ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG
MEMENGARUHI OUTPUT INDUSTRI PENGOLAHAN DAN
PENGAWETAN DAGING DI INDONESIA PERIODE 1983-2008
(Pendekatan
Total Factor Productivity
)
OLEH
AJENG ENDARTRIANTI H14070066
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
ABSTRACT
AJENG ENDARTRIANTI. Analysis of Factors Affecting the Output Production and Preservation of Meat Processing Industry in Indonesia, Period 1983-2008 (guided by SRI MULATSIH).
Industrial sector is the prime mover in economic development and drivers of economic growth. One of the industries is the food and beverage industry. Industrial food and beverage processing industry is one that contributes substantially in the formation of GDP. Developments in food and beverage industry is very important because one of the industries with the largest number of companies as well as the largest production value, which is processed in the food industry. Food is one of the basic needs that is very important in human life, one type of food is meat. Consumption patterns of carbohydrate-based to be protein-based and tendency to buy read- to-cook or ready-to-eat ingredients are driving consumption of processed and preserved meat increased in Indonesia. Good potential market in Indonesia encourage processing and preserving industrial of meat to always improve its production. This study aims to analyze the productivity of factors of production, Total Factor Productivity (TFP), and the factors that influence output and preserving meat processing industry in Indonesia.
This study uses secondary data period 1983-2008 using the Ordinary Least Square (OLS). Secondary data, including data rental costs of capital, labor, raw materials and energy. The analysis shows that the highest productivity and lowest cost of capital lease in 1985 and 2004, employment in 2008 and 1983, raw materials in 2001 and 1991, and energy in 2008 and 1985. TFP of meat processing industry and the preservation is -0.68 which means that TFP in the industry is still very low. Raw materials, labor, energy, and TFP are positive influence and significant on industrial output processing and preserving of meat. Capital cost effect is positive but not significant. The elasticity of production shows that the capital cost, labor, raw materials, energy and TFP are optimal because on the rational production areas. The value scale of production function in this industry is greater than one is in a state of Increasing returns to scale, which means that the proportion of additional production will generate an additional input which account for greater production. Industrial production is more sensitive to production labor factors, so industry will increase the quantity of labor to increase output.
RINGKASAN
AJENG ENDARTRIANTI. Analisis Faktor-faktor Produksi yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 (dibimbing oleh SRI MULATSIH).
Sektor industri merupakan penggerak utama dalam pembangunan perekonomian dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satu industri disini adalah industri makanan dan minuman. Industri makanan dan minuman merupakan salah satu industri pengolahan yang menyumbang cukup besar dalam pembentukan PDB. Perkembangan di industri makanan dan minuman sangat penting karena salah satu industri dengan jumlah perusahaan terbanyak sekaligus nilai produksi terbesar, yang diolah dalam industri ini adalah pangan. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia, salah satu jenis pangan adalah daging. Pola konsumsi masyarakat dari konsumsi kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan kecenderungan membeli bahan-bahan yang ready to cook atau ready to eat
pendorong meningkatnya konsumsi daging olahan dan awetan di Indonesia. Potensi pasar yang cukup baik di Indonesia mendorong industri pengolahan dan pengawetan daging untuk selalu meningkatkan produksinya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis produktivitas faktor-faktor produksi, menganalisis Total Factor Productivity (TFP), serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi output industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI YANG
MEMENGARUHI OUTPUT INDUSTRI PENGOLAHAN DAN
PENGAWETAN DAGING DI INDONESIA PERIODE 1983-2008
(Pendekatan
Total Factor Productivity
)
Oleh
AJENG ENDARTRIANTI H14070066
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor Produksi yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 (Pendekatan Total Factor Productivity)
Nama : Ajeng Endartrianti
NRP : H14070066
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr NIP. 19640529 198903 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juni 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ajeng Endartrianti, lahir pada tanggal 04 Juli 1989 di Depok. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Wagiyo dan Endang Purwowati. Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD Negeri Mekarjaya 30 Depok. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 4 Depok. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Negeri 3 Depok dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan mengambil minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan, diantaranya adalah panitia Olimpiade Mahasiswa IPB 2008 dan 2009,
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 (Pendekatan
Total Factor Productivity)”. Industri Pengolahan dan pengawetan daging merupakan
topik yang sangat menarik karena salah satu pangan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia saat ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini. Disamping hal tersebut, skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, khususnya kepada:
1. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec sebagai dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Widyastutik, M.Si sebagai dosen penguji dari komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik. 4. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
6. Sahabat-sahabatku Dewi Silvialestari, Wulan Dwi Pratiwi, Shella Dwiastu, Yunas Sumekar, Dinar Dara dan Maria Dini Lestari atas sharing, motivasi, dukungan, dan doanya untuk penulis selama ini.
7. Teman-teman seperjuangan satu bimbingan Abdul Aziz, Marthasari dan Nindya Hernanda atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa ini.
8. Sahabat-sahabatku di Ilmu Ekonomi 44: Michelia Widya Agri, Risa Pragari, Hesti Ayu Hapsari, Kristina Sari, Retno Khairunnisa, Reni Tilova, Nancy Indah, Retni Christina, Solihin, Putri Pamungkas, Sulastry Andayani, Fatmawati dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas bantuan, semangat dan doa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku di Rempati Kos : Elfrida Yuliansari, Tamia Dwi Anindita, Deviani Prima, Artanti Yulaika, Sherly Anggraini dan Hanum atas bantuan dan dukungan semangatnya bagi penulis.
