• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kematangan emosi dengan agresivitas remaja akhir laki-laki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan kematangan emosi dengan agresivitas remaja akhir laki-laki"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN

AGRESIVITAS REMAJA AKHIR LAKI-LAKI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

FARADINA ANGGRAINI PUTRI NIM. 106070002239

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI (EMOTIONAL MATURITY) DENGAN AGRESIVITAS REMAJA AKHIR LAKI-LAKI telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 6 Desember 2010 Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 1956 1223 1983 032001

Anggota

Penguji I Penguji II

Drs. Rahmat Mulyono, M.Si, Psi Dr. Achmad Syahid, MA NIP. 19650220 1999903 1 003 NIP. 19681107 199403 1 005

Pembimbing II

(3)

HUBUNGAN KEMATANGAN EMOSI DENGAN AGRESIVITAS

REMAJA AKHIR LAKI-LAKI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Faradina Anggraini Putri

NIM.106070002239

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Achmad Syahid, MA Mulia Sari Dewi. M. Si

NIP. 19681107 199403 1 005 NIP. 19780502 200801 2 026

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Faradina Anggraini Putri

NIM : 106070002239

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Kematangan Emosi dengan Agresivitas Remaja Akhir” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau ciplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 6 Desember 2010

Faradina Anggraini Putri NIM 106070002239

(5)

i

“Damai Itu

(6)

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Desember 2010

(C) Faradina Anggraini Putri

(D) Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Agresivitas Remaja Akhir Laki-laki

(E) Halaman : 65 halaman + lampiran

(F) Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, di mana pada masa ini perkembangan biologis, kognitif dan sosio-emosional memasuki masa maturity (kematangan). Perkembangan emosi remaja akhir telah memasuki kematangan di mana remaja mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Tingkat emosi tersebut merupakan suatu keadaan dimana seseorang mampu mengontrol emosinya dan tidak meledakkan emosinya dihdapan orang lain sehingga individu tersebut bisa mencapai tingkat kematangan, hal ini dikenal dengan istilah kematangan emosi.

Remaja yang sosio-emosionalnya sudah mature (matang), mampu mengurangi agresivitas dengan teman sebayanya. Agresivitas adalah suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas remaja akhir laki-laki.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Persada Indonesia YAI dengan sampel 95 orang remaja akhir yang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti yakni; remaja akhir laki-laki, berusia 18 sampai 22 tahun, kuliah di kampus UPI YAI yang dekat dengan daerah pusat bentrokkan yaitu dekat dengan kampus UKI Jakarta Pusat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model likert. Teknik pengolahan dan analisa dilakukan dengan analisa statistik korelasi.

Jumlah item valid untuk skala kematangan emosi adalah 27 item dari 49 item dengan reliabilitas sebesar 0.900, untuk skala agresivitas jumlah item yang valid adalah 20 item dari 29 item dengan reliabilitas sebesar 0.921. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik diperoleh F hitung sebesar -.241 dan signifikansi p=0.019 ini berarti

(7)

iii

hipotesis nihil (Ho) ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan dengan arah negatif antara kematangan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir laki-laki. Saran praktis penelitian ini adalah pentingnya meningkatkan kematangan emosi agar meminimalisir agresivitas di usia remaja akhir. Hal ini terkait dengan harapan bahwa mahasiswa sebagai harapan bangsa dapat memberikan contoh yang baik untuk mereka yang lebih muda.

(8)

v ii

DAFTAR ISI Cover

Pengesahan Oleh Panitia Ujian Lembar Pengesahan Pembimbing

Motto ...i

Abstrak ...ii

Kata Pengantar ...iv

Pernyataan Bukan Plagiat ...vi

Daftar Isi ...vii

Daftar Tabel ...x

Daftar Gambar...xi

Daftar Lampiran ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ...11

1.2.1 Pembatasan Masalah...11

12.2 Perumusan Masalah ...12

1.3 Tujuan Penelitian ...12

1.4 Manfaat Penelitian...12

1.5 Sistematika Penulisan ...13

BAB II KAJIAN PUSTAKA...15

2.1 Agresivitas ...15

2.1.1 Definisi Agresivitas ...15

2.1.2 Jenis-jenis Agresivitas ...17

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas ...20

2.2 Kematangan Emosi ...26

2.2.1 Definisi Kematangan Emosi ...26

(9)

v iii

3.6 Hasil Uji Instrumen Penelitian ...46

(10)

ix

3.6.2 Hasil Uji Validitas Skala Agresivitas ...48

3.6.3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kematangan Emosi dan Skala Agresivitas...48

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ...53

4.2.1 Gambaran Kematanga Emosi ...53

4.2.2 Gambaran Agresivitas ...54

4.3 Hasil Penelitian ...56

4.3.1 Hasil Uji Hipotesis ...56

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ...59

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Bentrokan Mahasiswa UPI YAI – UKI……… 9

Tabel 3.1 Format Skoring Skala Kematangan Emosi dan Agresivitas…. 43 Tabel 3.2 Bluprrint Skala Kematangan Emosi……….. 44

Tabel 3.3 Blueprint Skala Agresivitas……… 45

Tabel 3.4 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi……… 47

Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Skala Agresivitas………. 49

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia………. 52

Tabel 4.2 Descriptive Statistics……….. 53

Tabel 4.3 Kategorisasi skor skala Kematangan Emosi……….. 54

Tabel 4.4 Klasifikasi Kematangan Emosi sesuai Usia………... 54

Tabel 4.5 Descriptive Statistics……….. 55

Tabel 4.6 Kategorisasi Skor Skala Agresivitas……….. 55

Tabel 4.7 Klasifikasi Agresivitas sesuai Usia……… 56

Tabel 4.8 Korelasi Skala Kematangan Emosi dan Agresivitas... 57

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir……… 39

(13)

mahasiswa tersebut dikarenakan adanya perubahan yang terjadi pada beberapa aspek fungsional individu, yaitu fisik, psikologis dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin banyak tanggung jawab yang perlu dilaksanakan.

Perubahan biologis pada masa ini meliputi perubahan fisik, termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses biologis ; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja; sedangkan perubahan sosioemosional meliputi interaksi remaja dengan orang lain, kematangan emosi, kepribadian dan peran konteks sosialnya (Santrock, 2007). Masa remaja adalah suatu periode yang sering dikatakan sebagai periode “badai dan tekanan” yaitu sebagai suatu masa dimana terjadi ketegangan emosi yang tinggi yang diakibatkan adanya perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980).

Jadi, dimasa ini remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu, karena mereka ada dalam masa peralihan dan mereka berusaha menyesuaikan perilaku baru dari fase-fase perkembangan sebelumnya. Gejolak ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri dan memantapkan posisinya dalam masyarakat); oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder), perkembangan inteligensi (penalaran yang tajam dan kritis), serta perubahan emosi (lebih peka, cepat marah dan agresif). Hal ini sesuai dengan pendapat Santrock (2007), bahwa proses perkembangan sosio-emosional (socio-emotional process) melibatkan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain dan konteks sosial. Contohnya seperti menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap kawan-kawan

(14)

sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja.

Menurut Sarwono (2008), remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya. Kurun usia remaja sering disebut sebagai periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dengan masa dewasa yang penuh gejolak. Gejolak yang terjadi ditimbulkan baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri, memantapkan posisi dalam masyarakat tersebut) maupun oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang tidak proposional) dan perubahan emosi (lebih peka, lebih cepat marah, agresif ) serta perkembangan intelegensinya (makin tajam bernalar, makin kritis).

Emosi remaja menurut Hall (dalam Hurlock, 1980), digambarkan dengan ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Goleman (1996), menyatakan bahwa semua emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Emosi akan mempersiapkan tubuh untuk suatu reaksi, misalnya seseorang yang berada pada keadaan yang tidak menyenangkan hingga menyebabkan orang tersebut marah, secara biologis, darah akan mengalir ke tangan, detak jantung meningkat, hormon adrenalin akan membangkitkan energi yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat, sehingga dengan mudah tangan memukul orang yang menyebabkan marah (dalam Fauza, 2004).

(15)

Emosi marah yang bersifat negatif dan meledak-ledak disertai dengan faktor eksternal seperti frustrasi dan provokasi, menyebabkan terjadinya proses penyaluran energi negatif berupa dorongan agresi yang akan mempengaruhi perilaku individu. Individu dengan tingkat kematangan emosional tinggi mampu meredam dorongan agresi dan mengendalikan emosinya, pandai membaca perasaan orang lain, serta dapat memelihara hubungan baik dengan lingkungannya. Sehingga, apabila individu memiliki kematangan emosi yang baik maka individu tersebut mampu untuk mengendalikan perilaku agresifnya (Rahayu, 2008).

Adapun yang dimaksud dengan kematangan emosi adalah satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial (Hurlock, 1980).

Kematangan emosi dipengaruhi oleh faktor usia dan pengalaman. Meski usia tidak menjamin kematangan seseorang, namun dengan bertambahnya usia diharapkan seseorang akan menjadi lebih matang (psikis, fisik, sosial-emosional), sehingga seseorang akan mampu menerima berbagai hal yang mungkin menimbulkan perasaan marah, takut, dan sebagainya. Makin bertambahnya usia seseorang, makin baik kemampuannya dan makin luas perspektifnya dalam memandang suatu masalah. Pertambahan usia juga menyebabkan emosi semakin terdiferensiasi dan ekspresi emosi semakin terkontrol (Hurlock, 1980; Jersild, 1965). Remaja akan mengalami kematangan emosi di usia 17 tahun, sebagaimana

(16)

yang diungkapkan Al-Mighwar (2006), dalam aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda menunjukkan kestabilan emosi. Hurlock (1980) juga mengemukakan hal yang sama, bahwa remaja akhir telah memasuki kematangan emosi di mana remaja mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya

Kekerasan sangat dekat dengan istilah agresi, tindakan ini berakibat pada

kerusakan atau tersakitinya pihak lain. Tindakan agresi lebih pada sikap seseorang, sedangkan kekerasan lebih pada tindakan atau perilaku seseorang yang semuanya memiliki faktor pencetus baik dari luar maupun dari dalam (Khisbiyah; Wahab, 2006; Rahayu, 2008). Istilah agresivitas/agresi sering digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku. Pada dasarnya semua perilaku agresivitas mempunyai satu kesamaan yaitu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Berkowitz (1995, dalam Luthfi dkk, 2009) mendefinisikan agresivitas sebagai suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Moore dan Fine (1968 dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara visik ataupun secara verbal terhadap individu lain. Maka perilaku agresi bukan hanya secara fisik saja, perkataan yang ditujukan kepada seseorang dan mengakibatkan orang lain tersakiti hatinya merupakan salah satu bentuk perilaku agresi.

Tidak sedikit pula diberitakan di media massa, terjadinya perkelahian antar

mahasiswa yang di picu oleh hal-hal yang kurang rasional dan akibat dari perilaku agresif yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut akan menimbulkan

(17)

peritiswa yang mengganggu kegiatan perkuliahan, dan lingkungan, seperti diberitakan oleh Kompas (2008), bentrokan antara ratusan mahasiswa Universitas UKI dan Universitas Persada Indonesia (UPI YAI), menyebabkan jatuh korban dari dua pihak dan arus kendaraan di sekitar Jalan Salemba macet, mahasiswa kedua universitas itu saling lempar batu dan bom molotov. Bahkan, sebuah gedung di areal Kampus UKI terbakar akibat lemparan bom Molotov (Liputan 6, 2009).

Peristiwa di atas dapat dijadikan sebagai suatu gambaran bahwa agresivitas merupakan manifestasi penyaluran kebutuhan naluri yang ditekan oleh suatu sistem kepribadian yang disebut ego. Pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang memiliki egosentris yaitu terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri, namun di masa perkembangannya, egosentrisme itu akan berubah menjadi keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain (Sarwono, 2008). Apabila dikaitkan dengan peristiwa bentrokan di atas, hal ini mungkin karena telah berkembangnya egosentrisme mahasiswa, sehingga mereka merasa tidak menerima ketika ada temannya yang dilecehkan atau diserang dan terjadilah perkelahian massal antara dua Universitas swasta tersebut. Dalam hal ini, kita dapat melihat betapa besarnya pengaruh lingkungan terhadap proses perkembangan individu.

Hurlock (1980) menyatakan bahwa lingkungan sosial yang menimbulkan perasaan aman serta keterbukaan akan berpengaruh dalam hubungan sosial dan pembentukkan perilaku. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri

(18)

secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, mereka seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif, salah satunya adalah munculnya agresivitas dan perilaku agresi seperti penganiayaan terhadap teman sebaya, pemalakan dan sebagainya.

Tingkah laku agresif merupakan perilaku fisik atau lisan yang disengaja, tujuannya untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myres dalam Sarwono, 2002). Hasil penelitian membuktikan bahwa masa remaja adalah masa yang paling rawan terhadap tindak kekerasan dan dapat dikatakan merupakan puncak keterlibatan seseorang dengan tingkah laku agresif (Moffit & Wolfgang dalam Soffat, 1998).

Masalah perilaku agresi memang rumit dan penanggulangannya tidak hanya secara individual, melainkan lingkungan juga harus diciptakan agar perilaku agresif tidak berkembang sehingga berada di luar kontrol. Perilaku agresif hampir selalu punya konotasi negatif karena dampaknya sering kali destruktif dan menakutkan. Oleh karena itu, tidak heran bila masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa mengekspresikan perilaku agresif itu tabu dan dilarang. Namun faktanya, kekerasan ataupun perilaku agresif setiap harinya tetap ditampilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, padahal dampaknya adalah sedikit demi sedikit akan memberikan penguatan bahwa hal itu (agresif) merupakan hal yang menyenangkan atau hal yang biasa dilakukan (Davidof, 1991 dalam Sarwono, 2009).

(19)

Sebagai kelas masyarakat terdidik, mahasiswa diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya dengan kualitas, kinerja, emosi dan mental yang baik. Mereka merupakan contoh bagi penerus bangsa yang lebih muda, menjadi miris jika remaja yang berstatus mahasiswa yang diharapkan menjadi penerus bangsa tersebut banyak yang bertingkah laku agresif. Menurut Lickona (dalam Fauza, 2004) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, salah satunya yaitu tingkah laku agresif dikalangan remaja. Dalam realitas sehari-hari dapat terlihat fenomena-fenomena yang sangat memprihatinkan dan mencengangkan di mana banyak remaja yang ikut andil dalam perilaku agresif seperti kekerasan dan kriminalitas yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Semakin sering dihadapkan pada perilaku agresif, maka akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah orang dewasa seperti mahasiswa yang melakukan tindakkan agresi pula. Situasi demikian akan membentuk penerus bangsa yang lebih muda untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di dunia pendidikkan dianggap biasa dan akan semakin meluas. Dibawah ini, peneliti lampirkan catatan bentrokan di dunia pendidikan yang terjadi di daerah Jakarta Pusat.

(20)

Tabel 1.1

Data Bentrokan UPI YAI - UKI

No Tanggal Tempat Kejadian Korban/

Kerugian

Pada penelitian terdahulu, banyak yang telah membahas tentang pengaruh kematangan emosi terhadap perilaku agresi, Aryanto (2005) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara kematangan emosi dengan agresi pada anggota POLRI”, dan hasilnya adalah ada hubungan antara kematangan emosi dengan

agresi pada anggota POLRI, dimana semakin tinggi kematangan emosi maka agresinya semakin rendah begitu pula sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka agresinya semakin tinggi. Sofia dan Nilam (2007), dengan penelitiannya yang berjudul “hubungan antara kematangan emosi dengan agresivitas pada wanita yang menikah diumur tua” juga menyatakan bahwa ada

hubungan yang signifikan.

