KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
ACHMAD FAUZI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
RINGKASAN
ACHMAD FAUZI. Potensi Pengembangan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Berdasarkan Aspek Agroklimatologi di Sulawesi Tenggara. Dibawah bimbingan IMAM SANTOSA.
Latar belakang penelitian ini adalah tingginya eksport Lateks (karet mentah) ke luar negeri. Nilai eksport karet mentah ini memiliki kontribusi dalam meningkatkan pendapatan devisa negara yang cukup signifikan dari sektor non-migas.
Penelitian ini penentuan kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet, dilakukan dengan pengumpulan data non-spasial (iklim dan tanah), data spasial (DEM & Peta tanah), lalu data tersebut diubah menjadi peta spasial. Selanjutnya adalah membuat klas kesesuaian iklim dan tanah tanaman karet. Kemudian dilakukan proses tumpang susun kedua kesesuian tersebut, sehingga menjadi kesesuaian Agroklimat. Dengan asumsi nilai pembobotnya sama, artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet.
Dari nilai kesesuain agroklimat tersebut di analisis lebih lanjut dengan menghubungkan faktor ekonomi daerah Sulawesi Tenggara, yaitu penutupan/penggunaan lahan. Dari hubungan tersebut diperoleh potensi kesesuaian tanaman karet di Sulawesi Tenggara.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET
(Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
ACHMAD FAUZI
G02400030
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
JUDUL : Kesesuaian Lahan Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis)
Berdasarkan Aspek Agroklimat Di Sulawesi Tenggara
NAMA : Achmad Fauzi
NRP
: G2400030
Menyetujui,
Pembimbing
Dr.Ir. Imam Santosa, MS.
NIP. 130 804 894
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr.Drh. Hasim, DEA
NIP : 131 578 806
473 999
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 15 April 1981 dari pasangan orang tua bernama Saiful Anwar (alm) dan Masenah. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis lulus dari SMU 109 Jakarta pada tahun 2000 kemudian pada tahun yang sama pula diterima di Institut Pertanian bogor melalui jalur UMPTN pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, program studi Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
ACHMAD FAUZI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
RINGKASAN
ACHMAD FAUZI. Potensi Pengembangan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Berdasarkan Aspek Agroklimatologi di Sulawesi Tenggara. Dibawah bimbingan IMAM SANTOSA.
Latar belakang penelitian ini adalah tingginya eksport Lateks (karet mentah) ke luar negeri. Nilai eksport karet mentah ini memiliki kontribusi dalam meningkatkan pendapatan devisa negara yang cukup signifikan dari sektor non-migas.
Penelitian ini penentuan kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet, dilakukan dengan pengumpulan data non-spasial (iklim dan tanah), data spasial (DEM & Peta tanah), lalu data tersebut diubah menjadi peta spasial. Selanjutnya adalah membuat klas kesesuaian iklim dan tanah tanaman karet. Kemudian dilakukan proses tumpang susun kedua kesesuian tersebut, sehingga menjadi kesesuaian Agroklimat. Dengan asumsi nilai pembobotnya sama, artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet.
Dari nilai kesesuain agroklimat tersebut di analisis lebih lanjut dengan menghubungkan faktor ekonomi daerah Sulawesi Tenggara, yaitu penutupan/penggunaan lahan. Dari hubungan tersebut diperoleh potensi kesesuaian tanaman karet di Sulawesi Tenggara.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET
(Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
ACHMAD FAUZI
G02400030
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
JUDUL : Kesesuaian Lahan Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis)
Berdasarkan Aspek Agroklimat Di Sulawesi Tenggara
NAMA : Achmad Fauzi
NRP
: G2400030
Menyetujui,
Pembimbing
Dr.Ir. Imam Santosa, MS.
NIP. 130 804 894
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr.Drh. Hasim, DEA
NIP : 131 578 806
473 999
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta 15 April 1981 dari pasangan orang tua bernama Saiful Anwar (alm) dan Masenah. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis lulus dari SMU 109 Jakarta pada tahun 2000 kemudian pada tahun yang sama pula diterima di Institut Pertanian bogor melalui jalur UMPTN pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, program studi Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam.
KATA PENGANTAR
Manusia tidak selalu mendapatkan apa yang disukai, tetapi manusia harus menyukai apa yang telah didapatkan. Manusia harus bersyukur atas segala hal dan keinginan yang telah diperolehnya. Bersyukur ketika kita tidak tahu, karena itu memberikan kita kesempatan untuk belajar. Bersyukur untuk masa-masa sulit, karena di masa itulah kita akan tumbuh. Bersyukur untuk keterbatasan kita, karena hal itu memberikan kesempatan kita untuk berkembang. Bersyukur untuk setiap tantangan baru, karena itu akan membangun kekuatan dan karakter kita. Bersyukur atas kesalahan yang lalu, karena akan mengajarkan pelajaran yang berharga. Bersyukur bila lelah dan letih, berarti kita telah membuat suatu perbedaan. Mungkin mudah untuk kita bersyukur akan hal-hal yang baik, tetapi masa sulit dan surut lebih mudah untuk kita berkeluh kesah. Rasa syukur dapat mengubah hal yang negatif menjadi positif. “Temukan cara bersyukur akan masalah-masalahmu dan semua itu akan menjadi berkah bagimu”.
Alhamdulillahirabb, Puji syukur kepada Allohu rabb atas segala-Nya penulis bisa menyelesaikan studi dan tulisan ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan di dalam tulisan ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampunan yang dimiliki. Berkat bantuan serta motivasi penulis mengucapan terima kasih dan penghargan kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Imam Santosa, MS sebagai pembimbing skripsi dan ketua jurusan Meteorologi FMIPA IPB.
2. Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc IT sebagai komisi pendidikan. 3. Dr. Ir. Sobri Effendy, Msi sebagai pembimbing akademik.
4. Ir. Heny Suharsono, M.Si dan I Putu Santikayasa, S.Si, M.Sc IT sebagai dosen penguji pada sidang skripsi.
5. Para staf jurusan Meteorologi FMIPA IPB (Pak Sutoro, Pak Pono, Pak Jun, kang nandang, kang ajiz, teh wanti, dan Icha) yang telah membantu dalam administrasi.
6. Special thanks untuk Boss (Andri 37) yang banyak memberikan kontribusi berupa materil dan imateril sehingga skripsi ini cepat selesai.
7. Mama, alm Papah, K’ Tiar, K’Evi, K’Jali, K’ Cici dan 7 adikku (Lia, Ancah, Ais, Hilmi, Dian, Lana, Izhar) serta Keponakanku yang lucu-lucu (Ali, Putri, Eisha, Anis dan Syafa). Atas doa, kasih sayang, kebersamaan dan soulmate-nya.
8. GFM 37 friends (Soft-yan, Blake, Alif, Jamal, Maggots, Erwin dan Momon) yang banyak memberikan masukan serta motivasinya. “ Mon akhirnya gw lulus jg, prediksi lu meleset!”. 9. Adi 38 dan Taufik 35 atas data-datanya.
10. Ining 41 nuhun pisan untuk makanan dan bantuannya untuk seminar dan sidang. 11. “Na” TNH 41 yang banyak memberikan masukan serta motivasinya dalam segala hal. 12. Semua umat manusia di bumi ini yang bersyukur/mendambakan kebaikan, cinta, ketulusan,
keikhlasan dan kesabaran dalam setiap hembusan nafasnya untuk mengarungi kehidupan.
Berkat semuanya itu, karya ini ada. Semoga Alloh membalas semua kebaikan dengan pahala yang tidak ternilai. Penulis berharap karya ini bermanfaat untuk rujuakan dan sumbangsih Ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI
Daftar Isi ... i Daftar Gambar... ii Daftar Tabel ... iii Daftar Lampiran ... iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan... 2 1.3 Asumsi ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Agronomi Tanaman Karet ... 3 2.2 Produksi Karet di Indonesia... 3 2.3 Beberapa Aspek Penting Untuk Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet ... 4 2.3.1 Suhu Udara ... 4 2.3.2 Curah Hujan ... 4 2.3.3 Tanah ... 4 2.4 Pewilayahan Tanaman dan Evaluasi Lahan... 4 2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 5
III. METODOLOGI
3.1 Bahan dan Alat ... 6 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 6 3.3 Metode ... 6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) ... 8 4.1.1 Kondisi Geografis... 8 4.1.2 Kondisi Topografis ... 8 4.1.3 Kondisi Iklim... 9 4.1.4 Kondisi Tanah ... 9 4.2 Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra ... 10 4.3 Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra... 11 4.4 Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet di Propinsi Sultra ... 11 4.5 Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra... 12
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 14 5.2 Saran ... 14
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1 Poduksi Lateks Beberapa Klon Anjuran ... 3 2 Flowchart Penyusunan Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet ... 7 3 Peta Lokasi Propinsi Sultra ... 8 4 Peta Penampakkan Ketinggian Sultra ... 8 5 Grafik Curah Hujan Rata-rata Bulanan di Sultra... 9 6 Peta Sebaran Curah Hujan di Sultra ... 9 7 Peta Jenis Tanah di Sultra ... 10 8 Peta Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Sultra ... 10 9 Peta Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Sultra... 11 10 Peta Kesesuaian Agroklimat (Iklim & Tanah) untuk Tanaman
Karet di
DAFTAR TABEL
No Halaman
1 Tingkat Kelas Untuk Kesesuaian Lahan ... 5 2 Kelas Lereng di Sultra ... 8 3 Sebaran Ketinggian di Sultra... 9 4 Sebaran Suhu Udara Rata-rata di Sultra ... 9 5 Luas Potensial Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan
Kesesuaian Iklim di Sultra. ... 10 6 Luas Potensial Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan
Kesesuaian Tanam di Sultra. ... 11 7 Luas Potensial Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan
Kesesuaian Agroklimat di Sultra... 12 8 Luas Potensial Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan
Kesesuaian Agroklimat dan Penutupan/Penggunaan Lahan di
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Tabel Persyaratan Penggunaan Lahan (Iklim dan Tanah) untuk Tanaman Karet (Heavea brassiliensis M. A.) Modifikasi dari
Djaenudin, et. Al. 2000 ... 16 2 Tabel Luasan Penutupan/Penggunaan Lahan di Sultra ... 16 3 Data Iklim Curah Hujan Beberapa Titik Stasiun Cuaca di Propinsi
Sultra ... 17 4 Klasifikasi dan Karakteristik untuk Setiap SPT (Satuan Peta Tanah)
di Sultra ... 18 5 Tabel Luas Daerah per Kabupaten di Sultra... 19 6 Tabel Luasan Kesesuaian Agroklimat per Kabupaten di Sultra ... 20 7 Tabel Luasan Potensi Pengembangan Karet per Kabupaten di
Sultra ... 21 8 Peta Sebaran Titik Stasiun Cuaca di Propinsi Sultra. ... 22 9 Peta Sebaran Kemiringan Lereng di Propinsi Sultra ... 23 10 Peta Sebaran Curah Hujan Rata-rata di Propinsi Sultra. ... 24 11 Peta Sebaran Suhu Rata-rata di Propinsi Sultra... 25 12 Peta Sebaran Lamanya Masa Bulan Kering di Propinsi Sultra ... 26 13 Peta Kesesuaian Iklim berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N di
Propinsi Sultra ... 27 14 Peta Kesesuaian Agroklimat berdasarkan kriteria S1, S2, S3 dan N
I. PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun terakhir, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil, memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang relatif stagnan.
Hasil studi REP (Rubber Evaluation Project) meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun 2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%. Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet yang cukup besar, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton (Anwar, 2001).
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas.
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna
mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
Program pembentukan kawasan sentra produksi. Dimana secara keseluruhan program ini bertujuan mendorong peningkatan produksi dan mutu karet, dan salahsatu programnya mencakup perluasan areal tanam di wilayah sentra (ekstensifikasi). karena dengan perluasan kita dapat memproduksi hasil dalam jumlah yang cukup. Selain itu jika ditambah dengan peningkatan mutu, maka dapat diharapkan Indonesia mampu meningkatkan hasil produksi yang berkualitas export.
Melakukan perluasan lahan pertanian atau perkebunan tidak dapat diterapkan di sembarang daerah, karena setiap daerah memiliki karakteristik lahan yang berbeda, maka tidak semua tanaman dapat tumbuh di daerah tersebut. Sehingga sumberdaya alam seperti iklim dan tanah harus diperhatikan dalam melakukan ekstensifikasi. Salah satu syarat untuk menentukan lokasi yang sesuai bagi tanaman karet adalah memperhatikan aspek agroklimatnya yaitu faktor iklim yang meliputi curah hujan, suhu, dan radiasi. Ditambah Faktor tanah yang juga perlu diperhatikan seperti sifat fisik, kimia dan topografi. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman.
tahun 1998 mencapai 87.984,5 ha dengan produksi 54.359,7 ton. Luas lahan karet di Indonesia (1992) mencapai 2,7-3 juta hektar dengan produktivitas yang masih rendah dari karet Malaysia dan Thailand (Anwar, 2001).
Meskipun Indonesia bagian timur bukan sentra produksi utama tanaman karet, peningkatan produksi dan perluasannya sangat diperlukan untuk menunjang devisa negara. Sehingga diperlukan penelitian tanaman karet yang berkelanjutan di wilayah Indonesia bagian timur termasuk propinsi Sulawesi Tenggara yang dalam hal ini dijadikan objek kajian penelitian.
I. 2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daerah-daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman karet berdasarkan kesesuaian agroklimat dan kesesuaian tanah di Sulawesi tenggara.
1. 3. Asumsi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Agronomi Tanaman Karet
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terbentuk dari emulsi kesusuan, yang dikenal sebagai latex (http://id.wikipedia.org. 2008).
Karet adalah tanaman perkebunan/industri tahunan berupa pohon batang lurus yang pertama kali ditemukan di Brasil dan mulai dibudidayakan tahun 1601. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand.
Klasifikasi botani tanaman karet adalah sebagai berikut:
- Divisi : Spermatophyta - Sub divisi : Angiospermae - Kelas : Dicotyledonae - Keluarga : Euphorbiaceae - Genus : Hevea
- Spesies : Hevea brasiliensis Kegiatan pemuliaan karet di Indonesia telah banyak menghasilkan klonklon karet unggul sebagai penghasil lateks dan penghasil kayu. Pada Lokakarya Nasional Pemuliaan Tanaman Karet 2005, telah direkomendasikan klon-klon unggul baru generasi-4 untuk periode tahun 2006 – 2010, yaitu klon: IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 104, IRR 112, dan IRR 118. Klon IRR 42 dan IRR 112 akan diajukan pelepasannya sedangkan klon IRR lainnya sudah dilepas secara resmi.
Klon-klon tersebut menunjukkan produktivitas dan kinerja yang baik pada berbagai lokasi, tetapi memiliki variasi karakter agronomi dan sifat-sifat sekunder lainnya. Oleh karena itu pengguna harus memilih dengan cermat klon-klon yang sesuai agroekologi wilayah pengembangan dan jenis-jenis produk karet yang akan dihasilkan.
