• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Sosial dalam kumpulan cerpen mata yang enak dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Masalah Sosial dalam kumpulan cerpen mata yang enak dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh: Fitri Khoiriani NIM 1110013000065

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Fitri Khoiriani, 1110013000065, “Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Jamal D. Rahman, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan masalah sosial dalam Kumpulan

cerpen Mata yang Enak Dipandang dan implikasisnya terhadap pembelajaran

bahasa dan sastra Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif kualitatif dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sastra dan sosiologi. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, hasil penelitian ini menunjukan bahwa masalah sosial banyak timbul dikalangan masyarakat kalangan bawah. Masalah sosial yang timbul adalah masalah kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, masalah pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang meliputi pelacuran dan homoseksualitas. Sedangkan penyebab munculnya masalah sosial

adalah karena faktor ekonomi dan kebudayaan. Analisis kumpulan cerpen Mata

yang Enak Dipandang dapat memenuhi standar kompetensi pada pembelajaran sastra melalui memahami keterkaitan unsur intrinsik cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Melalui pembelajaran ini diharapkan akan menimbulkan kepekaan dalam diri peserta didik terhadap lingkungan di sekitarnya sehingga akan terbentuk sikap toleran, menghargai, tolong-menolong antarsesama.

(6)

ii ABSTRACT

Fitri Khoiriani, 1110013000065, "Social Problems in Set of Short Stories entitle Mata yang Enak Dipandang written by Ahmad Tohari and Its Implication towards Indonesian Language and Literature Education", Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and

Teachers‟ Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: D. Jamal Rahman, M. Hum.

This study aims to describe social problems in the set of short stories entitle Mata yang Enak Dipandang and its implication towards Indonesian language and literature learning. The method used in this research is a qualitative descriptive by using literature and sociology approach. Based on the analysis which had been conducted by the researcher, the results of this study indicate that many social problems arise among the people frequently from lower classes. Those problems are such of poverty, crimes, family disorganization, juvenile delinquency in modern society, and violation of the norms of the society which includes prostitution and homosexuality. While factors caused those social problems are due to the economic and cultural issues. Analysis of the short story collection can meet the standard of competence in learning literature through understanding the relevance of the intrinsic elements of a short story with everyday life. Through this study, it is expected to make sensitivity in self-learners towards their environment around them so that it will shape a tolerant attitude, respecting each other, and helping each other.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi robbil „alamin segala puji bagi Allah atas segala yang ada di semesta jagad raya dan telah memberi limpahan rahmat dan nikmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam

senantiasa tercurah limpahkan untuk Nabi besar Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya.

Penulis menyusun penelitian ini untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan. Dalam penulisan penelitian ini penulis banyak mendapat masukan, bimbingan, saran, dorongan, dan semangat dari berbagai pihak. Semua itu tak lain untuk menjadikan penulis menjadi pribadi yang lebih baik dan kaya informasi, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Ahmad Tib Raya, M.A dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

2. Dra. Hindun M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekertaris Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing yang dengan

kesabarannya membimbing penulis merampungkan penelitian ini.

5. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah

memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.

6. Drs. Cecep dan Nuri Saroh, kedua orang tua yang mempunyai kesabaran

yang sangat luar biasa menunggu penyelesaian skripsi ini, dengan tak lupa memberikan dukungan yang tiada henti.

7. Fatmawati, Kakak yang selalu memperlihatkan cara untuk terbuka pada

(8)

iv

menengahi keributan di rumah dengan penjelasan agamanya, tak lupa Nur Arifik Mugni Habibi dan Hasbi Mayar Nurkamil yang penulis sayangi.

8. Teman-teman terdekat penulis selama di perkuliahan yang tergabung

dalam PKK (Penggiat Kumpul Kosan), Aulia Herdiana Puspasari, Rizkia Auliani, Dwina Agustin, Ade Fauziah, Mawaddah, Nurul Inayah, Tazka Adianti, Yunia Ria Rahayu, Mabruroh, Aisyatul Fitriah dan anggota lain yang ikut meramaikan.

9. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas B yang selalu

memperlihatkan kekompakannya baik dalam kelas maupun di luar kelas perkuliahan.

10.Dini Pratiwi, Fitriza Romly, Rika Anjani, Sarifatul Hidayah (Ipeh),

Purnama Wulandari, dan khoerunnisa yang tergabung dalam gang “The Gambreng” serta anak-anak kelas XI IPA 2 MA Negeri 2 yang sampai saat ini masih sangat kompak.

11.Guru-guru MI Nurul Huda, SMP Negeri 16 Bogor, MAN 2 Bogor yang

telah menuntun penulis sampai pada tahap ini.

Terima kasih pula untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian penelitian ini. Semoga Allah membalas kalian semua. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadikan penelitian ini lebih baik lagi. Besar harapan penulis agar penelitian ini dapat bermanfaat, baik untuk penulis pribadi maupun pembaca.

Jakarta, Februari 2015

(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

G. Metodelogi Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN CERPEN, MASALAH SOSIAL DAN SOSIOLOGI SASTRA ... 9

A. Hakikat Masalah Sosial ... 9

1. Pengertian Masalah Sosial ... 9

2. Beberapa Masalah Sosial Penting ... 11

3. Faktor Penyebab Masalah Sosial ... 15

B. Hakikat Cerpen... 16

1. Pengertian Cerpen ... 16

2. Unsur-unsur Cerpen ... 17

C. Sosiologi Sastra ... 26

D. Pembelajaran Sastra ... 29

BAB III AHMAD TOHARI DAN KARYANYA ... 33

A. Biografi AhmadTohari ... 33

(10)

vi

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN MATA

YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI ... 40

A. Unsur Intrinsik dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ... 40

B. Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang KaryaAhmad Tohari ... 53

1. Bentuk Masalah Sosial dalam Kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ... 53

a. Masalah Kemiskinan ... 53

b. Masalah Kejahatan atau Kriminalitas ... 56

c. Masalah Disorganisasi Keluarga ... 60

d. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern... 64

e. Masalah Pelanggaran Terhadap Norma-norma masyarakat ... 65

2. Penyebab Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari ... 71

C. Implikasi Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ... 76

BAB V PENUTUP ... 79

A. Simpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan hasil kreativitas seorang pengarang mengenai ide, pemikiran atau pendapat tentang suatu hal baik yang ia dengar dari orang lain atau yang ia lihat dan rasakan sendiri, yang dikemas sedemikian rupa sehingga orang yang menikmati karya sastra itu dapat memahami maksud si pengarang.

Dalam sebuah karya sastra sering dijumpai peristiwa-peristiwa dan permasalahan yang diceritakan, karena kelihaian dan kemampuan imajinasi pengarang, tampak konkret dan seperti benar-benar ada dan terjadi. Apalagi jika ditopang oleh latar dan para tokoh cerita yang meyakinkan, misalnya sengaja dikaitkan dengan kebenaran sejarah, cerita itu pun akan lebih meyakinkan pembaca. Pembaca seolah-olah menemukan sesuatu seperti yang ditemuinya dalam dunia realitas, maka peristiwa-peristiwa atau berbagai hal yang dikisahkan dalam cerita itu tidak lagi dirasakan sebagai cerita, sebagai manifestasi peristiwa imajinatif belaka, melainkan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat faktual yang memang ada dan terjadi di dunia nyata. Oleh sebab itu, tidak salah apabila dikatakan karya sastra sebagai cerminan masyrakat.

Karya sastra bukan hanya mampu menggambarkan keadaan masyarakat, namun lebih dari itu sastra bahkan mampu menunjukkan arah dan membentuk

perkembangan masyarakat.1 Karya sastra dapat mengajak orang untuk

merenungkan masalah-masalah yang pelik, menyadarkan pikiran yang jahat dan keliru, mengajak orang untuk mengasihi manusia lain, dan memberi gambaran bahwa nasib setiap manusia berbeda-beda, manusia ditakdirkan untuk hidup, sedangkan hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan

ancaman-ancaman2.

1

Jakob Sumardjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusasteraan. (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 57

2

(12)

Dapat dikatakan bahwa karya sastra tidak lepas dari pengaruh lingkungan kehidupan di mana sastra itu tumbuh. Ia tercipta dalam rangka merelasikan apa yang dirasakan serta dialami pengarang di lingkungannya yaitu tempat ia bersosialisasi. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia, perjuangan, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Selain itu, dengan memanfaatkan acuan peristiwa-peristiwa realitas sebagai dasar penceritaannya akan menjadikan sebuah karya sastra akan menjadi lebih nilai tambah bagi pembaca. Melalui karya sastra, pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dan ingin menafsirkan makna hidup dan hakikat hidup.

Banyak bentuk karya sastra yang dapat digunakan oleh seorang pengarang dalam menuangkan idenya seperti karya sastra berbentuk puisi, drama dan prosa. Semua bentuk karya sastra itu tentu memiliki jenis-jenis lagi seperti prosa yang memiliki bentuk lain, diantaranya adalah cerpen. Dengan caranya yang menyelusup dalam satu cerpen, pengarang bisa menceritakan segala pengalaman yang dulu diceritakan dalam satu roman besar. Dengan adanya cerpen seorang pengarang dapat membuat sebuah cerita yang dapat memperlihatkan suatu keadaan yang tidak menyenangkan untuk dirinya dan masyarakat lain yang ikut merasakannya dalam waktu yang relatif sebentar, namun bisa langsung mengena di hati pembaca. salah satu tema yang sering diangkat oleh pengarang adalah mengenai masalah sosial yang terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kelas bawah.

Pada dasarnya karya sastra menawarkan masalah manusia dan kemanusiaan, masalah hidup dan kehidupan. Masalah kemanusiaan dalam sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari masalah kemanusian yang tertangkap oleh pengarang, karena pengarang adalah bagian dari masyarakat. Masalah sosial yang terdapat dalam sebuah karya sastra merupakan reaksi dan tangggapan pengarang terhadap berbagai kenyataan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.

(13)

mengetahui apa yang mereka lihat dan rasakan merupakan sebuah masalah. Sehingga menyebabkan pola pikir masyarakat pun berubah dalam memandang sebuah peristiwa yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di negara ini.

Contoh masalah sosial yang terjadi di masyarakat adalah masalah kemiskinan yang menjadi pangkal munculnya masalah-masalah sosial lainnya seperti tindak kejahatan, pelacuran atau pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di mayarakat. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2014 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28 juta

jiwa.3 Meski jumlah ini telah menurun dibandingkan dengan survei yang

dilakukan bulan Januari 2014 yaitu mecapai 28,55 juta jiwa4, tetap saja tingkat

kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi.

Salah satu sastrawan yang konsisten mengangkat masalah sosial dalam karyanya adalah Ahmad Tohari. Ahmad Tohari adalah sastrawan yang namanya melejit setelah pertengahan 1970. Ahmad Tohari merupakan sastrawan yang selalu menampilkan karya-karyanya dengan tokoh masyarakat kalangan bawah. Ada beberapa orang yang menganggap, hasil karya Ahmad Tohari sebagai kritik sosial yang mengangkat kehidupan kecil.

Emha Najib, Budayawan asal Yogya pernah mengatakan bahwa Ahmad Tohari lebih pantas disebut sebagai kritikus sosial dari pada sebagai novelis. Mengenai pendapat itu Ahmad Tohari mengatakan,

“Pendapat itu memang dapat saya maklumi. Karena tema tulisan-tulisan sastra saya selalu berkisar pada masalah yang dihadapi rakyat kecil di sekitar lingkungan tanah kelahiran saya. Bahkan dapat saya sebutkan, cerita yang saya tulis adalah realita yang memang ada di masyarakat saya... hal itu merupakan perwujudan keprihatinan saya dalam masalah-masalah sosial”5

3

Ridho Syukro, “BPS: Maret 2014, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Capai 28 Juta”, http://www.beritasatu.com/nasional/193810-bps-maret-2014-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-capai-28-juta.html, diakses 04 April 2015, pukul 11:56

4 Pebrianto Eko Wicaksono, “Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Meningkat Jadi 28,55

Juta Jiwa”, http://bisnis.liputan6.com/read/790061/jumlah-penduduk-miskin-indonesia-meningkat-jadi-2855-juta-jiwa. 04 April 2015, pukul 11:00

5

(14)

Mata yang Enak Dipandang adalah salah satu karya dari Ahmad Tohari. Mata yang Enak Dipandang merupakan kumpulan cerpen yang memuat lima belas karya Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah

dengan segala lika-likunya. 6

Hal yang menjadi alasan peneliti menjadikan kumpulan cerpen Mata yang

Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah kebanyakan peneliti yang menganalis karya Ahmad Tohari mengambil objek novel dalam penelitiannya

terutama Ronggeng Dukuh Paruk, dan cukup sedikit yang meneliti

cerpen-cerpennya padahal cerpen-cerpen yang dibuat oleh Ahmad Tohari pun sangat layak untuk diteliti. Namun, alasan yang paling penting kenapa menggunakan Mata yang Enak Dipandang adalah kumpulan cerpen ini banyak mengangkat masalah sosial yang dapat membantu siswa untuk mengetahui apa saja bentuk masalah sosial yang berada di lingkungan mereka selain itu siswa dapat membentuk karakter siswa seperti rasa peduli, tanggung jawab, toleransi, serta bijaksana dalam memandang sebuah peristiwa yang mereka temui di lingkungannya.

