• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Oleh Dedy Aprizal

Produksi ubi kayu di Provinsi Lampung mencapai 7.885.116 ton/tahun (BPS, 2010). Produksi ubi kayu yang cukup tinggi di Provinsi Lampung menyebabkan investor tertarik untuk mendirikan industri berbahan baku ubi kayu di provinsi ini. ITTARA merupakan industri yang mengolah tapioka yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan karena memiliki keterbasan teknologi dan sumber daya dalam mengelola limbahnya. Sistem pemanfaatan dengan teknologi tepat guna sangat diperlukan untuk mengoptimalkan potensi manfaat dari limbah yang dihasilkan. Sistem usaha terpadu antara pabrik tapioka dan peternakan sangat prospektif untuk dijalankan dengan memberdayakan potensi limbah padat pabrik sebagai sumber pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat (ITTARA) terpadu berdasarkan aspek ekonomi dan lingkungan. Objek yang diamati meliputi pemanfaatan limbah cair tapioca menjadi biogas, pemanfaatan berbagai limbah padat tapioca, dan limbah dari penggemukan sapi. Penelitian menggunakan pendekatan yang dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan pemanfaatan limbah pada ITTARA terpadu. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive atau dilakukan secara sengaja, yaitu lokasi yang diambil sesuai dengan kriteria tujuan penelitian yaitu ITTARA yang menerapkan pola usaha terpadu dengan penggemukan sapi dan merupakan satu-satunya ITTARA yang menerapkan sistem usaha tersebut di Provinsi Lampung.

(2)

cair adalah sebesar 265.747,6 m3/tahun dengan potensi keuntungan pertahun Rp741.761.030. Potensi keuntungan yang diperoleh dari onggok antara lain, onggok basah sebesar Rp267.030.400, potensi keuntungan pengolahan onggok kering Rp343.669.000, potensi keuntungan dari pengolahan onggok giling Rp611.077.400. Potensi keuntungan yang diperoleh dari penggunaan meniran sebagai pakan adalah Rp85.000.000,- dengan proyeksi jumlah ternak 352 ekor. Potensi keuntungan yang diperoleh dari pupuk kandang adalah Rp55.775.000. Pengelolaan limbah cair dapat mereduksi emisi gas CO2 sebesar 1.620,53 ton CO2e/tahun. Potensi keuntungan yang diperoleh dihitungan berdasarkan rata-rata bahan baku yang diolah pertahun dengan asumsi jumlah bahan baku yang akan diolah pada tahun berikutnya adalah tetap.

Kata Kunci : ITTARA terpadu, pemanfaatan limbah, reduksi emisi, biogas

(3)

ABSTRACT

POTENTIAL OF WASTE UTILIZATION ON INTEGRATED SMALL-SCALE TAPIOCA INDUSTRY

By Dedy Aprizal

Cassava`s productivity in Lampung province reached 7.885.116 tons/year (BPS, 2010). The high productivity of cassava in Lampung has made many investors get interested to build cassava-based industry in this province. ITTARA is one of industry that produces tapioca and potentially pollutes the environment because

it’s lack of technology and other resources. Utilization systems with appropriate technology are required to optimize the utilization potential from tapioca waste. Integrated system between tapioca industry and cattle feedlot is prospective to run by utilizing the potential of solid waste as feed source.

This research was aimed to find the potential of waste utilization from the integrated small-scale tapioca industry based on the economic and environmental aspects. The observed objects were utilizations of waste water to biogas, solid waste from tapioca industry, and waste from cattle feed. This research is categorized as quantitative research approach. The method used in this research is descriptive method to describe the utilization of waste. The selected location in this research took from purposive method in order to get an appropriate industry criteria with the research’s objectives. The chosen industry is the one and only industry which has integrated system between tapioca industry and cattle feedlot in Lampung Province.

(4)

1.620,53 ton CO2e/year. The potential benefits from waste utilization were calculated based on the average raw material and amount of raw materials to be processed over the year a head are assumed equal.

Key word : integrated tapioca industry, waste utilization, emission reduction, biogas

(5)

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH

DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Oleh DEDY APRIZAL

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER TEKNOLOGI AGROINDUSTRI

Pada

Program Studi Pascasarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung

PROGRAM STUDI PASCASARJANA TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

Judul Tesis : POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH DI INDUSTRI TAPIOKA RAKYAT TERPADU

Nama Mahasiswa : DEDY APRIZAL No. Pokok Mahasiswa : 0924051011

Program Studi : Magister Teknologi Agroindustri Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T. Dr. Ir. Suharyono AS., M.S. NIP. 196401061988031002 NIP. 195905301986031004

2. Ketua Program Studi Magister Teknologi Agroindustri

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T.

Anggota : Dr. Ir. Suharyono AS., M.S.