Klon-klon lama yang sudah dilepas yaitu GT 1, AVROS 2037, PR 255, PR 261, PR 300, PR 303, RRIM 600, RRIM 712, BPM 1, BPM 24, BPM 107, BPM 109, PB 260, RRIC 100 masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi harus dilakukan secara hati-hati baik dalam penempatan lokasi maupun sistem pengelolaannya. Klon GT 1 dan RRIM 600 di berbagai lokasi dilaporkan mengalami gangguan penyakit daun Colletotrichum dan Corynespora. Sedangkan klon BPM 1, PR 255, PR 261 memiliki masalah dengan mutu lateks sehingga
pemanfaatan lateksnya terbatas hanya cocok untuk jenis produk karet tertentu. Klon PB 260 sangat peka terhadap kekeringan alur sadap dan gangguan angin dan kemarau panjang, karena itu pengelolaanya harus dilakukan secara tepat (http://warintek.progressio.or.id. 2008).
2.2. Produksi Karet Indonesia
Sentra utama produksi Karet ada di Indonesia bagian timur (khususnya Sulawesi Tenggara) tidaklah begitu besar jika dibandingkan wilayah bagian barat (seperti Sumatera dan Kalimantan) sehingga perlu pemikiran dan pengembangan yang berkelanjutan, sehingga mampu menghasilkan karet yang bernilai jual tinggi.
Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum yang mampu mendorong percepatan pembenahan dan peremajaan karet yang kurang poduktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya lainnya. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton/tahun pada tahun 2025.
Sasaran produksi tersebut hanya dapat dicapai apabila minimal 85% areal kebun karet (rakyat) yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul.
Potensi produksi lateks beberapa klon anjuran yang sudah dilepas disajikan pada Gambar di bawah ini:
Gambar 1. Produksi Lateks Beberapa Klon Anjuran (***, ** dan * adalah ratarata
produksi 15, 10, dan 5 tahun sadap) Sumber: Anwar, 2001
2.3. Beberapa aspek penting untuk kesesuaian agroklimat tanaman Karet
2. 3. 1. Suhu Udara
Produksi
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah utara.
Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15o LS dan 15o LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat.
Suhu udara yang baik bagi pertumbuhan tanaman antara 24-28 oC (http://warintek.progressio.or.id. 2008).
2. 3. 2. Curah Hujan
Hujan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet baik secara langsung dalam hal pemenuhan kebutuhan air bagi tanaman yang bervariasi menurut fase perkembangan tanaman, kondisi iklim dan tanah, maupun secara tidak langsung melalui pengaruh terhadap kelembaban udara dan tanah serta radiasi matahari. Ketiga faktor lingkungan fisik tersebut erat kaitannya dengan penyerapan air dan hara serta penyakit tanaman.
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HH/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang (Anwar, 2001).
2. 3. 3. Tanah
Lahan kering (tanah) untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah daripada sifat kimianya. Hal ini disebabkan karena perbaikan sifat kimia untuk syarat tumbuh tanaman karet perlakuan tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya.
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m.
Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah.
antara pH 3, 0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0.
Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain :
- Sulum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas - Aerase dan drainase cukup
- Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air
- Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir
- Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm - Kandungan hara NPK cukup dan tidak
kekurangan unsur hara mikro - Reaksi tanah dengan pH 4,5 - pH 6,5 - Kemiringan tanah < 16% dan - Permukaan air tanah < 100 cm (Anwar, 2001).
2. 4. Pewilayahan Tanaman dan Evaluasi Lahan
Pewilayahan tanaman merupakan salah satu metode evaluasi lahan yang mengidentifikasi lahan yang dapat digunakan untuk tanaman tertentu, sehingga dapat ditentukan kelas-kelas kesesuaian lahan terhadap tanaman dan diperoleh lahan yang potensial untuk pengembangan tanaman (Komarudin, 1998).
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah dan juga suatu proses dalam menduga potensi lahan tertentu baik untuk pertanian maupun non pertanian. Potensi suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, lereng, topografi dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman. Inti dari evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian untuk jenis penggunaan lahan tersebut.
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Penilaian kesesuian lahan dibedakan menurut tingkatannya pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1 Tingkat Kelas untuk Kesesuaian Lahan.
faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
Kelas S2 (Sesuai):
Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.
Kelas S3 (Sesuai Marginal ):
Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.
Kelas N (Tidak Sesuai):
Lahan yang karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi.
Sumber: Hidayat dkk., 2007.
Ketiga kelas ini didasarkan pada faktor pembatas yang mempengaruhi kelanjutan penggunaan lahan (Lampiran 1).
2. 5. Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data serta memberi uraian (Aronaff, 1989). Dan SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan, penimbunan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan dunia (Barrough, 1986). SIG dapat diartikan sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan (manipulasi), analisis dan penayangan data secara spasial terkait dengan muka bumi (Linden, 1987). SIG juga merupakan suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi., dengan konsep dasarnya yang merupakan suatu sistem terpadu yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan data, yang selanjutnya dapat mendayagunakan sistem
penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan (spasial) (Widyawati, 2005).
Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan (Prasetyo, 2003).
Fungsi analisis SIG yang banyak digunakan dalam penelitian ini yaitu fungsi tumpang susun (overlay). Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial sebagai masukannya. Operasi tumpang susun dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu dari lima cara yang dikenal, yaitu :
1. Pemanfaatan fungsi logika dan fungsi Boolean, seperti gabungan (union), irisan (intersection) dan lain-lain;
2. Pemanfaatan fungsi rasional, seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama dengan, dan kombinasinya; 3. Pemanfaatan fungsi aritmatika
seperti penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian;
4. Pemanfaatan data atribut atau tabel dua dimensi (atau 3-dimensi); 5. Menyilangkan 2 peta secara
III. METODOLOGI
3. 1. Bahan dan Alat.
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya:
1. Data iklim propinsi Sulawesi Tenggara berupa curah hujan dan suhu rata-rata bulanan, kurun waktu 1992 – 2003.(BMG)
2. Peta tanah tinjau skala 1 : 1000.000 (Puslitanak)
3. Data Digital Elevation Model (DEM) resolusi 90 m (SRTM).
4. Peta penutupan lahan Sulawesi Tenggara tahun 2003 (LAPAN) resolusi 30 m (USGS – Landsat)
5. Peta administrasi daerah Sulawesi Tenggara, Skala 1 : 50.000 (Bakosurtanal) tahun 2003.
6. Seperangkat PC (Personal Computer) dan perangkat lunak (software) pengolah kata, ArcView 3.3, Surfer 8.0, dan ARCGIS 9.2, Er Mapper 7.1, Global Mapper 9.0.
3. 2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2007 sampai dengan Mei 2008 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, IPB.
3.3. Metode
Sebagai langkah awal, yang dilakukan pada penelitian ini adalah:
a. Pengumpulan Data dan studi Pustaka.
Studi pustaka dimaksudkan untuk memperoleh berbagai informasi mengenai tanaman karet, baik itu kriteria tanaman dan juga syarat tumbuh tanam. Tahapan selanjutnya adalah penyediaan data, baik berupa data spasial dan non spasial. Data spasial yang dikumpulkan meliputi : Peta tinjau tanah, peta administrasi dan peta penutupan lahan. Data non spasial berupa data ikim (Suhu dan Curah hujan) dan DEM yang kemudian akan di olah menjadi peta sebaran spasial.
b. Klasifikasi Kesesuaian
Dalam melakukan klasifikasi kesesuaian, setiap peta diklasifikasikan dan diberi nilai berdasarkan tingkat kelas kesesuaian tanaman karet yang telah disusun oleh Djaenudin et al., (2003), terdapat di lampiran 1. Klasifikasi kesesuaian di lakukan
Daerah sangat sesuai untuk pengembangan tanaman karet, tidak ada faktor pembatas terhadap penggunaannya secara bekelanjutan. 2. S2: Sesuai
Daerah sesuai untuk pengembangan tanaman karet, tidak ada faktor pembatas terhadap penggunaanya secara berkelanjutan, atau memiliki faktor pembatas yang sifatnya minor (dapat diatasi) serta tidak akan menurunkan hasil produksi.
3. S3: Kurang Sesuai
Daerah cukup sesuai atau sesuai marjinal yang memiliki faktor pembatas yang sangat perlu untuk diperhatikan, agar tidak menurunkan hasil produksi. 4. N: Tidak Sesuai
Daerah yang tidak cocok untuk pengembangan komoditas tanaman karet.
c. Penentuan Tingkat Kesesuaian Iklim. Tingkat kesesuaian iklim tanaman Karet didasarkan dari data iklim propinsi Sulawesi Tenggara yang berupa curah hujan tahunan dan suhu udara rata-rata bulanan selama 10-20 tahun pengamatan.
Suhu udara rata-rata diduga dengan menggunakan persamaan Braak dalam Khomarudin (1998) dengan memodifikasi suhu acuannya berdasarkan data dari stasiun acuan, yaitu:
T = Tst + 0,0061(hst – h)
pada 0 < h > 2000 mdpl …(1)
T = Tst + 0,0052(hst – h) pada h > 2000 mdpl …….(2)
Ket : Tst = Suhu stasiun acuan (26,3 oC)
hst = Ketinggian stasiun (84 mdpl)
Stasiun acuan yang digunakan adalah stasiun Betoambari.
Untuk mendapatkan curah hujan wilayah dilakukan interpolasi dari curah hujan stasiun di Sulawesi Tenggara.
Parameter yang diuji dalam penentuan kelas kesesuaian tanah adalah kelerengan dan jenis tanah (karakteristik). Penentuan kelas kesesuaian tanah untuk tanaman Karet disusun sama seperti pada proses penentuan tingkat kesesuaian iklim.
e. Penentuan Kesesuaian Agroklimat Pewilayahan tanaman tidak dapat dilihat hanya dari segi iklim maupun tanah secara terpisah, namun perlu adanya penggabungan kedua aspek tersebut.
Penentuan kesesuaian agroklimat tanaman Karet menggunakan pembobotan dengan metode overlay. Pada penelitian ini nilai pembobotnya diasumsikan sama artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Karet.
Peta kesesuaian agroklimat ini kemudian di overlay dengan peta penutupan lahan yang aktual untuk melihat daerah mana yang cocok untuk pengembangan perkebunan tanaman karet, yang hasilnya adalah peta rekomendasi wilayah pengembangan tanaman karet di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Langkah-langkah penentuan kesesuaian agroklimat tanaman karet dari awal sampai mendapatkan hasil yang kesesuaiannya dapat dirangkum dalam Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Fowchart penyusunan kesesuaian agroklimat tanaman Karet.
Data Iklim Regional Data - CH - Suhu Peta Tanah
- Karakteristik Tanah Peta Topografi - Elevasi - Lereng
[image:32.612.328.565.76.349.2]IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara
4.1.1 Kondisi Geografis
Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 02°45' - 06°15' Lintang Selatan dan di antara 120°45'-124°30' Bujur Timur. Bagian utara dibatasi oleh Propinsi Sulawesi Tengah, bagian barat dan selatan dibatasi oleh Laut Banda dan bagian timur adalah Selat Makasar (Gambar 4.1). Wilayah ini mencakup daratan seluas 38.140 km2 atau 3.814.000 ha (sekitar
[image:33.612.324.502.319.604.2]1,98% terhadap luas Indonesia) dan wilayah perairan (laut) seluas 110.000 km2. Propinsi ini terdiri atas 10 kabupaten yaitu Kendari, Kolaka Utara, Kolaka, Kota Kendari, Konawe Selatan, Bombana, Muna, Buton, Wakatobi dan Bau-bau (http://id.wikipedia.org. 2008).
Gambar 4.1. Peta Lokasi Propinsi Sultra
4.1.2 Kondisi Topografis
Daerah Sultra mempunyai ketinggian (elevasi) bervariasi (Tabel 4.1) dari 0 sampai ± 2600 m diatas permukaan laut (m dpl). khususnya Kendari, Bombana dan Pulau Buton. Bentuk wilayahnya bervariasi dari datar sampai bergunung-gunung. Wilayah datar dengan lereng < 8% adalah wilayah paling dominan dengan luas ±1.119.760 ha atau 31,52% (Tabel 4.1) dari luas Sultra terdapat di bagian tengah, tenggara dan sebagian timur laut, serta terpencar menempati daerah-daerah sempit di lembah-lembah sungai dan pesisir pantai. Sedangkan wilayah lainnya adalah
berbukit dan bergunung, dengan kemiringan bervariasi.
Berdasarkan Gambar 4.2, wilayah perbukitan dan pegunungan banyak menempati bagian utara (Kolaka utara & kendari), sebagian lain berada di Kolaka dan pulau Buton. Pulau buton sendiri sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan dengan lereng curam (kemiringan >30%) terdiri dari batukapur.
Keadaan kelerengan sangat menentukan untuk menduga potensi kebanjiran/genangan di suatu wilayah. Wilayah belereng aliran air akan terjadi lebih cepat dibandingkan wilayah datar, dengan demikian kemungkinan terjadinya banjir/genangan di wilayah datar lebih besar dibandingkan wilayah belereng. Distribusi spasial sebaran kemiringan lereng di Sultra terdapat pada Lampiran 9. Sedangkan distribusi spasial ketinggian termasuk penampakkannya muka lereng tersaji pada Gambar 4.2.
Tabel 4.1 Tabel Kelas Lereng di Sultra
Slope (%) Klas Luas (Ha) 0 - 8 1 1.422.515 8 - 16 2 1.119.760 16 - 30 3 851.212 30 - 40 4 567.899 >40 5 320.065
[image:33.612.134.310.330.513.2]Elevasi (mdpl) Luas (Ha) 0 - 200 1.755.127 200 - 400 642.839 400 - 600 402.654 600 - 800 248.199 800 - 1000 164.095 1000 - 1200 121.682 1200 - 1400 90.790 1400 - 1600 64.736 >1600 52.743
4.1.3 Kondisi Iklim
Berdasarkan data curah hujan yang digunakan. Tipe iklim daerah Sultra menurut Oldeman, bertipe iklim C2, dengan 6 bulan basah berturut-turut (curah hujan rata-rata >200 mm/bulan) dan 3 bulan kering berturut-turut (curah hujan rata-rata <100 mm/bulan). Secara garis besar memiliki curah hujan (CH) rataan ±2500 mm/tahun untuk periode 10 tahun (1990-2000), tersebar merata pada wilayah bagian tengah dan selatan Sultra.
[image:34.612.162.283.77.193.2]Daerah terbasah dengan curah hujan diatas 3500 mm/tahun tersebar di bagian utara Sultra. Makin ke arah timur, tenggara dan selatan curah hujan semakin menurun, sampai daerah Bombana curah hujan hanya dibawah 1500 mm/tahun, hal ini bisa terlihat pada Gambar 4.4.
Berdasarkan Grafik 4.3, curah hujan bulanan tertinggi pada bulan Maret, April, Mei dan Juni (diatas 300 mm/bulan), terendah pada bulan September dan Oktober (dibawah 100 mm/bulan).