Penelitian ini didasari oleh pandangan bahwa sastra pada dasarnya merupakan cerminan dari masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Sebuah pendekatan multidisipliner yang mengkaji hubungan antara kondisi kehidupan sosial masyarakat dengan karya sastra. Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengambil

judul Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang

Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

6

(15)

B. Idetentifikasi Masalah

1. Masalah sosial yang terjadi di masyarakat sudah sangat memprihatinkan.

2. Sebagai kumpulan cerpen, Mata yang Enak Dipandang belum banyak

dianalisis

3. Kurangnya pembahasan mengenai masalah sosial yang diimplikasikan

terhadapat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Banyak hal yang dapat diteliti dalam kumpulan cerpen Mata yang

Enak Dipandang. namun, hal yang paling menonjol dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang adalah gambaran masalah sosial. Oleh sebab itu, penelitian ini dibatasi pada analisis masalah sosial dalam tujuh cerpen yang

terdapat kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari

yang terdiri dari yaitu, (1) “Mata yang Enak Dipandang”, (2) “Bila Jebris Ada

di Rumah Kami”, (3) “Penipu yang Keempat”, (4) “Warung Penajem”, (5) “KangSarpin Minta Dikebiri”, (6) “Rusmi Ingin Pulang”,(7), “Dawir, Turah, dan Total.” dan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana masalah sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Mata

yang Enak Dipandang?

2. Bagaimana implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa

Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsiskan masalah sosial dalam kumpulan cerpen Mata yang

Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran bahasa

(16)

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian sebagai sarana kajian peneliti dalam menerapkan salah satu pendekatan dalam karya sastra dan hasil penlitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan penerapan ranah ilmu sastra serta studi tentang sastra dan juga penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pembaca sebagai sumber penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian diharapkan dapat mengetahui secara lebih lengkap tentang Ahmad Tohari dan karya-karyanya, memberikan sedikit gambaran tentang masalah sosial yang ada di masyarakat dan apa yang menyebakan munculnya masalah sosial tersebut melalui analisis kumpulan

cerpen Mata yang Enak Dipandang sehingga dapat meningkatkan sikap kritis

mengenai keadaan di masyarakat.

G. Metodelogi Penelitian

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengungkapkan dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang belum diketahui. pendekatan ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu yang baru sedikit diketahui dan dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan.

(17)

mendeskripsikan dan mengeskplorasikannya dalam sebuah narasi.7 Sementara itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penggunaan metode deskriptif bertujuan untuk membuat gambaran, deskripsi, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

2. Sumber Data

Menurut Nyoman Kutha Ratna, dalam ilmu sastra, sumber data adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan

wacana.8 Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan dan

data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Kumpulan cerpen Mata yang Enak di Pandang karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia, cetakan pertama dengan tebal 215 halaman. Sedangkan, data

sekuder yaitu berupa data-data dari buku, majalah, esai, jurnal, online dan

dokumen-dokumen lain yang menunjang dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi. Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari

seseorang.”9 Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data

dengan cara mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Dalam penelitian ini, peneliti menganalis dengan membaca secara

terus menerus terhadap sumber data primer yaitu teks kumpulan cerpen Mata

yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari untuk memperoleh data yang diperlukan yaitu gambaran masalah sosial. Hasil analis tersebut kemudian

7

Syamsuddin AR, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, (Bandung: PT Remaja Rosada karya, 2006) h. 73-74

8

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra ,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 47

9

(18)
(19)

9 BAB II

TINJAUAN MASALAH SOSIAL, CERPEN DAN SOSIOLOGI SASTRA

Pada prinsipnya, penelitian tentang “Masalah Sosial dalam Kumpulan Cerpen

Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra” ini memanfaatkan kajian interdisipliner, yaitu penelitian antardisiplin atau bidang studi sosiologi dan sastra. Oleh karena itu, perlu diperjelas lebih dalam tinjauan teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, meliputi tinjauan cerpen, tinjauan masalah sosial, tinjauan sosiologi sastra, serta tinjauan terhadap pembelajaran sastra

A. Hakikat Masalah Sosial 1. Pengertian Masalah Sosial

Dalam setiap usaha manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya senantiasa tidak lepas dari benturan-benturan antara nilai, norma-norma sosial dengan keterbatasan kemampuan dan sumber-sumber kebutuhan yang diperebutkan. Jika nilai-nilai atau unsur-unsur kebudayaan pada suatu waktu mengalami perubahan, di mana anggota-anggota masyarakat merasa terganggu atau tidak dapat memenuhi kebutuhan melalui kebudayaan tadi, maka timbul gejala-gejala sosial yang meresahkan masyarakat yang disebut dengan masalah sosial.

Banyak para ahli khususnya ahli sosiologi yang telah mencoba untuk mendefinisikan masalah-masalah sosial, yang pada dasarnya mengarahan perhatiannya pada kondisi ketidak-seimbangan perilaku, moral, dan nilai-nilai sosial. Hal ini diartikan sebagai suatu kehidupan masyarakat yang sebelumnya normal menjadi terganggu, sebagai akibat dari perubahan pada unsur-unsur dan

kepentingan manusia.10

10

(20)

Masalah sosial berkisar dari suatu keadaan ketidakseimbangan antara unsur nilai-nilai dan norma-norma sosial dalam masyarakat yang relatif membahayakan atau menghambat anggota-anggota masyarakat dalam usahanya

mencapai tujuan.11 Kartono mendefinisikan masalah sosial atas dua hal, yaitu: (1)

semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa adat istiadat (dan adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama), dan (2) situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya, dan merugikan orang banyak. Dua pernyataan ini memperlihatkan bahwa masalah sosial adalah tingkah laku yang dianggap tidak cocok, melanggar norma, adat istiadat, dan tidak terintegrasi

dengan tingkah laku umum.12

Menurut Soekanto, masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang yang immoral, berlawanan hukum, dan bersifat merusak. Sebab itu masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang

dianggap buruk.13

Ukuran-ukuran masalah sosial banyak sekali macamnya tergantung apa yang sedang dirasakan oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Ada yang mengatakan bahwa bisa disebut masalah sosial , jika ia menyangkut masalah kejahatan, perceraian, kemiskinan, pelanggaran-pelanggaran hukum dan sebagainya. Namun, demikian ada beberapa ukuran secara umum yang dapat dipakai sebagai anjungan, yaitu:

1. Terjadinya disorganisasi dalam masyarakat, misalnya keresahan sosial atau

terjadinya pertenangan-pertentangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

11

Ibid., h. 184

12

Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. 8 h. 1

13

(21)

2. Ketidakmampuan dalam berhadapan dengan inovasi atau mungkin ketidakmampuan dalam menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.14

2. Beberapa Masalah Sosial Penting

a. Masalah Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Menurut Emil Salim, kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Mereka dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling

pokok, seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lainnya.15

b. Masalah Kejahatan

Donal R. Gressey berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Timbulnya kriminalitas atau kejahatan disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial, yaitu gejala-gejala kemasyarakatan, seperti; krisis ekonomi, keinginan-keinginan yang tak tersalurkan, tekanan-tekanan mental, dendam dan sebagainya.

c. Masalah Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit, karena anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain:

1) Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar

perkawinan,

14

Abdulsyani, op. cit, h. 184

15

(22)

2) Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur dan seterusnya.

3) Adanya kekurangan dalam keluaraga tersebut, yaitu dalam hal

komunikasi antara anggota-anggotanya. Goede menamakannya

sebagai empty shell family.

4) Krisis keluaraga, oleh karena salah satu yang bertindak sebagai kepala

keluarga di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan.

d. Masalah Generasi Muda dalam Masyarakat Modern

Masalah generasi muda pada umunya ditandai dua ciri berlawanan. Yakni keinginan untuk melawan (misalnya dalam bentuk radikalisme, delikuensi dan sebagainya) dan sikap yang apatis (misalnya penyesuaian yang membabibuta terhadap ukuran moral generasi tua). Sikap melawan mungkin disertai dengan suatu rasa takut bahwa masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang. Sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kecewa terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi masalah sosial dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik dia telah matang, tetapi untuk diakatakan dewasa dalam arti sosial masih diperlukan faktor-faktor lainnya. Dia perlu belajar banyak mengenai nilai dan norma-norma masyarakatnya.

e. Masalah Peperangan

Peperangan mungkin merupakan masalah sosial paling sulit dipecahakan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Masalah peperangan bebeda dengan masalah sosial lainnya karena menyakut beberapa masyarakat sekaligus, sehingga memerlukan kerja sama intetrnasional yang hingga kini belum berkembang dengan baik. Perrkembangan teknologi yang pesat semakin memodernisasikan cara-cara berperang dan menyebabkan pula kerusakan-kerusakan yang lebih hebat ketimbang masa-masa lampau.

(23)

dalam pelbagai aspek kemasyarakatan, baik bagi negara yang ke luar sebagai pemenang, apalagi bagi negara yang takluk sebagai si kalah. Apalagi peperangan pada dewasa ini biasanya merupakan perang total, yaitu di mana tidak hanya angkatan bersenjata yang tersangkut, akan tetapi seluruh lapisan masyarakat.

f. Pelanggaran Terhadap Norma-norma Masyarakat

1) Pelacuran

Pelacuran merupakan masalah sosial yang cukup besar pengaruhnya bagi perkembangan moral. Banyak kehawatiran-kehawatiran yang timbul karena adanya pelacuran ini. Sebab ia tidak hanya membuat masalah bagi keluaraga dan generasi muda saja, melainkan ia juga sudah merupakan masalah nasional.

Pelacuran akan menjadi masalah sosial yang besar, jika ia berkembang menjadi suatu profesi. Ia berkembang menjadi suatu profesi, jika nilai-nilai moral keterlanjuran itu sudah merasuk ke dalam jiwa bagi para pelakunya, lebih-lebih tertanam pula suatu tanggapan bahwa pekerjaan itu adalah mudah dilakukan.

2) Delikuensi Anak-anak

Delikuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah cross boys dan cross girl yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam suatu ikatan/organisasi formal atau semi formal dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang atau tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delikuensi anak meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obatan dan mengendarai kendaraan bermotor tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.

3) Alkoholisme

(24)

pemabuk semakin kurang kemampuannya untuk mengendalikan diri, baik secara fisik, psikoligis maupun sosial.

4) Homoseksualitas

Homoseksual adalah seseorang yang cendrung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual istilah ini digunakan untuk pria sedangkan wanita yang berbuat demikian disebut lesbian. Berbeda dengan homoseksual adalah yang disebut transeksual. Mereka menderita konflik batiniah yang menyangkut identitas diri bertentangan dengan identitas sosial, sehingga ada kecendrungan untuk mengubah karakteristik seksualnya.

Dorongan yang kuat untuk menyimpang, anara lain dalam bentuk homoseksualitas adalah reaksi negatif terhadap kedudukan dan peranan yang diberikan oleh lingkungan sosial kepada seseorang. Hal ini disebabkan, karena adanya keyakinan, bahwa moralitas tidak memberikan kesempatan kepada pribadi untuk membentuk kepribadiannya sendiri atau setidak-tidaknya ikut berperan membentuk kepribadian itu.

g. Masalah Kependudukan

Pada dasarnya masalah penduduk merupakan suatu sumber yang sangat penting dalam rangka mensukseskan pembangunan dalam suatu negara. Sebaliknya ia juga bisa menjadi faktor penghambat bagi pembangunan itu sendiri, jika pertambahannya tidak terkontrol, disamping tidak merata. Oleh karena itu perubahan atau pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol merupakan gejala-gejala yang akan menimbulkan masalah sosial.

h. Masalah Lingkungan Hidup

(25)

balik antara manusia dengan lingkungan dalam berbagai aspeknya (ekosistem). Lantas kemudian pengaruh timbal balik tersebut dapat menimbulkan masalah-masalah, baik itu lingkungan fisik, lingkungan biologis ataupun lingkungan sosial.

i. Birokrasi

Pengertian birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mengarahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Atau dengan kata lain, birokrasi adalah organisasi yang bersifat hirakis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan

tugas-tugas administratif. Digunakan istilah bureaucratism untuk menunjuk

pada birokrasi yang malahan menghambat roda pemerintahan, yang berarti bahwa birokrasi tersebut menyimpang dari tujuan.

3. Fakor Penyebab Masalah Sosial

Masalah sosial timbul dari kekurangan kekurangan dalam diri manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis, psikologis, dan kebudayaan.

a. Faktor Ekonomis

(26)

b. Faktor Biologis

Masalah yang bersumber dari faktor biologis ini misalnya, masalah-masalah yang menyangkut kependudukan dan keharusan biologis lainnya. Kekurangan atau tergoncangnya faktor biologis ini seperti bertambahnya umat manusia dan keharusan pemenuhan kebutuhan makan, dorongan untuk mempertahankan dirinya dan terakhir adalah kebutuhan akan lawan jenis.

c. Faktor Psikologis

Masalah sosial bisa timbul oleh karena faktor psikologis, seperti kebingungan, disorganisasi, penyakit syaraf dan sebagainya. Dikatakan demikian oleh karena faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan manusia atau masyarakat tidak mampu untuk berfikir dan bertindak secara wajar. Ketidak wajaran dalam berfikir dan bertindak ini disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan psikologis.

d. Faktor Kebudayaan

Masalah sosial yang bersumber dari faktor kebudayaan biasanya yang paling menonjol bagi kehidupan manusia dalam masyarakat, yaitu jika manusia tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kebudayaan. Menurut Soekanto persoalan yang menyangkut perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik sosial, dan keagamaan bersumber

dari faktor kebudayaan.16

B. Hakikat Cerpen 1. Pengertian Cerpen

Dalam perkembangan sastra di Indonesia, cerpen merupakan bentuk sastra yang paling banyak digemari sesudah perang dunia kedua disamping puisi. Bentuk itu tidak hanya digemari oleh para pengarang yang dengan sependek itu bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang tiga puluh tahun atau lebih sebelumnya barangkali mesti dilahirkan dalam bentuk roman. Bentuk cerpen juga disukai oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra dengan tidak mengorbankan terlalu banyak waktu.

16

(27)

Cerpen merupakan kependekan dari cerita pendek. Cerpen adalah bentuk prosa rekaan pendek. Pendek di sini masih mepersyaratkan adanya keutuhan cerita, bukan asal sedikit halaman. Karena pendek, permasalahan yang digarap tidak begitu kompleks. Biasanya menceritakan peristiwa atau kejadian sesaat.

Oleh karena itu, bahasa yang digunakan juga bahasa yang sederhana.17 Pendapat

ini sejalan dengan Jakob Sumardjo dan Saini yang mendefiniskan cerpen sebagai cerita atau narasi yang fiktif atau sesuatu yang tidak benar-benar terjadi tapi dapat

terjadi di mana saja dan kapan saja serta relatif lebih pendek.18

Satyagraha Hoerif dalam Anatomi Sastra menjelaskan “cerita pendek

adalah karakter yang “dijabarkan” lewat rentetan kejadian daripada kejadian -kejadian itu sendiri satu persatu. Apa yang “terjadi” didalamnya lazim merupakan suatu pengalaman atau penjelajahan. Dan reaksi mental itulah yang pada hakikatnya disebut cerpen.”19

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek yang memiliki batasan panjangnya cerita dan masalah dalam cerita yang disajikan. Hal ini karena cerita pendek atau cerpen hanya fokus pada satu kejadian.

2. Unsur-unsur Cerpen

Cerpen sebagai salah satu karya rekaan (fiksi), merupakan satu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur. Unsur-unsur itu saling berkaitan, tidak terpisahkan satu sama lain, dan secara bersama-sama membentuk cerita. Unsur-unsur yang membentuk cerpen terdiri dari Unsur-unsur ekstrinsik dan Unsur-unsur intrinsik.

Unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan

17

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo, 2008), h. 141-142

18

Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan,(Jakarta:Gramedia, 1986), h. 37

19

(28)

tata nilai yang dianut masyarakat. “unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi

bangunan atau sistem organisme karya sastra.”20 Sedangkan unsur-unsur yang

membentuk karya sastra tersebut antara lain tema, tokoh dan penokohan atau perwatakan, alur, setting, gaya bahasa dan sudut pandang. Umumnya kita menggunakan istilah ini dengan nama unsur intrinsik.

a. Tema

Terkadang orang masih sering kali menyamakan pengertian tema dengan topik padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang tidak

sama. Kata topik berasal dari bahasa Yunani yaitu topoi yang berarti tempat,

dalam suatu tulisan topik berarti pokok pembicaraan. Sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi.

Tema memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Apapun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan tema diperlukan karena menjadi salah satu bagian penting yang terpisahkan dengan kenyataan cerita. Tema bukanlah sesuatu yang diungkapkan pengarang secara langsung melalui

fakta-fakta seperti “moralitas” pada fabel aesop.21

Picket menyebutkan wujud tema dalam sastra, berpangkal kepada alasan

tindak (motif tokoh). Sedangkan Robert Stanton menyebutkan “Theme” as the

meaning of a story which specially accounts of the largest number of its elements in the simples way. M. Atar Semi menjelaskan lebih lanjut bahwa tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. Unsur gagasan tersebut adalah topik atau pokok pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai oleh pengaranngnya. Jadi, dalam pengertian tema tercangkup persoalan dan

tujuan atau amanat pengarang kepada pembacanya. 22

20

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadja Mada Uniersity Press, 2005),cet. Ke. 5, h. 23

21

Ibid., h. 7-8

22

(29)

Tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan

di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pertanyaan.23

Sedangkan menurut Aminuddin dalam Pengantar Teori Sastra tema adalah ide

yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan sebagai pangkal tongkat pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa

rekaan pengarangnya.24

Berdasarkan pendapat di atas tema adalah ide atau gagasan dasar sebuah cerita yang didalamnya terdapat persoalan dan tujuan dari pengarang dalam membuat karya sastra (cerpen) tersebut kepada pembacanya.

b. Tokoh dan Penokohan

Masalah tokoh dan penokohan merupakan salah hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita.

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

menampilkan tokoh disebut penokohan25 Tokoh adalah individu rekaan yang

mengalami peristiwa dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama, ada jenis tokoh lain yang terpenting adalah tokoh lawan, yakni tokoh

yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama.26

Tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang. Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Perilaku para

23

Abdul Rozak Zaidaan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.204

24

Siswanto, op. cit.,h.161

25

Ibid., h. 142

26

(30)

tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, atau sejalan tidaknya antara

apa yang dilakukan dengan apa yang dilakukan. 27

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan merupakan unsur yang sangat penting dalam karya fiksi karena tugasnya adalah sebagai pelaku yang mengalami peristiwa yang dibuat oleh pengarang dalam karyanyanya.

c. Alur/ Plot

Alur/plot bisa dikatakan unsur intrinsik terpenting tanpa

menyampingkan unsur-unsur lain karena, alur atau plot merupakan jalan cerita sebuah karya sastra yang akan menentukan apakah pembaca mengerti atau tidak, tertarik atau tidak apa yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang dalam karya sastranya.

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan

karya.28

Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandakan urutan-urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Alur merupakan suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk

yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. 29

Alur merupakan kerangka dasar yang sangat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua yang terikat dalam suatu kesatuan waktu selain itu kejadian atau peristwa dipengaruhi oleh banyak hal,

27

Semi, op. cit.,h. 37

28

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007),h.26

29

(31)

antara lain adalah karakter tokoh, pikiran atau suasana hati sang tokoh, latar (setting), dan suasana lingkungan.

Burhan Nurgiyantoro membagi jenis alur/plot berdasarkan kriteria urutan waktu, yakni 1) plot lurus, maju (progresif) yakni jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat,

klimaks) dan akhir (penyelesaian). 2) plot sorot balik, flas back yakni urutan

kejadian yang dikisahkan tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir baru kemudian tahap awal dikisahkan. 3) plot campuran tidak ada sebuah karya sastra secara mutlak berplot lurus atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah karya sastra mungkin progresif, tetapi didalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan sorot balik. Begitu pun sebaliknya tidak, dapat

diakatakan tidak mungkin ada sebuah cerita yang mutlak flasback artinya

pengarang juga menggunakan plot campuran dalam membuat sebuah cerita.30

d. Latar

Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembacanya. Bagi sastrawan, latar cerita dapat dikembangkan untuk mengembangkan cerita. Latar cerita juga digunakakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu dan suasana yang dialami tokoh.

Latar cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Termasuk kedalam latar ini adalah, tempat atau ruang yang diamati, seperti kampus, di kafetaria, di penjara. Selain waktu yang masuk ke dalam latar adalah waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang

kemerdekaan di saat upacara sekaten, dan sebagainya. 31

Robert dalam Teori Fiksi menjelaskan bahwa latar juga dapat

berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan dan tahun), cuaca, atau satu

30

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 213-214

31

(32)

periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi sang karakter.32

Burhan Nurgiyantoro membagi latar menjadi tiga unsur yakni unsur tempat, waktu dan sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadi peristiwa yang dieritakan dalam sebuah karya fiksi sedangkan latar waktu berhubungan

dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi dan yang terakhir adalah latar sosial yang menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat dan tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan

sebelumnya.33

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa latar merupakan keterangan mengenai tempat, waktu dan sosial yang digambarkan seorang pengarang dalam karya sastranya.

e. Sudut Pandang

Sudut pandang dianggap menjadi salah satu unsur yang penting dan menentukan dalam sebuah karya sastra terlebih setelah seorang novelis dan esai yaitu Henry James menuliskan esai tentang sudut pandang. Sudut pandang atau titik pandang dalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu

dengan gayanya sendiri.34

Atar Semi menjelaskan sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Dari titik

32

Stanton, op. cit., h. 35

33

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 227-233

34

(33)

pandang pengarang ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan

memahami temanya.35

Sudut pandang secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu sudut pandang persona pertama dan sudut pandang persona ketiga. Dalam

pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang pertama, first-person

poin of view, narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan pristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya

terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.36 sudut pandang ini terdiri atas:

teknik pencerita “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan sebagai pengamat.

Dalam sudut pandang teknik pencerita “aku” tokoh utama, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. Dalam teknik ini si “Aku” otomatis menjadi tokoh utama yang praktis menjadi tokoh protagonis. Kelebihan teknik ini adalah pembaca akan mengidentifikasi terhadap tokoh “aku” dan menjadi tokoh utama yang mengalami dan merasakan semua petualangan dan pengalaman si “aku”.kelemahan dalam teknik ini adalah

pembaca tidak akan mengetahui tokoh dan peristiwa lain diluar tokoh “aku”

jika tokoh “aku”pun tidak mengetahui.

Teknik pencerita “aku” tokoh tambahan, dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul sebagai tokoh tambahan, first-person perihal. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannyadan tokoh itulah yang menjadi tokoh utamanya. Si “aku” pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita. Si “aku”tentu saja dapat memberikan komentar dan penilaian terhadap tokoh

35

Atar Semi, op.cit., h. 57

36

(34)

utama. Namun, hal itu bersifat terbatas karena tokoh utama tersebut bagi si “aku” merupakan tokoh “dia” sehingga ia menjadi tidak bersifat mahatahu. Pandangan dan penilaian si “aku” akan mengontrol pandangan dan penilaian

pembaca terhadap tokoh utama. Tokoh “aku” tambahan adalah tokoh

protagonis, sedang tokoh utama itu sendiri juga protagonis. Dengan demikian empati pembaca ditunjukan kepada si “aku” dan tokoh utama cerita.37

Selanjutnya adalah sudut pandang persona ketiga, pengisahan cerita menggunakan sudut pandang ini, gaya “dia” narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang persona ketiga terdiri atas: “dia” mahatahu dan “dia” terbatas.

Sudut pandang “dia” mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui berbagai hal tentang

tokoh, peristiwa dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakangi. 38

teknik ini merupakan teknik yang paling natural karena pengarang dapat mengekspresikan sedemikian rupa ceritanya dengan penuh kebebasan. Namun, teknik ini juga dikatakan yang paling tidak natural karena dalam realitas kehidupan tidak ada seorang pun yang bersifat mahatahu, hanya terbatas pada apa yang dilihatnya jika menyangkut orang lain.

Selanjutnya adalah sudut pandang “dia” terbatas “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat

terbatas.39 Pengarang dapat mengomentari dan menilai sesuatu yang diamati

sesuai dengan pandangan dan pengalamannya. Namun, hal itu harus hanya

37

Ibid., h. 356

38

Ibid., h. 348

39

(35)

berasal dari satu sudut pandang tokoh tertentu yang telah dipilih sebagai pengamat.

f. Gaya

Masalah penggunaan bahasa dihadapkan kepada usaha sepenuhnya bagi pengungkapan isi hati, perasaan, daya khayal, dan daerah kenyataan baru yang sedang dijalani si sastrawan, dan disinilah bahasa dipertemukan dengan

gaya-gaya.Istilah gaya diambil dari bahasa Inggris style dan dalam bahasa

latin stillus, mengandung arti leksikal “alat untuk menulis”40. Jakob Sumardjo

dan Saini K.M telah mendefinisikan gaya. Menurut mereka “Gaya adalah cara

khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakan dalam sebuah cerpen, itulah gaya seorang pengarang. Dengan kata lain, gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri.”41

Definisi tersebut sesuai dengan penjelasan yang

diungkapkan oleh Aminuddin. Menurutnya, “Gaya adalah cara seorang

pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta menuansakan yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.”42

Lebih lanjut Aminudin menjelaskan, ada tiga masalah yang sangat erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya yaitu, pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata mengandung makna padat, reflektif, asosiasitif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuasa makna tertentu saja. Kedua, hubungan gaya dengan makna keindahannya. Terakhir, seluk beluk eksperesi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual pengarang, maupun konteks sosial-masyarakat

40

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi Angkasa,2010) h.114

41

Jakob Sumardjo dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta:Gramedia, 1986), h. 92

42

(36)

yang melatar belakanginya. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, majas bunyi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan gaya merupakan ciri khas seorang pengarang membuat karya sastranya. Alat gaya, majas dan kiasan. Ini menunjukan pengertian gaya lebih luas dibandingkan gaya bahasa yang sering diungkapkan dalam buku-buku pengajaran kesusastraan di Indonesia.

C. Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra sebagai cerminan hidup masyarakat. Melalui sastra pengarang mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui sejelas-jelasnya. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra.

Menurut Wolf sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan

sastra dengan masyarakat. Wolf juga menawarkan sosiologi verstehen atau

fenomologis yang sasarannya adalah level “makna” dari karya sastra43

Secara tradisional objek sosiologi dan satra adalah manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisi ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Nyoman Kutha Ratna, menurutnya, kedua ilmu itu memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam masyarakat. Perbedaan sastra dan sosiologi merupakan perbedaan hakikat, sebagai perbedaan ciri-ciri, sebagaimana

ditunjukan melalui perbedaan antara rekaan dan kenyataan, fiksi dan fakta. 44

43

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013), h. 4

44

(37)

Ada dua kecendrungan utama dalam telaah sosiologi sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra inti nya dalam pendekatan ini menganggap teks

sastra bukan yang utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua).

Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi sastra yang mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang

diluar satra.45

Wellek dan Warren mengklasifikasikan masalah yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu 1) sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. 2) isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. 3) permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk kedalam tiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya

satra yang bersifat sosial dan dampak satra terhadap masyarakat.46

Klasifikasi tersebut tidak tidak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Waat dalam esainya yang berjudul “Literature and Society”. Esai itu membicarakan tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat47, antara lain:

1. Konteks sosial pengarang

Konteks sosial sastrawan ada hubungannya posisi sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyrakat pembaca. Dalam pokok ini

45

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra:Pengantar Ringkas), (editum, 2013) h. 3

46

Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (diindonesiakan oleh Melani Budianata), (Jakarta:PT Gramedia, 1995), h. 111

47

(38)

termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah: 1) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya; apakah ia menerima bantuan dari pengayom (patron), atau dari masyarakat secara langsung atau dari kerja rangkap. 2) profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi. 3) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang; hubungan antara pengarang dan masyrakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra.

2. Sastra sebagai cerminan masyarakat

Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Kendati demikian, sastra tetah diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Pengertian “cermin” disini sangat kabur, dan oleh karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalah gunakan. Terutama mendapat perhatian adalah: 1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan

masyarakat pada waktu ia ditulis, 2) sifat “lain dari yang lain” seorang

pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, 3) genre sastra sering merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, 4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa diterima atau dipercaya sebagai cerminan masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barang kali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sastra akan dinilai sebagai cerminan masyarakat.

3. Fungsi sosial satra

(39)

nabi. Dalam pandangan ini tercangkup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu atau perombak, 2) sudut pandang lain menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan “seni untuk seni misalnya, tak berbeda dengan usaha untuk

melambungkan dagangan agar menjadi best seller. 3) sudut pandang

kompromistis seperti tergambar dalam slogan “sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur”.48

D. Pembelajaran Sastra

Pokok materi pembelajaran sastra di sekolah terdapat dalam pelajaran bahasa Indonesia. Secara umum pembelajaran sastra yaitu terkait dengan apresiasi terhadap karya. Dalam pembelajaran sastra, siswa bukan hanya dituntut memahami teori-teori sastra saja, tetapi juga dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengapresiasi karya sastra tersebut. Apresiasi berarti menghayati amanat

dan sekaligus cara pengungkapannya–dan atas dasar itu kemudian

menghargainya49.

Salah satu kompetensi dasar dalam pembelajaran sastra yang dapat melatih siswa dalam mengapresiasi sastra adalah menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasar ini terdapat dalam kurikulum KTSP kelas X semester satu pada kegiatan membaca. Seperti yang terlampir pada silabus berikut ini :

48

Ibid, h. 4-5

49 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Susastra Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya,

(40)

SILABUS

Sekolah : SMA/MA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas : X

Semester : 1

Standar Kompetensi : Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen.

Kompetensi Dasar :Menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen

dengan kehidupan sehari-hari

Materi Pembelajara n Kegiatan Pembelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi

Penilaian Alokasi waktu Sumber Belajar Naskah cerpen Unsur intrinsik (tema, penokohan ,dan amanat

Membaca cerpen

Mengidentifikasi

unsur-unsur (tema, penokohan, danamanat) cerita pendek yangtelah dibaca

Mengaitkan unsur

intrinsik (tema,

penokohan, danamanat)

dengan kehidupan sehari-hari

Menuliskan isi

cerita pendek

secara ringkas

 Mengidentifikasi

unsur-unsur(tema, penokohan,dan

amanat) cerita

pendekyang telah dibaca

 Mengaitkan unsur

intrinsik (tema,

penokohan, danamanat) dengan kehidupan sehari-hari Jenis Tagihan: praktik Bentuk Tagihan: performan si format pengamat an

4 Buku

(41)

E. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yanng mengangkat kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari sudah pernah dilakukan. Diantaranya yaitu:

Pertama Ika Endang Sri Hendrawati (1995) melakukan penelitian dengan judul “Wong Cilik dalam Kumpulan Cerpen Senyum Karyamin”. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa cerpen-cerpen

Ahmad Tohari dalam kumpulan Senyum Karyamin memang mengungkapkan

kondisi, keberadaan, lingkungan, dan sikap hidup wong cilik. Kemudian, dari pembicaraan yang telah dilakukan pada bab II dan III diketahui bahwa ada pergeseran orientasi tentang wong cilik dalam pandangan Ahmad Tohari. Pergeseran pandangan ini terjadi sejalan dengan perkembangan proses kepengarangannya.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Angga Hidayat, FPBS, UPI yang mengambil judul “Representasi Kritik Sosial dalam Antologi Cerpen Senyum

Karya Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi Sastra” peneitian ini mengambil tiga

cerpen sebagai kajian, yaitu: “Jasa-jasa buat Sanwirya”, “Si Minem Beranak Bayi”, dan “Blokeng”. Hasil penelitian menunjukan cerpen “Jasa-jasa buat Sanwirya” mempresentasikan kritik sosial tentang ketertindasan penderes oleh tengkulak dan kurangnya kesadaran masyarakat desa akan dunia medis. Cerpen “Si Minem Beranak Bayi Bayi” mempresentasikan kritik sosial tentang pernikahan muda. Masalah tersebut mempresentasikan kenyataan dalam artikel psikologizone.com. cerpen Blokeng mempresentasikan kritik sosial tentang deskriminasi masyarakat menyikapi masyarakat miskin. Penggambaran tersebut didapat dari analisis struktur meliputi tokoh, peristiwa, latar dan penceritaan.

(42)

yaitu orientasi kedesaan dan orientasi desa-kota. Orientasi kepengarangan Ahamd Tohari dikatakan berkembang, dari awalnya orientasi kedesaan menjadi orietasi desa-kota. Perkembangan orientasi kepengarangan Ahmad Tohari terjadi karena fakta yang terjadi di depan matanya. Modernisasi desa Tinggarjaya (tempat ia tinggal), termasuk di dalamnya proses urbanisasi dan re-urbanisasi yang banyak terjadi, menyebabkan Ahmad Tohari berintegrasi dengan perubahan tersebut.

Ketiga penelitian di atas mengkaji tentang Ahmad Tohari dan karyanya. Dari penelitian yang sudah ada, peneliti belum menemukan penelitian yang mengambil objek serta kajian tentang masalah sosial dan implikasinya terhadap

pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia dalam kumpulan cerpen Mata yang

(43)

33 BAB III

AHMAD TOHARI DAN KARYANYA

A. Biografi Pengarang

Ahmad Tohari lahir pada 13 Juni 1948 di Desa Tinggar Jaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Ia merupakan anak keempat dari dua belas bersaudara. Ahmad Tohari lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga taat menganut agama islam. Ayahnya, seorang santri bernama Mohammad Diryat, dan ibunya seorang wanita buta huruf bernama Saliyem. Ayah Ahmad Tohari pernah menjadi ketua Jamiyah Nadhatul Ulama di kecamatan Jatilawang, disamping menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama di Purwokerto.

Tahun 1953 Ahmad Tohari masuk ke Sekolah Rakyat di Desa Tinggarjaya dan lulus tahun 1959, ia pun melanjutkan ke sebuah SMPN di Purwokerto. Setelah lulus SMP, Ahmad Tohari melanjutkan pendidikannya ke SMAN 2 Purwokerto yang diselesaikan pada tahun 1965. Selepas SMA Ahmad Tohari mengikuti kakaknya untuk tinggal di Jakarta dan dua tahun kemudian yaitu tahun 1967, ia melanjutkan pendidikannya dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Ibnu Khaldun, Jakarta. Namun, berhenti di tingkat tiga karena masalah biaya.

Setelah tinggal di Jakarta selama hampir empat tahun, awal tahun 1970 ia kembali ke Purwokerto dan memutuskan untuk menikah dengan Syamsiah, seorang guru Sekolah Dasar di desa Tinggarjaya. Perkawinan mereka dikaruniai empat putri dan seorang putra. Setelah berkeluarga, Ahmad Tohari memutuskan untuk kembali berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto. Tahun 1976 ia pindah ke Fakultas sosial dan politik di Universitas yang sama dan

disela-sela kuliah inilah cerpen “Jasa-jasa buat Sanwirya” dibuat. Namun

(44)

Dalam dunia pekerjaan, Ahmad Tohari pernah bekerja sebagai tenaga honorer mengasuh majalah perbankan. Ia pernah pula tercatat sebagai redaktur

harian Suara Merdeka di Semarang, Jawa Tengah. Diharian ini ia aktif menulis

sketsa. Skesa-sketsa itu kemudian dikumpulkan dan dibuat menjadi sebuah buku

dengan judul Mas Mantri Gugat. Buku ini diterbitkan pada tahun 1994 oleh

Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Harian Suara Merdeka kemudian ditinggalkanya. Tahun 1974-1981

Ahmad Tohari aktif di majalah Keluarga. Namun, Majalah ini pun

ditinggalkannya. Selanjutnya ia tercatat pula sebagai pengasuh majalah Amanah,

di majalah ini ia aktif mengisi kolom “seloka” yang memuat kupasan-kupasan tentang berbagai hal yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sastra dan juga lingkungan hidup. Kini Ahmad Tohari bekerja di Yayasan Piyung Emban sebagai salah seorang penasehat. Yayasan Piyung Emban adalah sebuah LSM pendamping anak-anak jalanan di sekitar Terminal Purwokerto. Dalam pelaksanaannya, yayasan ini melibatkan para relawan yang berasal dari pemuda masjid, aktivis gereja, dosen, dan mahasiswa Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

Kecintaan Ahmad Tohari dalam dunia satra dimulai dari kakeknya yang sering mendongengkan cerita-cerita wayang kepadanya. Sejak kecil Ahmad Tohari sudah menggemari buku-buku bacaan sejenis komik dan setelah menjadi murid SMP kegemaran membaca makin menjadi, ia sering meminjam koleksi novel klasik milik guru keseniannya dan mengaku telah membaca semua novel klasik Indonesia dan beberapa karya terjemahan pada saat itu.

(45)

Rasa traumanya terhadap menulis, tidak berpengaruh pada kegemarannya membaca. Di SMA Ahmad Tohari kerap meminjam buku sastra meski ia seorang siswa jurusan Pasti-Alam dan di tempat kosnya yang dimiliki oleh tokoh daerah yang mengharuskan berlangganan beberapa koran penting, baik lokal maupun nasional membuat ia bisa mengenal Pramoedya Ananta Toer, Asrul Sani, Sitor Situmorang dan seterusnya. Di SMA ini pula Ahmad Tohari telah belajar menulis cerpen, esai, catatan perjalanan, yang masih ditulis tangan. Ia tidak membuat puisi karena masih trauma.

Saat Ahamd Tohari harus keluar dari Fakultas Kedokteran, ia merasa kehilangan harapan dan melampiaskannya dengan membuat puluhan cerpen dan tulisan lainnya namun tidak ada niat untuk diterbitkan. Tetapi karena desakan beberapa teman maka Ahmad Tohari pun mengirimkan cerpen yang berjudul “Upacara Kecil” kesebuah koran kecil kemudian beberapa cerpen dan artikel

menyusul. Pada tahun 1975 cerpen

Referensi

Dokumen terkait

Muhammadiyah Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan bahasa tabu dan eufemisme yang ada pada kumpulan cerpen “ Senyum Karyamin” karya

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah peneliti mengaitkan nilai edukatif yang terkandung kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya

KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN STILISTIKA DAN NILAI

Data penelitian ini berupa kata, frasa dan kalimat yang berisi gaya bahasa, sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah Kumpulan cerpen Senyum Karyamin

The object of this study is egalitarianism in a collection of short stories that Mata yang Enak Dipandang (MyED ) by Ahmad Tohari that will be studied by the theory of semiotics..

Penelitian oleh Afri Surya Kusuma (2017) dengan judul Analisi Gaya Bahasa dalamKumpulan Cerpen Mata yang Enak Dipandang karyaAhmad Tohari.Pada aspek leksikal dalam

Yusi Deta Elvia, Dedy Mardiansyah, Sugiarti E-issn 2746-2684 E-issn 2746-2684 6 Paman Doblo Paman Doblo Merobek Layang-Layang ISTP 7 Kang Sarpin Kang Sarpin Minta Dikebiri ESTP

Materi Nilai Sastra Profetik dalam Kumpulan Cerpen Rusmi Ingin Pulang Karya Ahmad Tohari Nilai yang Berasal dari Alquran. Beberapa sumber dari surat-surat dalam Alquran yang