Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ahmad Bustomi Kamil NIM :1111048000046
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iv
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M.
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dengan dibatalkannya Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, berdampak pada diselenggarakannya Pemilihan Umum secara serentak antara Presiden dengan Legislatif untuk tahun 2019 dan seterusnya. Pemilihan Umum tersebut diproyeksikan membawa implikasi pada penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun apakah Pemilihan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial, serta variabel apa saja yang mempengaruhi dalam rangka penguatan sistem presidensial.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus
(case approach). Menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan Putusan 14/PUU-XI/2013 untuk membuktikan relevansi Pemilihan Umum serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya mengandalkan pemilu serentak tapi perlu didukung variabel lain dalam rangka memperkuat sistem presidensial di indonesia, seperti meningkatkan parliamentary
threshold, mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif atau
memperkokoh bangunan koalisi yang telah dibentuk dengan ketentuan yang lebih jelas dan baku.
Kata kunci: sistem pemerintah presidensial, coattail effect, parliamentary threshold, penguatan sistem presidensial.
Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Nur Rohim Yunus, LLM.
v
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat
yang tidak terhingga banyaknya, Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia
hingga akhir zaman.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘alamin penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF TERHADAP PENGUATAN
SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat
bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan kali
ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
vi
memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan skripsi.
3. H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
saran dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Nur Rohim Yunus, LLM. selaku dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan
masukan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan skripsi ini
5. Kedua orang tua yang saya sangat cintai dan sayangi, Bapak Kamiludin
dan Ibu Rahyuni Thahir yang telah mendoakan, mendukung dan menjadi
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hari-hari beliau sepenuhnya
untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada kakak perempuan saya Ilan Kamilah serta adik-adik saya yakni
Az-Zahra Nabilah Kamil dan Muhammad Ikhlasul Kamil yang telah menjadi
inspirasi dan penyemangat, dan juga tidak lupa untuk keluarga besar yang
selalu mendoakan Penulis agar penelitian ini terselesaikan.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum, Kelas
B Ilmu Hukum Angkatan 2011, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
yang sekaligus menjadi keluarga yakni M. Rizki Firdaus, Azhar Nur Fajar
vii
8. Kawan-kawan AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum), PSHK (Pusat
Studi Hukum Kelembagaan Negara) dan FKMB (Forum Komunikasi
Mahasiswa Betawi).
Akhir kata, atas jasa dan bantuan para semua pihak yang terlibat serta juga
memberikan masukan, semoga Alah memberikan balasan yang berlipat. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat
serta para pembaca secara umunya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, 09 Oktober 2015
viii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ………... ... v
DAFTAR ISI ………... .... ...viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… ... 1
B. BatasandanRumusanMasalah ... 6
C. TujuandanManfaatPenelitian ... 7
D. Tinjauan (Review) StudiTerdahulu………... . 8
E. KerangkaTeori………... 9
F. MetodePenelitian…………... ………... 12
G. SistematikaPenulisan ……….... ... 15
BAB II TEORI BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN
ix
b. Bentuk Pemerintahan Monarki ... 23
2. Sistem Pemerintahan ... 24
a. Sistem Pemerintahan Parlementer... 25
b. Sistem Pemerintahan Presidensial... 27
c. Sistem Pemerintahan Campuran ... 29
BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA A. Sistem Pemerintahan di Indonesia ... 31
1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945 2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 34
1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 34
2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 36
3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 37
x
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
A. Relevansi Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap
Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 45
B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 ... 56
C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak Terhadap Sistem Pemilihan Umum
di Indonesia ... 60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 68
1 BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam
suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).1 bellum
omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup
dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan
undang-undang.2 Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk
mendirikan sebuah negara.
Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia
untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang
lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini
terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari
nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare
state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada
negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.3
Secara umum unsur pokok terbentuknya sebuah negara yaitu: (1) Adanya
rakyat (masyarakat) tertentu; (2) Adanya daerah (wilayah) tertentu; (3) Adanya
pemerintahan yang berdaulat. Menurut Mahfud MD Pemerintahan adalah alat
1
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012, Cet. Kesebelas), h. 83.
2
Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis, (Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.
3
kelengkapan negara yang bertugas memimpin negara untuk mencapai tujuan
negara. Oleh sebab itu pemerintah seringkali menjadi personifikasi negara.4
Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan
untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk
menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di
dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara
sebagai pemegang kekuasaan negara.
Menurut Carl J. Friedrich5 sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari
beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian
maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah
satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.