CH Rerata Bulanan Sultra
0 50 100 150 200 250 300
JanFebMaretApril Me i
[image:34.612.325.500.77.281.2]Juni JuliAgt Sep OktNovDes
[image:34.612.357.471.445.540.2]Gambar 4.3. Grafik Ch Rata-rata bulanan Sultra
Gambar 4.4. Peta Sebaran Curah Hujan di Sultra
Suhu udara memiliki hubungan yang erat dengan ketinggian tempat dari permukaan laut. Pada lapisan Troposfer, secara umum suhu udara makin rendah menurut ketinggian.
Suhu udara diperoleh dari perhitungan hubungan antara suhu dengan ketinggian menggunakan rumus Braak (1929). Berdasarkan data dari titik-titik stasiun cuaca (Lampiran 8), suhu udara rata-rata berkisar antara 26-27o C tersebar merata dari bagian
tengah sampai selatan Sultra seluas (Tabel 4.3).
Tabel 4.3 Tabel Sebaran Suhu Rata-rata di Sultra
Suhu Luas (Ha) < 22 428.331 22 - 23 170.026 23 - 24 239.390 24 - 25 357.723 25 - 26 526.196 26 - 27 1.034.437 27 - 28 790.954
4.1.4 Kondisi Tanah
Penelitian mengenai sumberdaya lahan di wilayah Pulau Sulawesi, khususnya Sultra masih relatif terbatas.
Tanah-tanah di Sultra terbentuk dari berbagai batuan induk, yaitu: batuan sedimen (batupasir, skis, filit), batuan plutonik masam, batuan volkan tersier dan kuarter, bahan endapan kuarter (aluvial) dan bahan organik. Tanah yang dihasilkan dari bahan induk tersebut terdiri dari 9 ordo, yaitu: Histosols, Entisols, Inceptisols, Vertisols, Andisols, Mollisols, Alfisols, Ultisols dan Oxisols.
Penyebaran jenis tanah yang dominan di temui adalah Inceptisols, Entisols dan Ultisols CH (mm)
[image:34.612.135.308.475.587.2](Podsolik Merah Kuning). Tanah tersebut tersebar bervariasi pada Fisiografi Dataran, perbukitan dan pegunungan. Sedangkan yang paling sedikit adalah tanah Andisols (Andosol, yang sebenarnya pada Fisiografi volkan (vulkanik).
[image:35.612.136.307.223.459.2]Berdasarkan satuan tanah pada tingkat sub ordo, satuan fisiografi dan bahan induk di Sultra, terdiri dari 41 SPT (Satuan Peta Tanah) yang sebagian bersar tergolong asosiasi. Penyebaran jenis tanah Sultra disajikan pada Gambar 4.5 dan kateristiknya (Lampiran 4).
Gambar 4.5. Peta Jenis Tanah di Sultra
4.2. Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Berdasarkan syarat tumbuh tanaman , karet dapat tumbuh optimal pada ketinggian < 200 mdpl, walaupun demikian karet masih bisa berproduksi di dataran menengah dan tinggi tetapi dengan waktu penyadapan yang makin panjang (http://warintek.progressio.or.id, 2008). Faktor ketinggian berhubungan erat dengan perubahan suhu udara.
Suhu udara sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet, karena suhu merupakan unsur utama dalam aktivitas fisiologis pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu optimal yang dibutuhkan berada pada kisaran 24-28º C. Selain suhu udara, Curah hujan juga sangat
mm/tahun.Faktor iklim lain seperti Lama penyinaran dan kelembaban udara tidak menjadi faktor pembatas dalam penelitian ini.
Kriteria kesesuaian iklim untuk tanaman karet mengacu pada penelitian Djaenudin et al., 2003. Hal tersebut bisa lihat pada Lampiran 1.
[image:35.612.329.508.304.519.2]Berdasarkan Peta pada Gambar 4.5 dan Tabel 4.1, kesesuaian iklim tanaman karet di wilayah kajian memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah memiliki iklim yang sesuai (S2) yaitu seluas 1.458.030 ha atau 38,2% dari luas keseluruhan. Dan Sesuai marginal (S3) 1.413.457 ha (37%). Hanya beberapa daerah yang mempunyai kesesuasian S1 (sangat sesuai) untuk di tanami karet, dengan luas 148.141 ha (3,88%); daerah ini meliputi pesisir pantai Kolaka Utara dan Kolaka, sebagian Kota Kendari, bagian timur laut Buton dan sebagian daerah Muna.
Gambar 4.6. Peta Kesesuaian Iklim untuk Tanaman Karet di Sultra
Tabel 4.1. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Iklim di Sultra.
Kelas Luas (Ha) % S1 148.141 4,91 S2 1.458.030 48,28 S3 1.413.457 46,81 N 529.444 17,53 Total 3.019.628
[image:35.612.323.507.554.659.2] [image:35.612.351.480.584.656.2]peranan yang sangat penting untuk tanaman karet, karena bagaimanapun baik dan sesuainya iklim disuatu tempat tanpa ditunjang oleh kondisi tanah yang sesuai, maka akan mengalami banyak kegagalan dalam membudidayakan tanaman yang di inginkan.
Kondisi tanah yang sesuai dengan pertumbuhan karet dalam penenlitian ini diperoleh dari Peta Tanah Eksplorasi Puslitanak dengan skala 1:1000.000. Dari klasifikasi tanah untuk satuan peta tanah (SPT) bisa diturunkan nama ordo jenis tanah tersebut. Dari ordo tanah itu bisa di peroleh informasi gambaran secara umum mengenai karakterisktik sifat fisik tahan yang diamati.
Persyaratan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan karet adalah berdrainase cukup baik, dengan tekstur agak halus dengan lereng < 8% dan bahaya erosi rendah. Kemiringan tanah (lereng) erat kaitannya dengan bahaya erosi, makin curam lereng tersebut semakin tinggi pula bahaya erosi yang di timbulkan. Persyaratan kondisi tanah untuk kelas kesesuaian ditunjukkan pada Lampiran 1.
Berdasarkan Gambar 4.7 kesesuaian tanah untuk tanaman karet di Sultra bervariasi. Tingkat kesesuaiannya tanah yang baik untuk tanaman karet sekitar 50% lebih. Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan kelas tanah sangat sesuai (S1) adalah 25,04% atau 966.688 ha tanah, kelas sesuai (S2) 26,97% atau 966.682 ha, kelas sesuai bersyarat (S3) 23,69% atau 849.037 ha, sedangkan tanah yang tidak sesuai seluas 870.596 ha atau sekitar 24,29% dari luas kesesuaian tanah di Sultra.
Tabel 4.2. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Tanah di Sultra.
Kelas Luas %
[image:36.612.329.516.76.292.2]S1 897.317 25,04 S2 966.682 26,97 S3 849.037 23,69 N 870.594 24,29 Total 3.583.630
Gambar 4.7. Peta Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Karet di Sultra
4.4. Kesesuaian Agroklimat Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Kesesuaian iklim dan tanah sangat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan dalam menentukan kesuburan dan produksi suatu varietas tanaman, hal ini erat kaitannya reaksi tanaman terhadap lingkungannya. Tanaman akan merespon positif lingkungan (iklim dan tanah) yang sesuai dengan syarat pertumbuhannya.
Interaksi kedua unsur (iklim dan tanah) tersebut merupakan penentu, karena apabila suatu daerah yang memiliki kondisi iklim sesuai tetapi tidak dibarengi dengan kondisi tanah yang sesuai maka kondisi tersebut tidak bisa dikatakan sesuai untuk suatu tanaman (Ansari,2002).
Gambar 4.8. Peta Kesesuaian Agroklimat untuk Tanaman Karet di Sultra
Tabel 4.3. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat di Sultra.
Kelas Luas % S1 420.09 1,18 S2 850.914 23,88 S3 1.226.489 40,52 N 1.230.584 34,42 Total 3.581.131
Informasi yang didapatkan dari hasil analisis kesesuaian agroklimat di Sultra (Tabel 4.3) adalah sebagai berikut; kelas S1 (sangat sesuai) untuk kesesuaian agroklimat tanaman karet di Sultra adalah paling sempit, dengan luasan 42.009 ha atau 1,18%. Hal ini menunjukkan bahwa Sultra merupakan bukan daerah utama untuk dijadikan sentra produksi tanaman karet. Untuk kelas S2 (sesuai) mempunyai luasan 850.914 ha atau 23,88 %. Kelas kesesuaian bersyarat (S3) adalah yang terluas dengan luas daerah mencakup 40,52% atau 1.443.751 ha. Sedangkan daerah yang tidak sesuai untuk pengembangan karet berdasarkan agroklimat seluas 1.226.489 ha atau 34,42% dari total kesesuaian agroklimat.
Daerah terluas yang paling sesuai (S1) berdasarkan agroklimat untuk tanaman karet di Sultra meliputi; bagian barat Kolaka dengan luas 13.470 ha, bagian tenggara Kendari 11.086 ha dan bagian barat Kolaka utara dengan luas 8.878 ha. Hal ini di
udara dan curah hujan yang meliputi daerah diatas juga cocok untuk pengembangan tanaman karet, dengan suhu udara rataan berkisar antara 25-27o C dan curah hujan rata-rata >2500 mm/tahun.
Daerah yang tidak sesuai dalam hal ini termasuk kedalam kesesuainan kelas lahan S3 meliputi; bagian selatan Bombana dengan luas 160.505 ha, sebagian wilayah Kendari (452.342 ha) dan bagian selatan Kolaka utara dengan luas 163.614 ha. Daerah-daerah ini merupakan pegunungan, lereng curam, ketinggian diatas 600 mdpl. Meskipun curah hujan di Kendari dan Kolaka utara mempunyai curah hujan yang cukup untuk syarat pertumbuhan tanaman karet, namun suhu udara masih dibawah syarat tumbuh (<22o C). Sedang di Bombana curah hujan dibawah 1500 mm/tahun, suhu dibawah 25o C.
4.5. Potensi Pengembangan Tanaman Karet di Propinsi Sultra.
Pemetaan Potensi pengembangan agroklimat (iklim dan tanah) harus di tunjang oleh keadaan aktual penutupan/penggunaan lahan pada daerah yang di kaji,nilai potensi pengembangan yang telah di perhitungkan cocok/sesuai pada kondisi aktual pengguanaan lahan, sehingga bisa diterapkan hasil tersbut di lapang.
Pengetahuan penggunaan lahan bertujuan agar mendapatkan nilai ekonomis untuk usaha ekstensifikasi. Lahan-lahan yang bernilai ekonomis untuk dijadikan wilayah ekstensifikasi, yaitu; hutan primer, pertanian, hutan daratan rendah, dan perkebunan. Sedangkan lahan kering, tambak, sawah, gambut, hutan lindung dan waduk tidak bisa dikonvesi untuk ekstensifikasi lahan.
Berdasarkan data pada Lampiran 2 dan Gambar 4.9, penutupan lahan Sultra dominan oleh Hutan Primer (58,24% dari total penutupan) dan Semak Belukar (17,83% dari total penutupan). Dari data tersebut Sultra bisa (sesuai/cocok) dijadikan tempat ekstensifikasi tanaman karet yang bernilai ekonomis.
[image:37.612.135.312.76.285.2]karet di Sultra seluas 140.457 ha (39,96%). Sedangkan untuk daerah yang tidak bisa dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sultra berdasarkan potensi pengembangannya seluas 1.298.327 ha atau 36,93%. Daerah ini meliputi; Sebagian besar daerah Kendari dengan luas 493.162 ha, sebagian daerah kolaka (323.964 ha), sebagian Kolaka utara (166.038 ha) dan sebagian Bombana dengan luas 162.747 ha.
Berdasarkan hasil penelitian, kecenderungan pengembangan tanaman karet di daerah Sultra sangat kecil, tetapi berdasarkan data kesesuaian iklim (suhu udara dan curah hujan) dan kesesuian tanah (drainase, lereng dan bahaya erosi) yang di hubungkan dengan faktor kegunaan/penutupan lahan maka daerah Sultra mempunyai potensi untuk dijadikan daerah ekstensifikasi pembudidayaan.
Gambar 4.9. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan di Sultra
Tabel 4.5. Luas Potensi Pengembangan Tanaman Karet Berdasarkan Kesesuaian Agroklimat dan Penutupan/Penggunaan Lahan di Sultra.
[image:38.612.329.518.77.296.2]Kelas Luas (ha) % S1 42.009 1,18 S2 850.914 23,88 S3 1.226.489 40,52 N 1.230.584 34,42 Total 3.581.131
[image:38.612.136.310.306.543.2]
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan
Pengembangan wilayah potensi tanaman karet harus memiliki kesesuaian iklim dengan curah hujan 2500 mm/tahun, suhu rata-rata 25-28o C dan kesesuaian tanah dengan drainase baik, tekstur halus dan bentuk lereng yang datar.
Berdasarkan data kesesuaian iklim dan kesesuian tanah (agroklimat) yang di hubungkan dengan faktor kegunaan/penutupan lahan maka daerah Sulawesi Tenggara mempunyai potensi yang sangat kecil untuk dijadikan daerah ekstensifikasi pembudidayaan.
Berdasarkan hasil analisis spasial wilayah. Sulawesi Tenggara memiliki sedikit potensi pengembangan tanaman karet, dengan luas daerah yang bisa dijadikan usaha ekstensifikasi sebesar 812.489 ha atau 23,11% dari luas wilayah Sulawesi Tenggara. Daerah ini meliputi; sebagian daerah (Buton, Kendari, Kolaka, dan Muna). Daerah yang kurang potensial untuk dijadikan usaha ekstensifikasi tanaman karet di Sulawesi Tenggara seluas 140.457 ha atau 39,96%. Daerah ini meliputi; sebagian daerah (Kolaka, Kolaka Utara, Kendari dan Muna) dan hampir seluruh wilayan Bombana. Sedangkan daerah yang tidak bisa dijadikan ekstentifikasi tanaman karet, meliputi; sebagian daerah Kendari, sebagian daerah Kolaka, sebagian daerah Kolaka Utara dan sebagian Bombana dengan luas potensi sebesar 1.298.327 ha atau 36,93%.
Luasan wilayah yang didapat masih berupa luasan potensial, bukanlah aktual. Luasan sebenarnya di lapang bisa menjadi sangat sedikit, karena wilayah tersebut sudah digunakan untuk sektor lain seperti sawah, pemukiman, perkebunan, dan lain sebagainya, sehingga lahan tersebut sulit untuk dikonversi menjadi lahan penanaman karet.
5. 2. Saran
Dalam penelitian ini perlu dikaji ulang dan memperhatikan faktor-faktor lain, seperti: nilai ekonomi, sosial, politik, budaya dan kebijakan pemerintah, agar pengembangan tanaman karet bisa diterapkan pada daerah yang berpotensial.
