• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komunikasi Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Nagari Di Sumatera Barat"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN

HUTAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

NALA SARI TANJUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan di Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

(4)

RINGKASAN

NALA SARI TANJUNG. Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat. Dibimbing oleh DWI SADONO dan CAHYONO TRI WIBOWO.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerusakan hutan paling parah kedua di dunia setelah Brazil dan tercatat sebagai negara dengan laju deforestasi paling tinggi di dunia yaitu dua juta hektar per tahun (CIFOR 2015). Salah satu penyebab terbesar adalah buruknya kebijakan serta implementasi pengelolaan hutan. Diluncurkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi salah satu jalan keluar bobroknya pengelolaan hutan masa lalu dengan pergeseran dari paradigma lama pengelolaan hutan berbasis produksi menjadi pengelolaan hutan yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Permasalahan pemberdayaan masyarakat sebagai basis utama dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) ini terdapat pada PP 6/2007 yang secara khusus dibahas pada Bagian Kesebelas “Pemberdayaan Masyarakat Setempat”. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan hutan diadopsi melalui tiga skema, yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan kemitraan. Namun, tidak semua wilayah mencapai keberhasilan atas program PHBM, seperti hasil temuan Sanudin et al. (2015), Wilujeng (2015), Ngabdani et al. (2015), Gunawan et al. (2014), Guniastuti et al. (2014), Anomsari (2013), dan Nugroho (2011).

Komunikasi pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu isu komunikasi pembangunan dunia berupa pendekatan komunikasi partisipatif secara dialogis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Sebagai salah satu bentuk pembangunan dengan konsep berkelanjutan, PHBM mengusung prinsip partisipatif yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan 2014). Sehubungan dengan prinsip tersebut, Fuad (2000) menemukan bahwa kesenjangan komunikasi yang lebar antara lembaga desa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya di desa menyebabkan implementasi pengelolaan hutan desa menjadi terhambat, sehingga sejalan dengan temuan Wilujeng (2015) bahwa salah satu faktor keberhasilan PHBM adalah komunikasi yang mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan dengan melibatkan seluruh pelaku terkait.

(5)

pelaksanaan program pengelolaan hutan menyebabkan implementasinya menjadi kurang optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa melibatkan komunikasi yang partisipatif dalam setiap aktivitas pengelolaan Hutan Nagari, diduga pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan tidak berjalan secara optimal.

Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan proses komunikasi partisipatif dalam pengelolaan Hutan Nagari, mendeskripsikan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari, dan mengalisa hubungan komunikasi partisipatif dengan pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan. Penelitian ini didesain menggunakan pendekatan survei eksplanatif (analitik) dengan metode campuran, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara sensus, yaitu 52 orang anggota LPHN Sungai Buluh dan 21 orang anggota LPHN Paru. Data dikumpulkan menggunakan metode survei, wawancara mendalam, focus group discussion (FGD) dan observasi. Analisa data menggunakan statistik deskriptif dengan tabel frekuensi dan persentase; dan statistik infrensia menggunakan uji korelasi chi square dan Rank Spearman, serta uji beda menggunakan analisa Mann-Whitney.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi dalam pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh dan Hutan Nagari Paru secara umum sudah berlangsung partisipatif. Aktivitas komunikasi partisipatif dalam kegiatan pengelolaan di Hutan Nagari Sungai Buluh dan Hutan Nagari Paru paling dominan berada pada aktivitas pelaksanaan kegiatan. Terdapat perbedaan signifikan pada indikator dialog, voice, dan liberating pedagogy antara LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru. Anggota masyarakat pengelola di Hutan Nagari Sungai Buluh cukup berpartisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari, sedangkan di Hutan Nagari Paru kurang berpartisipasi. Hal tersebut terjadi karena masyarakat kurang dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan. Anggota masyarakat pengelola di Sungai Buluh terutama kurang dilibatkan pada aktivitas penetapan batas areal kerja dan monitoring evaluasi, sedangkan anggota masyarakat pengelola di Paru kurang terlibat pada aktivitas perencanaan, penetapan batas areal kerja, pelaksanaan kegiatan, dan monitoring dan evaluasi. Terdapat perbedaan signifikan pada indikator perencanaan, penetapan batas areal kerja, dan pelaksanaan kegiatan antara LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru. Pengelolaan Hutan Nagari di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru sudah berkelanjutan. Secara umum, hal tersebut didukung oleh komunikasi yang partisipatif. Selain itu juga didorong oleh tingginya dukungan pemerintah, dukungan tokoh nagari, dan bantuan berupa sumberdaya; dan partisipasi anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari. Di LPHN Sungai Buluh, pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan paling dominan berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari. Di LPHN Paru, pengelolaan Hutan Nagari paling dominan berhubungan dengan tingkat dukungan dari pemerintah dan tokoh nagari, serta komunikasi partisipatif.

(6)

SUMMARY

NALA SARI TANJUNG. Participatory Commmunication in Management of Hutan Nagari in West Sumatera. Supervised by DWI SADONO and CAHYONO TRI WIBOWO.

Indonesia is rated to have the second-highest rate of deforestation in the world after Brazil and the country with the highest deforestation rate in the world equals in two million hectares of forestdestroyed per year (CIFOR 2015). One of the biggest causes is bad policy as well as the implementation of forest management. The launch of Government Regulation No. 41 of 1999 on Forestry was a way out past decaying forest management with a shift from the old paradigm of production based on forest management into a new one where forest management is in favor of the welfare of the community. Issues of community empowerment as the main platform for community-based forest management (CBFM) is contained in Regulation 6/2007, while specifically discussed in Part Eleven "Empowering of Local Communities". Based on the regulations, the forest management program was adopted through three schemes: Hutan Desa (Village Forest), Hutan Kemasyarakatan (Forest Community), dan kemitraan (partnership). However, not all areas achieved success in fulfilling the CBFM program, such as stated in the findings of Sanudin et al. (2015), Wilujeng (2015), Ngabdani et al. (2015), Gunawan et al. (2014), Guniastuti et al. (2014), Anomsari (2013), and Nugroho (2011).

Sustainable development of communication is one of the world's biggest issues of communication development in the form of participatory communication approach dialogically involving all stakeholders. As one of the forms of the concept of sustainable development, CBFM carries the principle of participation in favor of the empowerment of communities (Regulation of the Minister of Forestry 2014). In connection with these principles, Fuad (2000) found that the width of communication gap between village institutions and local community groups led to the limitations on implementation of village forest management program, and it isin line with the findings of Wilujeng (2015) that one of the factors of success of CBFM is communication which requires implementor knowing what should be done with the help of involving all relevant actors.

(7)

than optimal implementation. This indicates that without engaging in any communication participatory forest management activities of Nagari, empowerment, allegedly, of forest communities especially is not running optimally.

The aims of research are describing the process of participatory communication in the management of Hutan Nagari, describing the level of community participation in management of Hutan Nagari, and analyzing participatory communication links with the management of Hutan Nagari sustainably. This study used an explanatory survey approach (analytic) with mixed methods, namely quantitative and qualitative. Sampling was done by census, there are 52 members of LPHN Sungai Buluh and 21 members of LPHN Paru. Data was collected using surveys, interviews, focus group discussion (FGD) and observation. Data were analyzed using descriptive statistics table of frequency and percentages; and statistical correlation infrential using chi square test and RankSpearman, as well as different test using Mann-Whitney analysis.