Adapun pengertian pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh organ
kekuasaan di dalam negara yaitu legislataif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam
arti sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi
fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh
Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat sampai ke daerah.6
Karena itu apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya
adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara
4
Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001, Cet. Kedua), h. 64.
5
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.
6
lembaga-lembaga negara menjalankan keuasaan negara itu, dalam rangka
menyelenggarakan kepentingan rakyat.7
Sri Soemantri8 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem
hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan antara
eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan parlementer dan
sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa inggris disebut cabinet
government system dan presidential government system atau the fixed executive
system.
Dalam perkembangan negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara
didasarkan pada konstitusi.9 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis atau
yang lazimnya disebut Undang-Undang Dasar. Melalui Undang-Undang Dasar
kita dapat melihat negara mulai dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem
pemerintahan dan jaminan hak asasi manusia.
Dalam konteks Indonesia, konstitusi tertulis tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menjadi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut
UUD NRI 1945). Di dalamya memuat mengenai bentuk negara dan bentuk
pemerintahan (Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945) serta sistem pemerintahan.
7
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 148.
8
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 148.
9
Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,
sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan
perancang Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-ciri penting yang ada di sistem
presidensial yakni10:
1. Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan; 2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden
bertanggungjawab kepada rakyat;
3. Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan parlemen;
4. Presiden memiliki masa jabatan tetap;
5. Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.
Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum
amandemen adalah tidak murni, karena Presiden dalam menjalankan
pemerintahannya harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai
lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
MPR juga berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena
tuduhan pelanggaran haluan negara.11
Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945
(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial.12 Hal ini dibuktikan dengan
dimuatnya ciri-ciri pokok sistem presidensial ke dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A
ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945.
10
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, Cet. Kedua), h. 59-60.
11
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, Cet. Kedua) h. 97-98.
12
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara Indonesia di era reformasi ini
menganut sistem presidensial. Karna ciri-ciri pokok sistem presidensial
disebutkan secara tegas dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 menempatkan
presiden dalam posisi yang kuat dan strategis, karna presiden tidak dapat
dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara limitatif oleh UUD NRI 1945
(Pasal 7A UUD NRI 1945).
Dalam hal pengisian jabatan Presiden, Pasal 6A ayat (2) menyebutkan
bahwa “Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”. Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Tata cara
pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirlah Undang-Undang pelaksana
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang nomor 23 tahun
2003 yang sekarang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 42
tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang
menghendaki Pemilu Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut Pemilu Legislatif).
Terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, telah dilakukan
permohonan Pengujian Undang-Undang oleh Effendi Gazali pada tanggal 10
januari 2013 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pada
Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD
untuk pemilihan umum seterusnya dilakukan secara serentak.13
Menurut Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang
dilakukan setelah Pemilu Legislatif melemahkan sistem presidensial yang hendak
dibangun oleh UUD NRI 1945. Negosiasi dan tawar-menawar (bargaining)
politik yang dilakukan dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan
dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintah, mempengaruhi jalannya roda
pemerintahan di kemudian hari.
Oleh karena itu, Presiden pada faktanya sangat bergantung pada
partai-partai yang mempunyai hak eksklusif dalam pencalonan Presiden (Pasal 6A ayat
(2) UUD NRI 1945) yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat mereduksi posisi
Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem
pemerintahan presidensial yang dianut UUD NRI 1945.
Dari uraian di atas menarik untuk dikaji apakah pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang dilakukan secara serentak dengan pemilihan Anggota
DPR,DPD, dan DPRD mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem
presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945.
B.Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan yang akan dibahas dalam
penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus
13
pada relevansi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara
serentak dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap penguatan
sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan
yang akan diteliti adalah :
a. Apakah Pemilhan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap
penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945?
b. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam
Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam pengujian Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden?
c. Apa implikasi pemilu serentak terhadap sistem pemilihan umum di
indonesia?
C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penulisan dalam skripisi
ini adalah:
a. Untuk mengetahui apakah pemilihan umum secara serentak mempunyai
relevansi terhadap penguatan sistem presidensial.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi republik
c. Untuk mengetahui implikasi pemilihan umum serentak terhadap sistem
pemilihan umum di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam
hukum tata negara khsususnya mengenai relevansi pemilu serentak
terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945
serta mengetahui dampak pemilu serentak terhadap kefektivitan
pemerintahan. Selain itu dapat menambah pembendaharaan karya ilmiah
dengan memberikan konstribusi bagi perkembangan hukum tata negara di
Indonesia.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi kerangka acuan dan landasan bagi
penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi
pembaca khususnya mengenai relevansi pemilu serentak terhadap
penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945.
D.Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Jurnal
Sodikin, Jurnal RechtVinding Volume 3 Nomor 1 April tahun 2014 yang berjudul “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem presidensial.
Hayat, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 3, September 2014
Hukum Penelitian saya, Relevansi Pemilu Serentak Presiden dan Legislatif
Terhadap Penguatan Sistem Presdiensial di Indonesia.
Persamaan
Persamaan dari penelitian sebelumnya adalah sama-sama menganalisis apakah pemilu serentak presiden dengan legislatif berdampak pada penguatan sistem presidensial di Indonesia berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013.
Perbedaan
Sodikin: Jurnal ini lebih mempersoalkan mengenai ambang batas
(presidential threshold) sebagai bentuk
pelemahan sistem presidensil yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Hayat: Jurnal ini meneliti bahwa sistem multi partai sederhana mempunyai korelasi terhadap penguatan sistem presidensial. Penelitian ini berangkat dari perspektif efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, bahwa sistem multi partai sederhana sangat cocok diterapkan di dalam sistem presidensial
Penelitian saya: skripsi saya meneliti apakah pemilu serentak presiden dan legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial ditinjau dari teori pemisahan kekuasaan dengan prinsip
Checks and Balances dan ciri-ciri pokok sistem
presidensial yang menghendaki kedudukan antara eksekutif dan legslatif adalah sejajar.
E.Kerangka Teori
1. Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum selalu terkait dengan ide negara hukum. Ide
negara hukum muncul dari latar belakang terjadinya kesewenang-wenangan
penguasa.14 Ide negara hukum sudah dikenal sekitar 500 SM oleh bangsa
Yunani Kuno. Ide negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato
14
dalam karyanya Politea (the Republic), Politicos (the Stateman), dan Nomoi
(the Law). Dan ide atau gagasan negara hukum mucul lagi di eropa barat
sekitar abad -17-18.
Ide negara hukum secara garis besar menghendaki adanya pembatasan
kekuasaan negara berdasarkan hukum. Hukum memegang peranan tertinggi
dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam
penyelenggaran kekuasaan negara. Hal ini sejalan dengan teori kedaulatan
hukum yang mengatakan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak
pada raja, tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum.15
Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julis Stahl,
dan lain-lain dengan menggunaka istilah Jerman yaitu Rechsstaat.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konseop negara hukum
dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut
Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut Rechsstaat itu mencakup
setiap negara hukum yang disebut dengan isitilah The Rule of Law, yaitu:
1. Supermacy of Law.
15
Hendra Nurthahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008, Cet.Kedua), h. 37.
16
2. Equality of Law.
3. Due Process od Law.
Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara
hukum klasik, dan negara hukum materil atau negara hukum modern.
Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil
dan sempit, yaitu peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara
hukum materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di
dalamnya.
2. Teori Pemisahan Kekuasaan
Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri
kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment”
(1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum
tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke
membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu
kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive
power), dan kekuasaan Federatif (federatif power).
Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan
dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan
negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif.
Panadngan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion
of power di zaman sesudahnya.
Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara
masing-masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,
kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan
demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Dalam pandangannya sebagai berikut17 :
“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from
legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge
might behave with violence and oppresion.”
Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan
negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara.
Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh
saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika
tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat
tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebuut
hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi
kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan
antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan,
dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama
lain dengan prinsip checks and balances.
F. Metode Penelitian
17
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian normatif yaitu penelitian
hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangun sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta
doketrin (ajaran).18
2. Pendekatan penelitian
Sehubungan dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang
digunakan adalah:
a. Pendekatan Sejarah;
b. Pendekatan Perundang-undangan.
c. Pendekatan Comparatif (Perbandingan)
3. Sumber Penelitian (bahan yang dijadikan rujukan)
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.19
1) Perundang-undangan terdiri dari :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
18
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. Pertama), h. 31.
19
b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pendadilan. Tentunya
yang berkaitan dengan penelitian ini.20
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustkaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber seperti buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan, pendapat sarjana, surat kabar, artikel,
kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.
5. Metode Analisis dan Pengolahan data
Adapun untuk menganalisis data kualitatif ini penulis menggunakan
pola berpikir deduktif-induktif, yaitu deduktif-induktif ini digunakan untuk
menjelaskan bab II dan bab III. Setelah dijelaskan tentang inti dari
penelitian dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang
dihadapi.
6. Metode Penulisan
20
Dalam metode penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012.
G.Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi ini, maka
penulis memberikan sistematikanya secara garis besar. Penulisan penelitian ini
dibagi menjadi lima bab, dimana setiap bab akan dibahas secara rinci sebagai
bagian dari keseluruhan penelitian ini dengan maksud untuk mempermudah
memahami penulisan penelitian ini. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan
Merupakan pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh
pembahasan. Dalam hal ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan,
pokok permasalahan, metode pembahasan, serta sitematika penulisan
penelitian ini.
BAB II Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Negara
Dalam bab ini akan membahas secara komprehensif mengenai kekuasaan
negara, mulai dari paham konstitusionalisme, doktrin Pemisahan
Kekuasaan dengan prinsip Checks and Balances. Serta juga membahas
mengenai teori bentuk dan sistem pemerintahan
Dalam bab ini akan membahas mengenai sistem pemerintahan di
Indonesia, kemudian dilanjutkan membahas mengenai kedudukan
eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial di
Indonesia serta pola hubungan antar kedua lembaga tersebut. Dan juga
membahas megenai variabel yang mempengaruhi sistem presidensial
BAB IV Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
14/PUU-XI/2013
Bab ini merupakan inti dari penelitian ini yakni dengan melihat dasar
pertimbangan Hakim Mahkamah Konsitusi dalam Putusan Nomor
14/PUU-XI/2013 serta menganalisis Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor
14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak.
BAB V Penutup
Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penullis
mencoba menyimpulkan dan memberikan usulan-usulan mengenai
17 BAB II
TEORI KEKUASAAN NEGARA
A. Paham Konstitusionalisme
Untuk mengetahui mengenai paham konstitusionalisme maka terlebih
dahulu memahami apa itu konstitusi. Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia
berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “contitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constituonnel” (bahasa Perancis),
“versfassung” (bahasa Jerman). Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis
yakni constituer yang berarti membentuk.1
Selama abad ke-16 dan abad ke-17 negara-negara bangsa (nation state)
mendapat bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan berkuasa. Berbagai teori
berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan kekuasaan
yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini
mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in parliament’ yang pada dasarnya
mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.2
Berawal dari kekuasaan yang liar dan tak terkendali, maka harus ada
konstitusi baik itu dalam sebuah negara republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk
membatasi kekuasaan, semua konstiusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan
1
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media Bandung, 2013, Cet. Pertama), h. 206.
2
dibatasi sebagaimana mestinya. Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya
dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.3
Pada perkembangan selanjutnya istilah konstitusi pada umumnya
dipergunakan untuk menujuk kepada segala peraturan mengenai ketatanegaraan
suatu negara yang secara keseluruhan menggambarkan sistem ketatanegaraan.4
Konstitusi menjadi hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelengaraan
negara.5 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut
Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.
Undang-undang dasar menempati tata urutan peraturan
perundang-undangan tertinggi dalam negara. Dalam undang-undang dasar termuat pemegang
kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,
kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta
hak-hak rakyat.
Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu
keniscayaan. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai
saat ini, Inggris dan Israel tidak dikenal memiliki suatu naskah undang-undang
dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat,
tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan.6
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 17.
4
A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 207.
5
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 117.
6
Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai
dasar hukum dalam penyelenggaraan negara. paham konstitusionalisme
mengemban the limited state (negara terbatas), dimana dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan maka hal
tersebut tersebut harus dinyatakan dan diatur secara tegas dalam pasal-pasal
konstitusi. pada prinsipnya paham konstitusionalisme menyangkut prinsip
pembatasan kekuasaan.7
Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip
pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu pertama, hubungan antara pemerintah dengan
warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu
dengan lembaga pemerintahan yang lain. Oleh karena itu, biasanya konstitusi
dimaksudkan mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan
kekuasaaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga
negara yang satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara
lembaga-lembagan negara dengan warga negara.8
B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances
Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri kembali
dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang
7
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 119.
8
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 120.
berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh
dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi
kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federatif power).
Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan dengan
mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3
(tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesquieu
inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya.
Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam
organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasan
legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya
dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya
dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Dalam pandangannya sebagai berikut9 :
“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from legislative
and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge might behave with violence and
oppresion.”
Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara
itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya
boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri
9
urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka
kebebasan akan terancam.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat
tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya
berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan
tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang
kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan
ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan
prinsip checks and balances.10
C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan
1. Bentuk Pemerintahan
Secara umum, seringkali terjadi pencampuran dalam menggunakan
istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal kedua
hal tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Sri Soemantri melihat bentuk
pemerintahan sebagai penggambaran struktur organisasi yang dipilih dalam
menjalankan negara.11 Sedangkan sistem pemerintahan yaitu mengenai
hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.12
10
Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
h. 35.
11
Hendra Nurtjhajo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, Cet. Pertama), h. 40.
12
Menurut Hanks Kelsen, bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi
republik dan monarki. Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris
atau keturunan maka bentuk pemerintahan tersebut disebut monarki.
Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum untuk masa
jabatan tertentu maka bentuk pemerintahan tersebut disebut republik.13
a. Bentuk Pemerintahan Republik
Bentuk pemerintahan republik telah dikenal sejak masa
pemerintahan Yunani klasik dan Romawi. Negara-negara kota (Polis
atau City State) di Yunani seperti Athena dan Sparta adalah republik.
Demikian pula Romawi, sebelum berkembang menjadi kerajaan atau
kekaisaran, adalah republik. Meskipun secara konseptual
pemerintahan Yunani klasik berbentuk republik, nama republik sendiri
itu tidak dikenal meskipun tulisan Plato Politea disalin dengan nama
republik.14
Pemahaman dan perwujudan bentuk republik berasal dari
Romawi, yaitu bahasa Latin res publica yang berarti segala sesuatu
berkenaan dengan (kepentingan) umum (rakyat). Baik di Yunani
Klasik maupun Romawi bentuk republik tidak dikaitkan dengan
jabatan presiden. Jabatan presiden yang dikaitkan dengan bentuk
republik pertama kali digunakan setelah revolusi Amerika Serikat dan
revolusi Perancis.
13
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 23.
14
Secara asasi paham republik mengandung makna bahwa
pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan
umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam
republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan
berdasarkan kehendak umum (rakyat). Hal ini hanya dimungkinkan
kalau kepala negara bukan raja. Raja yang turun-temurun tidak
memungkinkan keikutsertaan umum (rakyat) untuk memilih dan
dipilih sebagai kepala negara.15
Dalam konteks Indonesia, bentuk pemerintahan Indonesia adalah
republik. Bentuk pemerintahan tersebut dinyatakan secara tegas dalam
pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Negara indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai prasyarat bahwa pemerintahan yang dijalankan
untuk kepentingan umum (rakyat).
b. Bentuk Pemerintahan Monarki
Bentuk pemerintahan kerajaan biasanya ditandai seorang raja,
kaisar, sultan yang menjadi kepala negara. Jabatan tersebut diduduki
secara turun-temurun dan dijabat seumur hidup. Contoh negara yang
berbentuk kerajaan atau monarki adalah Inggris, Belanda, Nowergia,
Swedia dan Thailand.
M. Solly Lubis mendefinisikan monarki atau kerajaan sebagai
pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh “satu” orang
15
yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang.16
Pengertian yang agak berbeda disampikan oleh A. Appodorai yang
mengartikan monarki sebagai pemerintahan oleh seorang individu
yang tidak tunduk pada pembatasan hukum apapun, melakukan segala
sesuatu atas kehendak sendiri.
Dari perbedaan kedua pandangan tersebut maka monarki atau
kerajaan dapat di bagi menjadi dua bentuk :
1) Monarki Absolute, dimana kekuasaan raja tidak dibatasi
oleh apapun.
2) Monarki Konstititusional, dimana kekuasaan raja dibatasi
oleh Konstitusi.
Dalam perkembangannya bentuk-bentuk kerajaan dengan
kekuasaan absolut telah banyak berkembang menjadi pemerintahan
kerajaan atau monarki yang tunduk pada hukum, tunduk pada
kehendak rakyat, tunduk pada konstitusi (Monarki Konstitusional),
seperti di Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang dan Thailand.
2. Sistem Pemerintahan
Sri Soemantri17 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan
sistem hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan
antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa
16
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, 1990, Cet. Keempat), h. 55.
17
inggris disebut cabinet government system dan presidential government
system atau the fixed executive system.
Sejalan dengan pandangan di atas, Jimly Asshddiqie mengemukakan
sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu
penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan
legislatif. Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori dichotomy, yaitu
legislatif sebagai policy making (taak stelling) sedangkan eksekutif sebagai
policy executing (taat verwezenlijking).18
Dari penelusuran berbagai literatur terdapat varian sistem
pemerintahan. Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga
kategori: presidentialism, parliamentary system, dan semi-presidentialism.
Lebih variatif lagi Denny Indrayana membuat kategorisasi sistem
pemerintahan, yaitu sistem presidensial, sistem parlementer, sistem hibrid
atau campuran, sistem kolegial dan sistem monarki.19
Meskipun terdapat banyak varian, sistem pemerintahan yang dibahas
dalam penelitian ini dibatasi pada sistem pemerintahan presidensial, sistem
parlementer, dan sistem campuran. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
memperlihatkan bahwa sistem kolegial dan sistem monarki tidak pernah
diterapkan.
a. Sistem Pemerintahan Parlementer
18
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 24.
19
Tercatat dalam sejarah, Inggris merupakan tempat kelahiran
sistem pemerintahan parlementer. Dari berbagai macam sistem
pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem parlementer
merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di
seluruh dunia. Sejak Perang Dunia II dua pertiga dari negara-negara
dunia ketiga yang memilih sistem pemerintahan parlementer suskses
dalam transisi demokrasi.
Sistem pemeritahan parlementer merupakan sistem yang
ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung jawab
kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih)
kepada parlemen. Dengan argumentasi itu, sistem parlementer
dilandaskan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi
(parliament is soverign) atau dalam bahasa A.V Dicey parliamentary
supremacy.20
Di dalam sistem pemerintahan parlementer tugas atau kekuasaan
eksekutif diserahkan kepada badan yang disebut kabinet atau dewan
menteri. Kabinet ini nantinya dipimpin oleh seorang perdana menteri
yang mempertanggung jawabkan pemerintahannya kepada badan
perwakilan rakyat atau parlemen. Jadi dalam sistem ini kepala negara
tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan, yang
memikul segala pertanggung jawaban pemerintahan adalah kabinet.
20
Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sistem
pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut21:
1) Kepala negara hanya sebagai lambang/simbol negara yang hanya
mempunyai tugas-tugas yang bersifat fomal;
2) Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/nyata adalah
perdana menteri sebagai pemimpin kekuasaan eksekutif beserta
para menteri-menterinya. Perdana menteri bertanggung jawab
kepada badan perwakilan rakyat;
3) Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan terpilih atas
dukungan mayoritas di parlemen;
4) Masa jabatan perdana menteri beserta kabinet ditentukan
berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen.
Dari kriteria di atas selain ada pemisahan antara kepala negara
(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government),
karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer
adalah tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif
kepada dukungan parlemen. Apalagi, eksekutif tidak pilih langsung
oleh pemilih sebagaimana pemilihan untuk anggota legislatif.
b. Sistem Pemerintahan Presidensial
Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan
perkembangan sistem parlementer Inggris, sistem pemerintahan
presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Amerika
21Ni’matul Huda,
Serikat tidak hanya merupakan tanah kelahiran sistem presidensial,
tetapi juga sebagai contoh ideal karena memenuhi hampir semua
kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial.
Menurut Jimly Asshiddiqie ada beberapa ciri penting dalam
sistem presidensial22:
1) Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala
pemerintahan;
2) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya
presiden bertanggungjawab kepada rakyat;
3) Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden
tidak dapat membubarkan parlemen;
4) Presiden memiliki masa jabatan tetap;
5) Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.
Berdasarkan karakter yang dikemukakan salah satu karakter yang
utama adalah presiden memegang fungsi ganda yaitu sebagai kepala
negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Selain itu karakter sistem
presidensial juga dapat dilihat dari pola hubungan antara lembaga
eksekutif dengan legislatif. Pola yang bisa dilacak dengan adanya
pemilihan umum yang terpisah antara untuk memilih presiden dan
untuk memilih legislatif.
Pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan untuk
memilih legilatif membawa dampak pada pemisahan kekuasaan
22
karena keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat. T. A.
Legowo mengungkapkan “...karena petinggi-petinggi eksekutif
dipilih secara terpisah dengan legislatif, sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan..”.23
c. Sistem Pemerintahan Campuran
Dalam sistem pemerintahan ini, badan eksekutif merupakan
bagian dari badan legislatif. Misalnya di Swiss yang disebut
Bundesrat (badan eksekutif) adalah badan pekerja dari
Bundesversammlung (badan legislatif). Dalam sistem ini badan
legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas
pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif dilakukan
langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.24
Lembaga referendum yaitu suatu pemungutan suara secara
langsung oleh rakyat yang berhak mengeluarkan suara untuk
menentukan tentang pendapat rakyat. Hal ini diterapkan di Swiss
dimana ada mekasnisme kontrol secara langsung dari rakyat yang
mengontrol tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan dari badan
legislatif, seperti Bundesversammlung yang ada di Swiss.
Referendum di Swiss ada dua macam yaitu25:
23
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 41.
24
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 56.
25Ni’matul Huda,
1) Referendum wajib, ini adalah referendum yang menentukan
berlaku atau tidaknya suatu undang-undang atau suatu peraturan;
2) Referendum tidak wajib, ini adalah pemungutan suara yang dapat
dituntut oleh rakyat, untuk menentukan apakah suatu
undang-undang yang telah berlaku itu akan boleh terus berlaku atau tidak,
31 BAB III
SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA
A. Sistem Pemerintahan di Indonesia
1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945
Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen
Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan
Presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab
atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah Presiden, sedangkan
para menteri hanyalah pembantu Presiden, dalam artian Presiden berperan
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal ini tertuang dengan
tegas di dalam:
a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang
Dasar dan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dalam menjalankan kewajibannya
Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
b. Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, sedangkan ayat (2) berbunyi “Menteri-menteri
itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Hal ini memperkuat
penjelasan bahwa Presiden dalam UUD 1945 memiliki kewenangan di
dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, dengan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat melainkan kepada Presiden sebagai
pembantu Presiden.
c. Penjelasan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam
negara. Untuk menjalankan Undang-Undang, Dia mempunyai kekuasaan
untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair).
Dilihat dari Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945
menetapkan bahwa MPR memegang kedaulatan rakyat dan mengangkat
Presiden dan secara otomatis maka pertanggung jawaban Presiden adalah
kepada MPR selaku pemegang kedaulatan rakyat dan memilih Presiden.
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden bersama
dengan DPR membentuk kekuasaan legislatif, dengan kata lain bahwa
Presiden sendiri berhak menciptakan hukum untuk mengatur pertanggung
jawaban kepada MPR atas dasar Pasal-Pasal yang bersangkutan, dan Presiden
bekerja sama dengan DPR dalam menjalankan proses legislasi. Presiden dapat
menolak Rancangan Undang-Undang hasil inisiatif dari DPR, maka artinya
bahwa kekuasaan legislatif dalam pembentukan Undang-Undang bukan
berada di tangan DPR melainkan berada di tangan Presiden. Kekuasaan
Presiden itupun ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950
Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa Presiden memiliki
kewenangan dalam mengangkat danm memberhentikan anggota-anggota
Mahkamah Agung, sehingga itu menyatakan bahwa Presiden juga memiliki
Berdasarkan atas penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar (executive heavy) karena di
samping memiliki kekuasaan eksekutif, juga memiliki kekuasaan dalam
legislatif dan yudikatif sehingga mengakibatkan tidak adanya pemisahan
kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945.
2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945
Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,
sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh
kalangan perancang Undang-Undang Dasar 1945.1 Akan tetapi, sistem
presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak murni,
karena Presiden dalam menjalankan pemerintahannya harus
mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang
mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga
berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena
tuduhan pelanggaran haluan negara, lagi pula pengertian haluan negara itu
sendiri bersifat sangat luas yaitu dapat pengertian politik dan hukum
sekaligus.
Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945
(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dengan kesepakatan
memperkuat sistem pemerintahan presidensial maka ciri-ciri penting dalam
sistem pemetintahan presidensial diakomodir kedalam UUD NRI 1945. Dalam
1
Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945 jelaslah
bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial.
Menurut Dasril Radjab2 dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945
bisa disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI
1945 adalah sistem pemerintahan presidensial karena:
1. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus merangkap kepala
pemerintahan yang memerintah penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari
(Pasal 4 UUD NRI 1945);
2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka
tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR ataupun
MPR (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945);
3. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga Presiden
tidak berwenang membubarkan parlemen (Pasal 7C UUD NRI 1945);
4. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat
(2) UUD NRI 1945;
5. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama lima tahun atau
dalam masa jabatan yang tetap (fixed term) (Pasal 7 UUD NRI 1945).
B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
2
Bila merujuk pada teori trias politica Montesquieu, dalam konteks
Indonesia maka eksekutif dalam hal ini adalah Presiden. Dalam Pasal 4 ayat
(1) UUD NRI 1945 mengatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka dapat dipahami bahwa untuk melihat kewenangan yang dimiliki Presiden tidak
hanya merujuk hanya pada BAB III UUD NRI 1945 tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara.