10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
DAFTAR ISI
1.6. Keterbatasan Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjaun Pustaka ... 9
2.1.1. Daging dan Produk-produk Olahannya ... 9
2.1.2. Teori Produksi ... 12
2.1.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 17
2.1.4. Model Pertumbuhan Solow ... 19
3.4.1. Kriteria Uji Ekonometrika ... 31
3.4.2. Kriteria Uji Statistik ... 34
3.4.3. Kriteria Uji Ekonomi ... 37
IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging (Output) ... 38
4.2. Kondisi Penggunaan Biaya Sewa Modal Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 40
4.3. Kondisi Penggunaan Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 42
4.4. Kondisi Penggunaan Bahan Baku Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 43
4.5. Kondisi Penggunaan Energi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging .. ... . 44
5.2. Analisis Total Factor Productivity (TFP) Industri Pengolahan dan
Pengawetan Daging di Indonesia ... 49
5.2.1. Uji Ekonometrika ... 50
5.2.2. Uji Statistik ... 53
5.3. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 56
5.3.1. Uji Ekonometrika ... 56
5.3.2. Uji Statistik ... 59
5.3.3. Analisis Ekonomi ... 60
5.3.4. Skala Hasil Usaha Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 64
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 66
6.2. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
1.1 Produk Domestik Bruto Atas Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha (Persen) ... 2 1.2 Perkembangan Produksi Daging (ton) ... 3 5.1 Hasil Estimasi untuk Menghitung Pertumbuhan Total Factor Productivity
(TFP) ... 50 5.2 Pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) Industri Pengolahan dan
Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 ... 55 5.3 Hasil Estimasi Fungsi Produksi dengan Memasukkan Variabel Pertumbuhan
DAFTAR GAMBAR
2.1 Penurunan Kurva Produk Rata-rata dan Kurva Produk Marjinal dari Produk Total ... 15 2.2 Kerangka Pemikiran ... 28 4.1 Jumlah Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging ... 39 4.2 Jumlah Biaya Sewa Modal Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
.... ... 41 4.3 Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging ... 42 4.4 Jumlah Bahan Baku Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging ... 44 4.5 Jumlah Energi Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging ... 45 5.1 Produktivitas Biaya Sewa Modal Industri Pengolahan dan
Pengawetan Daging ... 47 5.2 Produktivitas Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
.... ... 47 5.3 Produktivitas Bahan Baku Industri Pengolahan dan Pengawetan
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Output dan Faktor-faktor Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 ... 72 2. Pertumbuhan Output dan Faktor-faktor Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia Periode 1983-2008 ... 73 3. Produktivitas Faktor-faktor Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan
Daging di Indonesia Periode 1983-2008 ... 74 4. Hasil Perhitungan TFP Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi di suatu negara akan membawa perubahan mendasar
dalam struktur ekonomi negara tersebut, yaitu dari ekonomi tradisional yang
dititikberatkan pada sektor pertanian ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor
industri dengan increasing returns to scale yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Sektor industri mempunyai arti yang sangat penting bagi
pemerintah dan masyarakat karena merupakan penggerak utama dalam pembangunan
perekonomian. Selain itu, pengembangan sektor industri menjadi penting bagi Indonesia
karena diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi diperlukan untuk dapat mewujudkan kesejahteraan yang merata dan
berkesinambungan. Sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang
memberikan sumbangan terbesar terhadap pembentukan PDB Indonesia dan diyakini
sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam kemajuan perekonomian
sebuah negara.
Menurut Dumairy (1996), produk-produk industrial selalu memiliki terms of trade yang tinggi serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan dengan produk dari sektor lainnya. Hal ini karena sektor industri memiliki variasi produk yang
sangat beragam, salah satunya industri pengolahan. Sektor industri pengolahan adalah
kegiatan yang berkembang pesat di Indonesia selama lima tahun terakhir. Seperti yang
dilihat pada Tabel 1.1. dapat diketahui bahwa sektor industri pengolahan mempunyai
Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut
Industri makanan dan minuman merupakan bagian dalam industri pengolahan
yang menyumbang cukup besar dalam pembentukan PDB. Perkembangan di industri
makanan dan minuman sangat penting karena salah satu industri dengan jumlah
perusahaan terbanyak sekaligus nilai produksi terbesar, karena industri ini bergerak
dalam hal pangan. Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, salah satu jenis pangan adalah daging. Daging berperan
cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional karena salah satu makanan
pokok bagi masyarakat dan komoditas sumber protein hewani yang penting untuk
berkembangnya teknologi dan kebutuhan akan daging yang meningkat, mendorong
perkembangan produk olahan daging.
Pergeseran pola konsumsi masyarakat dari konsumsi kalori berbasis karbohidrat
menjadi berbasis protein merupakan salah satu pendorong meningkatnya konsumsi
daging di Indonesia. Sehingga permintaan dan produksi akan daging pun meningkat.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.2 mengenai perkembangan produksi daging selama
lima tahun.
Tabel 1.2. Perkembangan Produksi Daging 2005-2009 (dalam ton)
No
Sumber : Kementrian Pertanian, 2010
Berdasarkan Tabel 1.2. terlihat bahwa produksi daging di Indonesia didominasi
oleh daging ayam kemudian diikuti oleh daging sapi. Daging ayam berasal dari berbagai
jenis macam daging ayam, seperti daging ayam buras, daging ayam ras petelur, daging
ayam ras pedaging dan daging itik. Daging ayam ras pedaging yang mempunyai nilai
produksi paling tinggi diantara jenis daging ayam yang lainnya selama tahun
dibandingkan dengan daging yang lain, sehingga daging yang banyak diolah dan sering
dijumpai dipasar adalah jenis daging olahan ayam.
Pengolahan daging merupakan salah satu kegiatan untuk meningkatkan nilai
tambah, memperpanjang masa simpan dan edar, serta memperluas jangkauan
pemasaran. Saat ini pengolahan daging telah banyak dilakukan oleh industri rumah
tangga dengan skala kecil dan menengah, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Industri pangan perlu menerapkan prinsip pengolahan pangan dan pengelolaan
lingkungan yang baik untuk menghasilkan olahan pangan yang berbahan baku daging
yang berkualitas serta meminimalkan pencemaran lingkungan.
Selain memperpanjang masa simpan daging dan penganekaragaman bahan
pangan, proses pengolahan juga akan meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut
sehingga harga produk daging olahan akan lebih tinggi dibandingkan dengan daging
segar. Perbedaan harga ini akan memengaruhi permintaan dari daging olahan. Di sisi
lain telah terjadi pergeseran pola konsumsi dari masyarakat terutama masyarakat kelas
menengah ke atas terutama di kota-kota besar yaitu terjadinya kecenderungan membeli
bahan-bahan yang ready to cook atau ready to eat. Pergeseran pola konsumsi ini dipengaruhi antara lain oleh kemajuan teknologi, meningkatnya tingkat pendidikan,
bertambahnya kaum wanita memasuki dunia kerja dan sebagainya.
Ada beberapa cara pengawetan yaitu: pendinginan, pelayuan, pengasapan,
pengeringan, pengalengan dan pembekuan. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan
memiliki keterkaitan terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan
jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk
menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Dengan alasan tersebut,
macam produk olahan daging yang ada di pasar antara lain sosis, kornet, nugget,
dendeng dan produk daging olahan lainnya. Daging siap pakai ini menjadi produk yang
digemari oleh masyarakat sehingga tidak heran jika produk olahan daging menjadi
produk yang memiliki pangsa pasar yang cukup besar di Indonesia.
Potensi pasar yang cukup baik di Indonesia mendorong industri pengolahan dan
pengawetan daging untuk selalu meningkatkan produksinya. Peningkatan produksi akan
lebih baik jika disertai dengan peningkatan produktivitas faktor produksinya.
Pertumbuhan produktivitas dapat berasal dari penyerapan dan penerapan teknologi baru.
Teknologi memengaruhi industri dalam proses produksinya. Menurut Djankov dan
Hoekman (2000) dalam Purba (2005) semakin tinggi teknologi yang digunakan dalam
industri, maka semakin besar kemampuannya dalam menghasilkan output dan semakin
tinggi produktivitasnya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan studi
mengenai produktivitas industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia agar
perkembangan produksi industri pengolahan dan pengawetan daging dapat terus
ditingkatkan dengan penggunaan faktor-faktor produksi yang optimal.
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu industri yang potensial untuk dikembangkan adalah industri
pengawetan dan pengolahan daging, karena daging adalah salah satu makanan pokok
bagi masyarakat dengan kandungan protein yang terkandung didalamnya sangat
dibutuhkan oleh tubuh dan daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan
pangan nasional karena merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang
penting untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging dan produk olahannya di Indonesia
sebagai antisipasi agar hasil produksi pengolahan dan pengawetan daging tetap dapat
memenuhi kebutuhan dalam negeri untuk beberapa tahun kedepan.
