• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

DHIAN EKO PRASTIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)

RINGKASAN

DHIAN EKO PRASTIWI. Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan ANI MARDIASTUTI.

Suku labi-labi (Trionychidae) merupakan bagian dari kelompok kura-kura yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu jenis suku tersebut adalah bulus atau common softshell turtle (Amyda cartilaginea) dapat dijumpai di Indonesia, dan sejumlah pasar di Indonesia diketahui menjual A. cartilaginea untuk dikonsumsi, seperti di Jakarta, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik perdagangan A. cartilaginea untuk konsumsi domestik di Provinsi DKI Jakarta serta mengidentifikasi karakteristik morfometrinya. Data yang dibutuhkan diperoleh melalui wawancara terhadap para pedagang A. cartilaginea di pasar, survey terhadap rumah makan yang menjual hasil olahan serta pengamatan dan pengukuran terhadap sejumlah A. cartilaginea yang dipotong di pasar.

Sejumlah 8 818.1 kg labi-labi diperdagangkan selama tiga bulan, terdiri atas 7 171.6 kg jenis A. cartilaginea dan 1 646.5 kg jenis Trionyx siamensis. A. cartilaginea terbanyak berasal dari Sumatera Selatan, Jambi dan Lampung serta beberapa wilayah di Jawa Barat dan Banten. Apabila rata-rata berat A. cartilaginea diasumsikan relatif sama yaitu 4.26 kg serta angka penjualan relatif konstan setiap bulan, maka perdagangan selama tiga bulan mencapai 1 684 individu atau 6 736 individu per tahun, jumlah yang jauh lebih tinggi daripada kuota yang ditetapkan untuk pemanfaatan dalam negeri.

Jumlah rumah makan yang menjual hasil olahan A. cartilaginea sebanyak 34 rumah makan dan tiga pedagang kaki lima yang lokasinya tersebar di hampir seluruh wilayah Jakarta, kecuali Jakarta Timur. Konsumen kebanyakan adalah etnis Cina baik konsumen yang dijumpai di pasar maupun di rumah makan. Harga masakan hasil olahannya bervariasi, berkisar Rp 26 000– 200 000 per porsi.

Hasil pengukuran terhadap sejumlah sampel menunjukkan bahwa A. cartilaginea yang diperdagangkan 95% merupakan individu dewasa serta jumlah betina (54%) lebih banyak dibandingkan jantan. Terdapat kecenderungan adanya dimorfisme seksual dimana jantan lebih besar dibanding betina, dilihat dari ukuran berat, panjang dan lebar lengkung karapas. Ukuran berat betina terkecil yang telah dewasa kelamin adalah 1.2 kg dengan folikel dan telur seberat 182 gr, sedangkan ukuran berat jantan terkecil yang telah dewasa kelamin adalah 1.7 kg dengan testis berwarna kuning kemerahan seberat 13.74 gr. Hasil tersebut berbeda dengan acuan kementerian kehutanan yang berdasarkan rekomendasi LIPI menentukan kisaran labi-labi yang bisa dipanen berukuran kurang dari 5 kg dan lebih dari 15 kg dengan asumsi bahwa labi-labi yang tidak boleh dipanen merupaan labi-labi produktif.c Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kajian untuk menentukan apakah kebijakan mengenai kisaran berat A. cartilaginea yang tidak diperbolehkan panen perlu diperlebar ataukah sebaliknya.

(5)

DHIAN EKO PRASTIWI. The Trade of Common Softshell Turtle for Consumption in Jakarta Province. Under the supervision of MIRZA DIKARI KUSRINI and ANI MARDIASTUTI.

Turtles from the family of Tronichidae distribute widely in the world and have been recorded as the most harvested turtle species, mainly for consumption. Amyda cartilaginea as the only species in the genus Amyda in Indonesiahas been known to be traded for consumption in selected markets, example.g., in Jakarta, West and East Kalimantan.

This research aimed to assess domestic trade of A. cartilaginea for consumption in Jakarta and the morphometric characteristics of the traded turtle. Data was collected by interviewing traders in the market, and identifying trader selling softshell turtle for food. We observed and measured the number of A. cartilaginea bought by consumers.

During three months survey, total number of turtle sold were 8 818.1 kg, consisting of 7 171.6 kg of A. cartilaginea and 1 646.5 kg of Trionyx siamensis. Most of A. cartilaginea came from South Sumatera, Jambi and Lampung, as well as some areas at West Java and Banten. Assuming that all A. cartilaginea sold has the same average weight and volume of trade relatively constant for every month, the number of A. cartilaginea sold for three months were 1 684 turtles or 6 734 turtles a year. It means that the volume of trade is h gher than quota given by the authority for domestic utilization.

Thirty four restaurants and three vendors selling softshell turtle food were identified. Price for each serving varied, between Rp 26 000–200 000. Most turtle consumers in the market restaurants were mostly from Chinese ethnic.

Most of A. cartilaginea sold were mature, and number of female is slightly larger than male (54%). There is tendency of sexual dimorphism (male were heavier than female. There is tendency of sexual dimorphism (males were heavier and had longer body weight, carapace length and carapace width than females). The smallest sexual mature female was a 1.2 kg with 182 gr folicle and eggs, whereas smallest sexual mature male was at body weight 1.7 kg with 13.74 gr testis weight. The result of this research differs with Ministry of Forestry decree that allows harvest of soft shelled turtle weighing less than 5 kg and more than 15 kg, with the assumptions that turles between 5-15 kg are productive. Thus, result of this research can be used to review policy on the allowable size for harvest of A. cartilagenea.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

DHIAN EKO PRASTIWI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

Nama NIM

Dhian Eko Prastiwi E.353120055

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Diketahui

Ketua Program Studi Konservasi Keanekaragaman

Hayati

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 17 Oktober 2014 Tanggal Lulus: 29 Oktober 2014 Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi

Ketua

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah pemanfaatan domestik, dengan judul Perdagangan Labi-labi untuk Konsumsi di Provinsi DKI Jakarta.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Nyoto Santoso, MS sebagai penguji luar yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Maraden Purba selaku ketua APEKLI yang telah memberikan bantuan dana penelitian, informasi dan kemudahan mengakses beberapa responden penelitian; para narasumber yang telah memberikan ijin, data dan waktu untuk berdiskusi bagi penulis, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati angkatan 2012 untuk semangat kekeluargannya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami terkasih: Marwoto dan anak-anak tersayang: Ahza Abrisam Akbar dan Ahmad Affan Annasai, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana, pengorbanan, pengertian dan doa yang diberikan. Tidak lupa kepada kedua orang tua penulis untuk dukungan dan doa yang senantiasa diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 MAKALAH I: PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK KONSUMSI DI

PROVINSI DKI JAKARTA 6

Pendahuluan 6

Metode Penelitian 7

Hasil 8

Pembahasan 14

Simpulan 17

3 MAKALAH II: KARAKTERISTIK MORFOMETRI LABI-LABI Amyda cartilaginea YANG DIPERDAGANGKAN UNTUK KONSUMSI DI PROVINSI

DKI JAKARTA 18

Pendahuluan 18

Metode Penelitian 19

Hasil 22

Pembahasan 26

Simpulan 29

4 PEMBAHASAN UMUM 0

Perdagangan A. cartilaginea 0

Kuota A. cartilaginea 0

Karakteristik Panenan A. cartilaginea untuk Konsumsi 1

Monitoring dan Pengawasan 2

Strategi Konservasi yang Diperlukan 3

Penelitian yang Dibutuhkan 4

5 SIMPULAN DAN SARAN 0

Simpulan 0

(14)

DAFTAR PUSTAKA 0

LAMPIRAN 3

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan per bulan ... 9

Tabel 2.2 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan masing-masing pedagang ... 9

Tabel 2.3 Jumlah labi-labi A. cartilaginea berdasarkan lokasi asal ... 10

Tabel 3.1 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea ... 23

Tabel 3.2 Struktur umur A. cartilaginea* ... 23

Tabel 3.3 Hasil regresi antara berbagai variabel morfometri A.cartilaginea jantan ... 24

Tabel 3.5 Sebaran ukuran morfometri A.cartilaginea betina dewasa kelamin (n=24) ... 25

Tabel 3.6 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea jantan dewasa kelamin (n=27) ... 25

Tabel 3.7 Nilai R, R2 dan signifikansi hasil regresi linier berganda ... 25

Tabel 3.8 Nilai r dan signifikansi hasil analisis korelasi antara parameter morfometri dengan berat telur dan berat testis A. cartilaginea ... 26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fluktuasi rata-rata harian jumlah pembelian labi-labi oleh konsumen ... 10

Gambar 2.2 Sebaran rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta ... 12

Gambar 2.3 Alur perdagangan labi-labi untuk konsumsi di wilayah Jakarta ... 14

Gambar 3.2 Pengukuran karapas A. cartilaginea dengan metode curveline (a) ... 20

Gambar 3.3 Pengukuran tanda dewasa kelamin A. cartilaginea betina ... 21

Gambar 3.4 Pengukuran tanda dewasa kelamin A. cartilaginea jantan ... 21

Gambar 3.5 Struktur umur A. cartilaginea berdasarkan asumsi berat ... 24

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji independent sample t test terhadap berat, PLK dan LLK antara A. cartilaginea dengan T. siamensis ... 3

Lampiran 2 Hasil uji Mann Whitney terhadap jumlah pengiriman A. cartilaginea dari Jawa dan luar Jawa ... 3

Lampiran 3 Hasil uji independent sample t test terhadap berat, PLK dan LLK antara A. cartilaginea jantan dengan betina ... 4

(16)

Lampiran 5 Hasil uji normalitas Kolmogorov Smirnov, regresi dengan variabel tak bebas PLK dan berat pada A. cartilaginea

betina ... 6 Lampiran 6 Hasil analisis korelasi antar parameter morfometri dengan

berat telur pada A. cartilaginea betina ... 7 Lampiran 7 Hasil analisis korelasi antar parameter morfometri dengan

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biologi, Habitat dan Status Amyda cartilaginea

Suku labi-labi (Famili Trionychidae) merupakan kelompok kura-kura yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia (Iskandar 2000). Suku ini dapat dengan mudah dibedakan dari karapas (perisai)nya yang sebagian besar terdiri dari tulang rawan. Pada beberapa jenis, kaki belakangnya dapat disembunyikan dibalik katup perisai. Anggota suku ini mempunyai leher relatif panjang sehingga kepalanya hampir dapat mencapai bagian belakang. Lubang hidungnya selalu terletak pada ujung belalai yang kecil dan pendek dan mempunyai ekor agak panjang (Iskandar 2000).

Anggota famili Trionychidae terdiri atas (1) bulus atau Common softshell turtle atau Asiatic softshell turtle (Amyda cartilaginea), (2) labi-labi bintang atau Star softshell turtle (Chitra chitra), (3) labi-labi hutan atau Forest softshelled turtle (Dogania subplana), (4) labi-labi katup atau Valved sofshelled turtle (Lissemys scutata), (5) labi-labi irian atau New guinean softshell turtle (Pelochelys bibroni), (6) labi-labi raksasa atau Giant sofshell turtle (Pelochelys cantori) dan (7) labi-labi cina atau Chinese soft shell turtle (Pelodiscus sinensis).

Salah satu suku labi-labi yaitu bulus (Amyda cartilaginea) lazim dikenal dengan labi-labi biasa. A.cartilaginea dapat mencapai panjang 100 cm, walaupun pada umumnya berkisar 60 cm saja. Mata A. cartilaginea berukuran relatif kecil dan lubang hidungnya terletak di ujung belalai yang kecil dan pendek. Mulutnya mempunyai bibir relatif tebal, dan kakinya mempunyai selaput penuh dan jari-jari kaki mempunyai cakar yang relatif kuat dan berujung lancip. A cartilaginea mempunyai leher yang relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit pertengahan dari perisainya dan termasuk hewan yang galak sehingga hewan yang berukuran besar sangat berbahaya apabila dipegang (Iskandar 2000).

Warna perisai hitam sampai abu-abu dan terdapat jejeran tuberkel di atas karapas bagian anterior di atas leher (Asian Turtle Conservation Network 2006). Jantan umumnya lebih besar, mempunyai ekor yang lebih panjang dibandingkan dengan betina. Warna plastron biasanya putih pada jantan dan abu-abu pada betina (Asian Turtle Conservation Network 2006; Farajallah 2013). Kepala dan kaki berwarna hitam atau abu-abu dan pada hewan muda umumnya dijumpai bintik-bintik berwarna kuning (Iskandar 2000).

Jenis ini menyebar di Asia Tenggara, meliputi Brunei Darussalam, Cambodia, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam (Asian Turtle Conservation Network 2006). Di Indonesia, jenis ini dijumpai di Sumatera Kalimantan, Jawa, dan Lombok dan Sulawesi (Iskandar 2000).

(18)

2

perairan tergenang, berarus tenang dengan dasar perairan lumpur berpasir, terdapat batu-batuan dan tak terlalu dalam. Umumnya, A. cartilaginea selalu bersembunyi di dalam lumpur atau pasir di dasar kolam atau sungai (Iskandar 2000), tetapi terkadang nampak di atas batu-batuan untuk berjemur (Elviana 2000).

A.cartilaginea termasuk hewan omnivora (Asian Turtle Conservation Network 2006), biasanya menyukai perairan yang banyak dihuni oleh hewan air (molusca, ikan, crustacea dan lain-lain) serta pada permukaan airnya terdapat tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok, salvinia, monochorida, teratai dan lain-lainnya karena dapat menjadi bahan makanan di dalam air (BBAT 2002). Mumpuni dan Riyanto (2010) menyebutkan, jenis pakan A. cartilaginea bervariasi, meliputi biji sawit, dedaunan, singkong, bulu burung, kepiting dan ikan.

Wyneken (2001) menyatakan bahwa organ reproduksi kura-kura atau disebut gonad terdiri dari ovarium dan testis dan masing-masing menghasilkan gamet (sel telur ataupun sperma). Kematangan gonad biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni pada saat temperatur air berkisar 20 °C, dua minggu kemudian

betina akan memijah dan kemudian bertelur di darat di tempat yang berpasir (BBAT 2002). Sekali bertelur A. cartilaginea dapat menghasilkan 40 butir telur bercangkang keras dan seekor betina dapat bertelur sampai empat kali dalam setahun. Ukuran telur hanya sekitar 21–33 mm, berbentuk bulat seperti bola pingpong dengan lama penetasan 135–140 hari (Iskandar 2000).

A. cartilaginea termasuk satwa liar yang tidak dilindungi menurut Undang Undang di Indonesia. Menurut Mumpuni dan Riyanto (2012), tahun 2004 CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and Fauna) telah menyatakan bahwa pemanfaatan A. cartilaginea yang berlebih di negara-negara yang menjadi daerah sebaran telah menyebabkan penurunan populasi terkecuali Brunei Darussalam, Kamboja dan India, sehingga tahun 2005 A. cartilaginea terdaftar sebagai Apendiks II.

Di Indonesia sendiri, pemanenan A. cartilaginea di Indonesia sudah dilakukan secara intensif sejak akhir tahun 1980, dimana kuota tangkap jenis ini merupakan yang tertinggi dari semua jenis kura-kura. Berdasarkan alasan kehilangan habitat dan eksploitasi yang berlebihan, IUCN (International Union for Conservation Nature) memberikan status vulnerable pada tahun 2010 (Mumpuni dan Riyanto 2012). Tahun 2008, CITES memasukkan jenis tersebut sebagai RST (Review Significant Trade) yang berarti perlu ada perhatian khusus atas populasi alami, yang bermakna bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai dengan kaidah kelestarian (Kusrini et al. 2009).

CITES di Indonesia

(19)

Dalam pelaksanaan kegiatan CITES, masing-masing negara anggota menunjuk minimal satu Otoritas Pengelola (Management Authority) dan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority). Di Indonesia, Otoritas Pengelola dan Otoritas Keilmuan dipegang oleh Departemen Kehutanan dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sesuai dengan PP No 8 tahun 1999. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan No 104/Kpts-II/2003, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam ditunjuk sebagai Otoritas Pengelola CITES di Indonesia. Kepala LIPI melalui SK No 1973/2002 telah menunjuk Pusat Penelitian Biologi LIPI sebagai pelaksana harian Otoritas Keilmuan yang tugasnya melaksanakan tugas-tugas harian yang berkaitan dengan kewenangan LIPI sebagai otoritas Keilmuan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Mumpuni dan Riyanto 2012).

Terhadap hidupan liar yang diperdagangkan secara internasional, CITES mengkategorikannya dalam tiga kategori Apendiks, yaitu Apendiks I, II dan III. Apendiks I merupakan tumbuhan dan satwa liar yang menurut CITES termasuk dalam golongan mendekati kepunahan, sehingga pemanfaatan jenis tersebut perlu mendapatkan perlakuan internasional yang sangat ketat. Perdagangan jenis Apendiks I tidak memperkenankan adanya pengambilan langsung dari alam kecuali hasil penangkaran pada keturunan kedua. Bagi jenis yang termasuk dalam Apendiks II, perdagangan internasional masih dapat dilakukan dengan kuota tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Pengelola pada negara tersebut. Apendiks III merupakan tumbuhan dan satwa liar yang dikategorikan jarang sehingga pemanfaatan jenis tersebut perlu dipantau secara internasional.

Sebagai satwa liar yang termasuk dalam Apendiks II CITES, pemanfaatan A. cartilaginea diatur dalam prinsip NDF (Non Detrimental Findings) yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa perdagangan internasional yang dilakukan tidak akan merusak populasi spesies tersebut di alam. Salah satu bentuk penterjemahan prinsip NDF adalah melalui sistem kuota tangkap dan kuota ekspor serta pengaturan peredaran, perlindungan dan konservasi jenis tersebut (Oktaviani dan Samedi 2008). Management Authority CITES di Indonesia telah mengeluarkan kebijakan mengenai aturan berat A. cartilaginea yang tidak diperbolehkan dipanen yaitu pada kisaran 5–15 kg pada keputusan Direktur Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Departemen Kehutanan tentang penetapan kuota. Kebijakan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa rentang tersebut merupakan masa reproduksi A. cartilaginea sehingga pemanenan pada rentang tersebut dikhawatirkan mengancam kelestarian populasinya di masa yang akan datang.

Pengelolaan A. cartilaginea setelah terdaftar sebagai Apendiks II CITES sampai dengan saat ini berada di bawah Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan, dimana sebelumnya pengelolaan berada di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.

Perdagangan A. cartilaginea

(20)

4

kegiatan jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain (komersial) (Mumpuni dan Riyanto 2012).

Perdagangan satwa liar telah menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang dan faktor ekonomi merupakan motivasi utama dari perdagangan komoditas ini, mulai dari pendapatan lokal berskala kecil sampai dengan bisnis yang berorientasi utama profit (Nijman 2010). Pelaku perdagangan umumnya terdiri atas penangkap (hunter), pengumpul kecil atau perantara (middlemen), pengumpul besar (collector) dan eksportir (ID CITES MA 2008; Nijman et al. 2012).

A.cartilaginea mempunyai nilai kegunaan produktif yaitu nilai manfaat yang diberikan kepada produk-produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar komersial, baik pada tingkat nasional maupun internasional (Indrawan et al. 2007) yang bentuk nyata dari nilai tersebut adalah harga. Beberapa penelitian untuk mengetahui harga A. cartilaginea di pasar dalam negeri seperti dilakukan Oktaviani dan Samedi (2008), Kusrini et al. (2009) dan Ginting (2012) menyebutkan bahwa kisaran harga ditentukan oleh berat dari A.cartilaginea. Amri dan Khairuman (2000) menyebutkan harga A. cartilaginea di pasar internasional adalah USD 20.00/kg, sedangkan Nijman et al. (2012) mengasumsikan harga A. cartilaginea adalah USD 10.00/kg maka nilai perdagangan A. cartilaginea mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi. Perdagangan A. cartilaginea meliputi perdagangan untuk konsumsi dan perdagangan sebagai satwa peliharaan (pet), dengan jumlah pemanfaatan untuk konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan sebagai satwa peliharaan. Perdagangan A. cartilaginea sebagai satwa peliharaan lebih untuk memenuhi permintaan ekspor, sebagaimana hasil penelitian Daniel (2011) di Jakarta yang menunjukkan jumlah individu A. cartilaginea yang dimanfaatkan sebagai satwa peliharaan hanya sejumlah 4 individu. Sebagai satwa peliharaan, A. cartilaginea kurang begitu disukai karena sifatnya yang ganas, dikenal suka menggigit dan mempunyai gigitan yang sangat kuat. Selain itu, tubuh A. cartilaginea cepat menjadi besar sehingga akan memenuhi akuarium dengan cepat. Untuk diekspor sebagai satwa peliharaan, ukuran individu A. cartilaginea biasanya berukuran panjang sekitar 12–15 cm atau berat sekitar 0.5–0.5 kg (ID CITES MA 2008).

Perdagangan A. cartilaginea untuk konsumsi dilakukan dengan memanfaatkan hampir seluruh bagian tubuh A. cartilaginea (daging, telur, darah, jeroan, lemak, karapas) karena dipercaya berkhasiat sebagai obat (Ginting 2012). Pemanfaatan untuk konsumsi ini terjadi baik di dalam maupun luar negeri. Nijman et al. (2012) mengemukakan sejumlah 200–450 000 individu A. cartilaginea dari Sumatera Utara dan Riau diekspor selama tahun 1998–1999, melebihi kuota yang ditetapkan saat itu yaitu 10 000 individu dengan nilai ekspor sekitar 10 juta USD per tahun. Sinaga (2008) menyatakan realisasi ekspor A. cartilaginea tahun 2005 mencapai 102.84%, tahun 2006 sebesar 99.87% dan tahun 2007 sejumlah 98.93%, dimana kuota sampai dengan tahun 2007 belum memisahkan jumlah individu yang dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagai satwa pelihharaan. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa permintaan ekspor untuk A. cartilaginea adalah tinggi. Dibandingkan dengan labi-labi jenis lain, para konsumen menganggap daging jenis A. cartilaginea lebih enak sehingga lebih banyak diminati (Mardiastuti 2009).

(21)

melalui kendaraan darat, air maupun udara. Selain itu, daya beli masyarakat Jakarta dapat digolongkan tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia sehingga merupakan pasar yang prospektif bagi berbagai komoditas, termasuk satwa liar. Jakarta dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan beberapa hal yang telah dikemukakan di atas sehingga diasumsikan Jakarta mempunyai angka pemanfaatan A. cartilaginea yang tinggi.

Tujuan Penelitian

Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk 2 makalah untuk masing-masing tujuan penelitian, dimana tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik perdagangan A. cartilaginea untuk konsumsi domestik, dilihat dari 1) jumlah, asal dan alur perdagangan dan 2) karakteristik konsumen, baik konsumen yang berupa rumah makan maupun konsumen perorangan.

2. Mengidentifikasi karakteristik morfometri A. cartilaginea yang diperdagangkan untuk konsumsi di Jakarta, meliputi sebaran ukuran berat labi-labi, nisbah kelamin, struktur umur berdasarkan PLK (panjang lengkung karapas), serta masa dewasa kelamin A. cartilaginea.

Manfaat Penelitian

(22)

6

2

MAKALAH I: PERDAGANGAN LABI-LABI UNTUK

KONSUMSI DI PROVINSI DKI JAKARTA

(The Trade of Softshell Turtle for Consumption in Jakarta Province)

Dhian Eko Prastiwi1, Mirza D. Kusrini2, Ani Mardiastuti2

1

Mahasiswa Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana IPB

2

Staf Pengajar pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB

Abstract

It has been known that softshell turtle are traded for consumption in selected markets in Indonesia. However, there is no publication on the turtle trade for domestic consumption. This research aimed to assess trade of softshell turtle for domestic consumption in Jakarta. Study was conducted in Pasar Petak Sembilan from December 2013 to March 2014. We conducted snowball sampling to identify traders selling softshell turtle for food and interviewed them. During three months survey, total number of turtle sold were 8 818 kg, consist of 7 171.6 kg of Amyda cartilaginea (equal to 2 390.5 kg/month) and 1 646.5 kg of Trionyx siamensis (equal to 548.8 kg/month). Most of A cartilaginea came from South Sumatera (49%), Jambi (20%) and Lampung (19%), as well as some areas at West Java and Banten. Thirty four restaurants and three vendors selling softshell turtle food were identified, with number of needs about 4 kg of turtle meat/restaurants or vendors (equal to 4 440 kg/month). Price of serving varied between Rp 26 000–200 000.

Keywords : trade, quota, domestic consumption, A. cartilaginea

Pendahuluan

Suku labi-labi (Trionychidae) merupakan bagian dari kelompok kura-kura yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia (Iskandar 2000). Labi-labi dimanfaatkan sebagai bahan pangan dimana hampir seluruh bagian tubuhnya (daging,telur, darah, jeroan, lemak, karapas/batok) tidak luput dari pemanfaatan (Ginting 2012). Terdapat kepercayaan tradisional bahwa memakan labi-labi dianggap baik bagi kesehatan (Amri dan Khairuman 2002) terutama bagi beberapa etnis di Asia (Farajallah 2013).

(23)

Labi-labi termasuk satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang RI, namun masuk Apendiks II CITES tahun 2005 (Kusrini et al. 2009) dan dikategorikan vulnerable (rentan) menurut Red Data Book International Union for Conservation Nature (IUCN). Jenis-jenis yang terdaftar dalam Apendiks II CITES, perdagangannya diatur dengan kuota yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan selaku Management Authority CITES. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Tahun 2011, 2012 dan 2013 menyebutkan, provinsi yang mendapatkan kuota labi-labi sebanyak 14 provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 2014, terdapat penambahan 1 lokasi yaitu Sulawesi Tengah terkait upaya eradikasi labi-labi sebagai satwa introduksi di Sulawesi.

Penelitian-penelitian yang dilakukan sebagai dasar penetapan kuota lebih berorientasi survey populasi di alam, belum melihat kebutuhan konsumsi domestik. Selama ini konsumsi domestik dianggap lebih sedikit daripada ekspor (ID CITES MA 2008), namun tidak tertutup kemungkinan hal sebaliknya terjadi, seperti penelitian perdagangan kaki katak di Indonesia yang menunjukkan konsumsi dalam negeri jauh lebih besar daripada jumlah ekspor (Kusrini dan Alford 2006).

Penelitian ini bertujuan melihat karakteristik perdagangan labi-labi untuk konsumsi domestik di Jakarta dilihat dari: 1) jumlah, asal dan alur perdagangan dan 2) karakteristik konsumen, baik konsumen yang berupa rumah makan maupun konsumen perorangan. Penentuan Jakarta sebagai lokasi penelitian didasarkan asumsi bahwa Jakarta merupakan lokasi pemanfaatan labi-labi skala besar. Jakarta diketahui mempunyai pasar untuk jual beli labi-labi, seperti yang dijumpai di Mensalon-Nunukan, Malinau dan Pasar Induk Bulungan, Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) dan di Kalimantan Barat (Lilly 2010).

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi DKI Jakarta mulai akhir Desember 2013 sampai dengan akhir Maret 2014. Pengambilan data perdagangan labi-labi dilakukan di Pasar Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Pasar Petak Sembilan diketahui satu satunya pasar yang menjual labi-labi di Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu, pengambilan data rumah makan yang menjual labi-labi olahan mencakup seluruh wilayah DKI Jakarta (lihat Gambar 1.2 pada Hasil).

Metode Pengumpulan Data

(24)

8

Pendekatan pertama menggunakan metode snowball sampling dengan bantuan key informan, yaitu salah satu eksportir labi-labi. Eksportir tersebut menginformasikan salah satu pedagang labi-labi yang biasa menyuplai, dan dari pedagang tersebut selanjutnya diketahui pedagang lain yang juga berjualan labi-labi yang seluruhnya berjumlah 5 orang. Dari masing-masing pedagang kemudian dikumpulkan data melalui teknik wawancara tidak terstruktur mengenai jumlah kiriman labi-labi serta lokasi asalnya. Umumnya labi-labi yang dijual dalam kondisi hidup namun kemudian dipotong saat ada permintaan, oleh karena itu data penjualan yang disajikan dalam bentuk berat (kg) bukan jumlah (ekor). Data kura-kura jenis lain yang juga dijual pedagang labi-labi dicatat sebagai informasi tambahan. Pengukuran morfometri (meliputi berat, panjang dan lebar lengkung karapas) untuk mengetahui karakteristik labi-labi dilakukan terhadap 131 individu labi-labi yang dibeli konsumen, serta observasi terhadap konsumen untuk mengetahui karakteristiknya.

Pendekatan kedua dilakukan dengan metode survei dan inventarisasi untuk mengidentifikasi rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta. Survei menggunakan kata kunci pi-oh sebagai sebutan yang lazim bagi labi-labi yang biasa dikonsumsi. Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa rumah makan biasa menggunakan labi-labi jenis A. cartilaginea dari pasar sebagai bahan bakunya, sehingga diasumsikan rumah makan yang terdapat menu pi-oh, berarti memanfaatkan A. cartilaginea untuk diolah. Data yang dikumpulkan meliputi nama rumah makan, lokasi, harga dan informasi lain yang mendukung dilakukan melalui wawancara tidak terstruktur.

Analisis Data

Uji normalitas data dilakukan melalui uji one sample Kolmogorov-Smirnov. Data jumlah dan asal labi-labi yang diperdagangkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara lokasi asal labi-labi dengan jumlah yang dikirimkan, dilakukan uji Mann-Whitney pada selang kepercayaan 95%. Sementara itu, uji chi squaredilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan jumlah labi-labi yang dijual setiap hari, dan untuk mengetahui perbedaan antara jenis labi-labi yang dijual dilakukan uji independent sample t test pada selang kepercayaan 95%.

Hasil

Jumlah Labi-labi yang Diperdagangkan

Labi-labi yang diperdagangkan untuk konsumsi di pasar terdiri atas jenis A. cartilaginea (82%) dan Trionyx siamensis atau labi-labi Cina (18%). Sebagian pedagang menjual kedua jenis labi-labi tersebut, sebagian lagi hanya menjual jenis A. cartilaginea . Beberapa pedagang terkadang menjual kura-kura ambon (Cuora amboinensis) jika terdapat stok pengiriman, akan tetapi jumlah kura-kura ambon yang diperdagangkan tidak menjadi bagian dari penelitian ini. Menurut pedagang, kura-kura ambon biasa digunakan dalam acara keagamaan masyarakat Tionghoa.

(25)

kcenderungan jumlah pembelian yang meningkat menjelang akhir pekan (Gambar 2.1).

Terdapat perbedaan antara labi-labi jenis A. cartilaginea dengan T. siamensis dilihat dari berat (t = 14.261, P = 0.000, db = 129), panjang lengkung karapas (t = 17.457, P = 0.000, db = 129) dan lebar lengkung karapas (t = 16.875, P = 0.000, db = 129). Jenis A. cartilaginea mempunyai rata-rata berat 4.26 kg, rata-rata panjang lengkung karapas 33.81 cm dan rata-rata lebar lengkung karapas 27.92 cm (n=112), sedangkan jenis T. siamensis mempunyai rata-rata berat 0.84 kg, rata-rata panjang lengkung karapas 18.92 cm dan rata-rata lebar lengkung karapas 16.03 cm (n=19).

Tabel 2.1 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan per bulan

Spesies Bulan Jumlah (kg) Persentase

A. cartilaginea Desember 845.5

Januari 3390.0

Februari 1404.5

Maret 1531.6

Jumlah A. cartilaginea 7171.6 82

Rata-rata A. cartilaginea 2 390.5

T. siamensis Desember 384.0

Januari 570.0

Februari 401.5

Maret 291.0

Jumlah T. siamensis 1646.5 18

Rata –rata T. siamensis 548.8

Jumlah keseluruhan A. cartilaginea dan T. siamensis

8818.1 100

Rata-rata 2 939.4

Tabel 2.2 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan masing-masing pedagang

(26)

10

Gambar 2.1 Fluktuasi rata-rata harian jumlah pembelian labi-labi oleh konsumen di pasar dalam seminggu

Asal Labi-labi yang Diperdagangkan

Labi-labi jenis T. siamensis hanya berasal dari Karawang (Jawa Barat), sementara jenis A. cartilaginea berasal dari 12 lokasi, 5 lokasi merupakan provinsi yang mendapatkan ijin pemanfaatan labi-labi (Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Jambi dan Kalimantan), 7 lokasi lainnya tidak mendapatkan ijin pemanfaatan (Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Majalengka, Parung, Cikampek dan Serang). Tiga lokasi dengan dengan jumlah kiriman terbanyak adalah Palembang (3 482 kg atau 49%), Jambi (1 465 kg atau 20%) dan Lampung (1 332 kg atau 19%) sebagaimana Tabel 2.3.

Terdapat perbedaan jumlah labi-labi yang dikirim dari Jawa dan luar Jawa (U = 71.000, P < 0.05) dimana jumlah labi-labi dari luar Jawa ( ̅ = 48.61 kg, n = 51) lebih banyak dibanding dari Jawa ( ̅= 15.46 kg, n = 24).

Tabel 2.3 Jumlah labi-labi A. cartilaginea berdasarkan lokasi asal

Kategori Provinsi Daerah Jumlah (kg) Persentase

Jawa 703.6 10

Senin Selasa Rabu Kamis Jum'at Sabtu Minggu

(27)

Parung 2.5 berjenis kelamin laki-laki, rata-rata umur 40 tahun dengan tingkat pendidikan bervariasi, mulai lulus dari sekolah dasar sampai dengan pendidikan tinggi tingkat diploma tiga, serta berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tiga dari 5 pedagang memiliki hubungan keluarga, meskipun dalam hal berdagang mereka melakukannya secara profesional. Terdapat jaringan antar pedagang labi-labi di pasar, terlihat apabila salah satu pedagang tidak mempunyai stok labi-labi dengan kategori berat tertentu sesuai permintaan konsumen, maka stok tersebut diambil dari pedagang lainnya. Salah satu pedagang labi-labi di pasar menyebutkan, 4 rumah makan di Jakarta Barat mendapatkan labi-labi dari pedagang tersebut, akan tetapi untuk menyebutkan rumah makan lainnya yang juga mendapatkan labi-labi, pedagang tersebut merasa keberatan.

Karakteristik Pedagang Labi-labi Olahan

Pedagang labi-labi olahan terdiri atas 34 rumah makan dan 3 pedagang kaki lima. Keberadaan rumah makan tersebut menyebar di wilayah Jakarta, Jakarta Barat (n = 24), Jakarta Utara (n = 10), Jakarta Pusat (n = 2) dan Jakarta Timur (n = 1). Pedagang kali lima terpusat di Jakarta Barat, pada salah satu gang yang berdekatan dengan pasar. Sembilan rumah makan menjadikan hasil olahan labi-labi sebagai menu utama, 25 rumah makan yang lain menjadikannya sebagai pelengkap menu utama. Di Jakarta Barat, lokasi rumah makan berada di wilayah Mangga Besar, Sawah Besar, Mangga Dua dan Kebon Jeruk. Sementara itu di Jakarta Utara, dijumpai di Muara Karang, Penjaringan, perumahan Pantai Indah Kapuk dan Sunter (Gambar 1.2).

(28)

12

per hari. Pedagang tersebut terkadang membeli labi-labi dalam kondisi mati (jika pedagang labi-labi mempunyai stok labi-labi mati) dengan alasan harga beli lebih rendah dibandingkan membeli labi-labi kondisi masih hidup.

Pembelian labi-labi dapat terjadi dalam jumlah sedikit (1 atau 2 individu), serta dalam jumlah banyak (dapat mencapai 60 kg labi-labi). Pembelian labi-labi jumlah banyak, biasanya akan diantar ke rumah makan melalui kurir pedagang labi-labi. Sebelum membeli, rumah makan akan menanyakan terlebih dahulu ketersediaan labi-labi dan kondisinya, apabila dianggap sesuai oleh pihak rumah makan maka pemesanan segera dilakukan. Waktu pemesanan tidak dapat dipastikan, akan tetapi memiliki frekuensi satu atau dua kali dalam seminggu. Labi-labi yang dibeli dalam jumlah banyak tersebut dapat langsung dipotong atau dibawa hidup-hidup ke rumah makan, sesuai dengan permintaan rumah makan.

Gambar 2.2 Sebaran rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta

Karakteristik Konsumen

Sebanyak 102 (97%) dari 105 konsumen yang diamati merupakan masyarakat etnis Cina, diduga golongan ekonomi menengah ke atas, mengingat harga labi-labi relatif mahal yaitu Rp 60 000/kg untuk semua berat labi-labi (baik labi-labi berukuran kecil, sedang maupun besar). Konsumen dapat berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan dengan umur berkisar 25 tahun atau lebih. Beberapa konsumen perorangan dijumpai membeli labi-labi dalam frekuensi tertentu (1 atau 2 minggu sekali). Beberapa konsumen menyebutkan alasan mengkonsumsi labi-labi dikarenakan dipercaya baik untuk kesehatan dan mampu mengobati beberapa jenis penyakit, termasuk salah satu jenis kanker.

(29)

sebagian kecil hanya mengambil dagingnya saja. Lemak yang tidak diambil dimanfaatkan pedagang untuk membuat minyak bulus, sedangkan karapas atau batok dan empedu yang tidak diambil akan dikeringkan melalui penjemuran. Minyak bulus oleh pedagang dijual kembali dengan harga Rp 100 000 untuk 1 botol air mineral ukuran 600 ml, empedu yang dikeringkan dihargai Rp 2 000 per buah dan batok atau karapas dihargai Rp 15 000–Rp 20 000 untuk 5 buah. Empedu basah terkadang ada yang memakannya langsung dan biasanya diberikan secara cuma-cuma karena tidak banyak orang yang mengkonsumsinya. Menurut pedagang, minyak bulus dapat menambah kekencangan kulit, empedu dapat digunakan sebagai obat penyakit diabetes dan batok atau karapas selanjutnya diekstrak sebagai bahan baku obat. Adapun usus dalam jumlah banyak digunakan sebagai pakan ikan lele oleh salah satu pedagang yang terdapat di pasar.

Alur Perdagangan

Perdagangan labi-labi untuk konsumsi di Jakarta dilakukan dalam 2 jalur, yaitu melalui pasar serta jual beli langsung di rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi. Hal tersebut didasarkan informasi dari pedagang di pasar yang menyebutkan bahwa tidak semua rumah makan mendapatkan labi-labi dari pasar. Informasi salah satu rumah makan yang berada di dekat pasar juga menyebutkan, mereka mendapatkan labi-labi dari Palembang secara langsung, bukan membeli di pasar, sehingga alur perdagangan diduga seperti Gambar 2.3.

Labi-labi biasanya dikirim menggunakan sarana transportasi berupa truk, kereta maupun sepeda motor melalui orang yang telah biasa mengantarkan labi-labi dengan sistem pembayaran secara cash and carry maupun melalui transfer. Selama masa penelitian, baru sekali dijumpai pembayaran langsung oleh pedagang kepada pengantar, yaitu pada saat pengantar hanya mengirimkan labi-labi sebanyak satu individu dengan berat sekitar 5 kg. Pada kesempatan lain, pedagang tidak langsung membayar kepada pengantar, yang diduga pembayaran dilakukan melalui transfer setelah akumulasi beberapa kali pengiriman labi-labi.

(30)

14

Gambar 2.3 Alur perdagangan labi-labi untuk konsumsi di wilayah Jakarta

Pembahasan

Jumlah, Konsumen dan Harga Labi-labi yang Diperdagangkan untuk Konsumsi di Jakarta

Jenis A.cartilaginea diperdagangkan dalam jumlah lebih banyak dibandingkan jenis T. siamensis disebabkan pasokan jenis A. cartilaginea yang masuk ke pasar lebih banyak dibanding jenis T. siamensis. Pasaran jenis A. cartilaginea relatif dikuasai oleh pedagang Pardi (53%), sedangkan jenis T. siamensis (93%) relatif dikuasai oleh pedagang Joy. Hal tersebut diduga karena pasokan yang kontinu dan jumlah pemasok yang lebih banyak dibanding pedagang lainnya.

Bulan dengan penjualan tertinggi adalah Januari, diduga karena permintaan yang tinggi terkait dengan tahun baru Imlek yang banyak dirayakan oleh masyarakat etnis Cina, yang diketahui merupakan konsumen terbesar daging kura-kura (van Dijk et al. 2000). Pengambilan data yang dimulai akhir Desember dan kesulitan mendapatkan data pada bulan Februari, menyebabkan data perdagangan labi-labi yang tercatat pada kedua bulan tersebut tidak banyak. Melihat jumlah yang dijual per hari, hari Sabtu merupakan hari dengan penjualan tertinggi (Gambar 2.1), karena Sabtu merupakan hari libur sehingga diduga banyak konsumen yang membeli labi-labi untuk dinikmati bersama keluarga, mengingat konsumen yang ditemui banyak yang merupakan konsumen perorangan.

Penelitian ini menitikberatkan pada perdagangan jenis A. cartilaginea, dikarenakan pada tahun 2005 jenis tersebut masuk dalam Apendiks II CITES dan tahun 2008 masuk dalam kategori Review Significat Trade sehingga perlu ada perhatian khusus atas populasi alami, yang berarti pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai kaidah kelestarian (Kusrini et al. 2009) atau dalam kerangka Non Detriment Findings (NDF). Berdasar hal tersebut, jenis A. cartilaginea dipandang lebih memerlukan kajian-kajian terkait NDF assessment agar perdagangannya dalam lingkup internasional dapat berkelanjutan, dibandingkan dengan T. siamensis yang tidak terdaftar dalam Apendiks CITES. NDF assessment merupakan dasar dalam penentuan kuota tangkap bagi seluruh hidupan liar yang

Habitat

Penangkap sambilan

Penangkap profesional

Pemasok/ pengumpul

(31)

ditetapkan CITES yang membutuhkan data demografi, ekologi dan biologi untuk memastikan pemanenan jangka panjang dapat dilakukan dan tidak menyebabkan kepunahan.

Penetapan kuota dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, bekerjasama dengan LIPI dan berbagai pihak terkait, termasuk asosiasi pengusaha reptil (Nijman et al. 2012). Sembilan puluh persen kuota digunakan untuk ekspor dan 10% dimanfaatkan di dalam negeri. Tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014, A. cartilaginea mendapatkan kuota 28 000 individu per tahun untuk konsumsi dan pet, dengan rincian 25 200 individu untuk ekspor dan 2 800 individu untuk pemanfaatan dalam negeri. Jumlah tersebut dirinci lagi untuk ekspor (konsumsi dan pet) sejumlah 23 400 dan 1 800 individu, serta untuk dalam negeri (konsumsi dan pet) sejumlah 2 600 dan 200 individu (Ditjen PHKA 2010;2011).

Jumlah pemanfaatan domestik labi-labi melalui pendekatan jumlah labi-labi yang diperdagangkan di pasar menghasilkan angka pemanfaatan sejumlah 1 683.5 individu selama 3 bulan atau berkisar 6 733.9 individu selama 1 tahun, dengan asumsi rata-rata berat A. cartilaginea adalah 4.26 kg dan jumlah perdagangan relatif konstan. Dibandingkan dengan kuota pemanfaatan dalam negeri, jumlah tersebut sudah melebihi kuota yang ditetapkan (2.6 kali kuota). Selanjutnya, pendekatan jumlah pedagang kaki lima dan rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi serta informasi kebutuhan labi-labi per hari, menghasilkan angka pemanfaatan sebesar 4 440 kg per bulan setara dengan 1 042 individu atau sekitar 12 507 individu labi-labi per tahun, jika diasumsikan rata-rata berat labi-labi 4.26 kg dan kebutuhan labi-labi dianggap stabil setiap bulan. Jumlah yang juga masih melebihi kuota yang ditetapkan.

Hasil yang sama ditunjukkan dari kedua pendekatan tersebut, yaitu pemanfaatan labi-labi untuk konsumsi domestik yang melebihi kuota yang ditetapkan, yang membenarkan asumsi awal, bahwa Jakarta merupakan lokasi pemanfaatan labi-labi skala besar. Lokasi yang juga diduga mempunyai pemanfaatan domestik labi-labi yang tinggi adalah Kalimantan Timur, seperti hasil penelitian Kusrini et al. (2009) yang menyebutkan bahwa di salah satu pasar lokal jumlah labi-labi yang dijual mencapai 90–100 kg/minggu.

(32)

16

diasumsikan masyarakat mengkonsumsi A. cartilaginea di Indonesia adalah masyarakat Cina dan non Islam, maka berdasar hasil sensus penduduk tahun 2010 diketahui jumlah masyarakat yang beragama non Islam adalah 30 465 164 jiwa atau sebesar 13% dari total penduduk Indonesia (BPS 2010). Jumlah tersebut diduga merupakan konsumen potensial A. cartilaginea di Indonesia.

Harga labi-labi hidup di pasar adalah Rp 60 000/kg untuk semua ukuran berat, berbeda dengan Jambi, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, yang harganya didasarkan klasifikasi ukuran berat. Menurut Kusrini et al. (2009), di Kalimantan Timur terdapat 3 kelas berat, yaitu kelas < 20 kg (harga Rp 24 000/kg), kelas 20–30 kg (harga Rp 22 000/kg) dan kelas > 30 kg (harga Rp 20 000/kg). Di Sumatera Selatan, menurut Oktaviani dan Samedi (2008), harga tertinggi Rp 10 000–Rp 40 000/kg untuk berat 3.1–9.9 kg, sedangkan di Jambi dibedakan menjadi harga tingkat produsen (penangkap, pengumpul dan pedagang) dan tingkat konsumen (perorangan atau restoran). Pada tingkat produsen, harga labi-labi diklasifikasikan menjadi 3 ukuran berat yaitu: kelas kecil (berat < 7 kg), harga Rp 13 900–Rp 32 100; kelas super (berat 7–20 kg), harga Rp 21 500–Rp 44 200 dan kelas besar (berat > 20 kg), harga Rp 11 000–Rp 25 800. Pada tingkat konsumen, harga labi-labi untuk konsumen lokal Rp 35 000–Rp 40 000/kg, dan untuk konsumen di Jakarta Rp 40 000–Rp 50 000/kg (Ginting 2012).

Harga labi-labi relatif lebih mahal dibanding harga daging ayam (kurang lebih Rp 33 000/kg) dan lebih rendah dibanding harga daging sapi (kurang lebih Rp 96 000/kg), sehingga diduga bahwa konsumen labi-labi merupakan masyarakat etnis Cina golongan ekonomi menengah ke atas. Rata-rata harga makanan hasil olahan labi-labi berkisar Rp 70 000/porsi juga termasuk makanan yang cukup mahal, meskipun terdapat satu rumah makan yang menjual dengan harga Rp 26 000/porsi. Rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi merupakan rumah makan dengan makanan Cina (chinese food) sebagai sebagai tema khasnya. Rumah makan yang menjadikan labi-labi sebagai menu utama, biasanya menyajikan berbagai masakan berbahan dasar labi-labi. Lokasi rumah makan terpusat di beberapa lokasi yang diketahui banyak etnis Cina yang menghuninya.

Beberapa jenis lain yang juga diduga mempunyai pemanfaatan domestik yang tinggi, yaitu ular kobra (Naja sputatrix) dan biawak (Varanus salvator) di Jawa Tengah, karena kedua jenis tersebut banyak dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat (Kartikasari 2008). Tradisi masyarakat lokal di Taman Nasional Betung Kerihun juga memanfaatkan beberapa jenis satwa liar sebagai obat, yaitu bengkarung, baiwak, buaya, labi-labi, lakian, ular python dan ular sindok (Putra et al. 2008).

Asal Labi-labi yang Diperdagangkan di Jakarta

(33)

Lampung, padahal Lampung diketahui hanya mendapatkan kuota tangkap labi-labi sebagai pet.

Jakarta merupakan pintu ekspor labi-labi melalui jalur udara. Menurut Mumpuni dan Riyanto (2010), labi-labi yang akan diekspor dari Jambi, akan keluar melalui Tembilahan, Pekanbaru, Batam dan Jakarta. Sementara pintu ekspor labi-labi dari Palembang adalah Jakarta, Tembilahan dan Pekanbaru. Oleh karena itu labi-labi yang di perdagangkan di Jakarta dapat merupakan labi-labi yang tidak lolos ekspor.

Jawa Barat dan Banten merupakan provinsi yang tidak mendapatkan kuota, akan tetapi labi-labi dari kedua provinsi tersebut dapat dijumpai di pasar, sehingga dapat dikatakan bahwa labi-labi dari kedua provinsi tersebut adalah ilegal. Sementara itu, belum diketahui faktor yang menyebabkan kedua provinsi tersebut tidak mendapatkan kuota. Akan tetapi penemuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Auliya (2007) yang menyatakan, Jawa merupakan salah satu lokasi penyebaran labi-labi, dimana Jawa Barat dan Banten merupakan salah satu bagian daerah Jawa.

Terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah labi-labi yang dikirim dari luar Jawa dan dari Jawa, dimana rata-rata jumlah pengiriman dari luar Jawa lebih banyak dibandingkan dari Jawa. Hal tersebut diduga terkait dengan faktor jarak yang mengakibatkan biaya tempuh menjadi semakin besar dengan bertambahnya jarak. Pada jarak yang jauh, pengiriman akan lebih menguntungkan jika dilakukan dalam jumlah banyak, sedangkan pada jarak dekat, biaya tempuh yang dikeluarkan tidak besar, sehingga pengiriman dapat dilakukan untuk jumlah sedikit.

Simpulan

(34)

18

3

MAKALAH II: KARAKTERISTIK MORFOMETRI

LABI-LABI Amyda cartilaginea YANG DIPERDAGANGKAN UNTUK

KONSUMSI DI PROVINSI DKI JAKARTA

(Morfometric Characteristic of Common Softshell Turtle, Amyda cartilaginea, Traded for Consumption in Jakarta Province)

Dhian Eko Prastiwi1, Mirza D. Kusrini2, Ani Mardiastuti2

1

Mahasiswa Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah Pascasarjana IPB

2

Staf Pengajar pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB

Abstrak

Study on the domestic trade of Amyda has been neglected compared to study on the harvesting of this turtle in the wild for export purposes. This research aimed to identified morphometric characteristic of A. cartilaginea traded for consumption in Jakarta. Research was conducted at Pasar Petak Sembilan as the only A. cartilaginea market at Jakarta from March to April 2014. Non probablity sampling method was carried out by measuring 112 sample of A. cartilaginea bought by consumers. Most of A. cartilaginea (95%) sold were mature, and number of female is slightly larger than male (54%). There is tendency of sexual dimorphism (male were heavier and had longer body weight, carapace length and carapace width compared to females). The smallest sexual mature female was at 1.2 kg with 182 gr folicle and eggs, and smallest sexual mature male was 1.7 kg with 13.74 gr testis weight. There were no correlations between body weight, carapace length, carapace width with sexual mature indicator of A. cartilaginea.

Keywords: morfometric, A. cartilaginea, sexual mature

Pendahuluan

Salah satu jenis suku labi-labi, yaitu bulus atau common softshell turtle (Amyda cartilaginea) termasuk dalam Apendiks II CITES dan dikategorikan vulnerable menurut IUCN. A. cartilaginea biasa dikonsumsi ataupun dijadikan satwa peliharaan, baik di luar maupun dalam negeri (ID CITES MA 2008). Di dalam negeri, dijumpai sejumlah pasar yang menjual A. cartilaginea untuk dikonsumsi, seperti di Jakarta, Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) dan Kalimantan Barat (Lilly 2010).

(35)

Sumatera Utara. Hasil-hasil penelitian tersebut menggambarkan panenan yang lebih menekankan kepada pasar ekspor bukan domestik. Ada dugaan bahwa panenan dari lokasi-lokasi tersebut (lihat makalah I) juga masuk ke pasar domestik, terutama untuk A. cartilaginea dengan ukuran kecil.

Pengetahuan mengenai karakteristik A. cartilaginea yang diperdagangkan secara domestik penting karena dapat mengetahui konsep pemanenan yang dilakukan apakah telah menerapkan prinsip kelestarian dan keberlanjutan terhadap satwa liar tersebut atau belum. Tindakan pemanenan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan meningkatkan peluang kematian pada populasi satwaliar yang dipanen dan pada gilirannya memicu penurunan ukuran bahkan kepunahan populasi satwaliar tersebut. Pemanenan satwaliar secara lestari adalah konsep pemanfaatan satwaliar melalui pemanenan sejumlah anggota populasi dari habitat alaminya tanpa melebihi kemampuan populasi tersebut untuk mempertahankan ukuran minimum lestarinya melalui proses reproduksi. Konsep ini membutuhkan banyak pertimbangan dan informasi/data mengenai kondisi demografi, ekologi maupun biologi populasi satwaliar tersebut untuk dapat menentukan jumlah dan waktu panen serta ukuran maupun jenis kelamin individu satwa yang akan dipanen. Selain itu, sebagai satwa yang terdaftar dalam Apendiks II CITES, pemanfaatannya diatur melalui sistem kuota yang idealnya ditetapkan berdasar data demografi, ekologi dan biologi serta data tentang struktur populasi dalam bentuk time series dan untuk jangka waktu panjang.

Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik morfometri A. cartilaginea yang diperdagangkan untuk konsumsi di Jakarta, karena Jakarta diketahui mempunyai satu pasar yang menjual A.cartilaginea dengan jumlah penjualan yang tinggi. Pendekatan morfometri merupakan pendekatan dengan menggunakan ukuran atau massa bagian tubuh tertentu pada satwa liar. Karakteristik morfometri yang dimaksud meliputi ukuran berat A. cartilaginea, nisbah kelamin dan struktur umur berdasarkan PLK (panjang lengkung karapas). Identifikasi jenis kelamin pada A. cartilaginea yang diperdagangkan akan memberikan informasi proporsi antara jantan dan betina yang dipanen dan bagaimana implikasinya terhadap kelestarian A. cartilaginea di habitat alaminya. Karakteristik morfometri A. cartilaginea yang diwakili oleh ukuran PLK dan bobot tubuh menggambarkan ukuran individu A. cartilaginea yang dipanen dan apakah ada preferensi terhadap ukuran tertentu serta apa implikasinya terhadap populasi A. cartilaginea bila pemanenan dilakukan hanya pada ukuran tersebut. Penelitian ini juga bertujuan mengidentifikasi dewasa kelamin A. cartilaginea berdasar PLK dan LLK (lebar lengkung karapas).

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu

(36)

20

Metode Pengumpulan Data

Penentuan sampel menggunakan teknik non probability sampling yaitu quota sampling dikarenakan jumlah populasi labi-labi yang diperdagangkan tidak diketahui dengan pasti. Sampel merupakan A. cartilaginea yang dibeli konsumen dalam keadaan hidup dan dipotong di pasar, sehingga pengukuran (khususnya tanda dewasa kelamin), sangat bergantung pada konsumen. Jumlah sampel yang diukur berat, PLK dan LLK sebanyak 112 individu (n = 112), sementara yang dapat diukur tanda dewasa kelamin sebanyak 51 individu, terdiri dari 24 individu betina (n = 24) dan 27 individu jantan (n = 27).

Setiap individu A. cartilaginea yang akan dibeli konsumen, diukur beratnya terlebih dahulu dan selanjutnya dipotong seperti Gambar 3.1.

(a) (b)

Gambar 3.1 (a) Pengukuran berat dan (b) pemotongan A. cartilaginea yang dibeli konsumen

Setelah dipotong, dilakukan pengukuran metode curveline, yaitu mengikuti lengkung bagian tubuh yang diukur, dan menghasilkan data PLK dan LLK seperti Gambar 3.2.

(a) (b)

(37)

A. cartilaginea yang telah dipotong selanjutnya dibersihkan sehingga antara daging, lemak maupun organ tubuh lainnya terpisah dengan karapas. Pada proses tersebut identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan. Pengukuran tanda dewasa kelamin hanya dapat dilakukan jika konsumen bersedia memberikan waktu tambahan untuk identifikasi dewasa kelamin A. cartilaginea yang telah dibeli. Identifikasi juga dilakukan pada tanda dewasa kelamin yang tidak diambil konsumen. Tanda dewasa kelamin didasarkan modifikasi Ginting (2012), yaitu betina ditemukan kelompok telur bercangkang di oviduk atau terdapat folikel dalam ovarium (diameter >10 mm) atau dinding oviduk yang menebal. Jantan dinyatakan dewasa kelamin jika testis terlihat menebal dan berwarna kuning telur. Pengukuran tanda dewasa kelamin dengan cara mencatat berat telur oviduktal atau folikel (untuk betina), serta berat, panjang serta diameter testis untuk jantan seperti Gambar 3.3 dan 3.4.

Gambar 3.3 Pengukuran tanda dewasa kelamin A. cartilaginea betina

(38)

22

Analisis Data

Data berat, PLK, LLK, berat telur maupun berat testis diuji normalitasnya menggunakan one sample Kolmogorov-Smirnov. Data berat dikelompokkan dalam sejumlah interval berat untuk setiap jenis kelamin sehingga dapat memberikan gambaran ukuran berat A. cartilaginea yang diperdagangkan. Data PLK akan dikelompokkan menurut kisaran tertentu yang menunjukkan kelas umur tertentu berdasarkan Kusrini et al. (2007) yang membagi kelas umur menjadi 4 struktur umur berdasar PLK yaitu tukik/hatchling (≤ 5.9 cm), remaja/juvenile (6–19.9 cm), dewasa muda/sub adult (20–24.9 cm) dan dewasa/adult (≥ 25 cm).

Uji independent sample t test digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan A. cartilaginea jantan dan betina berdasar PLK, LLK dan berat pada taraf kepercayaan 95%. Analisis regresi sederhana untuk mengetahui hubungan antara berat dengan PLK dan LLK. Persamaan regresi yang akan diuji adalah:

y = β0 + β1 x1 + β2 x2 + e

dimana : y : berat

β0 : konstanta regresi

β1,β2 : koefisien regresi

x1,x2 : panjang dan lebar lengkung karapas

Disamping analisis regresi, dilakukan analisis korelasi sederhana Pearson untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel dalam hal data menyebar normal, korelasi Kendall tau-b atau Spearman untuk data yang tidak menyebar normal. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui hubungan antara berat tanda dewasa kelamin A. cartilaginea dengan berat, PLK dan LLK. Hal tersebut dikarenakan satuan yang biasa digunakan dalam perdagangan A. cartilaginea adalah berat (kg), sedangkan PLK biasa digunakan untuk menduga kelas umur A. cartilaginea. Persamaan regresi berganda yang akan diuji adalah:

y = β0 + β1 x1 + β2 x2 + β3 x3 + e

Nisbah Kelamin dan Struktur Umur A. cartilaginea

(39)

Tabel 3.1 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea

Minimum Maksimum

Rata-rata

Simpangan baku

Jantan (n=52)

PLK (cm) 24.5 54.5 35.83 5.51

LLK (cm) 21.0 42.5 29.53 4.03

Berat (kg) 1.5 17.5 4.93 2.68

Betina (n=60)

PLK (cm) 22.0 43.0 32.07 5.01

LLK (cm) 19.0 35.0 26.52 3.98

Berat (kg) 1.2 8.0 3.67 1.66

Tabel 3.2 Struktur umur A. cartilaginea*

Kelas Umur

PLK Struktur Umur Jumlah (individu) Jantan Betina

I ≤ 5.9 cm Tukik (hatchling) 0 0

II 6–19.9 cm Remaja (juvenile) 0 0

III 20–24.9 cm Dewasa muda (sub adult) 1 5

IV ≥ 25 cm Dewasa (adult) 51 55

Jumlah 52 60

*Struktur umur berdasarkan Kusrini et.al (2007)

Ukuran berat A. cartilaginea yang banyak dijual adalah 1.2–3.2 kg (32%), 3.3–5.3 kg (38%) dan 5.4–7.4 kg (28%). Untuk betina, proporsi ukuran berat terdiri atas : berat 1.2–3.2 kg (42%), berat 3.3–5.3 kg (33%) dan berat 5.4–7.4 kg (18%). Sementara jantan, proporsi berat terdiri atas : berat 1.2–3.2 kg (21%), berat 3.3–5.3 kg (37%) dan berat 5.4–7.4 kg (38%). Dapat dikatakan, A. cartilaginea betina yang dijual mempunyai ukuran berat lebih kecil dibanding jantan, sejalan dengan indikasi adanya dimorfisme seksual. Pengklasifikasian berat sesuai dengan rekomendasi CITES menghasilkan 35% berat yang diperdagangkan masih pada kisaran berat yang tidak direkomendasikan CITES untuk dipanen yang berarti regulasi tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik di lapangan.

Dijumpainya A. cartilaginea betina telah mempunyai telur pada berat 1.2 kg dan testis berwarna kuning kemerahan seberat 13.74 gr pada A. cartilaginea jantan dengan berat 1.7 kg, maka diasumsikan bahwa A. cartilaginea telah dewasa pada berat 1.2 kg untuk betina dan 1.7 kg untuk jantan. Gambaran populasi A. cartilaginea yang dijual berdasar kategori umur tersebut seperti terlihat pada Gambar 5.

(40)

24

Gambar 3.5 Struktur umur A. cartilaginea berdasarkan asumsi berat

Pendugaan Hubungan Antara Parameter Morfometri

Pada A. cartilaginea jantan, dapat dilakukan pendugaan berat berdasar PLK dan LLK (persentase sumbangan pengaruh sebesar 96.6%), serta pendugaan PLK berdasar berat dan LLK (persentase sumbangan pengaruh sebesar 96.9%). Persamaan hasil regresi tersebut hanya berlaku untuk kisaran berat A. cartilaginea dengan kisaran 1.5–17.5 kg sebagaimana hasil penelitian ini. Analisis regresi linier sederhana menghasilkan variabel PLK sebagai penduga terbaik untuk memprediksi berat. Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan positif yang sangat erat antara PLK dengan LLK (r=0.937), antara PLK dengan berat (r=0.962) dan antara LLK dengan berat (r=0.930).

Tabel 3.3 Hasil regresi antara berbagai variabel morfometri A.cartilaginea jantan

Persamaan Nilai

R R2 VIF Sig

Berat = -7.687+0.108LLK+0.258PLK 0.966 0.933 8.138 0.000

Berat = -7.269+0.335PLK 0.962 0.926 1.000 0.000

Berat = -7.796+0.423LLK 0.930 0.865 1.000 0.000

PLK = 14.690+1.939berat+0.403LLK 0.969 0.938 7.421 0.000

PLK = 22.701+2.764berat 0.962 0.926 1.000 0.000

PLK = -0.423+1.224LLK 0.937 0.877 1.000 0.000

Analisis regresi linier berganda menunjukkan multikolinieritas pada A. cartilaginea betina dalam menduga berat dan PLK sehingga asumsi klasik regresi linier berganda tidak terpenuhi. Analisis regresi linier sederhana menunjukkan hasil yang serupa dengan jantan, bahwa PLK menjadi variabel terbaik untuk menduga berat. Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan positif yang sangat erat antara PLK dengan LLK (r=0.975), antara PLK dengan berat (r=0.979) dan antara LLK dengan berat (r=0.963).

0 20 40 60

tukik juvenile dewasa muda dewasa

Jumlah (individu)

K

ela

s

umur

betina

(41)

Tabel 3.4 Hasil analisis antara berbagai variabel morfometri A.cartilaginea betina

Persamaan Nilai

R R2 VIF Sig

Berat = -6.862+0.073LLK+0.268PLK 0.980 0.960 20.042 0.000 Berat = -6.742+0.325PLK 0.979 0.958 1.000 0.000 Berat = -6.973+0.401LLK 0.963 0.927 1.000 0.000 PLK = 11.196+0.557LLK+1.665berat 0.986 0.972 13.707 0.000 PLK = 21.234+2.950berat 0.979 0.958 1.000 0.000 PLK = -0.414+1.225LLK 0.975 0.950 1.000 0.000

A. cartilaginea yang diidentifikasi tanda dewasa kelamin berjumlah 51 individu, terdiri atas betina (n=24) dan jantan (n=27). A. cartilaginea betina terkecil yang telah matang kelamin memiliki berat 1.2 kg, PLK = 22 cm dan LLK = 19 cm dengan jumlah 20 telur bercangkang dan 55 folikel seberat 182 gr. A. cartilaginea jantan terkecil yang dewasa kelamin pada PLK = 26.5 cm, LLK = 21.5 cm dan berat 1.7 kg dengan berat testis 13.74 gr (panjang 13.15 mm dan diameter 4.8 mm). Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea betina dan jantan yang dewasa kelamin sebagaimana Tabel 3.5 dan 3.6.

Tabel 3.5 Sebaran ukuran morfometri A.cartilaginea betina dewasa kelamin (n=24)

Variabel Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan baku

PLK (cm) 22.0 43.0 32.29 5.14

LLK (cm) 19.0 35.0 26.54 4.08

Massa (kg) 1.20 8.0 3.72 1.71

Tabel 3.6 Sebaran ukuran morfometri A. cartilaginea jantan dewasa kelamin (n=27)

Variabel Minimum Maksimum Rata-rata Simpangan baku

PLK (cm) 26.0 54.5 37.43 6.09

LLK (cm) 21.5 42.5 30.43 4.53

Massa (kg) 1.70 17.5 5.57 3.31

Hasil analisis regresi linier berganda tidak menunjukkan berat, PLK maupun LLK tidak berpengaruh terhadap ada tidaknya tanda dewasa kelamin A cartilaginea pada betina dan jantan, dengan nilai R, R2 dan signifikansi seperti Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Nilai R, R2 dan signifikansi hasil regresi linier berganda

Variabel Jantan (n = 27) Betina (n = 24)

R R2 signifikansi R R2 signifikansi

PLK 0.085 0.007 0.686 0.234 0.055 0.271

LLK 0.079 0.006 0.706 0.142 0.020 0.509

(42)

26

Tidak adanya pengaruh berat, PLK maupun LLK terhadap tanda dewasa kelamin menunjukkan ketiga variabel tersebut tidak dapat digunakan sebagai indikator dewasa kelamin A. cartilaginea. Analisis korelasi Pearson juga menunjukkan tidak terdapat hubungan antara PLK, LLK dan berat dengan tanda berat telur maupun berat testis pada A. cartilaginea betina dan jantan (Tabel 3.8).

Tabel 3.8 Nilai r dan signifikansi hasil analisis korelasi antara parameter morfometri dengan berat telur dan berat testis A. cartilaginea

Variabel Jantan Betina

r signifikansi r Signifikansi

PLK 0.085 0.686 0.234 0.271

LLK -0.079 0.706 0.142 0.509

Massa -0.031 0.883 0.314 0.136

Pembahasan

Nisbah Kelamin dan Struktur Umur A. cartilaginea

Sebanyak 95% A. cartilaginea yang dijual termasuk kelas umur dewasa dan 5% dewasa muda menurut klasifikasi umur Kusrini et al. (2007), serupa dengan hasil penelitian Lilly (2010) di Kalimantan Barat, Oktaviani dan Samedi (2008) serta Sentosa et al. (2013) di Sumatera Selatan. Menurut Oktaviani dan Samedi (2008), persentase kelompok umur dewasa yang lebih banyak tertangkap daripada dewasa muda dapat mengindikasikan ancaman terhadap rekruitmen populasi A. cartilaginea di alam. Ancaman tersebut berpeluang besar apabila A. cartilaginea dewasa yang ditangkap mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi. Populasi panenan yang didominasi oleh kelas umur dewasa dan dewasa muda dapat disebabkan oleh alat pancing berumpan yang digunakan para penangkap A. cartilaginea. Menurut Sterrett et al. (2010), penangkapan kura-kura dengan menggunakan alat pancing berumpan cocok digunakan untuk kura-kura omnivorus yang aktif melakukan foraging, tetapi tidak efektif dalam mendapatkan kura-kura dari kelas ukuran kecil. Hal tersebut memperkuat dugaan mengingat pada beberapa A. cartilaginea yang dipotong ditemukan mata pancing.

Jumlah A. cartilaginea betina yang dijual lebih banyak dibandingkan jantan, akan tetapi menurut Kusrini et al. (2009); Lilly (2010) dan Ginting (2012), tidak terdapat preferensi jenis kelamin dalam pemanenan A. cartilaginea. Proporsi jenis kelamin yang diperoleh sepenuhnya tergantung pada keberhasilan penangkapan, karena pemanenan A. cartilaginea tidak mengenal musim tertentu yang memungkinkan proporsi jenis kelamin mengelompok pada jenis kelamin atau kelas umur tetentu (Ginting 2012). Preferensi terhadap jenis kelamin tertentu dalam melakukan pemanenan memiliki sejumlah konsekuensi, dan kekhawatiran meningkat ketika pemanenan dilakukan terhadap individu betina dewasa. Individu betina lebih berperan dalam pertumbuhan populasi suatu spesies satwaliar karena memiliki fungsi sebagai penghasil keturunan, tetapi peran individu jantan terhadap keberhasilan proses reproduksi pun perlu mendapat pertimbangan (Ginting 2012).

Gambar

Tabel 2.1 Jumlah labi-labi yang diperdagangkan per bulan
Tabel 2.3 Jumlah labi-labi A. cartilaginea berdasarkan lokasi asal
Gambar 2.2 Sebaran rumah makan yang menjual hasil olahan labi-labi di Jakarta
Gambar 2.3 Alur perdagangan labi-labi untuk konsumsi di wilayah Jakarta
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cindy dan Yenny (2013),Mutia (2014), dan Wilda (2015) yang juga meneliti tentang pengaruh

Simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) secara keseluruhan keteram- pilan bolavoli kelompok siswa yang dilatih dengan latihan distribusi terbukti

Pada peternakan KJT, pola penurunan diare dan mortalitas anak babi lahir dari induk yang divaksinasi dengan vaksin ETEC dapat dilihat pada Gambar 4.. Penggunaan 2 dosis vaksin

Pemisahan kedua pengaturan ini didasarkan pada kemudahan dalam pembuatan skema pengaturan, karena dengan adanya pemisahan ini kita dapat melakukan pengukuran daya nyata dan

Kemudian arus eksitasi yang tersedia telah mencapai 25% dari arus eksitasi tanpa beban, maka contactor yang menghubungkan antara baterai dengan rotor generator akan

Stabilitas sistem daya untuk sebelum interkoneksi menunjukkan sistem masih dalam kondisi yang stabil dengan pemberian letak gangguan pada beberapa bus, hal ini dapat

Dapat dilihat pada hasil simulasi bahwa saat sistem dengan trafo cadangan menanggung beban yang lebih sedikit maka tahap yang dilakukan dalam pemisahan beban

Atlet PPLOP merupakan atlet remaja yang berada pada masa pertumbuhan dengan durasi dan intensitas latihan yang berat. Sehingga jaringan dan asupan gizi harus terpenuhi