PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS MITIGASI
(Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara
Provinsi Nusa Tenggara Barat)
SADIKIN AMIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xxviii INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sadikin Amir NIM C261060081
xxiii
ABSTRACT
SADIKIN AMIR. Mitigation-Based Optimization for Coastal Tourism in Small Island (Case of Gili Matra Lombok Utara District, West Nusa Tenggara Province). Under supervision of FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G.BENGEN, and MENNOFATRIA BOER.
The increasing tourism activities magnified by uncontrolled land use patterns have caused coastal ecosystem degradation in Gili Matra. A research on evaluation of land use patterns and optimization of coastal tourism based on a mitigation approach has been done in the area. Research results showed that size of area including in a very suitable category for diving activity were 216.79 ha; 190.84 ha for snorkeling activity; and 19.83 ha for beach tourism. Based on carrying capacity analysis, the area could support maximum 286 tourists per day or 104.390 tourists annually. Mitigation approach in optimization indicated that the maximum tourist number in the area can only be reached if all aspects of carrying capacity namely ecological, economics, social and institutional aspect are well considered.
Optimization of coastal tourism consisted sustainability of coastal ecotourism resources, increasing economic condition of local communities, and increasing of tourist visits in Gili Indah areas. Furthermore, the optimization can be attained by integrating the four aspects of management through applying the following two strategies: (a) integration of coral reef conservation, betterment in coastal tourism products prices policy, diversification of coastal tourism activities, increasing in local community participation, and adequate supporting infrastructure availability, and (b) optimization of attractive coastal tourism either for areas which were suitable with Gili Indah potential, and for the areas which had potential to be alternative for coastal tourism in relation to the existence of coral reef ecosystem, optimization of unmanaged cultural tourisms, and maintaining existing coastal tourism in Gili Indah.
xxviii
SADIKIN AMIR. Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G.BENGEN, MENNOFATRIA BOER.
Di Propinsi Nusa Tenggara Barat terdapat suatu kawasan pulau-pulau kecil yaitu kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan atau disebut juga Gili Indah, yang salah satu pemanfaatannya adalah sebagai daerah tujuan wisata. Sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah, maka berbagai aktifitas wisata berkembang di kawasan ini. Kegiatan wisata tersebut antara lain ; Selam (Diving), Renang (swimming), Snorkling, Selancar (surfing), Berjemur (sun Bathing), Memancing (fishing), dan Sunset. Seluruh kegiatan wisata tersebut ditunjang oleh berbagai fasilitas yaitu hotel, bungalow/cottage, restauran, rumah makan, glass bottom boat, pasar seni, perahu penumpang, dan tempat hiburan. Sejak tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan investor mulai masuk dan membangun fasilitas wisata yang lebih bagus dan modern seperti hotel, bungalow, café, restaurant dan fasilitas wisata lainnya. Hal ini tentu saja berdampak terhadap lingkungan disekitarnya dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan. Perkembangan aktifitas wisata bahari di kawasan TWAL Gili Indah telah menimbulkan berbagai dampak antara lain adanya kecenderungan sumberdaya laut dan pesisir semakin terdegradasi.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung berbagai pemanfaatan kawasan Gili Indah berbasis mitigasi serta mengoptimasi pengelolaan wisata bahari berbasis mitigasi di Kawasan Gili Indah. Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Propinsi Nusa Tenggara Barat dan waktu penelitian dilaksanakan selama empat bulan pada tahun 2009. Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan yang meliputi data hasil kondisi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kajian terhadap laporan-laporan hasil penelitian dan hasil kegiatan di lokasi yang sama, publikasi ilmiah, peraturan daerah, data dari instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat
xxiii
berupa Sistim Informasi Geografis (SIG) dengan perangkat lunak Arc View. Daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalis jumlah maksimum wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari di dalam suatu kawasan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut.
Analisis sosial dan kelembagaan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metoda analisis deskriptif, data yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisis ini didapat dengan melakukan wawancara langsung dengan stakeholders dan dengan menggunakan kuesioner. Penentuan tingkat optimal dari pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Gili Indah dianalisis menggunakan pendekatan sistem dinamik yang dibangun dengan bantuan perangkat lunak Stella versi 9.0.2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kesesuaian untuk wisata selam untuk kategori sangat sesuai seluas 216,79 hektar atau sekitar 36,98 persen dari luas keseluruhan lokasi yang sesuai (586,28 ha). Daya dukung pemanfaatan baik untuk selam, snorkeling maupun wisata pantai yang termasuk kategori sangat sesuai dapat menampung wisatawan sebanyak 286 orang perhari yang lokasi tersebar di kawasan Gili Indah. Untuk wisata selam sebanyak 86 orang, untuk wisata snorkeling daya dukung pemanfaatannya sekitar 152 orang dan untuk wisata pantai sebanyak 48 orang perhari. Hasil analisis optimasi keempat aspek daya dukung menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan keempat aspek daya dukung, maksimum wisatawan yang masuk ke kawasan wisata bahari kawasan Gili Indah yakni 286 orang per hari (104.390 orang per tahun).
xxviii
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
xxiii
OPTIMASI PEMANFAATAN WISATA BAHARI BAGI
PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL
BERBASIS MITIGASI
(Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara
Provinsi Nusa Tenggara Barat)
SADIKIN AMIR
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xxviii Penguji pada Ujian Tertutup
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Ahmad Fahrudin, M.Si. (Staf Pengajar FPIK IPB)
Dr. Ir. Isdradjatd Setyobudiandi, M.Sc. (Staf Pengajar FPIK IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka
Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc
(Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB)
Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc.
xxiii
Judu l Disertasi : Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat)
Nama : Sadikin Amir
NIM
Program Studi
: :
C261060081
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA.
Anggota Anggota
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xxviii
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq, hidayah dan kekuatan, sehingga disertasi dengan judul “Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari Bagi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Mitigasi (Kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Utara Provinsi Nusa Tenggara Barat)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini ditujuka n sebagai salah satu syarat dalam proses Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penyelesaian disertasi ini merupakan arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu dihaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Mataram dan Bapak Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang telah memberikan kesempatan melanjutkan kuliah program Doktor di Institut Pertanian Bogor.
2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. masing-masing sebagai pembimbing anggota, yang telah banyak membantu dan mengarahkan penyelesaian disertasi ini.
3. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya angkatan tahun 2006.
4. Secara khusus dihaturkan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Amir (Almarhum) dan Ibu Oentari (Almarhumah), yang telah melahirkan, membesarkan dan membimbing penulis selama masa hidup beliau berdua. Demikianlah kepada Istriku Dyah Kartika Purwandari anak-anakku yang tercinta Lintang Anggraini Kusumadewi dan Dito Rahadyan Pratama, yang dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan kerelaan mendorong penulis menyelesaikan sekolah ini.