Peningkatan produksi industri pengolahan dan pengawetan daging ditentukan oleh
penggunaan sumber daya produksi seperti biaya sewa modal, tenaga kerja, energi,
bahan baku dan faktor lainnya. Peran input tersebut sangat besar terhadap besarnya
output industri pengolahan dan pengawetan daging. Penggunaan faktor produksi yang
efisien akan mencapai produksi industri pengolahan dan pengawetan daging yang
optimal. Selain peningkatan input yang optimal secara kuantitatif, dibutuhkan juga
faktor lain yaitu produktivitas. Tetapi pada kenyataannya pertumbuhan output industri
pengolahan dan pengawetan daging masih didominasi oleh pertumbuhan input dan
bukan dari pertumbuhan produktivitasnya, sehingga produktivitas menjadi masalah
penting bagi industri pengolahan dan pengawetan daging. Berdasarkan uraian di atas
maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana produktivitas faktor-faktor produksi industri pengolahan dan
pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008?
2. Bagaimana Total Factor Productivity (TFP) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008?
3. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi output industri pengolahan dan
pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian
1. Menganalisis produktivitas faktor-faktor produksi industri pengolahan dan
pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008.
2. Menganalisis Total Factor Productivity (TFP) industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi output industri pengolahan
dan pengawetan daging di Indonesia periode 1983-2008.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun
berbagai kalangan. Penulis berharap penelitian ini dapat menambah wawasan berpikir
dan pengetahuan serta pemahaman yang semakin mendalam bagi penulis terutama
seputar produktivitas industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia.
Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pemerintah
dalam rangka menyusun kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan industri
pengolahan dan pengawetan daging. Sedangkan bagi kalangan akademis dapat menjadi
bahan referensi dan studi pustaka bagi penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor produksi yang memengaruhi output
pada industri pengolahan dan pengawetan di Indonesia (Pendekatan Total Factor Productivity) dengan menggunakan kategori kode KLBI 15112. Faktor-faktor produksi yang dianalisis dalam penelitian ini hanya beberapa saja yang dianggap sangat dominan
dan untuk faktor lainnya dianggap konstan. Data yang digunakan adalah data tahunan
gedung, mesin dan alat-alat; tenaga kerja; bahan baku; dan energi yang terdiri dari
bahan bakar, listrik dan gas. Faktor-faktor yang dikaji tersebut dianalisis dalam satuan
nilai rupiah sedangkan untuk faktor produksi tenaga kerja menggunakan satuan jiwa.
1.6. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai keterbatasan data. Data yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan data berupa nilai bukan unit kuantitas. Hal ini dikarenakan
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Daging dan Produk-Produk Olahannya
Definisi daging menurut Soeparno (2005) adalah salah satu hasil ternak yang
hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Palupi (1986) dalam Abubakar
(1993) menyatakan bahwa yang dimaksud daging adalah urat-urat daging yang
berwarna merah dan terdiri dari urat-urat daging yang tersusun oleh sel-sel yang
bergaris melintang. Sedangkan Lawrie (1985); Pearson dan Young (1989) dalam
Abubakar (1993) mendefinisikan daging sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Pengolahan daging menjadi alternatif untuk meningkatkan nilai tambah serta
jangkauan pemasarannya. Bakso, dendeng, abon, nugget/burger, daging asap, dan sosis merupakan produk olahan daging untuk tujuan dimaksud (Abubakar dan Sri, 2007).
1. Bakso
Bakso merupakan produk olahan makanan yang populer, berbentuk bulatan atau
bentuk lainnya yang diperoleh dari campuran daging tidak kurang dari 50 persen
dan pati atau serelia dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang
diizinkan. Umumnya disajikan bersama dengan mi atau bihun, sayuran dan
kuah. Produk bakso diperkenalkan ke Indonesia oleh perantau dari Cina. Daging
yang digunakan dapat berasal dari daging sapi, kambing, domba, ayam atau
ikan.
Dendeng sudah cukup populer di masyarakat, merupakan produk olahan
tradisional yang disukai, mudah disimpan untuk jangka panjang, dan praktis
karena siap disajikan dalam waktu singkat. Dendeng dapat diolah dari daging
sapi, ayam, kelinci, itik, kambing atau domba. Sebagai sumber protein hewani
dendeng cukup potensial dengan kandungan zat gizi yang baik.
3. Abon
Abon merupakan salah satu produk olahan daging yang disukai, baik oleh
anak-anak, orang dewasa maupun manusia lanjut usia, karena rasanya lezat dan
diterima serta cocok bagi semua umur. Abon mempunyai rasa khas, kandungan
gizinya cukup baik, mudah disimpan untuk jangka panjang, dan dapat disajikan
langsung ataupun sebagai campuran dalam pengolahan pangan lainnya. Bahan
baku abon dapat dibuat dari daging sapi, ayam, kambing, domba, itik, entok, dan
ikan yang merupakan sumber protein hewani. Agar diperoleh produk abon
dengan mutu baik, bahan baku daging harus dipilih dari daging yang seratnya
cukup panjang dan lemaknya sedikit. Namun tidak menutup kemungkinan abon
dibuat dari daging bagian lain dengan hasil yang berbeda. Kadar lemak abon
yang tinggi akan memperpendek masa simpan.
4. Nugget / Burger
Nugget atau burger adalah sejenis makanan berupa pastel yang dibuat dari daging giling atau daging cacah yang diberi bumbu, dibentuk pada suatu cetakan
biasanya disajikan sebagai sandwich yaitu diletakkan diantara tangkup roti atau
digoreng.
5. Daging Asap
Pengasapan daging atau ikan terutama ditujukan untuk mengawetkan atau
menambah citarasa. Selain itu citarasa pengasapan juga dapat menghambat
oksidasi lemak dalam bahan pangan tersebut. Pengasapan biasanya dilakukan
dengan menggunakan kayu keras atau bahan lain yang mengandung selulosa dan
lignin, seperti serbuk kayu, sekam, sabut kelapa, tongkol jagung, dan
sebagainya. Bahan-bahan sumber asap ini mengandung banyak pengawet kimia
yaitu formaldehid, asetaldehid, asam format, asam asetat, asam butirat, fenol,
kresol, alkohol, keton dan lain-lain. Zat-zat ini merupakan bakteriostatik
(penghambat pertumbuhan bakteri).
6. Sosis
Sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan-potongan daging yang
digiling dan diberi bumbu dan dimasukkan ke dalam selongsong (casing) menjadi bentuk simetris. Beberapa tahapan dalam pembuatan sosis antara lain
curing (pengawetan daging dengan natrium nitrit), pembuatan adonan, pengisian ke selongsong, pengasapan, dan perebusan.
2.1.2. Teori Produksi
Produksi adalah proses kombinasi dan koordinasi material-material dan
kekuatan-kekuatan (input, faktor, sumberdaya, atau jasa-jasa produksi) dalam
pembuatan suatu barang atau jasa (output atau produk) (Beattie & Robert, 1994).
