• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PRINSIP KEHATI HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–Tugas Dan Memenuhi Syarat Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Oleh:

Unggul Mardiatmo

NIM : 070200126

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENERAPAN PRINSIP KEHATI HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–Tugas Dan Memenuhi Syarat Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Oleh:

Unggul Mardiatmo

NIM : 070200126

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENERAPAN PRINSIP KEHATI HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas–Tugas Dan Memenuhi Syarat Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

Oleh:

Unggul Mardiatmo

NIM : 070200126

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum)

NIP. 196603031985081004

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS) (Zulkifli Sembiring, SH., M.H)

(4)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandan tangan di bawah ini :

NAMA : Unggul Mardiatmo

NIM : 070200126

DEPARTEMEN : Hukum Perdata BW

JUDUL SKRIPSI : Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2014

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan dan dapat menyempurnakan an skripsi ini dengan baik. Adapun an skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat utama dalam kelulusan di perkuliahan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara.

Skripsi ini berjudul “PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN“. Di mana penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktek penerapan Prinsip Kehati-Hatian pada penilaian agunan sebelum terjadi disetujuinya suatu permohonan kredit oleh calon debitur.

Selama proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini saya selaku penulis menghadapi begitu banyak hambatan. dan tanpa bantuan dari rekan rekan sekalian yang telah membantu saya tentulah sangat sulit bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih yang sebesar besarnya saya sampaikan kepada orang tua tercinta Rudjito Said dan Titing Mardiah yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendidik saya dari kecil hingga saat ini, serta yang telah memberikan semangat dan dukungan baik moril maupun materil, serta seluruh doa yang tiada putus putusnya, serta tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik tercinta Widhi Ayu Ridjati. Semoga allah SWT selalu memberikan segala kebaikan atas jasa jasa beliau.

Selain itu, juga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting. S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Syafrudin. S.H, M.H Selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

5. Bapak Dr. Hasyim Purba. S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello. S.H, M.S selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Bapak Zulkifli Sembiring. S.H, M.H selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Kepada segenap Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak bekal ilmu, Nasehat, serta bimbingan dan arahan kepada penulis selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teman teman Stambuk 2007 yang telah mengisi tahun tahun kebersamaan kita dalam menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta telah membantu dan memotivasi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, mudah mudahan kita semua menjadi orang orang yang sukses di kemudian hari, Amin.

10. Bapak Firman Saleh dan seluruh staf yang bapak pimpin atas kerja samanya dalam berbagi ilmu dan pengalaman dalam dunia perbankan.

11. Keluarga besar Bapak Isman Nuriadi, atas segala dukungannya kepada penulis dan baik dukungan moril dan materil yang telah diberikan selama ini 12. Ibu Chairus Suryati, SH atas dukungan moril nya kepada penulis untuk tetap

semangat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Teman teman dari berbagai jurusan dan Universitas atas segala waktu yang telah dihabiskan untuk saling bertukar pikiran dan pendapat, penulis berharap agar kita tetap diberikan waktu dan kesempatan untuk berkumpul lagi.

14. Teman teman penulis di SMA Harapan Mandiri, semoga keakraban kita semakin erat dan penulis berharap agar kita sama sama menjadikan diri kita lebih berguna dan lebih bermanfaat dengan ilmu yang kita raih sekarang ini. 15. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

(7)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menjadi perbaikan dan pembelajaran bagi penulis selanjutnya.

Akhir kata, terima kasih kepada segenap pihak yang membantu saya dalam menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT menjadikannya sebagai amal baik dan selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah pengetahuan kita semua.

Medan, Januari 2014 Penulis

(8)

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN

ABSTRAKSI Unggul Mardiatmo * Prof. Dr. Tan Kamelo, SH. M.S **

Zulkifli Sembiring, SH, MH ***

Bank yang dikenal secara umum sebagai. lembaga penghimpun dana, namun dalam prakteknya, untuk menjalankan fungsinya bank tidak hanya menyimpan dana yang diperoleh, akan tetapi untuk pemanfaatannya bank menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana segar untuk usaha. Tentunya dalam pelaksanaan fungsi ini diharapkan bank akan mendapatkan sumber pendapatan berupa bagi hasil atau dalam bentuk pengenaan bunga kredit. Pemberian kredit akan menimbulkan risiko, oleh sebab itu pemberiannya harus benar-benar teliti dan memenuhi persyaratan. Kredit merupakan usaha perbankan yang dimana bank menyalurkan kembali kepada masyarakat. Risiko yang timbul akan berpengaruh langsung pada kesehatan dan kelangsungan usaha suatu bank. Untuk itu Undang-undang perbankan mengamanatkan agar bank senantiasa berpagang pada prinsip-prinsip perbankan agar dapat melaksanakan kegiatan usahanya dan terhindar dari risiko. Adapun prinsip-prinsip perbankan yang wajib dipatuhi agar terhindar dari risiko antara lain Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle), Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle), Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle), dan Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Costumer Principle). Dengan keempat prinsip tersebut suatu bank dapat melakukan kegiatannya, dan apabila suatu bank tidak menjalankan salah satu dari empat prinsip tersebut, maka suatu bank dapat menimbulkan akibat bank tesebut gagal melakukan tugasnya

Peneliti melakukan studi lapangan guna mengangkat topik menganai prinsip kehati-hatian ini agar peneliti dapat mengetahui bagaimana efektifitas suatu bank dalam penerapan prinsip perbankan terutama Prinsip Kehati-hatian yang dimana pada saat ini banyak sekali terjadi kejahatan terhadap perbankan diantaranya kejahatan yang berkaitan dengan perizinan, kejahatan yang berkaitan dengan rahasia bank, kejahatan yang berkaitan dengan administrasi pengawasan dan pembinaan, dan kejahatan yang berkaitan dengan usaha bank.

Dari hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa bank selalu mematuhi keempat prinsip tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko yang berakibat langsung pada usaha perbankan yang dijalankannya, namun bank harus lebih memperketat pengawasan terhadap karyawannya agar tidak melakukan tindakan yang menguntungkan pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara melakukan tindakan fraud sehingga akan merugikan bank itu sendiri.

Kata Kunci : Agunan, Kredit, Prinsip Kehati-hatian, Perbankan * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang B. Perumusan Masalah

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan D.Keaslian Penulisan

E. Metode Penulisan F. Sistematika Penulisan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM DAN KREDIT BANK SECARA UMUM

A.Pengertian Perjanjian

B. Azas-Azas Hukum Perjanjian C.Syarat Sah Perjanjian

D.Jenis-Jenis Perjanjian

BAB III PRINSIP DALAM PERBANKAN DAN PENERAPANNYA

A.Prinsip-Prinsip dalam Perbankan

B. Pengertian Prinsip Kehati-hatian (Prudential Bankin Principle) dan Pengaturannya di Indonesia

C.Kehati-hatian Sebagai Salah Satu Prinsip dalam Memberikan Kredit BAB IV PRAKTEK PRINSIP KEHATI HATIAN DALAM PENIALAIAN JAMINAN (COLLATERAL) PADA PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN

(10)

B. Penerapan prinsip kehati hatian dalam 5C oleh kreditur sebelum memberikan pinjaman kredit perbankan kepada debitur

C.Praktek Jaminan Secara Umum sebagai Jaminan Pinjaman Kredit D.Penyelesaian Kredit Bermasalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(11)

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA PENILAIAN AGUNAN

ABSTRAKSI Unggul Mardiatmo * Prof. Dr. Tan Kamelo, SH. M.S **

Zulkifli Sembiring, SH, MH ***

Bank yang dikenal secara umum sebagai. lembaga penghimpun dana, namun dalam prakteknya, untuk menjalankan fungsinya bank tidak hanya menyimpan dana yang diperoleh, akan tetapi untuk pemanfaatannya bank menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana segar untuk usaha. Tentunya dalam pelaksanaan fungsi ini diharapkan bank akan mendapatkan sumber pendapatan berupa bagi hasil atau dalam bentuk pengenaan bunga kredit. Pemberian kredit akan menimbulkan risiko, oleh sebab itu pemberiannya harus benar-benar teliti dan memenuhi persyaratan. Kredit merupakan usaha perbankan yang dimana bank menyalurkan kembali kepada masyarakat. Risiko yang timbul akan berpengaruh langsung pada kesehatan dan kelangsungan usaha suatu bank. Untuk itu Undang-undang perbankan mengamanatkan agar bank senantiasa berpagang pada prinsip-prinsip perbankan agar dapat melaksanakan kegiatan usahanya dan terhindar dari risiko. Adapun prinsip-prinsip perbankan yang wajib dipatuhi agar terhindar dari risiko antara lain Prinsip Kepercayaan (Fiduciary Relation Principle), Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle), Prinsip Kerahasiaan (Secrecy Principle), dan Prinsip Mengenal Nasabah (Know How Costumer Principle). Dengan keempat prinsip tersebut suatu bank dapat melakukan kegiatannya, dan apabila suatu bank tidak menjalankan salah satu dari empat prinsip tersebut, maka suatu bank dapat menimbulkan akibat bank tesebut gagal melakukan tugasnya

Peneliti melakukan studi lapangan guna mengangkat topik menganai prinsip kehati-hatian ini agar peneliti dapat mengetahui bagaimana efektifitas suatu bank dalam penerapan prinsip perbankan terutama Prinsip Kehati-hatian yang dimana pada saat ini banyak sekali terjadi kejahatan terhadap perbankan diantaranya kejahatan yang berkaitan dengan perizinan, kejahatan yang berkaitan dengan rahasia bank, kejahatan yang berkaitan dengan administrasi pengawasan dan pembinaan, dan kejahatan yang berkaitan dengan usaha bank.

Dari hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa bank selalu mematuhi keempat prinsip tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko yang berakibat langsung pada usaha perbankan yang dijalankannya, namun bank harus lebih memperketat pengawasan terhadap karyawannya agar tidak melakukan tindakan yang menguntungkan pihak yang tidak bertanggung jawab dengan cara melakukan tindakan fraud sehingga akan merugikan bank itu sendiri.

Kata Kunci : Agunan, Kredit, Prinsip Kehati-hatian, Perbankan * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil dalam mencapai sasaran-sasarannya yakni pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, kesempatan kerja, distribusi pendapatan dan lain sebagainya. Sasaran itu terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting.

Sektor perbankan memiliki peran sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional. Kelancaran aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Disamping itu, perbankan merupakan alat sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjadi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan.

(13)

menempuh berbagai macam cara untuk mendapatkan modal tersebut, salah satu cara yang lazim di tempuh untuk mendapatkan modal tersebut adalah dengan cara melakukan pinjaman kepada pihak lain. Hubungan pinjam-meminjam tersebut dapat dilakukan dengan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian lisan atau dalam bentuk perjanjian tertulis yang juga dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik.

Perjanjian hutang piutang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam-meminjam yaitu merupakan perjanjian pinjam-meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti saat ia meminjam1.

Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak2. Salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, yakni bidang bisnis yang sarat dengan pengaturan dan petunjuk

1

R. Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1995, hlm. 20.

2

(14)

pelaksanaan (heavily regulated business). Bidang perbankan merupakan bidang yang sarat akan regulasi hal ini dikarenakan3:

1) Bank adalah termasuk lembaga yang mengelola uang rakyat, karena itu, kepentingan rakyat banyak ikut dipertaruhkan oleh suatu bank,

2) Kegiatan bank merupakan kegiatan yang sangat detail dan complicated. Karena itu, perlu arahan arahan dan petunjuk yang lengkap dan detail pula, 3) Bank memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan moneter

dan perekonomian secara makro. Karena itu, ada pula suatu kebutuhan masyarakat agar bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak. Sehingga perkembangan ekonomi nasional tetap mantap.

Tidak semua kredit yang diberikan kepada debitur tergolong kredit lancar, dalam artian memperoleh pengembalian (pelunasan) dari krediturnya. Mengenai ketentuan jenis kredit berdasarkan tingkat pengembaliannya oleh kreditur, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR tertanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Adapun dampak percepatan penambahan angka kredit macet di bank dengan beberapa klasifikasi sebagai berikut 4:

3

Munir Fuadi. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002, hlm. 10.

4

(15)

1. Kredit Lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati disebut juga Kolektibilitas 1,

2. Kredit dalam perhatian khusus (special mention), yaitu apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari, disebut juga Kolektibilitas 2,

3. Kredit kurang lancar (substandar), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari, disebut juga dengan Kolektibilitas 3,

4. Kredit diragukan (doubtful), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari, disebut juga Kolektibilitas 4,

5. Kredit macet (loss), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari disebut juga Kolektibilitas 5.

Dan apabila kredit tak terbayar maka akan dapat mempengaruhi modal bank dan juga likuiditas bank. Sejumlah faktor penyebab meningkatnya angka kredit macet, yaitu 5 :

1. Perbankan umumnya kurang hati-hati dalam memberikan pinjaman dalam tahun-tahun boom investasi (sejak keluarnya Pakto 1988),

2. Pelanggaran terhadap ketentuan batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit) yang disyaratkan Pakfeb 1991,

3. Pengaruh kebijaksanaan uang ketat, sehingga menurunkan kemampuan perusahaan nasabah bank untuk membayar pinjaman.

5

(16)

Aktivitas perbankan pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang dikenal dengan istilah funding yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan cara menghimpun dana dari masyarakat luas dengan cara mengeluarkan produk jasa penyimpanan uang berupa tabungan atau deposito dan kedua memberi pinjaman ke masyarakat atau dikenal dengan istilah kredit atau lending. Semakin lama perkembangan kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada berbagai risiko usaha seperti risiko kredit, risiko investasi, risiko operasional, risiko penyelewengan dan risiko fidusia6. Selain itu, akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan oleh berbagai skandal perbankan bernilai ratusan miliar hingga triliunan rupiah yang terjadi pada bank milik pemerintah. Berita skandal perbankan yang merugikan negara triliunan rupiah itu tentu saja sangat mengusik rasa keadilan masyarakat. Saat hidup dirasakan sulit, begitu banyak orang yang mencari jalan keluar dengan memanfaatkan jabatan melalui kolusi dengan oknum karyawan/pengurus bank. Meski tidak memberikan definisi tentang kejahatan perbankan, Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menetapkan tigabelas definisi yang terdapat pada Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketigabelas kejahatan perbankan tersebut dapat digolongkan kepada empat macam yaitu:

1. Kejahatan yang berkaitan dengan perizinan, 2. Kejahatan yang berkaitan dengan rahasia bank,

3. Kejahatan yang berkaitan dengan administrasi, pengawasan dan pembinaan, 4. Kejahatan yang berkaitan dengan usaha bank.

6

(17)

Sebagaimana contoh yang telah diuraikan sedikit di atas maupun sebagai jawaban atas besarnya risiko yang dihadapi oleh perbankan dalam menjalankan kegiatannya, maka daripada itu diperlukan suatu pengawasan dan pembinaan yang baik terhadap bank yang merupakan kewenangan Bank Indonesia dan juga peningkatan Prinsip Kehati-hatian oleh pihak bank sendiri didalam menjalankan usahanya.

Prinsip Kehati-hatian atau disebut juga Prudent Banking Principles mengharuskan bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti bank dalam menjalankan kegiatannya harus konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik7. Prinsip Kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, hal ini tercantum pada Pasal 2 Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip Kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya8. Penjelasan Pasal 25 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dijelaskan pula bahwa ketentuan perbankan yang memuat Prinsip Kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Dalam pemberian kredit, bank selalu berpedoman pada Prinsip

7

Muhammad Abdul Kadir dan Rilda Muniarti, op.cit., hlm. 135.

8

(18)

Kehati-hatian dalam pemberian kredit yang disebut dengan prinsip 5C yang terdiri atas Character (karakter), Capacity (kemampuan mengembalikan hutang), Collateral (jaminan), Capital (modal) dan Condition (situasi dan kondisi). Dalam

dunia perbankan, nasabah yang dapat memenuhi kriteria 5C adalah orang yang sempurna untuk mendapatkan Pembiayaan. Debitur yang mempunyai karakter kuat, dengan memenuhi kriteria 5C ini yakni kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal yang kuat, dan kondisi perekonomian yang aman merupakan debitur atau nasabah yang berpotensial untuk diajak bekerja sama atau orang yang layak mendapatkan penyaluran kredit. Pendeknya orang yang mempunyai 5C yang baik adalah manusia yang ideal dalam dunia perbankan.

Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berinisiatif untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan (Collateral)”.

B.Perumusan Masalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada penilaian agunan, maka diperoleh permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pengajuan dan syarat-syarat permohonan kredit?

2. Bagaimana penerapan unsur Prinsip Kehati-hatian dalam perjanjian kredit khususnya bila ditinjau dari segi agunan (collateral)?

(19)

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dalam pembahasan skripsi ini yang berjudul “Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan (Collateral)” adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain:

1. Untuk mengetahui proses pengajuan dan syarat-syarat permohonan kredit, 2. Untuk mengetahui pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian dalam perjanjian

kredit khususnya ditinjau dari segi agunan (collateral),

3. Untuk mengetahui tata cara bank selaku kreditur dalam melindungi diri dari kemungkinan gagalnya suatu perjanjian kredit yang diakibatkan oleh nasabah peminjam (debitur).

Penulis juga menyadari adanya keterbatasan dalam pembahasan permasalahan, dalam ilmu pengetahuan, waktu dan hal-hal lainnya dalam penulisan skipsi, sehingga menjadikan kewajiban penulis untuk memperbaiki dan menyempurnakan ilmunya di kemudian hari.

Selain tujuan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini, perlu pula diketahui bersama manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis, sebagai berikut:

a) Manfaat Teoritis

(20)

menjadi salah satu sumber informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penulisan dan penelitian selanjutnya.

b)Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemerintah dalam bentuk sosialisasi dan aplikasi undang-undang perbankan kepada masyarakat. Penulis berharap agar skripsi ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam pemecahan atas permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian dalam perjanjian kredit bank dari sudut teori maupun penerapannya di lapangan. Selain itu dapat menjadi landasan operasional bagi instansi yang terkait untuk menanggulangi hambatan-hambatan dalam melakukan perjanjian kredit bank.

D.Keaslian Penulisan

“Penerapan Prinsip Kehati-hatian pada Penilaian Agunan

(Collateral)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum pernah ditulis menjadi judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Kalaupun ada judul yang hampir sama dengan skripsi ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda.

(21)

berbagai pihak. Dengan demikian, penulis akan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang ada di dalam karya tulis skripsi ini.

E.Metode Penulisan

Untuk mencari, menemukan dan melengkapi suatu kebenaran secara ilmiah dan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini maka penulis memberanikan diri untuk mengadakan penelitian dan adapun metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskiptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka penyusun teori baru.9 Berkaitan dengan jenis penelitian yang dimaksud di atas maka penelitian ini akan mendeskripsikan tentang Prinsip Kehati-hatian dalam perjanjian kredit di bank, hak-hak yang dilanggar dalam Prinsip Kehati-hatian dalam perjanjian kredit di bank. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

9

(22)

menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan hukum10.

2. Data dan Sumber Data

Data adalah hasil dari penelitian baik berupa fakta-fakta atau angka yang dapat dijadikan bahan untuk dipakai sebagai suatu sumber informasi, sedangkan informasi adalah hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Data yang disajikan diperoleh dari sumber-sember data yang meliputi sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Data Primer adalah sumber data atau keterangan yang merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama berdasarkan penelitian lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui keterangan dan informasi yang didapat dari pihak yang terkait dengan dunia perbankan. Data primer diperoleh peneliti dari pihak bank.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan, seperti peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, buku ilmiah dan hasil penelitian terdahulu. Data Sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum sekunder yang meliputi:

1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

2)Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,

10

(23)

3)Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, 4)Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, 5)Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan

dengan hukum perbankan dan kredit di Indonesia.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer/bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dimaksud di atas digunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan mencari, mencatat, menginventarisasikan dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.

b. Wawancara

(24)

menghambat penerapan Prinsip Kehati-hatian di bank dan pelaksanaan perjanjian kredit dengan Prinsip Kehati-hatian kepada calon nasabah di bank.

4. Analisis Data

Pengumpulan data dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Tujuan analisis data dalam penelitian adalah untuk menyempitkan dan membatasi data dengan harapan menjadi data yang tersusun secara baik. Oleh karena itu, metode analisis yang sesuai dengan jenis penelitian deskriptif, yaitu suatu analisis yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi kepustakaan kemudian dituangkan dalam bentuk uraian yang logis dan sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan kejelasaan yang diteliti. Sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto (1986) mengenai pengertian analisis data kualitatif, yang menyatakan bahwa ”suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”.11

Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan model interaktif. Langkah awal peneliti yaitu melakukan pengumpulan data baik di lapangan

11

(25)

maupun studi kepustakaan. Data yang diperoleh tersebut disusun dalam bentuk penyusunan data dan kemudian dilakukan pengolahan data dan seterusnya diambil kesimplan, yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila kesimpulan kurang akurat, maka peneliti melakukan verifikasi dan kembali mengumpulkan data di lapangan, tujuannya adalah untuk menjamin validitas yang ada.

Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum, pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian,

c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas atau doktrin,

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin yang ada,

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.12

F.Sistematika Penulisan

12

(26)

Pembahasan skripsi ini terbagi menjadi lima bab dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Pembagian tersebut dilakukan secara sistematis sesuai dengan tahapan-tahapan uraiannya, sehingga tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Adapun isi dari tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN berisi tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM DAN KREDIT BANK SECARA UMUM yang membahas tentang Pengertian Perjanjian, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Syarat Sah Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian.

BAB III PRINSIP DALAM PERBANKAN DAN PENERAPANNYA dimana dalam bab ini membahas tentang Prinsip-prinsip dalam Perbankan, Pengertian Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principles) dan Pengaturannya di Indonesia, Kehati-hatian sebagai Salah Satu Prinsip dalam Memberikan Kredit.

BAB IV PRAKTEK PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENILAIAN

JAMINAN (COLLATERAL) PADA PEMBERIAN KREDIT

(27)

Kepada Debitur, Praktik Jaminan Secara Umum Sebagai Jaminan Pinjaman Kredit, Penyelesaian Kredit Bermasalah.

(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM-MEMINJAM DAN KREDIT BANK SECARA UMUM

A.Pengertian Perjanjian

Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di bawah titel Tentang Perikatan, mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864. Kata “perjanjian” dan “perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari undang-undang, juga lahir dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan. Subekti13 memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedangkan KMRT Tirtodiningrat14 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata

13

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. 1996, hlm. 1.

14

(29)

sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.

Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata hendak menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil. Dalam khasanah hukum perjanjian dikenal beberapa asas yang menjadi dasar para pihak dalam melakukan tindakan hukum guna melahirkan suatu perjanjian. Dalam perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum melainkan merupakan hubungan hukum (rechtsverhouding).

B.Azas-Azas Hukum Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum Perjanjian, yaitu :

1. Azas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

(30)

zaman Yunani dimana dalam prakteknya semua orang bebas menentukan pilihan untuk dirinya sendiri. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dalam KUH Perdata tersebut dijelaskan bahwa hukum

perjanjian memberikan kebebasan kepada pihak yang terkait untuk:

a.Membuat perjanjian atau tidak;

b.Bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c.Bebas menentukan isi dari perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, serta;

d.Bebas menentukan bentuk dari perjanjian apakah lisan atau tulisan.

2. Azas Konsensualitas (Consencualism)

Azas hukum konsensualisme memandang bahwa sebuah perjanjian tersebut sah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata berkaitan dengan bentuk perjanjian. Azas hukum konsensual ini merupakan salah satu azas hukum perjanjian yang menetapkan bahwa perjanjian terjadi apabila telah memenuhi bentuk yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak, oleh karena itu, dalam KUH Perdata, azas konsensualisme temasuk dalam salah satu azas hukum perjanjian

(31)

Azas kepastian hukum sebagai salah satu azas hukum perjanjian yang memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim) harus menghormati substansi perjanjian dan tidak boleh melakuakn intervensi. Azas kepastian hukum termaktub dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

4. Azas Itikad Baik (Good Faith)

Azas itikad baik memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu nisbi dan mutlak. Menurut azas hukum ini, itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata dengan memperhatikan tingkah laku dari subjeknya, sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal tersebut berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

5. Azas Kepribadian (Personality)

(32)

selain untuk dirinya sendiri” dan ditegaskan dalam Pasal 1340 KUH Perdata “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”

Sehingga dengan demikian dalam azas hukum ini, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus khusus sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1317 KUH Perdata “dapat pula

perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

Menurut Harlien Budiono, terdapat tiga asas perjanjian secara umum, yaitu azas konsensualitas, azas kekuatan mengikat, dan azas kebebasan berkontrak. Ketiga azas tersebut perlu ditambah dengan azas keseimbangan, sehingga lebih sesuai dengan keadaan di Indonesia.15

1) Azas konsensualitas (Consensualisme)

Menurut Harlien Budiono, azas yang terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata ini mensyaratkan bahwa kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa terhadap azas konsensualitas terdapat pengecualian, yaitu dalam perjanjian riil dan perjanjian formal yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.16

2) Azas Kekuatan Mengikat (Vernindendekracht der overeenkomst)

15

Harlien Budiono. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya. 2010. hlm. 29.

16

(33)

Azas ini juga dikenal dengan adagium Pacta Sunt Servanda. Masing-masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan menyimpang atau bertentangan dari perjanjian tersebut17. Azas kekuatan mengikat ini dapat kita temukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

3) Azas Kebebasan Berkontrak (Contractsvrijheid)

Azas kebebasan berkontrak berarti setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikat diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Namun kebebasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan kesusilaan.

4) Azas Keseimbangan (Evenwichtsbeginsel)

Menurut Harlien Budiono, azas keseimbangan adalah “suatu azas yang

dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan azas-azas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada suatu pilihan dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak.18

17

Ibid, hlm. 174.

18

(34)

C.Syarat Sah Perjanjian

Pada Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah:

1. Sepakat, 2. Cakap,

3. Suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal.

Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Sepakat memiliki pengertian bahwa mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

(35)

mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecapakan memiliki pengertian bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.

Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:

a. Orang yang belum dewasa, Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:

(36)

ii. Menurut Pasal 7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan: Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.

b. Mereka yang berada di bawah pengampuan.

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).

d. Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

3. Mengenai suatu hal tertentu.

(37)

4. Suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

a.Tidak bertentangan dengan ketertiban umum; b.Tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan; c.Tidak bertentangan dengan undang-undang.

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena mengenai obejek suatu perjanjian. Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void (batal dan hampa).

(38)

Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta pembatalan19.

D.Jenis Jenis Perjanjian

Secara umum perjanjian dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan non obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu. Sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.20

Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (borgtocht) dan perjanjian pemberian kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi pada kedua belah pihak. Misalnya jual beli 21.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya,

19

J.H. Niewenhuis. Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasin Saragih. Surabaya: Airlangga University Press. 1985, hlm. 2.

20

Komariah, Op.cit., hlm. 169 – 171.

21

(39)

misalnya hibah, pinjam-pakai, pinjam-meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam dengan bunga 22.

3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian jual-beli dan perjanjian sewa-menyewa23. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai24. Perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia25.

4. Perjajian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran

adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang

Herlien Budiono, op.cit., hlm. 46.

25

(40)

merupakan campuran dari perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika baju, dan membersihkan kamar)26.

Perjanjian non Obligatoir terbagi menjadi:

1. Zakelijk Oivereenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan

dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. Misalnya balik nama hak atas tanah27.

2. Bevifs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.

3. Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang

membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.

4. Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum di antara para pihak28.

Sedangkan bentuk perjanjian, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Perjanjian tertulis, yakni suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Ada tiga jenis perjanjian tertulis:

a. Perjanjian dibawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.

b. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak.

26

Ibid, hlm. 35-36.

27

Komariah, op.cit., hlm. 171- 172.

28

(41)

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat dihadapan dan dimuka pejabat yang berwenang untuk itu.

2. Perjanjian lisan, yakni suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).

Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa berdasarkan kriterianya terdapat beberapa jenis perjanjian, antara lain29:

1. Perjanjian Timbal-Balik

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

2. Perjanjian Cuma-Cuma

Menurut ketentuan Pasal 1314 KUH Perdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

3. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

29

(42)

4. Perjanjian Bernama (Benoemd overeenkomst)

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.

5. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.

6. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.

7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)

(43)

8. Perjanjian Konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).

9. Perjanjian Real

Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.

10.Perjanjian Liberatoir

Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUH Perdata).

11.Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)

Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

12.Perjanjian Untung-Untungan

(44)

untung-ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.

13.Perjanjian Publik

Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama (co-ordinated).

14.Perjanjian Campuran

Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian didalamnya.

Perjanjian Kredit

(45)

jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Selanjutnya disebutkan juga bahwa perjanjian tersebut dapat disertai dengan bunga yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pihak-pihak, sehingga perjanjian kredit dapat dimasukkan dalam perjanjian pinjam-meminjam dengan memperjanjikan bunga.

Pasal 1765 KUH Perdata mengatakan adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga

atas peminjaman uang atau barang lain yang menghabis karena pemakainya. Bunga

yang diperjanjikan dalam persetujuan itu boleh melampaui bunga menurut

undang-undang, dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang (Pasal 1767 ayat

(2) KUH Perdata).

Kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang artinya kepercayaan, to

belive, atau to trust atau “kepercayaan”, maksudnya adalah bahwa seseorang yang memperoleh kredit berarti orang tersebut memperoleh kepercayaan, sedangkan bagi pemberi kredit berarti telah memberikan kepercayaan kepada seseorang dan yakin bahwa uangnya, pasti akan kembali sesuai dengan perjanjian. Dalam arti yang lebih luas pengertian kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji bahwa pembayarannya akan dilakukan pada suatu jangka waktu yang disepakati.30 Secara yuridis menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Selain pengertian kredit yang terdapat pada Undang-Undang, ada beberapa

30

(46)

pendapat mengenai pengertian kredit yang dikemukakan oleh para pakar kredit, yakni31:

a. H.M.A Savelberg yang menyatakan bahwa kredit mempunyai arti:

1. Sebagai dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain,

2. Sebagai jaminan dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.

b. J.A Levy merumuskan pengertian dari kredit yakni, “menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas penerima kredit”. Maksudnya adalah bahwa penerima kredit berhak

mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu dibelakang hari.

c. M. Jklie berpendapat bahwa kredit adalah “Suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai ganti rugi dan janjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”.

Pemberian kredit merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh sebuah bank. Terdapat banyak sekali pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan perbankan di Indonesia.

31

(47)

Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1992 tentang Perbankan dimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11 yang menyatakan bahwa;

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam-meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.

Kredit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: “Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Berdasarkan pengertian tersebut dijelaskan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang dapat dinilai dan diukur dengan uang”. Dari kedua pengertian yang telah disebutkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan perkreditan juga dapat dilaksanakan dengan pemberian langsung kepada debitur ataupun melalui pembelian kredit yang telah dimiliki oleh pihak lain, baik dibeli secara langsung maupun melalui perusahaan perantara yang berbentuk clearing house, asset management company, special purpose vehicle dan bentuk lainnya yang sejenis.

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil, maka perjanjian jaminan adalah assesornya. Jadi, ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokoknya. “Perjanjian kredit bank adalah

(48)

hubungan-hubungan hukum diantara keduanya. Namun demikian dalam praktek perbankan modern, hubungan hukum dalam kredit tidak semata-mata hanya berbentuk perjanjian pinjam-meminjam saja, melainkan adanya campur tangan dengan bentuk perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya”. Mariam Darus Badrulzaman membedakan 4 jenis perjanjian standar, yaitu:32

1. Perjanjian Standar Sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam hukum-hukum kontrak dalam hal ini adalah kreditur.

2. Perjanjian Standar Timbal-Balik adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh para pihak. Misalnya perjanjian yang pihaknya terdiri dari majikan dan buruh serta yang lainnya.

3. Perjanjian Standar yang Ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek terhadap tanah, formulir perjanjian atas SK Mendagri tanggal 6 Agustus 1977 No. 1049/Dja/1977, berupa Akta jual beli model 1156737.f 4. Perjanjian Standar yang Ditentukan dalam Lingkungan Notaris dan Advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya yang sejak semula untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan.

Dari keempat jenis perjanjian standar diatas dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar perjanjian standar yaitu:

32

(49)

1. Perjanjian Standar Umum yakni perjanjian yang isinya dibentuk dan dipersiapkan oleh hanya sepihak saja. Perjanjian standar umum ini juga disebut perjanjian standar sepihak.

2. Perjanjian Standar Khusus yakni perjanjian standar yang ditetapkan oleh badan-badan khusus, misalnya: pemerintah, PPAT, notaris, perjanjian yang dibuat oleh badan tersebut diatas telah diatur secara resmi dan diatur oleh undang-undang.

Dalam perjanjian standar mempunyai ciri-ciri tersendiri dengan perjanjian lain. Ciri-ciri tersebut antara lain:

1. Isi perjanjian standar ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang kuat kedudukan ekonominya,

2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak secara bersama-sama menentukan isi perjanjian,

3. Debitur terpaksa menerima perjanjian ini karena terdorong kebutuhan, 4. Bentuk perjanjian baku ini adalah tertentu dan tertulis,

5. Telah dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan konfektif.

(50)

permohonan kredit kepada nasabah, maka bank akan mengajukan formulir perjanjian kredit yang berisi perjanjian antara pihak bank dengan nasabah tersebut, nasabah hanya akan menyetujui apa yang tertera dalam standar kontrak tersebut dan menandatanganinya. Keberadaan perjanjian kredit sangat penting karena berfungsi sebagai dasar hubungan kontraktual antara para pihak. Dalam perjanjian kredit dapat ditelusuri berbagai hal tentang pemberian, pengelolaan ataupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Untuk itu sangat perlu untuk diperhatikan bersama, hal ini penting untuk diperhatikan oleh nasabah karena dalam prakteknya bank selalu memasukkan unsur-unsur dominasi kepentingan dan perlindungan bagi bank bersangkutan dalam melakukan proses kredit (pembiayaan). Oleh karena itu, Mariam Darus menjelaskan bahwa dasar berlakunya kontrak standar kredit bank didasarkan oleh nasabah debitur tidak dianggap menyetujui kontrak tersebut, sungguhpun dalam kenyataannya nasabah debitur tidak mengetahui isinya, namun secara formil nasabah debitur menyetujuinya tetapi secara materiil terpaksa menerimanya33.

Perjanjian kredit ini harus diperhatikan dengan baik karena mempunyai fungsi yang sangat penting berkaitan dengan pelaksanaan kredit itu sendiri. Berkaitan dengan itu, menurut Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut34:

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok,

33

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hlm. 57.

34

(51)

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bantu mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditor dan debitor,

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat utuk melakukan monitoring kredit.

Adapun tujuan kredit adalah sebagai berikut35:

1. Mencari keuntungan berbentuk bunga yang diterima sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah,

2. Membantu usaha nasabah, berupa pemberian dana investasi maupun dana untuk modal kerja, sehingga pihak debitur dapat mengembangkan dan memperluas usahanya,

3. Membantu pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan berarti adanya peningkatan pembangunan di berbagai sektor.

Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh bank dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank tersebut untuk disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu:

1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian;

2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;

3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank;

35

(52)

4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor, maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character), kemampuan (capacity to create sources of funding), modal (capital), agunan (collateral), wewenang untuk meminjam (competence to borrow) dan prospek usaha debitor tersebut (condition of economy and sector of

business)36.

Pengertian Pinjam-Meminjam

Perjanjian pinjam-meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Perdata

mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

yang berbunyi, “pinjam-meminjam adalah persetujuan denganmana pihak yang satu

memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang

menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan

mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Dikarenakan suatu perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian riil, maka perjanjian baru terjadi setelah ada penyerahan, selama benda (uang) yang

dipinjamkan belum diserahkan maka Bab XIII KUH Perdata belum dapat diterapkan.

Apabila dua pihak telah sepakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian

mengganti, maka tidak serta-merta bahwa perjanjian tentang

pinjam-mengganti itu telah terjadi, yang terjadi baru hanya perjanjian untuk mengadakan

36

(53)

perjanjian pinjam-mengganti. Untuk tidak menimbulkan kekeliruan terhadap

perjanjian pinjam-meminjam ini, maka harus dibedakan dari perjanjian pinjam-pakai.

Beberapa kriteria yang membedakan antara lain:

1. Pada persetujuan pinjam-meminjam, obyek persetujuan boleh berupa barang

yang menghabis dalam pemakaian yang dapat diganti dengan barang yang

sejenis. Sedang pada perjanjian pinjam-pakai obyek persetujuan tidak boleh

berupa barang yang habis terpakai. Maka konsekuensinya pada persetujuan

pinjam-meminjam, pengembalian barang boleh dilakukan dengan barang

yang sejenis, keadaan dan jumlahnya, sedang pada pinjam-pakai

pengembalian barang kepada pihak yang meminjamkan harus dalam

keadaan innatura.

2. Pada perjanjian pinjam-meminjam, risiko kerugian dan musnahnya barang

yang dipinjam, sepenuhnya menjadi beban pihak peminjam. Sedang pada

pinjam-pakai, risiko musnahnya barang sepenuhnya berada pada pihak yang

meminjamkan.

3. Pada pinjam-meminjam, si peminjam diwajibkan untuk membayar kontra

prestasi atas pemakaian barang/uang yang dipinjam. Sedang pada

pinjam-pakai, pemakaian atas barang adalah secara cuma-cuma tanpa kontra

prestasi.

4. Pada pinjam-meminjam, barang yang dipinjam langsung menjadi milik si

peminjam, terhitung sejak saat penyerahan. Sedang pada pinjam pakai,

barang yang dipinjam hanya untuk dipakai saja, sedang hak milik tetap

(54)

Walaupun di dalam definisi yang diberikan Pasal 1754 KUH Perdata tidak

disebutkan tentang uang, tetapi melihat kriteria perbedaan di atas, maka uang sebagai

obyek perjanjian adalah termasuk dalam perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian

hutang-piutang dan bukan perjanjian pinjam-pakai. Pada prinsipnya obyek

persetujuan ini adalah segala barang pada umumnya. Tetapi bila ditinjau dari

pengertian yang disebutkan Pasal 1754 KUH Perdata di atas, maka obyek utama dari

persetujuan ini adalah barang yang dapat habis dalam pemakaian ataupun barang

yang dapat diganti dengan keadaan dan jenis yang sama maupun berupa uang. Pada

waktu pengembalian, haruslah dengan barang lain dalam jumlah, jenis dan keadaan

yang sama. Peminjaman uang termasuk pada persetujuan peminjaman pada

umumnya. Oleh karena itu, segala ketentuan yang berkaitan dengan persetujuan

pinjam-meminjam barang yang habis terpakai, berlaku juga terhadap persetujuan

peminjaman uang 37.

Bentuk-Bentuk dan Ragam Kredit Perbankan

37

(55)

Menurut Dahlan Siamat, kredit ini dapat digolongkan kedalam empat bentuk yaitu38:

1. Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (Maturity), antara lain:

a) Kredit jangka pendek (short-term loan). Yaitu kredit yang jangka waktu pengembaliannya kurang dari satu tahun. Misalnya kredit untuk membiayai kelancaran operasi perusahaan, termasuk didalamnya berupa kredit modal kerja. Kredit jangka pendek dapat diurutkan dalam tiga kelompok, antara lain:

i. Kredit dagang (trade credit) antar perusahaan, ii. Pinjaman dari suatu perusahaan dagang, iii. Surat dagang.

b) Kredit jangka menengah (medium-term loan). Yaitu kredit yang jangka waktu pengembaliannya satu sampai dengan tiga tahun. Biasanya kredit ini untuk menambah modal kerja, misalnya untuk membiayai pengadaan bahan baku. Kredit jangka menengah dapat pula dalam bentuk kredit investasi.

c) Kredit jangka panjang (long-term loan). Yaitu kredit yang jangka waktu pengembaliannya melebihi tiga tahun. Misalnya kredit investasi untuk membiayai suatu proyek dan perluasan usaha.

2. Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain:

38

(56)

a) Kredit dengan jaminan (secured loan). Yaitu kredit yang disertai penyerahan barang jaminan oleh nasabah. Jenis barang jaminan tersebut sangat tergantung pada jenis kredit yang diberikan. Misalnya kredit komersial untuk modal kerja, jaminannya dapat berupa persediaan. Kredit untuk pembelian mobil atau motor, jaminannya BPKB mobil atau motor tersebut.

b) Kredit tanpa jaminan (unsecured loan). Yaitu kredit yang tidak disertai penyerahan barang jaminan dari nasabah. Jenis kredit ini tidak menggunakan jaminan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk bonafiditas dan prospek usaha nasabah yang bersangkutan. Pemberian kredit tanpa jaminan ini dilakukan sepanjang prinsip-prinsip penilaian kredit lainnya telah terpenuhi menurut analisis kredit.

3. Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, farmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.

4. Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain:

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis mengenai penerapan prinsip kehati-hatian dan penyelesaian kredit macet yang dilakukan oleh bank dalam pelaksanaan

skunder dari data yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, buku, makalah ilmiah, majalah, jurnal dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah

Prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan8. usahanya wajib

Mulhadi.Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam Kerangka UU Perbankan di Indonesia, 2005 USU Repository dalam repository.usu.ac.id (diakses tanggal 20 Juli

Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle) dalam pemberian kredit dapat diartikan sebagai prinsip yang diterapkan oleh bank dalam menjalankan

7 tahun 1992 yang berhubungan dengan pemberian kredit tanpa agunan dilandasi oleh beberapa hal, terutama agar bank-bank di Indonesia lebih dapat menjalankan fungsinya

Pada penelitian ini, wawancara dilakukan kepada pihak pembeli dan pengurus Kelompok Tani Margo Makmur mengenai segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam

Untuk pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang lebih khusus dan jelas mengenai prinsip kahati-hatian sehingga tidak terjadi perbedaan penafsiran ketentuan dalam penerapan prinsip