5. Berbagai pihak yang telah membantu selama dalam proses penelitian di Gili Indah khususnya masyarakat di Gili Indah, demikian pula terhadap berbagai instansi dan lembaga yang telah memberikan data penunjang sebagai bahan disertasi ini.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan pengembangan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya bagi pengembangan wisata bahari pulau-pulau kecil.
Bogor, Januari 2012
xxiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 2 April 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Amir (Almarhum) dan Ibu Oentari (Almarhumah). Penulis menikah dengan Dyah kartika Purwandari dan dikaruniai dua orang anak yaitu Lintang Anggraini Kusumadewi dan Dito rahadyan Pratama. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1994 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah di Sekolah Pascasarjana UNHAS. Selanjutnya pada tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
xxviii
2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil ... 2.1.1 Konsep Wisata Bahari ... 2.1.2 Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan ... 2.1.3 Wisata Bahari di Kawasan Konservasi ... 2.2. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil ...…..…..….. 2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil ………... 2.4. Kawasan Konservasi ………... 2.5. Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari Pulau-Pulau Kecil ……… 2.5.1. Kriteria Umum Pemanfaatan Untuk Pariwisata …………... 2.5.2. Parameter Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Bahari ……….. 2.6. Daya Dukung Wisata Bahari ...……...………..….…...
2.4.1 Daya Dukung Ekologis ... 2.4.2 Daya Dukung Fisik . ... 2.4.3 Daya Dukung Sosial ... 2.7. Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ... 2.8 Pengembangan Wisata Bahari ...…..…..…... 2.9. Implementasi Kebijakan dan Pengelolaan Wisata Bahari. ... 2.10.Model Kebelanjutan Pengelolaan Wisata Bahari …………... 2.11.Pendekatan Sistem Dinamik... 3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian... 3.3 Analisis Data ...….……….….………... 3.3.1 Analisis Deskriptif ……….... 3.3.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan ... 3.3.3 Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari ... 3.3.4 Analisis Daya Dukung Fisik Wisata Bahari ... 3.3.5 Analisis Ekonomi Sosial Budaya dan Kelembagaan ... 3.3.6 Analisis Dinamik Pengelolaan Wisata Bahari ...
xxiii
4 KEADAAN UMUM KAWASAN WISATA GILI INDAH
4.1 Kondisi Fisik Lingkungan ……… 4.2 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya ………... 4.3 Fasilitas Usaha Pariwisata ……… 4.4 Keadaan Wisatawan ………. 4.5 Kelembagaan ………
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kesesuaian ……….. 5.1.1. Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Selam ... 5.3. Optimasi Pemanfaatan Wisata Bahari di Gili Indah
5.3.1. Struktur Model ……… 5.3.2. Basis Model Pengelolaan Wisata Bahari ………... 5.3.3. Skenario Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah ………….. 5.3.4. Skenario Gabungan Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah . 5.3.5. Implikasi Kebijakan dalam Keberlanjutan Pengelolaan
Wisata Bahari ………...
6 KESIMPULAN DAN SARAN
xxviii
Tabel Halaman
1. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau
kecil ……… 23
2. Jenis Data Biofisik ………. 56
3. Jenis Data Sosial Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan ……… 57
4. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Selam ………. 60
5. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Pantai ………. 60
6. Matriks Kesesuaian Area untuk Wisata Bahari kategori Wisata Snorkling ……… 61
7. Potensi Maksimum Wisatawan per Unit Area per Kategori Wisata ………. 64
8. Waktu yang Dibutuhkan untuk setiap Kegiatan Wisata ……… 64
9. Standar Kebutuhan Ruang Fasilitas Pariwisata Bahari ……….. 65
10. Keadaan Pendidikan di Gili Indah ………. 88
11. Jumlah Penduduk di Desa Gili Indah ……… 89
12. Mata Pencaharian Penduduk di Gili Indah ……… 90
13. Fasilitas Usaha Pariwisata ………. 92
14. Jumlah dan asal wisatawan ... 95
15. Hasil Analisis Kesesuaian untuk Pemanfaatan Wisata Selam ... 102
16. Hasil Analisis Kesesuaian untuk Pemanfaatan Wisata Snorkeling ……….. 107
17. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan wisata pantai ….. 109
18. Hasil analisis daya dukung kawasan dan daya dukung pemanfaatan ………... 113
19. Nilai atribut basis model pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah ……… 121
20. Nilai atribut skenario pesimis pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah ……… 125
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ………... 6
2. Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan Berkelanjutan ……….. 11
3. Lokasi Penelitian ……… 55
4. Peta Letak Geografis dan Batas Kawasan ……….. 70
5. Peta Kedalaman Perairan Kawasan Gili Indah ……….. 72
6. Peta Sebaran Arus Perairan Kawasan Gili Indah …………... 73
7. Peta Sebaran Salinitas Perairan Kawasan Gili Indah ………. 75
8. Peta Sebaran pH Perairan Kawasan Gili Indah ……….. 76
9. Peta Sebaran Kecerahan Perairan Kawasan Gili Indah …….. 78
10. Peta Sebaran Suhu Perairan Kawasan Gili Indah …………... 79
11. Peta Sebaran Substrat Dasar Perairan Kawasan Gili Indah … 82 12. Peta Tutupan Lahan di Kawasan Gili Indah ………... 87
13. Peta Lokasi Wisata Kawasan Gili Indah ………. 93
14. Peta Kesesuaian Wisata selam di Kawasan Gili Indah ……... 103
15. Peta Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Snorkeling di Gili Indah ………... 108
16. Peta kesesuaian kawasan untuk wisata pantai di Gili Indah ………... 110
17. Struktur basis model dinamik pengelolaan wisata bahari Gili Indah ……… 120
18. Basis model pengelolaan wisata bahari di kawasan Gili Indah ……….. 123
19. Skenario Pesimis Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah ….. 126
20. Skenario Optimis Pengelolaan Wisata Bahari Gili Indah ….. 128
21. Pertumbuhan Wisatawan pada Berbagai Skenario …………. 130
xxviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil Pengukuran dan Pengamatan Lapang di Kawasan Gili
Indah ………... ………... 149
2. Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung di Kawasan Gili
Indah ……….……….. 151
3. Basis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili
Indah ……… 155
4. Optimis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili
Indah ……… 156
5. Pesimis Model Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Gili
Indah ……… 157
1.1. Latar Belakang
Di Propinsi Nusa Tenggara Barat terdapat suatu kawasan pulau-pulau kecil
yaitu kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan atau disebut juga Gili
Indah, yang salah satu pemanfaatannya adalah sebagai daerah tujuan wisata.