Produksi membutuhkan faktor-faktor produksi, yaitu alat atau sarana untuk melakukan
oleh perusahaan untuk dijadikan barang atau jasa untuk kepuasan konsumen dan
sekaligus memberikan keuntungan bagi perusahaan. Menurut Mankiw (2003), tingkat
teknologi produksi yang ada menentukan berapa banyak output atau keluaran yang
diproduksi dari penggunaan jumlah modal dan tenaga kerja tertentu. Teknologi
digambarkan dengan menggunakan fungsi produksi (production function), dengan Y
menunjukkan output, maka persamaan fungsi produksi adalah :
Y = f (K, L) (2.1) Persamaaan ini menyatakan bahwa output adalah fungsi dari sejumlah modal (K) dan
tenaga kerja (L).
Fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah
modal dan tenaga kerja menjadi output. Teknologi yang semakin maju, memungkinkan
bertambahnya output yang dihasilkan dari sisi modal maupun tenaga kerja. Jadi,
perubahan teknologi memengaruhi fungsi produksi.
Banyak fungsi produksi memiliki suatu sifat yang disebut skala hasil konstan
(constan returns to scale). Fungsi produksi yang memiliki skala hasil konstan mencirikan, jika adanya peningkatan persentase yang sama pada faktor-faktor
produksinya, maka akan menyebabkan peningkatan output dalam persentase yang sama
pula. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
zY = f (zK, zL) (2.2) Persamaan ini menyatakan bahwa jika jumlah modal dan jumlah tenaga kerja dikalikan
dengan z, maka output juga dikalikan dengan z.
Produk Total (PT) adalah output yang diproduksi dengan menggunakan
(Salvatore, 2005). Menurut Nicholson (1994), Fungsi produksi sebuah perusahaan
untuk sebuah barang tertentu secara umum dapat dituliskan sebagai berikut:
(2.3)
Persamaan 2.3 memperlihatkan jumlah sebuah barang yang dapat diproduksi dengan
menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L).
Produk marjinal dari sebuah masukan adalah keluaran tambahan yang dapat
diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil
mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis, dapat ditulis:
Produk Marjinal Kapital = PMK = = fk (2.4)
Produk Marjinal Tenaga Kerja = PML = = fL (2.5)
Produk marjinal untuk definisi matematis menggunakan derivatif parsial,
sehingga mencerminkan fakta bahwa semua penggunaan masukan lainnya tetap konstan
sementara masukan yang diminati divariasikan. Ketika input-input yang digunakan
masih sedikit, biasanya produk marginal sangat tinggi. Tetapi semakin banyak input
tersebut digunakan, sementara input lain akan dibiarkan konstan, maka produk marjinal
tersebut akan semakin berkurang (Nicholson, 1994).
Produktivitas input biasanya dimaksudkan sebagai produktivitas rata-rata per
input. Apabila produktivitas industri tertentu naik, maksudnya adalah output per input
mengalami peningkatan. Karena mudah diukur, konsep ini sangat sering digunakan
sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata adalah produk total dibagi jumlah
unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya.
PRL = (2.7) Pada Gambar 2.1.a kurva produk total (PT) mencerminkan hubungan antara
faktor produksi tenaga kerja (T) dengan output total. Ketika jumlah T masih sedikit,
maka jumlah output akan meningkat jika penggunaan T ditingkatkan. Tetapi karena
faktor lain dianggap konstan, maka kemampuan tenaga kerja tambahan untuk
menghasilkan output tambahan semakin berkurang. Output akan mencapai maksimum
pada saat T***. Jika penggunaan tenaga kerja ditambah setelah T*** maka output
yang dihasilkan berkurang.
Kurva produk marjinal (PM) dan produk rata-rata (PR) diturunkan dari kurva
produk total (PT). Pada Gambar 2.1.b terlihat bahwa PMT terus meningkat dan
mencapai maksimum pada saat T*. Tingkat output dimana produk marjinal mencapai
maksimum dinamakan titik berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal productivity). Jika penggunaan tenaga kerja terus ditambah setelah T*, maka PMT akan menurun. PMT akan bernilai nol pada saat T*** yaitu pada saat PTT
mencapai maksimum. Sedangkan PRT akan mencapai maksimum pada saat T**
dimana PRT = PMT. Tingkat output dimana produk rata-rata mencapai maksimum
disebut titik berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity). Pada kondisi PMT > PRT, produktivitas tenaga kerja secara rata-rata akan
meningkat seiring dengan penambahan jumlah tenaga kerja, sebab penambahan output
(a) Kurva Produk Total Tenaga kerja
(b) Kurva Produk Marjinal dan Produk Rata-rata Tenaga Kerja
Gambar 2.1. Penurunan Kurva Produk Rata-rata dan Kurva Produk Marjinal dari Produk Total
Pada Gambar 2.1 terlihat bahwa terdapat tiga daerah produksi berdasarkan elastisitas
produksi yaitu:
1. Daerah I (Ep > 1)
Daerah I merupakan daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih
besar dari satu (Ep > 1). Elastisitas produksi lebih besar dari satu berarti setiap
penambahan faktor produksi sebanyak satu persen akan meningkatkan output
T* T** T***
Daerah III Daerah II
Daerah I
T* T** T***
PMT, PRT Produk Total
Tenaga Kerja (Ep > 1) (0 < Ep <1) (Ep <0)
PTT
PRT
selalu lebih besar dari satu persen. Daerah I terletak antara titik asal dan T**.
Pada daerah ini produk marjinal (PM) mencapai titik maksimum pada saat T*
dan kemudian mengalami penurunan, namun produk marjinal (PM) masih lebih
besar dari produk rata-rata (PR). Pada daerah ini keuntungan maksimum belum
tercapai, karena output masih selalu dapat ditingkatkan dengan penambahan
faktor produksi. Jadi daerah ini merupakan daerah irrasional (irrational region). 2. Daerah II (0 < Ep < 1)
Daerah II merupakan daerah produksi yang terletak antara T** dan T***
dengan nilai elastisitas produksi antara nol dan satu (0 < Ep < 1). Artinya,
setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan meningkatkan
produksi sebesar antara nol dan satu persen. Pada daerah ini kenaikan faktor
produksi secara terus menerus akan meningkatkan output dalam jumlah yang
semakin kecil. Pada suatu tingkat tertentu dari penggunaan faktor produksi
akan memberikan keuntungan yang maksimum yaitu pada saat nilai produk
marjinal untuk faktor produksi sama dengan biaya korbanan marjinal. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah
optimal. Jadi, daerah II ini merupakan daerah produksi yang rasional (rational region).
3. Daerah III (Ep < 0)
Daerah III merupakan daerah produksi yang terletak pada daerah yang lebih
besar dari T*** dengan nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol (Ep < 0).
Pada daerah ini produk total yang dihasilkan akan mengalami penurunan jika
terdapat penambahan faktor produksi dalam berproduksi. Jadi, daerah ini
2.1.3 Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang
melibatkan dua atau lebih variabel; variabel yang satu disebut sebagai variabel
dependent, yaitu variabel yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut sebagai variabel
independent (X) (Soekartawi, 1994). Secara matematis persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dirumuskan sebagai berikut:
Y = aX1b1X2b2X3b3...Xnbneu (2.8)
Jika fungsi produksi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X
maka:
Y = f(X1, X2, ..., Xi, ..., Xn) (2.9)
dimana:
Y = Variabel yang dijelaskan (variabel dependent) X = Variabel yang menjelaskan (variabel independent) a, b = Besaran yang akan di duga
u = Kesalahan (disturbance term) e = Logaritma natural, e = 2.718
Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan (2.8) maka persamaan
tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan
tersebut. Logaritma dari persamaan di atas adalah:
Ln Y = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + u (2.10)
Pada persamaan (2.10) terlihat bahwa walaupun dilogaritmakan namun nilai b1
dan b2 tidak berubah. Hal ini disebabkan oleh b1 dan b2 pada fungsi produksi
Dalam menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi, antara lain:
a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari nol adalah
suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite).
b. Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada
setiap pengamatan (non-neutral difference in the respective technologies), dan jika menggunakan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut
terletak pada intercept, bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. c. Perbedaan lokasi seperti iklim telah tercakup pada faktor kesalahan u.
Fungsi produksi ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
1. Penyelesaian fungsi produksi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan
dengan fungsi yang lain karena fungsi produksi ini dapat dengan mudah
ditransfer ke bentuk linear.
2. Kemungkinan terjadinya masalah heterokedastisitas dapat dikurangi.
3. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, koefisien pangkat dari fungsi
Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari
masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output, sehingga dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian
faktor-faktor produksi.
4. Hasil dari penjumlahan koefisien elastisitas dari masing-masing faktor produksi
tersebut menunjukkan fase pergerakan skala usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.
Dari beberapa kelebihan di atas, fungsi produksi Cobb-Douglas juga memiliki
a. Elastisitas produksinya dianggap konstan.
b. Nilai dugaan elastisitas produksi yang dihasilkan berbias jika faktor produksinya
yang digunakan tetap.
c. Tidak dapat digunakan untuk menduga tingkat produksi pada taraf penggunaan
faktor produksi sama dengan nol.
2.1.4 Model Pertumbuhan Solow
Model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana
pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi
berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang
dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Asumsi model ini adalah hubungan yang
tidak berubah antara input modal dan tenaga kerja serta output barang dan jasa. Tetapi
model ini dapat dimodifikasi, yang memungkinkan peningkatan kemampuan
masyarakat untuk berproduksi (Mankiw, 2003).
Fungsi produksi dengan asumsi tidak ada perubahan teknologi adalah :
(2.11)
Peningkatan kedua faktor produksi sebesar ΔK dan ΔL akan meningkatkan output. Kenaikan ini dibagi menjadi dua sumber dengan menggunakan produk marjinal
dari dua input:
(2.12)
Bagian pertama dalam tanda kurung adalah kenaikan output yang disebabkan oleh
kenaikan modal, dan bagian kedua dalam tanda kurung adalah kenaikan output yang
mengaitkan pertumbuhan dengan setiap faktor produksi. Persamaan 2.11 ini dapat
diubah bentuknya menjadi :
( ) ( )
Bentuk persamaan ini mengaitkan tingkat pertumbuhan output, ⁄ , dengan tingkat
pertumbuhan modal, ⁄ , dan tigkat pertumbuhan tenaga kerja, ⁄ .
adalah pengembalian modal total, dan ⁄ adalah bagian modal dari output.
Demikian pula, produk marjinal tenaga kerja sama dengan upah riil. Karena itu,
adalah kompensasi total yang diterima tenaga kerja, dan ⁄ adalah
bagian tenaga kerja dari output. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi memiliki skala
pengembalian konstan yang menyatakan kedua bagian ini berjumlah satu maka
persamaan 2.12 dapat ditulis sebagai :
Dimana α adalah bagian modal dan (1 ) adalah bagian tenaga kerja.
Kemajuan teknologi dalam praktek dapat meningkatkan fungsi produksi. Untuk
jumlah input tertentu, didapatkan lebih banyak output hari ini ketimbang yang
didapatkan di masa lalu. Jika dampak dari perubahan teknologi dimasukkan, maka
persamaan 2.13 menjadi :
dimana A adalah ukuran dari tingkat teknologi terbaru yang disebut Total Factor Productivit (TFP). Output meningkat tidak hanya karena kenaikan modal dan tenaga kerja, tetapi juga karena kenaikan produktivitas faktor total.
TFP diukur secara tidak langsung, karena tidak dapat diamati secara langsung.
⁄ adalah perubahan output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan
input. Jadi, pertumbuhan TFP dihitung sebagai residu yaitu, sebagai jumlah
pertumbuhan output yang tersisa setelah kita menghitung determinan pertumbuhan yang
bisa diukur. Dan ⁄ kadang-kadang disebut residu Solow.
TFP bisa berubah karena berbagai alasan. Perubahan seringkali muncul karena
meningkatnya ilmu pengetahuan tentang metode produksi, dan residu Solow sering
digunakan sebagai ukuran kemajuan teknologi. Tetapi faktor-faktor lain, seperti
pendidikan dan peraturan pemerintah juga bisa memengaruhi TFP.
2.1.5 Teori Produktivitas
Produktivitas adalah hubungan antara output dengan input, orientasinya bukan
hanya pada output atau input melainkan kedua-duanya (Sinungan, 2008). Menurut
Kohler’s Dictionary For Accounts dalam Moelyono (1993), produktivitas didefinisikan
sebagai hasil yang didapat dari setiap proses produksi dengan menggunakan satu atau
lebih faktor produksi. Produktivitas dihitung sebagai indeks, rasio output (keluaran)
dibanding input (masukan). Produktivitas dapat dinyatakan dalam ukuran fisik (physical productivity) dan ukuran financial (financial productivity). Pengukuran produktivitas dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Moelyono, 1993):
a. Produktivitas Parsial
Produktivitas parsial menghubungkan antara jumlah output yang dihasilkan
hanya salah satu dari input yang digunakan. Secara matematis, produktivitas parsial
dapat dituliskan sebagai berikut:
Output adalah produk akhir dari sebuah proses dimana dapat berupa barang jadi
atau pemberian layanan. Sedangkan input adalah sejumlah sumberdaya yang digunakan
untuk memproduksi barang atau untuk penyediaan layanan.
b. Produktivitas Multi Faktor
Produktivitas multi faktor adalah rasio dari output terhadap lebih dari satu faktor
input. Deflatornya adalah semua input. Produktivitas multi faktor ini merupakan
pendekatan dasar dari Produktivitas Faktor Total (Total Factor Productivity/TFP) atau disebut juga laju progres teknologi.
