• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan di bawah umur di desa pantai bahagia kecamatan Muara Gembong kabupaten Bekasi menurut hukum positif dan hukum islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan di bawah umur di desa pantai bahagia kecamatan Muara Gembong kabupaten Bekasi menurut hukum positif dan hukum islam"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

ACHMAD SAPRUDIN

102043224941

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SY ARIF HIDA YATULLAH

(2)

SKRJPISI

Diajukan kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Pembimbing I

Oleh

ACHMAD SAPRUDIN

102043224941

Di bawah bimbingan

Pembimbing II

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULT AS SYARI' AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SY ARIF HIDA YATULLAH

(3)

Universitas Islam Negeri SyarifHiclayatullah Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2007. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pacla Program Stucli Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi

Perbandingan Hukum.

Panitia Ujian Munaqasyah: {),

: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma. SJ-I MA., MM (

QQQQセM

NIP. 150210422

セjN@

Ke tu a

Sekretaris : Muhammad Taufigi, M.Ag NIP. 150 290 159

セセ[GカゥLセQI@

セ」^MM

MMMMセ@

v

: Prof. DR. Hi. Huzaemah Tahido Yanggo. MA "--··· ( MMセM

-.

L-- )

• ::: :1

5

:::: :::ifoddh• Ili<l"Y"'· SH. MH

/ll};iy

NIP. 150 268 783

:J".

1 ) .

Penguji I

Penguji II

Pembimbing I : Dra. Hj. Halimah Ismail NIP. I 50 075 192

Pembimbing II: Drs. H. Hamid Farihi. MA .. NIP. 150 228 413

(4)

,--rahmat, nikmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan lancar, shalawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan kepada baginda Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, sahabatnya, serta umatnya yang senantiasa setia mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Merupakan suatu kebahagiaan yang tak terkira bagi penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, meskipun dalam penulisan skripsi ini banyak sekali hambatan yang di hadapi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tidak akan pemah sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan kendala yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan dorongan yang bersifat materil maupun spirituil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

I. Bapak Prof. DR. H. Muhannnad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta. 2. Bapak DR. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Ketua Jurusan Perbandingan

(5)

Dosen Pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengoreksi serta memotifasi pada penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah membekali penulis dengan berbagai macam wawasan ilmu pengetahuan.

6. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Jurusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah mempasilitasi penulis dalam penyelesaian skripsi.

7. Kedua Orang Tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Ahmad Sudismap dan Ibunda Hj. Siti Sarniti, yang dengan segala pengorbanannya berupa harta dan do'a serta motivasi yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya.

8. Seluruh keluarga besar penulis: H. Muhammad Nurdin dan Hj. Siti Husniaty, Hj. Siti Munawaroh dan H. Wawan, Hj. Siti Suadah dan H. Fitroh Malik, H. Muhammad Ma'ruf, Hj, Siti Maftuhah dan Hj, Siti Fitria Mushtauli Izzati yang telah banyak mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

(6)

dan anak-anak kos: Kang Syam El-Nur, Jajang, Ajay, Alex, Gele, Wa'jas, Abeng, Rama Special Saiful Arifin terima kasih untuk semuanya yang telah menemani penulis suka maupun duka dari awal hingga akhir kuliah.

11. Kepada teman-teman Fakultas Syari'ah dan Hukmn khususnya Jurusan Perbandingan Hukum angkatan 2002 yang telah memberikan inspirasi dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan sluipsi ini.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung namun demikian tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.

Akhimya penulis berharap semoga segala amal baik semua pihak mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Jakarta, 19 September 2007 M 07 Ramadlan 1428 H

(7)

KATA PENGANTAR ...•...•...•...•••...•.•...•• i

DAFTAR ISi ... iv

BABI PENDAHULUAN ...... 1

A. Latar Belakang Masalah ... I B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... .4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... .4

D. Metode Penelitian ... 5

E. Sistematika Penyusunan ... 6

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKA WIN AN ...••. 8

A. Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukumnya ... 8

B. Rukun-rukun Perkawinan dan Syarat-syaratnya ... 13

C. Tujuan Perkawinan dan Hikmahnya ... 18

BAB III KONDISI OBJEKTIF DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BE KASI ...• 29

A. Letak Geografis Desa Pantai Bahagia ... 29

(8)

BABY

PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG

KABUP ATEN BEKASI ....•...••...•... 37

A. Sebab-sebab Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur Setelah Berlakunya Undang-undang No. I Tahun 1974 ... 37

B. Dampak Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur ... .47

C. Upaya Yang Dapat Ditempuh Untuk Mencegah Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur ... 50

D. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Perkawinan di Bawah Umur ... 53

PENUTUP ...•...••...•.• 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran-saran ... 67

DAFT AR PUSTAKA ... 69

(9)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh manusia sejak zaman dahulu, sekarang dan masa yang akan datang sampai akhir zaman. Karena itu, perkawinan menjadi masalah yang selalu hangat dikalangan masyarakat dan didalam peraturan hukum.1dan perkawinan merupakan dasar untuk terciptanya suatu keluarga.

Allah menciptakan manusia ada laki-laki maupun perempuan, sehingga mereka menjadi berpasang-pasangan atau berjodoh-jodohan, yang secara harfiyah disebut perkawinan. "Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan." 2

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Adz-Dzariat ayat 49:

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (QS. Adz-Dzariyat: 49)

Dengan menyadari bahwa perkawinan itu berarti pembentukan keluarga baru, maka sekaligus harus menyadari pula akan adanya hak dan kewajiban baru, oleh karena itu suatu perkawinan memerlukan kesiapan untuk dapat memikul tanggung

1 Bakri. A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,

Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: PT. Hidakarya agung, 1993)h. l

(10)

jawab baru. Persiapan untuk menjadi dewasa supaya dapat melangsungkan perkawinan, tetapi bukan sebaliknya yaitu dengan perkawinan orang diakui menjadi dewasa atau dianggap dewasa. Tetapi sungguh disayangkan kebanyakan orang tidak memperhatikan ha! ini, sebagian orang hanyut oleh buaian dnta sehingga terpaksa menikah pada usia muda, sebagian yang lain dipaksakan menikah pada usia muda karena dorongan tradisi atau kebiasaan masyarakat yang mengakar dalarn kehidupannya, bahkan ada yang menikah pada usia muda karena terbentur faktor ekonomi.

Berangkat dari kondisi masyarakat yang demikian, banyak dijumpai perkawinan yang tidak bahagia dikalangan pasangan muda tersebut dan tingginya angka perceraian, khususnya didaerah pedesaan. Selain itu sering dijumpai kelahiran abnormal seperti bayi cacat atau meninggal clan ibu sakit bahkan meninggal akibat keharnilan yang terjacli pada wanita yang masih remaja (mucla). Dengan clemikian kematangan fisik clan kedewasaan jiwa clipanclang perlu.

(11)

sekaligus menantang semua pihak yang terkait dan bertanggung jawab untuk mencari alternatif dan pemecahannya. Ragam persoalan sosial akibat perkawinan usia muda tersebut, perlu dicari solusinya dalam rangka menanggulangi agar tidak terjadi lagi dimasa-masa yang akan datang dan perlu dicari apa sebenarnya penyebab dari terjadinya perkawinan usia muda atau perkawinan dibawah umur dan gejala-gejala serta resiko yang mengancam eksistensi dan keutuhan rumah tangga tersebut, sehingga dapat diketahui dengan jelas penyebab perkawinan usia muda dan dampaknya terhadap keutuhan rumah tangga.

Solusi untuk menghindari dari resiko perkawinan di bawah umur adalah dengan dikeluarkannya undang-undang No. 1 tahun 1974 yang mengatur masalah perkawinan yang bersifat nasional dan berlaku untuk semua golongan masyarakat. Salah satu asas yang dimuat dalam undang-undang No. 1 tal1un 1974 adalal1 bahwa calon suami atau istri harus masak (siap) jiwa raganya dalam melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan dibawah umur. Dan untuk itu pula maka undang-undang No. I tahun 1974 menentukan batas usia bagi ptia 19 (sembilm1 belas) tahun dan bagi wanita 16 ( enam belas) tahun.

(12)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah perkawinan dibawah umur atau berapa usia seseorang sebaiknya menikah, sampai sekarang masih tetap hangat untuk dibicarakan. Adapun mengenai pembatasan dan perumusan masalahnya, penulis lebih menitik beratkan pada penelusuran terhadap faktor utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan dibawah umur bagi orang-orang yang beragama Islam di desa pantai bahagia kecamatan muara gembong kabupaten bekasi, setelah berlaktmya undang-undang no I tahun 1974. di samping itu penulis merasa prihatin dan エ・イーセュァァゥャ@ serta memandang perlu untuk mensosialisasikan undang-undang perkawinan pada masyarakat, khususnya bagi mereka yang masih berusia muda.

Berangkat dari kenyataan inilah maka perumusan masalahnya yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini adalah:

I. Apa faktor-faktor penyebab dari terjadinya perkawinan. di bawah umur? 2. Apa saja dampak dari perkawinan di bawah umur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan maksud penulis melakukan penelitian dalam skripsi ini disamping untuk memenuhi kewajiban akademis untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (SI), juga bertujuan sebagi berikut:

I. Tujuan Penelitian

(13)

b. Untuk mengetahui dampak perkawinan dibawah umur. 2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat berguna dalam memberikan sumbangan yang berharga bagi khazanah ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut:

a. Bagi penulis sendiri, dapat menambah pengetahuan yang berharga mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan dari perkawinan dibawah umur dan upaya penanggulangannya.

b. Sebagai bahan bacaan tambahan dikalangan akademis dan sumber referensi untuk mendalami pengetahuan mengenai masalah-masalah dalam perkawinan.

D. Metode Pene!itian

Sebagai suatu karya ilmiah, skripsi ini didasarkan pada informasi-informasi dan data-data yang akurat. Untuk mendapatkan data-data tersebut, penulis melakukan penelitian kepustakaan dan lapangan.

I. Penelitian kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan adalah mengumpulkan data-data berupa bahan-bahan atau keterangan-keterangan yang didapat dengan cara mempelajari buku-buku, majalah-majalah yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis bahas dalam karya ilmiah ini.

(14)

a. Interview (wawancara), yaitn suatn rnetode pengurnpulan data dengan jalan Tanya jawab, dalarn ha! ini penulis rnewawancarai infonnan pangkal sebagai pihak yang bersangkutan dengan penelitian dan pernbahasan penulis. Para pihak tersebut antara lain: Kepala KUA (Kantor Urusan Agarna) kecarnatan rnuara gernbong kabupaten bekasi dan kepala desa pantai bahagia, serta beberapa orang pasang kawin di bawah urnur yang terdapat di Desa tersebut.

b. Observasi (pengarnatan), yaitn pengurnpulan data dengan cara pengarnatan dan pencatatan sisternatika fenornena-fenornena yang diselidiki, jadi tanpa rnengajukan pertanyaan atau tanggapan. Untnk itu penulis terjun langsung dengan para pasangan kawin dibawah urnur dengan rnengarnati apa penyebabnya, di Desa Pantai Bahagia Kecarnata Muara Gernbong Kabupaten Bekasi.

E. Sisternatika Penyusuuan

Penyusunan skripsi ini terdiri atas lirna bah dengan sisternatika penyusunan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, rneliputi: Latar belakang rnasalah, pernbatasan

(15)

BAB II

BAB III

BAB IV

BABV

TINJAUAN UMUM TENT ANG PERKA WIN AN, meliputi: Pengertian perkawinan dan dasar hukumnya, rukun-mkun perkawinan dan syarat-syaratnya, tujuan perkawinan dan hikmahnya.

KONDISI OBJEKTIF DESA PANTAI BAHAGIA

KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI, meliputi: Letak geografis desa pantai bahagia, keadaan demografis desa pantai bahagia, keadaan sosiologis desa pantai bahagia.

MASALAH PERKA WINAN DIBA WAH UMUR DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN l\'.CUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI, meliputi: Sebab-sebab terjadinya perkawinan dibawah umur setelah berlakunya undang-undang No. I tahun 1974, dampak terjadinya perkawinan dibawah umur. upaya yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya perkawinan dibawah umur, tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap perkawinan dibawah umur.

(16)

A. Pengertian Perkawinan Dan Dasar Hukumnya 1. Pengertian Perkawinan

Pernikahan berasal dari kata nikah yang mendapat tambahan per-an. Nikah berasal dari kata bahasa Arab HセI@ yang menurnt bahasa berarti HセI@

artinya menghimpit atau menindih1 (merangkul atau memeluk)2• Sedangkan

menurnt istilah berarti (<.lo_i) yang artinya persetubuhan atau akad3 (menggauli)4 dan bermakna mengadakan perjanjian

ー・イォ。セゥョ。ョN

U@ Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa nikah merupakan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi).6 Lebih lanjut para sarjana muslim memberikan pengertian tentang perkawinan, antara lain adalah:

Prof. Dr. H. Mahmud Yunus:

"Perkawinan adalah akad antara calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajatjenisnya menurut yang diatur syari'at.7

1 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1997), h. 11 2

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progress if, I 997). Cet. ke- I 4, h. 829

3

Ibid.

4

Ibid., h. 1565

5 Kamal Muchtar, Op.Cit., h. 11 6

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 614 7 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta, PT Hldayakarya Agung,

(17)

Sayuti Thalib, SH.;

"Pengertian perkawinan itu ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan".8

M. Idris Ramulyo, SH.;

"Perkawinan menurut Islam adalah suatu pe1janjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, aman, tentram, dan kekal. 9

Selanjutnya beberapa imam mazhab memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai berikut:

Menurut Imam Abu Hanifah:

10

1 •

Mセ@ セMᄋMGセ|@

_,,., ,. ,, •· ·--

1•,

t ,

f.-".

'I

'•"' Yセ@ セセYZAᄋセBG|NNNNj|⦅LNNLャ・ZZセ@

"Nikah adalah suatu akad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja".

Menurut Imam Malik:

"Nikah adalah suatu akad untuk menikmati sendiri kelezatan dengan wanita"

Menurut Imam Syafi'i

8

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press), h. 47

9 Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum

Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind. Hill Co., 1984/1985), h. 174

10 Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh 'ala mazahibil Arba 'ah, (Mishr: Maktabah al-Tijariyah,

(18)

"Nikah adalah suatu akad yang mengandung pemilikan "watt" dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya"

Menurut Imam Hambal:

13

t

r-·-·

L·J .,,

"I'''',-,.

-t セ@ ... ·- セ@

1:..

セセy@

,

'"'!

3

rl.;:W.l

r,..•.'1J·':1 •,·:;--_

Mセ@

... _,.,, cQ_jj

,,

, r,..•.11

"Nikah adalah suatu akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij {kawin) atas marifaat (menikmati) kesenangan. "

Dari beberapa pengertian yang diberikan oleh para imam mazhab di atas dapat disimpulkan bahwa nikah adalah "akad antara plia dan wanita untuk saling memiliki dan bersenang-senang dan menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga dan rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau mengawinkan atau dengan kata lain yang semakna dengan kedua kata tersebut.

2. Dasar hukum perkawinan

Dasar hukum dianjurkannya perkawinan dalam agama Islam terdapat dalam firman Allah SWT dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw:

Firman Allah SWT:

Artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

(19)

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". (QS. An-Nur: 32)

Artinya: "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

(QS. An-Nisa: 3)

Sabda nabi

Artinya: "Dari Abdullah ra., katanya: "Di zaman Rasulullah saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata pada kami, "Hai para pemuda!' Siapa-siapa di antara kamu yang mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena perkawinan itu melindungi pandangan mata dan kehormatan (dari dosa), tetapi siapa yang tidak mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan benteng baginya ". (H.R. Al-Bukhari)

14 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Matan Ai-Bukhari, (Kairo; Daar El-Nahr

(20)

Adapun dianjurkannya suatu pemikahan dalam Islam ada lima macam, yaitu:

a. Mubah, merupakan hukum asal dari perkawinan. Tiap orang yang memenuhi syarat perkawinan, mubah atau boleh atau halal melakukan kawin. Hukum asal itu dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh, atau haram, melihat kondisi orang yang akan melakukan kawin.15

b. Sunnah, yaitu orang yang syahwatnya bergejolak, yang dengan pernikahan tersebut dapat menyelamatkannya dari berbuat maksiat kepada Allah swt. Kawin baginya lebih utama dari pada bertekun diri dalam ibadah.

c. Wajib bagi orang yang cukup nafkah, sandang, pangan, dan dikhawatirkan terjerumus ke dalam perzinaan.

d. Makruh, bagi orang yang belum mempunyai keinginan kuat dan tidak mampu memberi nafkah. Ia lebih baik tidak kawin dahulu karena akan membawa kesengsaraan bagi isteri dan anaknya.

e. Haram, bagi orang yang tidak mempunyai nafsu birahi, baik karena lemah syahwat atau sebenamya ia mempunyai nafsu birahi tetapi hilang karena penyakit atau karena ha! lainnya. Dan mengenai ha! tersebut ada dua pendapat:

Pertama, ia tetap disunnahkan menikah karena universalitas perintah dilakukannya suatu perkawinan.

(21)

Kedua, tidak menikah adalah lebih baik baginya, karena ia tidak dapat mewujudkan tujuan nikah dan bahkan menghalangi isterinya untuk dapat menikah dengan laki-laki lain yang lebih memenuhi syarat. Dengan demikian berarti ia telah memenjarakan wanita tersebut. 16

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua ha! yang tidak dapat dipisahkan antarn satu dan lainnya, karena kebanyakan dari setiap aktivitas ibadah yang ada dalam agama Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga bisa dibedakan dari pengertian keduanya adalah: syarat merupakan suatu ha! yang harus ada atau dipenuhi sebelum suatu perbuatan dilaksanakan, sedang rukun merupakan suatu ha! yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan dilaksanakan. Seperti dalam shalat misalnya, wudhu merupakan suatu perbuatan yang harus dilakukan sebelun1 shalat yang kemudian menjadi syarat sah shalat, adapun rukun shalat adalah niat, takbiratul ihram, membaca fatihah, dan lain-lain yang merupakan suatu perbuatan yang dilakukan pada saat shalat berlangsung.

Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti harus adanya laki-laki dan

perempuan, wali, akad nikah, dan sebagainya. Semua rukun perkawinan itu harus

16 Syeikh Hasan Ayub, Fiqh Keluarga, Penterjemah M. Abdul Ghaoffar E.M., (Jakarta:

(22)

terpenuhi, dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada salah satu dari rukun perkawinan di atas. Maka yang demikian itu dinamai rukun perkawinan.17 Adapun syarat merupakan sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk salah satu sebagian dari pada hakikat perkawinan, misalnya syarat wali itu laki··laki, baligh, berakal dan sebagainya. Lebih lanjut penulis akan menjelaskan lebih rinci mengenai rukun dan syarat perkawinan sebagai berikut:

1. Rukun Perkawinan

Rukun perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada saat melangsungkan perkawinan. Dalam Islam sebenarnya banyak perbedaan pendapat yang terjadi antara imam mazhab, akan tetapi pada kali ini penulis hanya mengemukakan pendapat yang berkembang di Indonesia yang juga telah menjadi hukum tertulis di Indonesia diantaranya adalah:18

a. Calon suami b. Calon isteri c. Walinikah

d. Dua orang saksi, dan e. Ijab qabul

Lima rukun inilah yang selama ini dijadikan landasan hukum bagi orang-orang Islam di Indonesia yang ingin melaksanakan perkawinan secara resmi

17

Mahmud Yunus, Op.Cit., h. 15

(23)

tercatat di kantor Urusan Agama (KUA), dan perlu diketahui bahwa lima rukun di atas adalah rukun nikah menurut Imam Syafi'i, karena mazhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia adalah mazhab Syafi'i. akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam prakteknya masih banyak pasangan yang ingin melaksanakan perkawinan tidak mendaftarkan dirinya ke KUA atau lebih dikenal dengan nikah "sirri". Bahkan terkadang adapula yang melaksanakan perkawinan dengan memakai mazhab lain. Imam Abu Hanifah misalnya, beliau tidak memasukkan wali dan saksi sebagai rukun nikah, karena menurutnya perempuan yang telah baligh lagi berakal boleh mengawinkan dirinya sendiri atau mewakilkan pada orang lain, tetapi jika perempuan itu kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu ( se-level) dengannya, maka wal.inya berhak menolak perkawinan itu (menaskhnya).19 Adapun masalah saksi Imam Abu Hanifah hanya menjadi kewajiban atau penyempurnaan perkawinan, yang apabila perkawinan dilaksanakan tanpa adanya saksi, maka nikahnya tetap sah akan tetapi berdosa, karena tidak memberitakan kepada khalayak ramai.20 Apapun perbedaan itu kembali kepada keyakinan seseorang.

2. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-syarat terpenuhi maka perkawinannya sah, dan menimbulkan adanya

19 Mahmud Yunus, Op.Cit., h. 22

(24)

segala kewajiban dan hak-hak dalam perkawinan.21 Dalam Islam syarat-syarat nikah diperinci ke dalam syarat-syarat untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat nikah ini dapat digolongkan ke dalam syarat materil dan harus dipenuhi agar dapat melangsungkan perkawinan.

Dikarenakan syarat merupakan kepanjangan tangan dari rukun perkawinan, maka di bawah ini akan dijelaskan syarat-syarat yang menjadi rukun di atas, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Syarat bagi calon mempelai laki-laki22 I) Beragama Islam

2) Terang laki-laki (btikan banci)

3) Tidak dipaksa ( dengan kemauan sendiri) 4) Tidak beristeri lebih dari em pat orang. 5) Bukan mahrarnnya bakal isteri

6) Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isterinya 7) Mengetahui bakal isterinya tidak haran1 dinikahi

8) Tidak dalam ihram haji dan umrah b. Syarat bagi calon mempelai wanita23

1) Beragama Islam

2) Terang perempuannya (bukan banci)

21 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 48

22 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 32

23

(25)

3) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya 4) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah

5) Bukan mahram bakal suami

6) Belum pemah li'an (sumpah li'an) oleh bakal suaminya 7) Terang orangnya

8) Tidak dalam ihram haji atau unrrah c. Syarat bagi wali nikah24

I) Laki-laki 2) Dewasa

3) Mempunyai hak perwalian

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya d. Syarat bagi saksi nikah25

I) Minimal dua orang laki-laki 2) Hadir dalam ijab qabul 3) Dapat mengerti maksud akad 4) Islam

5) Dewasa

e. Syarat-syarat ijab qabul

I) Adanya pemyataan mengawinkan dari wali

2) Adanya pemyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki

24 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 71

(26)

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij, a tau yang semisal dengannya 4) Antara ijab dan qabul bersambungan

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak dalam ihram haji/umrah Majelis tempat berkumpul para pihak dihadiri minimal empat orang, yaitu cal on suami, wali dari cal on isteri dan dua orang saksi. 26

Syarat-syarat perkawinan di atas wajib dipenuhi, jika tidak terpenuhi syarat-syarat di atas, maka berakibat batal atau tidak sah (fasid) perkawinannya. Selain syarat-syarat tersebut masih ada satu syarat lagi yang harus diperhatikan oleh umat Islam dalam hal akan melaksanakan perkawinan yaitu syarat tidak melanggar larangan perkawinan.

C. Tujuan dan Hikmah Perlcawinan

I. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan pada umumnya bergantung kepada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh setiap orang yang ingin melaksanakan pernikahan yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.27 Dalam pasal I Undang-undang No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan

26

Ibid. h. 72

27

(27)

perkawinan adalah "perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Dalam hal ini Nabi Muhammad saw menyinggung dalam haditsnya yang berbunyi:

Artinya: "Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda, ''wanita dinikahi karena empat ha/; karena harta bendanya, karena status sosialnya, karena keindahan wajahnya, dan karena ketaatannya pada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu akan bahagia. " (H.R. Bukhari).

Melalui hadits tersebut, Nabi Muhammad menganjurkan bahwa hendaklah tujuan dan pertimbangan agama serta akhlak yang menjadi tujuan utama dalam perkawinan. Hal ini karena kecantikan atau kegagahan, harta dan pangkat serta lainnya tidak menjamin tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat, tanpa didasari oleh akhlak dan budi pekerti yang luhlll'.

Adapun tujuan perkawinan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Melanjutkan keturunan

Melanjutkan keturunan sambungan hidup dan penyambung cita-cita

28Abi Abdilah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matan Al-Bukhari, (Cairo: Daar El-Nahr

(28)

yang apabila telah terjadi suatu perkawinan, maka akan terbentuklah sebuah keluarga yang di dalam sebuah keluarga tersebut akan dilahirkan keturunan-keturunan yang akan menjadi generasi penerus para orang tua sehingga generasi tersebut akan melahirkan generasi-generasi yang akan membentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad saw.29 Sep•erti firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 72:

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. lv.faka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni'mat Allah?"(QS. An-Nahl: 72)

Ayat tersebut mengandung makna bahwa hanya dengan berkeluargalah manusia dapat menjalankan risalah Nabi Muhammad saw karena ketika manusia tersebut meninggal dunia, maka yang meneruskan adalah keturunannya, dan dari keturunan itulah yang meneruskan risalah dari Nabi Muhammad saw. Jika manusia tidak mempunyai keturunan maka terputuslah generasi yang akan meneruskan risalah nabi. Oleh karenanya tujuan perkawinan yang sangat penting adalah melanjutkan keturunan.

29

(29)

b. Menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat.

Perkawinan juga akan menjaga manusia dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Karena semua manusia baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar intensitasnya yang berbeda. Dengan perkawinan, seorang laki-laki dapat menyalw:kan seksualnya kepada perempuan yang disukainya dengan sah dan begitu put a sebalitmya. 30 oleh karenanya jika seorang pemuda telah sanggup untuk melaksanakan perkawinan, maka hendaklah ia melaksanakannya. Dan apabila ia tidak sanggup untuk memikut rumah tangga maka scbaiknya ia berpuasa, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw:

Artinya: "Dari Abdullah ra., katanya: "Di zaman Rasulullah smv, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah smv berkata pada kami, "Hai para pemuda! Siapa-siapa di antara kamu yang mampu berumah tangga, maka kmvinlah, karena perkmvinan itu melindungi pandangan mata dan kehormatan (dari dosa), tetapi siapa yang tidak mampu kmvin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan benteng baginya ". (H.R. Bukhari)

'0 Slamet Ab id in dan Aminuddin, Op. Cit., h. 13

(30)

c. Menimbulkan rasa cinta kasih dan sayang

Rasa cinta, kasih dan sayang akan timbul ketika terbentuknya keluarga, yaitu antara suami isteri, antara orang tua dengan anak dan juga antara sesama anggota keluarga yang lain. Hal ini dimaksudkan agar dengan perkawinan itu diharapkan manusia dapat sating mencintai sesamanya, sesama anggota keluarga, masyarakat dan lain-lain. Sehingga dengan munculnya rasa cinta, kasih dan sayang tersebut akan terwujud man.usia yang bahagia dan merasa aman dan tentram dalam hidupnya, yang pada akhirnya akan terbentuk umat yang diliputi cinta, kasih dan sayang. 32 Seperti firman Allah dalam al-Quran:

Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan diiadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berjikir". (QS. Ar-Rum: 21)

d. Menghormati Sunnah Rasul

Rasulullah saw memerintahkan umatnya untuk mengawini wanita, karena beliau membenci orang-orang yang berjanji akan berpuasa setiap hari, akan beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin lantaran ingin membuktikan bahwa ibadah mereka bisa melebihi Nabi Muhammad saw 32 Kamal Mukhtar,

(31)

dengan alasan seperti itu Nabi Muhammad menghampiri mereka dan memerintahkan mereka untuk kawin,33 sebagaimana penggalan hadits:

ol_,.J)

セ@

セ@

セZ[ᄋᄋLセ@

..

(:JC

ケ[Nセ@

l)..:.s

ZセキNQQ@

セGjェZゥ@

IJ

34 (

':?

_)t.:...,ill

Artinya: "Dan aku menikahi wanita, barang siapa tidak mau mengkuti sunnahku, bukanlah ia termasuk umatku ". (HR Al-Bukhari)

e. Membersihkan keturunan

Yang dimaksud dengan membersihkan keturunan adalah agar umat ini ada yang mengurus dan bertanggung jawab, karena anak tersebut telah jelas asal-usulnya, baik itu ayah ibunya, kakek dan lain-lain.35 Hanya perkawinan yang dapat menjelaskan status anak, oleh karenanya Islam mengharamkan serta menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan yang tidak jelas asal-usulnya. Sehingga anak yang dilahirkan akan terhormat derajatnya.

f. Untuk berdakwah

Pada masa sekarang ini dengan begitu derasnya kristenisasi yang dilakukan oleh umat Nasrani, mengharuskan kita kembali kepada apa yang dilakukan para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia, di mana mereka menggunakan perkawinan sebagai salah satu cara untuk berdakwah,

33

Ibid

34 Bukhari, Op.Cit., h. 237

(32)

sehingga melahirkan keturunan-keturunan muslim di mana-mana.36 Islam membolehkan seorang muslim untuk menikahi wanita-wanita ahlul kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi melarang muslimah menikah dengan laki non muslim, ha! ini atas dasar pertimbangan karena umumnya laki-laki lebih kuat pendiriannya dibanding perempuan.

2. Hikmah Perkawinan

Sesungguhnya amat jelas bahwa dibalik segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Dalam perkawinan, hikmah yang paling mudah untuk ditonjolkan ialah bahwa perkawinan yang te1jadi pada makhluk hidup, baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungannya dan pengembang biakan makhluk yang bersangkutan. Karena jika perkawinan tidak terjadi pada makhluk hidup, maka dapat dipastikan bahwa keberlangsungan kehidupan di dunia ini tidak akan berlangsung lama dan hilang begitu s1tja tanpa meninggalkan bekas ataupun generasi yang melanjutkannya. Oleh karenanya Allah menjadikan Adam menjadi khalifah di muka bumi ini, sehingga anak-anaknya dapat berkembang biak meramaikan dan memakmurkan bumi yang luas ini. Al-Quran mengisyaratkan kepada kita akan adanya hikmah tersebut dengan firman Allah SWT:

(33)

( ' . i:-WI )

.

セ@ .,,

- ._

t ·.1 :... .) セ@

Artinya: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu sating meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu merijaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisa:l)

Hikmah lain yang dapat diambil dari sebuah pemikahan adalah bahwa perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak meqjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.37

Agama Islam menetapkan bahwa membangun rumah tangga yang damai dan teratur itu haruslah dengan perkawinan dan aqad yang sah, serta diketahui oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumurnkan kepada tetangga dari karib kerabat dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah). Semua itu bertujuan, apabila kelak pasangzm yang melaksanakan perkawinan tersebut memiliki seorang atau beberapa anak, maka dapat diketahui secara jelas siapa orang tuanya, sehingga anak yang dilahirkan pun dengan

sendirinya derajatnya telah dimuliakan. Karena biar bagaimanapun derajat anak yang orang tuanya diketahui dengan jelas, lebih tinggi dari pada anak yang orang tuanya tidak diketahui atau tidak jelas. Oleh karenanya hukum perkawinan di

(34)

Indonesia menegaskan bahwa "anak yang sah adalah analk yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah." (lihat pasal 42 UU No. I Tahun 1974)

Sejalan dengan hikmah di atas, Mahmud Yunus mengemukakan beberapa hikmah melakukan perkawinan diantaranya adalah:

"Supaya manusia itu hidup berpasang-pasangar1 menjadi suami isteri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan pertalian yang kokoh dan tak mudah putus dan diputuskan ialah ikatan akad nikah atau ijab kabul perkawinan, bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan setia akan membangun satu rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit sesenang, merendah sama bungkuk, melompat sama tinggi, sehingga mereka menjadi satu keluarga.

Dalam pada itu mereka akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat, kemudian keturunan mereka itu akan membangun pula rumal1 tangga yang baru dan keluarga yang baru, dari beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah sebuah kampung, dari beberapa kampung berdirilah desa, dan dari beberapa desa lahirlah negeri, dan dari beberapa negeri lahirlah negara. Itulah arti pentingnya sebuah keluarga dalam membangun Negara, karena keluarga merupakan organisasi kecil yang menjadi dasar bagi pembentukan negara.

(35)

timbul pula perasaan ramab, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik bagi kesempurnaan seorang manusia, lalu dengan menyadari tanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya akan menimbulkan sikap rajin dan memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan dalam bekerja karena dorongan tanggung jawab, sehingga ia akan giat bekerja dan mencari. penghasilan sebanyak-banyaknya, sehingga dapat memenuhi hajat keluarganya. 38

Selanjutnya dikatakan babwa hikmab melakukan perkawinan adalab memelihara diri seseorang supaya tidak jatuh kelembab kejabatan (perzinaban).39 Apabila seorang pria sudab menikab tentu akan terhindar dari melakukan pekerjaan yang keji itu. Begitu juga wanita yang sudah bersuami, tentu ia akan terjauh dari maksiat tersebut. Hal ini seperti ditegaskan dalam finnan Allah berikut ini:

Artinya: "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32)

Ayat tersebut mengandung makna babwa zina merupakan perbuatan yang keji yang dihararnkan oleh Allah swt. Oleh karena itu perbuatan zina harus ditinggalkan dan dijauhi oleh setiap orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.

38 Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 11

39

(36)
(37)

A. Letak Geografis Desa Pantai Bahagia

Desa Pantai Bahagia merupakan bagian dari Wilayah Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Daerah Tingkat I Jawa Barat. Berdasarkan data monografi Desa Pantai Bahagia memiliki luas wilayah 2. 760 ( dua ribu tujuh ratus enam puluh) Ha. Dengan perincian sebagai berikut: 1

I. Tanah milik adat 555 Ha

2. Tanah sertifikat 4Ha

3. Tanah milik Negara 2.201 Ha+ Jumlah 2.760 Ha Batas-batas wilayah

I. Sebelah Utara : Berbatasan dengan laut Jawa

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Pantai Bakti 3. Sebelah Se Iatan : Berbatasan dengan Desa Pantai Sederhana 4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kepulauan Seribu

Sedangkan orbitasi Garak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan) terhadap pusat-pusat pasilitas kota:

(38)

I. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 7 (tujuh) km

2. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota Administratif : 8:0 (delapan puluh) km 3. Jarak dari Ibukota Provinsi : 300 (tiga ratus) km 4. Jarak dari Ibukota Negara : 55 (lima puluh lima) km

Umumnya desa pantai bahagia memiliki curah hujan dibawah optimum dan beriklim panas. Kondisi seperti ini jelas tidak menguntungkan sektor pertanian darat, khususnya untuk bercocok tanam, disamping itu desa pantai bahagia merupakan daerah penadah hujan. Maka secara geografis perikanan merupakan sektor yang paling di untungkan.

B. Keadaan Demografis Desa Pantai Bahagia

Dalam pemerintahan Desa Pantai Bahagia dipimpin oleh seorang Kepala Desa dan 13 (tiga belas) orang personil perangkat desa serta dibantu pula oleh 6 (enam) Kepala Rukun Warga dan 21 (dua puluh satu) Kepala Rukun Tetangga.

Sistem administrasi Desa Pantai Bahagia cukup baik dan teratur ini dapat dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada. Hal ini t:erbukti dari ketertiban pelayanan Desa Pantai Bahagia kepada masyarakatnya sepcrti dalam pengurusan surat KTP (kartu tanda penduduk), Surat Kelakuan Baik, dar1 lain sebagainya.

(39)

puluh delapan) jiwa dan wanita berjumlah 3.639 jiwa, kepala keluarga 1485 KK, sehingga jumlah kesuluruhan 6.967( enam ribu sembilan ratus enam puluh tujuh) jiwa. Dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, Pemerintahan Desa Pantai Bahagia mengadakan kegiatan-kegiatan seperti:

I. Memberikan keterampilan melalui proyek PDMP (Pendidikan Dasar Mata Pencaharian).

2. Memberikan penyuluhan melalui instansi yang berwenang tentang cara membuka peternakan, dan pemeliharaan ikan bandeng yang baik.

3. Pengumpulan dan penyaluran dana bantuan kepada korban bencana alam, pembangunan masjid, musholla, dan majlis taklim.

4. Pelaksanaan pengumpulan dana zakat, infaq, dan shodaqoh yang didapat dari warga masyarakat yang secara sukarela menyerahkan ZIS-nya. Kemudian dihimpun dan disetorkan ke BAZIS Kecamatan Muara Gembong untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya.

5. Mengadakan pelaksanaan pembinaan kegiatan wanita, pemuda dan pramuka, seperti organisasi PKK, Karang Taruna, Majlis-majlis Zikir, dan lain-lain. Adapun mata pencaharian penduduk Desa Pantai Bahagia pada umurnnya sebagai buruh dan pedagang/wiraswasta, adapula sebagai petani, yang dimakmsud tani disini adalah petani tambak adapula yang sebagian menjadi nelayan.

(40)

Tabel 1

Jumlab penduduk menurut mata pencabarian2

2 Pedagang Pengusaba 342

3 Buruh Tani 1122

4 Pengrajin

25

5

Pegawai Negeri Sipil

21

6 Petemak

10

7 Nelayan

1230

C. Keadaan Sosiologis Desa Pantai Bahagia

Dilihat dari keadaan sosiologis Desa Pantai Babagia ada beberapa bidang yang perlu diketabui yaitu diantranya:

I. Bidang Pendidikan

Warga Desa Pantai Babagia, untuk usia diatas 55 (lima puluh lima) tabun pada umumnya berpendidikan SD (Sekolab Dasar), sedangkan bagi penduduk yang berusia dibawab 55 (lima puluh lima) tahun mayoritas berpendidikan SL TP (Sekolab Lanjutan Tingkat Pertama) dan SLT A (Sekolab Lanjutan Tingkat Atas), bahkan lulusan-lulusan dari Perguruan Tinggi semakin banyak.

[image:40.595.80.474.150.507.2]
(41)

Adapun sarana pendidikan yang ada di wilayah Desa Pantai Bahagia baik yang bersifat pendidikan umum maupun pendidikan agama dari segi kualitas cukup memadai. Hal ini dalakukan oleh Tokoh Masyarakat, Pemerintah, maupun swasta untuk memberikan pellayanan pendidikan di wilayah Desa Pantai Bahagia dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

[image:41.595.86.476.150.529.2]

Tabel 2

Jumlah sarana pendidikan di Desa Pantai Bahagia3

Tarnan Kanak-Kanak Sekolah Dasar I MI SLTP I Sederajat SL TA I Sederajat Perguruan Tinggi

2. Bidang Keagarnaan

Kehidupan beragama di Desa Pantai Bahagia cukup baik, ha! ini dapat dibuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang ini tidak pemah terjadi benturan-benturan bersifat keagamaan, hal ini terlihat dari adanya usaha-usaha Desa Pantai Bahagia dalam bidang keagamaan yaitu:

(42)

a. Pemantapan dalama kegiatan-kegiatan Majlis Taklim dan dzkir yang ada di RT-RT dan RW-RW.

b. Memberikan penyuluhan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama yang ada di lingkungan tempat tinggal atau keluarga, serta kerukunan umat beragama dengan pemerintah.

c. Memberikan pengarahan tentang pentingnya pembangunan dibidang spritual dalam rangka mensukseskan pembangunan.

d. Diadakannya kuliah subuh gabungan se-Desa Pantai Bahagia dengan diikuti desa-desa yang ada di Kecamatan Muara Gembong

e. Diadakannya pengajian mingguan gabungan s1e-Desa Pantai Bahagia dengan diikuti desa-desa yang ada di Kecamatan Muara Gembong Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk didalarnnya masyarakat Desa Pantai Bahagia. Untuk menjelaskan banyaknya jumlah sarana peribadatan yang ada di Desa Pantai Bahagia dapat

(43)
[image:43.595.69.481.98.499.2]

Tabel 3

Jumlah sarana peribadatan di Desa Pantai Bahagia4

I Masjid 9

2 Musholla 14

3 Majlis Taklim 8

4 Gereja 0

5 Pura 0

Bangunan fisik sarana peribadatan baik masjid, musholla maupun majlis taklim sudah cukup memadai untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan aktifitas keagamaannya seperti sholat yang waktunya telah ditentukan, pengajian, dan bentuk peribadatan lainnya.

Melihat data sarana keagamaan tersebut, memmjukan bahwa mayoritas penduduk Desa Pantai Bahagia adalah beragam Islam dart sebaliknya penganut agama-agama lain lebih sedikit.

Dalam merayakan peringatan hari besar Islam masyarakat Desa Pantai Bahagia yang mayoritas beragama Islam selalu mengadakan kegiatan keagamaan yang dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang dilakukan dengan cukup mengadakan pembacaan do'a saja, adapula yang melakukan de:ngan mengisi ceramah agama.

(44)
(45)

KABUPATEN BEKASI

A. Sebab-sebab Terjadinya Perkawinan di Bawah uュュセ@ Setelah Berlakunya UU. No. 1 Tahun 1974

Untuk mengukur sekaligus mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perkawinan di bawah umur bagi orang-orang yang beragama Islam setelah berlakunya UU. No. 1 Tahun 1974, penulis melakukan penelitian pada sebuah desa, yaitu Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi.

Instrumen penelitian yang penulis gunakan dalan1 ha! ini adalah dengan menggunakan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dalam ha! ini penulis melakukan wawancara ke beberapa Pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur dan beberapa infonnan seperti kepala KUA dan Kepala Desa setempat.

(46)

lebih banyak ditemukan pada daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan. 1

Kenyataan ini terjadi, karena di daerah perkotaan dari segi info1masi dan transformasi pengetahuan dan budaya lebih cepat dan maju, sehingga dapat menggugah kesadaran akan pentingnya hidup. Keadaan yang memaksa bagi komunitas masyarakat kota untuk berpikir rasional dan bertindak realistis dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, khususnya dalam perkawinan. Sedangkan pada masyarakat pedesaan, aspek rasionalitas lebih terabaikan karena terkungkung dan terhimpit oleh tradisi dan budaya yang menggejala di masyarakat.

Tentang motivasi orang tua dalam mengawinkan anaknya pada usia di bawah umur umumnya masih mengedepankan alasan-alasan yang klasik. Seperti adanya pandangan bagi wanita yang telah menikah dipandang lebih tinggi atau keinginan orang tua agar terbebas dari tanggungan anak gadisnya. 2 atau terkadang orang tua merasa malu bila anak gadisnya dibilang perawan tua, yang pada hakikah1ya istilah perawan tua disebuah daerah dari segi usia dapat dipandang relatif masih di bawah umur untuk menikah. Masih berlangsungnya kenyataan tersebut merupakan akibat

dari sistem nilai dan tata adat yang masih dianut.

Demikian pula di Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi khusunya di Desa Pantai Bahagia dimana penulis mengadakan wawancara kepada beberapa

1 Nani Soewondo, Hukum Perkawinan dan Kependudukan di Indonesia, (Bandung: PT. Bina

(47)

pasangan, didapat data bahwa pada kelompok masyarakat di daerah ini masih banyak yang memegang prinsip "lebih baik kawin hari ini walaupun esok harus bercerai, ketimbang harus disebut sebagai perawan tua.3

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan pangkal: dapat disimpulkan bahwa jawaban faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan di bawah umur setelah berlakunya UU. No. 1tahun1974 adalah sebagai berikut:

!. Tradisi daerah atau adat istiadat daerah/keluarga

Di masa pra UU. No. 1 tahun 1974 sering terjadi perakwinan yang disebut "kawin gantung" (perkawinan yang ditangguhkan percampuran suami/istri), kawin antara anak-anak, anak wanita yang belum dewasa dengan pria yang sudah remaja atau sebaliknya, atau juga terjadi kawin paksa, wanita dan pria yang tidak saling mengenal dipaksa untuk menikah. Dengan keadaan demikian, si wanita atau pria tidak mempunyai wewenang untuk menentukan pilihannya dalam mencari jodoh.

Selanjutnya terjadi perubahan karena di ma5a itu anak-anak pria atau wanita tidak mempunyai wewenang untuk menentukan pilihannya dalam mencari jodoh. Jodoh ditentukan orang tua atau kerabat, sedangkan menentang orang tua atau kerabat adalah tabu, takut tulah (tidak selamat), dan sebagainya.4

Selanjutnya terjadi perubahan tata nilai dan tradisi masyarakat dari hari kehari sampai berlakunya UU. No. 1 tahun 1974 yang mengatur tentang

3 Ahmad Romli. HS, Kepala Desa Pantai Bahagia, Wawancara Pribadi, Bekasi, 14 Maret

2007.

(48)

perkawinan. Ironisnya, temyata tidak semua tradisi masyarakat yang telah mengakar dapat dirombak dengan lahimya Undang-undang perkawinan tersebut, terbukti masih banyak sebagian masyarakat memegang tradisi yang berlaku dikalangan mereka, seperti halnya anak yang telah dewasa (menurut ukuran mereka) belum dikawinkan atau belum mendapatkan jodoh, orang tua akan merasa malu begitu pula anaknya.

Masyarakat yang menganut tradisi kawin di bawah umur mempunyai prinsip Jebih baik kawin hari ini walau esok cerai, dari pada menjadi perawan tua atau menjadi perjaka tua. Adat yang demikian masih banyak dijumpai pada masyarakat pedesaan yang masih berlatar belakang pendidikan yang rendah.

Dikalangan masyarakat pedesaan, masih berlaku tradisi yang hampir mengambil semua hak kemerdekaan seorang gadis untuk memilih suaminya, biasanya anak itu didikte untuk menikah dengan seseorang yang disenangi oleh orang tuanya. Juga karena kondisi masyaralcat tempat ia dibesarkan yang tidak membolehkan anak membantah kehendak ayahnya atau walinya. Perkawinan yang demikian sering kali mengecewakan dan memaksa si anak menelan pi! pahit.5

2. Faktor Ekonomi

Ada sebagian orang yang lebih mengutamakan kepentingan sendiri ketimbang kesejahteraan anak-anaknya. Terkadang mereka merasa bahwa

5

Chadijah Nasution (alih bahasa), Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan,

(49)

kekayaan dan jabatan itulah jembatan untuk memperoleh kebahagiaan dan bukan karena faktor usia dan potensi yang dimiliki oleh seseorang.

Selain itu terkadang ada orang yang mengatakan, bahwa beberapa diantara para ayah biasa memaksa anak-anak gadisnya menikah pada usia yang masih muda karena mengharapkan kemanfaatan materi yartg mereka senangi.6

Terlebih lagi banyak terjadi perkawinan di bawah umur karena melihat kondisi orang tua miskin, dan mereka ingin cepat-cepat mengawinkan anaknya untuk mengurangi beban hidup. Sehingga memuut anggapan mereka dengan jalan perkawinanlah alternatif yang paling tepat. Dan untuk orang tua yang mampu (ekonominya cukup tinggi), mereka cepat-cepat mengawinkan anaknya untuk mendapatkan bantuan tenaga sebagaimana penadapat Hilman Hadikusuma: "setelah perkawinan, si suami menetap ditempat istri sebagai tenaga kerja tanpa upah sambil menunggu waktu istri dewasa dan bercampur sebagai suami istri. 7 Dan pada umumnya orang yang mengambil menantu adalah dari orang yang tidak punya, karena dengan harapan si menantu dapat membantukan tenaganya untuk kepentingan si mertua.

3. Faktor susila, norma atau faham yang dianut

pada umunya orang tua ingin cepat-cepat mengawiukan anaknya, karena takut anaknya berbuat zina yang dilarang oleh agama yang juga menyebabkan malu keluarga.

6

Ibid, h. 84 7

(50)

Dalam ha! ini mengutip ungkapan Abu Zahlan bahwa: " Kita sebagai orang tua yang beragama Islam yang masih menghomiati adat istiadat ketimuran dan masih menjunjung tinggi nilai kesopanan, tentunya tidak mempunyai maksud membiarkan putra-putri kita melakukan tindakan yang nyerempet-nyerempet ke arah terjadinya perzinahan (prostitusi), sebab perzinahan itu sendiri mempakan kategori dosa besar dalam agama yang konsekwensinya menanggung dosa sangat berat apabila dicoba melakukan. 8

Dari kutipan di atas dapat ditarik satu benang merah, bahwa jika orang tua menyaksikan perilaku anak-anaknya yang sudah ter!alu akrab dengan lawan jenisnya dan orang tua berasumsi bahwa perbuatan anaknya dianggap melanggar norma agama, maka orang tua tersebut mengambil satu solusi dengan mengawinkannya. Disamping itu orang tua ingin melepaskan tanggung jawab sebagai orang tua, sehingga kalau anaknya sudah dikawinkan maka tanggung jawabnya berpindah kepada suami anaknya tersebut. Dm1 lilal ini biasanya terjadi pada masyarakat pedesaan yang masih berpola pikir sangat sederhana. Orang tua merasa malu kalau anak gadisnya tidak cepat-cepat dikawinkan dan khawatir dicemooh oleh tetangga sekitarnya bahwa anaknya tidak laku dan akan menjadi perawan tua.

Senada dengan ha! ini, UU. No. I tahun 1974 telah mengatur bahwa batas usia minimal untuk menikah yaitu 19 ( sembilan belas) dan 16 ( enam belas)

(51)

tahun. Seandainya terjadi hal-hal di luar dugaan, misalnya mereka yang belum mencapai usia tersebut, karena akibat pergaulan bebas (kumpul kebo) dan sebagainya sehingga wanita sudah hamil sebelum perkawinan, dalam ha! ini Undang-undang memberikan kemungkinan untuk menyimpang dari ketentuan tersebut. Dengan kondisi darnrat seperti itu, penyimpangan boleh dilakukan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun wanita (pasal 7 (2) UU. No. 1 tahun 1974).

Apabila dilihat dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah dalam rangka memenuhi perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan yang sah, untuk mencegah perbuatan maksiat dan untuk membina rnmah tangga yang damai dan teratur pada umat untuk mempertimbangkan perkawinan tersebut. Jika perkawinan itu akan mendatangkan maslahat, maka perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dan jika sebaliknya, maka lebih baik tidak.9

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa perkawinan di bawah umur yang dilakukan oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat pedesaan dengan alasan susila atau norma yang berlaku, maka perkawinan tersebut dapat ditolelir, kendatipun Undang-undang telah menegaskan usia minimal dalam perkawinan, karena pelanggaran terhadap susila atau norma akan lebih banyak manfaatnya ketimbang menyimpang dari aturan perundang-undangan (tentunya dalam ha! ini).

9

(52)

4. Faktor Pendidikan

Sejak abad permulaan sampai hari ini, orang tak pernah selesai membicarakan masalah pendidikan. Pendidikan merupakan satu sendi yang paling esensial dalam kehidupan manusia, pada umumnya orang akan mengetahui potensi yang dimilikinya karena dijembatani oleh pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah sarana penggali potensi dan sumber daya manusia.

Disatu sisi orang ramai membicarakan pendidikan dengan segala problematika yang melingkarinya, akan tetapi disisi lain, hari ini masih banyak orang yang tidak memperoleh pendidikan secara fonnal, kalaupun mereka memperolehnya tapi hanya pada dataran terendah seperti Sekolah Dasar.

Hal ini banyak terjadi dilingkungan masyarakat yang berdomisili di pedesaan. Terbukti masih banyak gadis dan bujang yang berusia belasan tahun dan masih sangat belia sudah tidak bersekolah, terlebih lagi wanita. Karena image mereka tentang wanita yang bersekolah dipandang hanya merupakan kesia-siaan, karena pada akhirnya akan bennuara kedapur pula. Dengan demikian, mereka memandang bahwa wanita lebih baik belajar memasak, mencuci dan sebagainya, seputar urusan domestik yaitu dapur, sumur dan kamar, selebihnya menunggu datangnya bujang untuk melamar.

(53)

Pada akhirnya kehidupan bennasyarakat semarak dengan perkawinan di bawah umur tanpa memikirkan resiko yang akan dihadapi, karena jika tidak demikian ada kekhawatiran akan menjadi perawan dan perjaka tua, sedangkan sebutan perawan dan perjaka tua merupakan aib dalam keluarga.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terjadinya kawin di bawah umur bagi sebagian masyarakat karena berlatar belakang pendidikan rendah yaitu putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah.

5. Faktor Perintah Orang Tua (Dijodohkan)

Perkawinan yang dilakukan hams berdasarkan atas persetujuan kedua "calon mempelai (pasal 6 UU. No. I tahun 1974). Sebagaimana tertuang dalam penjelasan maksud dari .ketentuan tersebut, agar suami istri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga kekal dan bahagia, sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan hams disetujui oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Ketentuan ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan. Akan tetapi dalam masyarakat yang tel1ah maju tidak pantas

berlaku kawin paksa, oleh karena adanya persetujuan dari kedua calon mempelai merupakan syarat utama dalam perkawinan di Indonesia yar1g sekarang berlaku.10

Kata atas persetujuan kedua calon mempelai dimaksud berarti orang tua/wali atau kelurga/kerabat tidak boleh memaksakan ar1ak-anak mereka untuk

(54)

melakukan perkawinan jika mereka tidak setuju terhadap pasangannya, atau belum bersedia untuk kawin.

Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak orang tua yang melaksanakan keinginannya untuk mengawiukan anak-anaknya, padahal usianya masih relatif muda yaitu belum mencapai usia minimal untuk menikah yang diatur dalam Undang-undang perkawinan. Si anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali mematuhi keinginan orang tuanya, anak dinikahkan dengan laik-laki yang tidak disukainya, bahkan laki-laki yang sama sekali tidak dikenal. Bertindak mengambil keputusan sendiri mengakibatkan tersingkir dari kerabat dan keluarga.11

Orang tua kerap kali memaksakan keinginannya untuk mengawinkan anaknya yang masih di bawah umur dengan alasan untuk kebahagirum anaknya, agar tidak menjadi perawan/perjaka tua yang merupakan aib keluarga karena digunjingkan oleh masyarakat. Adapula orang tua yang menjodohkan anaknya dengan laki-laki kaya yang sudah berumur (tua) dengan harapan agar anaknya dapat hidup bahagia dengan segala fasilitas yang dimiliki oleh calon suami anaknya, walaupun pada kenyataannya tidak demikian, dan justru sebaliknya, karena tradisi ini wanita usia belasan tahun tak keberatan menikah dengan pria

(55)

berumur. Mereka berasumsi menikah di atas usia ideal itu adalah aib, sebab ada kekhawatiran turunnya minat pria menikahinya. 12

Dengan demikian dapat diketahui faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perkawinan di bawah umur yang mewabah di masyarakat dengan segala problematika yang melingkarinya.

B. Dampak Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur

Berdasarkan pasal 7 Undang-udang Perkawinan No. l tahun 1974, "Seorang pna yang sudah mencapai umur 19 tahun diizinkan untuk melangsungkan perkawinan''. Tetapi apakah dengan dipenuhi syarat usia dalarn pasal 7 tersebut, maka perkawinan dapat dilangsungkan demikian mudahnya.

Senada dengan ha! ini, berdasarkan pada satu asumsi bahwa remaja masih Jabil jiwanya, dalarn arti kematangan pisik mereka seiring tidak sejalan dengan pikirannya, akibatnya kemungkinan cepat merasa bosan dengan pasangan masin-masing yang akhimya berdarnpak pada perceraian.13 Mereka melangsungkan perkawinan tidak berdasarkan pertimbangan yang matang seperti halnya pada pasangan yang telah dewasa, tetapi pada umumnya hanya berdasarkan pada keinginan secara emosional belaka.

Disisi lain darnpak perkawinan dibawal1 umur tidak. hanya terbatas pada banyaknya kuantitas perceraian tetapi akan berimplikasi munculnya janda-janda yang

12 "Mendobrak Tradisi Nikah Muda", Repub/ika,(Jakarta, 10 Desember 1994), h. 9

(56)

masih berusia relatif muda dan anak-anak balita dari hasil perkawinan yang biasanya menjadi beban para janda tersebut, ini merupakan beban ganda, beban mendidik anak sekaligus mencari nafkah.

Akibat lebih Ian jut, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan seperti di atas, tidak mendapatkan pendidikan yang baik, tidak mendapatlkan kasih sayang yang cukup, karena orang tuanya tidak memiliki pengetahuan dan persiapan mental untuk mendidik anaknya.

Aisyah Amini dalam majalah "Nasehat perkmvinan dan keluarga", mengungkapkan bahwa tidak jarang wanita-wanita yang dicerai lalu mencari pelarian atau pergi ke kota mencari pekerjaan yang akhimya ada yang memanfaatkannya sampai kelembah hitan1.

Akibatnya drama penderitaan wanita dan anak-anak karena terjadinya perceraian menjadi berlipat-lipat, bahkan lebih tragis lagi ada yang memilih jalan untuk keluar dari lingkaran penderitaan dengan jalan pintas dan praktis yaitu menjadi pelacur di kota-kota besar, karena mereka memang tidak memiliki keterampilan apapun yang bisa diandalkan untuk mencari pekerjaan.

Dari ungkapan di atas, dapat dilihat bahwa perkawinan di bawah umur mempunyai resiko yang cukup tinggi dan tidak semua orang mampu mengatasinya dari lingkaran tersebut.

(57)

mengancam eksistensi kelestarian sebuah rumah tangga karena kondisi pisik ibu belum siap untuk hamil dan melahirkan.

Berkaitan dengan ini, ibu Memet Tanumidjaya dengan menyitir buku terbitan

WHO (World Health Organisation) tahun 1989 yang berjudul Youth and

Reproductive Health, bahwa: " kehamilan dan persalinan pada usia terlalu muda merupakan resiko kesehatan yang besar bagi ibu dan anak-anaknya. Suatu penelitian yang di lakukan di sejumlah Negara yang amat beragam tingkat perkembangannya seperti banglades, republic domica, Tanzania dan amerika serikat: ibu muda yang berumur 15-19 resiko kematian pada waktu bersalin adalah dua kali lebih tinggi dari pada ibu-ibu usia 20-29 tahun. Bahkan resikonya akan lebih tinggi lagi apabila ibunya berumur dibawah 15 tahun.14

Kawin muda adalah ancaman kematian bagi ibu bersangkutan. Pendapat ini di dukung oleh hasil penelitian di sejumlah Negara, bahwa akibat persalinan pada usia terlalu muda akan membawa kematian pada ibu beberapa kali lipat dari pada ibu-ibu yang berumur 20 tahun keatas.

Selain dari bahaya terhadap kesehatan ibu, juga terhadap janin yang berada dalam rahim karena kekurangan darah.kalsium dan zat-zat dalam darah yang menyebabkan janin tidak dapat berkembang optimal.15 Hal ini diungkapkan oleh Heru Subroto dalam tulisannya di Media Indonesia.

14 Memet Tanumidjaya, "Dampak Perkawinan Usia Muda dalam Kehidupan Rumah Tangga

dan Kesejahteraan soisa/", Mimbar Utama, XV, 156 (Desember, 1990), h. 22

15 Heru Subroto, "Berbagai Ragam Resiko Kawin Muda", Media Indonesia, (Jakarta, 4 April

(58)

Perkawinan di bawah umur dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi persalinan atau melahirkan, sebab alat-alat reproduksinya behun siap menerima tugas berat itu. 16

C. Upaya Yang Dapat Ditempuh Untuk Mencegah Terjadinya Perkawinan Di

Bawah Umur

Secara umum baik itu dalam hukum Islam maupuu Kitab Undang-uudang Hukum Perdata (BW), kesiapan calon untuk melangsw1gkan perkawinan sangat dianjurkan karena bagaimanapuu perkawinan yang dilakukan tanpa kematangan fisik maupun psikis dikhawatirkan akan menemui kegagalan dan kehancuran. Kematangan fisik maupuu psikis itu dapat dicapai dengan umur yang mencukupi dan memenuhi kriteria-kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Perkawinan No. I tahuu 1974. Oleh karena itu, perkawinan di bawah umur sedini mw1gkin harus diantisipasi. Beberapa cara mengantisipasi terjadinya perka,Ninan di bawah umur tersebut antara Iain: Pertama, Menumbuh kembangkan akan pentingnya pendidikan, setidaknya umur uutuk melangsuugkan perkawinan akan tertunda di masa pendidikan tersebut. Kedua, mengefektifkan peranan perangkat hukum , seperti pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), serta peranan pengadilan atau pejabat selaku pemberi dispensasi. Ketiga, memberikan penyuluhan .. penyuluhan mengenai umur ideal perkawinan serta penjelasan-penjelasan mengenai aspek positif dan

16 Sution Otsman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, (Yogyakarta: Liberty, tth.), Cet.

(59)

negatifuya perkawinan di bawah umur.

Keempat,

meningkatkan frekuensi penasehatan (BP.4) kepada calon mempelai yang kelak nanti akan mempunyai anak dan berumah tangga.

Dalam ha! ini mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur, Undang-undang Perkawinan No. I Tahun 1974 telah menentukan pernbatasan usia menikah. Dalam pasal 7 ayat (I) Undang-undang Perkawinan menetapkan usia nikah yaitu: Bagi cal on mempelai pria harus telah mencapai umur 19 ( sembilan belas.) tahun dan calon mempelai wanita harus telah mencapai umur 16 (enam. belas) tahim. Jika ada yang ingin menikah di luar batasan usia yang telah ditentukan, maka orang tua yang bersangkutan harus meminta dispensasi ke Pengadilan Agama sebagaimana telah tercantum di dalam pasal 7 ayat (2). Dan jika kedua calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun maka yang bersangkutan harus meminta izin ke Pengadilan Agama. Adapun cara mengajukan permohonan dispensasi atau izin kawin ke pengadilan inipun tidak mudah yaitu harus membuat surat permohonan tertulis yang bersisi identitas para pihak. Posita yaitu penjelasan tentang keadaan atau peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan permohonan, dan juga di dalam surat permohonan itu harus memuat petitum yaitu tuntutan yang diminta oleh pemohon agar dikabulkan oleh hakim. Setelah surat permohonan tersebut diajukan ke paniteraan pengadilan agama yaitu pada Sub.

Kepaniteraan.17 Dan dalam jangka waktu tertentu pengadilan akan memanggil pihak

17 A. Mukti Ario, Perkara Perdata Pada Pengadi/an Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(60)

Gambar

Tabel 1
Jumlah sarana pendidikan Tabel 2 di Desa Pantai Bahagia3
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah di mana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Penentuan lokasi penelitian harus benar-benar di perhitungkan

Dari hasil observasi peneliti bahwa makanan yang dibawa oleh anak-anak murid RA Al Hikmah bahwasannya ada yang bergizi dan tidak, dikarenakan dapat dilihat dari makanan

Dari masing-masing uji logika dan uji statistik yang didapati, maka model last square dengan menggunakan jumlah penduduk dan PDRB Kota Sawahlunto sebagai variabel bebas dapat

Hasil penelitian menjelaskan berdasarkan tujuan dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Seni Penjara Yogyakarta, maka tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap

111 Wawancara dengan Bapak Husni selaku Manajer Operasional Bentuman Steak pada tanggal 15 Juni 2020.. 66 Ayat tersebut secara tegas dan jelas menganjurkan kaum

Hasil studi lapangan yang dilakukan oleh peneliti dengan penyebaran angket terha- dap pendidik dan peserta didik serta melakukan wawancara terhadap pendidik diperoleh

Dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa praktik dalam pembuatan dokumen kependudukan yang dilaksanakan di Kantor Kecamatan Jati Kabupaten Blora tidak

1. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu