• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan ekonomi Islam terhadap alokasi dana sukuk dalam APBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan ekonomi Islam terhadap alokasi dana sukuk dalam APBN"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh :

Diyanti

NIM : 106046101609

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat memberikan pengaruh yang signifikan pada pasar modal diberbagai negara di dunia, tidak sedikit indeks harga saham yang jatuh dan mengalami kemerosotan akibat krisis financial global.

Akibatnya, Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%. Bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41%, dan zona Eropa 37%.1

Dari realitas yang terjadi pada krisis financial yang terjadi pada Amerika dan membawa akibat yang buruk bagi negara-negara di dunia, telah memberikan gambaran bahkan bukti tentang keburukan yang sebenarnya dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan pada perekonomian dunia.

Hilangnya kepercayaan dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis ini membuat para intelektual muslim di Indonesia harus melihat kembali pemikiran-pemikiran dari para pakar ekonomi islam salah satunya seperti Ibnu

(3)

Taimiyah, yang pembahasannya lebih menekankan pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan : “Tujuan terbesar dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat mungkar”.2 Hingga akhirnya para ahli ekonomi dunia melirik sistem yang ditawarkan dalam ekonomi islam yang konsepnya lebih kepada membawa keadilan dan kemaslahatan umat.

Kebijakan pemerintah untuk menambah pendapatan negara salah satunya adalah dengan melakukan pinjaman yang diperoleh dari dalam negeri atau luar negeri disamping dari penarikan pajak, pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara dan industri dalam negeri, atau dengan dikeluarkannya Surat Berharga Negara (SBN). Pinjaman-pinjaman yang berasal dari luar negerilah yang paling membahayakan eksistensi suatu negara karena tidak pernah lepas dari bunga sebagai return yang timbul dari adanya pinjaman tersebut. Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba.3

Jika melihat adanya batasan berhutang dalam kacamata ekonomi islam, dan bagaimana upaya pemerintah untuk menambah pemasukan negara dan memberikan pendanaan bagi program-program proyek produktif dengan dana yang memadai tanpa adanya beban bunga yang harus di tanggung negara. Maka, pemerintah harus berupaya melihat kemapuan Negara dalam

2

Euis Amalia, M.Ag. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: Granada Press, 2007), h.179.

(4)

memberikan pembiayaan sebelum mengeluarkan uang. Agar terhindar dari beban bunga yang akan membawa kepada kesusahan bagi negara itu sendiri.

Cross border transaction atau transaksi keuangan antar negara sudah mulai marak dibicarakan dan tampaknya merupakan suatu transaksi keuangan syariah yang ideal untuk dilakukan guna menjaring dan menyerap dana dari Negara-negara di Timur Tengah atau Gulf Corporation Council (GCC). Negara-negara GCC adalah negara-negara kaya penghasil minyak di kawasan Timur Tengah. Salah satu transaksi cross border yang ideal adalah dengan menerbitkan global sukuk.4

Dengan merujuk kepada besarnya pembayaran utang dan beban bunga utang yang sangat besar telah mereduksi alokasi anggaran belanja pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas. Sebagai contoh, anggaran negara pada tahun 2004 dari Rp 343,9 triliun, alokasi untuk anggaran belanja pembangunan hanya 68,1 triliun rupiah, masih lebih kecil dari pada anggaran untuk pembayaran “bunga utang” sebesar 68,5 triliun rupiah. Sebagaimana telah diketahui bahwa setiap tahunnya negara menanggung pembayaran beban utang baik pokok dan bunganya hampir mencapai 30 persen dari total APBN.5 Dengan melihat besarnya prosentase pembayaran bunga dalam anggaran

4

Nibra Hosen. Dampak Global Penerbitan Sukuk Pada Perkembangan Ekonomi Syariah. Artikel diakses pada tanggal 23 Maret 2009 dari

http://www.pkesinteraktif.com/sukuk dan persyaratan investor

5

Sigit Pramono, dkk. Obligasi Syariah (Sukuk) Untuk Pembiayaan Infrastruktur: Tantangan Dan Inisiatif Strategis. Artikel diases pada tanggal 16 November 2009 dari

(5)

APBN telah menjelaskan pada kita betapa beratnya terbebani utang luar negeri.

Penerbitan sukuk negara (SBSN) yang ditawarkan pada tahun 2008 ini diharapkan dapat mengakhiri ketergantungan pembiayaan dengan basis hutang yang menghasilkan beban bunga, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya di bidang pengembangan infrastruktur serta fasilitas umum yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat, seperti jalan raya, jembatan, pertamanan, gedung kantor, rumah sakit, dan sebagainya.

Sukuk memang diakui sebagai instrumen keuangan publik yang disarankan dalam ekonomi islam. Sukuk berperan besar dalam menyeimbangkan kekayaan yang terdapat dalam neraca keuangan pemerintah, otoritas moneter, perusahaan, bank dan lembaga keuangan serta berbagai bentuk entitas lain yang memobilisasi masyarakat.6 Keputusan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor B-273/DSN-MUI/VIII/2009 per tanggal 10 Agustus 2009 menjadi acuan bahwa sukuk telah memenuhi prinsip syariah.7

Sekalipun SBSN perdana yang dikeluarkan pada tanggal 26 Agustus 2008 belum mampu menarik minat investor asing, namun total permintaan oleh investor dalam negeri mencapai Rp.7,1 triliun atau oversubscribed

6

Khairunnisa Musari.“Sukuk Untuk Fiskal Sustainability”. Majalah Sharing, Edisi 35 Thn IV (November,2009): h. 22

7

(6)

sebesar 1,6 kali dengan target indikatif Rp.5 triliun dan pemerintah berhasil menerbitkan sukuk senilai Rp. 4,699 triliun.8 Hasil ini ditujukkan untuk membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek. Belum lagi penjualan Sukuk Ritel (SR) perdana pada tanggal 20 Februari 2008 yang penjualannya lebih dulu dari SBSN, telah mampu menyerap permintaan hingga Rp.5,556 triliun.

Suatu kesuksesan yang harus diakui bahwa Indonesia juga bisa mensiasati penerimaan negara tanpa bunga melalui penerbitan instrumen sukuk. Sekalipun telah menuai keberhasilan, namun dalam penerbitan sukuk ini mendapati kritikan tentang perlunya transparansi dari pemerintah dalam menjelaskan untuk kegunaan apa saja sukuk yang diterbitkan tersebut. Pakar Ekonomi Syariah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Agustianto MA, mengungkapkan bahwa pemerintah harus menjelaskan penggunaan dana sukuk, karena dana sukuk diperoleh dana investor dan masyarakat, maka penggunaannya harus lebih kepada sektor produktif.9

Konsep keuangan publik dalam islam adalah amanah yang harus diemban. Saat ini penggunaan dana sukuk memang digunakan untuk menutup defisit APBN, karena untuk menutupi defisit ini sehingga jika sudah masuk anggaran maka dana sukuk akan tercampur menjadi satu dengan dana-dana

8

“Seri IFR 001 dan 002: Belum Mampu Menarik Asing Dan Konvensional”. Majalah Sharing, Edisi 34 Thn IV (Oktober,2009): h.37

9

(7)

lain yang diperoleh diluar sukuk. Sehingga, peruntukkan dana sukuk itu tidak jelas alokasinya untuk menutupi defisit dibagian yang bisa dijelaskan secara detail.

Padahal, dalam Undang-Undang SBSN Bab III pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan penerbitan SBSN adalah untuk membiayai APBN yang termasuk juga membiayai pembangunan proyek.10 Pembangunan proyek disini dijelaskan dalam penjelasan UU SBSN yaitu membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN, termasuk didalamnya proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat.

Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian, memberikan gambaran apa dan bagaimana mekanisme pengelolaan dana sukuk yang dalam APBN, sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul “TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP ALOKASI DANA SUKUK DALAM APBN”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas dan keluar dari topik yang ingin dibahas, maka

10

(8)

dalam penulisan ini penulis memfokuskan dan merumuskan pembahasan penelitian ini dalam bentuk pertanyaan berikut:

1. Bagaimana mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN?

2. Apakah alokasi dana sukuk telah sesuai dengan prinsip ekonomi islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari adanya pembatasan dan perumusan masalah diatas, diharapkan penelitian ini mempunya tujuan yang bermanfaat untuk pribadi sediri atau untuk orang lain. Diantara tujuan yang diharapkan adalah:

a. Untuk mengetahui mekanisme pengelolaan dana sukuk dalam APBN sehingga mampu untuk membiayai kegiatan produktif secara maksimal.

b. Untuk mengetahui kesesuaian alokasi dana sukuk pada APBN menurut ekonomi islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang bisa ditimbulkan dari penelitian ini, penulis ingin agar penelitian ini bisa memberikan manfaat:

(9)

pada umumnya dalam memahami potensi penerbitan sukuk, pengelolaan dana sukuk dan alokasinya dalam APBN.

b. Sebagai khazanah ilmu pengetahuan untuk menambah referensi terkait pendanaan syariah melalui instrumen sukuk.

c. Menjadi masukan dan saran bagi para praktisi, akademisi dalam penelitian selanjutnya sehingga bisa menjadi perbandingan bagi penelitian yang lain.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, peneliti menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih dahulu membahas terkait dengan sukuk, diantaranya adalah:

1. Ani Khoironi, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

“Potensi Sukuk Bagi Pertumbuhan Investasi di Pasar Modal

(10)

Indonesia dan banyaknya permintaan dari pasar internasional khususnya Timur Tengah, sehingga memungkinkan prtumbuhan instrument sukuk berpengaruh bagi pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN.

2. Fadlyka Himmah Syahputera Harahap, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

“Kebijakan Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Sebagai

Instrument Pembiayaan Defisit APBN (Analisis Kebijakan Fiskal

Islam)”. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menerbitkan SBSN untuk pembiayaan defisit APBN dalam kebijakan fiskal islam dapat ditempuh ketika pendapatan negara dari pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, pendapatan dari pajak, infak, zakat dan derma sudah tidak dapat menutupi defisit APBN. Artinya penerbitan SBSN boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat saja. Hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa dana hasil SBSN diprioritaskan untuk mengadakan pembiayaan infrastruktur dan sarana umum yang diharapkan dapat memberikan penjaminan kebutuhan pokok masyarakat. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN.

(11)

“Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Sebagai

Alternative Pembiayaan Pembangunan Negara”. Penelitiannya

menggunakan studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Dari hasil penelitiannya menunjukkan tentang mekanisme penerbitan SBSN di Indonesia menggunakan akad ijarah dengan mekanisme sale and lease back dengan metode penjualan bookbuilding. Kemudian menjelaskan analisa SWOT dan strategi tentang penerbitan SBSN sebagai alternatif pembiayaan pembangunan di Indonesia. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana SBSN dalam APBN ditinjau dari ekonomi islam.

4. Amelia Febriani, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Skripsinya berjudul “Obligasi Syariah; Studi Analisis Fatwa DSN-MUI”.

(12)

E. Kerangka Teori

Jauh sebelum masyarakat mengenal istilah sukuk atau obligasi syariah, obligasi sudah banyak dikenal masyarakat sebagai instrument untuk menarik minat masyarakat untuk memberikan pendanaan bagi perusahaan atau negara demi menambah kebutuhan perluasan perkembangan proyek-proyek perusahaan atau negara.

Obligasi yang selama ini kita kenal adalah surat utang yang dikeluarkan oleh emiten (dapat berupa badan hukum/perusahaan atau pemerintah) yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka.11 Atau menurut Adrian Sutedi dalam bukunya Aspek Hukum Obligasi Dan Sukuk, yang dikutip dari Arthur J. Keown dalam karyanya Basic Financial Management, menyatakan bahwa obligasi adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh peminjam, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya.12

Sejalan dengan berkembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia dan pesatnya permintaan instrumen pendanaan syariah terutama investor asing dari Timur Tengah membuat negara ini tidak ingin ketinggalan

11

Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 83.

(13)

kesemapatan untuk mendapatkan dana segar dari negara penghasil minyak terbesar di dunia.

Dengan mengikuti perkembangan pasar investasi syariah, maka Indonesia membuat kebijakan untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) berbasis syariah yang kini dikenal dengan sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Mengingat obligasi yang selama ini dikenal adalah surat utang yang melahirkan bunga dalam pengembaliannya kepada investor.

Obligasi syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002, adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.13

Payung hukum mengenai Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk ini diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Meski sedikit tertinggal dari negara-negara lain, akan tetapi Indonesia dapat menarik minat investor asing untuk berinvestasi pada negara ini.

Dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud SBSN atau sukuk adalah surat berharga Negara yang diterbitkan

(14)

berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing.

Sedangkan Keuangan Negara adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran Negara beserta segala sebab dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.14

Dalam hal pengelolaan keuangan negara, sepenuhnya dikuasai oleh Presiden yang pada praktiknya dijalankan oleh Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara.15

Adanya teori dalam suatu penelitian untuk membantu dalam memberikan pengarahan pada penelitian. Dengan kata lain, agar penelitian lebih terarah dan terfokus pada teori-teori yang akan dimunculkan. Pada penelitian kali ini bahasannya terfokus pada alokasi dana sukuk dalam APBN.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Model penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara menelaah litaratur kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam

14

Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia. “Pengelolaan Keuangan Negara”. (Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2009), h. 18

15

(15)

bentuk desain deskriptif dan metode pengumpulan data dengan cara observasi. Penelitian deskriptif ini merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan.16

2. Jenis Data

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan jenis data kualitatif yang menghasilkan data deskrptif berupa kata-kata tertulis dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi.17 Prosedur analisis kualitatif tidak menggunakan analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya, kalaupun ada hal itu hanya sebagai pendukung dan menguatkan argumentasi dalam penelitian. Adapun jenis data yang digunakan adalah:

a. Data primer

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer yang didapat dari hasil wawancara dengan pihak yang berkompeten mengetahui secara teknis tentang mekanisme pengelolaan dana sukuk dalam APBN.

16

Consuelo G Sevilla, dkk. Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h.71

17

(16)

b. Data sekunder

Yang didapat dari literatur kepustakaan seperti buku-buku, majalah, artikel atau karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dijalankan penulis.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena model penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara:

a. Penelitian Kepustakaan (library research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari dan memahami data atau bahan yang diperoleh dari berbagai literature, serta mencatat teori-teori yang didapat dari buku-buku, majalah, artkel, atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.

b. Penelitian Lapangan (field research)

(17)

4. Teknik analisan data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data-data menjadi kata-kata tertulis dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi yang diperoleh melalui penelitian lapangan.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori dan metode penelitian.

(18)

tentang sukuk yang meliputi defisinsi dan konsep dasar sukuk, jenis-jenis sukuk dan perbedannya dengan obligasi konvensional, dan tinjauan fatwa dewan syariah nasional.

BAB III Tinjauan umum mekanisme pelaksanaan keuangan Negara dan implimentasi sukuk dalam membiayai APBN, pada bab ini akan membahas tentang sumber penerimaa Negara dalam APBN yang meliputi keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara, dan sumber-sumber penerimaan negara. Instrument pembiayaan APBN, pengelolaan keuangan negara yang meliputi pengelolaan kas umum negara dan asas umum pengelolaan keuangan negara, implimentasi penerbitan sukuk dalam APBN, potensi dana sukuk untuk membiayai APBN dan prospek sukuk dalam membiayai APBN.

BAB IV Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penggunaan Dana Sukuk Dalam APBN. Pada bab ini akan menjawab semua perumusan masalah yang ada di bab I dan akan membahas tentang mekanisme pengelolaan dana sukuk dalam APBN, serta tinjauan ekonomi islam terhadap alokasi dana sukuk dalam APBN.

(19)

BAB II

MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM EKONOMI

ISLAM DAN TINJAUAN UMUM SUKUK

A.Pengertian Keuangan Negara Dalam Ekonomi Islam

Keuangan Publik yang kini berkembang menjadi sebuah disiplin tersendiri dalam ilmu ekonomi modern pada dasarnya dipahami sebagai studi tentang perpajakan dan kebijakan pengeluaran belanja pemerintah, meliputi barang-barang publik, analisis untung rugi, transfer, beban pajak, keadilan distributif, dan kesejahteraan.

Dalam teori klasik, kebijakan fiskal bisaanya didasarkan pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memicu tarip pada subsidi asing. Keuangan publik meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat, baik yang dikeloa secara individual, kolektif ataupun oleh pemerintah.18

Kebijakan pengelolaan keuangan publik juga dikenal dengan kebijakan fiskal, yaitu suatu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliharaan, pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik dan pemerintahan. Kebijakan fiskal meliputi

18

(20)

kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang.19 Kebijakan fiskal adalah salah satu bagian dari instrumen ekonomi publik yang juga merupakan kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan dan belanja suatu negara (APBN).

Peranan kebijakan fiskal dalam suatu ekonomi ditentukan oleh keterlibatan pemerintah dalam aktivitas ekonomi, khususnya yang kembali ditentukan oleh tujuan sosio ekonominya, komitmen ideologi, dan hakikat sistem ekonomi.

Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan. Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang di definisikan sebagai adanya

benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia. Fiskal terutama ditujukkan untuk mencapai alokasi sumber daya yang efisien, stabilisasi ekonomi, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.20

Kebijakan fiskal dan keuangan mendapat perhatian serius dalam tata perekonomian islam sejak awal. Dalam Negara islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang

19

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya Dengan Ekonomi Kekinian. (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)- STIS Yogyakarta. 2003). h.202 .

20

(21)

dijelaskan Imam al Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan.21

Kebijakan fiskal pada Negara pada dasarnya dapat dilihat melalui variable anggaran Negara. Dari variabel ini terlihat bagaimana negara mengatur arus dana yang ada dalam pemerintahan, dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu melaksanakan program-program pembangunan, baik yang bersifat abstrak seperti pembangunan moral, maupun yang bersifat fisik atau materi seperti pembangunan ekonomi.22

Beberapa instrument pembiayaan bagi program pembangunan ekonomi yang juga sebagai variable penerimaan dana bagi negara dalam islam diantaranya adalah seperti zakat, kharaj, jizyah, khums, ushur, ghaminah, fay’, atau nawaib (pajak khusus). Penerimaan Negara yang bersifat regulasi atau ketentuan yang mengikat warga Negara tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, serta ada yang bersifat sukarela.

Pada masa Rasulullah digambarkan bahwa Negara islam yang di pimpin Rasulullah lebih banyak mengandalkan penerimaan Negara yang bersifat sukarela untuk program pembangunan ekonomi, sosial atau bahkan

21

Ibid

22

(22)

pertahanan Negara. Penerimaan Negara yang bersifat sukarela tersebut seperti infak, shadaqah dan wakaf.23

B.Sumber Keuangan Negara Dalam Islam

Dalam tata keuangan Negara terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menghimpun dana dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) guna menjalankan pemerintahan diantaranya adalah:24

1. Melakukan bisnis, misalnya mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari perusahaan Negara ini dharapkan akan memberikan keuntungan yang dapat menjadi sumber pemasukan kas Negara.

2. Melakukan pemungutan pajak kepada masyarakat. Dalam teori keijakan fiskal konvensional pajak menjadi sumber utama pendapatan negara.25 3. Meminjam uang, atau dengan kata lain dengan jalan berutang.

Jika pada tata keuangan Negara saat ini penerimaannya diperoleh dari sumber-sumber diatas, maka dalam islam pos penerimaan Negara mengenal adanya zakat, yang merupakan sistem dan instrument yang orisinil dari sistem ekonomi islam. Yang bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan

23

Ibid.

24

Adiwarman A Karim, Ekonomi Makro Islam. Edisi Kedua. (PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 257

(23)

masyarkat yang membutuhkan.26 Sumber penerimaan lain selain zakat adalah kharaj, jizyah, ‘usyur, ghanimah, khums, fay’, nawaib (pajak khsusu) dan lain-lain.

Jika dilihat dari ketentuan syariat yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits tentang pengelolaan dana dari berbagai penerimaan seperti zakat, kharaj, jizyah, ‘usyur, fay’, atau pajak khusus serta penerimaan lain yang bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah, dan wakaf, maka akan terlihat bahwa kebijakan belanja publik islam memiliki karakteristik yang khas. Yang lebih menonjol dari karakteristik ini adalah bagaimana pemerintah dapat membelanjakan dananya bagi masyarakat tak mampu, dikarenakan setiap penerimaan memiliki perpedaan peruntukkan.

Rasulullah yang merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru dibidang keuangan negara, mengatur semua hasil penghimpunan kekayaan negara itu harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Masjid Nabawi adalah tempat yang digunakan Rasulullah untuk pengumpulan dana tersebut. Dari pemasukkan negara yang sedikit inilah dalam Rasulullah mendistribusikannya kepada seluruh rakyat.

(24)

Tabel 2.1: Kebijakan Belanja Publik27

POS PENERIMAAN

POS PENGELUARAN/ALOKASI

Zakat Fakir, Miskin, Ibnusabil, Fisabilillah, Gharimin, Budak, Muallaf, Amil

Fay’ Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak Yatim, Miskin, Ibnusabil

Khums (1/5 Ghanimah)

Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak Yatim, Miskin, Ibnusabil

Kharaj Tergantung prioritas Negara

Jizyah Tergantung prioritas Negara

Ushur Tergantung prioritas Negara

Hibah-Hadiah Tergantung prioritas Negara

Infak-Shadaqah

Tergantung prioritas Negara

Wakaf Tergantung akad & needy people

Pajak Seluruh Masyarakat

4/5 Ghanimah Mujahidin (tentara)

Abu Yusuf mengklasifikasikan penerimaan Negara dalam tiga kategori utama yaitu: (i) ganimah, (ii) shadaqah, (iii) harta fay’ yang di dalamnya termasuk jizyah, ‘usyur dan kharaj.

Menurut Abu Yusuf prinsip-prinsip umum keuangan publik sebagai salah satu aktivitas ekonomi yag penting bagi negara telah dibahasa dalam Al

27

(25)

Qur’an. Walaupun tidak dijelaskan secara terperinci mengenai kebijakan fiskal, akan tetapi ada beberapa pelajaran dan petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pedoman.

Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan, akan tetapi Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai suatu amanah dari Tuhan yang akan diminta pertanggungjawaban. Oleh karena itu, efisinsi dalam penggunaan sumber daya merupakan suatu hal penting bagi keberlangsungan pemerintahan.28

Pernyataan yang hampir sama dengan Abu Yusuf juga disampaikan pada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah menyimpulkan sumber-sumber penerimaan keuangan negara sesuai syariah, dalam tiga ketentuan pokok, yaitu ghanimah, shadaqah, dan fay’. Dalam mengklisifikasikan seluruh sumber penerimaan ia mempertimbangkan asal-usul dari penerimaan yang dihimpun dari berbagai sumber dan kebutuhan anggaran pengeluarannya, termasuk seluruh sumber pendapatan diluar ghanimah dan zakat, dibawah nama fay’.29

Klasifikasi seperti ini menurut Abu Yusuf adalah mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber pendapatan Negara tersebut. Melakukan

28

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: Granada Press. 2007), h. 71

29

(26)

klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendaptan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur sama sekali.

Ibnu Taimiyah membedakan antara ghanimah dan fay’, menurutnya seluruh penerimaan selain ghanimah dan zakat bisa masuk kategori fay’. Karena istilah fay’ pertama kali digunakan untuk:30

1. Jizyah yang dikenakan pada orang Yahudi dan Nasrani. 2. Upeti yang dibayar oleh musuh.

3. Hadiah yang dipersembahkan kepada kepala Negara.

4. Bea cukai atau pajak tol yang dikenakan pada pedagang dari negeri musuh.

5. Benda berupa uang. 6. Kharaj.

7. Harta benda tak bertuan.

8. Harta benda yang tak memiliki ahli waris.

9. Simpanan, atau utang atau barang rampasan yang pemilik sebenarnya tak diketahui lagi dan karena itu tak bisa dikembalikan.

10. Berbagai sumber pandapatan lain.

30

(27)

C.Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Islam

1. Kebijakan Pendapatan Negara

Diantara beberapa variable instrument penerimaan, ada penerimaan Negara yang bersifat regulasi atau ketentuan yang mengikat warga Negara dengan tujuan tertentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, serta ada yang bersifat sukarela. Pada masa Rasulullah, penerimaan Negara banyak mengandalkan dari penerimaan yang bersifat sukarela dan digunakan untuk program pembangunan ekonomi, sosial atau bahkan pertahanan Negara. Penerimaan yang bersifat sukarela itu seperti infaq, shadaqah, dan wakaf.

Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah melalui zakat, ghanimah, fay, jizyah, kharaj, shadaqah dan beberapa penerimaan lain. Jika di klasifikasikan maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti ghanimah, fay’ dan harta yang tidak ada perwarisnya.31

Klasifikasi seperti ini menurut Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj, adalah mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber pendapatan negara tersebut. Melakukan klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendapatan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur.

Secara umum, ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada 3 prosedur yang

31

(28)

harus dilakukan pemerintah dalam kebijakan pendapatannya fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).32

1. Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat.

Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan syarat, kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan basaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap relita modern. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan para sahabat telah member contoh mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menangguhkan zakat pamannya Abbas karena krisis yang dihadapinya, sementara sayyidina Umar menengguhkan zakat Mesir karena paceklik yang melanda Mesir pada tahun tersebut. selain fleksibilatas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai.

2. Kaidah syari’iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah.

Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat dibagi dalam dua kategori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum,

32

(29)

yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika aset tersebut dilkelola individu masyarakat maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil yang dihasilkan oleh aset tersebut dengan berpedoman kepada kaidah umum yaitu maslahah dan keadilan; (b) berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki api, air, garam dan semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah kodern adalah sarana-sarana umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

3. Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak.

Prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa (undang-undang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit apapun kehidupan Rasulullah saw. Di madinah beliau tak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satu-satunya sektor pendapatan terpenting dan terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan pada publiks goods dan mempunyai tujuan sebagai alat redistribusi, penstabilan dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Seandainya pungutan pajak itu diperbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang-orang yang mampu dan untuk pembiayaan yang sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.

(30)

2. Kebijakan Pengeluaran dan Belanja Negara

Seperti yang telah dijelaskan bahwa instrument–instrument fiskal Islam memiliki karakteristik yang yang cukup khas, berbeda dengan pajak konvensional. Instrumen fiskal Islam terkait dengan penggunaan atau pemanfaatan dan fungsi Negara yang telah ditetapkan secara syariat.33

Abu Yusuf dalam kitab al Kharaj sangat mengutamakan akan tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak, serta kewajiban penguasa untuk menghargai keuangan publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.

Dalam analisanya Abu Yusuf menerangkan seputar keuangan Negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran negara sesuai dengan syariat islam yang dilakukan untuk mencegah kezaliman pada masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga kebijakan yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada pencapaian target penerimaan Negara, tapi juga pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Dalam analisanya permasalahan-permasalahan fiskal, Beliau menganjurkan beberapa kebijakan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(31)

Kontribusi yang lain adalah dengan menunjukkan keunggulan pajak proporsional (muqasamah) menggantikan sistem pajak tetap pada tanah. Beliau juga menekankan pentingnya pengawasan pada petugas pengumpul pajak untuk mencegah korupsi dan menghilangkan penindasan. Dalam penggunaan dana publik, beliau mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktivitas dalam meningkatkan pendapatan negara.34

Abu Yusuf menyatakan bahwa negara boleh menggunakan anggaran belanjanya untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur yang sangat berguna bagi rakyat dan memiliki nilai tambah (value added) dikaitkan dengan perolehan pajak. Menurutnya, sesungguhnya sekalipun proyek ini dalam bidang infrastruktur pembangunan, namun memiliki nilai investasi yang tinggi karena tidak saja akan meningkatkan penghasilan nasional tapi juga akan meningkatkan pendapatan negara.35

Infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian dan porsi besar. Pada zaman Rasulullah SAW pembangunan infastruktur berupa pembangunan sumur umum, pos, jalan raya , dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini diikuti oleh para sahabat, bahkan Khlifah Umar bin Khattab r.a menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk

34

Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Edisi Revisi. (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 118-119

35

(32)

membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluaran untuk pembangunan infratruktur.36

Titik paling mendasar pada dari prinsip yang ditekankan Ibnu Timiyah adalah penerimaan publik harus dijamin oleh pemegang otoritas dan menggunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan publik menurut petunjuk Allah. Dia menyatakan bahwa keadilan harus dipelihara diantara penduduk dalam kaitannya dengan masalah keuangan.37

Pokok pengeluaran dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut: (a) orang-orang miskin dan orang-orang melarat, (b) untuk meningkatkan kemampuan pasukan selalu siap melaksanakan jihad dan pertahanan keamanan, (c) memelihara hukum dan tatanan dalam negeri, (d) pension dan gaji pejabat, (e) pendidikan, (f) pengembangan infrastruktur, (g) kesejahteraan umum.38

Konsep Maqashid yang dikemukakan oleh al-Syatibi dapat dijadikan rujukan untuk penentuan prioritas pengeluaran, bahwa tujuan syariat adalah memelihara kemaslahatan umat menusia dan kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila 5 unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. dalam kerangaka ini

3 6 Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 247 3 7 A. A Silalahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 272

38

(33)

ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajjiyat, dan

tahsiniyat.39

Efisiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah syar’iyah dan penentuan skala prioritas. Menurut Chapra, komitmen terhadap nilai-nilai Islam dan maqashid harus dilakukan. Maqashid akan membantu terutama mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah dengan memberikan kriteria untuk membangun prioritas.

Maqashid dapat diperkokoh dengan sandaran kepada enam prinsip dalam hal pengeluaran yang dikemukakan Umar Chapra diantaranya:40

1. Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran harus diperuntukkan bagi kesejahteraaan rakyat.

2. Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada penyediaaan kenyamanan.

3. Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan mayoritas yang lebih sempit.

4. Suatu pengorbanan atau kerugian privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan korban atau kerugian publik, dan suatu pengorbanan atau

39

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 382

40

(34)

kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil.

5. Siapa saja yang menerima manfaat harus bayar ongkos.

6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sesuatu itu wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah ini memiliki bobot yang sangat penting pada perpajakan dan pengeluaran pemerintah di negara-negara muslim.

Dalam islam, dalam pos pengeluaran Negara, tentu saja sangat dipengaruhi oleh fungsi negara itu sendiri. Pos pengeluaran negara dapat terdiri dari pos kesejahteraan sosial, pendidikan dan penelitian, infrastruktur, pertahanan, dan kemananan, dakwah dan penyebaran fikrah islam.

Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam anggaran negara islam, bahwa islam memiliki karakteristik yang khas pada pos penerimaan dan pengeluaran negara. Khususnya pengeluaran negara, karakteristik dalam membiayai pembangunan negara itu terbagi menjadi dua, yaitu pos pengeluaran yang terikat, dan yang tidak terikat. Maksud pengeluaran terikat adalah dimana pengeluaran dari instrument penerimaan tertentu menghedaki penggunaan akumulasi dananya hanya dikhususkan pada objek penerimaan tertentu misalnya zakat, khums, dan wakaf.

(35)

diambil dari devisa negara yaitu jizyah, kharaj, dan ‘ushur. Pembiayaan atas kemaslahatan umum mencakup seluruh pembiayaan atas perangkat kenegaraan dan pemberian pelayanan untuk kemaslahatan rakyat.41

D. Sukuk

1. Definisi dan Konsep Dasar Sukuk

Hasil keputusan majelis Majma al-Fiqh al-Islami yang diselenggarakan di Jeddah Saudi Arabia, menetapkan bahwa: obligasi yang mencerminkan kewajiban membayar harganya disertai bunga yang dinisbahkan kepada harga tersebut atau disertai manfaat yang disyaratkan adalah haram secara syar’i, baik pengeluaran, pembelian ataupun pengedarannya.42

Awalnya di Indonesia, konsep obligasi syariah bukan lagi di definisikan sebagai surat utang, tetapi surat berharga. Belakangan istilah obligasi syariah tidak disenangi oleh regulator mengingat kata obligasi pada dasarnya merupakan utang-piutang jangka panjang yang didalamnya terdapat imbal hasil berupa bunga. Sehingga kata obligasi syariah ini dirubah penyebutannya menjadi sukuk.43

41

Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 128

42 D r.

Muhammad Firdaus NH. (Tim Penyunting), Konsep Dasar Obligasi Syariah. (Jakarta: Renaisan, 2005), h.26.

43

(36)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara:

“Surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,

sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata

uang rupiah maupun valuta asing” .

Secara singkat AAOIFI44 mendefinisikan sukuk sebagai sertifikasi bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.45

Dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional, No. 32/DSN-MUI/IX/2002 bahwa definisi dari obligasi syariah adalah: “Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.46

4 4 AAOIFI (The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) merupakan lembaga nirlaba internasional yang bertujuan menyusun dan menyiapkan standarisasi di bidang keuangan sysari’ah, khususnya terkait dengan masalah akuntansi, auditing, governance, ethics dan kesesuaian prinsip syari’ah atas produk-produk keuangan syari’ah.

4 5

Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Departemen Keuangan. “Mengenal Sukuk Instruemen Investasi & Pembiayaan Berbasis Syariah” (Jakarta: Departemen Keuangan, 2008), hal. 1

46

(37)

Kata sukuk sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu shakk (ﻚﺻ),

sukuk berarti jamak dari shakk, yang artinya “check”. Alat ini pada jaman dahulu bisaa digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim, juga pada perbankan kontemporer.47

Dengan kata lain yang lebih sederhana, sukuk adalah surat berharga jangka panjang yang dikeluarkan oleh lembaga corporate atau pemerintah guna mendapatkan pendanaan atas proyek-proyek tertentu yang di biayai. Surat tersebut diterbitkan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah sehingga terhindar dari hal-hal yang diharamkan syariah dalam bermuamalah. Seperti mengandung unsur riba, gharar, maisir dan lain-lain.

Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar sukuk, maka perlu dipahami pula konsep dasar dari obligasi konvensional. Jika konsep dasar obligasi konvensional adalah adanya hak mendapatkan bunga oleh investor dari penerbit obligasi yang telah disepakati sebelumnya, dan janji untuk mengembalikan sejumlah pokok utang pada jangka waktu tertentu. Dikatakan utang karena adanya kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang investor. Maka pada konsep dasar sukuk tidak jauh berbeda dengan konsep dasar obligasi konvensional, hanya saja perbedaan yang sangat dasar adalah tidak adanya bunga yang diperoleh investor atas obligasi.

47

(38)

Prinsip syariah tidak mengenal adanya utang, tetapi mengenal adanya kewajiban untuk mengembalikan pokok uang yang didapat emiten hasil dari transaksi pembiayaan pada saat jatuh tempo, dan sesuai dengan definisi dari sukuk itu sendiri yaitu investor berhak atas pendapatan emiten berupa bagi hasil/margin/fee. Rekonstruksi terhadap obligasi dilakukan agar sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, diantaranya:

1. Penghapusan bunga yang tetap dan mengalihkannya kesurat investasi yang ikut serta dalam keuntungan dan dalam kerugian serta tunduk pada kaidah al gaunm bi al ghurm, yaitu keuntungan/penghasilan itu berimbang dengan kerugian yang ditanggungnya.

2. Penghapusan syarat jaminan atas kembalinya harga obligasi dan bunganya sehingga menjadi saham bisaa.

3. Pengalihan obligasi ke saham bisaa.

Obligasi syariah tersebut dapat diterbitkan oleh emiten dengan pembatasan tidak boleh dipergunakan untuk refinancing utang emiten, tetapi hanya diperbolehkan sebagai modal kerja emiten saja, disamping itu emiten juga harus menjamin bahwa pendapatan yang dibagihasilkan dengan para pemegang obligasi harus bersih dari unsur non-halal, adapun maksud dari non-halal adalah sesuai dengan Fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksandana Syariah.48

48

(39)

Sehingga akan terlihat konsep dasarnya bahwa obligasi konvensional terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan diawal transaksi, sedangkan pada obligasi syariah yang ditentukan adalah besaranya porsi pembagian hasil apabila emiten mendapatkan keuntungan dimasa yang akan datang. Akan tetapi hal ini sesuai dengan akad obligasi yang dikeluarkan emiten, dalam artian bahwa pemegang obligasi tidak selalu mendapatkan imbalan berupa bagi hasil, akan tetapi bisa berupa margin atau fee sesuai dengan akad dalam obligasi yang digunakan yang mana semua itu akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

2. Jenis-Jenis Sukuk dan Perbedaannya Dengan Obligasi Konvensional

a. Jenis-Jenis Sukuk

1) Sukuk Mudharabah

Mudharabah49 adalah akad yang telah dikenal sejak jaman Rasulullah bahkan sebelum itu. Praktik mudharabah ini adalah termasuk akad yang digunakan Rasulullah dalam berdagang50 pada saat ia membawa barang dagang Khadijah ke Syam untuk di

49

Mudharabah disebut juga Qiradh atau Muqaridh. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan isrilah Qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz.

50

(40)

perdagangkan. Dengan demikian, jika di tinjau dari segi hukum islam maka praktik mudharabah ini dibolehkan.51

Sedangkan pengertian mudharabah itu sendiri secara bahasa adalah akad kerjasama antara dua orang atau lebih dimana seorang diantara mereka memiliki modal dan yang lain adalah yang mengelola modal yang ada.52

Ikatan yang terdapat dalam akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta hanya menyediakan dana secara penuh dalam suatu kegiatan usaha dan tidak berwenang untuk turut campur daam kegiatan usaha tersebut selain hanya melakukan kontrol. Sedangkan pemilik usaha adalah yang mengelola harta dalam usahanya secara mandiri. Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya dipasar perdana.

Adapun ketentuan atau mekanisme obligasi syariah mudharabah adalah:53

1. Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwalimatan.

51

Adiwarman A Karim, SE. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 204

52

Nasrun Harun, MA. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 175

53

(41)

2. Rasio atau persentase nisbah bagi hasil dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing). Namun berdasarkan Fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 bahwa yang lebih maslahat adalah penggunaan revenue sharing.

3. Nibah bagi hasil dapat ditetapkan secara konstan, meningkat, ataupun menurun dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan diawal kontrak. 4. Pendapatan bagi hasil merupakan jumlah pendapatan yang

dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obliges syariah. Bagi hasil yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.

5. Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan dapat dilakukan scara periodik (tahunan, semesteran, kwartalan, maupun bulanan).

(42)

Jika merujuk pada Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, jelas bahwa obligasi syariah mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah diketahui dengan jelas. Juga penerapan sistem mudharabah pada obligasi yang cukup sederhana. Membuat obligasi mudharabah termasuk jenis obligasi yang banyak diminati investor.

Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan struktur obligasi mudharabah, diantaranya:54

1. Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relative panjang.

2. Obligasi syariah mudharabah dapat dipergunakan untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja atatupun capital expenditure.

3. Mudharabah merupakan campuran kerjasama antara modal dan jasa (kegiatan usaha), sehingga membuat strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas asset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas asset yang didanai.

54

(43)

4. Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur mudharabah dan bai’ bi’tsaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.

Gambar 2.1 Contoh Skema Sukuk Mudharabah

Modal Keterampilan

Nisabah Nisbah

Pengembalian Modal Pokok

Investor/ Pemodal

(Shohibul Mal) Penerbit Emiten/

Bagi Hasil Pendapatan

Modal Kegiatan Usaha

1) Sukuk Istishna55

Istisna adalah perjanjian kontrak untuk barang-barang industri yang memperbolehkan pembayaran tunai dan pengiriman di masa depan atau pembayaran di masa depan dan pengiriman di masa depan dari barang-barang yang dibuat berdasarkan kontrak tertentu. Hal ini dapat digunakan untuk menghasikan fasilitas pembiayaan pembuatan atau pembangunan rumah, pabrik, proyek, jembatan, jalan, dan jalan tol.

55

Prof. Dr H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum. “Obligasi Syariah” . Artikel di akses pada tanggal 24 April 2010 dari

(44)

2) Sukuk Musyarakah

Yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian akad Musyarakah dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan ataupun kerugian yang timbul ditanggung bersama dengan jumlah partisipasi modal masing-masing.

3) Sukuk Ijarah

Sukuk ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Sedikitnya, ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan.

Sukuk ijarah merupakan sekuritas yang mewakili kepemilikan asset yang keberadaannya jelas dan diketahui, yang melekat pada suatu kontrak sewa beli (leas), sewa dimana pembayaran return pada pemegang sukuk.

(45)

1. Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang tidak bergerak, bergerak, maupun harta perdagangan) dan juga dapat berupa jasa.

2. Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.

3. Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.

4. Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah.

5. Pemakai manfaat (penyewa) haruslah pemilik mutlak.

Secara teknis sukuk ijarah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu56 :

1. Investor dapat bertindak sebagai penyewa (mustajir), sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor dan

Property Owner dapat bertindak sebagai orang yang

menyewakan (mu’jir).

2. Selanjutnya setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali obyek sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka

56

(46)

terbitlah surat berharga jangka panjang (obligasi syari’ah

ijarah), di mana emiten wajib membayar pendapatan kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana saat jatuh tempo.

Gambar 2.2 Contoh Mekanisme Penerbitan Sukuk Al Ijarah Muntahiya

Bittamlik (Sale and Leaseback)

Purchase and sales (2) Purchase (4) Perjanjian sewa

Undertaking Agreement (Ijarah)

(1) pembetukan

SPV

(5) Servicing Agent

Agrement

(3) penerbitan sukuk

Pemerintah (Obligor/Penjual)

SPV (Penerbit/Lessor)

Pemegang Sukuk (Investor)

1) SPV dibentuk untuk penerbitan sukuk

2) SPV melakukan perjanjian pembelian dengan pemerintah (obligor) untuk membeli aset tertentu seperti tanah, bangunan dan lain-lain (Aet SBSN). Dalam waktu yang sama pemerintah membuat Purchase Undertaking dimana pemerintah menjamin untuk membeli kembali Aset SBSN dari SPV pada saat akhir periode sewa atau apabila terjadi default.

3) SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian Aset Pool.

(47)

5) SPV melakukan perjanjian keagenan (Serving agency agreement) dengan pemerintah dimana pemerintah ditunjuk sebagai agen yang antara lain bertanggung jawab untuk melakukan perawatan dan perbaikan serta penyediaan asuransi terhadap aset SBSN.

Gambar 2.3 Pembayaran Imbalan

1) Obligor membayar sewa (Imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa. Imbalan dapat bersifat tetap (fixed rate) ataupun mengambang (floating rate).

2) SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada investor.

Gambar 2.4 Saat Jatuh Tempo

1 2

SPV Pemegang Sukuk

(Investor) Pemerintah

(Obligor)

1) Penjualan kembali aset oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo.

2) Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

b. Perbedaan Obligasi Syariah (Sukuk) Dengan Obligasi

Konvensional

Ada banyak sisi yang membedakan antara sukuk dengan obligasi konvensional:57

57

Departemen Keuangan Republik Indonesia, “Tanya Jawab Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan Berbasis Syar’ah”. (Jakarta: Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syari’ah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen

(48)

1. Sukuk merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title) dari suatu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, sedangkan obligasi merupakan instrumen utang;

2. Penerbitan sukuk memerlukan adanya underlying transaction

sebagai dasar penerbitan, sedangkan obligasi tidak memerlukan;

3. Penghasilan yang diberikan sukuk bukan berupa bunga melainkan berupa imbalan/sewa, bagi hasil atau margin, sedangkan penghasilan obligasi berupa bunga yang merupakan harga dari uang;

4. Penerbitan sukuk pada umumnya memerlukan SPV sebagai penerbit, sedangkan obligasi diterbitkan secara langsung oleh

obligor;

5. Sukuk merupakan instrumen penyertaan sementara obligasi adalah instrumen utang;

6. Penerbitan sukuk memerlukan adanya akad dan dokumen syariah, sedangkan penerbitan obligasi hanya memerlukan dokumen pasar modal;

(49)

digunakan secara bebas tanpa memperhatikan ketentuan syariah.

Tabel 2.2: Perbandingan Sukuk dan Obigasi Konvensional58

Deskripsi Sukuk Negra/SBSN Surat Utang Negara

Prinsip dasar Surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian

penyertaan terhadap Aset SBSN

surat berharga yang merupakan surat pengakuan utang yang diterbitkan dalam periode tertentu, dengan tujuan untuk meningkatkan modal melalui pinjaman tanpa harus

menjaminkan suatu aset

Underlying Asset Harus Ada Tidak

Fatwa/Opini

Syariah

Harus Ada Tidak

Penggunaa Dana ƒ Dana hasil penjualan SBSN harus

Return Imbalan, bagi hasil,

margin

Bunga, capital gain

58

(50)

Secara prinsipil, sukuk dengan obligasi konvensional tidak jauh berbeda dengan kebanyakan bisnis syariah lainnya, diantara pebedaan tersebut adalah:59

1. Dari sisi orientasi, obligasi konvensional hanya memperhitungkan keuntungan semata. Tidak demikian bagi sukuk, disamping memperhatikan keuntungan juga harus memperhatikan sisi halal-maram, dalam artian harus benar-benar sesuai dengan prinsip syariah;

2. Obligasi konvensional, keuntungannya didapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan sukuk keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee ataupun bagi hasil yang didasarkan pada asset dan produksi;

3. Pada setiap transaksi sukuk, ditetapkan akadnya. Baik itu mudharabah, ijarah, musyarakah, salam atau istishna. Hal ini untuk menyesuaikan return yang akan diberikan emiten kepada investor.

3. Tinjauan Fatwa Dewan Syariah Nasional Mengenai Obligasi Syariah

Salah satu kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN). Seiring

59

(51)

dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengembangkan pasar keuangan syariah di Indonesia, maka pemerintah berupaya meluncurkan instrumen investasi dan pembiayaan yang berbasis syariah, yaitu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang dikenal dengan sukuk negara.

Banyak perjuangan pemerintah untuk menerbitkan SBSN karena harus benar-benar terjaga dari unsur yang mengharamkannya atau yang membuatnya terlihat tidak syariah. Akan tetapi, dengan usaha dan kerja keras pemerintah selama ini dalam menyediakan landasan hukum bagi penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maka pada tanggal 7 Mei 2008 disahkan lah Undang-Undang No 19 Tahun 2008 tentang SBSN, sehingga mampu menyediakan basis serta koridor hukum bagi pengelolaan dan penerbitan SBSN secara hati-hati, transparan, dan akuntabel, serta memberikan kepastian hukum bagi investor.

Hal ini pun didukung dengan di fatwakannya obligasi syariah yang dalam istilah Negara disebut sukuk Negara oleh Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa:

1. No 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;

2. No 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; 3. No 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

(52)

Dengan adanya Fatwa yang memayungi keabsahan sukuk, maka investor tidak perlu ragu untuk berinvestasi pada sukuk karena MUI sudah menyatakan kehalalan sukuk.

Ketua DSN-MUI, Ma’ruf Amin menyatakan bahwa tidak ada unsur-unsur yang dilanggar dalam penerbitan sukuk, kecuali jika ada pihak yang menyatakan bahwa sukuk melanggar syariat maka itu akan di diskusikan lebih lanjut.60 Terlebih ada 4 Fatwa yang dikeluarkan MUI terkait penerbitan sukuk. Diantara 4 Fatwa tersebut adalah:61

1. Sukuk Negara diterbtkan atas bukti bagian kepemilikan asset. Asset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN atau barang milik Negara yang memiliki nilai ekonomis. Akad-akad yang dapat digunakan ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna dan beberapa akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian perselisihan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan sesuai dengan prinsip syariah.

2. Sale and lease back, hukumnya boleh akad yang digunakan adalah Ba’i dan ijarah yang dilaksanaan secara terpisah. Sale and lease back

adalah jual beli suatu asset untuk kemudian pembeli menyewakan kembali asset kepada penjual yang dapat disesuaikan dengan syariah.

60

Redaksi Sinar Baru, “MUI: Investasi Sukuk Halal”, Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2010 dari http://hariansib.com/?p=36039

61

(53)

3. SBSN ijarah sale and lease back penyebutannya yang dibutuhkan secara spesifik mengantisipasi dikeluarkannya SBSN ijarah head lease

dan sub lease yang banyak menggunakan dasar fatwa DSN No 41. Akad yang digunakan adalah Ba’i dan ijarah yang dilaksanakan secara terpisah dimana pembeli berjanji untuk menjual kembali asset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.

(54)

BAB III

TINJAUAN UMUM MEKANISME PELAKSANAAN KEUANGAN NEGARA

DAN IMPLIMENTASI DANA SUKUK DALAM APBN

A. Sumber Penerimaan Negara Dalam APBN

1. Pengertian Keuangan Negara

Pemahaman terhadap hukum keuangan Negara harus dimulai dengan terlebih dahulu mengetahui pengertian keuangan Negara terhadap cukup banyak variasi pengertian keuangan Negara, tergantung dari aksentuasi terhadap suatu pokok persoalan dalam pemberian definisi dari para ahli dibidang keuangan negara.

Secara umum keuangan Negara diartikan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pemerimaan dan pembayaran uang. Oleh karena itu, keuangan sering diartikan sebagai suatu sistem mengenai penerimaan dan pengeluaran uang. Bertolak dari pengertian ini, maka yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hal yang bertalian dengan masalah penermaan dan pengeluaran dari suatu Negara.62

Menurut M Ichwan:63 keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata

62

Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber daya Manusia. Pengelolaan Keuangan Negara. (Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2009), h. 4

63

(55)

uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang.

Sedangkan menurut Menurut Gheodart:64 keuangan negara merupakan keseluruhan Undang-Undang yang ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara menurut Gheodart meliputi:

a. Periodik,

b. Pemerintah sebagai pelaksana anggaran,

c. Pelaksanaan anggaran mencangkup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan, dan

d. Bentuk anggaran Negara adalah berupa suatu undang-undang.

Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 3003 Tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa keuangan Negara

“Adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang,

serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat

dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.

64

(56)

Dalam penjelasan atas UU No. 17 Tahun 2003 tersebut, ada 4 pendekatan yang digunakan untuk merumuskan Keuangan Negara:

1. Pendekatan Obyektif. Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, yang meliputi subbidang pengelolaam kekayaan negara yang dipisahkan. 2. Pendekatan subjektif. Keuangan negara meliputi seluruh obyek

sebagaimana yang tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

3. Pendekatan proses. Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut diatas. Mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

4. Pendekatan tujuan. Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

(57)

dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.

Pembahasan lebih lanjut hanya akan membahas tentang keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal atau lebih spesifik lagi tentang pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

2. Ruang Lingkup Keuangan Negara

Menurut Pasal 2 UU Keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara meliputi:

a. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengerakan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran daerah; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

(58)

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Kesembilan kelompok pengertian kekayaan negara tersebut menyebabkan pengertian kekayaan negara yang harus diperiksa oleh BPK, termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh oleh pihak yang bersangkutan yang dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.

3. Sumber-Sumber Penerimaan Negara

Disamping mempunyai kewajiban menyelenggarakan keuangan, negara atau pemerintah juga mempunyai berbagai hak. Salah satu haknya adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai pengeluaran sehubungan dengan kegiatan penyelenggaraan Negara/pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah.

Penerimaan atau pendapatan negara adalah semua penerimaan kas umum (kas pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat atau daerah.

(59)

Pokok sumber-sumber penerimaan atau pendapatan Negara dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Dalam buku “Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah” karangan Atep Adya Barata & Bambang Trihartanto pokok sumber

penerimaan atau pendapatan negara dikelompokkan sebagai berikut:65 1) Sumber penerimaan dari pajak, meliputi:

a. Pajak Pusat: : Pajak Pengasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN; PPn-BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Materai, Bea Masuk, Cukai, Pajak Ekspor.

b. Pajak Daerah: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran (PHR), Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Bahan Bakar.

2) Penerimaan lain dalam negeri:

a. Penerimaan Negara dari Retribusi; b. Laba BUMN;

c. Penerimaan dari denda atas pelanggaran masyarakat (individu/kelompok/organisasi);

(60)

d. Pencetakan Uang;

e. Pinjaman dalam negeri dan luar negeri; f. Penerimaan dari hadiah atau hibah

Dari berbagai sumber penerimaan yang telah disebutkan diatas, pajak merupakan sumber utama bagi penerimaan negara, sedangkan pinjaman dan penerimaan lainnya merupakan pembiayaan alternative yang baru diambil bilamana pajak tidak mampu menutupi defisit anggaran negara. Pencetakan uang juga baru dilaksanakan jika negara sangat terdesak.

Dalam nota keuangan RAPBN-P 2010, penerimaan negara berasal dari:66

I. Penerimaan dalam negeri, yang meliputi: 1. Penerimaan perpajakan:

a. Pajak dalam negeri;

b. Pajak perdagangan internasional. 2. Penerimaan bukan pajak:

a. Penerimaan SDA b. Bagian laba BUMN c. PNBP lainnya d. Pendapatam BLU II. Hibah.

66

(61)

III. Pembiayaan, yang meliputi: 1. Pembiayaan dalam negeri:

a. Perbankan; b. Non perbankan. 2. Pembiayaan, meliputi:

a. Pinjaman luar negeri; b. Pinjaman dalam negeri.

Table 3.1 Anggaran APBN67

APBN 2010

A. Pendapatan Negara Dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri

1. Penerimaan Perpajakan

a. Pajak Dalam Negeri

b. Pajak Perdagangan Internasional

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

a. Penerimaan SDA

1) SDA Migas

2) Non Migas

b. Bagian Laba BUMN

c. PNBP Lainnya

d. Pendapatan BLU

II. Hibah

B. Belanja Negara

I. Belanja Pemerintah Pusat (K/L & Non K/L) 1. Belanja K/L

2. Belanja Non K/L

a. Pembayaran Bunga Utang

1) Utang Dalam Negeri

2) Utang Luar Negeri

Gambar

Grafika, 2008), h. 1.
Tabel 2.1: Kebijakan Belanja Publik27
Grafika, 2009), h. 103
Gambar 2.1 Contoh Skema Sukuk Mudharabah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam organisasi pengelola zakat, baik besar maupun kecil, harus ada unit atau orang tertentu yang menjadi penanggung jawab dalam pengelolaan keuangan. Adanya unit atau orang

Maka rumusan masalah yaitu bagaimana pelaksanaan dan dampak program ADD terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Padang Cermin dalam perspektif ekonomi

Maka rumusan masalah yaitu bagaimana prioritas dan dampak program Alokasi Dana Desa terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif ekonomi Islam.?,

kemiskinan, kemiskinan merupakan musuh dari tujuan utama otonomi daerah, dimana pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya

12 Dalam penelitian ini ada satu variabel terikat yang digunakan yaitu. Belanja Modal yang akan diteliti adalah data dari realisasi

Penelitian ini menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada kabupaten pringsewu data yang digunakan pada penelitian ini

Adapun dalam penelitian ini penulis akan mewawancarai kepada Kepala Desa , Sekretaris Desa , Bendahara Desa , Dan Kepada Masyarakat Desa Jatibaru untuk