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti “Hubungan kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir laki-laki”. Remaja

(21)

akhir (late adolescence) mempunyai reaksi emosional yang lebih stabil dari periode sebelumnya (Hurlock, 1980), sehingga diharapkan pada masa ini, remaja telah mempunyai kematangan emosi yang lebih baik dalam mengendalikan, mengatur dan mengontrol emosinya, membaca emosi orang lain dan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, sehingga dapat diharapkan pula dapat mengontrol agresivitasnya.

Pada penelitian ini, penulis hanya akan meneliti kematangan emosi dan perilaku agresif pada remaja akhir laki-laki dalam keterampilan untuk mengatur dan mengontrol emosi, remaja laki-laki pada umumnya kurang menunjukkan kontrol diri dibandingkan dengan remaja perempuan. Berdasarkan data dari lebih 100 studi dibeberapa negara, menemukan bahwa laki-laki tidak hanya lebih agresif secara fisik tetapi juga lebih agresif secara verbal dibandingkan dengan perempuan (Maccoby; Jacklin; Tieger dalam Soffat, 1998).

Edmunds & Kendrick (1980) menyatakan bahwa dua faktor penting yang amat mempengaruhi frekuensi respon agresif, yaitu kelamin (sex) dan status sosial (social class). Hal ini dibuktikan pula oleh lansky et al. 1961, Becker et al. 1962, Levin dan Sears 1956), dengan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai subyeknya, bahwa anak laki-laki lebih menunjukkan agresif fisiknya dari pada anak perempuan. Menurut Feshbach (1970 dalam Soffat, 1998), laki-laki lebih agresif secara fisik dibanding dengan perempuan karena laki-laki mempunyai otot-otot yang kuat sehingga cenderung melakukan agresi fisik dan lebih sukses untuk mencapai tujuannya. Selain itu, ditemukan adanya hubungan antara

(22)

karakteristik temperamen dengan kekuatan otot-otot yang menambah kecenderungan agresi (Soffat, 1998).

Meskipun kesenjangan gender sudah menipis pada tahun tahun belakangan ini, anak dan remaja laki-laki tetap menunjukkan tingkah laku bermasalah dengan level yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilakukan anak perempuan (Farrington, 1987 dalam Soffat, 1998).

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa Universitas Persada Indonesia (UPI YAI) laki-laki. Peneliti mengambil sampel mahasiswa UPI YAI, dengan pertimbangan beberapa kasus perilaku agresif pernah terjadi beberapa kali dalam kurun 2 tahun terakhir, yakni pada tahun 2008 dan 2009.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah

Dalam hal ini peneliti membatasi permasalahan sebagai berikut :

1. Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial.

2. Agresivitas adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun lisan, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti, dan

(23)

dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan.

3. Remaja akhir laki-laki yang berusia sekitar 18-22 tahun, apabila ditinjau dari tahapan perkembangan, maka termasuk masa remaja akhir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel mahasiswa UPI YAI.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan perilaku agresivitas pada remaja akhir laki-laki?”.

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungannya antara kematangan emosi dengan perilaku agresivitas pada remaja akhir laki-laki.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat antara lain:

a. Memperkaya khasanah teoritis khusunya dalam bidang psikologi perkembangan dan psikologi sosial.

b. Dari sisi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu sumber acuan atau pendorong untuk penelitian selanjutnya mengenai kematangan emosi dan fenomena agresivitas.

(24)

c.Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan intervensi psikologis pada remaja akhir dalam menurunkan agresivitas.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Berisi latar belakang permasalahan, permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.

BAB II : LANDASAN TEORI

Berisi teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu teori mengenai perkembangan dewasa awal, teori kematangan emosi (emotional maturity), definisi kematangan emosi, cirri-ciri orang yang matang emosinya dan karakteristik kematangan emosi, serta agresivitas yang meliputi definisi agresiagresivitas, jenis-jenis agresivitas, dan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas.

BAB III : METODE PENELITIAN

Berisi Pendekatan Penelitian, Populasi dan Sampel, Variabel Penelitaian, Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data, Teknik Analisis Statistik, Prosedur Penelitian.

(25)

BAB IV : HASIL PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Berisi mengenai uraian tentang hasil dan analisis data penelitian.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Berisi mengenai uraian kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diskusi mengenai hasil penelitian yang dibahas secara teoritis serta saran-saran yang diberikan sehubungan dengan hasil yang diperoleh dan kekurangan-kekurangan selama penelitian

(26)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kajian pustaka yang mendasari permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori yang akan dijelaskan meliputi teori mengenai agresivitas, kematangan emosi dan teori mengenai perkembangan remaja.

2.1 AGRESIVITAS 2.1.1 Definisi Agresivitas

Para ahli ilmu sosial menggunakam istilah agresi untuk setiap perilaku yang bertujuan menyakiti badan atau perasaan orang lain. Untuk memberikan batasan yang lebih terarah mengenai agresi, mayoritas ahli psikologi memberikan berbagai definisi yang dikemukakannya dalam berbagai tulisan, namun jika diperhatikan ternyata pada masing-masing definisi yang akan dikemukakan nanti, mengandung persamaan dan saling melengkapi sehingga pengertian tentang agresi sendiri menjadi lebih terarah.

Terdapat bermacam-macam definisi agresivitas, yang secara umum lebih menekankan pada tujuan ingin menyakiti. Istilah agresivitas/agresi sering digunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku. Pada dasarnya semua perilaku agresivitas mempunyai satu kesamaan yaitu bertujuan untuk menyakiti orang lain. Menurut Myers (dalam Sarwono, 2002) yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Secara operasional,

(27)

Murray (dalam Luthfi, dkk, 2009) memberikan gambaran agresi sebagai kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, menganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemooh atau menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakkan sadistis lainnya.

Buss (1980 dalam Luthfi dkk, 2009) menyatakan bahwa agresivitas merupakan suatu variabel kepribadian, suatu kelas respon yang menetap dan luas. Secara operasional agresivitas merupakan kebiasaan menyerang. Buss (1961 dalam Edmunds dan Kendrick, 1980) juga mendefinisikan agresivitas sebagai sebuah respon yang melancarkan stimulus yang merugikan atau menyakitkan pada individu lainnya. Berkowitz (1995, dalam Luthfi dkk, 2009) mendefinisikan agresivitas sebagai suatu usaha untuk melukai atau menghancurkan orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Definisi agresivitas menurut Baron & Richardson (Luthfi dkk, 2009) adalah setiap perilaku yang ditujukan untuk membahayakan atau melukai mahkluk hidup lain dan telah diperkirakan akan menghasilkan konsekwensi tersebut (ada harapan dan niat).

Agresivitas menurut Chaplin (2008) adalah kecenderungan habitual (yang dibiasakan) untuk memamerkan permusuhan. Sementara itu, Baron (2005) memberikan pengertian bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam itu. Moore dan Fine (1968, dalam Koeswara, 1988) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik atau pun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek.

(28)

Agresi menurut Setiadi (2001) adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Agresi dapat berarti pelanggaran hak asasi orang lain dan tindakan atau cara yang menyakitkan, juga perilaku yang memaksakan kehendak. David O. Sears dkk (1985) mengemukakan bahwa terdapat tiga perbedaan definisi agresi. Definisi yang paling sederhana yang menggunakan pendekatan belajar atau pendekatan perilaku (Behavioristik) adalah bahwa agresi merupakan perilaku yang melukai orang lain. Perbedaan yang kedua adalah antara agresi antisosial dengan agresi prososial. Agresi ini merupakan tindakan yang disetujui, meliputi tindakan agresif yang tidak diterima oleh norma sosial tetapi masih berada dalam batas yang wajar. Tindakan tersebut tidak melanggar standar norma yang telah diterima. Perbedaan yang ketiga adalah antara perilaku agresif dengan perasaan agresif, seperti misalnya rasa marah, mungkin saja seseorang yang sangat marah, tetapi tidak menampakkan usaha untuk melukai orang lain.

Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agresivitas yang dimaksud adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun verbal, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti baik secara fisik maupun psikologis, dan dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan atau mempunyai tujuan.

2.1.2 Jenis-jenis Agresivitas

Myers (1966, dalam Sarwono, 2002) membagi agresi kedalam dua bentuk, yaitu:

(29)

1. Agresi Instrumental (instrumental Agression)

Agresi berbentuk instrumental ini merupakan agresi yang dilakukan individu sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu, atau perilaku yang mempunyai tujuan lain. Misalnya serdadu membunuh untuk merebut wilayah musuh sesuai perintah komandan, teroris yang menyandera penumpang untuk menebus kawan-kawannya yang dipenjara, polisi yang menembak kaki tahanan yang berusaha kabur.

2. Agresi Benci (Hostile agressional) atau agresi emosional

Agresi bentuk emosional ini merupakan jenis agresi yang tujuannya adalah berbuat jahat. Agresi jenis ini merupakan ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri. Jadi agresi emosional semata-mata bertujuan untuk melukai atau menyakiti sasaran. Contohnya seperti mahasiswa yang berkelahi massal karena ada temannya yang dikeroyok.

Agresi dapat juga dibedakan berdasarkan sifat aksinya, yaitu: agresi fisik dan agresi verbal. Agresi fisik merupakan aksi fisik, seperti memukul atau menendang. Sedangkan agresi verbal merupakan pernyataan verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain, seperti umpatan, makian atau ancaman (Berkowitz, 1995).

Pembagian jenis agresi menurut Myres dan Berkowitz diatas mungkin masih terlalu umum, maka hal tersebut perlu diperinci lebih lanjut. Pembagian yang lebih rinci itu, antara lain dikemukakan oleh Buss dan Durkee (dalam

(30)

Edmunds & Kendrick, 1980) menggolongkan beberapa bentuk tindakkan agresif, yaitu sebagai berikut :

1) Penyerangan: kekerasan fisik terhadap manusia, termasuk perkelahian namun tidak termasuk perusakan terhadap properti.

2) Agresi yang tidak langsung, misalnya menyebarkan gossip yang berkonotasi negatif atau gurauan (yang negatif) dan tempertantrum.

3) Negativisme: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja sama, menolak untuk patuh dan pembangkangan.

4) Agresi Verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 5) Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temperamen yang cepat

meninggi dan tindakkan kekasaran.

6) Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain.

7) Kecurigaan: ketidakpercayaan dan proyeksi permusuhan terhadap orang lain, bentuk ekstrim dari kecurigaan ini adalah paranoia.

Buss dan Perry (1992), menggolongkan tindakkan agresif ke dalam empat golongan yang mana diadaptasi dari Buss dan Durkee, yakni :

1. Agresi fisik : kekerasan fisik dan termasuk perusakan properti. 2. Agresi verbal : berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 3. Amarah (anger) : temperamental, mudah tersulut amarah.

4. Rasa permusuhan : pendemdam, mudah cemburu, mudah curiga.

Dari berbagai pendapat mengenai jenis perilaku agresi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku agresif dapat dilakukan dengan cara

(31)

langsung maupun tidak langsung, secara fisik (seperti; menendang, memukul, menginjak) maupun non fisik (contohnya; mencibir, memeletkan lidah ), verbal aktif (seperti; berbicara kasar dan kotor, mengata-ngatai) maupun verbal pasif (mengumpat, berbisik-bisik dengan teman membicarakan keburukan temannya yang lain), yang memiliki caranya sendiri.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresivitas di antaranya : 1. Frustasi

Yang dimaksud dengan frustasi adalah situasi di mana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang di inginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan (Koeswara, 1988). Frustasi (keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu motif untuk agresi. Ketakutan akan hukuman atau tidak disetujui untuk agresi melawan sumber penyebab frustasi mengakibatkan dorongan agresi diarahkan melawan sasaran lain (Meier, 1983 dalam Dayakisni, 2009). Dollard dan kolega-koleganya (1939, dalam Myers, 2005) menyatakan bahwa frustasi selalu mengarah pada tindakkan agresi.

2. Stress

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai definisi stress. Para peneliti dalam bidang fisiologi mendefinisikan stress sebagai reaksi, respons, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal atau perubahan lingkungan (Selye, 1946, Mason, 1971 dalam Koeswara, 1988).

(32)

Sedangkan para ahli psikologi, psikiatri dan sosiologi mengonsepsikan stress bukan sebagai respon, melainkan sebagai stimulus. Engle (1993 dalam Koeswara, 1988) mengajukan definisi stress yang lebih lengkap, yang meliputi sumber-sumber stimulus eksternal dan internal: “ stress menunjuk pada segenap proses, baik yang bersumber pada kondisi-kondisi internal maupun lingkungan eksternal yang menuntut penyesuaian atas organisme”.

3. Media Kekerasan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Black & Bevan (dalam Baron & Byrne, 1993), para relawan yang menonton film kekerasan mempunyai skor lebih tinggi pada pengukuran kecenderungan agresivitas, dibandingkan dengan mereka yang menonton film non-kekerasan. Menurut Berkowitz (1995), meluasnya agresi antara lain disebabkan oleh banyaknya adegan kekerasan yang ditayangkan dalam film-film dan televisi.

Karena 2 dari 3 acara televisi mengandung kekerasan, dampaknya adalah peniruan dan peningkatan agresivitas (Eron, 1987;Gerbner, 1994 dalam dalam Sarwono, 2002). Menonton model agresif dapat melancarkan keinginan agresivitas dan mengajarkan mereka cara baru untuk melakukan agresi (Myers, 2005).

Pengararuh media lainnya khususnya bagi anak-anak adalah video game, menurut Anderson (2004 dalam Myers, 2005) 59% pada anak perempuan

(33)

dan 73% anak laki-laki melaporkan bahwa mereka lebih memnyukai permainan yang mengandung unsur kekerasan.

4. Deindividuasi

Menurut Lorenz (dalam Dayaksini, 2009), deindividuasi dapat mengarahkan individu kepada keleluasaan dalam melakukan agresi sehingga agresi yang dilakukannya menjadi lebih intens.

5. Kekuasaan dan Kepatuhan

Peranan kekuasaan sebagai pengarah kemunculan agresi tidak dapat dipisahkan dari salah satu aspek penunjang kekuasaan itu, yakni kepatuhan (compliance) (Dayaksini, 2009). Koeswara (1988) juga menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah kekuasaan menjadi kekuatan yang memaksa (Coercieve), memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan agresi.

6. Faktor Lingkungan

Kondisi lingkungan yang ada, dapat mempengaruhi perilaku agresi. Pada manusia, bukan hanya sakit fisik saja yang dapat memicu agresi, melainkan juga sakit hati (psikis) (Berkowitz, 1983,1989 dalam Sarwono 2002). Kondisi lingkungan sering sekali mempengaruhi mood seseorang (Deaux et al, 1993).

Demikian pula udara yang sangat panas lebih cepat memicu kemarahan dan agresi (Griffit, 1971, dalam Sarwono 2002). Dalam penelitian juga terbukti bahwa dalam kurun waktu antara 1967-1971, huru-hara lebih sering terjadi dimusim panas disaat udara panas menyengat dari pada

(34)

dimusim gugur, musim dingin atau musim semi (Clarsmith & Anderson dalam Sarwono, 2002).

Faktor lingkungan lainnya adalah rasa sesak dan berjejal (crowding), yang juga dapat memicu agresi. Menurut Flemming, Baum & Weiss (1987, dalam Sarwono 2002), didaerah perkotaan yang padat penduduk selalu lebih banyak terjadi kejahatan dengan kekerasan.

7. Provokasi

Provokasi atau verbal attack menurut Deaux et al(1993), secara langsung merupakan pengaruh nyata dalam timbulnya suatu perilaku agresi. Wolfgang (1957, dalam Dayaksini, 2009), mengemukakan bahwa ¾ dari 600 pembunuhan yang diselidiknya terjadi karena adanya provokasi dari korban. Sedangkan Beck (dalam Dayaksini 2009) mencatat bahwa sebagian besar pembunuhan dilakukan oleh individu-individu yang mengenal korbannya, dan pembunuhan itu terjadi dengan didahului adanya adu argumen atau perselisihan antara pelaku dan korbannya.

8. Pengaruh obat-obatan terlarang (drug effect)

Banyak terjadinya perilaku agresi dikaitkan pada mereka yang mengkonsumsi alkohol. Menurut penelitian Phil & Ross (dalam Dayaksini, 2009), mengkomsumsi alkhohol dalam dosis tinggi meningkatkan kemungkinan respon agresi ketika seseorang di provokasi. Mengkomsumsi alkohol dalam dosis tinggi akan memperburuk proses kognitif (cognitive disruption), yaitu mengurangi kemampuan seseorang untuk mengatasi atau bertahan dalam situasi-situasi yang sulit. Gangguan

(35)

kognitif ini khususnya mempengaruhi reaksi terhadap isyarat-isyarat (cues) yang samar, sehingga lebih mungkin mereka akan melakukan interprestasi yang salah tentang perilaku orang lain sebagai agresif atau mengancam dirinya.

Laporan dari komisi pengawasan obat-obatan non-medis di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa, mengkomsumsi alkohol yang berlebihan oleh individu yang berkepribadian labil dan atau individu-individu yang memiliki masalah-masalah psikiatris dan neurologis tertentu adalah suatu tindakkan yang bisa mengarahkannya kepada kemunculan tindak kekerasan termasuk agresi seksual (1973, dalam Koeswara, 2002).

9. Arousal yang bersifat umum

Agresi sebenarnya disebabkan oleh ketergugahan (arousal) bersifat umum yang akan meningkatkan kecenderungan munculnya tingkah laku agresif (Deaux et al, 1993). Teori ini dikemukakan oleh Zillman yang disebut dengan excitation transfer theory (Zillman, dalam Deaux et al, 1993). Menurut teori ini, ketergugahan yang dihasilkan dalam suatu situasi, dapat ditransfer kepada berbagai keadaan emosional dan dapat meningkatkan itensitas emosional tersebut.

Secara spesifik, Zillman (dalam Deaux et al, 1993) menyatakan bahwa ekspresi kemarahan (atau berbagai emosi lain) tergantung pada tiga faktor, yaitu:

a) Disposisi atau kebiasaan yang dipelajari seseorang.

(36)

b) Beberapa sumber energi dari ketergugahan.

c) Interprestasi yang diberikan seseorang terhadap ketergugahan yang dialami.

10. Pengaruh Kepribadian

Salah satu teori sifat (trait) mengatakan bahwa orang-orang dengan tipe kepribadian A (kompetitif, cepat tersinggung, selalu terburu-buru dan sebagainya) lebih cepat menjadi agresif daripada orang dengan tipe kepribadian B (ambisinya tidak tinggi, puas dengan keadaan dirinya, tidak terburu-buru dan sebagainya) (Glass dalam Sarwono, 2002). Pengaruh lainnya dari sifat kepribadian terhadap perilaku agresif adalah sifat pemalu. Orang yang bertipe pemalu cenderung menilai rendah diri sendiri, tidak menyukai orang lain dan cenderung mencari kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu tipe pemalu cenderung lebih agresif dari orang yang tidak pemalu (Tangney, 1990; Harder & lewis, 1986 dalam Sarwono, 2002).

11. Efek Senjata

Terdapat dugaan bahwa senjata memainkan peranan dalam agresi tidak saja karena fungsinya mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan agresi, tetapi juga karena efek kehadirannya. Suatu penyelidikan antar negara mengenai penggunaan senjata api pada tahun 1973 menyatakan bahwa pada tahun tersebut di Amerika Serikat korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api tercatat 67% sedangkan di Inggris

(37)

korban yang tewas karena agresi dengan menggunakan senjata api berjumlah 10% dari seluruh korban agresi (Koeswara, 1988).

2.2 Kematangan Emosi

2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi

Rice (2004, dalam Khairani, 2009), mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya di ubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan.

Menurut Hurlock (1980) emotional maturity (kedewasaan emosional) adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial.

Smitson (dalam Katkovsky , 1976) kematangan emosi adalah suatu proses yang mana kepribadian secara terus menerus berusaha keras untuk mencapai sense emosional yang sehat, baik secara intrapsikis maupun interpersonal.

Sedangkan kematangan emosi menurut Jersield (1965) adalah di mana individu dapat menyesuaikan diri pada stereotip kematangan yang berlaku di budaya di mana individu tersebut tinggal. Walgito (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki kematangan emosi adalah individu yang dapat mengendalikan emosinya maka individu akan berpikir secara matang, berpikir secara obyektif. Orang yang telah matang emosinya akan dapat mengontrol emosinya dengan baik, merespons

(38)

stimulus dengan cara berpikir baik, tidak mudah frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu keadaan di mana individu dapat mengendalikan emosinya tidak seperti masa sebelumnya, baik secara psikis maupun dalam hubungan interaksinya dengan lingkungannya sehingga individu mampu untuk mencapai tingkat emosional yang sehat.

2.2.2 Ciri-Ciri Orang yang Matang Emosinya

Hollingworth (1928 dalam Jersild, 1965), mengidentifikasi orang yang telah mencapai kematangan emosi adalah sebagai berikut:

1. Dapat menyikapi perubahan bertahap atau tingkat perubahan respon emosional.

2. Dapat menunda responnya; dan tidak bersikap impulsif seperti anak kecil 3. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan, dapat mengendalikan

self pity. Ini dilihat pada caranya untuk memberikan/mengatasi rasa

kasihan pada diri sendiri.

Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan rekasi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain dengan keterbukaan perasaan.

Sedangkan menurut Hurlock (1980), remaja yang emosinya matang mampu memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau

(39)

suasana hati ke suasana hati yang lain, seperti dalam periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja yang matang emosinya seperti apabila pada akhir masa remaja tidak “meledakkan” emosinya dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya pada saat, waktu dan tempat yang tepat. Petunjuk yang lainya adalah bahwa individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional.

Walgito (2002) mengemukakan beberapa ciri-ciri orang yang matang emosinya, sebagai berikut :

1. Dapat menerima baik keadaan dirinya maupun keadaan orang lain seperti apa adanya, sesuai dengan keadaan obyektifnya. Hal ini disebabkan bahwa orang yang telah matang emosinya dapat berpikir secara baik dan berpikir secara obyektif.

2. Tidak bersifat impulsif. Individu yang memiliki kematangan emosi mampu merespon stimulus dengan cara berpikir baik dan dapat mengatur pikirannya.

3. Dapat mengontrol emosi dan ekspresi emosinya secara baik. Meskipun dalam keadaan marah, individu yang memiliki kematangan emosi tidak akan menampakkan kemarahannya itu keluar serta dapat mengatur kapan kemarahan itu perlu dimanifestasikan.

4. Bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya mempunyai toleransi yang baik.

(40)

5. Memiliki tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami frustasi dan akan menghadapi masalah dengan penuh pengertian.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang matang emosinya adalah yang dapat menyikapi respon emosional dengan tepat, tidak bersifat impulsif, dapat mengendalikan self pity, mempunyai reaksi emosional yang stabil, dan dapat mengendalikan emosinya di segala situasi.