Kawasan Gili Indah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal 16
Februari 1993 selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam
Laut (TWAL) dengan luas sekitar 2.954 hektar. Penentuan status TWAL tersebut
adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi laut yang memiliki
keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai obyek wisata. Pada tanggal 4 maret 2009 telah dilakukan
serah terima pengelolaan Kawasan dari Departemen Kehutanan kepada
Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita acara serah terima No.
BA.01/Menhut-IV/2009 dan No. BA.108/MEN.KP/III/2009. Selanjutnya
berdasarkan Kepmen DKP No. 67/MEN/2009 tanggal 5 September 2009 kawasan
Gili Indah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan nasional.
Sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah, maka berbagai
aktifitas wisata berkembang di kawasan ini. Kegiatan wisata tersebut antara lain ;
Selam (Diving), Renang (swimming), Snorkling, Selancar (surfing), Berjemur (sun
Bathing), Memancing (fishing), dan Sunset. Seluruh kegiatan wisata tersebut
ditunjang oleh berbagai fasilitas yaitu hotel, bungalow/cottage, restauran, rumah
makan, glass bottom boat, pasar seni, perahu penumpang, dan tempat hiburan.
Berbagai aktivitas yang terkait dengan pariwisata bahari tersebut telah
menimbulkan dampak yang berimplikasi pada terjadinya perubahan dimensi
ekologi, ekonomi, sosial budaya dan kelembagaan, baik yang bersifat positif
(konstruktif) maupun yang negatif (destruktif).
Kunjungan wisatawan, baik wisatawan asing maupun nusantara, ke
kawasan Gili Indah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang cukup
berarti, pada tahun 2004 sebanyak 32.373 wisatawan kemudian meningkat
kurun waktu lima tahun terjadi peningkatan kunjungan wisatawan sebanyak
172,44% atau sekitar 34,48% pertahun. Kondisi ini tentu sangat berpotensi
mempengaruhi ekosistem pesisir dan laut yang berada di kawasan Gili Indah.
Dampak lain dari semakin bertambahnya tingkat kunjungan wisatawan
adalah membuat kawasan ini mengalami pencemaran lingkungan, terutama
masalah sampah. Kurangnya kesadaran masyarakat dan pengunjung/wisatawan
serta kurangnya dana dalam penanganan masalah sampah ini membuat
penanganannya belum bisa diatasi sampai dengan sekarang ini. Pada umumnya
sampah yang ada disekitar TWAL Gili Indah merupakan sampah plastik dan
bekas minuman kaleng dan sejenisnya, jika sampah ini tidak dikelola dengan baik,
maka akan berakibat pencemaran disekitar perairan yang pada gilirannya akan
mengganggu ekosistem di Gili Indah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi
ekosistem di kawasan Gili Indah cenderung mengalami degradasi akibat
meningkatnya jumlah wisatawan dari waktu ke waktu dan meningkatnya
pembangunan sarana pariwisata. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat
daya dukung kawasan tersebut sangat terbatas, sehingga diperlukan upaya untuk
mengoptimalkan penggunaan kawasan agar tercipta pengembangan wisata bahari
yang berkelanjutan di kawasan tersebut. Salah satu strategi yang dapat diterapkan
adalah dengan mengembangkan konsep mitigasi dalam pemanfaaan dan
pengembangan kawasan wisata tersebut.
1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pikir Penelitian
Sejak tahun tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan investor mulai
masuk dan membangun fasilitas wisata yang lebih bagus dan modern seperti
hotel, bungalow, café, restaurant dan fasilitas wisata lainnya. Hal ini tentu saja
berdampak terhadap lingkungan disekitarnya dan menyebabkan terjadinya
perubahan lingkungan. Perkembangan aktifitas wisata bahari di kawasan TWAL
Gili Indah telah menimbulkan berbagai dampak antara lain adanya kecenderungan
sumberdaya laut dan pesisir semakin terdegradasi.
Dahulu masyarakat melakukan penangkapan ikan dengan cara destruktif
yaitu menggunakan bom, potassium dan alat tangkap ikan yang tidak ramah
lingkungan dan menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan terutama rusaknya
ekosistem terumbu karang. Dalam kurun waktu sekitar 30 tahun terjadi perubahan
drastis pada kondisi lingkungan di TWAL Gili Indah terutama pada ekosistem
terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang ada di sekitarnya. Berdasarkan hasil
kegiatan inventarisasi kerusakan terumbu karang yang dilakukan oleh team dari
kantor Balai KSDA NTB, digambarkan bahwa terumbu karang diwilayah TWAL
Gili Indah cukup bervariasi. Di kedalaman 10 meter, hampir 100% terumbu
karang mempunyai kondisi yang jelek, sedangkan di kedalaman 3 – 5 meter,
terumbu karang yang termasuk kategori baik sekitar 16%.
Masalah lain yang terjadi di Kawasan Gili Indah adalah tidak sinkronnya
kebijakan pengelolaan antara kawasan laut dan darat. Seperti diketahui bahwa
kawasan lautnya dikelola oleh Balai KSDA NTB yang merupakan unit dari
Departemen Kehutanan RI yang telah diserahkan kepada Departemen Kelautan
dan Perikanan, sedangkan daratnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Utara. Implikasinya adalah pengembangan pengelolaan kawasan darat
dan laut terkesan jalan sendiri-sendiri bahkan cenderung tumpah tindih
pengelolaannya. Hal ini menimbulkan masalah ketidak terpaduan pengelolaan
kawasan, padahal kawasan darat sangat mempengaruhi ekosistem perairan
sekitarnya. Apalagi aktifitas berbagai sarana wisata seperti hotel dan restauran
serta aktifitas penduduk (sekitar 3.575 jiwa) sangat berpotensi memberi dampak
pada kawasan perairan sekitarnya. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka
dikhawatirkan pada masa yang akan datang, ekosistem di kawasan Gili Indah
menjadi terdegradasi secara signifikan yang pada gilirannya akan mengganggu
keberlanjutan (sustainability) kawasan tersebut.
Keberadaan kegiatan wisata bahari di kawasan Gili Indah juga berdampak
terhadap masyarakat sekitar, berupa kesempatan berusaha dan peningkatan taraf
hidup serta yang menyangkut aspek-aspek sosial dan budaya masyarakat.
Aktifitas wisatawan terutama wisatawan asing, telah memberikan dampak
terhadap pola kehidupan masyarakat, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan
dampak positif dan mengurangi dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Sehingga
keberadaan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing dapat
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan aspek-aspek mitigasi
dalam pengelolaan kawasan wisata bahari tersebut. Mitigasi sebagai upaya untuk
mengurangi dampak negatif diperlukan untuk lebih mendukung upaya-upaya
optimalisasi dari pemanfaatan kawasan Gili Indah untuk kegiatan wisata bahari.
Memperhatikan berbagai degradasi ekosistem di kawasan TWAL Gili
Indah di atas, maka perlu suatu kajian optimasi pemanfaatan wisata bahari bagi
pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi dengan memperhatikan dimensi
ekologi, sosial budaya, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat di kawasan
tersebut. Sehingga akan diperoleh suatu konsep pengelolaan kawasan TWAL Gili
Indah yang optimal dan berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka beberapa permasalahan pokok di
kawasan wisata bahari Gili Indah adalah Perkembangan aktifitas wisata bahari,
termasuk pemanfaatan lain, cenderung membuat ekosistem di kawasan Gili Indah
mengalami degradasi. Disamping itu belum ada suatu konsep pengelolaan
sumberdaya yang terintegrasi dan terpadu antara kawasan pesisir dan daratan.
Pengembangan yang ada masih parsial dengan hanya memperhatikan kawasan
pesisir atau daratan saja dan belum terintegrasi menjadi satu kesatuan
pengelolaan. Kebijakan pengelolaan antara kawasan pesisir dan darat masih
parsial dimana kawasan lautnya dikelola oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan, sedangkan daratnya dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Utara. Dalam pengelolaan kawasan Gili Indah belum
mempertimbangkan dimensi ekologi, sosial budaya, ekonomi dan kelembagaan
secara terpadu dalam pengembangannya. Sejalan dengan hal tersebut di atas,
optimasi pengelolaan wisata bahari pulau-pulau kecil yang berbasis mitigasi
belum diterapkan di kawasan tersebut. Sehingga diperlukan suatu strategi
pengelolaan wisata bahari yang berkelanjutan di Kawasan wisata bahari Gili
Indah (gambar 1).
1.3. Tujuan dan Kegunaan :
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung berbagai pemanfaatan kawasan
b. Mengoptimasi pengelolaan wisata bahari berbasis mitigasi di Kawasan Gili
Indah.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Potensi Sumberdaya Alam :
• Ekosistem terumbu Karang
• Ekosistem pantai
• Sumberdaya ikan dan non ikan
• Sumberdaya lahan darat
Potensi Sosial Ekonomi dan Budaya :
• Tenaga Kerja
• Pendidikan dan keterampilan
• Pasar Wisata
• Infrastruktur
• Kearifan Lokal (Awiq-awiq)
Kegiatan :
Dimensi Sosial Budaya :
• Perubahan sosial dan budaya
• Konflik kepentingan
• Interaksi masyarakat dan wisatawan
• Sikap dan Persepsi Masy.
Dimensi Kelembagaan :
• Kewenangan Pemerintah Kab. Lombok Utara dan DKP NTB
Strategi Pengelolaan Wisata Bahari Berkelanjutan di TWAL Gili Indah
Adapun kegunaannya adalah untuk menghasilkan suatu konsep dan strategi
pengelolaan pulau-pulau kecil khususnya pada pengelolaan wisata bahari yang
berkelanjutan yang berbasis mitigasi dan sebagai bahan pertimbangan pada
berbagai pihak terkait (stakeholders) dalam pengelolaan dan pengembangan
kawasan TWAL Gili Indah yang berkelanjutan.
1.4 Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup rencana penelitian ini adalah:
1. Melakukan evaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan dalam pengelolaan
wisata bahari dengan serangkaian analisis tentang kondisi faktual dan karakter
sumberdaya alamnya, analisis pemanfaatan dan peruntukan kawasan, analisis
kesesuaian dan daya dukung, serta analisis sosial ekonomi budaya dan
kelembagaan pada setiap dimensi kajian.
2. Mengkaji optimasi pengelolaan TWAL Gili Indah berdasarkan konsep wisata
bahari dengan mengintegrasikan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan
kelembagaan yang berbasis mitigasi.
3. Mem Membuat strategi pengelolaan wisata bahari yang berbasis mitigasi
dengan model dinamik untuk memperoleh suatu strategi pengelolaan wisata
2.1. Pariwisata Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Konsep Wisata Bahari
Salah satu pemanfaatan pulau kecil yang berpotensi dikembangkan adalah
pemanfaatan untuk pariwisata. Agar ekosistem pulau-pulau kecil dapat terjaga
ekosistemnya sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, maka
dikembangkan pula konsep ekowisata. Ekowisata sendiri pertama kali
diperkenalkan pada tahun l990 oleh organisasi The ecotourism Society, sebagai
perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi
lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat ( Lingberg dan
Hawkins l993, dalam Yulianda 2007).
Ekowisata bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter
sumberdaya pesisir dan laut. Sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam
dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu
pada pemanfaatan wisata. Menurut Meta (2002) dalam Yulianda (2007), bahwa
ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata
yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan
sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan.
Berdasarkan paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan
pariwisata massal (mass tourism), yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang
besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam. Saat ini bentuk wisata
bergerak menjadi pariwisata baru (Baldwin dan Brodess 1993), yaitu wisatawan
yang lebih moderen, berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal mencari
liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan
pengalaman asli. Usaha pengembangannya wajib memperhatikan dampak-dampak
yang ditimbulkan, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor
ekowisata dan pariwisata alternatif yang diartikan sebagai konsisten dengan
nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif
diantara para pelakunya. Ekowisata (eco-tourism) disebutkan di UU Nomor 9
tahun 1990 pasal 16 sebagai kelompok-kelompok obyek dan daya tarik wisata,
menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata
alam.
Berbagai pendapat tentang ekowisata adalah lebih menekankan pada
faktor daerah alami, sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan
alami yang mendukung konservasi (termasuk pendidikan lingkungan) dan
meningkatkan kesejateraan penduduk (ekonomi) setempat (Brandon, 1996). Ziffer
(1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, pada faktor etnis (Hudman
and Donald, 1989). Silver (1997) memberikan batasan-batasan berikut: (1)
Menginginkan pengalaman asli, (2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial,
(3) Tak ada rencana perjalanan yang ketat, (4) Tantangan fisik dan mental, (5)
Interaksi dengan budaya dan penduduk setempat, (6) Toleran pada
ketidaknyamanan, (7) Bersikap aktif dan terlibat, (8) Lebih suka petualangan
daripada pengalaman. Choy et al. (1996) memberikan batasan lima faktor pokok
yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman,
keberlanjutan dan manajemen.
Ecoturism Research Group (1996) membatasi tentang wisata bertumpu
pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan : (1) mendidik tentang
fungsi dan manfaat lingkungan, (2) meningkatkan kesadaran lingkungan, (3)
bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, (3) menyumbang langsung pada
keberkelanjutan. Ekowisata tidak setara dengan wisata alam oleh karena tidak
semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya
pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang
memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan
memiliki pasar khusus (Goodwin 1997; Wyasa 2001). Menurut The Ecotourism
Society (TES), ecotourism adalah perjalanan wisata ke wilayah-wilayah alami
dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi
penghidupan penduduk lokal (Sørensen et al., 2002). Wood (2002)
mendefinisikan ecotourism sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata alam
yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang
dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Yulianda, 2007). Meta (2002),
menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan
industri kepariwisataan. Ekowisata bahari dengan kesan penuh makna bukan
semata-mata memperoleh hiburan dari berbagai suguhan atraksi dan suguhan
alami lingkungan pesisir dan lautan tetapi juga diharapkan wisatawan dapat
berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan sekaligus
pemahaman yang mendalam tentang seluk beluk ekosistem pesisir sehingga
membentuk kesadaran bagaimana harus bersikap untuk melestarikan wilayah
pesisir dan dimasa kini dan masa yang akan datang. Jenis wisata yang
memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan secara langsung maupun tidak
langsung. Kegiatan langsung diantaranya berperahu, berenang, snorkeling,
diving, pancing. Kegiatan tidak langsung seperti kegiatan olahraga pantai,
piknik menikmati atmosfer laut (Nurisyah, 1998). Konsep wisata bahari
didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni
budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh
masing-masing daerah. META (2002) merumuskan tujuh prinsip utama
pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan, yaitu :
1. Partisipasi masyarakat lokal; ekotourism harus memberikan manfaat ekologi,
social dan ekonomi langsung kepada masyarakat.
2. Proteksi lingkungan; ecotourism bertumpu pada lingkungan alam, budaya
yang relative belum tercemar atau terganggu
3. Pendekatan keseimbangan; sub prinsipnya meliputi maksimum profit,
bagaimana ekotourism memberikan manfaat, comitment industri pariwisata
dan lainnya.
4. Pendidikan dan pengalaman; ekotourism harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman
yang dimiliki
5. Pendekatan kolaboratif; ekotourism dapat memberikan sumbangan positip
bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
6. Tanggungjawab pasar; diperlukan interdependent kegiatan, demand – supply
7. Kontinuitas manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin
sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang.
2.1.2. Konsep Dasar Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata diartikan sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan
perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk
jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan
berbagai maksud lain (Agenda 21, 1992). Pariwisata di Indonesia menurut UU
Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya.
Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam,
budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah
perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997).
Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO,
2000), melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan penerimaan
US $455 Milyar seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010
jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta
orang. Di Indonesia pariwisata merupakan penghasil devisa nomor tiga setelah
minyak dan produk tekstil, Ini berarti sektor pariwisata mempunyai peranan yang
cukup penting dalam perekonomian. Menurut data dari Departemen Pariwisata
Seni dan Budaya perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia sejak
lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun 2001 jumlah wisatawan
sebanyak 5.153.260 orang dan terus menurun sampai tahun 2003 sebanyak
4.467.020 wisatawan. Namun pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi 5.321.160
orang kemudian turun lagi menjadi 5.006.790 orang pada tahun 2005. Target dari
pembangunan pariwisata pada tahun 2006 adalah dapat menghasilkan devisa US $
5,5 juta dengan jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 5,5 juta orang, serta dapat
menciptakan lapangan kerja sebanyak 900 ribu pekerja.
Untuk mengelola kegiatan kepariwisataan dan pembangunan
kepariwasataan, berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang
bertujuan untuk: memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja,
meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, serta mendorong pendayagunaan produksi nasional. Dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas) juga telah dijelaskan bahwa
pembangunan pariwisata perlu ditingkatkan untuk memperluas kesempatan kerja
dan kesempatan berusaha, meningkatkan penerimaan devisa serta
memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia. Perlu pula diambil
langkah-langkah dan peraturan yang lebih terarah berdasarkan kebijaksanaan terpadu.
Pendekatan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Ekowisata sebagai suatu Strategi Wisata dan Pembangunan Berkelanjutan (France, 1997 dalam Beeler, 2000)
Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung
jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa
mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa
mendatang, dengan menerapkan prinsip-prinsip, layak secara ekonomi
(economically feasible) dan lingkungan (environmentally vi-able). cinema secara
Memelihara ekologi
Ekowisata Pembangunan
Lingkungan
Pembangunan Ekonomi
Pembangunan Sosial
social (socially acceptable) dan tepat guna secara teknologi (technologically
appropriate).
Saling keterkaitan yang dijelaskan pada Gambar dapat diuraikan sebagai
berikut (France, 1997 dalam Beeler, 2000):
(1) menunjukkan sejumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu lingkungan
alami. Agen perjalanan biasanya elit lokal atau multinasional, dimana profit
usaha wisata rasanya sulit masuk ke masyarakat lokal.
(2) Biasanya wisma tamu skala kecil setempat memberikan kenyamanan di bawah
standar dalam. Pemukiman penduduk lokal biasanya memperoleh manfaat
langsung dari dampak lingkungan yang buruk.
(3) Banyak usaha wisata mempekerjakan penduduk lokal sebagai tenaga kerja
yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled labor). Secara ekonomi
dapat memberikan manfaat abgi masyarakat, akan tetapi selalu dengan
dampak lingkungan yang tinggi.
(4) Titik keseimbangan yang memungkinkan antara ketiga aspek yang secara
lokal dapat dikelola dan manfaatnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu
memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat di daerah tujuan saat ini dengan
tetap menjaga dan meningkatkan kesempatan pemenuhan kebutuhan di masa yang
akan datang. Pernbangunan pariwisata berkelanjutan dicitrakan menjadi patokan
dalam pengaturan sumber daya sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetik
tercapai, dengan tetap menjaga integritas budaya, proses-proses dan
keanekaragaman hayati. Prinsip pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil
tidak dapat dilepaskan dari konsep pembangunan kepariwisataan nasional. Pada
hakekatnya pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berlandaskan
pada agama dan budaya lokal, dengan memperhatikan dan menghormati hak-hak
ulayat masyarakat di sekitarnya. Pulau untuk kepentingan kepariwisataan
adalah pulau dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2
Penyelenggaraan pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
menggunakan prinsip berkelanjutan di mana secara ekonomi memberikan
keuntungan, memberikan kontribusi pada upaya pelestarian sumber daya alam, (Departemen
serta sensitif terhadap budaya masyakat lokal. Oleh karena itu pengembangan
pariwisata di pulau-pulau harus berpegang pada prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004):
- Prinsip Keseimbangan; Pengelolaan pariwisata dipulau-pulau kecil harus didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan ekonomi,
sosial budaya dan konservasi.
