• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wali adhal dalam perspektif empat imam mazhab dan relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wali adhal dalam perspektif empat imam mazhab dan relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Uinversitas Islam Negri

UIN SYARIF HIDATULLAH

Oleh :

ENDANG SETIAWAN NIM: 204044103023

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

ENDANG SETIAWAN NIM: 204044103023

Di bawah bimbingan

Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640412194031004

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Skripsi yang berjudul “WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB

DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA”

Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Jurusan Akhwal

Syahsiyah.

Jakarta, 10 Februari 2011

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (...) NIP. 196404121994031004

Sekretaris : Moch Syafi’i, SEI (...) NIP.

Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (...) NIP. 196404121994031004

Penguji I : prof. Dr. H. Hasanudin.,AF.,MA (...) NIP.150150917

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H

Endang Setiawan

(5)

ENDANG SETIAWAN, Nim: 204044103023

TELA’AH MAZHAB FIKIH TENTANG WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010

Kata Kunci: Pernikahan , Perwalian, Wali adhal.

Dalam perbankan, salah satu yang dijual adalah jasa, yaitu pelayanan. Karena secara langsung akan berpengaruh pada jumlah nasabah yang akan semakin bertambah atau berkurang. Semakin baik pelayanan suatu bank semakin banyak nasabah yang menabung dibank tersebut, yang tentu saja nasabah tidak akan memindahkan dana mereka di tempat lain...

( i + 86 + Lampiran)

(6)

Dengan menyebut Asmamu

Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah yang menciptakan cahaya di atas

cahaya, beri anugrah pada ayah dan ibuku, beri cita- citamu pada mereka agar aku tahu mereka

sangat kau sayangi, karena merekalah cermin hidupku.”

Goresan kita tak cukup menaung makna untukmu yah dan ibuku beribu helai kertas tak

cukup untuk menguap terima kasih ibu penghargaanku padamu melebihi apapun, setiap senyum,

tatapan mata, dan serta doa yang mengantarkanmu meraih ilmu, buatku merasa pantas

menggores namamu di helai pertama terima kasih untuk peluk, cinta, karyaku semua

karenamu, ibu, bapak tak ada lelaki yang sanggup menandingi kesabaranmu sedikit kata

mengungkapbijaksana, dukungan, kasih sayang, serta wibawamu, membuatku yakin kau yang

terbaik untukmu dan anakmu.

Ayah, ibu rasa hormat, tunduk, dan patut ananda, hanya bisa menghasilkan sebuah karya kecil,

yang aku harap bisa menghantarkan pada suatu jalan hidup, masa depan yang baik.

Ayah, ibu terima kasih buat semuanya, peluk cium, serta cinta kasih kalian,

(7)

Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan

kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.

Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian syarat

untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai

bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua,

seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan ucapan terima

kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah dan Kama

Rusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah yang telah

membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini.

3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H. Ahmad Yani,

MA. Sekretaris Program Non Reguler.

4. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya

memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur dalam proses penyelesaian

tugas akhir ini.

(8)

vii dalam proses penulisan sekripsi ini.

6. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda khaerudin dan Ibunda

erohaeni atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta

dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya yang tak

henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis persembahkan skripsi ini. untuk

kedua orangtua .

7. Kakak dan adikku tersayang: agus salim,n lukman Hakim,adik-adikku ulpah,henti,anwar

yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih untuk semua perhatian dan

kasih sayangnya.

Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari segala

Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala kelemahan dan

kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca

pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H

(9)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

MOTO……….. iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Reviw Studi Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah ... 12

B. Syarat-syarat Wali Nikah ... 17

C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan ... 24

(10)

B. Latar Belakang Wali Adhal... 37

C. Kriteria Wali Adhal ... 46

BAB IV PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ADHAL A. Menurut Madzhab Maliki ... 48

B. Menurut Madzhab Hambali ... 50

C. Menurut Madzhab Hanafi ... 54

D. Menurut Madzhab Syafi’i ... 55

E. Relevansi Pendapat Empat Imam Madzhab dengan Hukum Perkawinan di Indonesia ... 62

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran-Saran ... 68

(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah merupakan salah satu ajaran syariat Islam. Di dalam

suatu perkawinan, perwalian adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kegiatan itu sendiri, karena seorang wali adalah orang yang harus ada pada

saat dilangsungkannya suatu perkawinan. Keterlibatan seorang wali di dalam

suatu perkawianan, sangatlah menentukan (sah atau tidaknya) akad

perkawinan dalam pandangan syari’at Islam.1

Sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya seorang wali,

sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan,

seperti diketahui dalam prakteknya yang mengucapkan ikrar ijab adalah pihak

perempuan dan yang mengucapkan ikrar qabul adalah pihak laki-laki,

disinilah peranan wali yang sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon

pengantin perempuan.2 Mengenai keberadaan wali yang sedemikian penting

ini pernah di ungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui haditsnya yang

diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadits, yang bermula dari Abu Mua

1

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majelis A’la Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), Cet. IX, h. 100

2

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979), h.53

(12)

Asy’ari dan dari Aisyah r.a, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau pernah bersabda:

حﺎ

إ

و

أ

أﺮْ ﺁ

ت

ﻐْ

إ

ْذ

ن

و

ﺣﺎ

ْن

ْ

ْ

و

ﺴ ﺎ

ْ

نﺎ

و

ْ

و

.

“Tidak ada nikah melainkan dengan adanya wali, siapa saja perempuan yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya maka nikahnya batal, batal, batal, kemudian jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (Hakim) yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak ada walinya itu”3

Jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (hakim) yang

menjadi pengganti bagi perempuan yang tidak ada walinya itu, pernyataan

ayat hadits dari Nabi di atas cukup jelas, bahwa seorang wali sungguh tidak

bisa di abaikan begitu saja bagi terselenggaranya suatu akad perkawinan yang

tentu saja menghendaki jaminan hukum yang sah menurut pandangan syara.

Namun demikian, keberadaan seorang wali yang sangat menentukan ini, tidak

lepas dari kemungkinan akan menghadapi suatu kesulitan. Diantaranya ialah

manakala wali yang bersangkutan justru memperlihatkan keengganan adalnya

untuk melangsungkan akad perkawinan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, kiranya penulis menganggap

penting untuk diungkapkan dan dipecahkan. Dan di sini pula pentingnya

mengungkap kajian Madzhab Fiqh empat yang populer dikalangan umat

3

(13)

Islam di Indonesia khususnya yaitu: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i

guna memperoleh kejelasan yang lebih rinci, terutama mengenai upaya

penyelesaianya terhadap problem kewalian di atas, dengan tetap berpijak pada

kajian dan penelusuran pendapat ahli fikih klasik yang saat ini masih

dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam.

Sebagaimana keberagaman pendapat dari Madzhab fikih yang menjadi

penelitian penulis tentang perwalian dalam perkawinan. Misalnya pandangan

pendapat dari empat madzhab populer mengenai kedudukan wali nikah dalam

hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun perkawinan, oleh karena itu

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan dianggap tidak sah atau batal,

apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. Hal itu berbeda

pendapat dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa wali nikah tidak

merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun

tanpa wali.4

Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya subtansi dari

perkawinan itu lebih pada kebahagiaan yang di dapat, seperti yang terdapat

pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah “Pernikahan

4

(14)

adalah aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5

Berdasarkan pengertian di atas, hakikat perkawinan adalah persekutuan

hidup seorang pria dan seorang wanita yang tak terputuskan. Kesatuan dan

sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat esensial perkawinan, jadi

perkawinan bukanlah untuk sesaat saja akan tetapi kalau mungkin untuk

sekali dan seumur hidup.6

Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan

yang sangat diutamakan dalam Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk

selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri

bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung menikmati

naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam

pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa ikatan antara

suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada

suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang

demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menanamkan ikatan

perjanjian antara suami isteri dengan mitsaqan ghalidhan (perjanjian yang

kokoh).7

5

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004), h. 13

6

Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998), h. 9 7

(15)

Oleh karena keberagaman dari mazhab fikih dalam menentukan penting

atau tidaknya seorang perwalian dalam perkawinan, maka ini menjadi

persoalan yang menarik menurut penulis, karena itu persoalan tersebut akan

penulis teliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Wali ‘adhal dalam

perspektif Empat imam mazhab dan relevansinya dengan hukum positif

SPerkawinan Islam di Indonesia”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis

membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal-hal yang berkenaan

dengan masalah Wali adhal dalam persepektif empat imam Madzhab dan

relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia.

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, agar pembahasan ini tidak meluas maka dalam penelitian ini

peneliti terfokus pada tinjauan Mazhab Fikih Islam terhadap problematika

ke’adhalan wali dan upaya ketentuan hukum dalam pengembangan

mazhab Fikih Islam untuk mengantisipasi munculnya wali ‘adhal.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pokok permasalahan

(16)

keberagaman pendapat mazhab fikih yang mestinya perkawinan itu secara

teoritis adanya wali ‘adhal. Lalu apakah benar keberagaman pendapat

mazhab pikih islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.

(17)

1) Apakah beragamnya pendapat mazhab fikih Islam mewajibkan

perwalian dalam perkawinan?

2) Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih tentang wali adhal

dan relevansinya dengan hukum perkawinan di indonesia?

Rincian di atas adalah merupakan kerangka pertanyaan yang hendak di

teliti dan dicarikan jawabannya, sehingga peneliti ini diarahkan dalam

kerangka pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi

terhadap fakta dan realita hukum baik yang sedang berlaku maupun yang

pernah berlaku.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana beragamnya pendapat mazhab fikih

islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.

2. Untuk mengetahui Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih

tentang wali adhal dan relevansinya dengan hukuh perkawinan di

indonesia.

(18)

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan teoritis mengenai

perwalian dalam pernikahan terutama wali ‘adhal serta tambahan

informasi yang bermanfaat dan relevansinya bagi mahasiswa yang akan

menyusun sebuah penelitian yang akan datang.

2. Bagi Akademis

Sebagai wacana informasi dan masukan dalam mengadakan

penelitian lebih lanjut dibidang pernikahan dan perwalian.

D. Riview Studi Terdahulu

Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada

beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir

sama dengan yang dituliskan oleh penulis, namun tentunya ada sudut

perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek kajian dalam penelitian ini,

adapun penelitian tersebut diantaranya adalah:

1. Ade Puspita Sari, 2008, Penyelesaian Perkara Wali ‘adhal Di Pengadilan

Agama Cibinong, pada penelitian ini penulis membahas mengenai status

pernikahan wanita bila walinya menolak menikahkan juga membahas

(19)

menolak utuk menikahkan anak perempuannya skripsi ini juga membahas

cara penyelesaian apabila terjadi wali yang tidak mau menikahkanya.

2. Lukman Hakim, 2007,, Wali hakim bagi anak perempuan yang dilahirkan

diluar nikah (studi kasus di KUA kebayoran Baru) skripsi ini membahas

tentang pengangkatan wali hakim karena alasan bahwa pihak wanita tidak

mempunyai wali karena merupakan anak luar nikah yang mengakibatkan

terputusnya hubungan nasab antara wali (Ayahnya). Sehingga wali Hakimlah yang yang menikahkan. Bagi anak perempuan yang dilahirkkan

diluar nikah hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja.

3. Neneng Soraya,2006’ Kedudukan Wali Nikah Menurut KHI dan Mazhab

Empat. Skripsi ini membahas tentang permasalahan wali secara umum:

menurut KHI dan beberapa padangan mazhab empat. Dijelaskan bahwa

terdapat perbedaan mengenai kedudukan wali dalam pernikahan menurut

beberapa mazhab. Menurut jumhur ulama nikah tanpa wali adalah tidak

sah. Sedangkan menurut mazhab hanafi, wali tidak termasuk salah satu

syarat sahnya suatu pernikahan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum

Islam wali merupakan rukun dari suatu perkawinan sehingga apabila

dalam suatu pernikahan tidak ada wali dari pihak wanita maka secara

otomatis pernikahan itu adalah tidak sah.

(20)

Adapun pendekatan analisis penyajian data yang peneliti gunakan adalah

pendekatan deskriptif analisis, dengan pendekatan secara normatif dimana

akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

menggunakan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis

dengan melakukan penelitian terhadap data kepustakaan, dan teori-teori

yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data

sekunder. Yang bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan data seteliti

mungkin yang menggambarkan obyek penelitian, kemudian menganalisa

keberagaman pendapat para madzhab fikih Islam, untuk melihat sejauh

mana para madzhab fiqih Islam menerapkan peraturan hukum tentang

perwalian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan

(21)

a. Data Primer, melalui data primer penulis dapat melakukan sebuah

kajian dari pandangan madzhab fiqh dalam bentuk buku yaitu: buku

Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki

b. Data Sekunder, melalui data sekunder penulis dapat melakukan berupa

buku-buku literatur yang berkenaan dengan masalah-masalah pendapat

para ulama tentang perwalian.

3. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan, mengarah pada pedoman yang

berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2007, yakni buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan

uraian sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I : Pada bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat diantaranya latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

(22)

metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai tinjauan umum tentang wali dalam perkawinan meliputi diantaranya mengenai pengertian wali dalam

perkawinan, landasan hukum wali dalam perkawinan, kedudukan

wali dalam perkawinan, dan macam-macam wali dalam

perkawinan

BAB III : Bab ini menguraikan mengenai kajian wali ‘adhal dalam fiqh madzhab, yang meliputi latar belakang wali ‘adhal, kriteria wali

‘adhal.

BAB IV : Pada bab ini dibahas mengenai pengaruh wali ‘adhal dalam perkawinan menurut madzhab fiqh, menurut madzhab Maliki

Hambali, Hanafi dan Syafi’i, serta relevansi pendapat Imam

Madzhab dalam korelasi perkawinan di Indonesia.

BAB V : Adalah pada bab lima ini merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan yang diberikan penulis dan beberapa saran-saran

(23)

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah 1. Pengertian Wali

Kata wali menurut bahasa berasal dari kata al-wali

(

ﻮ ا

) dengan bentuk

jamak auliya

(

ءﺎ وا

) yang berarti pecinta, saudara, penolong.

1 Menurut istilah wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan

hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan

syari’at. Sayyid Sabiq mengatakan wali adalah sesuatu ketentuan hukum yang

dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.2

Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh

yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan

melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaaan perwalian di

sebut wali.3 Perwalian ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Kewalian bersifat umum ialah mengenai orang banyak dalam suatu wilayah

atau negara. Sedangkan kewalian yang bersifat khusus ialah menyangkut

1

Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut Masyriq, 1975), h. 919 2

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1997), Cet. Ke-13, jilid 7, h.7 3

Kamal Muhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. II, h. 92

(24)

pribadi seseorang atau hartanya. Dalam pembahasan skripsi ini adalah wali

menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan atau biasa disebut menjadi

wali nikah. Menurut kamus istilah fiqih, wali nikah adalah mereka yang

berhak menjadi wali bagi perempuan yang menikah, karena keturunan atau

kekuasaan.4

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wali nikah adalah

orang-orang yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah dan hak

perwalian diperoleh berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki atau

berdasarkan kekuasaan.

2. Dasar Hukum Wali Nikah

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Karena perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan rahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu

agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.

4

M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h. 416 5

(25)

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan

terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam

kaitannya dengan rukun nikah. Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun nikah

terdiri atas:6

a. Adanya calon suami;

b. Adanya calon isteri;

c. Adanya wali dari pihak calon penganti wanita;

d. Adanya dua orang saksi

e. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali/wakilnya

dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat di kalangan

ulama, pendapat pertama oleh jumhur ulama, bahwa suatu pernikahan tidak

sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits.7

a. Firman Allah SWT

ْ

هﻮ

أ

ْن

ْﻜ

ْ

أ

ْز

وا

إ

ذ

ا

ا

ْﻮ

ا

ْ

ْ

ْ ﺎ

ْﺮ

ْو

ف

)

ةﺮ ا

:

232

(

6

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 89, lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. III, h. 8

7

(26)

Artinya: “...Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ...” (QS. Al-Baqarah / 2: 232)

Ayat ini ditunjukkan kepada wali jika mereka tidak mempunyai hak

dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-

halangi.8

و

ْﻜ

اﻮ

ْا

ْﺮ

آ

تﺎ

ْﺆ

)

ةﺮ ا

:

221

(

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman ... (QS. Al-Baqarah / 2: 221)

Ayat ini juga ditunjukkan kepada wali supaya mereka tidak

menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang musrik. Andai kata wanita

mempunyai hak secara langsung untuk menikahkah dirinya tanpa wali,

maka tidak ada artinya ayat tersebut ditunjukkan kepada wali dan

semestinya ditunjukkan kepada wanita. Akan tetapi karena akad nikah

adalah urusan wali larang tersebut ditunjukkan kepada wali bukan kepada

wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan nikah terletak kepada wali nasab.

8

(27)

Jika tidak demikian, tentulah larangan tersebut tidak ditunjukkan kepada

para wali.9

b. Hadits Nabi Muhammad SAW

ْأ

ْﺮ

دة

ْأ

ْﻮ

أ

ن

ا

ﷲا

ْﻪ

و

لﺎ

:

حﺎ

إ

)

دواد

ﻮﺑأ

اور

(

Artinya: “Dari Abu Burdah R.A dari Abi Musa R.A, Rasulullah SAW Bersabda: Tidak ada pernikahan kecuali seorang wali.” (HR. Abu Daud)

ْ

ْأ

إ

ْﺮ

أة

ْ

ﻐْ

إ

ﺎﻬﺣﺎﻜ ﻓ

ﺎﻬ و

نْذ

ﺎﺑ

)

تاﺮ

ث ﺛ

(

ْنﺈﻓ

ْنﺈﻓ

ﺎﻬ ْﺮﻓ

ْ

ْ ا

ﺎ ﺑ

ﺮْﻬ ْا

ﺎﻬ ﻓ

ﺎﻬﺑ

ﺧد

و

ْ

و

نﺎ ْﺴ

ﺎﻓ

اوﺮ ْﺷأ

10

Artinya: “Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW, Bersabda: Barang siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”(HR. Abu Daud)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari

R.A:

حﺎ

إ

)

دواد

ﻮﺑأ

اور

(

Artinya: “Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali”.

(HR. Abu Daud)

9

Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), h. 1761

10

(28)

Maksud dari hadits di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika

wali tidak ada, karena seorang wnaita tidak punya kapasitas untuk

menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya

kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia

lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah.11

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 dijelaskan bahwa wali nikah

dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikah.12

Mengingat pentingnya wali dalam perkawinan dan dengan pertimbangan

bahwa perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu tidak hanya

menggabungkan hubungan dua individu tapi juga menghubungkan dua

keluarga besar sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah. Maka untuk menciptakan tujuan mulia itu dapat ditarik ketegasan

bahwa wali dalam pernikahan itu merupakan rukun artinya wali harus ada di

dalam setiap pernikahan. Tanpa adanya wali nasab maupun wali hakim maka

pernikahan itu dianggap tidak sah.

B. Syarat-syarat Wali Nikah

11

Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H / 1992 M), jilid. 9, h. 345 12

(29)

Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh

hukum maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itulah persyaratan menjadi wali

harus dipenuhi. Imam Taqiyuddin dalam bukunya berjudul khifayatul akhyar

menyatakan beberapa persyaratan tentang wali nikah, diantaranya adalah:

1. Islam;

2. Baligh;

3. Sehat akalnya;

4. Merdeka;

5. laki-laki;

6. adil.13

Dalam buku lain juga disebutkan oleh karena wali sudah ditentukan sebagai

rukun bagi sahnya nikah, maka syariat telah menentukan pula syarat-syarat untuk

boleh seorang menjadi wali, syarat-syarat tersebut adalah:

1. Islam (Orang kafir tidak sah menjadi wali);

2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);

3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali);

13

(30)

4. Laki-laki (Perempuan tidak sah menjadi wali);

5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).14

Persyaratan tentang wali lebih rinci dijelaskan dalam buku Pedoman

Pembantu Pencatat Nikah, yaitu :

1. Beragama Islam;

2. Baligh;

3. Berakal;

4. Tidak dipaksa;

5. Terang laki-lakinya;

6. Adil (bukan fasik);

7. Tidak sedang ihram;

8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah;

9. Tidak rusak pikirannya;

10.Merdeka.15

14

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 28

15

(31)

Pada prinsipnya dari beberapa pendapat-pendapat tersebut tidak ada

perbedaan yang mendasar, dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil

kesimpulan, bahwa syarat untuk menjadi wali adalah:

1. Orang yang Mukallaf

Karena orang yang mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum

dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Anak-anak tidak sah

menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan

berfikir dan bertindak secara sadar dan baik.16

ْأ

ْ

ا

ﷲا

ْﻪ

و

لﺎ

:

ر

ْا

ْ

ث

:

ا

ﺋﺎ

ا

ْن

ْﺮ

أ

و

ا

ا

ْن

ْ

)

دواد

ﻮﺑا

اور

(

Artinya: “Dari Abu Dhuha, dari Ali R.A, Rasulullah SAW, bersabda diangkatlah hukum itu dari tiga perkara: dari orang yang tidur sehingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (HR. Abu Daud) 2. Muslim

Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang kawin itu orang muslim

juga, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 28:

16

(32)

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Iram / 3: 28)

Ayat di atas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin menikah atau

menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan muslim. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan syarat yang harus dipenuhi

oleh wali nikah.

3. Laki-laki

Laki-laki merupakan syarat perwalian, demikian merupakan pendapat

seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap

mempunyai kekurangan. Wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya

sendiri apalagi orang lain.17 Pernyataan memberikan pengertian bahwa wali

haruslah laki-laki tidak boleh perempuan.

4. Berakal

17

(33)

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang

yang bertanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang yang

berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila tidak memenuhi

syarat untuk menjadi wali.

5. Adil (cerdas)

Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali adalah adil. Adil yang

dimaksud adalah berbuat adil, tidak fasik. Menurut Imam Syafi’i yang yang

dimaksud dengan adil itu adalah cerdas.18 Cerdas yang dimaksud adalah dapat

atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau

seadil-adilnya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

ْ ﺎ

ﺔ ﺋ

ْ

لﺎ

ر

ْﻮ

ل

ﷲا

ﷲا

ْﻪ

و

:

حﺎ

إ

و

هﺎ

ْي

ْﺪ

ل

)

راد

اور

(

19

Artinya: “Dari Aisyah, dari Nabi SAW bersabda: tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ad-Daaruquthni)

Berdasarkan hadits tersebut, maka orang yang tidak cerdas atau tidak

mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan. Ini berarti

jika wali ingin berbuat fasik, maka wali itu harus digantikan oleh orang lain

yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

18

Kamal Mukhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 92 19

(34)

Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah

memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari

melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr,

membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia

tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pesyaratan ini adalah

merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan

merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah. Adapun

Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai

wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani

terang-terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang

fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat

penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya,

yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita

yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya

fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang

memiliki20

Pernyataan tersebut di atas memberikan pengertian bahwa syarat utama

yang harus ada pada wali dalam pernikahan adalah Islam, dewasa, dan

20

(35)

laki. Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil

pengertian baligh karena baligh menunjukkan bahwa orang itu telah berakal

dan muslim atau beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti

dapat berbuat adil. Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya

telah mencakup lima persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku

fiqih atau hukum Islam.

C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan

Secara umum wali dalam perkawinan digolongkan menjadi dua macam, yaitu

wali nasab dan wali hakim.21 Kedua macam wali tersebut akan diuraikan lebih

lanjut di bawah ini.

1. Wali Nasab

Nasab artinya bangsa, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan

nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.22 Wali ditunjuk

berdasarkan skala prioritas secara tertib mulai dari orang yang paling berhak,

yaitu orang yang paling dekat/aqrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur

Ulama mengatakan bahwa wali itu adalah wali waris dan diambil dari garis

ayah, bukan ibu.23

21

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, h. 80, lihat juga Departemen Agama RI, h. 134

22

Slamet Abidin dan H Aminudin, Fiqih Munakahat, h. 89 23

(36)

Urutan wali nasab yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada

pasal 21 dan 22, adalah sebagai berikut:

Pasal 21:

a) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatanna dengan calon mempelai wanita.

c) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adhal kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

d) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama-sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama-sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.24

Apabila diuraikan lebih rinci lagi susunan wali adalah sebagai berikut:

24

(37)

a. Ayah kandung;

b. Kakek (dari garis ayah) seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;

c. Saudara laki-laki sekandung;

d. Saudara laki-laki seayah;

e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;

g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;

i. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman);

j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman ayah);

k. Anak laki-laki paman sekandung;

l. Anak laki-laki paman seayah;

m.Saudara laki-laki kakek sekandung;

n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;

o. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.25

Wali yang paling berhak dan paling utama menjadi wali nikah adalah

ayah, karena sangat dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita dan ayah

adalah orang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan wali nikah

yang lain. Oleh karena itu ayah disebut wali yang dekat atau wali aqrab, dan

25

(38)

wali lain disebut wali yang jauh atau wali ab’ad (saudara terdekat atau yang

agak jauh).

Pasal 21 KHI menjelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak

urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali

nikah rungu atau sudah udzur, maka yang menjadi wali bergeser kepada wali

nikah yang lain menurut derajat berikutnya.26

Mengenai perpindahan wali dari yang dekat kepada yang lebih jauh

urutannya yaitu apabila wali yang dekat ada atau karena sesuatu hal dianggap

tidak ada, yaitu:

1. Wali aqrabnya tidak ada sama sekali

2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh;

3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila;

4. wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua;

5. wali aqrab ada tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya;

6. wali aqrab ada, tetapi tidak beragama Islam.27

Wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu Pertama, wali nasab yang berhak

memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan mesti

26

Departemen Agama R.I., h. 435-436 27

(39)

kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali nasab yang mujbir

dipendekan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir terdiri dari bapak, kakek

dan ayah dari kakek seterusnya ke atas. Mujbir artinya orang yang

memaksa.28 Walaupun wali mujbir dapat memaksa tetapi ia harus memenuhi

persyaratan:

1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis;

2. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;

3. Calon suami itu mampu membayar mas kawin;

4. Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia.29

Apabila keempat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh wali yang

memaksa menikahkan anaknya (wali mujbir) maka wanita yang dipaksa

menikah dapat meminta fasakh ke pengadilan.

Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau wali

nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu

saudara laki-laki kandung atau sebapak, dari bapak dan seturusnya anggota

keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilineal.

2. Wali Hakim

28

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet. Ke-1, h. 69 29

(40)

Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam

bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen

Agama. Dalam hal ini ditemui kesulitan untuk harirnya wali nasab atau ada

halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon

pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan wali hakim baik melalui

Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat

ditempuh.30

Rasulullah SAW bersabda:

ﺴ ﺎ

ْ

نﺎ

و

ْ

و

)

ﻪ ﺎ

ﺑا

اور

(

31

Artinya: “ ... Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam prakteknya wali hakim yang diangkat oleh pemerintah pada saat ini

adalah Pegawai Pencatat Pernikahan (Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan). Ketentuan tentang wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri

Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang wali hakim khususnya pada Bab

III pasal 4 dan pasal 5 mengenai Penunjukan wali hakim yang berbunyi:

Pasal 4

1) Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

30

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, h. 56 31

(41)

2) Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.

Pasal 5

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian

perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan

persyaratan syah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan.

Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah

SAW bersabda yang artinya "Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari

walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya". Menurut

mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun

perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap

izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.32

Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap perizinan wali merupakan

syarat sah perjanjian perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak

32

(42)

sah. Pendapat ini beralasan pada Al-Qur’an dan hadits. Dari ayat Al-Qur’an yang

dijadikan dalil antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 :

)

ةﺮ ا

:

232

(

Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf...” (QS. Al-Baqarah, 2/232)

Dalam ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang eksistensi seorang wali

di mana Allah melarang para wali dari menghalangi para wanita dari kembali

kepada suami mereka dan sekiranya seorang wanita itu boleh menikahkan dirinya

sendiri, maka sudah tentu tiada artinya larangan Allah SWT dalam ayat tersebut

dan tiada gunanya para wali menggunakan haknya melakukan ‘Adhal 33

Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena

ulahnya Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki

33

(43)

kemudian diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas

suaminya ingin mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah

tidak akan mengawinkan saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah

ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan

akhirnya Ma’qal membayar kafarah atas sumpahnya.

Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat

menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab

enggan mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal

perjodohan antara keduanya seimbang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

"Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak

mempunyai wali"

ﺎ أ

ْ ﺎ

ﺔ ﺋ

ْ

ةوْﺮ

ْ

يﺮْهز

ْ

ﻰ ْﻮ

ْﺑا

نﺎ ْ

ْ

ﺎﻬﺣﺎﻜ ﻓ

ﺎﻬ و

نْذإ

ﺮْﻐﺑ

ْ ﻜ

ةأﺮْ إ

ﺎﺑ

)

تاﺮ

ث ﺛ

(

ْنﺈﻓ

ﺎﻬﺑ

ﺧد

ْ ا

ﺎ ﺑ

ﺮْﻬ ْا

ﺎﻬ ﻓ

و

ْ

و

نﺎ ْﺴ

ﺎﻓ

اوﺮ ْﺷأ

ْنﺈﻓ

ﺎﻬ ْﺮﻓ

ْ

)

ﺔ ﺋﺎ

ﺪ ﺣأ

،ﻪ ﺎ

ﺑا

،ىﺬ ﺮ

،دواد

ﻮﺑأ

اور

(

34

Artinya : “Dari Sulaiman ibn Musa dari Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka dia berhak mendapat mas kawin dengan sebab si lelaki itu telah menghalalkan kehormatannya. Dan jika mereka berselisih, sultan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”

(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).

34

(44)

Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah

adalah wali nasab tidak ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya

sekufu; wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita

yang ingin menikah; wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui

keberadaannya, hidup atau matinya; calon suami juga adalah wali nikah

perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.35

35

(45)

WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB

A. Definisi Wali Adhal

Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab, yaitu

(ﻞﻀ ﻞﻀ ﻳًﻞﻀ ) yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.1

Wali ‘adhal adalah wali yang tidak bisa menikahkan wanita yang telah

baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan

masing-masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.2

Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tanggal 28

Oktober 1987 tentang Wali Hakim: Wali ‘adhal ialah wali Nasab yang

mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah

perwaliannya, tetapi tidak bias atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya

seorang wali yang baik.

Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada di tangan

wali aqrab, atau orang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat

untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja yang berhak mengawinkan perempuan

yang dalam perwaliannya dengan orang lain. Demikian pula ia berhak

1

Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. 14, h. 441 2

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), Cet. I, h. 1339

(46)

melarangnya kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima,

misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang orang lain

lebih dulu, atau jelek akhlaknya, atau cacat badan yang menyebabkan

perkawinannya dapat difasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini wali aqrab adalah

yang berhak menjadi wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain,

hingga kepada hakim sekalipun.3

Tetapi apabila wali tidak bersedia mengawinkan tanpa alasan yang dapat

diterima, padahal si perempuan sudah mencintai bakal suaminya karena telah

mengenal kafa’ahnya, baik agama, budi pekertinya, wali yang enggan

menikahkan ini dinamakan wali ‘adhal, zalim.4

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah

alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan

oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain

dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau

orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang

menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak

3

Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Edisi Kedua, h. 120

4

(47)

menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib

ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim)5

Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila :

a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu

dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik

penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya

maupun tidak;

b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan

dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya

menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.6

Dalam buku yang berjudul 20 prilaku durhaka orang tua terhadap anak, M.

Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua berusaha

menghalangi perkawinan anaknya, yaitu:

1. Orang tua itu melihat calon menantunya itu orang miskin karena

kemiskinanya orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan;

2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan

orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak

5

http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses pada tanggal, 12 Mei 2010

6

(48)

keturunanya menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun

dalam tata pergaulan keluarga bangsawan;

3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya

pernah bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan

direndahkan harga dirin oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan

suami istri dengan keluarga semacam ini7

Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status social, kedudukan

yang tinggi dan beberapa pertimbangan lainya merupakan hal-hal yang dituntut

dan tidak dikesampingkan dalam mencari kan dan memilihkan pasangan untuk

wanita, maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang dicela.

Jika selurhan pertimbangan diatas sudah dijadikan prioritas utama didalam

menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan ahlak, maka

perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela. Sehingga apabila terdapat

orang tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang

tidak syari, yaitu alas an yang tidak dibenarkan hukum syarat; maka wali tersebut

disebut wali adhal.

Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan (Adhal) juga

telah diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu peraturan mentri

7

(49)

Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali Hakim bada Bab dua

yang berbunyi :

Pasal 2

1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

2.) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

Pasal 3

Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

Mengenai faktor-faktor yang dibolehkan oleh hukum Islam terhadap orang

tua untuk menolak menikahkan anaknya dengan catatan adanya bukti-bukti yang

kuat yang menunjukan bahwa hal-hal yang menjadi penyebab adhalnya adalah

benar diantaranya adalah:

1. Orang tua mendapati calon menantunya berbeda agama, anak perempuan

muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki dari agama apapun selain

(50)

beragama Islam.8 Jika hal ini terjadi orang tua harus merintangi dengan

segala upaya sekalipun ke Pengadilan Agama.

2. Orang tua mendapat calon menantunya berakhlak rusak, misalnya

perempuan pelacur atau laki-laki pencuri, penjudi dan pemabuk. Orang

yang berakhlak seperti itu tidak layak menjadi imam isteri anaknya.

3. Mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami dan

sebagainya.

B. Latar Belakang Wali ‘adhal

Peristiwa wali ‘adhal dalam perkawwinan, tercatat dalam sejarah

perkembangan fiqih islam. Bermula dari kasus/peristiwa yang di alami oleh

seorang sahabat Nabi Muhamad SAW, yang bernama Ma’qil Ibnu Yasar. dari

kasus yang mengenai dirinya inilah kemudian turun satu ayat yang bernada

memberikan keterangan dan ketentuan hukum atas kasus yang mengenai dirinya

itu.

8

(51)

Ayat tersebut yaitu:

Artinnya:”apabila kamu mentalak istri-istrimu,lalu habis iddahnya,maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,apabila telah terdapaat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.itulah yang di nasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada alllah dan hari kemudian.itu lebih baikbagimu dan lebih suci.allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui (Al-Baqarah Ayat: 232)

Untuk bisa memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat dipertanggung

jawabkan dalam arti/kehendak ayat tersebut, kirannya perlu dikutip jalan cerita dari

peristiwa yang melatar belakangi diturunkan ayat tersebut.

Imam Syafi’i di dalam kitabnya “Ihkamul Qur’an” dan Imam Bukhari di

dalam “Jami ‘Sahihnya”.merriwatkan hadits ma’qil, yang bermula dari al Hasan dari

Ashabul hikayahnya sendiri, yaitu ma’qil Ibnu Yasar, yang matan hadistnya berbunyi

(52)

Artinya : Dari Hasan, bercerita kepada ma’qil ibnu yasar iya berkata: aku punya saudara perempuan yang urusan lamarannya (perkawinan) ada ditanganku, lalu datang kepadamu untuk melamar saudara sepupuku sendiri yaitu anak lelaki dari pamanku. Kemudian aku kawinkan dia dengan nya. (akan tetapi tidak lama) kemudian mentalaknya dengan talak raj’i. kemudian membiarkannya sampai habis massa iddahnya. Kemudian tatkala saudara perempuanku mendesakku menerima lamaran lagi, lalu datanglah ia (untuk kedua kalinya) untuk melamar dan mengawininya kembali. Lalu jawabku : tidak, demi Allah tidak aku kawinkan dengannya untuk selama-lamanya. Kata ma’qil : pada peristiwa inilah turun ayat tersebut (di atas). (Shahih Bukhari : 36)

Imam abu daud dalam riwayatnya ini menambahkan :

لﺎ

ْﺮ

ت

ْ

ْ

ﺄْ

ْ

إ

Artinya : ma’qil berkata : kemudian (setelah turun ayat), aku bayar kafarat atas sumpah yang aku ucapkan dan aku kawinkan dia dengan saudara perempuanku (Imam Abu Daud VI : 110)

Kemudian untuk mengatasi kemungkinan adanya pertanyaan yang bersifat

mendasar mengenai status ayat yang memakai ungkapan yang umum dan sebab

nuzul yang khusus. Kiranya patut dikutip ulasan fukaha mengenai hal ini.

Diantaranya adalah mufassir, Fahruddin Arrozi, sebagaimana diungkapkan

Abdurrahman al Jaziri bahwa beliau memberikan keterangan:

(53)

Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa saudara perempuan

ma’qil secara khusus, tetapi khitab dari ayat tersebut adalah umum, sehingga

dengan demikian, (kandungan) sama) yaitu menghalang-halangi wanita (untuk

kawin) baik yang menghalangi itu wali atau bukan (karena) maka ayat tersebut

tidak saja terbatas pada para wali, (akan tetapi) juga yang lain). (Abdurrahman Al

Jaziri. 48)

Kiranya tidak berlebihan, kalau pengertian dari kaumuman dari khitab

ayat tersebut dibatasi para wali saja. Artinya para wali secara umum, baik

mengenai ma’qil atau yang lain, asalkan dalam kondisi yang sama yaitu ‘‘adhal.

Pengertian yang sama seperti ini pula yang pernah dijelaskan oleh imam

syafi’i dalam pembelaannya terhadap pendapat beliau sendiri. Antara lain

menjelaskan :

ﻓﺎ

ْن

أ

ن

ْ

ﺪأ

ْا

ذ

ْآ

ْا

ْز

و

جا

ْا

د

ا

ا

ْ

ْو

ءﺎ

،

ن

ﺰ ا

ْو

ج

إ

ذ

ا

ْا

ْﺮ

أة

ْا

ا

ْﺪ

ا

سﺎ

ْﻬ

ﻜْ

ْ

ْ

و

ْﺮ

ك

ْأ

ْن

ْ

ْ

ْ

ﻬﺎ

.

Ada tuduhan sementara orang, bahwa kehendak ayat (diatas) tertuju pada

para suami. Padahal ayat memberikan petunjuk bahwa sesungguhnya syar’i,

melarang melakukan ‘adhal, itu kepada para wali, karena apabila para suami telah

(54)

dari padanya (bekas istrinya). Bagaimana mungkin orang sudah tidak ada hak dan

bersangkutan bisa melakukan pencegahan terhadapnya. ( Imam Syafi’i. 172)

Demikian kisah wali adhal yang termuat di dalam sejarah fiqih islam,

berikut tanggapan atau ulasan berbagai pendapat para fuqaha’mengenai hal

tersebut. namun demikian, hal yang perlu di perhatikan dan dilindungi oleh

hukum (syara) yaitu hak dan kewajiban antara pihak wali dan pihak orang di

walinya. yang manakala di langgar atau di abaikan akan menimbulkan

kekeliruan atau bahkan ketidak adilan wali ‘adhal. bila ditelusuri melalui sejarah,

adalah wali yang melakukan tindakan yang kalau di nilai tidak adil. karena itu

syari’melarangnya. hal ini pula pernah di ungkap oleh seorang ahli fiqih yaitu

syeh Abdurrahman al jaziri melalui keterangannya:

ا

ن

ﷲا

أ

ْو

ءﺎ

ا

سﺎ

ْﻬ

هﺎ

ْ

ْ

ْ

ﺰ ا

و

جا

ْ

ْﺮ

ْﻮ

ْ

ز

ْو

،

ْﻮ

ْ

ْ

ء

ْا

ْو

ءﺎ

ْا

ْ

آ

نﺎ

ﺑﺎ

ْ

ْ

ه

و

ا

ْﻪ

آ

نﺎ

ْﻜ

أ

ْن

ْﻮ

ل

ا

ءﺎ

إ

ذ

ا

ْ

ﺰ ا

وا

ج

و

أ

اﻮ

ْ

.

(55)

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kiranya menjadi penting, dan perlu

kiranya untuk di ungkapkan seberapa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang di

miliki kedua belaah pihak, yakni wali dari maulanya. Sehingga dari sini akan

Nampak jelas, hak mana bila di cegah akan akan di nilai suatu pelanggaran

(ketidakadilan .dari ini juga dapat di temukan kriteria fiqih mengenai wali ‘adhal

ini.

Pada dasarnya seorang wali mempunyai hak-hak di samping mempunyai

kewajiban-kewajiban,terutama ,yang menyangkut hal-hal mengatur,menjaga,

mengusahakan sampai pada pelaksanaan perkawinan atas dirinya perempuan

yang di walinya.namun di samping hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi si

wali,perempuan yang di walipun tidak sepi dari hak dari kewajiban yang di

milikinya.seorang anak perempuan memang sudah menjadi kewajibannya untuk

patut kepada aturan dan kehendak walinya,jika hal itu sudah menjadi haknya.

Untuk ini bisa di ambil sebagai berikut:

1. Pelanggaran wali atas perempuan yang di walinya kawin dengan :

a. Laki-laki yang berbeda agama (musyrik) hal ini telah di jelaskan

pelarangannya dalam nash alQur’an: pada surat Al-Baqarah ayat: 122

(56)

Artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

b. Laki-laki yang tidak sejodoh (sekufu).hal ini di peroleh keterangan dari

hadits riwayat ibnu majjah,al-hakim dan baihaqi dari aisyah ra.bahwa

nabi SAW pernah bersabda:

او

ْ

ْ

و

ْا

ْا

اﻮ

ْآ

ءﺎ

و

ْا

إ

اﻮ

ْﻬ

ْ

)

ﺪ ا

(

Artinya : “Pilihlah wahai para wali untuk anak keturunan (anak perempuanmu),kawinkanlah laki-laki dengan sejodoh,dan kawinkanlah dengan mereka.” (Jalauddin as Suyuti :130) Juga di terangkan dalam hadits yang lain,yaitu di riwayatkan oleh

attirmidji dari abu hatim al muzanni,yang berbunyi:

إذ

أ

ا

آﺎ

ْ

ْ

ْﺮ

ْﻮ

ن

د

ْ

و

ْ

ْﺎ

ا

اﻮ

ْ

ْﻮ

ْ

ْ

و

دﺎ

آ

ْﺮ

Artinya : “takkala datang kepadamu (untuk melamar kawin)seseorang yang kamu sukai agama dan akhlaknya,maka kamu kawinkan dia,sebab jika tidak kamu lakukan itu tinggal tungguan fitnah yang menimpa selai kerusakan yang besar” (M.Ali As saukani V1:261)

2. Pelarangan/ pencegahan wali karena menurut pengetahuan ada rintangan

(57)

a. Harus melalui kawin muhallil, karena baginya telah terkena talak tiga

(ba’in kubro), atau

b. Laki-laki yang meminangnya ada hubungan sesusuan (syihabuddin

alqayubi III : 225)

Adapun hak-hak perempuan yang diwali diantaranya:

1. Hak untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk mementukan jodoh yang

melamarnya. Hal ini terlihat pada perempuan yang menjanda. Hal ini

diterangkan oleh Imam Muslim abu hurairah ra. Bahwa nabi pernah

bersabda :

ْﻜ

ْا

ْﺴ

ْﺄ

و

ْﻜ

ْا

ْﻜ

ْﺴ

ْﺄذ

ن

اﻮ

و

آ

ْ

ا

ْذ

ر

ْﻮ

ل

ﷲا

؟

لﺎ

:

أ

ْن

ْﺴ

.

Artinya: tidak boleh dikawinkan janda sehingga ia dimintai persetujuannya, dan tidak bisa dikawinkan gadis sehingga ia dimintai izinnya. Tanya sahabat, lalu bagaimana izinnya wahai rasulullah? Jawab beliau, dia berdiam. (Imam Muslim : 594) Juga di temui pada hadits yang lain dari ibnu abbas,yang berbunyi:

ا

أ

ْ

ﻬﺎ

ْ

و

و

ْا

ْﻜ

ْﺴ

ْﺄذ

ن

و

إْذ

ﻬﺎ

.

Artinya: bagi janda yang lebih berhak atas dirinya dari pada walinya,sedang bagi gadis cukup dengan meminta ijinnya adalah diamnya.(Imam Muslim : 594)

2. Hak untuk menerima atau mengambil/mencegah mahar dari pihak (calon)

(58)

kontan),hal itu tidak mempengarui akan haknya. Bagaimanapun mengenai

mahar adalah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa anak yang lahir dari perkawinan orang tua yang wali nikahnya ayah angkat adalah anak sah dan memiliki hubungan nasab

Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan memahami apakah pengaturan wali hakim sebagi pengganti dari wali mujbir dalam perkawinan berdasarkan hukum

3.2 Alasan hukum agar wali hakim dapat bertindak sebagai pengganti dari wali mujbir dalam perkawinan berdasarkan hukum Islam

Dalam menetapkan wali nasab terdapat beda pendapat di kalangan ulama. Hal ini terjadi karena tidak adanya petunjuk yang jelas dari Nabi, sedangkan Al Qur’an tidak

Seperti yang telah dijelaskan di muka bahwa 'illat hukum dari wajibnya kehadiran dan izin wali dalam pernikahan adalah untuk memelihara kemaslahatan anak gadis

Perbedaan lainnya adalah dalam keadaan para kerabat dekat yang disebut wali (dari pihak ayah) tersebut tidak ada, maka masih ada yang lain sebelum hakim atau petugas yang

Pengambilalihan Wewenang Wali Nasab Perspektif Kultur Hukum Jika hukum itu ingin diakui masyarakat tanpa adanya unsur pemaksaan maka disamping harus rasional, hukum harus bermula dari