2.2.3 Karakteristik Kematangan Emosi

Menurut Smitson (dalam Katkovsky,1976), karakteristik kematangan emosi adalah sebagai berikut:

1. Kemandirian (toward independence)

Pengalaman dari bayi dan masa kanak-kanak menciptakan keinginan yang kuat untuk meraih kesenangan yang diinginkan. Melepaskan diri dari ketergantungan dengan orang tua, tidak seperti masa sebelumnya. Kemampuan untuk dapat menentukan dan memutuskan apa yang dikehendakinya serta bertanggung jawab akan keputusannya itu.

2. Kemampuan untuk menerima realita (ability to accept reality)

Dapat menerima realita kehidupan dengan segala keanehannya, kejujuran maupun ketidak jujurannya, segala keindahan dan keburukkannya. Bisa menyikapi masalah dengan berbagai jalan dan cara yang ia punya. Dapat menerima kenyataan bahwa dirinya tidak selalu sama dengan orang lain, bahwa ia memiliki kesempatan, kemampuan serta tingkat intelegensi yang berbeda dengan orang lain.

(41)

3. Penyesuaian diri (adaptability)

Ini adalah salah satu unsur yang amat penting dalam kematangan emosi. Salah satu hal yang membedakan antara orang yang emosinya sehat adalah pada tingkat fleksibilitasnya, di mana pada orang yang tidak sehat emosinya akan memberikan respon kaku dalam berinteraksi dan dalam situasi tertentu. Kemampuan untuk mudah menerima orang lain atau situasi tertentu dengan cara-cara yang berbeda. Dengan kata lain dapat bersikap fleksibel dalam menghadapi orang lain atau situasi tertentu.

4. Kesiapan untuk merespon dengan tepat (readiness to respond)

Hal ini meliputi kesadaran diri tentang keunikan yang dimiliki setiap orang, sehingga kita dapat merespon sesuai dengan keunikan-keunikan yang individu miliki. Dengan demikian dapat diharapkan individu mampu merespon dengan tepat pada keunikan masing-masing individu.

5. Kepasitas untuk seimbang (capacity to balance)

Orang yang matang emosinya selalu melihat segala situasi dari berbagai sudut. Kematangan emosi tergantung terhadap pengembangan ketahanan seseorang terhadap kegagalan disetiap interaksinya. Individu dengan tingkat kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa sebagai mahkluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain, namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungannya itu akan menyebabkan ia diperalat oleh orang lain.

6. Kemampuan berempati (empathic understanding)

(42)

Kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan pikirannya.

7. Pengendalian kemarahan (challenging anger)

Agar dapat mengendalikan kemarahannya, maka seseorang harus dapat mengenal batas sensitivitas dirinya. Dengan mengetahui apa saja yang dapat membuatnya marah, maka ia dapat mengendalikan perasaan amarahnya.

2.3 Remaja Akhir

2.3.1Pengertian Remaja Akhir

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Ada beberapa definisi tentang remaja :

“Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emsional, sosial dan fisik”(Piaget dalam Hurlock, 1980)

“adolescence didefinisikan sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mana tengah terjadi perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional” (Santrock : 2007)

“Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia berkisar pada umur 11-24 tahun” (Sarwono, 2008)

“masa remaja menurut Hall (1844-1924, dalam Sarwono, 2008) berkisar pada umur 12-25 tahun”

(43)

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan suatu perkembangan periode transisi antara masa anak dan masa dewasa yang meliputi suatu perkembangan periode transisi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional, dimulai pada saat mereka pubertas menuju kearah kedewasaan.

Perubahan biologis meliputi perubahan fisik, termasuk perkembangan otak, perubahan hormon pubertas dan semua reflek proses biologis; perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja; sedangkan perubahan sosioemosional meliputi interaksi remaja dengan orang lain, termasuk emosi, kepribadian dan peran konteks sosialnya (Santrock, 2007).

Masa remaja dibagi menjadi remaja awal (early adolescence) usia antara 10-13 tahun dan remaja akhir (late adolescence) usia 18-22 tahun (Santrock 2007), sedangkan menurut Harlock (1980) awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 13 tahun sampai 16 tahun dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun sampai dengan 18 tahun, yaitu usia yang matang secara hukum serta menurut Hall (1844-1924, dalam Sarwono, 2008) yaitu pada umur 12-25 tahun

Remaja akhir kira-kira berada pada setengah terakhir dari dekade kedua dalam kehidupan. Pada masa ini, remaja akhir lebih mempunyai perhatian pada karir dan eksplorasi identitas lebih tegas dibandingkan pada masa remaja awal (Santrock, 2007). Pada periode ini, remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap dan perilaku yang semakin dewasa.

(44)

2.3.2 Perkembangan pada masa remaja

1) Perubahan Biologis

Perubahan fisik pada masa ini, meliputi berat dan tinggi badan, terjadinya menstruasi pada remaja wanita, produksi sperma pada remaja laki-laki, kematangan alat-alat reproduksi, seperti menarche atau haid pertama bagi wanita dan pubertas, tumbuhnya rambut pubic dan perubahan suara yang lebih berat serta pertumbuhan otot-otot pada remaja pria (Santrock, 2007). Pada laki-laki, masa remaja ditandai oleh peningkatan produksi hormon androgen, khususnya testoteron, yang menstimulasi perkembangan alat kelamin laki-laki, tinggi badan

dan perubahan suara (Santrock, 2007).

Pada masa remaja, hormon testosteron pada remaja laki-laki meningkat sehingga secara signifikan meningkatkan agresi terhadap teman-teman sebayanya dan orang dewasa (Angold, Costello & Worthman, dalam Santrock, 2007). Faktor hormonal dianggap dapat menjelaskan minimal sebagian dari meningkatnya emosi-emosi negatif dan emosi yang berubah-ubah, yang merupakan karakteristik remaja (Archibald, Graber & Brooks-Gunn, 2003; Dorn, Williams & Ryan 2002 dalam Santrock, 2007)

2) Perubahan Kognitif

Perubahan kognitif meliputi perubahan berpikir dan kecerdasan remaja. Menurut teori perkembangan Piaget, pada saat remaja akhir, mereka telah memasuki tahap perkembangan kognitif yang tertinggi yaitu tahap berpikir formal operational. Pada tahap ini kemampuan berpikir remaja akhir lebih abstrak

(45)

dibandingkan dengan tahap berpikir sebelumnya yaitu concrete operational. Kemampuan berpikir yang abstrak ini meningkatkan kecenderungan remaja akhir untuk berpikir tentang gagasan, ide atau pemikiran tentang itu sendiri seperti, “aku mulai berpikir mengapa aku memikirkan apa yang aku pikirkan”, hal ini yang disebut dengan metakognisi (metacognition). Mereka juga mencoba untuk membuat alasan yang logis dan sudah mulai mampu membuat dan menguji hipotesa (hypothetical deductive reasoning), mengolah informasi dan mengadaptasikan dengan proses berpikirnya untuk memperoleh pemahaman serta membuat teori mengenai berbagai hal dalam kehidupan mereka (Santrock, 2007).

Dengan demikian remaja akhir sudah mampu menyadari apa yang dilakukannya, serta dapat membedakan perilaku yang baik dan perilaku yang tidak baik bagi dirinya.

3) Perubahan Sosio-emosional

Perubahan sosio-emosional meliputi perubahan remaja dalam berinteraksi dengan orang lain, emosinya, kepribadiannya dan peran konteks sosialnya. Masa remaja merupakan masa yang penuh emosi. Menurut Hall (dalam Santrock, 2007), masa remaja merupakan periode yang penuh dengan “Badai dan tekanan” yang bergejolak dengan konflik dan suasana hati. Pada masa ini, ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon.

Menurut Santrock (2007) proses perkembangan sosio-emosional melibatkan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain, dan konteks social. Menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap kawan-kawan

(46)

sebaya, kegembiraan dalam pertemuan sosial semuanya mencerminkan proses sosio-emosional dalam perkembangan remaja. Santrock juga mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosio-emosional yang berlangsung dimasa remaja meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua dan keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama kawan-kawan sebaya.

Pada masa ini, seseorang sudah mencapai kematangan emosi, serta sudah dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional. Kematangan emosi pada remaja akhir tersebut memberikan reaksi emosional yang lebih stabil dari periode sebelumnya (Hurlock, 1980).

Menurut Sarwono (2008), emosi yang meninggi memang menyulitkan orang lain dalam mengerti remaja, namun emosi yang tinggi ini bermanfaat untuk remaja dalam mencari identitas dirinya. Dengan adanya emosi-emosi ini, remaja secara bertahap mencari jalan menuju kedewasaan. Reaksi orang-orang disekitarnya terhadap emosinya juga akan menyebabkan remaja belajar dari pengalaman untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik.

Erickson (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa remaja berada pada tahap identitas vs kebingungan identitas. Pada tahap ini, remaja ingin menentukan siapakah ia dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang; remaja mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya, seperti sesuatu yang ia sukai atau tidak suka dan tujuan-tujuan yang dikejarnya dimasa depan. Apabila seorang remaja berhasil mengatasi atau menyelesaikan tahapan krisis ini, maka diharapkan ia akan memiliki identitas diri yang jelas, sehingga ia dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya serta mampu untuk menentukan peranan-peranan manakah

(47)

yang paling cocok dan efektif. Tapi sebaliknya apabila tahapan krisis ini tidak dapat diselesaikannya dengan baik, maka remaja tersebut memiliki identitas diri yang tidak jelas, ia akan merasa terisolasi, hampa, cemas dan bimbang. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan dewasanya, karena apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting bagi kepribadian dewasa kelak.

Seperti yang telah dinyatakan oleh Hurlock (1980), pada remaja akhir, mereka sudah dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional, maka diharapkan seorang remaja akhir telah mempunyai keterampilan dalam menyadari emosinya, mengatur dan mengontrol emosinya, membaca emosi orang lain, sehingga remaja akhir tersebut diharapkan juga dapat mengontrol tingkah laku agresifnya.

2.3.3 Ciri-ciri Remaja Akhir

Ciri-ciri remaja akhir menurut Sarwono (2008) :

1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-funngsi intelek.

2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.

3. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (the public).

(48)

2.4 Kerangka Berpikir

Pada masa remaja, perubahan fisik, kognisi dan sosioemosional sudah memasuki masa kematangan (maturity) dimulai dari perkembangan fisik yang meliputi peningkatan hormon pubertas dan perkembangan otak. Hal ini dibuktikan dengan perkembangan emosional yang meningkat dan berubah-ubah, yang merupakan karakteristik remaja (Archibald, Graber & Brooks-Gunn, 2003; Dorn, Williams & Ryan 2002 dalam Santrock, 2007). Namun hal ini diseimbangi dengan perubahan kognitif yang amat baik, dimana pada remaja akhir, perubahan kognitif meliputi kemampuan dalam membuat hipotesa dan mengujinya, membuat ide atau gagasan (Santrock, 2007) dan perubahan sosio-emosional yang matang meliputi, perubahan remaja dalam berinteraksi dengan orang lain dan perubahan emosinya seperti dapat menilai situasi sebelum bereaksi secara emosional (Hurlock 1980)

Dalam hubungannya dengan perilaku agresif, tidak bisa lepas dari salah satu faktor pemicu agresi yaitu frustasi. Berkowitz (dalam sarwono, 2002) menyatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang memicu agresi. Menurut (Goleman, 1996) emosi pada dasarnya adalah suatu dorongan untuk bertindak, dan marah adalah salat satu bagian dari emosi. Faktor lainnya adalah kegagalan dalam menyesuaikan diri, menurut Sarwono (2008), ketidak mampuan dalam menyesuaikan diri adalah salah satu faktor pribadi yang menyebabkan perilaku menyimpang pada masa remaja. Ciri-ciri orang yang matang emosinya mempunyai kemampuan yang baik dalam penyesuaian diri (Smitson, 1976).

(49)

Fenomena yang terjadi saat ini, remaja akhir atau mahasiswa yang seharusnya telah matang emosinya dalam masa perkembangannya, sebaliknya malah menunjukkan peluapan emosi pada cara, saat dan tempat yang tidak tepat, yang menurut Hurlock (1980) merupakan ciri-ciri orang yang belum matang emosinya. Perilaku agresif baik fisik maupun verbal yang ditimbulkan merugikan mereka dan orang lain. Dengan kematangan emosi tersebut, diharapkan mahasiwa/remaja dapat mengontrol emosinya, tidak lagi menanggapi rangsangan emosi, misalnya berupa provokasi, sehingga tidak meledak seperti dimasa perkembangan sebelumnya melainkan memberi reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati yang lain (Hurlock, 1980). Dengan kematangan emosi ini, diharapkan remaja dapat pula mengurangi agresi dengan teman sebaya (Santrock, 2007).

Penelitian serupa, telah dilakukan oleh Faizal (2001), Faizal menggunakan sampel remaja SMU dengan hasil yang menyatakan bahwa pada anak SMU, kematangan emosinya telah menuju kematangan yang sangat baik. Maka peneliti tertarik untuk menggunakan sampel remaja akhir seperti mahasiswa, dengan pertimbangan mahasiswa telah berkembang secara kognisi dan sosieoemosional lebih baik dari remaja SMU Dengan adanya kematangan emosi yang tinggi, maka perilaku agresif pada remaja akhir akan semakin minim dan sebaliknya, apabila kematangan emosi remaja akhir tersebut rendah maka perilaku agresifnya akan semakin tinggi.

(50)

Gambar 2.1

Skema Kerangka Berpikir

Perilaku agresif rendah (agresi fisik, agresi verbal, amarah dan rasa permusuhan)

Kematangan emosi tinggi

Perilaku agresif tinggi (agresi fisik, agresi verbal, amarah dan rasa permusuhan)

Kematangan emosi rendah Remaja Akhir

2.5 Hipotesis

Ha : Ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi (emotional maturity) dengan agresivitas pada remaja akhir

(51)

BAB 3

Metode Penelitian

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dimana penelitian ini mengkuantifikasikan skor kematangan emosi dengan skor agresivitas.

3.1.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian korelasional, sesuai dengan tujuan penelitian yang meneliti hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku agresi pada remaja akhir. Menurut Santrock (2007), penelitian korelasional adalah sebuah angka yang diperoleh berdasarkan analisis statistik yang digunakan untuk mendeskripsikan taraf asosiasi antara dua variabel. Dengan penelitian korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel dan ada atau tidak ada hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dilakukan serentak dalam kondisi realistik.

Penelitian korelasional ini dipilih karena dalam penelitian ini ingin melihat ada atau tidaknya hubungan antara variable independent dan variable dependent tersebut.

3.2 Definisi Konseptual Variabel dan Definisi Operasional Variabel

(52)

3.2.1 Definisi Variabel

a. Independent variable (IV) : Kematangan Emosi (Emotional Maturity) b. Dependent variable(DV) : Agresivitas

3.2.2 Definisi Konseptual Variabel

Dalam penelitian ini, definisi konseptual yang dipakai untuk kedua variabel adalah:

1. Kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang sepantasnya dilakukan pada usia anak-anak, namun mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya ditengah-tengah situasi sosial.

2. Agresivitas adalah suatu perilaku, kecenderungan atau stimulus yang tidak menyenangkan atau merugikan, baik perilaku fisik maupun lisan, yang dilakukan satu pihak kepada pihak lainnya dengan maksud menyakiti, dan dengan harapan bahwa perilaku atau tindakan tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan.