The results showed that the communication process in management of Hutan Nagari in Sungai Buluh dan Paru already participative. Participatory communication activities amongmanagement activities of Hutan Nagari in Sungai Buluh and Paru played the biggest part in the implementation of activities. There were significant differences in indicators of dialogue, voice, and liberating pedagogy between LPHN Sungai Buluh and LPHN Paru. Members of LPHN Sungai Buluh participated enough in management of Hutan Nagari, whereas in the Paru participation was smaller. This happened because people were less involved in management activities. Members of the LPHN Sungai Buluh in particularly were less involved in the activity of the working area boundary determination as well as monitoring and evaluation, while members of the LPHN Paru were less involved in planning activities, subsequently the delimitation of the area of operations, implementation, as well as monitoring and evaluation. There were significant differences in indicators of planning, the delimitation of the area of operations, and the implementation of activities between LPHN Sungai Buluh and LPHN Paru. Management of Hutan Nagari in LPHN Sungai Buluh and LPHN Paruis already sustainable. In general, it was supported by participatory communication. It was also pushed by principal government support, the support of village leaders, and assistance in the form of resources; and the participation of community members in the management of Hutan Nagari. In LPHN Sungai Buluh, sustainable management of Hutan Nagari most vividly related to the levels of participation in forest management powers. In LPHN Paru, it was associated by far most with the level of support from the government and village leaders, as well as participatory communication.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PENGELOLAAN

HUTAN NAGARI DI SUMATERA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

NIM 1352140071

Ketua

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Tanggal Ujian:

10 Otober 2016

/

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Tri MM

Anggota

Diketahui oleh

Dekan Sekolah Pascasarjana

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini adalah komunikasi partisipatif, dengan judul Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dwi Sadono dan Bapak Dr Cahyono Tri Wibowo, MM selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Hery Bachrizal Tanjung, Bapak Yonevis dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat, Bapak Ketua LPHN Sungai Buluh, Bapak Ketua LPHN Paru, Bendahara LPHN Sungai Buluh, dan fasilitator dari KKI Warsi yang telah membantu selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, adik, seluruh keluarga, serta sahabat dan teman-teman atas segala doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ivx

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Komunikasi Pembangunan 5

Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan 6

Komunikasi Pembangunan Partisipatif 7

Model Komunikasi Pembangunan 10

Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) 12

Pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Nagari 14

Partisipasi Masyarakat dalam PHBM 15

Karakteristik Individu 17

Dukungan terhadap Pengelolaan Hutan Nagari 18

Penelitian Terdahulu 19

Kerangka Pemikiran 22

Hipotesis Penelitian 24

3 METODE PENELITIAN 25

Desain Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Populasi dan Sampel 25

Instrumen Penelitian 27

Definisi Operasional 27

Validitas dan Reliabilitas 33

Analisis Data 34

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 35

Gambaran Umum Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) 38

Kegiatan Pengelolaan Hutan Nagari 41

Deskripsi Karakteristik Individu LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru 44 Proses Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari 47

Faktor Dukungan Pengelolaan Hutan Nagari 54

(14)

Hubungan Karakteristik Individu, Komunikasi Partisipatif dan Tingkat Dukungan dengan Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Nagari 67 Hubungan Komunikasi Partisipatif dan Tingkat Dukungan dengan

Tingkat Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan 71 Hubungan Tingkat Partisipasi dalam Pengelolaan Hutan Nagari dengan Tingkat Pengelolaan Hutan Nagari Secara Berkelanjutan 74

KESIMPULAN DAN SARAN 77

Kesimpulan 77 Saran 77

DAFTAR PUSTAKA 79

LAMPIRAN 87

(15)

DAFTAR TABEL

1 Konsep pendekatan untuk komunikasi pembangunan 8

2 Penggabungan model-model dasar komunikasi 11

3 Populasi dan sampel penelitian 26

4 Responden kunci 26

5 Indikator, definisi, dan skala pengukuran karakteristik individu 28 6 Indikator, definisi, parameter dan skala pengukuran proses komunikasi

partisipatif 29 7 Indikator, definisi, parameter dan skala pengukuran aspek dukungan 30 8 Indikator, definisi, parameter, dan skala pengukuran tingkat partisipasi

dalam pengelolaan Hutan Nagari 31

9 Indikator, definisi, parameter, dan skala pengukuran tingkat pengelolaan

Hutan Nagari secara berkelanjutan 32

10 Koefisien Alpha’s Aronbach hasil uji coba kuesioner 34 11 Jumlah dan persentase pengelola LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru

menurut indikator karakteristik individu tahun 2016 44 12 Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator

komunikasi partisipatif di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru tahun

2016 48 13 Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator faktor

dukungan LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru tahun 2016 56 14 Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator tingkat

partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari di LPHN Sungai Buluh dan

LPHN Paru tahun 2016 60

15 Jumlah dan persentase pengelola Hutan Nagari menurut indikator tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh

dan LPHN Paru tahun 2016 63

16 Nilai koefisien korelasi chi square antara karakteristik individu dengan tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara partisipatif di LPHN Sungai

Buluh dan LPHN Paru 67

17 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi partisipatif dan tingkat dukungan dengan tingkat partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari di

LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru 69

18 Nilai koefisien korelasi antara komunikasi partisipatif dan tingkat

dukungan dengan tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan

di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru 71

(16)

20 Nilai koefisien korelasi antara tingkat partisipasi dalam pengelolaan Hutan Nagari dengan tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara

berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru 75 21 Nilai koefisien korelasi antara indikator tingkat partisipasi dalam

pengelolaan Hutan Nagari dengan indikator tingkat pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan di LPHN Sungai Buluh dan LPHN Paru 75

DAFTAR GAMBAR

1 Komponen dasar dari model konvergensi komunikasi 12 2 Kerangka pemikiran pelaksanaan komunikasi partisipatif pembangunan 24 3 Sketsa lokasi Nagari Sungai Buluh dan Nagari Paru 36 4 Forum rapat bulanan LPHN Sungai Buluh dan forum diskusi dengan

pemerintah saat ada acara bersama 50

5 Kebun Bibit Rakyat (KBR) Hutan Nagari 59

DAFTAR LAMPIRAN

1 Matriks lembar pengamatan 89

2 Tabel validitas dan reliabilitas kuisioner 93

3 Hasil analisis komparatif (Mann-Whitney) 94

4 Hasil analisis korelasi Chi-Square 97

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan isu global yang terus menerus didengungkan oleh organisasi-organisasi besar dunia seperti PBB. Salah satunya adalah dengan terus diperbaharuinya rencana pembangunan berkelanjutan dunia sebagai konsep yang melandasi pengelolaan lingkungan yang didorong oleh ekspansi kapitalisme global yang berdampak pada menurunnya kualitas pengelolaan lingkungan di berbagai negara. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan pembaharuan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang telah berakhir sejak akhir tahun 2015. SDGs diharapkan dapat menanggulangi berbagai masalah seperti kemiskinan dan kelaparan, memajukan kesehatan dan pendidikan, hingga konservasi lingkungan.

Salah satu permasalahan yang disoroti dalam SDGs adalah isu pengelolaan hutan beserta fungsi-fungsinya. Kondisi hutan dunia selama 35 tahun terakhir telah mencapai titik kritis hingga mendegradasi fungsi-fungsi utama hutan, yaitu fungsi konservasi, fungsi produksi dan fungsi lindung. Hal tersebut menjadi penyebab berbagai bencana alam yang terjadi di dunia seperti banjir, tanah longsor, kabut asap, berkurangnya sumber air bersih, kekeringan, hingga perubahan iklim global yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian materi hingga korban jiwa. SDGs meletakan fungsi konservasi lahan dan hutan dalam tujuan ke-15 tentang Life on Land, yaitu untuk melindungi, memulihkan, dan meningkatkan pemanfaatan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Target SDGs yang berkaitan dengan hutan pada poin ini antara lain adalah mengimplementasi-kan pengelolaan berkelanjutan untuk semua jenis hutan, memberantas penebangan hutan, serta memulihkan degradasi hutan dengan reboisasi dan peremajaan hutan (United Nations 2015).

(18)

pemberdayaan masyarakat sebagai basis utama dari pengelolaan hutan ini terdapat pada PP 6/2007 yang secara khusus dibahas pada Bagian Kesebelas “Pemberdayaan Masyarakat Setempat” yang terdapat dalam Bab IV Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan PP tersebut, pengelolaan hutan diadopsi melalui tiga skema, yaitu Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan kemitraan. Lebih lanjut, kebijakan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan disempurnakan dengan disahkannya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.52/Menhut-II/2011 dan pengelolaan Hutan Desa dengan Permenhut No. P.53/Menhut-II/2011.

Hingga tahun 2014, terdapat 360.000 hektar lahan Hutan Kemasyarakatan yang telah dicapai di seluruh Indonesia (FNHM 2014). Tidak semua wilayah mencapai keberhasilan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Efektifitas program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) di KPH Kendal memiliki nilai dampak yang agak rendah bagi masyarakat karena capaian program juga masih rendah (Guniastuti et al. 2014). Sementara itu, pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok juga masih belum berjalan secara optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya adalah tidak adanya pendampingan secara utuh dan kurangnya sumberdaya yang tepat sebagai pengurus kelembagaan (Nandini 2013). Di Kabupaten Ngawi meskipun PHBM memang berdampak positif bagi masyarakat, akan tetapi implementasinya masih belum efektif seperti pengurus yang belum mampu mengelola LMDH dengan baik, rendahnya ketaatan terhadap norma/aturan yang ada, belum luasnya jaringan kerjasama, dan sebagainya (Nugroho 2011). Menurut FNHM (2014), terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam implementasi PHBM sekarang ini, antara lain adalah pemasaran produk hasil hutan yang masih didominasi oleh para tengkulak, tidak ada pengawasan dan penilaian dari pemerintah daerah setelah pemberian izin usaha, kemiskinan dan kapasitas sumberdaya manusia masih rendah, akses permodalan kurang, dan sebagainya.

