horizontal melalui hubungan

seksual dan melalui darah yang terinfeksi, atau secara vertikal penularan dari

ibunya ke bayi yang dikandungnya (Murtiastutik, 2008).

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat masuknya cairan tubuh yang

mengandung virus HIV melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun

heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkoba, transfusi komponen darah

dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu

kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pengguna narkotika, pekerja

seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban, 2010).Penyebaran

HIV saat ini masih terkonsentrasi pada populasi kunci dimana penularan terjadi

melalui penderita yang berisiko seperti penggunaan jarum suntik yang tidak steril

pada kelompok penasun dan perilaku seks yang tidak aman baik pada hubungan

heteroseksual maupun homoseksual (KPA, 2009).

2.3.1 Transmisi Seksual

Penularan utama dari HIV adalah melalui hubungan seksual dengan orang

terinfeksi. Virus HIV dapat memasuki tubuh melalui vagina, vulva, penis, rektum

atau mulut saat melakukan hubungan seksual. Hal ini karena pada area-area

tersebut, kulit sangat tipis dan dapat mudah robek sehingga menjadi pintu

(37)

Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV

tanpa alat pelindung bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual

berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir

vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut

masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada

dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke

aliran darah pasangan seksual (Kurniawati, 2011).

Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual

pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkirakan ¾ dari jumlah

pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat

ditularkan melalui hubungan seksaul dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria

(Irianto, 2014).

Pada hubungan seksual ano-genital, yang dilakukan oleh para homoseks,

mukosa rektum mudah mengalami perlukaan karena lapisan mukosa tipis dan

tidak diperuntukkan untuk hubungan seksual seperti halnya dinding vagina

(Irianto, 2014). Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual

dengan risiko tertinggi, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima

ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV, karena mukosa rektum sangat tipis

dan mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual secara

ano-genital. Risiko ini bertambah bila terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan

semen dari mitra seksual pengidap HIV. Dan tingkat risiko ketiga adalah

(38)

Transmisi HIV melalui hubungan heteroseks dapat terjadi dari pria-wanita

maupun sebaliknya. Di negara-negara Afrika, kebanyakan pengidap HIV/AIDS

mendapat infeksi melalui hubungan heteroseks. Data yang ada menunjukkan

bahwa transmisi dari pria pengidap HIV/AIDS kepada wanita pasangannya lebih

sering terjadi dibandingkan dari wanita pengidap HIV kepada pria pasangannya.

Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian yang melaporkan bahwa 10 wanita

pasangan seks telah terinfeksi HIV yang berasal dari 55 pria pengidap HIV dan

hanya 2 pasangan seks terinfeksi HIV dari 25 wanita pengidap HIV (Irianto,

2014).

Berbagai aktivitas seksual memberikan risiko penularan HIV yang

berbeda-beda. Berdasakan urutan (gradasi) kemungkinan risiko penularan HIV

dari yang paling tinggi sampai yang terendah pada berbagai aktivitas seksual

adalah sebagai berikut:

1. Hubungan seksual lewat liang dubur (ano-genital).

2. Hubungan seksual lewat liang vagina (genito-gaenital).

3. Kontak dengan menggunakan mulut (oro-genital).

4. Hubungan seksual menggunakan kondom.

5. Ciuman mulut dengan mulut (Irianto, 2014).

2.3.2 Transmisi Non-seksual

Menurut Murtiastutik (2008), penularan virus HIV non seksual terjadi

melalui jalur pemidahan darah atau produk darah (seperti; transfusi darah, alat

suntik, alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dan melalui luka kecil di kulit), jalur

transplantasi alat tubuh, jalur transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan

(39)

Transmisi melalui transfusi darah/produk darah telah di deteksi di

negara-negara barat sebelum tahun 1985 dan di negara-negara-negara-negara berkembang terutama

Afrika yang sampai saat ini umumnya belum melakukan pemeriksaan/donor darah

terhadap HIV. Penularan HIV melalui produk darah juga terjadi di negara yang

mendapatkan produk darah dari negara barat, terutama pada penderita hemofilia

(Irianto, 2014).

HIV bisa ditularkan melalui jarum suntik yang terkontaminasi. Jarum

suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para

pengguna narkoba (Injecting Drugs User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Transmisi HIV non seksual lewat jarum suntik banyak terjadi di negara barat

pada kelompok penyalah guna obat bius/narkotika (Sonenklar, 2011).

Pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril dan

dipakai bersama merupakan salah satu jalur penularan. Penularan dapat

berlangsung akibat terjadi perpindahan sejumlah kecil darah yang tertinggi pada

jarum/semprit dari satu orang ke orang lain. Irianto (2014) menyebutkan jumlah

penderita AIDS di Amerika Serikat pada kelompok penyalah guna obat bius

dengan suntikan menempatkan urutan kedua sesudah kelompok homo/biseksual

pria. Jumlah penyalah guna obat bius dengan suntikan saja sekitar 16,7%. Bila

disertai dengan ―risk behavior‖ homo/biseksual jumlahnya 7,4% (Irianto, 2014). Pengguna NAPZA suntik berkontibusi terhadap sepertiga penyebab kasus AIDS

di Amerika (Sonenklar, 2011).

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Prevalensi

penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0.7%. Bila ibu terinfeksi

(40)

sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya

mencapai 50%. Penularan juga bisa terjadi selama proses persalinan melalui

transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan,

semakin besar risiko penularan. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%

(Kurniawati, 2011).

Penularan HIV pada neonatus selama proses kelahiran terjadi melalui

infeksi membran fetus dan cairan amnion dari vagina atau serviks yang berada di

bawahnya melalui masuknya darah ibu penderita HIV pada bayinya saat

persalinan serta melalui kontak langsung kulit dan mukosa membran bayi dengan

sekresi genital dan darah ibu yang menderita HIV saat persalinan berlangsung

(Murtiastutik, 2008).

2.4 Gejala Klinis HIV/AIDS

Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk klasifikasi gejala

infeksi HIV yaitu menurut WHO (World Health Organization) dan CDC (Centre for Diseases Control and Prevention) (Kurniawati, 2011).

Gejala dari infeksi akut HIV menyerupai mononucleosis infeksiosa,

meliputi demam, ruam di kulit, pembengkakan kelenjar getah bening, rasa tidak

enak badan yang berlangsung 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan menghilang,

meskipun pembengkakan kelenjar getah bening masih terjadi. Seiring dengan

penurunan imunitas tubuh, penderita akan memperlihatkan gejala-gejala kronis

seperti diare lebih dari satu bulan, berat badan menurun hingga 10% dalam satu

(41)

pada lidah (kandidiasis oral). Ketika sistem imun sudah semakin buruk, maka

muncul penyakit oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang

tidak umum, terutama sarkoma kaposi. Penderita pada tahap ini sudah

dikategorikan ke dalam AIDS (Sonenklar, 2011).

2.4.1 Klasifikasi menurut CDC

CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)

berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh

yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh

ditunjukkan oleh limfosit CD4. Sistem ini didasarkan pada tiga kisaran CD4 dan

tiga kategori klinis, yaitu:

1. Klasifikasi berdasarkan tiga kisaran CD4

a. Kategori 1 : ≥ 500 sel/μl

b. Kategori 2 : 200-499 sel/μl

c. Kategori 3 : ≤ 200 sel/μl

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 yang terendah

dari pasien. (Kurniawati, 2011).

2. Klasifikasi Berdasarkan Kategori Klinis

a. Kategori Klinik A (Klinik Laten)

Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), limfadenopati

generalisata yang menetap, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit

penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut (Kurniawati, 2011).

Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan

(42)

berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Imunofluorescence Assay (IFA) menunjukan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4> 500 sel/μl (Kurniawati, 2011).

b. Kategori B (Simptomatik)

Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau

orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan

memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang

dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan

perantara sel (cell mediated immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan

penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Termasuk kedalam kategori

ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis orofaringeal, Kandidiasis

vulvovaginal, Displasia leher rahim, Herpes zoster, Neuropati perifer,

penyakit radang panggul, listeriosis, oral hairy leukoplakia,purpura idiopatik trombositopenik, serta demam 38,5ᵒ atau diare lebih dari satu bulan

(Kurniawati, 2011).

Individu yang terinfeksi HIV dapat nampak sehat selama beberapa

tahun dan tanda dan gejala minor dari infeksi HIV mulai nampak. Jumlah

virus dalam darah akan menunjukkan peningkatan, sementara pada saat yang

sama jumlah limfosit CD4 menurun hingga mencapai 500 sel/μl. Individu

dengan kondisi kategori B, akan tetap dalam kategori B. Tapi keadaan ini

bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi kategori C apabila

terjadi kondisinya semakin parah, dan juga tidak dapat kembali lagi ke

(43)

c. Kategori C (AIDS)

Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS. Pada tahap ini,

individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan

keganasan yang mengancam kehidupan, meliputi: Kandidiasis bronki, trakea,

dan paru, kandidiasis esophagus, kanker leher rahim invasif,

Coccidiodomycosis menyebar atau di paru, kriptokokosis di luar paru, retinitis virus stimegalo, ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Herpes simpleks dan ulkus lebih dari sebulan lamanya, bronkitis, esofagitis atau pneumonia, histoplasmosis menyebar atau di luat paru, Isosporiasi intestinal

kronis lebih sebulan lamanya, Sarkoma Kaposi, Limfoma Burkitt, Limfoma

imunoblastik, Limfoma primer di otak, Mycobacterium avium complex atau M. kansassi tersebar atau di luar paru, Mikobakterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal menyebar atau di luar paru, Pneumonia Pneumocystis carinii, Pneumonia yang berulang, Leukoensefalopati multifokal progresif, Toksoplasmosis di otak, serta Septikemia Salmonella yang berulang (Kurniawati, 2011).

CDC juga membagi kategori C (AIDS) ke dalam 2 tahapan, yaitu;

tahap tanda dan gejala lanjut HIV serta tahap akhir penyakit HIV. Tahap

Tanda dan Gejala Lanjut HIV, individu yang terinfeksi HIV menunjukkan

infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupan. Perkembangan

pneumonia (Pneumocystis carinii), toxoplasmosis, cyptosporidiosis, dan infeksi oportunistik lainnya yang biasa terjadi. Individu dapat pula mengalami

(44)

limfosit CD4 menurun hingga <200 sel/μl. Pada keadaan ini individu akan

dinyatakan sebagai penderita AIDS (Kurniawati, 2011).

Sedangkan pada tahap akhir penyakit HIV, Individu yang terinfeksi

HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi

sitomegalovirus, kompleks Mycobacterium avium, Meningitis cyptococcal, Leukoencephalophaty multyfocal yang progresif, dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus

sangat meningkat dan jumlah limfosit CD4 < 50 sel/μl. Kematian bisa

dikatakan sudah sangat dekat. Sekali kondisi kategori C ini terjadi, maka

individu akan tetap pada kategori ini walaupun ada kemungkinan kondisi ini

dapat berubah (Kurniawati, 2011).

Klasifikasi CDC juga bisa digunakan untuk surveilans penyakit, penderita

yang dikategorikan ke kelas A3, B3, C1-3 dikategorikan AIDS. Sekali dilakukan

klasifikasi, maka pasien tidak dilakukan klasifikasi ulang, meskipun terjadi

perbaikan status imunologi misalnya peningkatan nilai CD4 karena pengaruh

terapi atau faktor fisik (Kurniawati, 2011).

2.4.2 Klasifikasi Menurut WHO

Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4 tidak tersedia, dalam hal

ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda

dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor

didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik (Kurniawati, 2011).

Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan >10%, demam yang

(45)

dari: kandidiasis orofaringeal, batuk menetap lebih dari 1 bulan, kelemahan tubuh,

berkeringat malam, hilang nafsu makan, infeksi kulit generalisata, limfadenopati

generalisata, herpes zoster, infeksi herpes simplex kronis, pneumonia, sarkoma kaposi (Widoyono, 2008).

Klasifikasi klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO dibagi menjadi 4

stadium klinis, yaitu :

a. Stadium I

Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya

Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap (Kurniawati, 2011).

b. Stadium II

Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat

kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo,

Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas bagian atas seperti

Sinusitis bakterialis (Kurniawati, 2011).

c. Stadium III

Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur <50%,

berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1

bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis

(46)

d. Stadium IV

Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas di tempat tidur

>50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis ekstrapulmonal,

Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan >1 bulan,

Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata seperti

histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru,

Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV

(Kurniawati, 2011).

2.5 Diagnosa HIV/AIDS

HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma,

cairan vagina, dan ASI. Penyebaran infeksi HIV sudah bisa terjadi sejak penderita

belum menampakkan gejala klinis. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa

sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit

tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Oleh karena itu,

diperlukan sistem diagnosis yang baik bagi penderita, sehingga status HIV positif

bisa diketahui dan penyebaran infeksi bisa dikendalikan (Kurniawati, 2011).

Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA

(47)

penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang

bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif (Kurniawati, 2011). Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1 %-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan

setelah infeksi. Namun ELISA mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2

(Widoyono, 2008).

2.Western Blot

Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika

tidak ada rantai protein yang ditemukan, berarti hasil tes negatif. Sedangkan

bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti hasil tes positif. Tes

Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulang lagi setelah dua minggu

dengan sampel yang sama. Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Kurniawati, 2011). Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya cukup

sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Widoyono, 2008).