Berikut adalah kewewenangan yang dimiliki Presiden menurut UUD
NRI 1945:
a. Kewenangan dalam bidang eksekutif meliputi:
1) Menjalankan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945);
2) Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan
Undang-Undang (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945);
3) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udaara (Pasal 10 UUD NRI 1945);
4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1)
UUD NRI 1945);
5) Membuat perjanjian internasional dengan persejtujuan DPR (Pasal
11 ayat (2) UUD NRI 1945);
6) Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945);
8) Mengangkat dan memberhentikan mentri-menteri (Pasal 17 UUD
NRI 1945);
9) Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain (Pasal 15 UUD NRI 1945).
b. Kewenangan dalam bidang legislatif meliputi:
1) Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat
(1));
2) Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
sebagai pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1)).
c. Kewenangan dalam bidang yudikatif meliputi:
1) Memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1));
2) Memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)).
Dengan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD NRI 1945,
menempatkan posisi yang kuat dan strategis bagi Presiden. Selain karna
mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat (dipilih secara langsung oleh
rakyat), presiden tidak dapat dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara
limitatif oleh UUD NRI 1945 (Pasal 7A UUD NRI 1945).
2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di
Indonesia
Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan
adalah sistem hubungan mengenai eksekutif dan legislatif. Maka dalam
undang-undang adalah DPR. hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam Pasal 20
ayat (1) UUD NRI 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”.
Pasca Amandemen UUD 1945, selain dikembalikannya fungsi
legislasi kepada DPR, peningkatan peran DPR tidak hanya pada fungsi
legislasi tapi juga menyangkut fungsi pengawasan dan fungsi anggaran
(budget).3 Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Selain dari kewenangan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran
(budget), DPR mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian
Presiden kepada MPR (Pasal 7A UUD NRI 1945). Hal ini merupakan
bagian prinsip checks and balances atas peran Presiden yang tidak hanya
penting dan strategis tapi juga merupakan penerima mandat langsung dari
rakyat karna Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
di Indonesia
Hubungan Presiden dan DPR menjadi salah satu penentu dianutnya
sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini mempresentasikan
hubungan lembaga eksektuif dan legislatif. Meskipun terdapat lembaga
negara lain yang digolongkan menjadi lembaga legislatif yaitu MPR dan
DPD, namun yang memegang kekuasaan legislatif secara nyata hanyalah
DPR menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945.
3
Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar
dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (checks
and balances). Menurut UUD NRI 1945 dalam hal tertentu kebijakan
Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan
duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan
perang, membuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta
membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas harus
dengan persetujuan DPR.
Disisi lain, DPR dalam menjalankan fungsinya seperti fungsi
membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui
bersama dengan Presiden meskipun kekuasaan membentuk Undang-Undang
ada di tangan DPR. Dalam fungsi anggaran dalam hal ini menentukan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan
rancangan APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR,
apabila rancangan tidak mendapat persetujuan DPR maka Presiden
menjalankan APBN tahun sebelumnya.
Dari pola hubungan diatas menunjukan adanya prinsip checks and
balances diantara kedua lembaga tersebut. Dengan adanya prinsip checks
and balances ini kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol
dengan sebaik-baiknya, sehingga kekuasaan oleh aparat penyelenggara
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.4
C. Variabel yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial
Karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif
dan legislatif (executive is not dependent on legislative). karna baik presiden
mapupun anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan
karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial
dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada
legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan
(divide government) dapat beriimplikasi deadlock.5
Menurut Scott Maniwaring pemerintahan yang terbelah (divide government)
terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang
berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja
lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden.6
Berikut adalah variabel yang mempengaruhi sistem presdiensial :
1. Sistem Multipartai dalam Sistem Presidensial;
2. Koalisi dalam Sistem Presidensial.
4Ni’matul Huda,
Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014, Cet. Pertama), h. 143.
5
Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18 Agustus 2015 dari
http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf, h. 2.
6Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Probl
ematika Koalisi dalam Sistem
1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial
Para ahli perbandingan politik, seperti Scott Mainwaring maupun
Juan J. Linz, sudah pernah mengingatkan bahwa secara teoritis sistem
presidensial dan sistem multipartai adalah “kombinasi yang sulit” dan
berpeluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.7 Scott
Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif
sering timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu.
Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk
terhadap stabilisasi demokrasi.8
Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih
cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya
partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit
bagi satu partai memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada
minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah
pemenang pemilu.9 Hal ini terjadi pemilu presiden tahun 2004 dimana
presiden terpilih yakni SBY-JK hanya didukung 12 persen dari suara di
DPR. walaupun pada akhirnya merangkul beberapa partai politik untuk
mendapatkan dukungan mayoritas di DPR.10
7Ni’matul Huda,
Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, h. 170.
8Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koal
isi dalam Sistem
Presidensial”, h. 118.
9Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,
Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.
10Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem