• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI TEKNIS USAHA PENGGILINGAN PADI

DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN

STOCHASTIC

FRONTIER ANALYSIS

TURSINA ANDITA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Tursina Andita Putri

(4)

RINGKASAN

TURSINA ANDITA PUTRI. Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur: Pendekatan Stochastic Frontier Analysis. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI dan DWI RACHMINA.

Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah penggilingan padi. Adanya kebijakan pemerintah yang menetapkan harga dasar pembelian gabah untuk melindungi petani akan membuat tingginya biaya produksi mengingat gabah merupakan input utama pada usaha ini. Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras untuk melindungi konsumen akan membuat penerimaan usaha menurun karena beras merupakan output utama. Kebijakan tersebut akan menentukan kinerja usaha penggilingan padi.

Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2012). Usaha penggilingan padi tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri atas mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif tua. Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011). Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada efisiensi usaha.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur efisiensi teknis usaha penggilingan padi, menentukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis, serta menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha penggilingan padi. Stochastic Frontier Analysis (SFA) digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi teknis sekaligus faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan data dari 60 sampel usaha penggilingan padi yang dipilih dengan metode snowball sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai produksi usaha penggilingan padi adalah jumlah tenaga kerja, jumlah bahan bakar, kapasitas giling mesin per jam, dan konfigurasi mesin yang digunakan. Usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur belum efisien, dengan rata-rata tingkat efisiensi adalah 0.616. Faktor-faktor yang signifikan memengaruhi efisiensi adalah pendidikan formal pengusaha, umur mesin, dan rendemen beras yang dihasilkan. Efisiensi teknis berhubungan positif dengan keuntungan usaha penggilingan padi. Komponen penerimaan usaha penggilingan padi terbesar berasal dari side products. Oleh sebab itu, diduga usaha menjadi lebih efisien karena adanya side-products yang diperhitungkan dalam komponen penerimaan usaha.

Peningkatan efisiensi teknis usaha penggilingan padi perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah dan pelaku usaha khususnya. Diharapkan pelaku usaha dan pemerintah bekerjasama dalam upaya perbaikan konfigurasi mesin giling, dari yang masih sederhana menjadi lebih modern agar kualitas produk yang dihasilkan menjadi lebih baik. Selain itu, perlu adanya kebijakan khusus oleh pemerintah untuk mendukung program peremajaan mesin penggilingan padi yang digunakan, baik melalui bantuan langsung maupun melalui mekanisme kredit.

(5)

SUMMARY

TURSINA ANDITA PUTRI. Technical Efficiency of Rice Milling Unit in Cianjur District: Stochastic Frontier Analysis Approach. Supervised by NUNUNG KUSNADI and DWI RACHMINA.

One subsystem that plays an important role in agribusiness rice is rice milling. Government policy that sets the base price of the purchase of grain to protect farmers will make given the high cost of production. On the other hand, the government also established a policy that keeping the rice at low price to protect consumer will make receipts decreased. The policy will determine the performance of the rice milling business.

Businesses rice mills in Indonesia is still dominated by small-scale rice milling business, which is 94.13 percent (BPS 2012). The rice milling machines generally use a simple configuration, consisting of husker and polisher machine. In addition, the engine used a relatively old age, Tahir (2010) explains that 32 percent of the rice milling machine used is thought to have lived more than 15 years. This leads to low yield of rice produced is equal to 62.7 percent (Sawit 2011). Overall it will have an impact on the business inefficiencies.

The purpose of this study was to measure the technical efficiency of rice milling business, determine the factors that affect technical efficiency, technical efficiency and establishing relationships with the rice milling business profits. Stochastic Frontier Analysis (SFA) is used as an approach to measuring technical efficiency at the same time the factors that affect it. To that end, this study used data from 60 samples rice milling business were selected through snowball sampling method.

The results showed that the factors that influence a positive and significant impact on the value of production of rice milling business is the amount of labor, fuel quantity, engine milling capacity per hour, and the configuration of the machine used. The rice mills in Cianjur was inefficient, with an average efficiency level is 0.616. Factors that are affecting the technical efficiency of rice milling business in Cianjur Regency are formal education, engine life, and yield of rice produced. Technical efficiency is positively corelated with the gains of rice milling business. The largest proportion of the rice milling business profit is not derived from rice as main product but from the by product. Therefore, the alleged effort to become more efficient because of the side-products are accounted for in the income component of business.

Improved technical efficiency of rice milling business needs to get the attention of governments and businesses in particular. It is expected that businesses and governments work together in order to improve the milling machine configurations, from simple to modern to be a better quality product. In addition, the need for specific policies by the government to support the rejuvenation of rice milling machine used, either through direct assistance or the proper of credit mechanisms.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

EFISIENSI TEKNIS USAHA PENGGILINGAN PADI

DI KABUPATEN CIANJUR: PENDEKATAN

STOCHASTIC

FRONTIER ANALYSIS

TURSINA ANDITA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi, MS

(9)

Judul Tesis : Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA)

Nama : Tursina Andita Putri

NIM : H351130636

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Nunung Kunadi, MS Ketua

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Anggota

Diketahui oleh

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini adalah Efisiensi Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur dengan Pendekatan Stochastic Frontier Analysis (SFA).

Penulis sampaikan ucapan terima kasih khususnya kepada Biro Penerimaan Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas Beasiswa Unggulan yang diberikan kepada penulis selama kuliah di Program Studi Agribisnis IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nunung Kusnadi, MS dan Dr Ir Dwi rachmina, M.Si selaku dosen pembimbing, Dr Ir Ratna Winnandi, MS dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji pada ujian tesis, serta Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Ir Suharno, Madev selaku ketua dan sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Gekbrong, keluarga besar Punggawa Ratu Desa Sukaratu yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada rekan-rekan program sinergi (Fast Track) Angkatan 1 dan rekan-rekan MSA3 Program Studi Agribisnis.

Bogor, Agustus 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Karakteristik Usaha Penggilingan Padi 10

Efisiensi Usaha 11

Faktor-Faktor (Determinant) yang Memengaruhi Efisiensi Usaha 14

Pendekatan Pengukuran Efisiensi 23

Efisiensi dan Keuntungan 27

3 KERANGKA PEMIKIRAN 28

Konsep Fungsi Produksi dan Produksi Frontier 28

Konsep Efisiensi 30

Kerangka Pemikiran Operasional 34

4 METODE PENELITIAN 37

Lokasi dan Waktu Penelitian 37

Jenis dan Sumber Data 37

Metode Penentuan Sampel 38

Metode Pengambilan Data 38

Analisis dan Pengolahan Data 39

Konsep Pengukuran Variabel 45

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK PEMILIK USAHA 46

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 46

Gambaran Umum Aktivitas Usaha Penggilingan Padi 49 Karakteristik Individu Pelaku Usaha dan Usaha Penggilingan Padi 54 6 EFISIENSI TEKNIS DAN KEUNTUNGAN USAHA

PENGGILINGAN PADI 62

Fungsi Produksi Usaha Penggilingan Padi 62

Efisiensi Teknis Usaha Penggilingan Padi 67

Faktor-faktor yang Memengaruhi Efisiensi Teknis Usaha

(13)

Keuntungan pada Usaha Penggilingan Padi 72 Hubungan Efisiensi Teknis dengan Keuntungan

Usaha Penggilingan Padi 75

7 SIMPULAN DAN SARAN 78

Simpulan 78

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 80

LAMPIRAN 85

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi

beras di Indonesia Tahun 2000-2012 1

2 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012 3 3 Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012 4 4 Area panen, produksi tanaman padi, dan jumlah usaha penggilingan

padi di 10 Kabupaten penghasil padi terbanyak di Provinsi

Jawa Barat Tahun 2012 37

5 Jumlah ketersediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras

penduduk di Kabupaten Cianjur Tahun 2009-2013 49 6 Karakteristik pelaku usaha berdasarkan jenis kelamin, umur,

pendidikan formal, pengalaman, status usaha di Kabupaten Cianjur

Tahun 2014 55

7 Statistik deskriptif dari penggunaan input dan output usaha penggilingan

Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 58

8 Karakteristik usaha berdasarkan umur bisnis, kepemilikan usaha, tipe usaha, konfiguraso mesin, umur mesin, kontinuitas produksi,

dan kpasitas usaha di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 59 9 Sebaran pelaku usaha penggilingan padi yang menerima pinjaman

modal dari lembaga keuangan di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 62 10 Hasil dugaan model produksi cobb-douglas usaha penggilingan padi

di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan menggunakan metode OLS 64 11 Hasil dugaan model produksi stochastic frontier cobb-douglas

usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014

dengan menggunakan metode MLE 66

12 Sebaran nilai efisiensi teknis usaha penggilingan padi di

Kabupaten Cianjur Tahun 2014 68

13 Keterkaitan tingkat efisiensi teknis dengan rata-rata kapasitas produksi dan rata-rata jumlah produk sampingan pada usaha penggilingan

padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 69

14 Penduga efek inefsiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier

usaha penggilingan papi di Kabuapaten Cianjur Tahun 2014 70 15 Penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 73 16 Biaya usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 74 17 Keuntungan dan imbangan penerimaan dan biaya

pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 75 18 Keterkaitan tingkat efisiensi ekonomi dengan rata-rata keuntungan dan

R/C pada usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 76 19 Komponen penerimaan usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan dan HPP gabah

menurut kualitas gabah Tahun 2012 7

2 Efisiensi pada orientasi input 33

3 Efisiensi pada orientasi output 34

4 Kerangka pemikiran operasional 36

5 Tahapan proses pengolahan gabah menjadi beras pada usaha

penggilingan padi 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penyebaran usaha penggilingan padi dan luas areal tanaman

Padi Sawah di Kabupaten Cianjur Tahun 2013 85

2 Hasil uji normalitas model fungsi produksi usaha penggilingan padi

di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 86

3 Hasil uji heterokedastisitas model fungsi produksi usaha penggilingan

Padi di Kabupaten Cianjur Tahun 2014 87

4 Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di

Kabupaten Cianjur Tahun 2014 dengan metode OLS 88 5 Hasil pendugaan fungsi produksi usaha penggilingan padi di

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki peran strategis baik dari sisi produsen maupun konsumen. Dari sisi produsen diketahui produksi padi nasional pada tahun 2012 mencapai 69.05 juta ton padi atau setara dengan 41.43 juta ton beras. Selain itu, sekitar 24.70 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian tanaman padi (BPS 2012). Dari sisi konsumen diketahui beras merupakan makanan pokok (staple food) bagi mayoritas penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Satistik (2012a) diketahui bahwa pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi beras mencapai 17.90 persen dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Selain itu, rata-rata konsumsi beras penduduk Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu 125 kg beras per kapita per tahun. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Thailand dan Malaysia. Rata-rata konsumsi beras di Thailand adalah 103 kg per kapita pertahun dan Malaysia hanya 77 kg per kapita pertahun (Baldwln et al. 2012).

Tabel 1 Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi beras di Indonesia Tahun 2000-2012a

Tahun Jumlah penduduk (jiwa) Produksi (juta ton)b Konsumsi (juta ton)

2000 205 133 000 31.14 26.67

2001 207 995 000 30.28 26.83

2002 210 898 000 30.89 27.21

2003 213 841 000 31.28 27.59

2004 216 826 000 32.45 27.97

2005 219 852 000 32.39 28.14

2006 222 747 000 32.67 28.51

2007 225 642 000 34.29 28.21

2008 228 523 000 36.20 28.57

2009 231 370 000 38.64 28.92

2010 237 641 000 39.88 29.71

2011 241 182 000 29.45 30.15

2012 244 776 000 41.43 30.60

a

Sumber: Badan Pusat Statistik 2013 (diolah); blaju pertumbuhan penduduk adalah 1,49 % per

tahun (BPS 2012); cRendemen beras sebesar 60 %.

(18)

meningkatkan harga beras, padahal ketergantungan masyarakat terhadap beras tidak dapat dihentikan. Oleh sebab itu, pada kenyataannya pemerintah tetap melakukan kebijakan impor beras. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan cara melakukan impor memerlukan banyak devisa sehingga kebijakan ini menjadi tidak strategis bagi kepentingan ketahanan nasional jangka panjang.

Pemerintah tidak hanya mengandalkan kebijakan impor beras sebagai solusi pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin ketersedian beras sepanjang tahun dalam jumlah yang cukup adalah melalui program kerja Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Melalui program tersebut pemerintah mencanangkan Indonesia mampu mencapai surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, maka Kementerian Pertanian menerapkan empat strategi, yaitu (1) peningkatan produktivitas; (2) perluasan areal tanam; (3) pengamanan produksi melalui pengendalian OPT dan antisipasi dampak fenomena iklim, serta gerakan penangangan pascapanen untuk mengurangi kehilangan hasil melalui manajemen teknolgi panen dan pascapanen; dan (4) pemberdayaan dan dukungan pembiayaan serta peningkatan koordinasi.

Masing-masing strategi yang telah dirumuskan kemudian diimplementasikan melalui berbagai bentuk program kerja. Peningkatan produktivitas dilakukan melaui pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) dan intensifikasi non-PTT. Strategi perluasan areal tanam dilakukan melalui perbaikan jaringan irigasi, percetakan sawah baru, pemanfaatan air permukaan dan air dangkal, dan optimalisasi lahan lebak. Pengamanan produksi dilakukan melalui pengendalian OPT dan pengurangan kehilangan hasil dengan penerapan manajemen pasacapanen melalui revitalisasi usaha penggilingan padi kecil dan mobilisasi peralatan. Selain itu, pemerintah juga menyediakan berbagai alternatif pembiayaan seperti adanya Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), dan bantuan kredit investasi pertanian.

Berdasarkan strategi dan implementasi strategi yang telah diuraikan terlihat bahwa program tersebut fokus pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi di sektor on-farm dengan sasaran kebijakan adalah petani sebagai produsen padi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan sektor on-farm. Namun, perlu diketahui bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat bukanlah padi tetapi beras yang merupakan produk olahan padi. Oleh sebab itu, program pemerintah seharusnya juga diarahkan kepada pengembangan agribisnis perberasan nasional termasuk memperhatikan sektor off-farm dan lembaga penunjangnya, salah satunya adalah industri penggilingan padi.

Salah satu subsistem yang berperan penting dalam agribisnis beras adalah penggilingan padi. Subsistem ini berperan sebagai unit produksi yang mengolah gabah menjadi beras dan sekaligus sebagai unit pemasaran yang membeli gabah dari petani serta menjadi bagian dari rantai distribusi beras ke konsumen. Industri penggilingan padi berperan penting sebagai mata rantai distribusi beras nasional. Oleh sebab itu, subsistem ini mendorong terciptanya usaha penggilingan padi.

(19)

menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Melalui menajemen usahanya, penggilingan padi terlibat membantu petani dalam proses penyimpanan dan pemasaran hasil panen petani. Selain itu, tingkat harga dan pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar konsumen juga dapat ditentukan oleh keberadaan usaha penggilingan padi.

Salah satu kebijakan P2BN adalah komitmen pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi melalui penanganan pascapanen dengan penambahan peralatan pascapanen. Pada kebijakan tersebut diuraikan bahwa pemerintah akan merevitalisasi penggilingan padi skala kecil dengan merehabilitasi konfigurasi mesin penggilingan padi, yang terdiri dari penambahan alat pembersih (cleaner) sebanyak 500 unit, alat pemisah gabah dan beras (separator) sebanyak 400 unit, 300 set cleaner-separator, dan 200 set polisher-cleaner-separator. Program ini bertujuan meningkatkan penggunaan teknologi pada usaha penggilingan padi kecil. Akan tetapi, upaya ini tidak akan berdampak signifikan karena jumlah usaha penggilingan padi kecil di Indonesia mencapai 172 ribu unit atau sekitar 94 persen dari total usaha penggilingan padi (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a Jenis Usaha Penggilingan padi 2008 % 2012 % Penggilingan padi besar (PPB) 5 133 4.73 2 075 1.14

Penggilingan padi sedang (PPS) - - 8 628 4.74

Penggilingan padi kecil (PPK) 39 425 36.33 171 496 94.13

Rice milling unit (RMU) 35 093 32.34 - -

Unit penggilingan engelberg 1 630 1.50 - -

Unit mesin huller 14 153 13.04 - -

Unit mesin penyosoh beras 13 178 12.14 - -

Jumlah 108 512 100.00 182 199 100.00

a

Sumber: Thahir (2010) dan Badan Pusat Statistik (2013b), diolah

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa usaha penggilingan padi empat tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah yang signifikan, yaitu sekitar 68.13 persen. Usaha penggilingan padi pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Pada tahun 2008, data usaha penggilingan padi didasarkan pada konfigurasi mesin yang dimiliki oleh unit usaha, sedangkan pada tahun 2012 klasifikasi usaha didasarkan pada skala usaha. Pada penelitian Putri (2013), usaha penggilingan padi diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu maklon, non maklon, dan kombinasi keduanya. Istilah maklon dan non maklon merupakan istilah lokal, sehingga Winarno (2004) memberikan istilah yang lebih umum, yaitu rice milling commercial untuk usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan service

mills untuk usaha penggilingan padi dengan tipe maklon.

(20)

pedagang pengumpul. Oleh sebab itu, pada usaha penggilingan padi tipe non maklon, pengusaha juga bertindak sebagai pengumpul gabah untuk kemudian diolah dan menjual langsung beras yang dihasilkan. Adanya variasi usaha penggilingan padi tersebut akan menyebabkan munculnya variasi pengusahaan dan manajemen usaha sebagai upaya memperoleh keuntungan maksimal.

Saat ini terdapat sekitar 182 199 unit usaha penggilingan padi tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sekitar 52.56 persen usaha penggilingan padi tersebar di pulau Jawa. Salah satu penyebab banyaknya usaha penggilingan padi di pulau Jawa adalah karena sebagian besar provinsi sentra produksi padi terdapat di pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Produksi padi di pulau Jawa mencapai 52.89 persen dari total produksi padi nasional.

Tabel 3 Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012a

Pulau Skala usaha

Besar Sedang Kecil Jumlah

Sumatera 413 1 564 33 473 35 450

Jawa 1 145 4 887 89 730 95 762

Bali 32 122 1 585 1 739

NTB 113 200 2 825 3 138

NTT 44 138 4 248 4 430

Kalimantan 164 660 16 370 17 248

Sulawesi 164 1 042 22 667 23 873

Maluku 0 8 285 293

Papua 0 7 259 266

Jumlah 2 075 8 628 171 496 182 199

a

Sumber: Badan Pusat Statistik (2013b)

Di Indonesia, industri penggilingan padi masih didominasi oleh pihak swasta. Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi sangatlah besar. Sekitar 93 persen ketersediaan beras di pasar merupakan akibat beroperasinya unit usaha penggilingan padi swasta (Partiwiri 2004). Fasilitas yang dimiliki Bulog belum mampu menampung seluruh hasil produksi dari petani. Sawit (2011) menyebutkan bahwa Bulog hanya mampu membeli gabah atau beras antara 2-3 juta ton per tahun atau sekitar 6-8 persen dari total produksi beras nasional.

(21)

Peran pemerintah pada industri pengolahan beras di Thailand juga sangat besar. MOF (Marketing Organization for Farmers) sebagai organisasi di bawah naungan Kementerian Pertanian dan Koperasi (MOAC) harus membeli beras seluruh pengusaha penggilingan beras ketika terjadi krisis dengan harga yang telah ditetapkan oleh Rice Committe. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat memastikan bahwa pengusaha penggilingan padi memiliki modal yang cukup untuk kemudian membeli gabah lebih banyak dari petani. Kebijakan ini berdampak positif tidak hanya bagi usaha penggilingan padi akan tetapi juga bagi petani.

Peran pemerintah yang tinggi dan didukung oleh regulasi yang tepat membuat Industri penggilingan padi di Vietnam dan Thailand dapat beroperasi secara optimal. Salah satu indikator keberhasilan industri penggilingan padi dapat dicermati melalui tingkat efisiensi industri penggilingan padi. Efisiensi teknis usaha penggilingan padi di Thailand mencapai 87 persen (Wongkeawchan et al.

2000). Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, tingkat efisiensi tersebut jauh lebih tinggi. Publikasi Apriande (2013) dengan menggunakan metode non parametrik menyebutkan bahwa usaha penggilingan padi studi kasus di Kabupaten Cianjur belum efisien secara teknis. Tingginya tingkat efisiensi menjadi salah satu pendorong industri perberasan di Thailand dapat menghasilkan beras dalam jumlah yang besar sehingga menjadi negara eksportir terbesar.

Hingga saat ini Indonesia masih melakukan impor beras dari Vietnam dan India. Kebijakan tersebut akan berdampak buruk pada ketahanan pangan nasional dalam jangka panjang. Selain itu, saat ini Indonesia telah sepakat untuk segera mewujudkan integrasi ekonomi, yaitu ASEAN Economy Community (AEC). Adanya kesepakatan tersebut menuntut Indonesia untuk waspada dan aktif menyiapkan industri beras nasional yang berdaya saing tinggi. Hal ini dilakukan untuk melindungi pasar domestik dari beras impor. Selain itu, dengan sistem agribisnis beras yang efisien dapat meningkatkan peluang Indonesia untuk melakukan ekspor ke negara lain di Asia Tenggara mengingat Indonesia memiliki luas panen padi yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara.

Agar dapat melindungi industri beras nasional dan memiliki daya saing tinggi terhadap negara pengekspor beras lainnya maka Indonesia harus mampu meningkatkan efisiensi pengusahaan industri penggilingan padi. Oleh sebab itu, mempelajari efisiensi usaha penggilingan padi dalam rangka pengembangan sistem agribisnis perberasan nasional sangatlah penting.

Perumusan Masalah

(22)

perkembangan sektor pertanian on-farm tersebut. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak fokus membenahi industri penggilingan padi yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas, harga, dan daya saing beras nasional.

Usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi usaha penggilingan padi skala kecil, yaitu 94.13 persen (BPS 2013b). Usaha penggilingan padi tersebut umumnya menggunakan konfigurasi mesin yang sederhana, terdiri atas mesin husker dan polisher. Selain itu, mesin yang digunakan berumur relatif tua. Thahir (2010) menjelaskan bahwa 32 persen mesin penggilingan padi yang digunakan berumur lebih dari 15 tahun. Hal tersebut menyebabkan rendahnya rendemen beras yang dihasilkan yaitu sebesar 62.7 persen (Sawit 2011), jauh bila dibandingan dengan beberapa negara produsen lainnya di Asia, seperti China (70 persen), Thailand (69.1 persen), dan India serta Vietnam (66.6 persen).

Unit penggilingan padi pada tahun 2008 diketahui mencapai 108 512 unit dengan kapasitas kumulatif diperkirakan 109.5 juta ton per tahun (Thahir 2010). Produksi padi Nasional pada tahun tersebut hanya 60.3 juta ton atau setara dengan 39.2 juta ton beras. Hal ini menyebabkan banyak unit penggilingan padi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Fenomena tersebut telah terjadi sejak tahun 2003 sehingga diperkirakan hanya 40 persen unit penggilingan padi yang beroperasi dengan kapasitas penuh (Thahir 2010).

Salah satu penyebab banyaknya unit penggilingan padi bekerja di bawah kapasitas terpasang adalah distribusi panen yang tidak merata. Distribusi panen tidak merata menyebabkan volume gabah yang tersedia tidak mencukupi untuk memenuhi kapasitas maksimum usaha penggilingan padi. Oleh sebab itu, biasanya usaha penggilingan padi skala besar dengan modal yang cukup melakukan pembelian gabah pada musim panen raya sebagai stok pada musim paceklik. Selain itu, pengusaha penggilingan padi juga berupaya mendapatkan gabah di daerah sentra produksi lainnya. Namun, usaha penggilingan padi yang tidak memiliki modal untuk mendapatkan pasokan gabah akan memanfaatkan mesin penggilingan hanya untuk melayani jasa penggilingan padi. Hal ini dilakukan agar biaya tetap dari usaha ini masih dapat ditutupi sehingga usaha masih dapat dijalankan.

Adanya fakta yang memperlihatkan bahwa usaha penggilingan padi di Indonesia masih didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil dengan konfigurasi mesin yang sederhana dan berumur tua akan berdampak pada produksi usaha penggilingan padi dimana rendemen beras yang dihasilkan akan rendah. Selain itu, fenomena idle capacity pada usaha penggilingan padi di Indonesia membuktikan bahwa manajemen usaha penggilingan padi masih belum baik. Keseluruhan hal tersebut akan berdampak pada produksi usaha yang kemudian memengaruhi efisiensi teknis usaha penggilingan padi.

Perhatian pemerintah terhadap industri penggilingan padi masih sangat sedikit dan dirasa masih belum tepat. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terkadang tidak mengakomodasi semua kepentingan stakeholder yang berperan dalam industri perberasan nasional, baik petani selaku produsen, pengusaha penggilingan padi selaku pelaku usaha yang mengolah gabah menjadi beras, dan konsumen. Salah satu instrumen pemerintah dalam mengontrol perdagangan beras adalah melalui intervensi harga gabah dan beras.

(23)

mengungkapkan kadangkala pembuat kebijakan tidak hati-hati dalam menetapkan besaran intervensi harga melalui kebijakan harga pembelian pemerintah yang kemudian menyebabkan dampak negatif terhadap stakeholder yang berperan dalam agribisnis perberasan. Kebijakan harga pembelian gabah maupun beras oleh pemerintah akan berdampak pada perubahan harga yang diterima oleh produsen maupun konsumen. Selain itu, kebijakan tersebut juga berdampak pada perubahan anggaran pemerintah. Keseluruhan dampak tersebut dihitung sebagai tingkat kehilangan efisiensi.

Inpres Nomor 3 Tahun 2012 mengarahkan agar kebijakan perberasan nasional berpihak pada petani, dalam arti melindungi petani dari gejolak harga musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui mekanisme instrumen pembelian pemerintah pada tingkat harga yang sesuai dengan harga dasar pembelian pemerintah. Sejak tanggal 27 Februari 2012 diberlakukan HPP untuk gabah kering panen dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen adalah Rp3 300 per kg di petani atau Rp3 350 per kg di penggilingan. Sedangkan Harga pembelian gabah kering giling dengan kualitas kadar air maksimum 14 persen dan kadar hampa/kotoran maksimum tiga persen adalah Rp4 150 per kg di penggilingan atau Rp4 200 per kg di gudang Perum Bulog. HPP gabah yang ditetapkan oleh pemerintah berlaku sama untuk semua musim panen. Padahal harga gabah diketahui mengikuti pola tanam. Harga gabah merosot rendah pada musim panen raya, kemudian meningkat setelah itu dan mencapai puncaknya pada musim panen paceklik.

Gambar 1 Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan dan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah pada bulan Januari 2012 – Januari 2013

(24)

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa HPP gabah bukan merupakan harga minimal gabah yang harus dibayar oleh pengusaha penggilingan padi. Harga gabah yang ditawarkan oleh petani kepada pengusaha penggilingan padi lebih tinggi dibandingkan HPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya pemerintah untuk melindungi petani kemudian akan menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh usaha penggilingan padi untuk memperoleh input produksi. Padahal diketahui bahwa biaya penyediaan gabah sebagai input produksi merupakan komponen biaya terbesar, yaitu mencapai 90.84 persen dari total biaya (Putri 2013).

Teori ekonomi menyebutkan bahwa salah satu upaya pelaku usaha untuk tetap mendapatkan keuntungan maksimum pada kondisi harga input mahal atau tinggi, adalah dengan mengurangi jumlah input produksi. Akan tetapi, pada kasus penggunaan gabah sebagai input pada usaha penggilingan padi hal demikian tidak dapat dilakukan. Usaha penggilingan padi merupakan usaha konversi gabah menjadi beras, dimana jumlah gabah yang digunakan akan setara dengan jumlah beras dan side product yang dihasilkan. Oleh sebab itu, jika jumlah gabah sebagai input dikurangi menyebabkan jumlah beras yang dihasilkan pun berkurang. Dengan demikian, pada harga beras yang konstan diketahui bahwa tujuan memaksimumkan keuntungan tidak akan tercapai.

Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras. Kebijakan harga beras merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi konsumen sehingga mendapatkan beras dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, maka sejak tanggal 27 Februari 2012 pemerintah menetapkan HPP beras dengan harga Rp6 600 per kg di Bulog. Bulog membeli beras kepada penggilingan padi dengan harga tersebut untuk beras kualitas medium. Setiap tahunnya Bulog bekerjasama dengan sekitar 4 500 usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha penggilingan padi skala besar biasanya tidak mau bekerjasama dengan Bulog dikarenakan harga yang ditetapkan oleh Bulog tidak sesuai dengan kualitas beras yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan usaha penggilingan padi skala kecil tidak termotivasi untuk memperbaiki kualitas beras yang dihasilkan karena permintaan beras kualitas medium oleh Bulog cukup tinggi.

Harga gabah dan beras merupakan sesuatu yang di luar kendali pelaku usaha penggilingan padi. Struktur pasar gabah dan beras di Indonesia menyerupai kriteria struktur pasar persaingan sempurna sehingga menyebabkan posisi pelaku usaha hanya sebagai price taker. Adanya kebijakan harga gabah akan membuat tingginya biaya produksi. Di sisi lain, kebijakan harga output yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen justru membuat penerimaan usaha dari penjualan beras menurun. Hal ini kemudian diduga akan berdampak pada performa atau kinerja dari usaha penggilingan padi. Selain itu, kondisi yang demikian juga akan sangat berpengaruh pada perkembangan industri penggilingan padi. Padahal ini industri ini menjadi salah satu penentu agribisnis beras di Indonesia. Oleh sebab itu, penting untuk mempelajari efisiensi usaha penggilingan padi dalam rangka pengembangan sistem agribisnis perberasan nasional.

(25)

1. Apakah usaha penggilingan padi sudah efisien secara teknis dan berapa tingkat efisiensi usaha penggilingan padi?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi efisiensi teknis usaha penggilingan padi?

3. Bagaimana hubungan efisiensi teknis usaha penggilingan padi dengan keuntungan usaha penggilingan padi?

Tujuan Penelitian

1. Mengukur efisiensi teknis usaha penggilingan padi

2. Menetukan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi teknis usaha penggilingan padi

3. Menetapkan hubungan efisiensi teknis dengan keuntungan usaha penggilingan padi

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis efisiensi usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur. Tidak semua usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur menjadi responden pada penelitian ini. Kabupaten Cianjur memiliki sekitar 3 449 usaha penggilingan padi yang tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Cianjur (BPS 2013c). Keseluruhan penggilingan padi tersebut terbagi atas tipe maklon, non maklon, dan gabungan. Pada penelitian ini, usaha penggilingan padi yang akan menjadi sampel adalah usaha penggilingan padi dengan tipe non maklon dan gabungan (baik skala kecil, menengah, maupun besar). Hal ini disebabkan karena penelitian ini fokus pada aktivitas produksi sehingga unit analisisnya adalah usaha manufaktur. Dalam hal ini usaha yang tergolong usaha manufaktur adalah usaha penggilingan padi tipe non maklon dan gabungan.

Efisiensi usaha terdiri atas efisiensi teknis, efisiensi alokasi, dan efisiensi ekonomi. Akan tetapi, penelitian ini hanya menganalisis efisiensi teknis usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur. Hal ini disebabkan karena harga input produksi yang digunakan relatif sama, sehingga apabila dilakukan perhitungan efisiensi alokasi dan ekonomi akan menghasilkan nilai yang tidak representatif. Selain itu, dua variabel independen pada fungsi produksi, yaitu konfigurasi mesin dan kapasitas produksi tidak memiliki harga per satuan, sehingga perhitungan efisiensi alokasi dan ekonomi melalui persamaan dual frontier tidak dapat dilakukan.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan parametrik, yaitu stochastic

frontier analysis (SFA) dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Melalui

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian dengan topik efisiensi dan penelitian yang membahas komoditi padi bukanlah suatu hal yang baru. Topik efisiensi seringkali ditemui pada penelitian efisiensi produksi dari subsistem usahatani bermacam-macam produk pertanian, baik pada sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Akan tetapi, efisiensi pada sektor pengolahan atau manufaktur produk-produk pertanian sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, tinjauan pustaka yang dirujuk pada tulisan ini lebih banyak berasal dari penelitian terdahulu terkait efisiensi pada sektor usahatani terutama pada bagian faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi. Namun, ada juga beberapa penelitian terdahulu tentang efisiensi usaha manufaktur dari sektor non pertanian.

Peneliti umumnya tertarik untuk mengestimasi efisiensi produksi suatu usaha dan menganalisis faktor-faktor apa yang berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi produksi. Pendekatan yang biasa digunakan untuk mengestimasi dan menganalisis faktor-faktor tersebut, terdiri atas pendekatan parametrik dengan Stochastic Frontier Analysis dan pendekatan non parametrik dengan Data Envelopment Analysis.

Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang jenis-jenis efisiensi dan faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi produksi suatu usaha, model yang sering digunakan dalam analisis datanya, serta hubungan keuntungan dengan efisiensi usaha. Referensi yang digunakan adalah berasal dari jurnal, artikel ilmiah laporan penelitian, tesis, dan disertasi. Berdasarkan referensi yang telah dibahas maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

Karakteristik Usaha Penggilingan Padi

Usaha penggilingan padi sebagai usaha perantara memiliki peran penting dalam sistem agribisnis perberasan. Dalam aktivitasnya, usaha penggilingan padi merupakan usaha yang mengolah gabah menjadi beras. Peranan yang besar tersebut kemudian menjadi sebuah peluang bagi masyarakat atau pengusaha untuk menjadikannya sebuah usaha komersial. Tujuan utama pelaku usaha adalah memaksimumkan keuntungan. Sebagai pelaku usaha yang beroritasi profit maka pelaku usaha penggilingan padi dituntut mampu memanajemen usahanya sehinga seluruh aktivitas yang dilakukan diharapkan mampu memberikan tambahan keuntungan bagi usaha.

Input utama usaha penggilingan padi adalah gabah, baik berupa gabah kering panen ataupun gabah kering giling. Jika yang dimiliki adalah gabah kering panen, maka gabah tersebut akan dikeringkan terlebih dahulu sebelum digiling. Pada usaha tipe non maklon gabah diperoleh melalui aktivitas pembelian gabah sehingga biaya terbesar usaha penggilingan padi dialokasikan untuk pembelian gabah, yaitu mencapai 92.32 persen (Putri 2013). Pada usaha penggilingan padi tipe maklon, input usaha berupa gabah merupakan milik pelanggan atau penerima jasa, sehingga komponen biaya terbesar pada usaha ini adalah biaya tenaga kerja.

(27)

gabungan dan non maklon berasal dari penjualan beras. Namun, proporsi keuntungan yang dimiliki oleh usaha penggilingan padi tipe non maklon 66 persen berasal dari penjualan side products, sedangkan hanya 34 persen keuntungan berasal dari penjualan beras. Oleh sebab itu, usaha penggilingan padi yang hanya fokus pada aktivitas penggilingan gabah menjadi beras dan kemudian menjual beras yang dihasilkan akan meperoleh keuntungan usaha lebih rendah jika dibandingkan dengan usaha penggilingan padi yang juga fokus terhadap pengelolaan produk samping (side products), seperti sekam, dedak, menir, dan

broken rice. Hal ini disebabkan karena diduga harga jual produk samping lebih stabil dibandingkan dengan harga beras.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa industri penggilingan padi di Indonesia didominasi oleh usaha penggilingan padi skala kecil. Usaha penggilingan tipe maklon biasanya didominasi oleh usaha penggilingan skala kecil, namun tidak untuk sebaliknya. Usaha penggilingan padi skala besar dapat dikategorikan kepada usaha penggilingan tipe non maklon, namun usaha non maklon belum tentu merupakan usaha penggilingan padi besar. Menurut Nugraha (2008), usaha penggilingan padi skala kecil (PPK) lebih efisien dibandingkan dengan usaha penggilingan padi skala besar (PPB). Putri (2013) melalui analisis R/C dan Apriande (2013) melalui pendekatan non parametrik juga mengungkapkan bahwa usaha penggilingan padi tipe maklon lebih efisien daripada kedua tipe lainnya. Putri (2013) menduga hal tersebut disebabkan karena usaha penggilingan padi tipe maklon tidak dipengaruhi secara langsung oleh fluktuasi harga gabah sebagai input dan harga beras sebagai output usaha.

Jika dalam jangka panjang (long run) industri penggilingan padi tetap didominasi usaha penggilingan padi skala kecil maka industri perberasan nasional menjadi tidak efisien. Oleh sebab itu, perlu melakukan revitalisasi industri penggilingan padi. Usaha penggilingan padi skala besar (PPB) atau usaha penggilingan padi tipe non maklon memungkinkan untuk dikembangkan dalam upaya pengembangan industrialisasi perberasan nasional dalam jangka panjang. Akan tetapi, diketahui usaha penggilingan tipe ini belum cukup efisien sehingga daya saing produk yang dihasilkan pun belum cukup baik.

Efisiensi Usaha

(28)

Efisiensi merupakan ukuran kinerja yang cukup populer. Hal ini disebabkan karena efisiensi dapat menjadi solusi terhadap kesulitan-kesulitan dalam menghitung ukuran kinerja. Selain itu, efisiensi merupakan isu yang penting dalam pengembangan usaha. Din et al. (2007) mengungkapkan bahwa peningkatan efisiensi usaha berpengaruh terhadap persaingan usaha yang kemudian akan memengaruhi iklim bisnis yang ada. Efisiensi sebagai ukuran kinerja dapat digunakan atau diterapkan pada berbagai jenis usaha, baik usaha yang menghasilkan barang maupun usaha yang menghasilkan jasa, seperti pengukuran kinerja pada perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, perbankan, maupun pada aktivitas usaha pertanian.

Farrel (1957) mengungkapkan ada dua komponen dalam efisiensi produksi (production efficiency), yaitu efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokasi (alocative efficiency). Efisiensi teknis adalah ukuran kesuksesan perusahaan atau sebuah usaha untuk memaksimalkan output dengan penggunaan input tertentu. Efisiensi alokasi atau biasa disebut dengan efisiensi harga adalah kesuksesan perusahaan untuk memilih input secara optimal pada maisng-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki. Efisiensi ekonomi dapat tercapai apabila diketahui bahwa suatu usaha efisien baik secara teknis maupun alokasi. Perusahaan yang mencapai efisiensi ekonomis mengindikasikan bahwa usaha tersebut telah mampu meningkatkan kesejahteraan pengusaha.

Konsep efisiensi pada sektor pertanian biasanya digunakan untuk mengukur kinerja pada aktivitas on-farm, seperti bagaimana petani atau peternak mengelola penggunaan sumberdaya input untuk mendapatkan output yang maksimal. Konsep efisiensi yang dipakai dalam mengukur kinerja usaha pada aktivitas on-farm

adalah efisiensi teknis (technical efficiency). Di Indonesia maupun di negara lain, penelitian terkait efisiensi teknis pada usaha on-farm telah banyak dilakukan, seperti efisiensi teknis pada tanaman pangan oleh Kusnadi et al. (2011); Rachmina dan Maryono (2008); Tijani (2006); Nurmalina et al (2012); Chiona (2011). Selain itu, juga terdapat analisis efisiensi teknis pada bidang peternakan oleh Yunus (2009); Gusasi dan Saade (2006). Sedangkan, Fernandes dan Nuthall (2012); Susilowati dan Tinaprilla (2012); Haridas et al. (2012); Triwidyaratih (2012) menganalisis efisiensi teknis pada produksi tamanan perkebunan. Analisis efisiensi teknis juga dilakukan di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen (2012) dan Pascoe dan Mardle (2003). Penelitian tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mengetahui berapa tingkat efisiensi usaha yang dilakukan dan bagaimana input usaha dapat memengaruhi output yang dihasilkan.

Konsep efisiensi teknis juga digunakan oleh usaha yang bergerak dalam bidang manufaktur. Ukuran efisiensi teknis digunakan sebagai indikator suksesnya sebuah usaha dalam menghasilkan output yang maksimal dengan penggunaan input yang sama dengan usaha sejenisnya. Oleh sebab itu, biasanya peneliti berusaha mengukur tingkat keberhasilan ekonomi usaha yang dijalankan melalui penilaian terhadap efisiensi teknis (Apriande 2013; Charoenrat dan Harvie 2012; Ngatindriatun 2011; Abu dan Kirsten 2009; Nugraha 2008; Radam et al.

2008; Din et al. 2007; Wongkeawchan et al. 2000).

(29)

penggilingan padi di Kabupaten Cianjur memiliki tingkat efisiensi sebesar 60.64 persen. Tingkat efisiensi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan efisiensi usaha penggilingan padi di Thailand dan Taiwan. Menurut Wongkeawchan et al.

(2000), efisiensi teknis usaha penggilingan padi di Taiwan mencapai 91 persen, sedangkan efisiensi teknis usaha penggilingan padi di Thailand hanya 87 persen.

Diketahui sangat jarang ada sebuah usaha yang memiliki tingkat efisiensi teknis sama dengan satu atau dengan kata lain usaha telah mencapai tingkat produktivitas yang sesuai dengan nilai frontirnya. Hal ini mengindikasikan hanya ada dua kemungkinan dalam pencapaian tingkat efisiensi, yaitu usaha dikatakan belum efisien atau tidak efisien. Jika usaha dikatakan belum efisien maka masih ada kemungkinan untuk meningkatkan tingkat efisiensinya, seperti melalui peningkatan teknologi, memperbaiki proses produksi, dan menambah jumlah tenaga kerja terlatih (Din et al. 2007). Namun, jika usaha dikatakan tidak efisien, maka ada kemungkinan penggunaan input telah melebihi tingkat optimumnya sehingga kuantitas output yang dihasilkan menurun, sehingga hal yang perlu dilakukan adalah mengurangi takaran input yang dipakai.

Selain efisiensi teknis ada juga beberapa peneliti yang mengukur tingkat efisiensi alokasi sebuah usaha. Orientasi pengukuran efisiensi teknis adalah output, yaitu kemampuan usaha untuk menghasilkan output maksimal dengan input tetap sedangkan efisiensi alokasi berorientasi kepada input, yaitu bagaimana perusahaan dapat mengoptimalkan penggunaan input dengan biaya terendah. Melalui pengukuran efisiensi teknis dan alokasi dapat diketahui seberapa besar kemungkinan peningkatan output yang dapat dilakukan tanpa mengurangi biaya atau seberapa besar biaya input yang dapat dikurangi untuk menghasilkan output tetap (Chiona 2011). Selain itu, beberapa peneliti melakukan analisis bagaimana hubungan antara efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Menurut Schmidt dan Lovell (1980), efisiensi teknis dan alokasi memiliki korelasi. Pada publikasi Abdmoulah dan Laabas (2012) juga ditemukan hal yang sama, bahwa efisiensi teknis memiliki hubungan dengan efisiensi alokasi dengan korelasi negatif. Sedangkan Junoy (2000) menyampaikan bahwa efisiensi alokasi tidak tergantung kepada efisiensi teknis.

Berbeda dengan perusahaan penghasil barang, perbankan sebagai salah satu usaha yang bergerak dalam penyediaan jasa memakai konsep efisiensi yang lain. Pengukuran efisiensi pada perbankan dilakukan melalui konsep efisiensi biaya (cost efficiency) oleh Ansari (2007); Fries dan Taci (2004); Bonin et al. (2004); Hartono (2009); Hadad et al. (2003); Junoy (2000); Hasan (2006). Efisiensi biaya diketahui menggunakan fungsi biaya (cost function) yang memperlihatkan bagaimana dampak harga input dan modal (capital) terhadap total biaya usaha. Biasanya penelitian efisiensi biaya pada perbankan tidak mengidentifikasi dan mengukur faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi perbankan.

(30)

(Hartono 2009). Menurut Hadad et al. (2003), analisis efisiensi biaya pada bank dapat memberikan gambaran tingkat efisiensi bank sehingga dapat dilakukan strategi pengawasan yang tepat dan dapat menetapkan strategi usaha setelah mengetahui posisi tingkat efisiensi. Tidak hanya perbankan, usaha penyedia jasa lainnya seperti rumah sakit juga menggunakan efisiensi biaya dalam mengukur tingkat efisiensi (Junoy 2000).

Selain konsep efisiensi biaya, Hasan (2006) menilai tingkat efisiensi bank syariah dengan menggunakan konsep efisiensi profit (profit efficiency) dan X-efficiency. Efisiensi profit dijelaskan berdasarkan tujuan ekonomi sebuah usaha yaitu maksimisasi keuntungan, dimana pemilik usaha fokus pada peningkatan jumlah penerimaan yang diperoleh dan atau mengurangi biaya yang dikeluarkan. Oleh sebab itu, konsep efisiensi profit juga dapat diterapkan pada semua usaha yang menghasilkan produk baik jasa maupun barang. Shuwu (2006) menggunakan konsep efisiensi profit untuk mengukur tingkat efisiensi pada produsen padi di bagian utara dan barat Uganda. Galawat dan Yabe (2012); Rahman (2003); Nganga et al. (2010) juga menggunakan konsep efisiensi profit dalam penelitiannya.

Dalam menghitung tingkat efisiensi, diketahui tidak ada kesepakatan yang umum (general agrement) sehingga memungkinkan adanya perbedan hasil tingkat efisiensi antara satu penelitian dengan penelitian lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan metode yang digunakan dan juga perbedaan konsep efisiensi yang digunakan.

Faktor-Faktor (Determinant) yang Memengaruhi Efisiensi Usaha

Efisiensi usaha dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap efisiensi. Faktor-faktor yang berpengaruh positif tentunya akan meningkatkan efisiensi usaha. Sebaliknya, jika faktor-faktor yang diketahui memiliki pengaruh negatif terhadap usaha maka akan berdampak pada penurunan efisiensi atau dengan kata lain efisiensi usaha rendah.

Pengukuran efisiensi usaha sangatlah penting dilakukan. Tingkat efisiensi usaha dapat memberikan informasi kepada pelaku usaha terkait dengan posisi usaha yang dilakukan dalam upaya mencapai tujuan usaha. Sejalan dengan itu, untuk dapat mengevaluasi tingkat efisiensi usaha dan merumuskan kebijakan guna memperbaiki status efisiensi usaha maka diperlukan analisis terkait faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi. Melalui analisis tersebut dapat diketahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap efisiensi usaha, apakah berpengaruh positif atau negatif sehingga kemudian dapat dijadikan referensi kebijakan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi usahanya.

(31)

pelaku usaha, faktor-faktor lembaga penunjang, dan faktor-faktor input produksi. Berikut adalah penjelasan dari masing-masingnya.

Faktor-faktor terkait sosio-ekonomi pelaku usaha

Efisiensi suatu usaha tentunya disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu bagian dari faktor internal adalah faktor sosio-ekonomi pelaku usaha. Pelaku usaha biasanya memiliki berbagai karakteristik sosial dan ekonomi yang kemudian berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap usaha yang dibangun. Kondisi sosio-ekonomi pelaku usaha dapat memengaruhi keputusan manajerial pelaku usaha tersebut. Pada aktivitas usaha, kecakapan seseorang dalam memutuskan sebuah keputusan bisnis tentu memengaruhi iklim usaha yang dibangunnya. Faktor sosio-ekonomi yang biasanya diteliti dan dibahas oleh peneliti untuk menjelaskan faktor yang memengaruhi efisiensi antara lain adalah usia, pendidikan, pengalaman, ukuran usaha (farm size), dan kepemilikan usaha. Namun, ada juga beberapa peneliti yang mengidentifikasi faktor sosio-ekonomi lainnya yang kemudian disesuaikan dengan objek penelitiannya.

Faktor-faktor yang memengaruhi efisiensi usaha biasanya diakomodir pada model inefisiensi usaha, baik inefisiensi produksi, biaya, maupun profit (tergantung tujuan penelitian). Tanda negatif pada koefisien variabel mengindikasikan bahwa variabel tersebut dapat meningkatkan efisiensi usaha. Sedangkan variabel yang memiliki koefisien positif mengindikasikan bahwa variabel tersebut kemudian dapat menurunkan efisiensi sebuah usaha. Akan tetapi, hal tersebut akan sangat bergantung pada hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing faktor sosio-ekonomi yang memengaruhi efisiensi usaha.

1. Faktor usia pelaku usaha

Pengusaha yang semakin tua biasanya memperlihatkan bahwa semakin banyak pengalaman yang diperoleh yang memungkinkan pelaku usaha tersebut efisien dalam menjalankan usahanya. Ada juga pelaku usaha yang sudah tua tetapi usaha yang dijalankannya belum efisien. Hal ini bisa terjadi karena pengalaman yang dimiliki tidak sesuai dengan usaha yang dijalankan. Selain itu, perlu diketahui bahwa usia dan pengalaman tidak selalu memiliki korelasi positif. Terkadang pelaku usaha dengan usia yang tua cenderung tidak mau menerima atau mengadopsi teknologi baru sehingga memungkinkan pelaku usaha tersebut bersifat konvensional dalam pengelolaan usahanya sehingga kalah bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang belum dapat menemukan hasil empiris yang konsisten (incloncusive) mengenai pengaruh usia terhadap efisiensi usaha.

(32)

Kurniawan (2010) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa umur dapat menurunkan efisiensi teknis pada usaha yang dilakukan. Semakin tua pelaku usaha maka efisiensi teknis pada usaha yang dijalankan juga akan semakin rendah atau dengan kata lain usaha yang dijalankan semakin tidak efisien.

Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh para peneliti di atas, Galawat dan Yabe (2012) serta Tijani (2006) menyampaikan bahwa variabel usia memiliki koefisien negatif pada model efek inefisiensi. Akan tetapi, kedua peneliti ini mengungkapkan bahwa variabel usia tidak berpengaruh signifikan terhadap efisiensi profit produksi padi di Brunei Darussalam tersebut. Bifarin et al. (2010) juga menyatakan bahwa umur pelaku usaha berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi ekonomi industri produksi pisang raja di Nigeria.

2. Faktor pengalaman

Pengalaman diduga merupakan faktor penting dalam kesuksesan sebuah usaha yang dilakukan. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh pelaku usaha maka semakin banyak pula waktu untuk belajar baik dari kegagalan maupun dari keberhasilan usaha. Pengalaman dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pelaku usaha untuk mengatur strategi yang akan dijalankan supaya kegagalan dapat diminimalisir. Selain itu, melalui pengalaman yang beragam kemudian membuat pelaku usaha mampu membaca lingkungan bisnis yang dijalankan sehingga dapat menghindari risiko yang terjadi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dibahas diketahui bahwa pengalaman berdampak positif terhadap efisiensi usaha.

Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Shuwu (2006) yang mengemukakan bahwa adanya pengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi profit usaha produksi padi di Uganda. Pengusaha yang memiliki pengalaman yang lebih banyak memiliki pengaruh yang besar terhadap efisiensi profit usaha. Serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Nganga et al. (2010) dan Rahman (2003) bahwa koefisien variabel pengalaman adalah negatif, yaitu usaha dengan pengalaman yang banyak kemudian akan mengurangi tingkat kehilangan profit dari usaha yang dijalankan. Petani yang memiliki pengalaman menanam varietas dengan teknik modern lebih dari tiga tahun kemudian secara signifikan memiliki tingkat profit yang tinggi. Wongkeawchan et al. (2000) juga menyampaikan bahwa pengusaha penggilingan padi yang memiliki pengalaman yang lebih banyak diketahui memengaruhi kemampuan manajemen pelaku usaha sehingga berdampak positif pada efisiensi teknis usaha. Selain itu, beliau juga menemukan bahwa pengusaha penggilingan padi yang sukses dalam bisnisnya memiliki pengalaman di bidang yang sama lebih dari 10 tahun.

(33)

Yunus (2009) mengungkapkan bahwa pengalaman peternak yang banyak dapat menurunkan tingkat inefsiensi teknis produksi ayam ras pedaging baik pola kemitraan ataupun tidak di kota Palu. Hal ini juga dibuktikan dari data di lapangan bahwasanya peternak ayam ras pedaging didominasi oleh peternak yang cukup berumur (sekitar 45 tahun), yaitu sebesar 28 persen. Akan tetapi, diketahui bahwa pengaruh pengalaman dengan tingkat efisiensi usaha peternakan ini tidak signifikan.

3. Faktor pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya usaha yang dijalankan. Diduga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seorang pelaku usaha memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih banyak. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan lebih terbuka dengan adanya beragam informasi dan perkembangan teknologi sehingga memungkinkan mereka akan lebih mampu menyerap informasi dan mengadopsi teknologi yang ada. Akan tetapi, beberapa peneliti juga menjelaskan bahwa pendidikan formal justru mengurangi efisiensi usaha. Oleh sebab itu, diketahui bahwa pengaruh variabel pendidikan terhadap efisiensi bersifat incloncusive.

Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara pendidikan pelaku usaha dengan efisiensi usahanya. Shuwu (2006) menjelaskan bahwa koefisien variabel pendidikan pada model adalah negatif dan signifikan untuk semua daerah usaha produksi beras di wilayah utara dan barat Uganda. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan dapat meningkatkan efisiensi profit pada usaha yang dijalankan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Nganga et al.(2010) dan Rahman (2003). Dalam penelitiannya, Rahman (2003) menjelaskan bahwa rata-rata pendidikan petani padi di Bangladesh tidak lebih dari empat tahun yang secara signifikan dapat menyebabkan kehilangan profit yang tinggi.

Abu dan Kirsten (2009) juga menyampaikan hal yang sama, bahwa pendidikan berdampak positif terhadap efisiensi usaha yang dijalankan baik usaha skala kecil maupun skala menengah atau dengan arti lain pendidikan dapat meningkatkan efisiensi usaha. Konsisten dengan hal tersebut, Susilowati dan Tinaprilla (2012) juga mengungkapkan bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap efisiensi usahatani tebu di Jawa Timur. Wongkeawchan et al. (2000) menyampaikan bahwa pengusaha penggilingan padi yang memiliki pendidikan yang lebih baik diketahui mampu mengelola organisasi bisnisnya dengan lebih baik.

Selain itu, Galawat dan Yabe (2012) juga menemukan koefisien negatif untuk variabel pendidikan yang berarti bahwa semakin tinggi pendidikan maka peluang kehilangan profit akan rendah, akan tetapi pengaruhnya diketahui tidak signifikan. tidak signifikan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Kurniawan (2010) dan dan Tijani (2006), dimana tingkat pendidikan dapat meningkatkan efisiensi usahatani padi dan pengaruhnya tidak signifikan.

(34)

formal berpengaruh signifikan pada industri produksi pisang raja di Nigeria. Menurut Bifarin et al. (2010), ilmu yang diperoleh petani dari jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi mayoritas diimplementasikan untuk aktivitas bisnis di sekotr di sektor off-farm.

4. Faktor skala usaha

Skala usaha merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam meningkatkan produksi usaha. Jika dikaitkan dengan efisiensi, pengusaha yang memiliki usaha dengan skala besar belum tentu efisien jika tidak menerapkan sistem usaha yang baik. Selain itu, usaha skala kecil yang diusahakan secara intensif bisa menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan usaha skala besar. Selain itu, usaha skala besar memiliki berbagai tantangan untuk kemudian dapat berkembang, seperti dihadapkan dengan modal yang besar, ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja yang cukup.

Ada beberapa penelitian yang mengidentifikasi tingkat efisiensi teknis pada usaha manufaktur dengan indikator perbedaan skala usaha. Nugraha (2008) menunjukkan bahwa usaha penggilingan padi skala kecil memiliki tingkat efisiensi teknis lebih besar dibandingkan dengan usaha pengggilingan padi skala besar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Radam et al. (2008) bahwasanya kinerja usaha manufaktur dengan skala kecil lebih tinggi dibandingkan dengan usaha skala menengah, hal ini ditunjukkan dengan standar deviasi yang tinggi pada usaha skala menengah, yaitu sekitar 17.11 persen, yang mengindikasikan adanya mis alokasi sumberdaya pada industri menengah. Selain itu, Ngatindriatun (2011) juga menemukan hal yang sama, bahwasanya industri skala kecil batik semarang sudah efisien, yaitu rata-rata produktivitas yang dicapai adalah 88.98 persen dari frontirnya. Namun berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Abu dan Kirsten (2009) serta Charoenrat dan Harvie (2012) yang mengatakan bahwa usaha dengan skala kecil dan menengah belum efisien mengingat masih terdapat pemborosan dalam biaya usaha.

Skala usaha memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi usaha atau dapat meningkatkan efisiensi usaha. Hal ini diungkapkan oleh Chaorenrat dan Harvie (2012); Nganga et al. (2010); dan Sinani et al. (2007). Akan tetapi, hasil yang berbeda diungkapkan oleh Galawat dan Yabe (2012) bahwa skala usaha berpengaruh negatif dengan efisiensi usaha tetapi tidak signifikan, dimana semakin besar skala usaha maka potensi kehilangan hasil yang diperoleh semakin kecil. Abu dan Kirsten (2009) menjelaskan pengaruh skala usaha terhadap efisiensi industri penggilingan jagung. Beliau mengatakan pada usaha skala kecil, kapasitas giling (merupakan indikator skala usaha) memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap efisiensi usaha. Sedangkan pada usaha skala menengah, kapasitas giling memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi usaha. Hal ini berarti bahwa pada skala menengah, kapasitas giling menentukan tingkat efisiensi usaha yang dilakukan, sedangkan besarnya kapasitas giling pada usaha skala kecil tidak berpengaruh terhadap efisiensi usaha yang dilakukan.

5. Faktor kepemilikan usaha

(35)

berbeda-beda antar peneliti digunakan untuk menguji bagaiman peran kepemilikan dalam menjelaskan efisiensi teknis sebuah usaha. Onder et al. (2003) serta Margono dan Sharma (2006) mengklasifikasikan kepemilikan usaha menjadi dua, yaitu kepemilikan publik dan swasta, sedangkan Sygili et al. (2001) menggunakan tiga jenis klasifikasi yaitu publik, campuran, dan swasta. Pitt dan Lee (1981) meneliti dampak dari kepemilikan terhadap efisiensi teknis perusahaan dengan membagi perusahaan menjadi milik asing dan domestik. Berbeda dengan peneliti lainnya, Rajesh (2007) menggunakan klasifikasi usaha berdasarkan pemilik tunggal (preprietary firms) dan multi-pemilik (partnership). Variabel status kepemilikan dianggap juga sebagai indikator ukuran efisiensi, dimana kepemilikan usaha diukur sebagai variabel dummy dengan multi-pemilik menjadi kategori referensi.

Rajesh (2007) mengungkapkan bahwa sebagian besar usaha preprietary

firms merupakan usaha rumah tangga yang mempekerjakan tenaga kerja keluarga.

Di sisi lain, sebagian besar perusahaan partnership merupakan perusahaan non rumah tangga dimana tenaga kerjanya merupakan tenaga kerja upahan. Perusahaan partnership dapat dioperasikan oleh orang lain yang dipercaya oleh rekan bisnisnya, dapat berupa perseroan terbatas, dan sebagainya. Pada semua industri manufaktur yang diteliti oleh Rajesh (2007) memperlihatkan bahwa koefisien status kepemilikan usaha pada semua sektor industri kecuali industri Metal adalah negatif yang berarti bahwa usaha partnership dapat meningkatkan efisiensi pada usaha yang dikembangkan. Meskipun demikian, diketahui juga bahwa variabel ini tidak signifikan dapat memengaruhi efisiensi teknis industri manufaktur informal di India.

Berdasarkan keseluruhan analisis yang dikemukan oleh Rajesh (2007) diketahui bahwa perusahaan kemitraan lebih efisien daripada perusahaan yang dimiliki tunggal oleh pemiliknya (proprietary). Hal ini mungkin disebabkan perbedaan akses terhadap keuangan dan network. Usaha yang dimiliki sendiri memiliki akses terbatas terhadap sumber daya tersebut dan oleh sebab itu pertumbuhan usaha ini juga terbatas. Wongkeawchan et al. (2000) yang menyatakan bahwa usaha yang dijalankan oleh swasta atau private memiliki tingkat efisiensi teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha penggilingan padi yang dioperasikan oleh koperasi atau asosiasi lainnya.

Biasanya yang menjadi dasar kepemilikan usaha pada aktivitas usahatani adalah status lahan yang digunakan apakah lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang kemudian dipinjam dan sebagainya. Susilowati dan Tinaprilla (2012) menyebutkan bahwa variabel status kepemilikan lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi teknis usahatani tebu di Jawa Timur. Hal ini diduga disebabkan karena kepuasan seorang petani untuk mengelola lahannya sendiri berbeda dengan apabila mengelola lahan milik orang lain.

Gambar

Tabel 1  Perkembangan jumlah penduduk, jumlah produksi dan konsumsi beras di Indonesia Tahun 2000-2012a
Tabel 2  Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a
Tabel 3  Penyebaran usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2012a
Gambar 1 Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG) di tingkat penggilingan dan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah  pada bulan Januari 2012 – Januari 2013 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013a (diolah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

piirteitä, vahvuuksia ja heikkouksia kyvyssä sopeutua muutoksiin sekä alueiden asukkaiden näkemyksiä asuinalueiden elinvoiman vahvistamisesta ja

Bagi guru, penelitian ini dapat memberikan sumbangan kerangka berpikir dalam bidang pengajaran di sekolah, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan menulis argumentasi.. Selain itu,

Surabaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalankan studi dibangku kuliah sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam

altilis merupakan sumber yang kaya akan karbohidrat, mineral dan vitamin namun sering terabaikan di berbagai negara (Deivanai and Bhore 2010), oleh karena itu diperlukan kajian

Menurut Tilaar (2004 : 19) “Paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut

Karena dakwah melalui media cetak buletin ini di edarkan dengan materi-materi yang ringan dengan pengajaran- pengajaran yang baik sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadits,

interval yang sama, dimana angka 1 (satu) menyatakan sangat tidak setuju,. angka 2 (dua) menyatakan tidak setuju, angka 3 (tiga) menyatakan

Hasan Tholkhah, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Keluarga.. 1) Pendidikan dan pembelajaran tentang ajaran yang mencakup konsep keyakinan (aqidah), peribadatan (ritual) dan