- Prinsip Partisipasi Masyarakat; proses pelibatan masyarakat, baik secara aktif
maupun pasif, harus dimulai sejak tahap perencanaan hingga tahap pengelolaan
dan pengembangan. Hal ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa
memiliki yang akan menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan
pariwisata di pulau-pulau kecil tersebut.
- Prinsip Konservasi; Memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya). Pengembangan harus
diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah ekologi
serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan
masyarakat setempat. Dalam upaya meminimalkan dampak negatif yang
ditimbulkan akibat pernbangunan pariwisata, beberapa langkah dapat ditempuh,
sepertl: penentuan ambang batas (carrying capacity), baik secara sosial (tourism
social carrying capacity) dan ekologi (tourism ecological carrying capacity).
- Prinsip Keterpaduan; Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau dan
disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor. Pengembangan pariwisata di
pulau-pulau kecil harus disesuaikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat
setempat, dinamika ekologi di pulau tersebut dan daerah sekitarnya. Disamping
itu pengembangan pariwisata sebagai salah satu bagian dari pembangunan,
harus disesuaikan dengan kerangka dan rencana pembangunan daerah.
Dilihat dari daya tariknya, keanekaragaman daya tarik wisata di
pulau-putau kecil dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, daya tarik wisata yang
berbasis sumber daya alam daratan (seperti hutan, gunung, sungai, danau maupun
pantai) dan sumber daya laut (seperti: terumbu karang, gua dan gunung api bawah
laut). Kedua, daya tarik wisata yang berbasis warisan maupun pusaka budaya
maupun yang bersifat tidak nyata (intangible) seperti pertunjukan budaya atau
tradisi budaya masyarakat. Selain kedua jenis pariwisata yang memanfaatkan
langsung potensi sumber daya (alam dan budaya) diatas, juga terdapat wisata
buatan yang pada intinya juga memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Wisata
buatan pada hakikatnya merupakan hasil karya cipta manusia yang sengaja dibuat
untuk memenuhi kebutuhan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung
dapat menjadi objek dan daya tarik wisata tertentu seperti wisata belanja,
pendidikan, olahraga, atau taman rekreasi (theme park).
Kegiatan wisata alam daratan diantaranya kegiatan menikmati bentang
alam, olah raga pantai, pengamatan satwa, Jelajah hutan, mendaki gunung dan lain
sebagainya. Sementara kegiatan wisata bahari mencakup snorkeling, menyelam
(diving). selancar angin (parasalling), selancar (surfing), memancing (fishing),
ski-air, berperahu (canoewing), berperahu kayak (sea kayaking) dan lain
sebagainya. Sedangkan kegiatan wisata yang berbasis budaya seperti kegiatan
menangkap ikan, mengolah ikan, mengamati kebiasaan hidup para nelayan
sehari-hari, melihat adat istiadat yang berlaku di perkampungan nelayan, melihat
bangunan rumah-rumah nelayan, melihat upacara adat yang biasa dilakukan para
nelayan, dan lain sebagainya.
Berdasarkan tujuannya kegiatan wisata dapat dibedakan menjadi wisata
minat khusus dan wisata umum (rekreasi). Wisata minat khusus merupakan suatu
bentuk perialanan dimana wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki
minat atau tujuan khusus mengenai suatu jenis objek atau kegiatan yang dapat
ditemui atau dilakukan dilokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Dalam wisata
minat khusus, wisatawan terlibat secara aktif pada berbagai kegiatan di
lingkungan fisik atau komunitas yang dikunjunginya. Sementara itu kegiatan
wisata umum atau kegiatan rekreasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
dilaksanakan pada waktu luang secara bebas dan menyenangkan. Dalam kegiatan
rekreasi tidak ada tujuan khusus yang ingin dicapai dan memang untuk
bersenang-senang. Pengembangan kegiatan rekreasi saat ini diarahkan pada kegiatan rekreasi
edukatif, yang juga bertujuan agar wisatawan mendapatkan tambahan pengataman
Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus memperhatikan
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2004):
a) Terjaminnya keberlanjutan sumber daya pendukung pembangunan pariwisata
di pulau-pulau kecil sebagai satu syarat penting bagi terciptanya manajemen
pariwisata yang memadai dan handal.
b) Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam,
budaya, dan manusia. kegiatan pariwisata harus menjamin perubahan yang
dapat diterima sehubungan dengan pengaruhnya terhadap sumber daya alam,
keanekaragaman hayati dan kapasitas untuk mengelola berbagai dampak dan
residu yang ditimbulkan.
Dalam upaya mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan,
maka pengelolaan lingkungan di pulau-pulau kecil dilakukan dengan langkah
penerapan sebagai berikut :
a) Pengelolaan limbah: (1) melaksanakan pengelolaan limbah padat dan cair yang
berasal dari kegiatan pariwisata agar tidak menimbulkan kerusakan dan
pencemaran lingkungan, (2) Pengelolaan limbah padat dan cair dilakukan
dengan menerapkan prinsip 3R yaitu Reduce (reduksi), Reuse (penggunaan
kembati), dan Recycle (daur ulang), (3) Pada daerah dengan kawasan gugusan
pulau, dapat menetapkan satu pulau kosong yang memungkinkan untuk
tempat pengolahan limbah, sesuai kapan AMDAL.
b) Air Tawar: (1) penggunaan air tawar dilakukan dengan memperhatikan
konservasi air yang tersedia di pulau, serta akses masyarakat terhadap
kebutuhan air tawar, (2) Dianjurkan agar mengembangkan sistem pengolahan
air laut menjadi air tawar.
c) Pelestarian Flora dan Fauna: Melakukan upaya menjaga dan memelihara flora,
fauna serta terumbu karang, disekitar pulau dengan: (1) Pengawasan dan
pengamanan sumber daya kelautan sekitar pulau dari kegiatan yang dapat
merusak dan mengurangi populasinya, (2) Merencanakan dan melaksanakan
program perlindungan dan pemeliharaan flora, fauna dan terumbu karang, 3)
seijin instansi yang berwenang, (4) Tidak mengunakan karang, sebagai bahan
bangunan untuk sarana dan prasarana di pulau.
d) Pelestarian Pesisir: (1) Tidak melakukan pengerukan, reklamasi dan atau
melakukan kegiatan yang dapat merubah kondisi pantai dan pola arus laut, (2)
Tidak melakukan pengambilan atau pengerukan pasir baik di daratan maupun
di perairan pulau, (3) Semua pembangunan di pesisir harus didasarkan pada
studi AMDAL/UPL/UKL.
Pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal
sekaligus melihatkan peran aktif masyarakat sejak awal prows pengembangan
pariwisata. Hal ini sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat (Community Based Tourism Development). Peningkatan peran serta
masyarakat dilakukan antara lain dengan:
a) Memprioritaskan petuang kerja dan usaha bagi masyarakat lokal.
b) Membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat antara lain
melalui program pelatihan untuk menunjang usaha par iwisata.
c) Membangun hubungan kemitraan antara pengusaha dan masyarakat dalam
rangka pemanfaatan hasil-hasil produk lokal.
d) Mewujudkan sikap saling menghargai dan menghormati di antara pengusaha
dan masyarakat.
e) Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menanamkan modal
melalui kepemilikan saham perusahaan.
Agar supaya wisata bahari dapat berkelanjutan maka produk pariwisata
bahari yang ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik.
Dengan demikian masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena
memberikan manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai
suatu kesatuan dalam kehidupannya. Cernea (1991) dalam Lindberg and Hawkins
(1995) mengemukakan bahwa partisipasi lokal memberikan banyak peluang
secara efektif dalam kegiatan pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi
wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran social dan bukan
control terhadap kegiatan-kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan
kemampuan mereka.
2.1.3. Wisata Bahari di Kawasan Konservasi
Umumnya, penutupan suatu kawasan laut menjadi kawasan konservasi
akan merugikan kegiatan ekonomi lainnya. Padahal, kawasan konservasi dapat
juga dijadikan sebagai instrumen pengendalian kegiatan pariwisata dan kegiatan
lain termasuk perikanan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan. Awal tahun
1990, mulai diperkenalkan suatu instrumen yang didesain langsung pada
pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, yaitu berupa penentuan suatu
kawasan konservasi laut (KKL) atau marine reserve atau Marine Protected Area
(MPA). Tujuannya adalah agar input dan output produksi perikanan dan wisata
bahari berbasis konservasi diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk
daerah perlindungan.
Banyak dukungan empiris yang menyatakan KKL akan dapat
meningkatkan dan memperbaiki ekologi yang mencakup peningkatan komposisi
umur dan tingkat stok yang lebih tinggi untuk perbaikan habitat. Manfaat
tambahan yang diperoleh dari adanya kawasan konservasi ini adalah untuk
keperluan pariwisata, pendidikan, dan konservasi biodiversitas laut (Bohnsack,
1993 dalam Sanchirico et al., 2002). Li (2000) menguraikan manfaat kawasan
konservasi laut adalah sebagai biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan
terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas
akibat penangkapan, peningkatan produksi di wilayah sekitarnya, perlindungan
pemijahan, penelitian, ekowisata, pembatasan hasil sampingan ikan-ikan juvenil
dan peningkatann produktivitas perairan. Pemanfaatan suatu kawasan konservasi
menjadi kawasan wisata dan kegiatan perikanan harus dapat memberikan manfaat
ekonomi yang tinggi. Cesar (1996), hasil studi White dan Cruz Trinidad di Apo
Island Philipina menunjukkan bahwa KKL mampu memberikan nilai ekonomi
hampir US$ 400 ribu dari sektor wisata bahari dan perikanan.
Masalah utama dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah
menetapkan batas ekologis yang dapat digunakan untuk mencapai suatu kawasan
konservasi. Selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik
dan kabupaten), atau biaya (lokasi yang lebih kecil akan memerlukan biaya yang
kecil untuk melindungi atau mempertahankan keberadaannya. Kawasan
konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis
biota dengan relung yang berbeda-beda serta tidak merusak semua kawasan
konservasi secara bersamaan bila terjadi bencana. Kawasan konservasi yang
berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung
pengelolaan yang efektif bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Adanya zonasi
maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif untuk
mencapai sasaran dan tujuan konservasi. Berdasarkan arah pengembangan
pariwisata, kawasan PPK jenis-jenis zonasi yang umum digunakan dalam
pengembangan pariwisata adalah (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2004):
1. Zona Intensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk dapat menerima kunjungan dan tingkat kegiatan yang tinggi dengan memberikan ruang yang
luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. Dalam zona ini dapat
dikembangkan sarana dan prasarana fisik untuk pelayanan pariwisata yang
umumnya tidak melebihi 60% luas kawasan zonasi intensif dan
memperhatikan daya dukung lingkungan.
2. Zona Ekstensif, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk menerima
kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas karakter
sumber daya alam. Dalam zona ini kegiatan pengunjung harus dapat dikontrol
dan pembangunan sarana dan prasarana terbatas hanya untuk pengunjung
kegiatan, seperti jalan setapak, tempat istirahat, menara pandang, papan
penunjuk dan informasi.
3. Zona Perlindungan, yaitu suatu kawasan yang dirancang untuk tidak
menerima kunjungan dan kegiatan pariwisata. Kawasan ini biasanya
merupakan kawasan yang menjadi sumber air bagi kawasan seluruh pulau,
atau memiliki kerentanan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
2.2. Karakteristik Pulau-Pulau Kecil
Defenisi pulau menurut UNCLOS (1982, Bab VIII pasal 121 ayat 1),
bahwa “pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh
dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Pulau-Pulau Kecil (PPK) adalah kumpulan
pulau-pulau (gugusan pulau) yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi
ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individuial maupun secara
sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumberdayanya
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Berdasarkan luasnya, PPK (small
island) memiliki luas daratan beserta kesatuan ekosistemnya yakni lebih kecil dari
atau sama dengan 2.000 km2 (Undang-undang No. 27 Tahun 2007) 10.000 km2
Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1)
terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insulat; (2)
sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka
dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan
manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi.
Karakteristik lingkungan yang berkaitan erat dengan proses terbentuknya pulau
serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geologi pulau-pulau tersebut
memiliki formasi struktur yang berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau
tersebut juga akan memiliki kondisi yang spesifik (Bengen dan Retraubun, 2006).
Dari segi budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda
dengan pulau kontinen dan daratan (Beller et al., 1990). Interaksi manusia dengan
lingkungan terjadi dalam suatu bentuk pola tingkah laku yang terlembagakan,
kemudian menghasilkan sistem adaptasi yang terpola dan merupakan bagian dari
sistem yang lebih luas yakni budaya. Selanjutnya budaya terkait dengan adaptasi
manusia terhadap lingkungannya melalui sistem teknologi matapencaharian dan
pola pemukiman, yang keduanya disebut juga sebagai cultural core (Bengen dan
Retraubun, 2006).
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002; Brookfield 1990 dalam Dahuri,
2003) dan berpenduduk di bawah 500.000 orang (Hess, 1990 dalam Bengen dan
Retraubun, 2006) atau lebih kecil dari 200.000 jiwa (Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2002).
Pulau-pulau kecil sebagai bagian dari pembangunan kelautan memiliki
potensi yang sangat besar untuk dikelola dengan baik. Pulau kecil memiliki
karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu (1) terpisah dari habitat pulau induk
daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh
eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis
endemik yang bernilai ekologis tinggi (Bengen, 2002). Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pulau-pulau kecil memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya
pesisir. Ekosistem pesisir bersifat alamiah ataupun buatan (man-made).Ekosistem
alami pulau-pulau kecil, antara lain; terumbu karang (coral reef), hutan mangrove,
padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu
(rocky beach), formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta.
Sedangkan ekosistem buatan, antara lain; kawasan pariwisata, kawasan budidaya
(mariculture) dan kawasan permukiman (Bengen, 2000).
Pulau-pulau kecil mempunyai keunikan, baik fisik, geografis, sumberdaya
alam maupun masyarakatnya. Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang
sangat rentan terhadap berbagai pengaruh eksternal dan aktivitas pembangunan,
serta mempunyai keterbatasan baik sumberdaya alamnya maupun sumberdaya
manusianya. Selain itu, wilayah ini memiliki keterkaitan ekologis, sosial ekonomi
dan sosial budaya dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan alokasi ruang yang
didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan sosial budaya antara masyarakat
dan integrasi kegiatan sosial ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, akan
memberikan pilihan investasi yang tepat (Dahuri, 1998).
Beberapa karakteristik yang dijumpai di pulau-pulau kecil dapat
dikategorikan ke dalam aspek lingkungan hidup dan sosial-ekonomi-budaya.
Karakteristik yang berkaitan dengan lingkungan hidup menurut Brookfield (1990)
dalam Dahuri (2003) antara lain:
1. Pulau-pulau kecil memiliki daerah resapan (catchment area) yang sempit,
sehingga sumber air tanah yang tersedia sangat rentan terhadap pengaruh
intrusi air laut, terkontaminasi akibat nitrifikasi dan kekeringan.
2. Pulau-pulau kecil memiliki daerah pesisir yang sangat terbuka, sehingga
lingkungannya sangat mudah dipengaruhi oleh gelombang yang berasal dari
badai cyclone dan tsunami.
3. Spesies organisme yang hidup di pulau-pulau kecil pada umumnya bersifat
endemik dan perkembangannya lambat, sehingga mudah tersaingi oleh
4. Pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam terrestrial yang sangat terbatas,
baik yang berkaitan dengan sumberdaya alam mineral, air tawar maupun
kehutanan dan pertanian.
Karateristik yang berkaitan dengan faktor sosial-ekonomi-budaya
menurut Hein (1990) dalam Dahuri (2003) antara lain adalah: memiliki
infrastruktur yang terbatas, pasar domestikdan sumberdaya alam kecil sehingga
iklim usahanya kurang kompetitif, kegiatan ekonomi sangat terspesialisasi,
tergantung pada bantuan luar meskipun memiliki potensi sebagai tempat yang
posisinya bernilai strategis dan jumlah penduduk tidak banyak dan biasanya saling
mengenal satu sama lain serta terikat dengan hubungan persaudaraan.
Selama ini pulau-pulau kecil kurang mendapat sentuhan pembangunan
sehingga sebagian masyarakatnya relatif hidup dalam kemiskinan. Menurut
Retraubun (2000), rendahnya sentuhan pembangunan ini didasarkan atas:
1. Kebanyakan pulau-pulau kecil tidak berpenghuni karena ukurannya relatif
sangat kecil.
2. Kalaupun berpenghuni, jumlah penduduknya sangat sedikit sehingga tidak
menjadi prioritas utama.
3. Kawasan ini cenderung terisolasi sehingga diperlukan investasi yang besar
untuk membangun prasarana perhubungan laut.
4. Kurangnya kepastian perlindungan hak dan kepastian berusaha.
5. Pembangunan nasional yang selama ini lebih berorientasi ke darat.
Meskipun demikian, pulau-pulau kecil memiliki potensi ekonomi yang
tinggi namun mempunyai karakteristik yang sangat rentan terhadap aktivitas
ekonomi. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan
transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau kecil di dunia.
Daya dukung sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang sangat terbatas.
Aktivitas sosial dan ekonomi pulau-pulau kecil merupakan interaksi kawasan
daratan (terrestrial) dengan lingkungan laut, sehingga hampir semua bentuk
aktivitas pembangunan akan berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan.
Potensi kerusakan sumberdaya alam yang sangat tinggi seperti kenaikan
lingkungan sudah menurun. Pendekatan ekosistem dalam penataan ruang wilayah
pulau dan gugus pulau harus berdasarkan daya dukung ekologis, jaringan sosial
budaya dan integrasi kegiatan sosial ekonomi (Dahuri, 2003).
2.3. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas
< 10.000 km2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991)
menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari
2000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau
sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama
dengan 2.000 km
dan lebar
tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991).
2
beserta kesatuan ekosistemnya. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Pulau-Pulau Kecil atau Gugusan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan
pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi,
sosial dan budaya (DKP-RI, 2001). Towle (1979) dalam Debance (1999)
menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu
pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dai
500.000 jiwa. Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pulau Kecil
adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2
Arahan pengelolaan PPK diperuntukan bagi kegiatan berbasis konservasi,
artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif
tidak diperkenankan, karena PPK memiliki sejumlah kendala dan karakteristik
yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya,
maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang
memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya
laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan
pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial
ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi
kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna
Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian
genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al.
2000 dalam Maanema 2003).
Tabel 1. Kriteria Umum Untuk Penentuan Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil
No Kriteria Uraian
1. Sosial a. Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL).
b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi.
c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi.
d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL.
e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi.
f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal.
g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya.
h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan.
i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan.
j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi.
2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria.
b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan.
d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat.
e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata.
3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies.
b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami.
c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini.
d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya.
e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah.
f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia.
g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana.
4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies.
b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL.
Sumber : Bengen (2002)
Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau
kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi
sumberdaya, seperti penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya fungsi
ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam
waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem
mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m3
Adanya keterbatasan PPK, maka pengelolaannya berdasarkan penzonasian
dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang
terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria
zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu :
1) Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati, didasarkan pada keragaman atau
kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian,
didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat
ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung
pada proses-proses ekologi yang berlangsung dilokasi; keunikan, didasarkan
pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas,
didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari
entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses
produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan,
didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam
maupun aktivitas manusia.
2) Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies
penting komersial tergantung pada lokasi; kepentingan perikanan, didasarkan
pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan;
bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang
mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi,
didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal
dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau
potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.
3) Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat
dukungan masyarakat; kesehatan masyarakat, didasarkan pada keberadaan
kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang
berpengaruh pada kesehatan masyarakat; budaya, didasarkan pada nilai
sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi; estetika, didasarkan pada
nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan
dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan
pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak
besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat
kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat
dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi