• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PARAS LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

SRI HADIANTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Sri Hadianti

(4)

ABSTRAK

SRI HADIANTI. Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN.

Pemanasan global merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika paras laut. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dinamika paras laut di perairan Indonesia dengan menggunakan Map of Sea Level Anomaly

(MSLA) dari data satellite altimetry yang diperoleh dari data Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO) delayed time dari jenis Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS). Data satellite altimetry di ekstrak dari delapan stasiun di perairan lepas pantai Indonesia selama dua puluh tahun dari 14 Oktober 1992 sampai 4 April 2012. Hasil menunjukkan bahwa secara umum perairan Indonesia mengalami kenaikan paras laut. Kenaikan paras laut dari kedelapan stasiun selama periode dua puluh tahun mempunyai rata-rata sebesar 10.95 cm dengan nilai tertinggi sebesar 15.75 cm di Laut Banda. Secara umum, fluktuasi paras laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).

Kata kunci: dinamika paras laut, satelit, MSLA, AVISO, ENSO, IOD, perairan Indonesia.

ABSTRACT

SRI HADIANTI. Sea Level Dynamic in Indonesian Waters. Supervised by BISMAN NABABAN.

Global warming is one of several factors influencing sea level dynamic. This research was conducted to determine sea level dynamic in Indonesian waters using Map of Sea Level Anomaly (MSLA) of satellite altimetry data derived from Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic (AVISO) data delayed time from Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS). Satellite altimetry data were extracted from eight stations in Indonesian offshore for twenty years from 14 October 1992 until 4 April 2012. The results showeds that in general Indonesian waters experienced a rise in sea level. The increase of sea level from eight stations in Indonesian waters for the period of twenty years had an average of 10.95 cm with the highest of 15.75 cm in Banda Sea. Generally, fluctuations sea level in Indonesian waters were affected by El Niño-Southern Oscillation (ENSO) and Indian Ocean Dipole (IOD) phenomena.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DINAMIKA PARAS LAUT DI PERAIRAN INDONESIA

SRI HADIANTI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia Nama : Sri Hadianti

NIM : C54080039

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah dinamika paras laut, dengan judul Dinamika Paras Laut di Perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini, Dr. Ir. Vincentius Siregar, DEA. dan Dr. Henry Munandar Manik, S.Pi., MT. yang telah memberikan masukan dalam ujian akhir, Ayi Rahmat, S.Pi., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik, jajaran pegawai, staff, dan para dosen yang telah membantu penulis selama menjalankan masa studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, nenek, kakak, adik, seluruh keluarga dan teman-teman serta semua pihak atas segala doa dan kasih sayangnya dan juga yang telah membantu dalam penyusunan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk semua kalangan.

Bogor, Juni 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

METODE ... 3

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3

Bahan ... 4

Alat ... 4

Metode Perolehan Data ... 5

Metode Pengolahan Data ... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, dan Selatan Bali ... 8

Perairan Laut Natuna dan Utara Jawa ... 11

Perairan Utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua ... 12

SIMPULAN DAN SARAN ... 22

Simpulan ... 22

Saran ... 22

DAFTAR PUSTAKA ... 22

LAMPIRAN ... 25

(10)

DAFTAR TABEL

1 Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata laju MSLA pada delapan

stasiun ... 15

2 Nilai statistik hasil regresi berganda ... 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi 8 stasiun penelitian di perairan Indonesia ... 3

2 Contoh 9 titik sampling pada 1 stasiun ... 7

3 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Bali dibandingkan dengan SOI dan DMI ... 9

4 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada Laut Natuna dan bagian utara Jawa dibandingkan dengan SOI dan DMI ... 11

5 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada bagian utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua dibandingkan dengan SOI dan DMI ... 13

6 Pacific Decadal Oceanographic (PDO) index dari bulan Oktober 1992 hingga April 2012 ... 16

7 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA minimum ... 20

8 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA rata-rata ... 21

9 Keadaan perairan Indonesia pada nilai MSLA maksimum ... 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Listing program pemisahan delapan stasiun pada daerah Indonesia ... 25

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global yang terjadi belakangan ini berpengaruh nyata terhadap semua segi kehidupan di permukaan bumi termasuk di Indonesia. Menurut BMKG (2012), iklim yang ada di bumi sangat dipengaruhi oleh keseimbangan panas yang terjadi di bumi itu sendiri. Aliran panas di bumi dipengaruhi proses radiasi yang berasal dari matahari. Secara umum perubahan iklim yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia dan beberapa unsur alami. Aktifitas manusia menghasilkan empat macam gas rumah kaca yang utama yaitu : Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Oksida (N2O), dan Halocarbon (kelompok gas yang mengandung Flour, Chlor, dan Brom). Gas-gas ini terakumulasi di atmosfer sehingga konsentrasinya semakin meningkat dengan berjalannya waktu. Peningkatan yang signifikan pada semua gas-gas ini terjadi pada era industri (BMKG 2012).

Hasil pengamatan selama seratus lima puluh tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa suhu permukaan secara global mengalami peningkatan sebesar 0.05 oC/dekade, dan selama dua puluh lima tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0.18 oC/dekade (NOAA-ESRL 2007, BMKG 2012). Secara umum kecenderungan suhu paras laut di perairan Indonesia selama periode delapan belas tahun (Juli 1990 sampai Desember 2008) cenderung meningkat dengan kecenderungan yang relatif rendah (0.00002 sampai 0.00008). Secara statistik, nilai kecenderungan suhu paras laut di perairan Indonesia masih tergolong sangat rendah namun bernilai positif karena terjadi peningkatan nilai suhu. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan pola suhu paras laut di perairan Indonesia selama dua dekade terakhir ini cenderung meningkat (Nababan dan Gaol 2010). Kementrian Lingkungan Hidup (2012) menyatakan bahwa perubahan iklim yang dilihat dari segi rata-rata jangka panjang temperatur menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan sebesar 0.63 oC sepanjang dua puluh lima tahun terakhir, tetapi jika dilihat pada kurun waktu lima puluh dan seratus tahun, kenaikannya hanya sebesar 0.2 oC/abad. Dampak pemanasan global akan menyebabkan kenaikan suhu paras laut yang kemudian mengakibatkan terjadinya pemuaian air laut. Pemanasan global juga akan menyebabkan mencairnya es abadi di pegunungan serta di daerah Greenland dan Antartika (KLH 2012). Pemuaian air laut dan mencairnya es abadi akan menyebabkan naiknya paras laut. Selain itu, meningkatnya suhu air secara tidak langsung akan menambah volume air laut melalui proses pemuaian. IPCC (2007) memprediksikan bahwa kenaikan rata-rata paras laut akan meningkat antara 9 dan 88 cm pada tahun 1990 hingga tahun 2100, sejalan dengan peningkatan suhu bumi dengan kisaran antara 1.4 sampai 5.8 oC. Selain itu, IPCC (2007) juga memperkirakan bahwa pada tahun 2080, kenaikan paras laut bisa mengkonversi sebanyak 33% dari lahan basah pesisir di dunia menjadi lautan.

(12)

2

Beberapa riset terakhir menunjukkan bahwa proses mencairnya es meninggi seiring dengan makin intensifnya pemanasan global. Apabila proses pemanasan dan mencairnya es berlangsung seperti pada lima tahun terakhir ini, maka diprediksi kenaikan tinggi paras laut pada tahun 2100 sebesar 80 cm sampai 180 cm (Vermeer dan Rahmstorf 2009).

Penelitian mengenai perubahan paras laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan data citra satelit (Leben 2003, Nurmaulia et al. 2005, Nababan 2011, Gaol et al. 2012). Berdasarkan perhitungan rata-rata anomali paras laut dan analisis kecenderungan linier dari data altimetri satelit Topex selama kurun waktu ±10 tahun (Agustus 1992 sampai Juli 2002). Nurmaulia et al. (2005) menyimpulkan adanya kecenderungan peningkatan paras laut di perairan Indonesia. Dalam penelitian Nurmaulia et al. (2005) data anomali paras laut diambil dari data Topex yang aktif pada cycle 001 sampai 364 dengan menggunakan koordinat batas daerah kajian yaitu sekitar Samudera Hindia, Laut Jawa, Laut Bangka, Laut Maluku, dan Laut Banda. Perhitungan anomali paras laut dilakukan terlebih dahulu di setiap titik, kemudian dilakukan perhitungan rata-rata anomali paras laut dalam satu daerah tertentu per cycle selama sepuluh tahun (Nurmaulia et al. 2005).

Dalam penelitian ini data anomali paras laut diperoleh dari satelit altimetri Cryosat-2, OSTM/Jason-2, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, 1, ERS-2, dan Geosat selama kurun waktu dua puluh tahun dari tahun 1992 sampai 2012. Pemilihan stasiun (ekstraksi) data satelit altimeter dilakukan di daerah laut lepas untuk menghindari data error (noise) dari pengaruh daerah pesisir serta data satelit altimeter pada laut dalam (kedalaman > 1000m) sudah memiliki tingkat akurasi sampai 5 cm (Legresy dan Remy 1997, Carton dan Chao 1999, Leben et al. 2002, Leben dan Powel 2003, Yang et al. 2008).

Menurut UNDP (2007) sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17,000 pulau dan 80,000 kilometer garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap kenaikan paras laut. Kenaikan satu meter dapat menenggelamkan 405,000 hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2,000 pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu karang (UNDP 2007). Hal ini berpengaruh terhadap batas-batas negara, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan paras laut (UNDP 2007). Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, kita harus memperhatikan perubahan paras laut yang terjadi untuk mengetahui bagaimana keadaan pulau-pulau kecil, daerah pesisir dan dataran rendah di masa yang akan datang, masih akan ada atau menjadi lautan.

Tujuan Penelitian

(13)

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2012 sampai Februari 2014 di Laboratorium Inderaja Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, sedangakan untuk waktu data yang digunakan yaitu data selama 20 tahun mulai dari 14 Oktober 1992 hingga 4 April 2012 yang berupa data mingguan. Lokasi ekstraksi data satelit altimeter untuk penelitian ini diambil dari delapan titik koordinat stasiun yang berada pada perairan laut lepas di perairan Indonesia (Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi 8 stasiun penelitian di perairan Indonesia

(14)

4

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data paras laut satelit altimeter dari AVISO sistem DUACS jenis Delayed Time rangkaian Ref dengan tipe data Map of Sea Level Anomaly selama dua puluh tahun dengan format data mingguan. Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic data (AVISO) merupakan sistem pengumpulan data oseanografi dari beberapa tipe data satelit dan salah satu kumpulan data yang disediakan oleh AVISO ini adalah sistem Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS). DUACS merupakan bagian dari Centre National D’Etudes Spatiales (CNES) segmen dasar misi banyak Ssalto multimission ground segment (SSALTO). Data tersebut merupakan data hasil olahan dari beberapa satelit altimetri diantaranya Cryosat-2, OSTM/Jason-2, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, 1, ERS-2, dan Geosat (CNES 2012).

System DUACS dibuat dari tiga komponen yaitu Real Time (RT) data, Near Real Time (NRT) data dan Delayed Time (DT) data. Pada RT dan NRT, objek sistem utamanya adalah untuk menyediakan aplikasi cara kerja yang dapat digunakan secara langsung dari data Altimeter dengan kualitas yang tinggi dari semua misi yang tersedia. Pada DT, adalah untuk menegaskan ketetapan dan database Altimeter yang dengan mudah digunakan pengguna menggunakan bagian dari seni yang direkomendasikan dari komunitas altimetri (CNES 2012). Komponen Delayed Time dari sistem DUACS bertanggung jawab mengenai produksi dari hasil proses Criosat-2, Jason-1, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, ERS-1, ERS-2, dan bahkan data Geosat yang dihasilkan untuk menyediakan data homogen, kalibrasi dalam, dan ketelitian tinggi dalam rangkaian waktu yang panjang dari data altimeter Sea Level Anomaly (SLA) dan Map of Sea Level Anomaly (MSLA) (CNES 2012).

Data DT ini dibuat menjadi dua rangkaian, yaitu Updated (Upd) data dan

Reference data (Ref). Rangkaian Upd merupakan data yang sudah diperbaharui rangkaiannya menggunakan hingga 4 satelit pada waktu tertentu (diambil kedalam pertimbangan T/P pada orbit barunya dan GFO), menggunakan semua misi yang tersedia. Rangkaian Ref dibentuk berdasarkan hanya dua misi terbesar yaitu T/P dan ERS disertai Jason-1 dan Envisat atau OSRM/Jason-2 dan Envisat berurutan, pada dua orbit yang sama. Data ini homogen pada semua periode data yang tersedia. Sampling yang dilakukan telah stabil, tetapi mungkin tidak pada kualitas yang terbaik pada waktu yang diberikan. Penggunaan rangkaian Ref diutamakan untuk aplikasi yang membutuhkan ke stabilan yang bagus (tetapi masih harus dipertimbangkan bahwa datanya mungkin tidak pada kualitas yang terbaik) (CNES 2012). Berdasarkan data AVISO sistem DUACS ini terdapat beberapa tipe data yang mempunyai karakter masing-masing. Salah satu tipe data tersebut yaitu

Map of Sea Level Anomaly (MSLA) yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan grafik dinamika paras laut di Indonesia.

Alat

(15)

5 (MATLAB) R2010a, Surfer 10, ArcGIS, Minitab 15, Windows Movie Maker 2.6,

Microsoft Excel 2010, dan Microsoft Word 2010.

Metode Perolehan Data

Data Delayed Time dihasilkan dari produk AVISO Geophysical Data Records (GDR) untuk Topex/Poseidon, Jason-1, dan Envisat (GDR-A: siklus 1 sampai 22/GDR-B: siklus 23 sampai 85/GDR-C: dari siklus 86) dan dari NOAA GDR untuk GFO dan dari CERSAT (IFREMER) OPR untuk ERS-1 dan ERS-2 (fase C (pertama dari 35 hari terakhir dari ulangan periode orbit), fase E dan F (fase geodetik), fase G untuk ERS-1 (35 hari terakhir dari ulangan periode orbit, fase berurutan dua-dua dengan ERS-1)). Data disajikan dalam format NetCDF data yang dibaca pada Ocean Data View berupa grid data yang terbentuk dari titik-titik sampling. Data tersebut memiliki resolusi spasial 0.33o x 0.33o dalam periode mingguan. Data ini di proses melalui beberapa rangkaian yang dapat dibagi ke dalam tujuh tahap utama seperti akuisisi, homogenasi, kontrol kualitas data, kalibrasi silang misi banyak, dan generasi produk (CNES 2012). Semua proses ini dilakukan oleh AVISO.

Akuisisi

Proses akuisisi pada Delayed Data lebih sederhana dibandingkan pada Near Real Time. Proses ini terdiri dari proses sinkronisasi semua data pelengkap dibutuhkan homogenisasi yang baik dari data set altimeter. Tahap akuisisi menggunakan GDRs atau OPRs yang disediakan oleh agensi.

Homogenasi

Proses homogenasi terdiri dari menerapkan koreksi yang paling baru, model dan referensi yang direkomendasikan dari produk altimeter. Setiap misi diproses secara terpisah sesuai dengan keperluannya tergantung pada data dasar yang dimasukkan.

Memasukkan kontrol kualitas data

Pemasukkan kontrol kualitas data merupakan proses yang penting diterapkan untuk memberi jaminan bahwa DUACS menggunakan hanya data altimeter yang paling akurat. Proses ini menolak persentasi kecil dari perhitungan altimeter, tetapi data yang keliru ini dapat menjadi penyebab hilangannya kualitas yang signifikan. Kontrol kualitas dipercayakan pada standar dasar perbaikan data dengan label kualitas atau parameter awal, tetapi juga pada algoritma kompleks perbaikan data berdasarkan pada deteksi dari kekeliruan artefak, mono, dan validasi persilangan misi banyak, serta statistik makroskopik untuk memperbaiki aliran keluar data yang besar agar tidak bertemu sistem syarat.

Kalibrasi silang misi banyak

(16)

6

misi banyak global untuk kesalahan reduksi orbit atau Orbit Error Reduction

(OER) dan interpolasi optimal atau Optimal Interpolation (OI) untuk Long Wavelength Errors (LWE).