3.2.3 Definisi Operasional Variabel

1. Kematangan emosi adalah skor yang diperoleh dari aspek-aspek skala kematangan emosi antara lain : menuju kemandirian, mampu menerima realita, mampu menyesuaikan diri (adaptasi), kesiapan untuk merespon,

(53)

kapasitas untuk seimbang, kemampuan berempati, kemampuan pengendalian amarah.

2. Agresivitas adalah skor yang diperoleh dari aspek-aspek skala agresivitas antara lain : agresi fisik, agresi verbal, kemarahan dan rasa permusuhan.

3.3 Pengambilan Sampel

3.3.1 Populasi

Sebagai suatu populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subyek yang lain. Gay dalam Sevilla (1993) mendefinisikan populasi sebagai kelompok dimana peneliti akan menggeneralisasikan hasil penelitiannya. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah mahasiswa laki-laki UPI YAI. Jumlah populasi di UPI YAI sebanyak 1.643 mahasiswa.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah mahasiswa UPI YAI berjumlah 95 orang yang berumur antara 18 tahun – 22 tahun dan berjenis kelamin laki-laki.

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling yaitu sampel diambil berdasarkan kemudahan data yang

diperlukan/dilakukan seadanya, seperti mudah ditemui/dijangkau/ kebetulan

(54)

ditemukan (Eka Putri, 2007). Dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kematangan emosi dan agresivitas pada remaja akhir laki-laki.

3.4 Pengumpulan Data 3.4.1 Teknik Pengumpulan Data

Karena dalam penilitian ini peneliti menggunakan metode penelitian korelasi, maka instrument yang digunakan berupa skala Likert yang diambil dari skala baku dan skala yang dibuat sendiri oleh peneliti. Model skala Likert ini menggunakan empat kemungkinan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS) , sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS).. Peneliti sengaja menghilangkan pilihan jawaban netral, agar responden tidak cenderung untuk memilih jawaban netral (Sevilla, 1993). Pernyataan-pernyataan tersebut ada yang mengandung sikap favourable dan sikap unfavourabel.

Tabel 3.1

Skor pada masing-masing skala Pilihan Jawaban Fav Unfav

Sangat sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak sesuai 1 4

3.4.2 Instrumen Penelitian

Alat pengambilan data dalam penelitian ini ada dua, yaitu:

(55)

1. Skala Kematangan Emosi

Tabel 3.2

Blue Print Skala Kematangan Emosi

Aspek Indikator Fav Unfav Jumlah

Kemandirian - Tidak bergantung pada orang lain

2, 4 1, 3 4

- Berani untuk mengambil keputusan sendiri

- Mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain

10, 12 11, 13 4

- Mampu menyikapi masalah dengan bijaksana

14 15 2

- Mampu menerima ketidak jujuran

- Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan

- Cepat tanggap terhadap kondisi teman

24, 26 25 3

- Mampu merespon dengan tepat sesuai dengan keunikan yang dimiliki teman-teman

- Menyadari akan kebutuhannya sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian

32, 33, 35

34 4

- Dapat melihat situasi atau kejadian dari berbagai sudut

36 - 1

Kemampuan untuk

- Mampu menempatkan diri dan memahami perasaan teman

37,40, 38, 39, 6

(56)

berempati 41 42

Smitson (Garlow & Katkouvsky, 1976) 2. Skala Agresivitas

Skala agresivitas yang digunakan dalam penyusunan blue print ini merupakan skala yang telah disusun berdasarkan konsep Buss dan Perry (1992):

Tabel 3. 3

Blue print Skala Agresivitas

ASPEK INDIKATOR FAV UNFAV TOTAL

AGRESI

a) Pengucapan kata-kata kasar b) Ketidaksetujuan

Buss & Perry (1992)

(57)

3.5 Teknik Analisa Data

3.5.1 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka di-uji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda atau dalam kondisi pengujian yang berbeda (Anastasi, 1998). Dalam aplikasinya reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxy’) yang angkanya berada dalam rentang

dari 0 sampai dengan 1,00. Sebuah instrument dikatakan reliable apabila memiliki koefisien reliabilitas di atas 0,630 (Anastasi, 1998). Untuk menghitung korelasi antar variabel digunakan rumus koefisien korelasi pearson product moment dan perhitungannya dibantu dengan program SPSS 16.0.

3.5.2 Uji Validitas

Suatu tes atau skala dapat valid atau tidak valid untuk maksud ilmiah atau praktis yang hendak dicapai oleh si pengguna/pemakai tes atau skala itu. Untuk pengukuran kevalidan dilakukan korelasi antara skor item dengan skor total. Apabila skor yang didapat rendah maka item tersebut gugur atau dimodifikasi dan apabila skor yang didapat tinggi maka skor tersebut valid dan dijadikan sebagai item dalam skala penelitian.

3.5.3 Uji Korelasional

Untuk uji korelasional, peneliti menggunakan analisis korelasi product moment dari Pearson untuk mengetahui korelasi jumlah skor variabel kematangan emosi

(58)

dengan jumlah skor variabel agresivitas. Untuk perhitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0.

3.6 Hasil Uji Instrumen Penelitian

3.6.1 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi

Berdasarkan hasil uji coba (try out) terhadap 49 item dalam instrumen ini, di ujikan pada 44 responden. Peneliti melaksanakan try out pada mahasiswa laki-laki UIN Syarif Hidayatullah,dengan hasil 27 item yang valid baik pada taraf signifikansi 0,3 item nomor: 2, 7, 8, 9, 10, 12, 14, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 34, 35, 36, 38, 42, 44, 46, 48, 49. Sedangkan item yang tidak valid yaitu: 1, 3, 4, 5, 6, 11, 13, 15, 16, 17, 22, 24, 31, 32, 33, 37, 39, 40, 41, 43, 45, 47. Dengan reliabilitas sebesar 0, 900. Semua item yang valid digunakan sebagai alat ukur penelitian. Berikut ini adalah blue print revisi skala kematangan emosi yang valid:

Tabel 3.4

Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi

Aspek Indikator Fav Unfav Jumlah

Kemandirian - Tidak bergantung pada orang lain 2 - 1

- Berani untuk mengambil keputusan sendiri

- Mampu menerima kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dirinya dan orang lain

10, 12 - 2

- Mampu menyikapi masalah dengan bijaksana

14 - 1

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir………………………………… 39
Tabel 1.1 Data Bentrokan UPI YAI - UKI
gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan rekasi emosional.
Gambar 2.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

itu menandakan bahwa masih terdapat sebanyak 72,9% variabel lain yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja selain kontrol diri dan kematangan emosi.. Kata

Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara kematangan emosi dengan agresivitas pada fans musik pop. Subyek penelitian ini adalah individu yang

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan perilaku konsumtif remaja.. Populasi dalam penelitian ini adalah

Pernikahan pada usia remaja mempunyai resiko besar di dalamnya, namun apabila pasangan pernikahan usia muda tersebut mempunyai kematangan emosi positif maka

kematangan emosi rendah sebanyak 35 orang atau Penelitian dilakukan pada remaja akhir dengan sebesar 28,03% dari jumlah seluruh sampel, dan jumlah subjek penelitian sebanyak

Remaja yang merasa dapat merasakan kasih sayang dari keluarganya, remaja dapat menangis secara terbuka dihadapan anggota keluarga dan anggota keluarga saling

Remaja yang merasa dapat merasakan kasih sayang dari keluarganya, remaja dapat menangis secara terbuka dihadapan anggota keluarga dan anggota keluarga saling

serta dapat mengembangan perilaku memaafkan Hasil dari analisis deskriptif yang sebagai upaya remaja untuk mendapat menunjukkan bahwa 39,67% remaja memliki