• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan kemampuan pemahaman cerita melalui media audio visual di Kelas VII-D Madrasah Tsanawiyah Al-Alawiyah Kranji-Bekasi Barat Tahun pelajaran 2014/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan kemampuan pemahaman cerita melalui media audio visual di Kelas VII-D Madrasah Tsanawiyah Al-Alawiyah Kranji-Bekasi Barat Tahun pelajaran 2014/2015"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

MADRASAH TSANAWIYAH AL-ALAWIYAH

KRANJI

BEKASI BARAT

TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

oleh:

Muhammad Alfinur NIM. 1110013000002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

MUHAMMAD ALFINUR, NIM 1110013000002. “Peningkatan Kemampuan Pemahaman Cerita melalui Media Audio Visual (Pemutaran Film Drama Malin Kundang) di Kelas VII-D Madrasah Tsanawiyah Al-Alawiyah Kranji –Bekasi Barat Tahun Pelajaran 2014/2015. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Drs. Cecep Suhendi, M.Pd. 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman cerita dengan menggunakan media audio visual (pemutaran film drama Malin Kundang) baik selama proses pembelajaran maupun di luar proses pembelajaran, dan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan penggunaan media pembelajaran (audio visual). Penelitian ini dilakukan di MTs. Al-Alawiyah Kranji –Bekasi Barat. Permasalahan yang muncul yaitu siswa kurang perhatian dan antusias dalam pembelajaran cerita dengan sebab sulit untuk memahami isi cerita. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan pada peningkatan kemampuan pemahaman cerita melalui media audio visual (pemutaran film drama Malin Kundang) pada siswa kelas VII-D MTs. Al-Alawiyah.

Metode yang digunakan yaitu Penelitian Tindakan Kelas. Subjek penelitian yang diambil pada penelitian ini yaitu, siswa kelas VII-D sebanyak 31 siswa. Data yang diperoleh dari lembar observasi siswa, dan catatan lapangan, menyatakan bahwa siswa kurang antusias dalam mengungkapkan pertanyaan dan pendapat. Berdasarkan data tersebut, maka peneliti mengadakan siklus 2 dalam tindakan pembelajaran. Pada tindakan pembelajaran siklus 1, menghasilkan nilai rata-rata 65,03 termasuk kategori kurang, akan tetapi masih ada beberapa siswa yang mendapatkan nilai kategori baik. Oleh karena itu, peneliti mengadakan tindakan pembelajaran siklus ke-2, hasil analisis siklus ke-2 dengan rumus persentase peningkatan nilai mencapai 51%. Hal tersebut membuktikan, bahwa pembelajaran siklus ke-2 telah berhasil, karena mengalami peningkatan dengan nilai rata-rata baik, yaitu 80,74.

Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu penggunaan media audio visual (pemutaran film) dapat meningkatkan kemampuan dalam memahami cerita. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata siswa di siklus 1 hanya 65,03, dan pada siklus 2 nilai rata-rata pembelajaran mencapai 80,74. Maka selisih nilai mencapai 15,71 dan mengalami peningkatan sebesar 51%.

(6)

ii

MUHAMMAD ALFINUR, NIM 1110013000002. Increasing ability

Understanding of Story VII-D Students with Audio Visual Media Utilization

(Malin Kundang Movie)” in Islamic Junior High School Al-Alawiyah 2014/2015.

Departement of Education Indonesian Language and Literature Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University in Jakarta. Advisor: Drs. Cecep Suhendi, M.Pd. 2014.

This research aims to enhance ability understanding of story by using audio-visual media (movie screening Malin Kundang). The research was conducted ini Islamic Junior High School Yayasan Education Islamic Al-Alawiyah. The problem that arises is students difficult to understanding of story learning. Based on these problems, the authors formulated the problem on improving ability understanding of story learning by using audio-visual media (movie screening

Maling Kundang) in VII-D Students Islamic Junior High School Yayasan Education Islamic Al-Alawiyah.

The method used was Classroom Action Research. Research Subject in VII-D classes were 31 students. Data obtained from observation sheets, students, and field notes state that the student‟s are not enthuisastic in saying questions and arguments. Based on these data, so, the searcher conducted two cycles in the act of learning. In action learning cycle 1 producted an average 65,03 is less categories, but there are any students get good scores. Because that, the research conducted action learning cycle-2. The analysis cycle-2 with formula percentage increase in the value reached 51%. It is proved that learnig cycle-2 has been successful, due to asignificant increase in the average value of 80,74 wich is good.

The conclusion of this study is the uese of audio visual media (movie screening) can improve understanding ability students of story learning. This is evidence by the avarage value of the first cycle of students reached 65,03 and the average value of the learning cycle-2 reached 80,74. So the difference in value reaching 15,71 and an increase of 51%.

(7)

iii

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji syukur ke hadirat Allah Swt., karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kegiatan penyusunan skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw., semoga syafa‟atnya selalu menyertai kita semua sampai akhir zaman. Semoga cahaya keberkahan ilmu selalu menaungi kehidupan kita semua. Amin.

Penulis berusaha menyajikan skripsi yang terbaik supaya dapat dikembangkan menjadi tesis yang lebih baik lagi. Penulis menyadari, bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali kesulitan dan hambatan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifai, M.A, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Hindun, M.Pd., selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang memotivasi penulis untuk dapat segera menyelesaikan skripsi.

3. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis, sehingga penulis semangat untuk segera menyelesaikan skripsi.

4. Drs. Cecep Suhendi, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang selalu sabar dalam membimbing penulis, dan memberikan motivasi yang membangun, serta rela meluangkan waktunya sampai penyusunan skripsi ini selesai dengan baik.

5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah ikhlas memberikan ilmu yang bermanfaat.

(8)

(Alm. H. Syahroni Muchtasor) yang selalu memberikan dukungan lahir dan batin ketika penulis masih duduk di semester I-IV. Semoga Abi ditempatkan di tempat yang terbaik di sisi Allah Swt. Ketiga adik penulis, yaitu Nurul Fadli, Chairunnida Aulia, dan Lisda Syahriani, yang selalu membantu penulis untuk terus semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Keluarga Besar YPI Al-Alawiyah yang telah mengizinkan, membantu

penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan kesempatan penulis menjadi seorang guru di MTs.

8. Husni Maryani, S.Pd., selaku guru Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah mengizinkan penulis mengadakan penelitian di kelasnya, selalu memberikan semangat dan arahan yang baik selama penelitian berlangsung.

9. Siswa-siwi MTs Al-Alawiyah yang penulis banggakan, terkhusus siswa-siswi MTs kelas VII-D Tahun Pelajaran 2014/2015. Terima kasih atas segala partisipasinya selama diajar oleh penulis.

10.Teman-teman tercinta dan seperjuangan Angkatan 2010, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membantu dan menyemangati sampai skripsi ini terselesaikan. 11.Teruntuk Irina Widyaningsih dkk, yang selalu mendukung dan

menyemangati penulis tanpa lelah, serta memberikan arahan juga masukan yang sangat bermanfaat sampai skripsi ini selesai dengan baik.

Penulis berharap dan berdoa kepada Allah Swt., semoga seluruh pengorbanan dan kesabaran mendapatkan hasil yang baik, dan bermanfaat untuk semuanya (Barakallah fidduniya walaakhirah). Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 19 Desember 2014

(9)

v LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan Masalah... 5

D. Rumusan Masalah... 5

E. Tujuan Penelitian... 6

F. Manfaat Penelitian... 6

BAB II LANDASAN TEORITIS DAN TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Cerita dan Pemahaman Cerita... 8

B. Pengertian Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik... 9

C. Memahami Unsur Instrinsik Cerita... 10

D. Manfaat Cerita bagi Anak... 28

E. Klasifikasi Cerita Anak... 31

F. Pengertian Media Pembelajaran... 36

G. Manfaat Media dalam Pembelajaran... 36

H. Klasifikasi dan Macam-macam Media Pembelajaran... 40

I. Media Audio Visual... 44

J. Film... 47

K. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran... 50

L. Penelitian Relevan... 50

(10)

B. Metode Penelitian dan Rancangan Siklus Penelitian... 53

C. Subjek Penelitian... 57

D. Teknik Pengumpulan Data... 57

E. Analisis Data... 60

F. Pengajuan Konseptual... 61

G. Hipotesis Tindakan... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Madrasah... 62

B. Hasil Penelitian... 69

C. Analisis Data... 103

D. Interpretasi Hasil... 113

E. Pembahasan Temuan Penelitian... 114

BAB V PENUTUP A. Simpulan... 116

B. Saran... 117

Daftar Pustaka Lampiran-lampiran Uji Referensi

(11)

vii

Tabel 1 Observasi Siswa... 58

Tabel 2 Kisi-kisi Angket... 59

Tabel 3 Jumlah Personil di Madrasah YPI Al-Alawiyah... 63

Tabel 4 Data Kegiatan Guru dalam pembelajaran Pra Siklus... .74

Tabel 5 Hasil Persentase (%) Observasi Tingkah Laku Siswa Pra-Siklus... .75

Tabel 6 Data Kegiatan Guru dalam Pembelajaran Siklus 1... .81

Tabel 7 Hasil Persentase (%) Observasi Tingkah Laku Siswa Siklus 1...82

Tabel 8 Nilai Siklus 1... .84

Tabel 9 Nilai Tertinggi dan Terendah Siswa Siklus 1...86

Tabel 10 Data Kegiatan Guru dalam Pembelajaran Siklus 2... 95

Tabel 11 Lembar Observasi Tingkah Laku Siswa Siklus 2...95

Tabel 12 Rekapitulasi Hasil Pembelajaran Siklus 2...96

Tabel 13 Nilai Pembelajaran Siklus 2... 98

Tabel 14 Hasil Analisis Angket Penggunaan Media Audio Visual... 100

Tabel 15 Urutan Nilai Terendah dan Tertinggi Siswa Siklus 1... 103

Tabel 16 Urutan Nilai Terendah sampai Tertinggi Pembelajaran Siklus 2... 103

Tabel 17 Rekapitulasi Hasil Pembelajaran Siklus 1 dan Siklus 2... 104

Tabel 18 Distribusi Frekuensi Nilai Siswa Siklus 1... 105

Tabel 19 Distribusi Frekuensi Nilai Siswa Siklus 2... 106

Tabel 20 Perhitungan Mean dan Standar Deviasi Nilai Siswa Siklus 1... 108

Tabel 21 Perhitungan Mean dan Standar Deviasi Nilai Siswa Siklus 2...109

Tabel 22 Kenaikan Lembar Observasi Tingkah Laku Siswa Siklus 1 dan 2...111

(12)

viii Lampiran 1 RPP Pra-Siklus

Lampiran 2 RPP Siklus 1 Lampiran 3 RPP Siklus 2

Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa Siklus 1 Lampiran 5 Lembar Kerja Siswa Siklus 2 Lampiran 6 Lembar Angket

Lampiran 7 Lembar Wawancara Lampiran 8 Lembar Catatan Lapangan Lampiran 9 Foto Kegiatan Penelitian

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai kesibukan yang menuntut sejumlah keterampilan, salah satunya yaitu keterampilan berbahasa. Dialog dalam lingkungan keluarga, antaranak dan orangtua, antarorangtua, antaranak menuntut keterampilan berbahasa. Manusia merupakan makhluk sosial. Mereka selalu hidup berkelompok, mulai dari kelompok kecil sampai kelompok besar. Interaksi antarwarga kelompok ditopang dan didukung oleh alat komunikasi vital yang mereka miliki bersama, yakni bahasa.

Di mana ada kelompok manusia, maka pasti di situ ada bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi satu sama lain. Berbicara mengenai bahasa, maka tidak terlepas dari yang namanya keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa merupakan aspek-aspek yang membantu seseorang untuk bisa berbahasa dengan baik. Keterampilan berbahasa terdiri dari empat komponen, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Keterampilan menyimak dan berbicara merupakan keterampilan yang paling tua di antara keterampilan berbahasa lainnya. Jauh sebelum manusia mengenal tulisan, keterampilan menyimak dan berbicara sudah digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi. Selain dua keterampilan tersebut, dua keterampilan lainnya, yaitu keterampilan membaca dan menulis diperoleh ketika seseorang sudah menginjakkan kakinya di bangku sekolah.

(14)

pengajaran berbicara. Pengajaran berbicara bertujuan mengajarkan anak untuk bisa berbahasa.

Bahasa yang pertama kali diperoleh si anak adalah bahasa ibunya. Pada proses ini, seorang anak akan mulai menyimak dan menirukan bunyi-bunyi yang tidak terlalu kompleks, seperti “Ma,” atau “Yah,” dan sebagainya. Ketika anak sudah mulai masuk ke jenjang dunia sekolah, ia akan mengenali keterampilan berbahasa lainnya, yaitu membaca dan menulis. Keterampilan ini merupakan urutan yang sistematis. Pada lingkungan keluarga, anak belajar menyimak dan berbicara, dan ketika memasuki dunia sekolah ia akan memperoleh keterampilan membaca dan menulis.

Anak merupakan buah hati yang menjadi kebanggaan bagi orangtuanya. Selama dalam masa perkembangan, tahap demi tahap selalu dinantikan oleh orangtuanya. Bahkan, dalam setiap hal yang menunjukkan perkembangan selalu dicatat untuk dijadikan memori oleh orangtuanya, fungsinya agar ketika dewasa, anak itu akan melihat sendiri catatan tentang dirinya. Begitu detailnya orangtua dalam memperhatikan anaknya, sampai kepada sesuatu yang bersifat kecil.

Berbagai upaya dilakukan oleh orangtua, guna untuk membuat anaknya menjadi anak yang bermanfaat bagi lingkungannya, dan terkhusus bagi orangtuanya. Orangtua begitu senang melihat anaknya tumbuh dan berprestasi. Harapan orangtua terhadap anak adalah agar nasibnya tidak sesama dengannya. Doa dan harapan orangtua adalah restu bagi anak-anaknya.

(15)

ilmu pengetahuan, maka anak akan terbiasa hidup dengan ilmu. Anak yang mempelajari ilmu, dan menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-harinya, maka secara tidak langsung ia telah mengalami suatu proses yang lebih baik, yakni yang awalnya belajar, lalu sudah bisa menerapkannya. Sekolah memiliki peranan penting dalam mengolah dan mendidik manusia menjadi manusia yang seutuhnya.

Pada proses pembelajaran, berbagai upaya dilakukan oleh guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif serta menyenangkan akan membawa proses belajar menjadi lebih hidup. Pembelajaran tidak hanya berdasar kepada salah satu buku atau dengan buka buku, akan tetapi bisa dikombinasikan dengan cerita-cerita atau hal-hal yang membuat anak tidak jenuh di kelas.

Selama ini, masih banyak guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan secara lisan, dan anak lebih cenderung hanya mendengarkan. Penggunaan cara seperti itu, pelajaran yang disampaikan pun akan sulit dimengerti oleh anak didik. Salah satu pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran cerita. Cerita merupakan sarana untuk menyampaikan ide atau pesan melalui serangkaian penataan yang baik dengan tujuan agar pesan menjadi lebih mudah diterima dan memberikan dampak yang lebih luas dan banyak pada sasaran.

Di zaman yang sudah penuh teknologi saat ini, pemanfaatan media sangat penting digunakan sebagai penunjang proses pembelajaran. Media sebagai pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media juga sebagai alat bantu komunikasi. Sekarang sudah banyak sekali media yang digunakan oleh sekolah dalam penunjang proses pembelajaran, baik berupa media audio, visual, dan juga audio visual. Media dalam proses pembelajaran menunjang pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan.

(16)

tujuan pengajaran yang diharapkan. Media membawa kemudahan bagi orang yang menggunakannya.

Di samping menggunakan media yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia. Salah satu fungsi dari hadirnya media dalam dunia pembelajaran, yakni dapat menggambarkan sesuatu yang abstrak menjadi nyata dan dapat dilihat. Media dalam pembelajaran, membuat proses pembelajaran menjadi terbantu, dan guru semakin mudah untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.

Peningkatan interpretasi pemahaman anak terhadap cerita, guru bisa memanfaatkan salah satu media pembelajaran, yaitu media audio visual. Media audio visual merupakan perpaduan antara media audio dan visual. Hasil yang dihasilkan dari media ini yaitu, keluaran dari tampilannya berbentuk sesuatu yang dapat didengar dan dapat dilihat, sehingga anak dalam melihat cerita semakin lebih mudah dipahami dan diresapi.

Media audio visual sebagai penunjang dalam menampilkan cerita membawa suatu resepsi bagi anak. Media audio visual yang dihasilkan bisa penampilan atau diputar dalam bentuk kaset, film atau video yang memunculkan suara dan dapat dilihat oleh anak. Anak akan lebih mudah memahami cerita, mengambil sari makna atau nilai-nilai yang terkandung, yang bisa diterapkan anak dalam hidupnya.

Metode ini turut membantu dalam proses pembelajaran. Pemanfaatan media belajar dalam proses pembelajaran lebih menggerakkan indera yang dimiliki anak, baik pendengaran, perasaan, pengelihatan, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tentang: Peningkatan Kemampuan Pemahaman Cerita melalui Media Audio Visual di Kelas VII-D Madrasah

Tsanawiyah Al-Alawiyah Kranji–Bekasi Barat. Penelitian ini penting dilakukan untuk menggali potensi diri siswa dalam memahami unsur-unsur instrinsik cerita (tema, tokoh, penokohan, alur, latar, sudut padang dan amanat) melalui media audio visual, yaitu dengan pemutaran film drama

(17)

Malin Kundang, diharapkan siswa dapat lebih antusias, dan mudah dalam memahami isi ceritanya.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang akan dibahas dalam laporan peneletian, yaitu sebagai berikut:

1. Minimnya penggunaan media pembelajaran, khususnya yaitu media audio visual dalam pembelajaran cerita, sehingga perhatian dan daya tarik siswa kurang terhadap materi yang sedang dijelaskan.

2. Sulitnya siswa dalam memahami, dan merefleksikan pelajaran cerita. 3. Sulitnya menghadirkan cerita yang bersifat abstrak dalam proses

pembelajaran.

C.Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti merasa perlu membatasi masalah yang akan dibahas supaya lebih jelas dan khusus. Permasalahan yang terjadi dalam penelitian ini, bahwa perhatian dan daya tarik siswa kurang dalam pembelajaran cerita, sehingga pemahaman siswa terhadap materi sangat rendah Minimnya penggunaan media (audio visual) di dalam pembelajaran, dapat menyulitkan guru dalam menghadirkan materi yang bersifat abstrak dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi pada Peningkatan Kemampuan Pemahaman Cerita melalui Media Audio Visual di Kelas VII-D

Madrasah Tsanawiyah Al-Alawiyah Kranji–Bekasi Barat Tahun Pelajaran

2014/2015.