Generasi Produk

Proses generasi produk tersusun atas empat tahap, yaitu perhitungan SLA mentah, validasi silang, filter dan sub-sampling, dan generasi pada produk. Ketika geoid masih belum dikenal secara baik, Sea Surface Height (SSH) tidak dapat digunakan secara langsung, bahkan anomali SSH malah digunakan. Mereka dihitung dari perbedaan SSH instan berdasarkan referensi temporal. Referensi temporal ini dapat berupa Mean Profile (MP) pada kasus analisis ulangan jalur atau jaringan Mean Sea Surface (MSS) ketika analisis ulangan jalur tidak dapat digunakan. Kesalahan yang mempengaruhi data SLA, MP, dan MSS mempunyai perbedaan jarak dan panjang gelombang.

Perhitungan SLA mentah merupakan tahap awal pada proses ini. Pada analisis ulangan jalur (ketika satelit terbang diluar ulangan orbit), perhitungan dilakukan dari sampel ulang sepanjang teoritis jalur dasar (atau jalur tengah) dihubungkan pada setiap misi. MP dikurangi dari sampling ulang data untuk menghasilkan SLA. MP merupakan waktu rata-rata dari sampling ulang data yang serupa selama waktu yang panjang. Perhitungan MP bukan rata-rata yang sederhana dari lokasi yang bersamaan dengan data SSH dari jalur dasar yang sama pada periode maksimum dalam waktu yang memungkinkan. Analisis ulangan jalur tidak memungkinkan bagi ERS-1 pada 168 hari misi geodetik (fase E-F dari April 1994 hingga Maret 1995) atau untuk Envisat sejak November 2010, dan untuk misi Cryosat-2 (C2) karena satelitnya tidak berada pada fase jalur ulangan. Alternatif untuk mengisi kekosongan tersebut yaitu dengan menggunakan MSS. Jaringan MSS diperoleh sepanjang jalur MP dan data dari fase geodetik. Terdapat beberapa error pada MP yang juga terdapat pada MSS.

Setelah analisis ulangan jalur, teknik validasi silang digunakan sebagai proses penyaringan utama terhadap isolasi dan sedikit kesalahan perhitungan. Aliran SLA dibandingkan terhadap data sebelumnya dan data set SLA yang utama menggunakan klimatologi selama dua belas tahun dan tiga kriteria sigma untuk menghilangkan pencilan. Sisa gangguan dan skala signal yang kecil dihilangkan dengan melakukan penyaringan data menggunakan penyaringan Lanczos. Sebagai data yang telah disaring dari skala yang kecil, sub sampling telah selesai diterapkan, kemudian data jalur SLA diproduksi. Harus diingat bahwa penyaringan dan sub sampling diadaptasi untuk setiap bagian dan produk sebagai fungsi dari karakteristik area dan asimilasi yang diperlukan.

Penggabungan

(17)

7 Kontrol Kualitas Akhir

Kontrol kualitas merupakan proses terakhir terhadap DUACS sebelum produknya dikirim. Disamping itu, untuk kontrol harian otomatis dan peringatan terhadap operator, setiap produksi dikirim sebagai laporan QC besar terdiri dari catatan detail, gambar, dan statistik dari setiap tahapan proses. Ahli altimetri menganalisis laporan ini sebanyak dua kali setiap minggunya. Laporan pendek dikirim ke pengguna DUACS setiap pengiriman produk. Setelah produk tersebut selesai dihasilkan, ditampilkan dalam format Network Common Data Form

(NetCDF) yang disajikan di ftp://ftp.aviso.oceanobs.com/ yang dapat di download

secara gratis setelah melakukan registrasi secara online.

Data sekunder lain yang digunakan yaitu data nilai Southern Oscillation Index (SOI) untuk mengetahui periode terjadinya El-Niño dan La-Niña selama 20 tahun sesuai dengan data AVISO yang telah didapatkan. Data SOI yang digunakan yaitu data bulanan yang diperoleh dari situs http://www.bom.gov.au/ climate/current/soihtm1.shtml yang telah dikalibrasi berdasarkan perhitungan nilai mean dan standar deviasi selama periode 1933 sampai dengan 1992. Kemudian data tambahan lainnya yaitu data nilai Dipole Mode Indeks (DMI) untuk mengetahui fenomena Dipole Mode di Samudera Hindia diperoleh dari situs http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/DATA/dmi.monthly.ascii dengan format data bulanan.

Metode Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data altimeter dilakukan sebagai berikut: (1) Download data dari situs ftp://ftp.aviso.oceanobs.com/, (2) Pembacaan data NetCDF dengan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV), (3) Cropping terhadap koordinat wilayah se Indonesia, (4) Ekspor data dari ODV ke dalam format .txt, (5) Pemisahan data delapan stasiun menggunakan syntax pada perangkat lunak MATLAB, (4) Penyusunan data dan grafik masing-masing stasiun di Microsoft Excel. Gambar 2 menunjukkan gambaran data NetCDF ditampilkan pada ODV yang terdiri dari beberapa titik sampling yang mengandung nilai anomali paras laut. Kotak yang berwarna merah merupakan salah satu contoh koordinat stasiun, yaitu stasiun selatan Bali yang diambil dari kumpulan data 9 titik sampling yang saling berdekatan.

(18)

8

Proses pengolahan paras laut dilakukan di Microsoft Excel. Dari sembilan titik sampling pada masing-masing stasiun tersebut dihasilkan delapan titik koordinat pada satu stasiun yang mewakili satu data. Dari kesembilan data titik sampling tersebut diambil rata-ratanya sehingga didapatkan satu data pada satu stasiun pada waktu tertentu. Data yang telah diperoleh di plotkan kedalam bentuk grafik pada Excel yang akan menampilkan grafik kecenderungan perubahan paras laut selama dua puluh tahun yang terjadi pada delapan stasiun di perairan Indonesia. Proses pengolahan SOI dan DMI dilakukan plotting grafik dari data bulanan yang telah diperoleh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa, dan Selatan Bali

Pada lokasi stasiun 1 di Sumatera Barat, stasiun 2 di laut Selatan Jawa, dan stasiun 3 di laut Selatan Bali menunjukkan kenaikan paras laut dengan persamaan berturut-turut y = 0.0079x - 0.9818, y = 0.0097x – 1.1744, dan y = 0.0099x – 2.0364, nilai y merupakan anomali paras laut dan x merupakan waktu dalam hal ini mingguan. Berdasarkan selisih nilai paras laut yang dihasilkan dari slope

grafik yang terbentuk pada data awal hingga data akhir dihasilkan kenaikan paras laut setinggi 8.0264 cm pada stasiun 1, 9.8552 cm pada stasiun 2, dan 10.0584 cm pada stasiun 3 selama dua puluh tahun.

Gambar 3 menunjukkan kecenderungan dinamika paras laut beberapa stasiun yang berada di bagian selatan Indonesia yang berhubungan langsung dengan Samudera Hindia beserta grafik SOI dan DMI. Pada gambar tersebut, sumbu y mewakili tingginya anomali paras laut dan sumbu x mewakili waktu dalam periode mingguan, sedangkan komponen yang terdapat dalam grafik SOI dan DMI yaitu sumbu y1 di sebelah kiri merupakan nilai SOI dengan rentang -40 hingga 40, y2 di sebelah kanan grafik merupakan nilai DMI dengan rentang -2 sampai 3, dan sumbu x yang mewakili waktu dengan periode bulanan. Pada grafik terlihat fluktuasi paras laut yang dihasilkan dari ketiga stasiun dengan garis berwarna hijau selama dua puluh tahun, sedangkan garis yang berwarna kuning merupakan garis linear (slope) dari anomali paras laut selama periode pengamatan yang merupakan garis kecenderungan (trend) paras laut. Pada grafik SOI dan DMI, garis biru mewakili nilai SOI, sedangkan garis merah mewakili nilai DMI.

(19)

9

Gambar 3 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Bali dibandingkan dengan SOI dan DMI

Jika dibandingkan terhadap grafik SOI dan DMI terjadi fenomena dan dinamika yang berbanding lurus dengan SOI, sedangkan dengan DMI berbanding terbalik. Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan persamaan pada sasiun 1, 2, dan 3 berturut turut yaitu MSLA = 3.43 + 0.209 SOI - 7.96 DMI; MSLA = 4.24 + 0.387 SOI - 8.83 DMI; MSLA = 3.24 + 0.410 SOI - 2.90 DMI. Pada stasiun 1 dihasilkan nilai R2 sebesar 39.9% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 1 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode sebesar 39.9%. R2 adalah koefisien determinasi berganda yang menunjukkan seberapa besar kemampuan semua variabel bebas dalam menjelaskan varians dari variabel terikatnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa jika nilai R2 tidak mencapai 100% berarti variabel terikat yang dihasilkan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh variabel bebas yang telah ditentukan dalam regresi linear berganda tersebut, yang berarti juga ada variabel bebas lain yang ikut andil dalam mempengaruhi nilai variabel terikat tersebut. Untuk pengaruh dari SOI

(20)

10

sendiri yaitu sebesar 17.7% dengan persamaan regresi MSLA = 3.08 + 0.313 SOI , sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 32,6% dengan persamaan regresi MSLA = 3.47 - 9.25 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 1 ini nilai dari DMI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai SOI.

Pada stasiun 2 dihasilkan nilai R2 sebesar 39.5% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 2 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan

Dipole Mode sebesar 39.5%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 24.7% dengan persamaan regresi MSLA = 3.86 + 0.502 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 26% dengan persamaan regresi MSLA = 4.32 - 11.2 DMI. Pengaruh SOI dan DMI pada stasiun ini memiliki andil yang hampir sama. Pada stasiun 3 dihasilkan nilai R2 sebesar 29.7% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 3 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan

Dipole Mode sebesar 29.7%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 27.4% dengan persamaan regresi MSLA = 3.12 + 0.447 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 8.5% dengan persamaan regresi MSLA = 3.33 - 5.42 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 3 ini nilai dari SOI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai DMI, yang berarti berbanding terbalik dengan stasiun 1.

Nilai terendah yang dihasilkan pada ketiga stasiun ini yaitu terjadi pada tahun antara akhir 1997 hingga awal 1998, sesuai dengan terjadinya nilai SOI yang terendah. Terjadi penurunan penurunan pada akhir tahun 1994 hingga awal tahun 1995, tahun 2007 awal, tahun 2010 awal dan tahun 2011 akhir. Tetapi penurunan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut tidak terlalu ekstrim. Berdasarkan grafik SOI pada tahun 1994 hingga awal tahun 1995 memang terjadi El Niño, tetapi tidak terlalu tinggi. Peristiwa El Niño yang telah menyebabkan penurunan drastis tersebut, menyebabkan terjadinya fenomena naiknya paras laut yang cukup tinggi saat periode El Niño tersebut habis. Hingga Juni 1998, termoklin menjadi sangat dangkal di pasifik tengah, hingga menghasilkan kondisi yang baik untuk dimulainya La Niña. Selama fase awal La Niña (Januari 1998), termoklin di ekuator di Pasifik Barat semakin dalam. Pada fase La Niña ini paras laut lebih tinggi dari keadaan biasanya, karena dipengaruhi oleh curah hujan yang lebih tinggi juga. Kenaikan yang sangat drastis pada tahun 2011 akibat adanya La Niña yang langsung diikuti oleh fenomena El Niño pada tahun 2011 akhir yang menyebabkan penurunan nilai secara drastis pula.

(21)

11 Perairan Laut Natuna dan Utara Jawa

Pada stasiun 4 di Laut Natuna dan stasiun 2 di bagian utara Jawa terlihat juga adanya kecenderungan kenaikan paras laut dengan persamaan berturut-turut y = 0.0069x - 0.8643 dan y = 0.0111x – 2.0395 (y merupakan anomali paras laut dan x merupakan waktu dalam mingguan). Berdasarkan selisih nilai paras laut yang dihasilkan dari slope grafik yang terbentuk pada data awal hingga data akhir dihasilkan kenaikan paras laut setinggi 7.0104 cm pada stasiun 4 dan 11.2776 cm pada stasiun 5 selama dua puluh tahun. Selisih nilai paras laut yang dihasilkan di Laut Natuna merupakan selisih terendah diantara selisih nilai stasiun yang lain yang berarti kenaikan paras laut yang dialami di daerah Laut Natuna merupakan kenaikan yang paling rendah. Variabilitas yang terjadi secara musiman, terjadi penurunan dan peningkatan setiap enam bulan. Secara umum pada satu tahun terjadi satu kali kenaikan dan penurunan yang signifikan. Penurunan terjadi pada musim kemarau pada bulan Agustus, sedangkan kenaikan terjadi pada bulan Desember.

Gambar 4 menunjukkan kecenderungan dinamika paras laut di Laut Natuna dan bagian utara Jawa beserta grafik SOI dan DMI. Garis berwarna coklat merupakan fluktuasi yang terbentuk dari nilai anomali paras laut yang dihasilkan selama dua puluh tahun, sedangkan garis yang berwarna jingga merupakan garis linear (trend) dari anomali paras laut.

Gambar 4 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada Laut Natuna dan bagian utara Jawa dibandingkan dengan SOI dan DMI

(22)

12

Keadaan fluktuasi di stasiun Laut Natuna yang terlihat teratur ini bukan berarti bahwa Laut Natuna tidak dipengaruhi oleh pengaruh El Niño maupun La Niña. Hal ini bisa disebabkan karena pengambilan titik stasiun di sekitar laut ini berdekatan dengan pantai, sehingga data altimetri yang digunakan tidak terlalu tepat karena data altimetri seharusnya diambil pada laut dalam yang sudah tidak dipengaruhi oleh data error (noise) dari pengaruh daerah pesisir (Legresy dan Remy 1997, Carton dan Chao 1999, Leben et al. 2002, Leben dan Powel 2003, Yang et al. 2008). Dinamika yang terjadi pada stasiun Utara Jawa terlihat bahwa terjadi kenaikan paras laut yang cukup tinggi pada periode pertengahan tahun 2009, akhir tahun 2010, dan awal tahun 2012. Terjadinya kenaikan paras laut yang cukup drastis tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh La Niña. Saat fenomena La Niña terjadi, air yang dibawa turun ke daerah ini dari samudera pasifik menjadi meningkat, curah hujan juga meningkat, sehingga paras laut mengalami kenaikan lebih tinggi dari biasanya.

Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan persamaan pada sasiun 4 dan 5 berturut turut yaitu MSLA = 2.76 + 0.256 SOI - 0.54 DMI dan MSLA = 3.79 + 0.330 SOI - 2.07 DMI. Pada stasiun 4 dihasilkan nilai R2 sebesar 9.5% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 4 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode sebesar 9.5%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 9.4% dengan persamaan regresi MSLA = 2.73 + 0.263 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 1.3% dengan persamaan regresi MSLA = 2.81 - 2.12 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 4 ini nilai dari SOI lebih berpengaruh dibandingkan dengan nilai DMI walaupun kedunya tidak terlalu berpengaruh banyak terhadap nilai anomali paras laut yang dihasilkan. Pada stasiun 5 dihasilkan nilai R2 sebesar 29.8% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 5 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode

sebesar 29.8%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 28% dengan persamaan regresi MSLA = 3.70 + 0.357 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 7.8% dengan persamaan regresi MSLA = 3.86 - 4.10 DMI. Pengaruh SOI dan DMI pada stasiun ini juga lebih besar pengarui SOI dibanding pengaruh DMI, sama seperti pada stasiun Laut Natuna.

Perairan Utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua

(23)

13 Hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya atau tenggelamnya pulau-pulau kecil yang berada disekitarnya. Variabilitas yang terjadi pada stasiun utara Selat Makassar dan utara Papua terjadi secara bulanan, setiap tiga bulannya terjadi dua kali kenaikan dan penurunan. Pada stasiun Laut Banda variabilitas yang terjadi yaitu secara musiman, dan secara garis besar pada satu tahun terjadi satu kali penurunan dan kenaikan, penurunan yang terjadi sekitar bulan Juli atau pertengahan musim kemarau, sedangkan kenaikan terjadi pada musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, antara bulan Maret dan April.

Gambar 5 Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada bagian utara Selat Makassar, Laut Banda, dan Utara Papua dibandingkan dengan

SOI dan DMI

(24)

14

grafiknya berbeda-beda. Dinamika yang terjadi pada stasiun Selat Utara Makassar strait ini tidak terlalu berfluktuatif, melainkan terlihat sekali anomali dari dinamika paras laut yang mengalami penurunan drastis dan juga kenaikan yang drastis.

Paras laut mengalami peningkatan sangat drastis juga yang terjadi pada 2010 akhir. Terjadinya kenaikan paras laut yang cukup drastis dalam kurun waktu cukup lama tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh La Niña. Saat fenomena La Niña terjadi mengakibatkan menguatnya angin timuran yang membuat air terakumulasi di sepanjang Pasifik barat, menyebabkan melambatnya pembentukan kembali kolam panas. Seiring dengan semakin intensif dan meluasnya kolam panas, termoklin juga semakin dalam. Proses ini terus berlangsung hingga terbentuk kondisi yang menguntungkan untuk berkembangnya El Niño (Santriyani dan Octarina 2011). Transisi ini jauh lebih lambat, hingga memakan waktu sekitar satu sampai dua tahun, yang bisa kita lihat secara langsung bahwa El Niño yang terjadi pada stasiun ini berlangsung 1 tahun setelah La Niña terjadi. Dinamika yang terjadi di stasiun 7 teratur walaupun rentang nilai antara fluktuasi dari naik hingga turun cukup jauh. Untuk dinamika yang terjadi pada stasiun utara Papua berfluktuatif secara tidak teratur. Terdapat banyak penurunan yang cukup tajam. Selain di tahun 1998, penurunan yang mencolok yaitu pada tahun 2003, tahun 2010 awal dan 2011 akhir. Jika dibandingkan dengan grafik SOI dan DMI, ketiga grafik stasiun tersebut tidak ada yang mempunyai pola serupa, walaupun pada stasiun utara Papua terlihat agak berbanding lurus dengan grafik SOI yang ditampilkan.

Berdasarkan nilai statistik dari hasil regresi berganda didapatkan persamaan pada sasiun 6, 7, dan 8 berturut turut yaitu MSLA = 4.48 + 0.393 SOI - 1.02 DMI; MSLA = 4.60 + 0.509 SOI - 0.96 DMI; MSLA = 4.58 + 0.476 SOI - 0.673 DMI. Pada stasiun 6 dihasilkan nilai R2 sebesar 42.9% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 1 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan

Dipole Mode sebesar 42.9%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 42.47% dengan persamaan regresi MSLA = 4.43 + 0.406 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 6.4% dengan persamaan regresi MSLA = 4.56 - 3.44 DMI. Berdasarkan nilai regresi dari SOI dan DMI terlihat bahwa pada stasiun 6 ini nilai dari SOI lebih berpengaruh banyak dibandingkan dengan nilai DMI.

Pada stasiun 7 dihasilkan nilai R2 sebesar 36.5% yang menunjukkan bahwa nilai anomali paras laut pada stasiun 7 ini dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan Dipole Mode sebesar 36.5%. Untuk pengaruh dari SOI sendiri yaitu sebesar 36.3% dengan persamaan regresi MSLA = 4.56 + 0.522 SOI, sedangkan untuk pengaruh DMI sebesar 4.7% dengan persamaan regresi MSLA = 4.71 - 4.10 DMI. Pada stasiun ini juga lebih berpengaruh fenomena ENSO dibanding dengan

(25)

15 Dinamika paras laut di Indonesia ditampilkan dalam delapan grafik kecenderungan dari delapan titik stasiun yang ada di Indonesia. Delapan grafik tersebut menampilkan bahwa semua daerah di Indonesia pada umumnya mengalami kenaikan paras laut. Kenaikan yang terjadi selama dua puluh tahun ini memang tidak terlalu signifikan, yaitu rata-rata kenaikan paras laut dari delapan stasiun yaitu 10.95 cm yang diambil dari delapan data kenaikan paras laut dari masing-masing stasiun. Walaupun jika dilihat dari nilainya, nilai tersebut merupakan nilai yang sangat kecil, tetapi nilai tersebut merupakan nilai rata-rata dan bisa saja terjadi kenaikan paras laut yang cukup tinggi dan menyebabkan banjir rob ke daratan saat terjadi kenaikan paras laut di titik yang maksimal.

Berdasarkan data MSLA dari delapan stasiun tersebut didapatkan nilai kenaikan paras laut selama dua puluh tahun yang tertinggi yaitu 15.75 cm di stasiun Laut Banda yang dihitung berdasarkan slope yang dihasilkan dari grafik, selisih antara nilai y pada akhir pengukuran dengan nilai y pada awal pengukuran. Nilai kenaikan paras laut yang terendah terjadi di stasiun Laut Natuna. Dari grafik kecenderungan tersebut dapat diketahui slope kenaikan paras laut yang dapat dijadikan bahan acuan untuk prediksi beberapa tahun ke depan.

Laju paras laut pada setiap stasiun di seluruh Indonesia berdasarkan nilai maksimum, minimum dan rata-ratanya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, ditunjukkan oleh Tabel 1. Nilai paras laut maksimum yang tertinggi terjadi di stasiun selatan Jawa dengan nilai 46.29 cm. Nilai paras laut minimum yang terendah terjadi di stasiun barat Sumatera dengan nilai -31.99 cm. Nilai rata yang dihasilkan memiliki rentang antara 2.66 cm sampai 4.51 cm. Nilai rata-rata tersebut dihasilkan dari nilai rata-rata-rata-rata selama dua puluh tahun masing-masing stasiun dari nilai anomali paras laut pada 9 titik sampling yang telah dirata-ratakan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Selama periode dua puluh tahun terlihat bahwa fluktuasi yang terjadi sangatlah besar, rentang yang dihasilkan antara nilai minimum dan maksimum cukup besar dengan nilai rata-rata yang jauh dari kedua nilai tersebut.

Tabel 1 Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata laju MSLA pada delapan stasiun

Stasiun Maksimum Minimum Rata-rata

1 30,70 -31,99 3,03

(26)

16

paling berpengaruh terjadi di stasiun 8, yaitu bagian Utara Papua. Hal tersebut dapat dikarenakan stasiun ini berada paling dekat dengan Samudera Pasifik, sehingga fenomena El Niño dan La Niña berpengaruh lebih kuat pada stasiun ini, walaupun pengaruh dari DMInya rendah. Pengaruh DMI yang paling tinggi terjadi di stasiun 1, bagian barat Sumatera. Hal ini juga dapat disebabkan karena stasiun barat Sumatera ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan Samudera Hindia, sehingga pengaruh dari fenomena Dipole Mode lebih besar.

Tabel 2 Nilai statistik hasil regresi berganda Stasiun Maksimum Minimum Rata-rata

1 39.9 17.7 32.6

Dari data statistik yang dihasilkan, pengaruh dari SOI dan DMI ini tidak ada yang mencapai hingga 50%, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai anomali paras laut yang dihasilkan bukan hanya dipengaruhi oleh fenomena ENSO dan

Dipole Mode saja, melainkan dapat dipengaruhi oleh variabilitas lainnya. Variabilitas paras laut Indonesia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengaruh dinamika atmosfer wilayah Indonesia, curah hujan, angin, ENSO, Dipole Mode, Pacific Decadal Oceanographic (PDO), pasang surut dan berbagai faktor lainnya. Pengaruh dari ENSO dan Dipole Mode telah dibahas berdasarkan nilai regresi linear berganda yang dihasilkan, dan berdasarkan hasil tersebut didapat bahwa kedua fenomena tersebut ikut andil dalam pembentukan nilai anomali paras lautyang terjadi. Selain kedua fenomena tersebut terdapat juga fenomena lain yang diduga mempengaruhi nilai paras laut tersebut, yaitu fenomena fenomena Pacific Decadal Oceanographic (PDO) dan pasang surut. PDO ini merupakan peristiwa seperti pola ENSO pada variabilitas iklim Pasifik dalam jangka waktu yang panjang (Tanimoto et al. 1993, Zhang et al. 1997). Jika peristiwa ENSO siklusnya berlangsung selama periode 4-7 tahun, sedangkan PDO ini berlangsung dengan periode 40-50 tahun.

(27)

17 Pasang surut merupakan fenomena yang berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap perubahan paras laut berdasarkan pergerakan bulan yang terjadi setiap waktu. Di perairan Indonesia beberapa contoh dapat diberikan misalnya Tanjung Priok (Jakarta) kisarannya hanya sekitar 1 m, Ambon sekitar 2 m, Bagan Siapi-api sekitar 4 m, sedangkan yang tertinggi di muara Sungai Digul dan Selat Muli di dekatnya (Irian Jaya bagian selatan) kisaran pasang-surutnya cukup tinggi, bisa mencapai sekitar 7-8 m (Nontji 2007). Menurut Nontji (2007), dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang-surut di Indonesia dapat dibagi menjadi empat jenis yakni pasang-surut harian tunggal (diurnal tide), harian ganda (semidiurnal tide), dan dua jenis campuran. Jenis harian tunggal misalnya terdapat di perairan sekitar selat Karimata, antara Sumatra dan Kalimantan. Pada jenis harian ganda misalnya terdapat di perairan Selat Malaka sampai ke Laut Andaman. Di samping itu dikenal pula campuran antara keduanya, meskipun jenis tunggal maupun gandanya masih menonjol. Pada pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) misalnya terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal) contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan dan pantai utara Jawa Barat (Nontji 2007).

Pasang-surut tidak hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas saja, melainkan seluruh massa air. Energinya pun sangat besar. Di perairan-perairan pantai, terutama di teluk-teluk atau selat-selat yang sempit, gerakan naik-turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang-surut. Di tempat-tempat tertentu arus pasang-surut ini cukup kuat. Arus pasang-surut terkuat yang tercatat di Indonesia adalah di Selat Capalulu, antara P. Taliabu dan P. Mangole (Kepulauan Sula), yang kekuatannya bisa mencapai 5 m/detik. Di selat-selat di antara pulau-pulau Nusa Tenggara kekuatannya bisa mencapai 2,5-3 m/detik pada saat pasang purnama. Di daerah-daerah lainnya kekuatan arus pasang-surut biasanya kurang dari 1,5 m/detik, sedangkan di laut terbuka di atas paparan kekuatannya malah biasanya kurang dari 0,5 m/detik (Nontji 2007). Menurut Triatmodjo (1996) stasiun 1, 2, 3, 6, 7, dan 8 mempunyai tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda, sedangkan stasiun 4 bertipe campuran condong ke harian tunggal, dan stasiun 5 bertipe pasut harian tunggal. Stasiun 6 yang berada di utara selat makassar diduga akan mengalami pengaruh pasang surut yang lebih kuat, karena stasiun ini berada di perairan yang lebih sempit yang berupa selat.

(28)

18

oleh perbedaan tinggi paras laut, sejumlah massa air Samudera Pasifik akan mengalir ke Samudera Hindia (Wyrtki 1987, Utoyo 2007).

Pada bulan Desember, Januari, dan Februari (musim dingin di belahan bumi utara) terdapat tekanan tinggi di Asia dan pusat tekanan rendah di Australia menyebabkan angin yang berhembus di Indonesia pada umumnya angin barat (west monsoon). Sebaliknya pada bulan Juni, Juli, dan Agustus terjadi pusat tekanan rendah di Asia (musim panas di belahan bumi utara) dan pusat tekanan tinggi di Australia yang menyebabkan angin yang berhembus di Indonesia adalah angin timur (east monsoon). Pada bulan Maret angin barat masih berhembus tapi kecepatan dan kekuatannya makin berkurang. Pada bulan April dan Mei arah angin tidak menentu/berubah-ubah dan periode ini dikenal sebagai musim peralihan atau pancaroba, demikian pula dengan bulan Oktober dan November.

Musim hujan dan kemarau di Indonesia pada umumnya dipengaruhi oleh adanya sirkulasi muson yang terjadi secara periodik, tetapi awal musim hujan dan kemarau tidak selalu sama sepanjang tahun. Ini disebabkan musim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena global seperti El Niño/La Niña yaitu fenomena akibat adanya variabilitas suhu paras laut di Samudera Pasifik. Dipole Mode yaitu fenomena akibat adanya rasio suhu paras laut di wilayah pantai timur Afrika dengan pantai barat Sumatera dan variabilitas suhu paras laut di wilayah perairan Indonesia sendiri.

Interaksi laut dan atmosfer mempunyai peranan yang sangat penting terhadap dinamika dan kondisi baik perairan laut maupun lingkungan atmosfer. Interaksi ini meliputi pertukaran momentum, energi dan massa. Perubahan kondisi atmosfer akan dapat mempengaruhi kondisi laut dan sebaliknya. Grafik kecenderungan yang ditunjukkan tidak sepenuhnya mengalami kenaikan, melainkan ada beberapa waktu yang mengalami penurunan cukup signifikan. Tidak semua stasiun mengalami penurunan tersebut, dan setiap stasiun mempunyai dinamika paras laut yang berbeda-beda. Penurunan yang paling signifikan dan banyak dialami oleh beberapa stasiun yaitu terjadi pada tahun 1997. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya fenomena ENSO yang terjadi di permukaan bumi, terutama daerah Samudera Pasifik. ENSO yaitu singkatan dari

El Niño Southern Oscillation merupakan fenomena alam yang muncul di sekitar Samudera Pasifik dan mempengaruhi kondisi cuaca di sekitarnya. Fenomena ini berkaitan dengan dua proses yaitu El Niño dan La Niña.

(29)

19 mencapai puncaknya, termoklin mendekati horizontal di sepanjang ekuator Pasifik. Hingga Juni 1998, termoklin menjadi sangat dangkal di pasifik tengah.

Nilai negatif dari SOI dibawah -8 mengindikasikan periode El Niño. Nilai negatif ini biasanya diikuti oleh menghangatnya bagian tengah dan timur tropis Samudera Pasifik dan penurunan kekuatan dari pertukaran angin Pasifik. Nilai positif SOI diatas 8 merupakan tipe periode La Niña. Hal tersebut berasosiasi dengan pertukaran angin Pasifik terkuat dan suhu air laut yang lebih hangat di bagian utara Australia. Air dibagian tengah dan timur tropis Samudera Pasifik menjadi lebih dingin selama periode ini. Secara bersamaan hal ini memungkinkan kenaikan bagian timur dan utara Australia akan menjadi lebih basah dari biasanya (AGBM 2012).

Indian Ocean Dipole merupakan gejala penyimpangan cuaca yang dihasilkan oleh interaksi antara permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Samudera Hindia sekitar garis khatulistiwa (tropis) dan di sebelah selatan Jawa. Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian selatan Jawa dan barat Sumatra) yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan, mirip dengan bajak petani yang mengangkat lapisan bawah tanah/lumpur ke permukaan. Akibatnya, suhu paras laut di sekitar pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis (anomali negatif rata-rata sebesar 2 oC) (Iskandar 2008).

Iskandar (2008) menyatakan bahwa aliran massa udara ke arah barat dan penumpukan massa air di bagian barat Samudera Hindia ini merupakan gejala fisik utama yang mengendalikan fenomena Indian Ocean Dipole. Gejala ini akan menimbulkan gelombang Kelvin sepanjang equator yang bergerak ke arah timur (berlawanan dengan arah angin). Gelombang ini pada gilirannya mengangkat lapisan termoklin (lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air yang lebih dingin di bawahnya) di bagian timur Samudera Hindia (selatan Jawa dan barat Sumatra). Ketika termoklin ini terangkat, suhu paras laut menurun, sebaliknya di sisi barat, gelombang ini akan menekan termoklin lebih masuk ke dalam, yang mengakibatkan suhu paras laut meningkat dan Indian Ocean Dipole pun berlangsung. Karena itu pula pergeseran zona konveksi (zona pembentukan awan-awan yang berpotensi menimbulkan hujan), zona ini biasanya terdapat di atas paras laut yang hangat (anomali positif). Pada kondisi normal, zona konveksi berada di perairan pantai barat Sumatera. Pada kondisi Indian Ocean Dipole, zona konveksi akan bergeser ke arah barat, ke daerah perairan di tengah-tengah Samudera Hindia dan perairan pantai Timur Afrika. Akibatnya, zona hujan pun akan bergeser ke arah barat, sehingga Indonesia akan mengalami kekeringan (Iskandar 2008).

(30)

20

normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat sedangkan di benua maritim Indonesia mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan. Nilai DMI yang negatif menunjukkan fenomena yang berlawanan dengan kondisi DMI positif seperti yang dikemukakan Ashok et al

(2001).

Variasi dampak Dipole Mode interaksinya dengan muson sangat beragam dan merupakan fungsi waktu dan tempat. Pada saat terjadi DM, curah hujan di Afrika berada di atas normal sedangkan di Indonesia terjadi penurunan dari kondisi normalnya (Saji et al. 1999, Ashok et al. 2001). Saat Dipole Mode terjadi penurunan curah hujan di atas Daerah Konvergensi Tropis Samudera (DKTS) dan peningkatan curah hujan di Samudera Hindia tropis bagian barat. Suhu paras laut di lepas pantai Sumatera yang mulai mendingin akan menyebabkan konveksi di DKTS menjadi melemah sehingga terjadi perubahan tekanan udara permukaan yang membuat angin pasat tenggara meluas dan konvergen ke arah downstream.

Perubahan ini mempertajam konvergensi medan angin skala besar dan suplai uap air ke arah perluasan downstream di ujung daerah angin pasat, sehingga memperbesar presipitasi ke arah barat laut dari posisi normal DKTS.

Dipole Mode (DM) terjadi secara independen dengan ENSO dan merupakan fenomena kopel atmosfer laut yang unik di Samudera Hindia tropis. Interaksi kopel atmosfer Samudera Pasifik menyebabkan peristiwa El Niñodan La Niña. El Niño adalah periode panas dan La Niña merupakan periode dingin Samudera Pasifik tengah dan timur. Interaksi kopel atmosfer Samudera Hindia menyebabkan DM positif jika temperatur permukaan laut pantai timur Afrika lebih panas dan DM negatif jika temperatur permukaan laut pantai timur Afrika lebih dingin dibandingkan temperatur permukaan laut pantai barat Sumatera (Tjasyono et al.

2008). Dipole Mode merupakan fenomena sistem kopel atmosfer-laut yang memiliki mekanisme fisis yang mirip dengan ENSO, akan tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO. Ketidak bergatungan DM terhadap ENSO salah satunya ditunjukkan oleh adanya kejadian DM yang independen terhadap ENSO seperti tahun 1961 dan 1967 (Saji et al. 1999). Korelasi DM-ENSO tergantung pada evolusi kejadiannya yang ditunjukkan dari musim ke musim saat diperoleh korelasi yang kuat terjadi pada bulan September sampai Oktober.

Gambar 7 Keadaan perairan Indonesia pada nilai SLA minimum, Desember 1997

(31)

21 yang kuat pada periode ini. El Niño pada periode ini terjadi pada musim barat di perairan Indonesia. Warna biru pada perairan merupakan indikasi bahwa paras laut berada pada titik yang rendah. Data SLA terendah seluruh perairan Indonesia yang didapatkan pada periode ini yaitu setinggi -31.99 cm.

Keadaan Gambar 8 pada tahun 2002 bulan Agustus merupakan keadaan cukup normal dari paras laut Indonesia. Keadaan normal ini terjadi saat musim timur di perairan Indonesia. Data SLA rata-rata seluruh perairan Indonesia yang didapatkan pada periode ini yaitu setinggi 5.24 cm.

Gambar 8 Keadaan perairan Indonesia pada nilai SLA rata-rata, Agustus 2002 Keadaan maksimum ini terjadi pada tahun 2011 bulan Januari yang diakibatkan terjadinya El Niño yang kuat pada periode ini ditunjukkan oleh Gambar 9. La Niña pada periode ini terjadi pada musim barat di perairan Indonesia seperti halnya terjadinya El Niño. Warna merah pada perairan merupakan indikasi bahwa paras laut berada pada titik yang tinggi. Data SLA tertinggi seluruh perairan Indonesia yang didapatkan pada periode ini yaitu setinggi 46.29 cm.

(32)

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Secara umum, trend positif (kenaikan) paras laut perairan Indonesia terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun dengan rata-rata sebesar 10.9502 cm. Nilai kenaikan paras laut tertinggi terjadi di Laut Banda dengan nilai 15.748 cm selama dua puluh tahun. Nilai paras laut terendah terjadi di Laut Natuna dengan nilai 7.0104 cm selama dua puluh tahun. Kenaikan paras laut yang terjadi tidak sepenuhnya menunjukkan kenaikan yang simultan, tetapi dengan fluktuasi yang beragam. Fluktuasi tersebut dapat terlihat dari penurunan drastis atau pun kenaikan drastis pada waktu tertentu pada beberapa stasiun. Salah satu penyebab fluktuasi tersebut dapat berupa pengaruh dari fenomena ENSO, yaitu terjadinya El Niño, maupun La Niña dan IOD yang sangat berpengaruh terhadap perairan Indonesia karena perairan Indonesia berada diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Pola fluktuasi yang terbentuk menunjukkan pola musiman, tetapi jika dilihat dari periode keseluruhan, tidak menunjukkan adanya pola fluktuasi dekadal, melainkan mengikuti pola fenomena ENSO dan IOD berdasarkan intensitas kekuatannya.

Saran

Mengingat sangat pentingnya kajian paras laut di Indonesia ini, diharapkan pengukuran tidak hanya dilakukan dari data satelit saja, melainkan dapat dilakukan dari data lokal berupa data dari tide gauge yang bisa mewakili daerah pantai secara tepat dan berkelanjutan. Selain itu diperlukan kajian dan tindakan lebih lanjut untuk menangani dampak kenaikan paras laut ini terhadap lingkungan pesisir beserta ekosistemnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ashok K, Guan Z, Yamagata T. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall. American Geophysical Union. Geophys.Res.Lett.

Australian Goverment Bureau of Meteorology. 2012. Southern Oscillation Index [internet]. [diunduh 2013 Agustus]. Tersedia dari: http://www.bom.gov.au/ climate/glossary/soi.shtml.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Buku Informasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara di Indonesia. Jakarta (ID): BMKG. Carton JA dan Chao Y. 1999. Caribbean Sea Eddies Inferred from Topex/ Poseidon

Altimetry and a 1/6° Atlantic Ocean Model Simulation. J. Geophys. Res. 104(C4):7743-7752.

[CNES] Centre National D’Etudes Spatiales. 2012. SSALTO/DUACS User Handbook CLS-DOS-NT-06-034 – Issue 3.2. SALP-MU-P-EA-21065-CLS. France (FR): CNES.

(33)

23 Gauge Data and Its Impact on the Coastal Zone of Indonesia. Proceeding: 11th Biennial Conference of Pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC), 05-09 November 2012, Kochi, Kerala, India.

Iskandar I. 2008. Ada Dua Kutub di Samudera Hindia. [internet]. [diunduh 2013 Agustus]. Tersedia dari: http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetak artikel&1206267194. ISSN 2086-5325.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change: The Phisycal Science Basis. Summary for Policy Makers, Contribution of Working Group I to The Fourth Assessment Report of The Intergovernmenttal Panel on Climate Change. Paris (FR): IPCC.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2012. Kajian Resiko dan Adaptasi Perubahan Iklim Tarakan Sumatera Selatan Malang Raya. Jakarta (ID): KLH.

Leben RR, Born GH, dan Engebreth BR. 2002. Operational altimeter data processing for mesoscale monitoring. Marine Geodesy 25:318.

Leben RR dan Powell BS. 2003. Accuracy assessment of Jason-1 and Topex/Poseidon along-track sea surface slope. Marine Geodesy

26(34):355-366.

Legresy B dan Remy F. 1997. Surface characteristics of the Antarctic ice sheet and altimetric observations. Journal of Claciology 43(114):197-206.

Nababan B dan Gaol JL. 2010. Trend suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a serta dampaknya terhadap penyerapan CO2 di perairan Indonesia.

Ilmu Kelautan 1:213-227.

Nababan B, Hasyim B, dan Bada HIN. 2011. Variability and Validation of Sea Surface Temperature Estimated by Pathfinder Algorithm of NOAA-AVHRR satellite in the North Papua Waters. International J. of Remote Sensing and Earth Sciences 8:25-33.

NOAA Earth System Research Laboratory. 2007. Monthly mean atmospheric carbon dioxide at Mauna Loa Observatory, Hawaii [internet]. [diunduh 2007 November 8]. Tersedia dari: http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/ co2_data_mlo.html.

Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan.

Nurmaulia SL, Prijatna K, Darmawan D, Sarsito DA. 2005. Preliminary Study of Sea Level Rise In Indonesia Based On Satellite Altimetry Topex Data. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Surabaya.

Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole Mode

in the Tropical Indian Ocean. Nature (401):360-363.

Santriyani M dan Octarina DT. 2011. El Niño Southern Oscillation (ENSO). Weather and Climate Prediction Laboratory (WCPL) [internet]. [diunduh 2014 Juni 17]. Tersedia dari: http://weather.meteo.itb.ac.id/artikel6.php. Tanimoto YN, Iwasaka N, Hanawa K, dan Toba Y. 1993. Characteristic variations

of sea surface temperature with multiple time scales in the North Pacific. J. Climate (6):1153-1160.

Tjasyono BHK, Harijono SWB, Juaeni I, Ruminita. 2008. Pengaruh Interaksi Kopel Atmosfer – Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial Terhadap Curah Hujan di Indonesia. Simposium Meteorologi Pertanian VII, 15 – 16 Januari 2008. Jakarta (ID).

(34)

24

[UNDP] United Nations Development Programme. 2007. Sisi lain perubahan iklim. ISBN: 978-979-17069-0-2. Jakarta (ID): UNDP.

Utoyo B. 2007. Geografi: Membuka Cakrawala Dunia. Bandung (ID): Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Vermeer M dan Rahmstorf S. 2009. Global sea level linked to global temperature. Proceedings of the National Academy of Science (PNAS) 106(51): 21527-21532. doi: 10.1073/pnas.0907765106.

Wyrtki K. 1987. Physical Oceanography of Southeast Asean Waters. Naga Report ,I. 2. The University of California. California (UK): La Jolla.

Zhang Y, Wallace JM, dan Battisti DS. 1997. ENSO-like interdecadal variability: 1900-1993. J. Climate (10):1004-1020.

(35)

25 Lampiran 1 Listing program pemisahan delapan stasiun pada daerah Indonesia

load t991124.txt x=t991124(:,:);

y1=(t991124(1401:1403,:))'; y2=(t991124(1463:1465,:))'; y3=(t991124(1525:1527,:))'; y4=(t991124(1391:1393,:))'; y5=(t991124(1453:1455,:))'; y6=(t991124(1515:1517,:))'; y7=(t991124(3309:3311,:))'; y8=(t991124(3371:3373,:))'; y9=(t991124(3433:3435,:))'; y10=(t991124(4156:4158,:))'; y11=(t991124(4206:4208,:))'; y12=(t991124(4256:4258,:))'; y13=(t991124(5267:5269,:))'; y14=(t991124(5321:5323,:))'; y15=(t991124(5375:5377,:))'; y16=(t991124(6577:6579,:))'; y17=(t991124(6643:6645,:))'; y18=(t991124(6709:6711,:))'; y19=(t991124(7439:7441,:))'; y20=(t991124(7505:7507,:))'; y21=(t991124(7571:7573,:))'; y22=(t991124(6563:6565,:))'; y23=(t991124(6629:6631,:))'; y24=(t991124(6695:6697,:))'; y25=(t991124(3152:3154,:))'; y26=(t991124(3214:3216,:))'; y27=(t991124(3276:3278,:))'; a1=combine(y1,y2,y3); a2=combine(y4,y5,y6); a3=combine(y7,y8,y9); a4=combine(y10,y11,y12); a5=combine(y13,y14,y15); a6=combine(y16,y17,y18); a7=combine(y19,y20,y21); a8=combine(y22,y23,y24); a9=combine(y25,y26,y27);

(36)

26

Lampiran 2. Data maksimum dan minimum MSLA

Tahun

Stasiun (bulan) Barat

Sumatera

Selatan

Jawa Selatan Bali Utara Jawa Laut Banda Laut Natuna

Utara Selat Makassar

Utara Papua Max Min Max Min Max Min Max Min Max Min Max Min Max Min Max Min

1992 Des Des Des Nov Des Okt Nov Okt Nov Dec Nov Des Nov Des Okt Des

1993 Jun Feb Agt Sep Jan Okt Des Jul Mar Jul Des Jul Okt Okt Des Jan

1994 Des Sep Mar Sep Jan Sep Jan Agt Mar Agt Nov Agt Feb Agt Apr Des

1995 Nov Jan Nov Sep Mar Sep Des Sep Des Agt Feb Agt Des Agt Nov Feb

1996 Mei Mar Nov Mar Des Jul Nov Jun Mar Agt Feb Agt Nov Okt Nov Feb

1997 Mei Des Mei Okt Feb Sep Apr Agt Jan Nov Jan Agt Jan Des Mar Des

1998 Mei Feb Nov Jan Des Jan Des Feb Des Jan Des Jun Nov Jan Nov Jan

1999 Apr Mar Des Sep Jan Okt Des Sep Apr Sep Des Jul Des Sep Mar Jul

2000 Jul Sep Feb Sep Jan Okt Des Agt Mar Agt Feb Apr Mar Jun Mar Agt

2001 Nov Apr Des Sep Mar Sep Des Sep Feb Agt Nov Jun Feb Okt Feb Des

2002 Mei Jan Mei Oct Jan Sep Mei Agt Feb Agt Nov Jul Jan Sep Mei Des

2003 Mei Jul Mei Agt Mei Jul Jan Jul Feb Sep Jan Agt Nov Feb Okt Feb

2004 Mei Jan Mei Sep Mar Okt Apr Agt Feb Agt Des Agt Jul Okt Mei Des

2005 Nov Feb Nov Agt Nov Sep Nov Agt Mar Agt Des Agt Nov Feb Sep Feb

2006 Mei Sep Sep Jan Apr Sep Apr Sep Mar Agt Des Jun Mei Sep Apr Nov

2007 Nov Mar Nov Okt Des Agt Nov Agt Mar Agt Nov Jun Nov Jan Des Jan

2008 Nov Jul Des Jul Feb Sep Des Jul Apr Jul Des Jul Apr Jun Mar Nov

2009 Nov Jan Jan Agt Mar Sep Jan Agt Feb Agt Jan Jul Jan Des Jan Des

2010 Nov Feb Des Feb Des Jul Des Mar Des Mar Nov Jul Des Mei Des Jan

2011 Des Sep Jan Agt Jan Sep Des Jul Jan Agt Des Jul Jan Sep Jan Sep

(37)

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi 8 stasiun  penelitian di perairan Indonesia
Gambar 3  Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada  barat Sumatera, selatan Jawa, dan selatan Bali dibandingkan dengan SOI dan DMI
Gambar 4  Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
Gambar 5  Fluktuasi dan kecenderungan anomali paras laut di Indonesia pada
+4

Referensi

Dokumen terkait

Perspektif merupakan suatu kondisi keterbatasan kemampuan mata manusia melihat suatu objek, dimana benda yang dekat dengan mata akan terlihat lebih besar

Perairan P.Simeulue, Perairan Kep.Nias – Sibolga, Perairan Kep.Mentawai – Padang, Perairan Bengkulu, Perairan Kep.Anambas dan Kep.Natuna, Laut Natuna, Perairan Kep.Riau

Kementerian Sumber Manusia Malaysia, Kod Amalan Industri Mengenai Klasifikasi Bahan Kimia dan Komunikasi Berbahaya 2014 Petunjuk Perubahan: Tiada maklumat tambahan yang

Konflik di perairan laut Natuna tersebut dipertegas oleh hasil pantauan dan analisis Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021 yang menyebut

Penelitian ini telah dilakukan bertujuan untuk menggambarkan karakteristik gelombang menggunakan parameter gelombang signifikan sebagai acuan pelayaran yang terbentuk di

(3) Semua surat bukti dan surat lain yang termasuk bagian dari tata buku dan administrasi Perusahaan Daerah disimpan di tempat Perusahaan Daerah atau di tempat lain yang

Hasil yang diinginkan dalam analisa ini adalah diketahuinya faktor yang menjadi kendala yang selama ini menyebabkan terlemparnya telur puyuh keluar dari spinner

Dalam 3 bulan terakhir, pasien mengalami serangan 3x dalam seminggu tapi masih dapat diatasi dengan obat asma yang dibelinya dari warung. Apakah diagnosis