Bentuk komunikasi yang berkembang dewasa ini menyusul pemahaman terhadap pentingnya peran komunikasi sebagai metode dan alat dalam mendiskusikan isu-isu dan prioritas kegiatan pembangunan adalah komunikasi pembangunan. Komunikasi pembangunan dipahami sebagai aplikasi yang terencana dan partisipatif dalam metode komunikasi serta alat yang memfasilitasi pertukaran informasi dengan dialog, partisipasi, serta perubahan sikap dan praktik yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah disepakati di antara semua pemangku kepentingan, dengan memperhitungkan kebutuhan dan kapasitas semua pihak melalui penggunaan terpadu dan partisipatif dari proses komunikasi, media, dan saluran. Dalam kerangka ini, komunikasi dianggap sebagai proses sosial yang tidak hanya terbatas pada media atau pesan, tetapi interaksi para pelaku dalam jaringan hubungan sosial (WCCD 2006).

(19)

Sejak akhir tahun ‘80-an, pendekatan partisipatif telah menjadi fitur kunci dalam setiap penerapan komunikasi pembangunan untuk pembangunan berkelanjutan. Komunikasi memainkan peran strategis dan mendasar yang berkontribusi terhadap interaksi faktor pembangunan yang berbeda, meningkatkan berbagi pengetahuan dan informasi serta partisipasi aktif dari semua pihak. Sebagai salah satu bentuk pembangunan dengan konsep berkelanjutan dengan asas ekonomis, ekologis, sosial dan budaya, PHBM mengusung prinsip partisipatif yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat (Peraturan Menteri Kehutanan 2014). Sehubungan dengan prinsip tersebut, Fuad (2000) menemukan bahwa kesenjangan komunikasi yang lebar antara lembaga desa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya di desa menyebabkan implementasi pengelolaan hutan desa menjadi terhambat, sehingga sejalan dengan temuan Wilujeng (2015) bahwa salah satu faktor keberhasilan PHBM adalah komunikasi yang mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, di mana komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Namun, sebagai bagian dari komunikasi pembangunan berkelanjutan, konsep dari komunikasi partisipatif tidak hanya sebatas itu. Komunikasi partisipatif dalam pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses komunikasi di mana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, di mana setiap pelaku saling berpartisipasi untuk berbagi pengetahuan dan informasi, dengan memperhitung-kan kebutuhan dan kapasitas semua pihak, sehingga menghasilmemperhitung-kan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan (WCCD 2006; Satriani et al. 2011).

(20)

Rumusan Masalah

Salah satu bentuk PHBM di Indonesia adalah Hutan Desa. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 (P.89/Menhut-II/2014) dan Suwarti et al. (2015), Hutan Desa merupakan salah satu bentuk kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan dengan memberikan akses kepada desa melalui lembaga desa dalam mengelola sumberdaya hutan secara adil dan lestari. Sumatera Barat merupakan salah satu Provinsi yang menerapkan PHBM dalam bentuk Hutan Desa yang diistilahkan dengan Hutan Nagari. Nagari merupakan istilah yang menggambarkan masyarakat yang tersusun ke dalam unit kesatuan masyarakat adat di Sumatera Barat. Dalam hal ini, masyarakat nagari berperan dalam pengelolaan hutan sebagai bagian dari ulayat nagari. Peran nagari dalam pengelolaan hutan ini salah satunya dikukuhkan dalam Perda Nomor 10 tentang Tanah Ulayat dan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Nagari.

Dalam pelaksanaannya, pengelolaan Hutan Nagari serupa dengan Hutan Desa. Sebagaimana prinsip PHBM, pelaksanaan setiap aktivitas pada pengelolaan Hutan Nagari haruslah berdasarkan prinsip partisipatif untuk pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi partisipatif diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Seperti dalam latar belakang masalah di atas, Fuad (2000) dan Wilujeng (2015) menyatakan bahwa kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam proses komunikasi dalam pelaksanaan program pengelolaan hutan menyebabkan implementasinya menjadi kurang optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa melibatkan komunikasi yang partisipatif dalam setiap aktivitas pengelolaan Hutan Nagari, diduga pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan tidak berjalan secara optimal.

Meski demikian, hingga penelitian ini dilakukan belum ada bukti nyata yang menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut disebabkan oleh adanya komunikasi partisipatif yang menjadi faktor utama dari pengelolaan Hutan Nagari. Secara umum belum ada penelitian yang secara objektif membuktikan hubungan komunikasi partisipatif dan komunikasi yang tidak partisipatif dalam pengelolaan Hutan Nagari oleh masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. Tujuan utama penelitian ini kemudian diangkat dalam penelitian berjudul Komunikasi Partisipatif dalam Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat.

Adapun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a) Bagaimanakah proses komunikasi partisipatif dalam pengelolaan Hutan Nagari?

b) Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari?

(21)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a) Mendeskripsikan proses komunikasi partisipatif dalam pengelolaan Hutan Nagari.

b) Mendeskripsikan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari.

c) Mengalisa hubungan komunikasi partisipatif dengan pengelolaan Hutan Nagari secara berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a) Bagi praktisi, seperti anggota masyarakat pengelola hutan penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dalam implementasi komunikasi partisipatif dalam penerapannya pada program PHBM.

b) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk pengambilan kebijakan aplikasi komunikasi partisipatif dalam mendukung PHBM.

c) Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu komunikasi pembangunan, terutama komunikasi pembangunan berkelanjutan, serta menjadi referensi bagi penelitian lanjutan sejenis.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Pembangunan

Pada prinsipnya, seluruh sistem kehidupan di dunia ini selalu melakukan komunikasi. Secara sederhana, komunikasi mengacu pada tindakan pengiriman dan penerimaan oleh satu orang atau lebih. Dalam proses komunikasi tidak hanya terjadi penyampaian informasi, tetapi sekaligus pertukaran informasi, pengetahuan, ide-ide, perasaan-perasaan, melalui suatu sistem simbol bersama, yang meliputi proses encoding-decoding pesan, dan melakukan sintesis terhadap informasi dan makna. Proses komunikasi tidak terhenti hanya pada penyampaian informasi, tetapi akan terus berlanjut dengan adanya “dialog” sehingga peluang terjadinya pertukaran informasi, ide, pendapat sangat besar. Kata kunci dari komunikasi adalah adanya sesuatu “makna” atau pengertian (meaning) yang terkandung dalam setiap pesan (ide, gagasan, informasi, perasaan, dll) yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi (Mardikanto 2010; Age et al. 2012; Hubeis et al. 2012; Liliweri 2011).

(22)

pembangunan. Selanjutnya, komunikasi pembangunan diperbarui dengan mengacu pada pengertian pembangunan sebagai proses perubahan sosial yang partisipatif serta bertujuan untuk memberikan dampak secara sosial dan material, sehingga komunikasi pembangunan tidak lagi hanya diartikan sebagai penyampaian informasi, tetapi sebagai proses yang memungkikan partisipan untuk menciptakan dan berbagi informasi dengan yang lainnya, untuk mewujudkan pemahaman bersama. Komunikasi pembangunan berfungsi untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi antara kondisi masyarakat saat ini dengan kondisi yang ingin dicapai melalui proses-proses komunikasi yang partisipatif, dialogis, dan memotivasi sehingga secara efektif dapat mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembangunan (Mardikanto 2010; Amanah 2010; Kheerajit dan Flor 2013).

Komunikasi pembangunan haruslah dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhan-kebutuhannya, perencanaan komunikasi di sekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan-pesan itu, dan bukan hanya kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang pasif. Jangkauan utama dan fungsi dari komunikasi pembangunan tidak hanya secara khusus mengomunikasikan informasi dan pesan, akan tetapi juga termasuk mengikutsertakan berbagai pelaku dan menaksir situasi yang mungkin akan terjadi dalam upaya mencapai saling pengertian dan kesepakatan (Rogers 1989; Mefalopulos 2008; Harun dan Ardianto 2011).

Komunikasi pembangunan dituntut untuk bisa menyelami konteks glocal (globalization and local). Artinya, perkembangan yang ada sekarang tidak lagi hanya globalisasi (mendunia), tetapi harus berintegrasi dengan konteks lokal (salah satunya adalah kearifan lokal), tidak cukup hanya perpektif internasional, tetapi perlu disertai perpektif lokal. Pembangunan memerlukan rakyat yang mempunyai kadar kenal huruf serta pendapatan yang rendah dan ciri sosio-ekonomi yang berkaitan dengannya, mestilah diberitahu tentang adanya teknologi dan ide-ide baru yang patut diterapkan oleh mereka (Harun dan Ardianto 2011).

Komunikasi Pembangunan Berkelanjutan

Dalam dua puluh tahun terakhir, pembangunan berkelanjutan telah muncul dengan mengusung salah satu paradigma pembangunan yang paling menonjol. (WCCD 2006). Dewasa ini, pembangunan berkelanjutan lebih dikenal sebagai societal guiding model yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, sosial, dan ekologis pada seluruh level dan lingkungan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Steurer et al. 2005).

(23)

diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, termasuk di dalamnya pemeliharaan keanekaragaman hayati, pemilihan barang dan teknologi berorientasi pada persyaratan integritas ekosistem dan keanekaragaman, stabilitas atmosfer dan fungsi ekosistem lain yang biasanya tidak diklasifikasikan sebagai sumberdaya ekonomi (misalnya keindahan beberapa pemandangan); dan (3) dimensi sosial, di mana sistem harus mencapai pemerataan, ketersediaan produk layanan sosial, termasuk kesehatan dan pendidikan, kesetaraan gender, menghormati minoritas, akuntabilitas dan partisipasi politik. Dimensi sosial pembangunan berkelanjutan merupakan suatu bentuk keadilan antar generasi sekarang dan antara generasi sekarang dan generasi masa yang akan datang (Harris 2000; Streurer et al. 2005; WCCD 2006).

Pembangunan berkelanjutan menyiratkan partisipatif, pendekatan multi-stakeholder untuk pembuatan kebijakan dan pelaksanaan, mobilisasi sumberdaya publik dan swasta untuk pengembangan dan memanfaatkan pengetahuan, keterampilan dan energi dari semua kelompok sosial berkaitan dengan masa depan planet ini dan orang-orangnya. Dalam kerangka ini, komunikasi memainkan peran strategis dan mendasar yang berkontribusi terhadap interaksi faktor pembangunan yang berbeda, meningkatkan berbagai pengetahuan dan informasi serta partisipasi aktif dari semua pihak (WCCD 2006; Servaes 2011).

Menghadapi permasalahan tersebut, komunikasi pembangunan berkelanju-tan dapat diartikan sebagai suatu proses saling mengerti dan memahami antara pemerintah dan warga negaranya menuju suatu masyarakat yang terjamin masa depannya (sustainable society), di mana nilai-nilai dan norma-norma keadilan dijunjung tinggi. Selain itu, komunikasi pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses kesepahaman bersama yang berhadapan dengan pembangunan masa depan masyarakat pada bagian tengah visi keberlanjutan. Proses kesepahaman bersama ini terjadi pada konteks dan level yang berbeda; antar individu, antar individu dan institusi, antar institusi dan dalam institusi, di dalam sekolah dan universitas, dan sebagainya. Kesuksesan komunikasi berkelanjutan dan komunikasi pembangunan berkelanjutan tergantung pada banyaknya faktor-faktor yang tidak menyederhanakan proses yang ada (Godemann dan Michelsen 2011; Cahyandito 2009).

Komunikasi Pembangunan Partisipatif

(24)

yang terbukti telah mendukung upaya konservasi dengan melibatkan berbagai stakeholders terkait (Msibi dan Penzhorn 2010; Kheerajit dan Flor 2013; Pert et al. 2013).

Komunikasi pembangunan partisipatif merupakan sebuah perencanaan kegiatan, yang dalam satu sisi berbasis pada proses partisipatif, dan di sisi lain didasarkan pada media dan komunikasi interpersonal, dengan menggunakan dialog antar para pelaku untuk membicarakan berbagai masalah atau tujuan utama pembangunan, dengan sasaran untuk berkontribusi dalam solusi masalah-masalah pembangunan, implementasi dan realisasi kebijakan, serta mendukung dan menyertai berbagai inisiatif kegiatan di lapangan (Bessette 2004; Manda dan Wozniak 2015). Dalam kerangka ini, komunikasi ditekankan pada proses diskusi yang dapat meningkatkan aspirasi masyarakat sebagai perangsang untuk berpartisipasi dan bertindak nyata untuk mewujudkan tujuan pembangunan (Rinawati 2006; Muchtar 2016). Tufte dan Mefalopulos (2009) menggambarkan perbedaan komunikasi partisipatif dan tidak partisipatif seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsep pendekatan untuk komunikasi pembangunan

Development Communication

The Diffusion Model

(monologic communication)

The Participatory Model

(dialogic communication)

Definisi masalah Kekurangan informasi Rendahnya kerja sama dengan para pelaku (stakeholders)

Aspek Budaya Budaya sebagai halangan Budaya sebagai “way of life” atau “cara untuk hidup”

Aspek katalis Agen perubahan dari luar Menjalin kerjasama (di luar dan di dalam komunitas)

Aspek Pendidikan Banking pedagogy (pendidikan bergaya bank)

Pasif: targetnya adalah audiens Aktif: targetnya adalah masyarakat atau stakeholders

Bagaimana berkomunikasi

Pesan untuk membujuk Isu-isu sosial yang terkait, mengatasi masalah, dialog.

Tujuan utama perubahan

Perilaku individu Perilaku individu dan sosial, norma-norma sosial, kekuatan politis dan sosial, perubahan berkelanjutan, tindakan bersama.

Durasi aktifitas Jangka pendek dan menengah Jangka menengah dan panjang

(25)

Komunikasi partisipatif lekat dengan model komunikasi Paulo Freire yang berisi lima konsep utama, yaitu: (1) dialog, (2) penyadaran (conscientization), (3) praxis, (4) perubahan (transformation), dan (5) kesadaran kritis (critical consciousness) (McPhail 2009). Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat 4 prinsip dasar yang melandasi proses komunikasi partisipatif. Keempat prinsip tersebut harus saling mendukung satu sama lainnya dalam sebuah program pembangunan partisipatif. Sebab, tanpa mengandalkan prinsip-prinsip tersebut komunikasi partisipatif tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yang menyebabkan tidak optimalnya suatu program atau kegiatan pembangunan. Prinsip dasar tersebut adalah: (1) dialog, (2) voice, (3) liberating pedagogy, (4) action-reflection-action.

Dialog. Kebebasan dan keterbukaan dalam dialog merupakan prinsip dasar komunikasi partisipatif. Liliweri (2011) menyebutkan bahwa dialog merupakan komunikasi terstruktur yang mengandalkan perhatian penuh, mendengarkan secara aktif tentang akar yang paling dalam dari perasaan, keyakinan dan pengalaman. Menurutnya, dalam dialog tidak hanya melibatkan pikiran, tetapi terutama hati. Dialog tertarik pada hubungan antara peserta yang hati mereka terikat oleh topik atau tema yang dapat mereka eksplorasi bersama.

Voice atau penyampaian aspirasi menekankan pada adanya ruang dan waktu bagi masyarakat, terutama masyarakat yang termarjinalkan untuk diperhatikan dalam menyuarakan pendapat, menerjemahkan masalah-masalah mereka, merancang solusi, untuk kemudian melakukannya bersama-sama.

Liberating Pedagogy merupakan cara seseorang dalam berkomunikasi yang dilakukan dengan proses dialogis untuk membantu menyalurkan aspirasinya. Freire menyebutkan terdapat 4 pilar dari liberating pedagogy yang terkait dengan komunikasi, yaitu; (a) cinta, (b) kerendahan hati (membuang arogansi), (c) kepercayaan, dan (d) harapan. Hasil dari liberating pedagogy disebut Freire sebagai “scientilizacao”, yang dapat diterjemahkan sebagai pencapaian kesadaran ‘action-oriented’ atau mencapai kesadaran yang berorientasi pada tindakan. Muslikhah (2015) menambahkan bahwa proses liberating pedagogy atau pembelajaran yang membebaskan ini dimaknai bukan hanya sekedar membantu memfasilitasi penyaluran aspirasi ataupun proses diseminasi informasi dari yang tidak tahu menjadi tahu, melainkan lebih kepada bagaimana cara untuk membentuk sebuah dialog, sehingga mampu mengidentifikasi masalah secara bersama dan menetapkan solusi yang akan diambil.

Action-Reflection-Action atau aksi refleksi merupakan kegiatan dalam merefleksikan masalah serta melakukan tindakan dengan mencoba menghimpun gerakan dari masalah yang diidentifikasi dalam sebuah komunitas/kelompok. Kata kunci dalam konsep ini adalah meningkatkan kesadaran dan komitmen untuk bertindak dalam sebuah kelompok. Hal tersebut bisa dicapai dengan melibatkan tindakan kolektif dalam kelompok yang mempunyai komitmen dan rasa memiliki pada masalah yang dihadapi (Tufte dan Mefalopulos 2009; Muslikhah 2015).

(26)

Anomsari (2013). Seluruh penelitian tersebut menjelaskan bahwa komunikasi yang partisipatif berperan dalam mendorong kesuksesan suatu program agar dapat berjalan hingga mencapai tujuan yang diharapkan.

Model Komunikasi Pembangunan

Model komunikasi merupakan deskripsi verbal atau visual yang menjelaskan suatu proses komunikasi. Sejak awal mula diperkenalkan, paradigma dari proses komunikasi ini telah berkembang cukup pesat, dari yang semula bersifat garis lurus (linier) berupa penyampaian pesan atau informasi dari sumber kepada penerima, menjadi yang bersifat memusat/konvergensi (convergence) yaitu pertukaran pesan (informasi, ide, perasaan) antar pihak-pihak yang berkomunikasi sampai terjadinya kesepakatan atau pemahaman bersama terhadap pesan yang disampaikan atau respon yang diberikan terhadap pesan tersebut (Mardikanto 2010).

One-Way Communication/Monologic Mode

Model satu arah ini juga sering disebut sebagai model atau pola linier atau top down, di mana seseorang mengkomunikasikan pesan-pesannya melalui sebuah saluran kepada seorang penerima yang kemudian memberikan umpan balik kepada pengirim tersebut. Tujuan utama komunikasi satu arah ini terbagi atas dua jenis penerapan yang berbeda, yaitu; (1) komunikasi untuk menginformasikan (communication to inform); dan (2) komunikasi untuk mempersuasi (communication to persuade) (Jahi 1988; Mefalopulos 2008).

Model komunikasi satu arah ini tidak hanya digunakan dalam transfer informasi program pembangunan dari pemerintah pusat. Pada kenyataannya, dalam program-program yang sudah langsung menyentuh masyarakat pun, model satu arah masih banyak dilakukan, seperti dalam penelitian Hintow (2006) dan Zainal et al. (2014).

Two-Way Communication/Dialogic Mode

Menurut Kusumadinata et al. (2012) proses komunikasi dengan model dialogis adalah proses komunikasi melibatkan masyarakat dalam peran serta kegiatan. Terdapat beberapa penelitian yang membuktikan bahwa komunikasi dua arah dengan dialog banyak dilakukan dalam program-program yang diterapkan pada level masyarakat, baik berupa program dari pemerintah maupun program yang berasal dari kearifan budaya setempat (local wisdom) seperti penelitian Hendri et al. (2014) dan Maifianti et al. (2014). Perbedaan antara model komunikasi yang monologis dan model komonukasi yang dialogis yang dirangkum dalam Tabel 2.

(27)

dialog para partisipan menemukan ide-ide baru yang beraneka ragam, menemukan lagi semangat dan kemauan baik, menghargai perbedaan pandangan, serta dapat mengungkapkan kecerdasan sosial baru demi semua (Histow 2006; Mefalopulos 2008; Liliweri 2011).

Tabel 2 Penggabungan model-model dasar komunikasi

Perbandingan dan Perbedaan

Model Monologis Model Dialogis

Communication

Komunikasi Konvergen (Convergence Communication).

Model konvergensi komunikasi mengimplikasikan hubungan relasi yang simetris dari para partisipan yang menunjukkan kesetaraan mereka dalam tindakan dan membagi informasi untuk bersatu dalam suatu kepentingan bersama atau fokus. Informasi dan kesepahaman bersama merupakan komponen dominan dari model konvergensi komunikasi. Informasi yang dimiliki oleh peserta dalam proses komunikasi dapat menyebabkan tindakan kolektif, kesepakatan bersama, dan saling pengertian. Gambar 1 yang dikembangkan oleh Rogers dan Kinchaid menunjukkan hubungan antara komponen dasar dari proses komunikasi. Semua informasi merupakan konsekuensi dari tindakan, dan melalui berbagai tahapan manusia dalam pengolahan informasi, aksi dapat menjadi konsekuensi dari informasi.

Model konvergensi digambarkan sebagai proses yang interaktif dan saling berhubungan. Setiap partisipan memiliki peran yang setara satu sama lainnya (Flor 2004). Proses komunikasi berlangsung secara terus menerus hingga seluruh pelaku mendapatkan kesepahaman yang sama terhadap pesan atau informasi yang disampaikan. Kesepahaman yang sama tersebut dapat menjadi konsensus dari permasalahan yang dihadapi melalui kesepakatan bersama terhadap suatu solusi yang berakhir pada tindakan kolektif seluruh partisipan.

(28)

penyuluh/ fasilitator dan penerima manfaatnya tidak hanya terhenti jika penyuluh/fasilitator telah menyampaikan inovasi atau jika penerima manfaat telah menerima pesan tentang inovasi yang disampaikan penyuluh/fasilitatornya, tetapi seringkali (dan seharusnya memang begitu) komunikasi baru berhenti jika penerima manfaat telah mau menerima atau melaksanakan informasi yang disampaikan.

Gambar 1 Komponen dasar dari model konvergensi komunikasi

Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan hutan di masa lalu sering menyebabkan berbagai masalah. Kerusakan hutan berikut habitatnya disebabkan oleh pengelolaan berisiko tinggi dan sangat tidak menentu. Sistem pengelolaan yang tidak berkelanjutan itu akhirnya berdampak pada kerusakan lingkungan hingga masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin keberlangsungan hutan di masa yang akan datang. Adanya revitalisasi pembangunan hutan secara berkelanjutan (sustainable forest management) dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, merupakan upaya yang dilakukan untuk mengembalikan vitalitas hutan yang rusak akibat kecerobohan pengelolaan hutan yang pernah dilakukan di masa lalu sehingga produktivitas hutan dapat meningkat kembali (Purwatiningsih dan Dahlan 2015; Wilujeng 2015).

(29)

meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan degradasi lahan serta kehilangan keanekaragaman hayati. Target yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan ini berkaitan dengan lahan, biodiversity, hingga air bersih, di mana seluruhnya berkaitan dengan hutan. Dalam pengelolaan hutan sendiri, target dari SDGs adalah untuk mengimplementasikan pengelolaan berkelanjutan untuk semua jenis hutan, memberantas penebangan hutan, serta memulihkan degradasi hutan dengan reboisasi dan peremajaan hutan (United Nations 2015).

Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu program pemerintah dalam hal kehutanan dengan latar belakang pembangunan berkelanjutan. Tujuan dari program ini adalah pemberdayaan masyarakat setempat melalui pengelolaan hutan secara bekelanjutan dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah, lembaga terkait, maupun masyarakat setempat sebagai prioritas utama. Kebijakan PHBM yang kemudian dirinci sebagai Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, sebenarnya telah dibangun melalui pilot project pembangunan Hutan Kemasyarakatan yang melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja sejak tahun 1986. Perubahan-perubahan kebijakan terus dilakukan, disesuaikan dengan kebutuhan, keadaan, dan tingkat partisipasi masyarakat pada masa itu. Meskipun selalu mengalami perombakan kebijakan, pada akhirnya paradigma pengelolaan yang berbasis kepada sumberdaya kehutanan yang berbasis masyarakat, mencapai titik balik dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU 41/1999), yang menggeser paradigma lama menjadi pengelolaan hutan yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat, alih-alih hanya berorientasi pada hasil, tenaga kerja, atau peningkatan ekonomi. Poin penting dari tercantum dalam penjelasan umum dari UU tersebut yang bunyinya:

“Dilihat dari sisi fungsi produksinya, keberpihakan kepada rakyat banyak merupakan kunci keberhasilan pengelolaan hutan. Oleh karena itu, praktik-praktik pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan melibatkan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat”.

(30)

kerja yang dilakukan melalui koordinasi awal dengan pemerintah daerah melalui proses identifikasi dan inventarisasi potensi lokasi dan pembentukan kelembagaan HKm/HD pada tingkat tapak. Melalui proses koordinasi ini diharapkan proses penetapan areal kerja dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat.

Pengelolaan Hutan Desa dan Hutan Nagari

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sementara itu, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan) untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Kemenhut 2013).

Hutan Desa merupakan salah satu bentuk kebijakan untuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari (Suwarti et al. 2015). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 89 Tahun 2014 (P.89/Menhut-II/2014), Hutan Desa merupakan hutan negara yang belum dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Penyelenggaraan Hutan Desa dimaksudkan untuk memberikan akses kepada desa melalui lembaga desa dalam mengelola sumberdaya hutan secara lestari. Tujuan dari Hutan Desa ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan desa secara berkelanjutan. Pengertian dari Hutan Desa dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu: (a) aspek teritorial, Hutan Desa adalah hutan yang masuk dalam wilayah admininstrasi sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat; (b) aspek status, Hutan Desa adalah kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah admininstrasi desa tertentu, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai Hutan Desa; (c) aspek pengelolaan, Hutan Desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan milik pemerintah yang terletak dalam satu wilayah admininstrasi tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama antara pemerintah daerah dan pemerintah sebagai Hutan Desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat (Santoso 2011).

Lebih lanjut, di dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.89/2014 juga dijelaskan mengenai azas-azas Hutan Desa, yaitu: (a) manfaat lestari secara ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya; (b) musyawarah-mufakat; dan (c) keadilan. Untuk melaksanakan azas-azas tersebut, digunakan beberapa prinsip yaitu: (a) tidak memindahtangankan atau mengangunkan areal kerja hak pengelolaan Hutan Desa; (b) tidak menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan lain di luar rencana pengelolaan Hutan Desa; (c) pemanfaatan areal kerja hanya dapat dilakukan pada areal pemanfaatan; (d) mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya; (e) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa; (f) meningkatkan kesejahteraan desa yang berkelanjutan; (g) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama dan pengambilan keputusan; (h) adanya kepastian hukum; dan (i) transparansi dan akuntabilitas publik.

(31)

kepada kepala desa. Sementara itu, areal kerja Hutan Desa adalah satu kesatuan hamparan kawasan hutan yang dapat dikelola oleh lembaga desa secara lestari.

Hutan Nagari merupakan istilah Hutan Desa yang digunakan di Provinsi Sumatera Barat. Nagari merupakan istilah ‘desa’ di Sumatera Barat. Secara umum, peraturan mengenai Hutan Desa juga terdapat pada Hutan Nagari. Hutan Nagari adalah hutan negara yang dikelola oleh nagari dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan nagari serta belum diberikan izin atau hak. Sementara itu, Lembaga Pengelola (LPHN) adalah lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Nagari yang bertugas untuk mengelola Hutan Nagari secara fungsional berada dalam organisasi nagari dan bertanggung jawab kepada Wali Nagari.

Pembentukan lembaga LPHN dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat secara terorganisir memiliki kemampuan dalam mengelola Hutan Desa/nagari secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Sementara itu, tujuan LPHN adalah untuk membantu masyarakat secara bersama-sama memperoleh manfaat dari kawasan Hutan Nagari dalam jangka waktu panjang, baik manfaat ekonomi maupun manfaat lingkungan. Lebih lanjut, hak dari LPHN adalah: (a) pada hutan lindung berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan dan bukan kayu; (b) pada hutan produksi berhak untuk memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemanfataan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan dan bukan kayu. Sementara itu, kewajiban dari LPHN adalah: (a) melaksanakan penataan batas hak pengelolaan Hutan Desa; (b) menyusun rencana kerja hak pengelolaan Hutan Desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan Hutan Desa; (c) melakukan perlindungan hutan; (d) melaksanakan rehabilitasi areal kerja Hutan Desa; dan (e) melaksanakan pengkayaan tanaman areal Hutan Desa (Peraturan Nagari Sungai Buluh Nomor 8 Tahun 2012).

Pengelolaan merupakan suatu aktifitas, seni, cara, gaya pengorganisasian, kepemimpinan, pengendalian dalam mengelola dan mengendalikan kegiatan. Menurut Kotoatie dan Sjarief (2008), terdapat beberapa aktifitas dalam pengelolaan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengawasan, (4) operasi dan pemeliharaan, dan (5) evaluasi dan monitoring. Pengelolaan Hutan Desa menurut Kementerian Kehutanan (2013) dan PP No. 89 Tahun 2014 terdiri atas (1) rencana kerja, (2) penataan batas areal kerja, (3) pelaksanaan pemanfaatan Hutan Desa, dan (4) monitoring dan evaluasi.

Aktivitas pengelolaan Hutan Desa diharapkan dapat memberikan manfaat secara lestari (ekonomi, ekologi, sosial budaya) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa secara berkelanjutan. Gunawan et al. (2014) menyatakan tahap-tahap dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan terdiri atas (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pemanfaatan bagi hasil, dan (4) evaluasi. Lebih lanjut Gunawan et al. (2014) menyatakan bahwa bahwa pelaksanaan kegiatan dalam rangka pemanfataan Hutan Desa terdiri atas pemeliharaan, penanaman, tumpang sari, dan keamanan.

Partisipasi Masyarakat dalam PHBM

(32)

program ini sejalan dengan demokrasi yang menuntut adanya partisipasi aktif masyarakat dalam urusan pemerintahan. Hak dan tanggung jawab pengelolaan hutan dimiliki oleh masyarakat, swasta, dan pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya (Anomsari 2013). Program ini dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dengan pemberdayaan masyarakat desa hutan melalui perekonomian untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian (Gunawan et al. 2014).

Esensi dari program PHBM adalah partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan terlibat dalam pengamanan dan perlindungannya untuk mewujudkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat (Gunawan et al. 2014). Dengan kata lain, sesuai dengan modul pelaksanaan pengelolaan PHBM oleh Kementerian Kehutanan, partisipasi masyarakat merupakan fitur kunci dari keberhasilan program PHBM. Hintow (2006) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan bersama masyarakat secara berkelanjutan yang menggunakan komunikasi partisipatif tidak hanya memberi masyarakat desa sebuah kesepahaman yang lebih baik dalam pengelolaan hutan masyarakat serta menyadari pentingnya hutan, akan tetapi juga dapat mendorong perusahaan-perusahaan atau organisasi dan lembaga terkait dalam upaya konservasi hutan.

Dengan konsep baru tersebut, PHBM terbukti mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan mulai dari perencanaan hingga evaluasi. Dampak positif tersebut dapat berupa peningkatan penghasilan masyarakat, peningkatakan pada kelestarian lingkungan hutan, menurunkan tingkat kerusakan hutan, menurunkan kasus pencurian, dan berkurangnya lahan kosong karena peran aktif masyarakat dalam mengolah lahan dan melakukan reboisasi (Nasikh 2009; Damayatanti 2011; Ngabdani et al. 2015)

Meski demikian, masih ditemukan implementasi yang belum optimal karena rendahnya partisipasi masyarakat kegiatan pengelolaan. Utama et al. (2010) menemukan bahwa kegiatan pemberdayaan kelompok tani hutan relatif rendah karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan diakibatkan seluruh kegiatan sudah ditentukan lebih dulu oleh Perhutani. Selain itu, Suprayitno (2011) juga menyatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan masih tergolong rendah dikarenakan kurangnya keberdayaan dan kurang optimalnya tingkat kemampuan masyarakat sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam sebagian kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program, serta tidak adanya penyuluhan yang teratur mengakibatkan masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, sehingga masyarakat menjadi kurang termotivasi dalam melaksanakan kegiatan program secara keseluruhan.

(33)

program secara keseluruhan. Implementasi yang kurang optimal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai program PHBM di lapangan, proses komunikasi yang berjalan kurang optimal, dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan PHBM. Selain itu, rendahnya peran serta lembaga masyarakat pengelola hutan dan pesanggem (penggarap), serta belum luasnya jaringan kerjasama juga turut menjadi penyebab kurang berkembangnya program PHBM di lapangan (Nugroho 2011; Sutejo 2014; Wilujeng 2015).

Oleh karena itu, diperlukan partisipasi maksimal dari segala pihak, baik pengurus maupun masyarakat. Dengan adanya partisipasi semua pelaku yang terlibat (stakeholders), dapat saling berbagi informasi, pengetahuan, serta dapat menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama. Dialog yang diperankan oleh semua pelaku pada seluruh aktivitas pengelolaan dapat meningkatkan partisipasinya dalam setiap kegiatan (Satriani 2011; Susanti 2013; Muchtar et al. 2014).

Karakteristik Individu

Karakteristik individu merupakan ciri kepribadian yang melekat pada diri setiap individu yang sudah ada sejak lahir, serta dipengaruhi juga oleh lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang. Menurut Pangewa (2004), faktor-faktor yang memengaruhi karakteristik individu adalah (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) tingkat pendidikan, (4) pendapatan, dan (5) pekerjaan.

Selanjutnya, menurut Riduwan (2011) unsur-unsur karakteristik responden dapat dirinci berdasarkan tujuan penelitian dan angket wawancara. Riduwan (2014) menyebutkan bahwa diantaranya karakteristik responden dapat berupa (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) pekerjaan, (4) lama bekerja, (5) pendidikan terakhir, dan (6) status perkawinan. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa karakteristik responden dapat berupa tujuan negara, alamat responden, jabatan, unit organisasi, dan sebagainya, tergantung keperluan dan tujuan penelitian (Riduwan 2011).

Umur seseorang akan menentukan kemampuannya dalam bekerja, merespons sesuatu, dan kemampuannya dalam belajar serta menyerap hal-hal baru. Usia produktif memungkinkan individu untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan, terlibat aktif dalam komunikasi partisipatif serta dapat menyerap berbagai informasi yang diberikan (Muchtar et al. 2014; Cahyanto et al. 2008). Akan tetapi, dalam beberapa penelitian, umur menjadi tidak berpengaruh dengan hal tersebut seperti penelitian Sadono et al. (2014). Sehubungan dengan pengelolaan hutan, Winata dan Yuliana (2012) menyebutkan bahwa semakin bertambah umur petani hutan, maka keikutsertaan petani hutan dalam program PHBM semakin tinggi sebab mereka mempunyai pengalaman bertani yang lebih lama daripada petani yang berumur lebih muda, sehingga pengalaman bertani tersebut berguna dalam menyusun program PHBM.

(34)

penelitian oleh Wibowo et al. (2012) yang menyebutkan bahwa di Bogor dan Boyolali masih ada perbedaan antara pria dan wanita dalam peranannya berusaha tani yang dipengaruhi oleh budaya lokal di mana pria harus mempunyai peranan lebih dibanding wanita. Selain itu, Listiorini (2014) juga menyebutkan bahwa di Sumba Timur perempuan masih berada dalam tataran objek pembangunan dan partisipan pasif karena masih terkurung dalam budaya patriakat yang tidak memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembangunan pertanian.

Tingkat pendidikan memengaruhi kemampuan berpikir secara rasional dan analisis. Baik pendidikan formal maupun nonformal merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta dapat menjadi dasar kemampuan pengambilan keputusan terhadap berbagai masalah yang dihadapi. Umumnya, makin tinggi pendidikan seseorang makin ilmiah cara berpikirnya. Tidak hanya itu, usaha pengembangan keterampilan dan pembinaan watak seseorang merupakan bagian dari pendidikan. Seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis lebih banyak akan lebih mudah dan mampu berkomunikasi dengan baik. Dalam hubungannya dengan komunikasi partisipatif, diketahui juga bahwa tingkat pendidikan responden berhubungan nyata dengan pola komunikasi partisipatif pada aspek arah komunikasi. Hal tersebut bermakna terdapat kecenderungan semakin tinggi pendidikan seseorang cenderung lebih aktif dalam berkomunikasi dengan penyuluh pendamping (Pamungkas 2013; Mujiburrahmad et al. 2014; Zainal et al. 2014).

Pendapatan. Tingkat pendapatan dapat mengindikasikan golongan masyarakat mana saja yang terlibat dalam suatu kegiatan, dalam hal ini adalah kegiatan pengelolaan Hutan Nagari. Penelitian Hendri et al. (2014) menyatakan bahwa umumnya masyarakat yang ikut terlibat dalam suatu kegiatan kelompok adalah masyarakat dengan tingkat penghasilan rendah.

Pekerjaan. Pekerjaan merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anggota masyarakat ataupun pengurus. Hendri et al. (2014) menyatakan bahwa pekerjaan dianggap mempunyai hubungan dengan efektifitas musyawarah perencanaan pembangunan.

Dukungan terhadap Pengelolaan Hutan Nagari

Aspek dukungan terhadap Hutan Nagari merupakan seluruh bantuan ataupun dukungan baik secara materi, dana, fasilitas, maupun kebijakan yang diberikan oleh berbagai kalangan terhadap pengelolaan Hutan Nagari. Dalam pengelolaan Hutan Nagari, bantuan biasanya diberikan oleh lembaga-lembaga pemerintahan ataupun non pemerintahan baik pada tingkat nagari, kecamatan, kota atau pun provinsi.

(35)

swadaya masyarakat, lembaga keuangan, koperasi, BUMN/BUMD/BUMS (Kemenhut 2014).

Beberapa bantuan yang diberikan terhadap Hutan Nagari dapat berupa fasilitas pembentukan Hutan Nagari oleh pemerintah berupa kebijakan dengan penerbitan SK, fasilitas berupa sekolah lapang di mana agen-agen pemerintah bertindak sebagai fasilitator, dan sebagainya; serta bantuan dari KKI Warsi. Sementara itu, tokoh-tokoh nagari seperti Wali Nagari, ketua Badan Musyawarah Nagari (BAMUS) dan Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga ikut memberikan dukungan melalui surat pernyataan serta dukungan berupa sumberdaya (Kemenhut 2013; LPHN Sungai Buluh 2015).

Penelitian Terdahulu

Studi mengenai partisipasi telah dilakukan sejak tahun 1950-an, sejak Freire memperkenalkan sistem pendidikan dan pemberdayaan yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri. Sementara itu, studi mengenai komunikasi partisipatif juga telah berkembang sejak akhir tahun 1980-an, di mana komunikasi partisipatif menjadi fitur kunci dalam komunikasi pembangunan dan komunikasi pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan studi yang telah dilakukan selama beberapa dekade tersebut, terdapat berbagai keberhasilan berikut kegagalan dari pelaksanaan komunikasi partisipatif, dengan berbagai faktor-faktor terkait.

Penelitian yang diangkat oleh Muslikhah (2015) mengenai Komunikasi Partisipatif pada Kelompok Wanita Tani (KWT) menunjukkan aktivitas komunikasi partisipatif yang terjadi dalam pelaksanaan pemanfaatan lahan pekarangan di Kecamatan Kajoran. Muslikhah menyebutkan bahwa KWT Kecamatan Kajoran melakukan komunikasi yang partisipatif dalam pelaksanaan kegiatan yang didukung oleh pengalaman kelompok wanita tani serta peran penyuluh yang mampu menjalankan peran fasilitatif serta edukatif dalam mendampingi KWT. Tingkat komunikasi parsipatif yang tinggi didukung oleh peran penyuluh yang fasilitatif dan edukatif, karakteristik kelompok, kontribusi pekarangan, metode komunikasi yang melibatkan seluruh anggota dalam kelompok, dan penggunaan alat komunikasi berupa video yang mendorong keterlibatan anggota. Adanya kesempatan yang diberikan kepada anggota kelompok dalam aktivitas komunikasi partisipatif (dialog, aspirasi, dan tindakan kolektif) mampu mendorong anggota untuk berpartisipasi aktif dan menimbulkan kesadaran serta pemikiran kritis pada diri anggota kelompok.

Sejalan dengan Muslikhah (2015), penelitian yang dilakukan oleh Muchtar et al. (2014) mengenai komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan SL-PTT juga menunjukkan bahwa karakteristik individu yang terdiri atas karakteristik petani (umur, tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan, dan status sosial) dan karakteristik penyuluh (penguasaan materi dan keterampilan berkomunikasi penyuluh) berpengaruh terhadap penerapan komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan SL-PTT. Muchtar et al. (2014) menambahkan bahwa proses penerapan komunikasi partisipatif berpengaruh secara nyata juga memengaruhi keputusan petani mengadopsi teknologi dalam SL-PTT.

(36)

Susanti (2013) turut menegaskan hal tersebut. Penelitian yang bertujuan untuk melihat sejauh mana faktor karakteristik individu, peran pendamping dan sosial budaya memengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program PEKKA, dan menganalisis tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program tersebut ini menunjukkan bahwa di awal program, bentuk komunikasi cenderung monolog, yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, dan budaya patriaki. Namun, setelah menerima materi pengembangan diri dan berbagai pendekatan baik secara tatap muka (interpersonal) maupun pertemuan kelompok maka perempuan kepala keluarga (kecuali yang sudah berusia lanjut) mengetahui hak-haknya sehingga mereka cenderung sudah dapat berkomunikasi secara dialogis. Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga dipengaruhi oleh bentuk komunikasi partisipatif mereka dalam program. Perempuan yang aktif atau memiliki bentuk komunikasi cenderung dialogis dalam program memiliki tingkat keberdayaan paling tinggi dibandingkan dengan perempuan kepala keluarga yang kurang aktif maupun perempuan yang hanya sebagai pendengar (Susanti 2013).

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Susanty (2013) bertujuan untuk melihat tingkat pelaksanaan komunikasi partisipatif pada program Pendidikan Lingkungan Hidup Green School, melihat hubungan antara komunikasi partisipatif dengan perubahan peserta, dan hubungan perubahan perilaku dengan praktik peserta. Hasil menunjukkan bahwa pada pelaksanaan program PLH Green School, komunikasi partisipatif terjadi secara dialogis antar seluruh peserta program. Diketahui juga bahwa karakteristik individu memengaruhi komunikasi partisipatif para peserta. Komunikasi partisipatif juga memengaruhi perubahan (perilaku, sikap, keterampilan) peserta, dan perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) peserta program memengaruhi praktik peserta (Susanty 2013).

Penelitian oleh Satriani et al. (2011) yang juga mengangkat komunikasi partisipatif betujuan untuk menganalisis komunikasi partisipatif yang terjadi pada kader dalam kegiatan posdaya dan menganalisis dampak komunikasi partisipatif dalam kader posdaya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi partisipatif yang meliputi akses, heteroglasia, poliponi, dialog, dan karnaval terjadi dalam posdaya Kenanga; dan dampak komunikasi partisipatif dalam posdaya Kenanga saling berbagai informasi pengetahuan, menyelesaikan permaslaahan secara bersama, dan terjadinya keakraban sesama kader (Satriani et al. 2011).

(37)

pikir lembaga yang masih memprioritaskan bantuan dan sharing saja, dan kurangnya kegiatan monitoring dan evaluasi; dan (b) faktor-faktor implementasi kebijakan PHBM seperti proses komunikasi berjalan kurang optimal, sumberdaya belum mencukupi, fasilitas sarana dan prasarana masih belum cukup, dan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan.

Penelitian mengenai implementasi program PHBM oleh Gunawan et al. (2014) bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi program PHBM dalam bentuk partisipasi masyarakat desa hutan, menentukan peranan kelembagaan masyarakat desa hutan, dan memberikan rekomendasi dan arahan perbaikan terhadap implementasi program PHBM di KPH Cepu. Hasil penelitian menunjukkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam PHBM di KPH Cepu masih terbatas pada tahap pelaksanaan dan pemanfaatan bagi hasil non kayu pada kegiatan penanaman, pemeliharaan, tumpang sari, dan keamanan. Faktor yang memengaruhi peranan suatu organisasi adalah tujuan yang jelas, struktur organisasi, dukungan atau partisipasi masyarakat dan sistem nilai yang dianut. Peranan LMDH yang diuji dalam program PHBM kurang optimal karena masih bersifat pasif (Gunawan et al. 2014).

Penelitian oleh Guniastuti et al. (2014) yang bertujuan untuk menganalisis hasil proram PHBM di KPH Kendal, menganalisis dampak program terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan, dan merumuskan strategi pengembangan program PHBM menunjukkan bahwa hasil program PHBM meliputi pemahaman masyarakat, sharing kayu, dan partisipasi masyarakat masih rendah. Terkait dampak dari segi ekonomi yang diteliti dalam tulisan ini, Guniastuti et al. (2014) menyatakan bahwa program PHBM berdampak terhadap perubahan pendapatan rata-rata anggota LMDH tetapi belum mampu meningkatkan taraf hidupnya. Selain itu, aset dan pengakuan eksistensi masyarakat juga mengalami peningkatan. Tingkat efektifitas program berdasarkan hasil PHBM dan dampaknya bagi masyarakat memiliki nilai agak rendah karena capaian program agak rendah. Terakhir, strategi pengembangan program PHBM menurut matrik SWOT adalah mendukung strategi menimalisasi (Guniastuti et al. 2014).

Terkait partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang juga dibahas dalam tulisan ini, penelitian Sudrajat et al. (2016) mengenai partisipasi petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Desa Cikeusal dan Desa Kananga menunjukkan bahwa tingkat partisipasi petani Hutan Rakyat di kedua desa penelitian pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil Hutan Rakyat cenderung rendah disebabkan oleh faktor penyuluhan, kelompok tani, dan akses informasi. Terkait akses informasi sebagai bagian dari dukungan sumberdaya, temuan ini menunjukkan bahwa akses informasi secara nyata memperikan pengaruh terhadap peningkatan kualitas partisipasi petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Lebih jauh, Sudrajat et al. (2016) menambahkan bahwa partisipasi masyarakat pengelola secara berkorelasi secara langsung dengan kelestarian Hutan Rakyat dan kesejahteraan petani.

(38)

adalah sebagai berikut: saluran komunikasi masyarakat dalam partisipasinya pada proses perencanaan program kerja PHBM adalah Forum Komunikasi (Forkom). Selanjutnya, saluran partisipasi masyarakat dalam program PHBM adalah LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Forkom, LSM, dan masyarakat lainnya.

Hasil penelitian Waliulu (2012) yang melihat bentuk partisipasi diberikan masyarakat sekitar hutan terhadap keamanan hutan menunjukkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi yang diberikan para pesaggem dalam usaha mengatasi kebakaran dan pencurian kayu di hutan meliputi pemberian informasi, menanggapi dan mendiskusikan informasi tersebut. Akan tetapi, partisipasi masyarakat hanya sampai pada tahap diskusi, tidak sampai pada tahap pengambilan keputusan. Bentuk partisipasi yang menanggung resiko berupa melibatkan diri dalam suatu masalah hanya dilakukan oleh beberapa pesanggem tertentu saja, terutama ikut dalam mencegah terjadinya kebakaran atau pencurian hutan (Waliulu 2012).

Berdasarkan uraian penelitian terdahulu, terlihat bahwa pelaksanaan berbagai program pembangunan pemerintah yang melibatkan partisipasi masyarakat tidak seluruhnya mencapai keberhasilan, baik berupa program-program umum; program-program pertanian, pemberdayaan, kemasyarakatan, dan sebagainya, hingga program yang menjadi objek penelitian ini; program PHBM. Masih terdapat berbagai kekurangan yang menyebabkan pencapaian tujuan Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program tersebut. Padahal, partisipasi aktif masyarakat dalam setiap aspek pelaksanaan program merupakan syarat utama keberhasilan program, bahkan menjadi tujuan dari program itu sendiri.

Partisipasi sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam seluruh kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi; melibatkan komunikasi di dalamnya dan karena bentuk pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan partisipatif, maka dalam pelaksanaannya tentu tidak terlepas dari peran penting komunikasi partisipatif sebagai faktor kunci keberhasilan program tersebut. Melihat dari hasil penelitian terdahulu terhadap berbagai program yang pelaksanaannya kurang optimal disebabkan kurangnya partisipasi masyarakat sebagai dasar utama pelaksanaan program, dapat diduga bahwa hal tersebut terjadi karena masih kuranya komunikasi partisipatif masyarakat dalam setiap kegiatan. Tanpa komunikasi partisipatif sebagai fitur kunci terlaksananya partisipasi masyarakat dalam progam pembangunan dalam kegiatan, maka dapat diduga bahwa pencapaian tujuan akhir dari setiap program berlangsung kurang optimal, termasuk pada pelaksanaan program pengelolaan Hutan Nagari.

Kerangka Pemikiran

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2 Penggabungan model-model dasar komunikasi
Gambar 1 Komponen dasar dari model konvergensi komunikasi
Gambar 2 Kerangka pemikiran pelaksanaan komunikasi partisipatif pembangunan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan asupan lemak dan serat dengan kadar trigliserida pada pasien diabetes mellitus tipe II di Poli Penyakit Dalam RSUD Dr.. Desain

Masyarakat miskin petani pesanggem atau penduduk yang berada pada sekitar hutan merupakan subyek yang secara bersama-sama dengan peme- rintah lokal yang nantinya

Untuk itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk penerapan sebuah Sistem Monitoring yaitu Analisis Sistem Monitoring Deteksi Kecelakaan Pada Perusahaan Asuransi

Grafik rata-rata kepemilikan manajerial yang cenderung meningkat daripada kebijakan hutang karena tingkat kepemilikan saham oleh manajerial telah banyak dimiliki

319 Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan. O Prosentase dana yang

AMBAI YAPEN SELATAN WONAWA Kepulauan Yapen Total Total

A. Penegakan hukum tindak pidana Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan oleh Kepolisian Resor Indragiri Hulu telah

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara stres harian dengan intensi menikah kembali pada single mother akibat cerai hidup di