D.Perumusan Masalah

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

(18)

2. Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa terhadap materi cerita, ketika media pembelajaran khususnya media audio visual (pemutaran film drama Malin Kundang) digunakan dalam proses pembelajaran?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Untuk melihat peningkatan kemampuan pemahaman cerita melalui media

audio visual (pemutaran film drama Malin Kundang) selama proses pembelajaran.

2. Untuk melihat peningkatan hasil yang diperoleh dalam pelajaran cerita, ketika media pembelajaran khususnya media audio visual (pemutaran film drama Malin Kundang) digunakan dalam proses pembelajaran.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: Manfaat Teoritis:

1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan teknologi, baik itu di lingkungan lembaga institusi (madrasah) maupun selama menjalani proses pembelajaran di perkuliahan.

2. Bagi para akademisi, penelitian ini dapat menambah referensi dalam merumuskan strategi pembelajaran yang kreatif, dan meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan ketenagapendidikan.

3. Bagi lembaga institusi, penelitian ini dapat menambah sumber referensi ilmiah yang berguna bagi madrasah sebagai implikasi untuk mencetak generasi-generasi yang memiliki tingkat intelektual yang diakui oleh masyarakat.

Manfaat Praktis:

(19)

2. Bagi guru, penelitian ini dapat menambah referensi guru dalam melaksanakan pembelajaran, menambah strategi dan metode pembelajaran, sehingga membuat siswa menjadi lebih termotivasi untuk belajar.

(20)

8 BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

A.Hakikat Cerita dan Pemahaman Cerita

“Cerita merupakan sarana untuk menyampaikan ide atau pesan melalui serangkaian penataan yang baik dengan tujuan agar pesan menjadi lebih mudah

diterima dan memberikan dampak yang lebih luas dan banyak pada sasaran.”1

Bercerita adalah perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. dengan demikian, bercerita dalam konteks komunikasi dapat dikatakan sebagai upaya memengaruhi orang lain melalui ucapan dan penuturan tentang sesuatu. Cerita dibedakan dengan cerita untuk anak. Cerita anak adalah cerita tentang kehidupan anak, baik suka maupun dukanya dalam keluarga dan masyarakat, sedangkan, cerita untuk anak adalah cerita yang diperuntukkan bagi anak, baik cerita yang menyangkut kehidupan anak maupun cerita tentang binatang, cerita para tokoh yang berjasa bagi bangsanya, cerita tentang alam, dan cerita kepercayaan. Kedua cerita ini bermanfaat untuk pendidikan dan pembentukan pribadi anak. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa hakikat cerita anak adalah karangan imajinatif tentang kehidupan anak.

Pada hakikatnya, cerita adalah kisah tentang kejadian suatu tempat, kehidupan binatang sebagai perlambangan kehidupan manusia, kehidupan manusia dalam masyarakat, dan cerita tentang mite yang hidup di dalam masyarakat, kapan dan di mana cerita itu terjadi. Cerita pada awalnya disampaikan secara lisan, kemudian berkembang menjadi bahan cetakan berupa buku, kaset, video kaset, dan film. Demikian pula bahan cerita ini berkembang terus sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi. Cerita yang baik adalah cerita yang dapat menyampaikan pesan kepada sasarannya. Untuk itu, perlu memiliki konsep dasar yang jelas.

(21)

“Sadiman mengatakan, bahwa pemahaman adalah suatu kemampuan seseorang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterimanya. Selain itu, Suharismi mengatakan, bahwa pemahaman (comprehension) adalah bagaimana sesorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberi

contoh, menuliskan kembali, dan memperkirakan.”2

“Pengertian pemahaman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan.”3

Dari beberapa pengertian tentang pemahaman di atas, dapat disimpulkan, bahwa pemahaman adalah sesatu hal yang dipahami dengan baik, baik dalam mengartikan, menafsirkan, dan menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri berdasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya.

Berdasarkan hakikat pemahaman dan cerita di atas, dapat disimpulkan, bahwa pemahaman cerita, yaitu seseorang (siswa) mampu memahami, mengerti, mengartikan, menceritakan kembali dan menafsirkan unsur-unsur (instrinsik) yang terkandung di dalam cerita.

B. Pengertian Unsur Instrinsik dan Ekstrinsik

Sebuah karya fiksi yang jadi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Unsur-unsur pembangun sebuah novel–yang kemudian secara bersama membantuk sebuah totalitas itu –di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik adalah unsur-unsur yang (secara langsung) membangun cerita. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagaian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.4

2 Referensi Belajar Anak Indonesia dalam http://www.duniapelajar.com/2011/09/02/definisi-pemahaman-menurut-para-ahli/, diunduh pada 11 Januari 2015.

3Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 811.

(22)

Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organism karya sastra. Secara lebih khusus, ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan) terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.

Sebagaimana halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain: keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sifat, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya.

Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi dalam karya. Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.5

C. Memahami Unsur Instrinsik Cerita

Pada umumnya, para ahli membagi unsur instrisik cerita (prosa rekaan) atas alur (plot), tokoh, watak, penokohan, latar cerita (setting), sudut pandang, gaya bahasa, amanat, dan tema. “Siswanto menambahkan satu unsur lagi, yaitu gaya penceritaan."6. Berikut akan dijelaskan secara singkat.

1. Tokoh, Watak, dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan, sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan .Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan.

5 Ibid., h. 22-24.

(23)

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas: (a) tokoh primer, (b) tokoh sekunder atau bawahan, (c) tokoh komplementer (tambahan).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang terlalu pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita, sedangkan yang kedua adalah tokoh tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian, maupun yang dikenai kejadian. Karena tokoh utama paling banyak diceritakan, dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menetukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang memengaruhi perkembangan plot

Di pihak lain, pemunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuatan sinopsis, sedangkan tokoh tambahan biasanya diabaikan.7

Ditinjau dari perkembangan kepribadian tokoh, tokoh dapat dibedakan atas: (a) tokoh dinamis, dan (b) tokoh statis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Sebagai contoh, tokoh yang semula jujur, karena terpengaruh oleh temannya yang serakah, akhirnya menjadi tokoh yang tidak jujur. Tokoh ini menjadi jujur kembali setelah sadar, bahwa dengan tidak jujur, penyakit jantungnya semakin parah, sedangkan tokoh statis adalah tokoh yang mempunyai kepribadian yang tetap.

(24)

Bila dilihat dari masalah yang dihadapi tokoh, dapat dibedakan atas tokoh yang mempunyai: (a) karakter sederhana, dan (b) kompleks. Tokoh yang mempunyai karakter sederhana adalah tokoh yang hanya mempunyai karakter seragam atau tunggal, sedangkan tokoh yang mempunyai karakter kompleks adalah tokoh yang mempunyai kepribadian yang kompleks, misalnya tokoh yang di mata masyarakat dikenal sebagai orang yang dermawan, pembela kaum miskin, berusaha mengentaskan kemiskinan, ternyata ia juga bandar judi.

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana, dan tokoh kompleks atau bulat. Pembedaan tersebut berasal dari foster dalam bukunya Aspect of the Novel yang terbit pertama kali 1927. Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu.Tokoh sederhana dapat saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.8

Tokoh bulat atau tokoh kompleks berbeda dengan tokoh sederhana, adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.

Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. Tokoh juga lebih sulit dipahami, terasa kurang familiar, karena yang ditampilkan yaitu tokoh-tokoh yang kurang akrab dan kurang

(25)

dikenal sebelumnya. Tingkah lakunya sering tidak terduga, dan memberikan efek kejutan bagi pembaca.9

“Sukada dalam Teori Pengkajian Fiksi merangkum keempat pembagian di atas menjadi: (a) tokoh datar, dan (b) tokoh bulat. Tokoh datar adalah tokoh yang sederhana dan bersifat statis, sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki kekompleksitasan watak dan bersifat

dinamis.”10

Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh cerita, tokoh-tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh-tokoh statis, tidak berkembang dan tokoh dinamis, tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak berpengaruh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Tokoh berkembang, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun yang lain, yang kesemuanya itu akan memengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

Adanya perubahan-perubahan yang terjadi di luar dirinya, dan adanya hubungan antarmanusia yang memang bersifat saling memengaruhi itu, dapat menyentuh kejiwaannya dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sikap dan wataknya. “Sikap dan watak tokoh berkembang, dengan demikian akan mengalami perkembangan atau perubahan dari awal, tengah, dan akhir cerita, sesuai dengan tuntutan koherensi cerita secara keseluruhan.”11

Dalam penokohan yang bersifat statis, dikenal adanya tokoh hitam (dikonotasikan sebagai tokoh jahat) dan putih (dikonotasikan sebagai tokoh baik), yaitu tokoh yang statis hitam dan statis putih. Artinya,

(26)

tokoh tersebut sejak awal kemunculannya hingga akhir cerita terus-menerus bersifat hitam-putih, yang hitam tidak pernah berunsur putih, dan yang putih pun tidak diungkapkan unsur kehitamannya.

Tokoh hitam adalah tokoh yang benar-benar hitam, yang seolah-olah telah tercetak biru secara demikian, dan yang tampak hanya melulu sikap, watak, dan tingkah lakunya yang jahat dan tidak pernah diungkapkan unsur-unsur kebaikannya dalam dirinya, walau sebenarnya pasti ada. sebaliknya, tokoh putih pun seolah-olah juga telah tercetak biru, selalu saja baik, dan tidak pernah berbuat sesuatu yang tergolong tidak baik, walau pernah sekali dua kali berbuat hal demikian.12

Dilihat dari watak yang dimiliki tokoh, dapat dibedakan atas: (a) tokoh protagonis, dan (b) tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang disukai pembaca atau penontonnya. Biasanya, watak tokoh semacan ini adalah watak yang baik dan positif, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembaca atau penontonnya. Tokoh ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negatif. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi–yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero–tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai, nilai yang ideal. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan, dan harapan pembaca.13

(27)

utama di dalam sebuah novel.”15

sedangkan tokoh minor kebalikan dari tokoh mayor, yaitu tokoh yang tidak memiliki peranan penting atau bukan yang utama.

“Boulton dalam Teori Pengkajian Fiksi mengungkapkan, bahwa cara sastrawan menggambarkan atau menampilkan tokohnya dapat menempuh berbagai cara. Dalam cerita fiksi, pelaku dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia, misalnya kancil, kucing,

kaset, dan sepatu.”16

Ada beberapa cara untuk memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaiannya, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.

2. Latar Cerita (Setting)

Abrams dalam Pengantar Teori Sastra mengatakan, bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”17

Leo Hamalian dan Frederic R. Karell, dalam Pengantar Teori Sastra

(28)

Kenney mengungkapkan dalam Pengantar Teori Sastra, bahwa cakupan latar cerita dalam cerita fiksi meliputi: penggambaran lokasi geografis, pemandangan perincian perlengkapan sebuah ruangan, pekerjaan atau kesibukan sehari-hari para tokoh, waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya sebuah tahun, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional para tokoh.19

“Unsur prosa cerita yang disebut latar ini menyangkut tentang lingkungan geografi, sejarah, sosial, dan bahkan kadang-kadang

lingkungan politik atau latar belakang tempat kisah itu berlangsung.”20

“Istilah latar atau setting berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak tentang lingkungan, baik tempat maupun

waktu, yaitu para tokoh menjalankan perannya.”21

Dari beberapa pengertian di atas, bahwa dapat disimpulkan bahwa latar atau setting merupakan tempat, waktu dan lingkungan yang dijadikan sebagai keterangan dari peristiwa-peristiwa yang ada di dalam cerita.

“Hudson membagi setting atas: (a) setting sosial, dan (b) setting fisik.

(29)

a. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum temapat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan sebagainya.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memilki karakternya sendiri yang membedakannya dengan tempat-tempat lain. “Latar tempat dalam sebuah cerita biasanya meliputi lokasi. Ia akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat

lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh.”23

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Masalah waktu dalam karya naratif, Genette, mengatakan, bahwa dapat bermakna ganda: di satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Latar waktu harus juga dikaitkan dengan latar tempat (juga: sosial) sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. Keadaan suatu yang diceritakan mau tidak mau harus mengacu pada waktu tertentu, karena tempat itu akan berubah sejalan dengan perubahan waktu.24

(30)

c. Latar Sosial

Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinanm pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap.

Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Di samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu.