TFP dapat diartikan sebagai kumpulan dari seluruh faktor kualitas yang
menggunakan sumberdaya yang ada secara optimal untuk menghasilkan lebih banyak
output dari tiap unit input. TFP menggambarkan keefisienan dan keefektifan dimana
faktor-faktor produksi diproses secara bersamaan untuk menghasilkan output, baik
berupa barang ataupun jasa. Oleh karena itu, output tetap ditingkatkan tanpa
menggunakan penambahan input. Hal ini berarti bahwa perlu peningkatan kualitas yang
lebih baik dari sumberdaya yang telah digunakan, seperti:
a) Memperkenalkan teknologi baru;
b) Meningkatkan teknologi informasi;
c) Berinovasi dalam penciptaan bahan baku;
d) Efisiensi dalam penggunaan energi;
e) Memperbaiki teknik manajemen;
Dengan memperkenalkan teknologi baru, meningkatkan teknologi informasi,
berinovasi dalam penciptaan bahan baku, dan meningkatkan efisiensi dalam
penggunaan energi akan memperbaiki sistem manajemen. Sedangkan usaha
memperbaiki teknik manajemen, meningkatkan pendidikan dan keterampilan pekerja
dapat meningkatkan kinerja para pekerja sehingga dapat bekerja lebih baik dan cepat.
Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas. Hal
ini disebabkan karena produksi dapat meningkat walaupun produktivitasnya tetap atau
menurun (Ravianto, 1986). Peningkatan produktivitas dapat dilihat dalam empat bentuk,
yaitu:
a) Jumlah output tetap atau meningkat dicapai dengan menggunakan input yang
lebih sedikit;
b) Jumlah output meningkat dicapai dengan menggunakan input yang sama;
c) Jumlah output meningkat dicapai dengan menggunakan input yang lebih
banyak, namun jumlah kenaikan output lebih besar daripada kenaikan inputnya;
d) Jumlah output menurun dicapai dengan menggunakan input yang lebih sedikit,
namun jumlah penurunan input lebih kecil daripada penurunan outputya.
2.1.6 Skala Hasil Usaha (Returns to Scale)
Skala hasil usaha (returns to scale) adalah derajat sejauh mana output berubah akibat perubahan tertentu dalam kuantitas semua input yang dipakai dalam produksi.
Terdapat tiga tipe dalam skala hasil: tetap, meningkat dan menurun. Jika kuantitas input
yang digunakan dalam produksi ditingkatkan secara proporsional maka akan didapatkan
proporsi yang lebih besar; skala hasil menurun (discreasing returns to scale) jika output menurun dalam proporsi yang lebih kecil (Salvatore, 2005).
Skala hasil usaha (returns to scale) perlu dilakukan untuk mengetahui apakah industri tersebut mempunyai konsep atau kaidah increasing, constan atau decreasing returns to scale. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai skala hasil usaha suatu industri dapat diketahui dari penjumlahan koefisien penduga (koefisien pangkat b1, b2...
bn) dari masing-masing faktor produksi. Terdapat tiga alternatif penilaian tentang skala
hasil usaha, yaitu (Soekartawi, 1994):
1. Decreasing returns to scale, bila (b1+b2+... + bn) < 1. Dapat diartikan bahwa
proporsi penambahan faktor produksi melebihi jumlah proporsi penambahan
output produksi.
2. Constant returns to scale, bila (b1+b2+... + bn) = 1. Jika proporsi penambahan
masukan produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang
diperoleh.
3. Increasing returns to scale, bila (b1+b2+... + bn) > 1. Artinya, proporsi
penambahan masukan produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang
proporsinya lebih besar.
2.2. Penelitian Terdahulu
Purba (2005) dalam studinya tentang pertumbuhan produktivitas sektor
manufaktur Indonesia menemukan bahwa pertumbuhan TFP di sektor manufaktur
Indonesia dipengaruhi oleh variabel pertumbuhan output, kontribusi input terhadap
perusahaan PMA dan perusahaan PMDN, serta dibedakan juga produktivitas sebelum
dan setelah terjadi krisis ekonomi.
Bilada (2008) melakukan penelitian tentang pengaruh faktor-faktor produksi
terhadap output industri farmasi di Indonesia periode 1983-2005 (Pendekatan Total
Produktivitas Faktor). Berdasarkan hasil penelitiannya, disimpulkan bahwa variabel
yang memiliki pengaruh nyata terhadap output industri farmasi adalah tenaga kerja,
modal, bahan baku, energi, dan TFP. Seluruhnya memberi pengaruh positif pada output
industri farmasi, kecuali untuk energi.
Widayati (2010) melakukan penelitian tentang produktivitas faktor produksi
pada industri pakaian jadi di Indonesia periode 1984-2008. Berdasarkan hasil
penelitiannya, disimpulkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh positif dan nyata
terhadap output industri pakaian jadi adalah tenaga kerja, bahan baku, energi, dan TFP.
Seluruhnya memberi pengaruh nyata pada output industri pakaian jadi, kecuali untuk
biaya sewa modal .
Perbedaan utama penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu
pada objek penelitiannya dengan menggunakan industri pengolahan dan pengawetan
daging periode 1983-2008, serta penambahan variabel input yaitu biaya sewa gedung,
alat dan mesin sebagai biaya sewa modal. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi
Cobb-Douglas dan Model pertumbuhan Solow. Pada penelitian ini akan dianalisis
produktivitas parsial, kontribusi TFP terhadap output industri pengolahan dan
pengawetan daging, serta faktor-faktor produksi yang memengaruhi output industri
2.3. Kerangka Pemikiran
Industri pengolahan dan pengawetan daging memiliki potensi pasar cukup baik
di Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dan perubahan pola konsumsi
pangan dari konsumsi kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan pola
kecenderungan membeli bahan-bahan makanan "ready to cook" atau "ready to eat" akan
menyebabkan permintaan daging olahan semakin meningkat. Hal ini mendorong
industri pengolahan dan pengawetan daging selalu meningkat produksinya.
Dalam sebuah proses produksi dibutuhkan faktor-faktor produksi (input), karena
besarnya produksi dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi tersebut. Untuk menentukan
faktor produksi apa saja yang mempengaruhi produksi digunakan fungsi produksi
Cobb-Douglas dengan pendekatan produktivitas. Analisis produktivitas parsial
digunakan untuk mengukur produktivitas masing-masing variabel input yang digunakan
dalam produksi, sedangkan analisis total produktivitas faktor merupakan analisis
seberapa besar penggunaan teknologi pada industri pengolahan dan pengawetan daging
yang juga memengaruhi output. Dengan didapatnya seluruh hasil estimasi, selanjutnya
akan diketahui perkembangan produktivitas faktor produksi industri pengolahan dan
pengawetan daging dan penggunaan faktor produksi yang optimal dalam menghasilkan
Gambar 2.2 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka pemikiran, maka dalam penelitian
ini dikemukakan hipotesis-hipotesis sebagai berikut :
1. Faktor-faktor produksi tenaga kerja, bahan baku, energi dan biaya sewa modal
memiliki pengaruh yang positif pada nilai output. Artinya, peningkatan input
akan meningkatkan output pada industri pengolahan dan pengawetan daging.
2. Nilai estimasi output dari semua faktor produksi bernilai positif.
3. Total Factor Produktivity memberikan kontribusi yang positif terhadap output industri pengolahan dan pengawetan daging.
Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging
Perkembangan Teknologi Pertumbuhan Input
Pertumbuhan Output
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder tahunan untuk periode 1983-2008
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, perpustakaan
IPB, hasil-hasil penelitian terdahulu dan sumber-sumber lainnya seperti
literatur-literatur yang menyediakan data-data tentang industri pengolahan dan pengawetan
daging. Data sekunder yang diperoleh meliputi data tenaga kerja, biaya sewa modal,
bahan baku, energi dan output. Industri pengolahan dan pengawetan daging yang diteliti
pada penelitian ini adalah industri pengolahan dan pengawetan daging berkode ISIC
15112.
3.2. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode analisis
regresi linear berganda. Metode analisis regresi linear berganda adalah suatu metode
regresi dimana lebih dari satu variabel penjelas, atau variabel bebas digunakan untuk
menjelaskan perilaku variabel tak bebas. Analisis regresi linear berganda digunakan
untuk melihat pengaruh faktor-faktor produksi tenaga kerja, biaya sewa modal, bahan
3.3. Model Penelitian
Ada dua model yang digunakan untuk menganalisis permasalahan pada
penelitian ini. Penelitian ini menggunakan model pertumbuhan Solow untuk mengukur
Total Factor Productivity dengan menambahkan variabel bahan baku (B) dan energi (E). Secara matematis ditulis sebagai berikut:
( ) ( ) ( ) ( )
dimana:
⁄ = Total Factor Productivity (persen)
⁄ = Pertumbuhan Output (persen)
⁄ = Pertumbuhan Biaya Sewa Modal (persen)
⁄ = Pertumbuhan Tenaga Kerja (persen)
⁄ = Pertumbuhan Bahan Baku (persen)
⁄ = Pertumbuhan Energi (persen)
= Bagian dari masing-masing faktor produksi
Model kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi produksi
Cobb-Douglas yang telah dilinearkan untuk menganalisis variabel-variabel pada persamaan
dengan menggunakan analisis regresi berganda dan metode Ordinary Least Square
(OLS). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
dimana:
Q = Output (rupiah)
α = Intersep
K = Biaya sewa modal (rupiah)
B = Bahan baku (rupiah)
E = Energi (rupiah)
TFP = Total Factor Productivity (persen) a, b, c, d, e = Besaran yang akan di duga
Ln = Logaritma natural
3.4. Pengujian Model
Model ekonometrika yang baik harus memenuhi tiga kriteria yaitu kriteria
ekonometrika, kriteria statistik, dan kriteria ekonomi. Berdasarkan kriteria
ekonometrika, suatu model yang baik harus bebas dari gejala heteroskedastisitas,
autokorelasi, dan multikolinearitas. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat
dari hasil uji secara serempak (uji-F), secara parsial (uji-t), serta koefisien determinasi
(R2). Menurut kriteria ekonomi, tanda dan besarnya parameter variabel-variabel
independent dalam model harus sesuai dengan hipotesis, kecuali kondisi-kondisi tertentu yang dapat dijelaskan (Gujarati, 1995).
3.4.1. Kriteria Uji Ekonometrika
1. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui apakah varians (ragam)
dari setiap gangguan (error) adalah sama atau konstan. Jika variannya berbeda-beda atau tidak konstan menunjukkan bahwa model bersifat heteroskedastisitas. Dampak
adanya heteroskedastisitas adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil
estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias. Adanya masalah heteroskedastisitas
Gejala heteroskedastisitas dapat dideteksi menggunakan metode grafik atau
dengan menggunakan Uji Park, Uji Glejser, Uji Breusch-Pagan, Uji Goldfeld-Quandt
dan White test. Pada penelitian ini cara mendeteksi heteroskedastisitas dengan cara uji
White Heteroskedasticity. Cara mengatasi jika terjadi heteroskedastisitas dengan cara jika pendugaan parameter jika ragam sisaan diketahui dengan menggunakan metode
Kuadrat Terkecil Terboboti (WLS, weghted least squares) yang merupakan kasus khusus dari teknik ekonometrika yang lebih umum, yang disebut GLS (generalized least squares).
2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara serangkaian observasi
yang diurutkan menurut deret waktu atau time series (Gujarati, 1978). Adanya gejala
autokorelasi di dalam suatu persamaan akan menyebabkan persamaan tersebut memiliki
selang kepercayaan yang semakin lebar dan pengujian menjadi kurang akurat.
Akibatnya, varian residual yang diperoleh akan lebih rendah daripada seharusnya
sehingga mengakibatkan R2 menjadi lebih tinggi, hasil uji-t dan uji-F menjadi tidak sah
dan penaksir regresi akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi pengambilan contoh.
Autokorelasi dapat dideteksi menggunakan metode grafik atau dengan menggunakan uji
Durbin-Watson (DW). Dalam penelitian ini cara mendeteksi dengan cara uji Durbin-Watson. Uji DW tidak dapat digunakan jika model regresi tidak berisi komponen konstanta. Nilai statistik DW berada pada kisaran nilai nol sampai empat, dan jika nilai
mendekati dua maka menunjukkan tidak ada autokorelasi.
3. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah terjadinya dua atau lebih peubah (atau kombinasi
Multikolinearitas menyebabkan koefisien-koefisien regresi dugaan memiliki ragam
yang sangat besar, implikasi statistik t yang didefinisikan sebagai rasio antara koefisien
regresi dan simpangan bakunya menjadi lebih kecil yang berakibat pada pengujian
koefisien akan cenderung untuk menerima H0 sehingga koefisien-koefisien regresi tidak
nyata, sehingga persamaan regresi yang dihasilkan menjadi misleading.
Salah satu cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas di dalam suatu model
adalah dengan menggunakan matriks korelasi untuk melihat korelasi di antara peubah
bebas. Cara lainnya adalah dengan faktor inflasi ragam (Variance Inflation Factor) atau VIF, yaitu pengukuran multikolinearitas untuk peubah bebas ke-i. Nilai VIF akan
semakin besar jika terdapat korelasi yang semakin besar diantara peubah-peubah bebas.
Pada penelitian ini cara mendeteksinya dengan melihat nilai faktor inflasi ragam atau
VIF, jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh bisa digunakan sebagai petunjuk adanya
multikolinearitas.
Mengatasi multikolinearitas ada beberapa cara, diantaranya adalah
memanfaatkan informasi sebelumnya, mengeluarkan peubah dengan kolinearitas tinggi,
melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model dengan bentuk
pembedaan pertama untuk data deret waktu, menggunakan regresi komponen utama,
menggabungkan data cross section dengan data time series, cek kembali asumsi waktu membuat model, dan penambahan data baru.
Analisis komponen utama pada dasarnya mentransformasi peubah-peubah bebas
yang berkorelasi menjadi peubah-peubah baru yang orthogonal dan tidak berkorelasi.
Analisis ini bertujuan untuk menyederhanakan peubah-peubah yang diamati dengan
cara mereduksi dimensinya. Hal ini dilakukan dengan menghilangkan korelasi di antara
berkorelasi. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis regresi komponen
utama adalah membakukan peubah bebas asal yaitu X menjadi Z, mencari akar ciri dan
vektor ciri dari matriks R, menentukan persamaan komponen utama dari vektor ciri,
meregresikan peubah respon Y terhadap skor komponen utama W dan transformasi
balik.