Dalam menganalisis kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet ini sebaiknya menggunakan faktor pembatas yang lebih
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Sulawesi Tenggara. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Ansari. 2002. Evaluasi Kebutuhan Agroklimat Tanaman Kina (Cinchona sp.) dan Potensi Pengembangannya di Kabupaten Bandung. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Anwar, C. 2001. Managemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Khomarudin, M. R. 1998. Pewilayahan Tanaman Mangga dan Jambu Mete di Sulawesi Tenggara. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A dan Suharta N. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Djaenudin et. al. 1999. Potensi Sumberdaya Lahan Pulau Sulawesi untuk Pengembangan Pertanian dan Permasalahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Harimudin, J. 2005. Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Karakterisasi Zona Agroekologi dan Indentifikasi Kesesuaian Lahan. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan ALam. IPB. Tidak dipublikasikan.
Harjadi, S. S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hidayat et. al. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta
Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Marsoedi dan Widagdo. 1993. Tanah dan Potensinya dalam Rangka Pengembangan Wilayah Sulawesi Tenggara. Satf Pedologi. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
Purwadhi, F. S. H. 1999. Sistem Informasi Geografis. Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta.
Soekardi. 1996. Potensi Sumberdaya Lahan dan Kegiatan Evaluasinya di Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Soekardi. 1997. Macam-macam Peta Tanah dan Penggunaannya. Staf Pemetaan dan Klasifikasi Tanah. Pusat Penelitian Tanah. Bogor.
Soepraptohardjo, M. 1976. Jenis Tanah di Indonesia. Puslitanak. Bogor.
Rachim, Djunaedi. A. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian.Bogor.
Thompson, H. C. and W. C. Kelly. 1957. Vegetable Crops. McGraw-Hill Book Co. New York. 422p.
Widiyawati, F. 2005. Potensi Pengembangan Tanaman Jeruk (Citrus sp.) Berdasarkan Kesesuaian Iklim dan Tanah di Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Lampiran 1. Tabel Persyaratan penggunaan lahan (iklim dan tanah) untuk Karet (Hevea brassiliensis M.A.)modifikasi dari Djaenudin, et al, 2000.
Kelas Kesesuaian Lahan Persyaratan
S1 S2 S3 N
Suhu
26 – 30 30 – 34 – > 34
Suhu rata-rata (oC)
24 – 26 22 – 24 < 22
Ketersediaan Air (wa)
Curah Hujan Tahunan (mm) 2500 – 3000 2000 – 2500 3000 – 3500
1500 – 2000 3500 – 4000
< 1500 >4000 Lamanya masa kering (bln) 1 – 2 2 – 3 3 – 4 > 4 Ketersediaan Oksigen (oa)
Drainase Baik Sedang Agak terhambat,
terhambat
Sangat terhambat, cepat
Media perakaran (rc)
Tekstur Halus, Agak Halus, sedang
- Agak kasar Kasar
Bahan Kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 60 > 60
Kedalaman tanah (cm) > 100 75 – 100 50 – 75 < 50
kematangan Saprik+ Saprik,
hemik
Hemik, fibrik+ fibrik Bahaya Erosi (eh)
Lereng (%) < 8 8 - 16 16 – 30
16 – 40
> 30 > 45 Bahaya Erosi Sangat rendah Rendah –sedang Berat Sangat Berat
Keterangan:
Tekstur h= halus; ah= agak halus; s= sedang; ak= agak kasar
Lampiran 2. Tabel Luasan Penutupan/Penggunaan Lahan di Sultra
Penutupan Luas (Ha) %
Awan 3.544 0,10
Hutan Gambut 17.522 0,48 Hutan Mangrove 82.874 2,25 Hutan Primer 2.142.083 58,24 Hutan Rawa 15.458 0,42 Hutan Sekunder 24.761 0,67
Ladang 291.420 7,92
Pemukiman 18.488 0,50 Perkebunan 103.428 2,81
Rawa 26.022 0,71
Sawah 103.931 2,83
Semak Belukar 655.832 17,83
Tambak 3.938 0,11
Tegalan 184.897 5,03
Lampiran 3. Data Iklim Curah Hujan Beberapa Titik Stasiun Cuaca di Propinsi Sultra.
No Stasiun X Y Curah
Lampiran 4. Klasifikasi dan Karaketeristik untuk Setiap SPT (Satuan Peta Tanah) di Sultra.
SPT Klasifikasi Tanah Tekstur Drainase Kepekaan
Erosi 4 Endoaquents-Haplohemists kasar-sedang
Sedang-buruk
Sangat peka
5 Hydraquent-Sulfaquent halus Buruk Sangat peka 6 Endoaquents-Endoaquents halus Buruk Sangat peka 12 Udorthents-Eutrudepts agak halus baik Sangat peka 16 Endoaquepts-Haplohemists kasar-sedang sedang-baik Sangat peka 18 Endoaquepts-Dystrudepts sedang-halus terhambat bervariasi 19 Endoaquepts-Udifluvents sedang-kasar sedang-baik Sangat peka 20 Endoaquepts-Dystrudepts sedang-halus terhambat bervariasi 21 Dystrudepts-Endoaquepts agak
halus-sedang
terhambat bervariasi
27 Endoaquepts-Dystrudepts sedang-halus Sedang-Buruk
Sangat peka
32 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
36 Haplustepts-Singkapan batuan
sedang-kasar Sedang-baik peka
39 Eutrudepts-Hapludalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
41 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
44 Haprendolls-Singkapan batuan
sedang-kasar Sedang-buruk
peka
46 Haplustolls-Haplustepts sedang-kasar Sedang-baik peka 48 Dystrudepts-Eutrudepts sedang-kasar
Sedang-buruk
bervariasi
55 Haplustepts-Haplustalfs agak halus-sedang
terhambat peka
64 Dystrudepts-Hapludults sedang-halus sedang-buruk
peka
65 Eutrudepts-Udorthents sedang-kasar sedang-baik peka 69 Haplustepts-Dystrustepts sedang-halus
Sedang-Buruk
peka
70 Haplustepts-Haplustalfs agak halus-sedang
terhambat peka
75 Hapludults-Dystrudepts sedang-halus Sedang-buruk
peka
80 Eutrudepts-Hapludalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
82 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
83 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
84 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus Sedang-buruk
peka
86 Hapludults-Udorthents sedang terhambat peka 87 Hapludults-Dystrudepts sedang-halus
Sedang-buruk
peka
90 Dystrudepts-Udorthents sedang-kasar sedang-baik peka 93 Haplustepts-Haplustalfs sedang-halus
Sedang-buruk
peka
107 Hapludults-Dystrudepts sedang-agak kasar
baik peka
108 Hapludults-Haprendolls sedang-agak kasar
baik peka
111 Dystrudepts-Hapludults sedang-agak kasar
baik peka
113 Haplohumults- Agak kasar-kasar
Sangat baik peka
160 Hapludults-Dystrudepts sedang-halus Sedang-buruk
peka
161 Hapludox-Dystrudepts halus buruk resisten 162 Eutrudox-Eutrudepts halus Buruk resisten 165 Eutrudepts-Udorthents sedang-kasar sedang-baik peka 180 Hapludox-Dystrudepts halus buruk resisten
Lampiran 5. Tabel Luas Daerah per Kabupaten di Sultra
Kabupaten Luas (Ha)
BOMBANA 345.879
BUTON 302.277
KENDARI 1120.709
KOLAKA 675.789
KOLAKA UTARA 255.828 KONAWE SELATAN 356.500 KOTA BAU-BAU 29.408 KOTA KENDARI 32.009
MUNA 445.883
Lampiran 6. Tabel Luasan Kesesuaian Agroklimat per Kabupaten di Sultra
Kabupaten Kelas Luas (Ha) %
Bombana S1 - -
S2 68 0,00
S3 174.329 4,89 N 160.505 4,50
Buton S1 8 0,00
S2 121.993 3,42 S3 157.937 4,43
N 19.508 0,55
Kendari S1 11.086 0,31 S2 328.011 9,21 S3 320.663 9,00 N 452.342 12,70 Kolaka Utara S1 8.878 0,25 S2 17.047 0,48 S3 64.534 1,81 N 163.614 4,59
Kolaka S1 13.471 0,38
S2 114.069 3,20 S3 231.935 6,51 N 319.516 8,97
Konawe S1 8 0,00
S2 42.921 1,20 S3 276.751 7,77
N 28.024 0,79
Kota Bau-bau S1 9 0,00
S2 - -
S3 28.895 0,81
N 180 0,01
Kota Kendari S1 4 0,00 S2 14.219 0,40 S3 15.466 0,43
N 1.748 0,05
Muna S1 8.208 0,23
S2 180.991 5,08 S3 163.812 4,60
N 81.052 2,28
Wakatobi S1 338 0,01
S2 31.595 0,89
S3 9.429 0,27
N - -
Lampiran 7. Tabel Luasan Potensi Pengembangan Karet per Kabupaten di Sultra
Kabupaten Kelas Luas %
Bombana Baik 10 0,00
Kurang 170.871 4,86 Tak ada 162.748 4,63
Buton Baik 119.762 3,41 Kurang 155.584 4,43 Tak ada 23.680 0,67
Kendari Baik 307.177 8,74 Kurang 310.978 8,85 Tak ada 493.162 14,03
Kolaka Utara Baik 24.153 0,69 Kurang 63.660 1,81 Tak ada 166.038 4,72
Kolaka Baik 122.063 3,47 Kurang 229.702 6,54 Tak ada 323.964 9,22
Konawe Baik 41.989 1,19 Kurang 273.661 7,79 Tak ada 33.956 0,96
Kota Bau-bau Baik 5 0,00 Kurang 27.342 0,78 Tak ada 1.697 0,05
Kota Kendari Baik 13.813 0,39 Kurang 15.093 0,43 Tak ada 2.070 0,06
Muna Baik 183.518 5,22 Kurang 157.682 4,46 Tak ada 91.011 2,59
Wakatobi Baik - -
Kurang - -
Tak ada - -
Lampiran 8. Peta Sebaran Titik Stasiun Cuaca di Propinsi Sultra.
Lampiran 16. Peta Sebaran Jenis Tanah di Propinsi Sultra.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
ACHMAD FAUZI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
RINGKASAN
ACHMAD FAUZI. Potensi Pengembangan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Berdasarkan Aspek Agroklimatologi di Sulawesi Tenggara. Dibawah bimbingan IMAM SANTOSA.
Latar belakang penelitian ini adalah tingginya eksport Lateks (karet mentah) ke luar negeri. Nilai eksport karet mentah ini memiliki kontribusi dalam meningkatkan pendapatan devisa negara yang cukup signifikan dari sektor non-migas.
Penelitian ini penentuan kesesuaian agroklimat untuk tanaman karet, dilakukan dengan pengumpulan data non-spasial (iklim dan tanah), data spasial (DEM & Peta tanah), lalu data tersebut diubah menjadi peta spasial. Selanjutnya adalah membuat klas kesesuaian iklim dan tanah tanaman karet. Kemudian dilakukan proses tumpang susun kedua kesesuian tersebut, sehingga menjadi kesesuaian Agroklimat. Dengan asumsi nilai pembobotnya sama, artinya masing-masing parameter mempunyai pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet.
Dari nilai kesesuain agroklimat tersebut di analisis lebih lanjut dengan menghubungkan faktor ekonomi daerah Sulawesi Tenggara, yaitu penutupan/penggunaan lahan. Dari hubungan tersebut diperoleh potensi kesesuaian tanaman karet di Sulawesi Tenggara.
KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KARET
(Hevea brasiliensis)
BERDASARKAN ASPEK AGROKLIMAT DI SULAWESI TENGGARA
Oleh:
ACHMAD FAUZI
G02400030
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
JUDUL : Kesesuaian Lahan Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis)
Berdasarkan Aspek Agroklimat Di Sulawesi Tenggara
NAMA : Achmad Fauzi
NRP
: G2400030
Menyetujui,
Pembimbing
Dr.Ir. Imam Santosa, MS.
NIP. 130 804 894
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr.Drh. Hasim, DEA
NIP : 131 578 806
473 999
I. PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Karet merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, conveyor belt, sabuk transmisi, dock fender, sepatu dan sandal karet. Kebutuhan karet alam maupun karet sintetik terus meningkat sejalan dengan meningkatnya standar hidup manusia. Pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat pada sepuluh tahun terakhir, terutama China dan beberapa negara kawasan Asia-Pasifik dan Amerika Latin seperti India, Korea Selatan dan Brazil, memberi dampak pertumbuhan permintaan karet alam yang cukup tinggi, walaupun pertumbuhan permintaan karet di negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang relatif stagnan.
Hasil studi REP (Rubber Evaluation Project) meyatakan bahwa permintaan karet alam dan sintetik dunia pada tahun 2035 adalah sebesar 31.3 juta ton untuk industri ban dan non ban, dan 15 juta ton diantaranya adalah karet alam. Produksi karet alam pada tahun 2005 diperkirakan 8.5 juta ton. Dari studi ini diproyeksikan pertumbuhan produksi Indonesia akan mencapai 3% per tahun, sedangkan Thailand hanya 1% dan Malaysia -2%. Pertumbuhan produksi untuk Indonesia dapat dicapai melalui peremajaan atau penaman baru karet yang cukup besar, dengan perkiraan produksi pada tahun 2020 sebesar 3.5 juta ton dan tahun 2035 sebesar 5.1 juta ton (Anwar, 2001).
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas.
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna
mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi petani atau pekebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan pemeliharaan tanaman secara intensif.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton. Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan pertanian milik petani dan lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
Program pembentukan kawasan sentra produksi. Dimana secara keseluruhan program ini bertujuan mendorong peningkatan produksi dan mutu karet, dan salahsatu programnya mencakup perluasan areal tanam di wilayah sentra (ekstensifikasi). karena dengan perluasan kita dapat memproduksi hasil dalam jumlah yang cukup. Selain itu jika ditambah dengan peningkatan mutu, maka dapat diharapkan Indonesia mampu meningkatkan hasil produksi yang berkualitas export.
Melakukan perluasan lahan pertanian atau perkebunan tidak dapat diterapkan di sembarang daerah, karena setiap daerah memiliki karakteristik lahan yang berbeda, maka tidak semua tanaman dapat tumbuh di daerah tersebut. Sehingga sumberdaya alam seperti iklim dan tanah harus diperhatikan dalam melakukan ekstensifikasi. Salah satu syarat untuk menentukan lokasi yang sesuai bagi tanaman karet adalah memperhatikan aspek agroklimatnya yaitu faktor iklim yang meliputi curah hujan, suhu, dan radiasi. Ditambah Faktor tanah yang juga perlu diperhatikan seperti sifat fisik, kimia dan topografi. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman.
tahun 1998 mencapai 87.984,5 ha dengan produksi 54.359,7 ton. Luas lahan karet di Indonesia (1992) mencapai 2,7-3 juta hektar dengan produktivitas yang masih rendah dari karet Malaysia dan Thailand (Anwar, 2001).
Meskipun Indonesia bagian timur bukan sentra produksi utama tanaman karet, peningkatan produksi dan perluasannya sangat diperlukan untuk menunjang devisa negara. Sehingga diperlukan penelitian tanaman karet yang berkelanjutan di wilayah Indonesia bagian timur termasuk propinsi Sulawesi T