Tes Western Blot merupakan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Tes ini dilakukan jika pemeriksaan

penyaringan menyatakan hasil yang reaktif. Dengan kata lain, tes ini

(48)

Dalam proses ini, protein virus dipisahkan dengan elektoforesis dan

kemudian ditransfer ke nitrocellulose paper serta diinkubasikan dengan antisera. Antibodi yang terikat antigen akan dideteksi dengan enzyme-labeled anti-human globulin sera. Serum penderita yang terinfeksi mengandung antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein envelope atau protein inti, atau keduanya. Tes ini untuk medeteksi HIV-1 dapat

mendeteksi infeksi HIV-2 dengan tingkat akurasi 60-90% (Alam, 2012).

Interpretasi hasil Western Blot; negatif bila tidak ditemukan adanya band protein, positif bila ditemukan minimal 2 band (dari 3 protein p24, gp41, atau gp120), tiga tau lebih band, dan salah satunya dari gag, pol, env, serta band p24 atau p31 dan p41 atau gp120. Interminate jika ditemukan satu dari 3 band utama. Hasil interminate harus diulang dan bila tidak berubah harus dikonfirmasi dengan tes virulogi (Alam, 2012).

3. PCR (Polymerase chain reaction)

PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik

untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak

jelas (Kurniawati, 2011). PCR digunakan untuk tes HIV pada bayi. Hal ini

dikarenakan zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat

pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang menderita HIV akan

membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan

itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan membuat

hasil pemeriksaaan seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut.

Selain itu, PCR juga digunakan untuk menetapkan status infeksi individu

(49)

berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, dan tes konfirmasi untuk

HIV-2 (Widoyono, 2008).

a. PCR HIV DNA

Jumlah sel yang terinfeksi dapat diukur dengan deteksi DNA

HIV-1 menggunakan PCR. Pemerikasaan PCR DNA dari PBMC

memiliki sentitifitas dan spesifitas yang sebading dengan kultur.

Pemeriksaan ini bernilai progresif infeksi HIV. Peningkatan 1-2 kali

lipat jumlah sel yang terinfeksi dalam darah perifer biasanya terjadi

pada penderita yang progresif. Pemerikasaan ini tetap positif pada

penderita yang mendapat terapi HAART, walaupun RNA plasma tidak

terdeteksi. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 100%. Walaupun

demikian, hasil negatif palsu maungkin terjadi bila penderita terinfeksi

virus dengan strain berbeda (Alam, 2012). b. PCR HIV RNA

Pengukuran sel dengan mRNA HIV dalam darah perifer,

walaupun sulit, dapat memprediksi progresi penyakit menjadi HIV,

bahkan pada penderita dengan infeksi tahap awal dan jumlah sel CD4

yang relatif tinggi. Tes ini lebih tepat dipergunakan untuk pemantauan

progresi penyakit. Penggunaan tes ini untuk penegakan diagnosis

masih belum banyak diteliti. Metode pemeriksaan PCR HIV RNA

Gambar

Tabel 4.2
Tabel 4.6  Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Jumlah CD4
Tabel 4.7 Distribusi Penderita HIV/AIDS Berdasarkan Tahap Terapi
Tabel 4.9  Distribusi Proporsi Umur Penderita HIV/AIDS Berdasarkan
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan untuk evaluasi. Laporan juga sering kali dijadikan alat bukti atau penilaian.. akan kinerja perpustakaan. Ini juga merupakan salah satu yang sering. ditanyakan jika ada

43/S EOJ K.03/2016 tentang “Transparansi dan Publikasi Laporan Bank Umum Konvensional” yang berlaku sejak tanggal ditetapkan (28 September 2016), Cadangan Tujuan tidak dapat

A permanent change in the price of an addictive good may have only a small initial effect on demand, but the effect grows over time until a new steady state

The research took place in Ngancar District, Kediri Regency, East Java Province, using the secondary data derived from Central Bureau of Statistics (Kediri Regency) and

James R Bettman; Mary Frances Luce; John W Payne.. Journal of Consumer Research; Dec 1998; 25, 3; ABI/INFORM

Berdasarkan kesepakatan tersebut di atas, tidak terdapat keuntungan atau kerugian dan piutang atau kewajiban yang harus dicatat oleh Perusahaan dalam laporan

pengembalian periodik yang konstan atas investasi bersih Perusahaan dan Anak perusahaan sebagai lessor dalam sewa pembiayaan. Lease payment receivable is treated as

Program studi yang diusulkan harus memiliki manfaat terhadap institusi, masyarakat, serta bangsa dan negara. Institusi pengusul memiliki kemampuan dan potensi untuk