3.4.2. Kriteria Uji Statistik
1. Uji-t
Uji t-statistik digunakan untuk membuktikan bahwa koefisien regresi dalam
model secara statistik bersifat signifikan atau tidak signifikan. Uji t-statistik digunakan
untuk melihat apakah secara statistik koefisien regresi dari masing-masing variabel
independen yang digunakan dalam model secara terpisah memiliki pengaruh yang nyata
terhadap variabel dependen.
Hipotesis :
H0 : βi = 0
H1 : βi≠ 0
Statistik uji yang digunakan diformulasikan sebagai berikut :
thit | | (3.3)
dimana : bi adalah koefisien regresi ke-i
S(bi) adalah standar error dari koefisien regresi ke-i
Kriteria uji :
thit tα/2(n-k), maka terima H0
Jika nilai H0 ditolak berarti variabel independen berpengaruh nyata (signifikan)
terhadap variabel dependen (output) di dalam model. Sebaliknya. jika H0 diterima
berarti variabel independennya tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap
output (variabel dependen).
2. Uji-F
Uji-F digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependen secara keseluruhan.
Hipotesis :
H0 : β1 = β2 = . . . = βn = 0
H1 : minimal ada salah satu βn≠ 0
Pengujian uji-F ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Jika
probabilitas F-statistiknya menunjukkan besaran yang kurang dari taraf nyata yang
digunakan, maka tolak H0 yang artinya seluruh variabel independen secara
bersama-sama mampu menjelaskan atau mempengaruhi variabel dependen pada tingkat
signifikan dan derajat kebebasan tertentu. Demikian juga sebaliknya, jika probabilitas
F-statistik lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka seluruh variabel
independen secara bersama-sama tidak mampu mempengaruhi variabel dependen.
Formula F-statistik adalah:
⁄
⁄ (3.4)
dimana:
R2 : Koefisien determinasi
n : Jumlah pengamatan
k : jumlah variabel penjelas
Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk melihat sejauh mana besar nilai
keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (independen) terhadap variabel tak
bebas (dependen). Uji ini menjelaskan persentase variasi total peubah tidak bebas yang
disebabkan oleh peubah bebasnya. Uji koefisien determinasi (R2) dapat dihitung dengan
menggunakan rumus umum di bawah ini :
(3.5)
Dimana :
R2 = Koefisien determinasi
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKT = Jumlah Kuadrat Total
Nilai R2 akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya jumlah variabel
bebas yang dimasukkan ke dalam model. Menurut Gujarati (1978), R2 memiliki dua
sifat sebagai berikut :
1. R2 merupakan besaran yang selalu bernilai positif
2. Besar nilai R2 adalah antara 0 < R2 < 1
Jika R2 sebesar satu berarti variabel bebas memiliki kecocokan sempurna dengan
variabel endogennya sedangkan jika nilai R2 bernilai nol berarti tidak terdapat
kesesuaian antara variabel independen dengan variabel dependennya.
3.4.3. Kriteria Uji Ekonomi
Pengujian model bertujuan untuk melihat apakah spesifikasi persamaan struktural
model cukup beralasan dan koefisien yang diestimasi sesuai dengan hipotesis atau teori.
Kriteria uji ekonomi dilakukan dengan melihat tanda dan besaran masing-masing
IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN
DAGING DI INDONESIA
Industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia memiliki prospek
cukup baik. Indonesia dengan hanya mengandalkan pada potensi pasar dalam negeri
saja dan jika semua hambatan dan semua yang mendorong pertumbuhan, maka
pertumbuhan industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia bisa lebih cepat
lagi. Hambatan pada industri pengolahan dan pengawetan daging seperti rendahnya
daya beli, mahalnya bahan baku, ancaman barang impor, proteksi berlebihan pada
komoditi bahan baku, ancaman kenaikan harga energi dan upah buruh di pangkas.
4.1. Kondisi Produksi Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging (Output)
Output merupakan hasil dari kegiatan produksi suatu industri. Jumlah output
pada industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun 1983-2008
cukup berfluktuasi, hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai output yang berfluktuasi
disebabkan oleh biaya sewa modal, tenaga kerja, bahan baku dan energi yang
berfluktuatif. Rata-rata nilai output industri pengolahan dan pengawetan daging
Indonesia periode 1983-2008 sebesar Rp 360.115.489.000. Output tertinggi terjadi pada
tahun 2008 sebesar Rp 2.335.439.024.000 dan output paling rendah adalah tahun 1983
sebesar Rp 11.844.848.000. Pada Gambar 4.1 dapat dilihat pada tahun 2005 terjadi
penurunan jumlah output yang sangat tajam dari tahun sebelumnya (Gambar 4.1). Hal
ini disebabkan pada tahun 2004-2005 terjadi penyakit kuku dan mulut pada hewan
terhadap output dari industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia yang
masih menggantungkan bahan baku pada impor dari luar negeri.
Gambar 4.1 Jumlah Output Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging Sumber: Badan Pusat Statistik, 1983-2008 (diolah)
Pertumbuhan rata-rata output industri pengolahan dan pengawetan daging
sebesar 30,05 persen setiap tahunnya, untuk pertumbuhan output tertinggi terjadi pada
tahun 2008 sebesar 159,43 persen karena terjadi peningkatan bahan baku yang sangat
tinggi dibandingkan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 pertumbuhan output
industri pengolahan dan pengawetan daging terendah yaitu sebesar -59,77 persen dari
tahun sebelumnya (Lampiran 2).
4.2. Kondisi Penggunaan Biaya Sewa Modal Industri Pengolahan dan
Pengawetan Daging
Biaya sewa modal pada industri pengolahan dan pengawetan daging diantaranya
modal industri pengolahan dan pengawetan daging di Indonesia periode tahun
1983-2008. Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa biaya sewa modal pada industri pengolahan dan
pengawetan daging berfluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kondisi Indonesia yang tidak
stabil, sistem birokrasi yang berbelit-belit dan kebijakan-kebijakan yang kurang
mendukung perindustrian Indonesia.
Rata-rata biaya sewa modal industri pengolahan dan pengawetan daging sebesar
Rp 5.157.126.000 setiap tahunnya. Biaya sewa modal tertinggi terjadi pada tahun 2004
sebesar Rp 88.918.395.000. Pada tahun 1983-2002 biaya sewa modal industri
pengolahan dan pengawetan daging masih dibawah rata-rata dan untuk biaya sewa
modal terendah terjadi pada tahun 1985 sebesar 1.385.000 rupiah.
Pada tahun 1986 terjadi peningkatan jumlah perusahaan pengolahan dan
pengawetan daging dari tahun sebelumnya sehingga terjadi pertumbuhan biaya sewa
modal. Hal ini dapat berakibat pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada tahun 1986
sebesar 14,167 persen dari tahun sebelumnya.Pada tahun 2005 terjadi penurunan biaya
sewa modal yang sangat tajam sebesar 99,42 persen dari tahun sebelumnya.
Pertumbuhan biaya sewa modal industri pengolahan dan pengawetan daging