“Selain penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial. Latar sosial merupakan bagian latar secara keseluruhan. Jadi, ia berada dalam kepaduannya dengan unsur latar yang lain, yaitu unsur tempat dan

waktu.”25

3. Sudut Pandang

“Aminuddin dalam Pengantar Teori Sastra, mengatakan, bahwa sudut pandang diartikan sebagai cara pengarang menampilkan para pelaku

dalam cerita yang dipaparkannnya.”26

Hary Shaw dalam Pengantar Teori Sastra menyatakan, bahwa sudut pandang terdiri atas: (1) sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, (2) sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan (3) sudut pandang pribadi, yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawa cerita; sebagai orang pertama, kedua, atau ketiga. Sudut pandang pribadi dibagi atas (a) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh, (b) pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan (c) pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal: ia sama sekali berdiri di luar cerita.27

(31)

“Abrams mengatakan dalam Teori Pengkajian Fiksi, bahwa, sudut pandang, point of view, menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa

yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi.”28

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang kiranya dapat disamakan artinya, dan bahkan dapat lebih memperjelas, dengan istilah pusat pengisahan. Sudut pandang itu sendiri secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua macam: a) persona pertama (first person) gaya “aku” dan persona ketiga ( third-person), gaya “dia.” Jadi, dari sudut pandang “aku” atau “dia,” dengan

berbagai variasinya, sebuah cerita dikisahkan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sudut pandang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia,” narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini memudahkan dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Sudut padang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan, berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya.

(1) “Dia” Mahatahu

Sudut pandang persona ketiga mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut “dia,” namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator

(32)

mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita. Teknik mahatahu tersebut, bahwa narator mampu menceritakan seseuatu, baik yang bersifat fisik, dapat diindera, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh, bahkan lebih dari seorang tokoh. Selain itu, narator juga dapat mengomentari dan menilai secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tidak ada satu rahasia un tentang tokoh yang tidak diketahuinya. Oleh karena narator secara bebas menceritakan hati dan tindakan tokoh-tokohnya, hal itu akan segera “mengobati” rasa ingin tahu pembaca atau pendengar.

(2) “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat

Sudut pandang “dia” terbatas, bahwa pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja, atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh “dia,” namun mereka tidak diberi kesempatan (tidak dilukiskan) untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama

“Sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat melaporkan atau menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau

yang dapat dijangkau oleh indera.”29

b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first person point of view, “aku,” jadi: gaya “aku,” narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh

(33)

yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada.

Pada sudut pandang persona pertama adalah sudut pandang yang bersifat internal, maka jangkauannya terbatas. Sudut pandang “aku,” narator hanya bersifat mahatahu bagi dirinya sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “dia” yang bukan dirinya.

Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita. Si “aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.

(1) “Aku” Tokoh Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si “aku” menjadi fokus, pusat

kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu yang di luar diri si “aku,”

peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau dipandang penting.

(34)

(2) “Aku” Tokoh Tambahan”

Dalam sudut pandang “Aku” tokoh tambahan, first-person, tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan itu kemudian “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa, tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setelah cerita tokoh utama habis, si “aku” tambahan tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.

c. Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus.

“Sudut pandang campuran “aku” dan “dia” digunakan secara bergantian. Misalnya pada awalnya cerita, pengarang menggunakan

“aku” kemudian beralih pada “dia” dan kembali lagi pada “aku.”30

“Campuran “aku” dan “dia”. Pada sudut pandang ini, mula-mula

cerita dikisahkan dari sudut “aku,” namun kemudian terjadi pergantian

ke “dia,” dan kembali lagi ke “aku.”31

Sudut pandang persona ketiga, sering memanfaatkan teknik “dia” mahatahu dan terbatas, atau sebagai observer secara bergantian. Terhadap sejumlah tokoh tertentu, narator bersifat mahatahu. Namun, terhadap sejumlah tokoh yang lain, biasanya tokoh-tokoh tambahan, termasuk deskripsi latar, narator berlaku sebagai pengamat, bersifat objektif, dan tidak melukiskan lebih dari yang dapat dijangkau oleh indera.

30 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), h. 115.

(35)

Penggunaan sudut pandang persona pertama yang sekaligus memanfaatkan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan tambahan. Dalam sudut pandang ini, pun bisa terjadi pergantian pusat kesadaran dari tokoh utama “aku” yang satu ke “aku” utama yang lain. Misalkan,

ada pergantian dari “aku”-nya Sri ke “aku”-nya Michel. Jadi, ada

pergantian fokalisasi di antara dua orang tokoh cerita walau keduanya sama-sama di-aku-kan.

4. Alur (plot)

Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. “Sudjiman, mengartikan, bahwa alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat).”32 Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.

“Yelland (1938) mengatakan dalam Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, bahwa alur diistilahkan dengan „kerangka cerita atau rangkaian peristiwa-peristiwa.‟ Dengan kata lain plot adalah suatu urutan

cerita atau peristiwa yang teratur dan terorganisasi.”33

“Stanton mengatakan dalam Teori Pengkajian Telaah Fiksi , bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan

atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.”34

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa yang disebut dengan plot adalah urutan cerita, yang setiap peristiwa yang dihubungkan oleh hubungan kausal (sebab-akibat).

32 Ibid., h. 112.

(36)

Ada beberapa pendapat tentang tahapan-tahapan peristiwa dalam suatu cerita. Aminuddin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian. a. Pengenalan

Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama, asal, ciri fisik, dan sifatnya.

“Peristiwa yang dimaksud diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Misalkan, mendeskripsikan tindakan tokoh dengan mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.”35

Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik ataupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktivitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang diluar dirinya: tokoh lain atau lingkungan. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati, seorang tokoh.

b. Konflik atau tikaian

Konflik atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh, dan masyarakat atau lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan Tuhan. Ada konflik lahir dan konflik batin.36

Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, yang, jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya

(37)

konflik. Sebaliknya, karena terjadi konflik, peristiwa-peristiwa lain pun dapat bermunculan, misalnya yang sebagai akibatnya.37

Bentuk konflik, sebagai bentuk kejadian, dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut.

1. Konflik Eksternal

Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam, mungkin dengan lingkungan manusia.

Konflik eksternal dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu: (a) konflik fisik, konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Misalnya, konflik yang dialami oleh seseorang akibat adanya banjir besar, kemarau panjang, gunung meletus, dan sebagainya; (b) konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antar manusia. Masalahnya bisa berupa perburuhan, penindasan, percekcokan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan lainnya.

2. Konflik Internal

Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh (atau tokoh-tokoh) cerita. Jadi, ia merupakan konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri, ia lebih merupakan permasalahan intern seorang manusia. Misalnya hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan-harapan, atau masalah-masalah lainnya.38

c. Komplikasi atau rumitan

Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian. Pada tahap ini, konflik

37 Ibid.

(38)

yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.

d. Klimaks

Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks merupakan puncak rumitan yang diikuti oleh krisis atau titik balik.

Stanton dalam Teori Pengkajian Fiksi mengatakan, bahwa saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan.39

e. Krisis

Krisis adalah bagian alur yang mengawali penyelesaian. Saat dalam alur yang ditandai oleh perubahan alur cerita menuju selesainya cerita. Karena setiap klimaks diikuti krisis, keduanya sering disamakan.

f. Leraian

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai klimaks. Pada tahap ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.

g. Selesaian

Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau drama. Dalam tahap ini, semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh pengarang. Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca atau penonton.

Dalam cerita lama, alur dimulai dari pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan diakhiri dengan tahap penyelesaian.

(39)

Meskipun demikian, tidak semua cerita mempunyai seluruh tahap alur tersebut. Ada yang hanya pengenalan, konflik, klimaks, dan diakhiri dengan penyelesaia. Pada cerita modern, alur tidak selalu dimulai dengan pengenalan dan diakhiri dengan tahap penyelesaian. Ada kemungkinan cerita dimulai dengan konflik. Ada kenungkina cerita dimulai dari penyelesaian

5. Tema dan Amanat

“Kata tema sering kali disamakan dengan pengertian topik. Padahal kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema

merupakan tulisan atau karya fiksi.”40

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakannya. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan

tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya. “Tema akan mudah

dipahami apabila telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya

serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.”41

“Menemukan tema sebuah karya sastra, haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang

“disembunyikan,” walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit.”42

“Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern, amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra

lama pada umumnya amanat tersurat.”43

40 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya. 1988), h. 42. 41Siswanto, op. cit., 161.

(40)

6. Gaya penceritaan

Gaya penceritaan mencakup teknik penulisan dan penceritaan. Teknik penulisan adalah cara yang digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastranya. Teknik penulisan mengacu pada bagaimana pengurutan, penataan, dan pembagian karya sastra atas bab, subbab, paragraf, dan sebagainya. sedangkan “teknik penceritaan adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan karya sastranya, seperti teknik pemandangan, teknik adegan, teknik montase, teknik kolase, dan teknik asosiasi.”44

D.Manfaat Cerita bagi Anak

Bagi anak, cerita tidak sekadar memberi manfaat emotif, tetapi juga membantu pertumbuhan mereka dalam berbagai aspek. Perlu diyakini, bahwa bercerita merupakan aktivitas penting dan tidak terpisahkan dalam program pendidikan anak. Ditinjau dari berbagai aspek, manfaat tersebut meliputi hal-hal berikut ini.

1. Membantu perkembangan pribadi dan moral anak

Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak, karena mereka senang mendengarkan cerita, walau dibacakan secara berulang-ulang. Pengulangan, imajinasi anak, dan nilai kedekatan guru atau orang tua membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara berpikir mereka. Hal ini dibuktikan oleh seorang psikolog, Joseph Strayhorn Jr dalam buku The Competent Child. Anak tidak mendapatkan kehangatan seperti jika mereka mendapatkan cerita itu dari guru atau orangtuanya. Efek psikologis inilah yang menjadi landasan bagi guru untuk menyemaikan nilai-nilai moral, etika, dan pekerti. Penyemaian ini membantu anak belajar mengidentifikasi dan menilai diri sendiri.

2. Menyalurkan kebutuhan imanjinasi dan fantasi

Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai hal yang selalu muncul dalam pikiran mereka. Masa usia

(41)

prasekolah dan usia sekolah dasar merupakan masa-masa aktif anak berimajinasi. Anak membutuhkan dongeng atau cerita karena berbagai hal. Pertama, anak membangun gambaran-gambaran mental pada saat guru memperdengarkan kata-kata yang melukisakan kejadian.

Rangsangan auditif ini menstimulasi anak untuk terus menciptakan gambaran visual. Kedua, anak memperoleh gambaran yang beragam sesuai dengan latar pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Hal ini menjadi bahan baku anak dalam membangun skemata-skemata dalam pikirannya.

Hal selanjutnya, yaitu yang ketiga, anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental. Hal ini membantu mereka memberikan respon yang lebih baik saat menghadapi realitas yang sesungguhnya. Keempat, anak memperoleh kesempatan menangkap imajinasi dari citraan-citraan cerita. Kelima, anak memiliki tempat untuk “melarikan” permasalahan seperti keinginan untuk melawan, kemarahan, rasa iri dan cemburu, serta ketidakberdayaan. Keenam, anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab-akibat secara imajinatif. Hal demikian, membuat anak lebih meyakini nilai-nilai yang dirangkainya dan cukup mempengaruhi keputusan riil yang dibuat.

3. Memacu kemampuan verbal anak

Cerita yang bagus tidak sekedar menghibur, tetapi juga mendidik, tetapi yang paling penting adalah sekaligus merangsang berkembangnya komponen kecerdasan linguistik, yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis. Mendengar cerita yang bagus bagi anak, sama artinya dengan melakukan serangkaian kegiatan fonologis, sintaksis, semantik, dan pragmatik.

Selama menyimak cerita, anak belajar bagaimana bunyi-bunyi yang bermakna diujarkan dengan benar, bagaimana kata-kata disusun secara logis dan mudah dipahami, bagaimana konten dan konteks berfungsi dalam makna. Cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita,

(42)

Anak belajar tata cara berdialog dan bernarasi serta terangsang untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi karena dalam cerita ada negoisasi, pola tindak tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji, mematuhi larangan, dan memuji. Kemampuan verbal anak lebih terstimulasi secara efektif pada saat guru melakukan semacam tes pada anak untuk menceritakan kembali isi cerita. Cerita membuat anak menyadari arti pentingnya berdialog dan menuangkan gagasan dengan kata-kata yang baik.

4. Merangsang minat menulis anak

Pengaruh cerita terhadap kecerdasan anak diakui oleh Leonhardt. Menurutnya, cerita memancing kebahasaan anak. Anak yang gemar mendengar dan membaca cerita akan memiliki kemampuan berbicara, menulis, dan memahami gagasan rumit secara lebih baik. Ini berarti, selain memacu kemampuan berbicara, menyimak cerita juga merangsang minat menulis anak. Pernyataan di atas menunjukkan, bahwa cerita juga membantu menumbuhkan kemampuan tulis (emergent writing) anak. Cerita dapat menimbulkan inspirasi anak untuk membuat cerita. Dengan kata lain, cerita dapat menstimuli anak membuat cerita sendiri.

5. Merangsang minat baca anak

Cerita dengan media buku (dengan catatan: guru melakukan praktek bercerita dengan benar), menjadi stimulasi yang efektif bagi anak, karena pada waktu itu minat baca anak mulai tumbuh. Minat itulah yang harus diberi lahan yang tepat antara lain melalui kegiatan bercerita. Membacakan cerita dapat menjadi contoh yang efektif bagi anak bagaimana aktivitas membaca harus dilakukan. Secara tidak langsung, anak memperoleh contoh tentang orang yang gemar dan pintar membaca dari apa yang dilihatnya.

(43)

justru membunuh minat baca anak, apalagi bila hal tersebut dilakukan secara paksa. Penelitian di Nederland menunjukkan anak-anak yang “dipaksa” belajar membaca mengalami peningkatan, namun hali itu perlu diteliti efeknya di kemudian hari.

6. Membuka cakrawala pengetahuan anak

Dalam sebuah seminar “Kreativitas dan Kecakapan Hidup,” Gede Raka, mengatakan, bahwa cerita seorang guru dapat menstimuli anak untuk belajar lebih jauh. Baker dan Greene, mengatakan, bahwa bercerita dapat membawa anak pada sikap yang lebih baik, mempertinggi rasa ingin tahu kemisterian, dan sikap menghargai kehidupan. Dengan kata lain, bercerita memberikan jalan bagaimana memahami diri sendiri dan memahami orang lain, serta bagaimana memahami cerita itu sendiri. Manfaat cerita sebagai pengembang cakrawala anak tampak pada cerita-cerita yang memiliki karakteristik budaya, seperti cerita tentang “Tujuh Orang Samurai” (cerita dari Jepang) dan “Kebunku” (karya Miranda). Cerita kadang menyimpan daya rangsang yang tinggi untuk memicu daya eksplorasi anak tentang lingkungan.

Pengalaman menunjukkan, bahwa anak yang menyimak cerita mengenai binatang tertentu kadang memperoleh semacam rangsangan untuk mengetahui tokohnya lebih jauh. Cerita fiksi tersebut memberikan informasi ilmiah yang merangsang anak mencari kebenarannya dalam dunia nyata yang sesungguhnya melalui berbagai cara seperti bertanya dan membaca buku.45

E. Klasifikasi Cerita Anak 1. Buku Bergambar

Ditinjau dari isinya, buku bergambar juga banyak diartikan sebagai buku berisi cerita untuk anak-anak yang digarap melalui pemanfaatan tulisan dan gambar. Bagi anak-anak, buku bergambar idealnya bersifat atraktif, memberikan gambaran tentang sesuatu secara jelas, dan bisa membangkitkan pengalaman keindahan secara kreatif. Nilai demikian

(44)

tercapai apabila melalui buku bergambar yang dibacanya anak bisa membentuk penghubungan antara dunia skemata yang ada dalam dunia pengalaman dan pengetahuannya dengan dunia yang digambarkan dalam bacaan secara berkelanjutan.

Buku bergambar juga lazim disebut sebagai big books, karena ukuran atau format bukunya memang besar. Ditinjau dari isinya, buku bergambar biasanya berisi cerita tentang kehidupan binatang, akan tetapi memiliki ciri insan.

2. Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan the body of literature atau bangun cerita sastra yang bersifat anonim, diturunkan dari generasi yang satu ke generasi yang lain secara lisan, sehingga akan mengalami sejumlah variasi meskipun bangun cerita dasarnya tidak berubah. Menurut Jung, salah seoraang ahli bidang psikologi, folklore merupakan cermin kumpulan dunia bawah sadar yang menggambarkan impian, harapan, fantasi, lamunan ataupun visi suatu kelompok masyarakat.

Cerita Malin Kundang misalnya menggambarkan impian keberhasilan hidup di perantauan, impian mendapatkan isteri yang cantik, menggambarkan visi, bahwa keberhasilan hidup memerlukan uluran tangan orang lain, dan memberikan gambaran, bahwa ketika telah berhasil seseorang tidak boleh melupakan keluarga dan kampung halamannya.

“Cerita rakyat menurut Nurgiantoro dalam Bahasa Indonesia 2 Edisi

Pertama bisa dibagi-bagi menjadi sejumlah jenis, yaitu sebagai berikut.” a. Fabel

Fable merupakan cerita dengan pelaku binatang yang di dalamnya memuat ajaran tertentu. Binatang yang diangkat sebagai pelaku cerita tersebut bisa berbagai macam, sehingga antara wilayah yang satu dengan yang lain yang berbeda-beda. Mungkin yang menjadi tokoh itu rubah, kancil, serigala, ataupun kancil.

b. Dongeng

Gambar

gambar, film bingkai, film atau model.
gambar, dan lain-lain.
gambar, dan berbagai bentuk bahan yang dicetak seperti
gambar dan suara. Maka televisi sebenarnya sama dengan film
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tinjauan epistemologi hukum Islam, terdapat kurang lebih tujuh metode yang digunakan para ulama mujtahid untuk menetapkan dan menerapkan pemikiran hukum Islam,

Permasalahan yang baru bagi waralaba/ Franchise yaitu waralaba di Indonesia belum memiliki neraca awal dan laporan keuangan sesuai dengan standar Akuntansi yang berlaku,

32/MEN/XII/2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan LKS Bipartit menyebutkan bahwa, LKS Bipartit adalah forum komunikasi, dan konsultasi mengenai

Tiba-tiba menjawablah tuan Kadi mengatakan, "Janganlah engkau berkata begitu dindaku.. Inilah hajatku datang ke man, karena apabila meninggal Dg Basomu dan jika engkau cinta juga

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) instrumen observasi terhadap guru, (2) instrumen observasi terhadap siswa, (3) instrumen observasi terhadap kelas,

Implementasi tindakan dilaksanakan dalam dua putaran (siklus), yaitu: Siklus I, peneliti melakukan kegiatan perancangan dengan melaksanaan proses penggarapan koreografi

dengan frekuensi. Grafik hubungan antara beda fasa dengan frekuensi. Grafik hubungan antara impedansi dengan frekuensi.. Grafik hubungan antara beda fasa dengan frekuensi.

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penilitian dan penyusunan UJI IRITASI DAN