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Neti Yuliana, M.Si., Ph.D.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP. 196108261987021001

3. Direktur Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc. NIP. 196011091985031001

(8)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

1. Tesis dengan judul : Potensi Pemanfaatan Limbah di Industri Tapioka Rakyat Terpadu adalah karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut Plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari ternyata ditemukan adanya ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sangsi yang diberikan kepada saya. Saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Pembuat Pernyataan,

Dedy Aprizal

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kalibalangan Kota Bumi pada tanggal 30 Desember 1984, terlahir sebagai bungsu dari Sembilan

bersaudara , pasangan Bapak Kardi (Alm) dan Ibu Rasimah.

Pendidikan penulis diawali di TK. Pertiwi Kalibalangan, diselesaikan pada tahun 1990. Sekolah Dasar Negeri 1 Kalibalangan, diselesaikan pada tahun 1996. Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 1 Kota Bumi, diselesaikan pada tahun 1999. Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Kota Bumi, diselesaikan pada tahun 2002.

(10)

Dengan rasa syukur atas kehadirat

Allah SWT,

(11)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan ,

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

(Asy Syarh : 5-6)

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum

sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri

mereka sendiri

(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Potensi Pemanfaatan Limbah di Industri Tapioka Rakyat Tepadu“ ini. Dalam menyusun tesis ini, banyak pihak yang telah membantu baik berupa bimbingan, saran, dukungan dan motivasi. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dari dalam hati kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T. selaku ketua komisi pembimbing atas bantuan, saran dan bimbingan yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Suharyono, A.S., M.S. selaku pembimbing kedua yang telah

banyak memberikan bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.

3. Ibu Ir. Nety Yuliana, M.Si., Ph.D. selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Dr. Ir. Murhadi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Pasca Sarjana Teknologi Agroindustri Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas segala bantuan dan kemudahan yang telah diberikan selama pendidikan.

(13)

6. Bapak Supar sebagai pemilik PD. Semangat Jaya yang telah bersedia menerima penulis untuk melakukan penelitian.

7. Seluruh karyawan MTA : Mas Joko, Mas Midi, Mas Hanafi, dan Mas Hendra, yang telah banyak memberikan bantuan dan kebaikan selama penulis menyelesaikan studi dan penelitian di Magister Teknologi Agroindustri. 8. Ibunda tercinta yang selalu mencurahkan cinta dan kasih sayang kepada

penulis, serta keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan dukungan. 9. Sahabat-sahabat terbaikku : Yanti, Richad, Novri, Ferdi, Sefa, dan Mimi,

yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini, semoga persaudaraan di antara kita tetap terjalin hingga nyawa meninggalkan raga.

10. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana angkatan 2009 dan 2010 yang telah bersama-sama berjuang menyelesaikan studi di Program Studi MTA.

11. Rekan-rekan seperjuangan di laboratorium limbah : Usman, Putri, Rinda, dan Amel terima kasih atas bantuannya dan semoga tali silatuhrahmi diantara kita tetap berlanjut.

Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dan semoga tesis ini bermanfaat. Amin.

Bandar Lampung,

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Kerangka Pemikiran ... 4

D. Hipotesis... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Proses Pengolahan Tapioka ... 8

B. Karakteristik Limbah Industri Tapioka ... 11

1. Limbah Cair Industri Tapioka ... 11

2. Limbah Padat Industri Tapioka ... 14

C. Pengolahan Limbah Industri Tapioka ... 16

1. Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Biogas ... 16

2. Limbah Padat Tapioka Sebagai Pakan Ternak ... 24

D. Pengolahan Pupuk Organik dari Limbah Peternakan ... 26

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

B. Alat dan Bahan ... 34

(15)

D. Pelaksanaan Penelitian ... 35

1. Pengumpulan Data ... 35

E. Pengamatan ... 37

1. Perhitungan Potensi Biogas ... 37

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah ... 38

3. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 40

1. Bahan Baku ... 41

2. Tenaga Kerja ... 42

B. Potensi Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka Rakyat Terpadu ... 43

1. Potensi Pemanfaatan Limbah Cair Menjadi Biogas ... 46

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah ... 51

a. Potensi Ekonomi Pemanfaatan Limbah Cair Tapioka dengan Sistem CIGAR ... 51

b. Potensi Ekonomi Onggok ... 53

c. Potensi Pemanfaatan Limbah Meniran sebagai Pakan Ternak 62 d. Potensi Pemanfaatan Kompos Kotoran Sapi ... 65

C. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan ... 69

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel : Halaman

1. Baku mutu air limbah industri tapioka ... 11

2. Komposisi kimia kulit singkong... 15

3. Kondisi optimum produksi biogas ... 17

4. Komposisi biogas... 21

5. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering... 26

6. Metode pengumpulan data dan analisis data penelitian ... 36

7. Jumlah bahan baku di PD. Semangat Jaya tahun 2007-2009 ... 42

8. Jumlah pekerja PD. Semangat Jaya ... 43

9. Data potensi limbah yang dihasilkan dari pengolahan tapioka ... 45

10. Karakterisasi limbah cair yang masuk ke sistem CIGAR ... 47

11. Kesetaraan 1 m3biogas dengan berbagai sumber energi ... 49

12. Potensi energi biogas dari sistem CIGAR pertahun ... 50

13. Potensi keuntungan dari pengolahan limbah cair menjadi biogas ... 52

14. Potensi keuntungan dari penjualan onggok basah ... 55

15. Komposisi kimia onggok ... 56

16. Potensi ekonomi pengolahan onggok kering ... 57

17. Potensi keuntungan pengolahan onggok giling ... 60

(17)

19. Komposisi pakan ternak ... 63

20. Potensi keuntungan dari penghematan pembelian pakan ternak ... 64

21. Potensi produksi kotoran sapi ... 66

22. Potensi pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kompos ... 67

23. Hasil analisis kompos organik dari kotoran sapi ... 68

24. Jumlah bahan baku ubi kayu ... 81

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar : Halaman

1. Skema potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat

terpadu ... 6

2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di skala kecil ... 9

3. Tahapan proses pembentukan gas metana ... 19

4. Diagram alir penelitian ... 36

5. Kolam limbah cair ITTARA yang tidak dimanfaatkan ... 82

6. Kegiatan penangkapan biogas dengan reaktor CIGAR ... 83

7. Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar ... 83

8. Kegiatan penjemuran onggok ... 84

9. Pakan meniran untuk penggemukan sapi ... 84

10. Kegiatan penggemukan sapi ... 85

(19)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Ubi kayu merupakan komoditi pertanian yang utama di Provinsi Lampung. Luas areal penanaman ubi kayu di Provinsi Lampung pada tahun 2009 adalah sekitar 320.344 Ha dengan jumlah produksi sebesar 7.885.116 ton/tahun (BPS, 2010). Produksi ubi kayu yang sangat tinggi ini telah mendorong berdirinya lebih dari 70 industri tapioka yang tersebar di seluruh daerah di Provinsi Lampung dengan skala produksi yang beragam salah satunya adalah industri tapioka rakyat (ITTARA) .

(20)

2

Nasution (1978) menjelaskan bahwa limbah cair tapioka bersumber dari proses pencucian singkong, pencucian alat, dan pemisahan larutan pati. Sedangkan limbah padat tapioka bersumber dari proses pengupasan, pengekstraksian dan pengepresan.

Limbah cair dan limbah padat industri tapioka merupakan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi apabila dikelola secara tepat. Limbah cair tapioka dapat dikelola secara anaerobik untuk dimanfaatkan sebagai sumber biogas. Pada dasarnya pengolahan limbah cair secara anaerobik merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir. Biogas yang dihasilkan mengandung 50-80% metana, 20-50% karbondioksida, beberapa gas dalam jumlah kecil, cairan dan residu padat (Firdaus, 2005). Biogas merupakanrenewable energyyang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil. Metana sebagai komponen utama biogas adalah gas tidak berbau dan tidak berwarna yang apabila dibakar akan menghasilkan energi panas sekitar 1000 BTU/ft3atau 252 Kkal/0,0028 m3(Haryati, 2006).

(21)

3

berupa onggok, limbah padat tapioka juga berupa limbah meniran yaitu limbah campuran kulit singkong dan bonggol yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kompos.

Limbah industri tapioka berdasarkan potensi pemanfaatan yang dapat dikembangkan hanya sedikit ITTARA yang mampu memanfaatkannya dengan baik. Asumsi terhadap pemanfaatan limbah yang membutuhkan modal yang besar membuat pelaku industri tersebut enggan untuk memanfaatkan limbahnya. Umumnya ITTARA hanya membuang limbah cair dari proses produksi tanpa diolah atau dimanfaatkan sehingga akan menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan terhadap limbah padat yang masih bernilai ekonomi hanya dijual tanpa terlebih dahulu diolah yang berimplikasi pada nilai jual yang rendah.

(22)

4

Sistem pengelolaan yang tepat akan memaksimalkan potensi manfaat dari limbah ITTARA terpadu. Pada penelitian ini akan dibahas tentang berbagai potensi pemanfaatan limbah dengan berbagai metode pengolahan yang telah diterapkan pada ITTARA terpadu ditinjau dari aspek ekonomi dan lingkungan.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat terpadu berdasarkan aspek ekonomi dan lingkungan.

C. Kerangka Pemikiran

Industri tapioka rakyat (ITTARA) merupakan salah satu jenis indusri sektor pertanian yang memberikan andil cukup besar terhadap perkembangan ekonomi masyarakat terutama di pulau Jawa dan Sumatera. ITTARA merupakan agroindustri dengan pola usaha mandiri yang dikelola oleh individu atau kelompok masyarakat yang pada umumnya didirikan atas inisiasi pemerintah dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat.

(23)

5

limbah padat biasanya hanya dibuang ke lahan di dekat lokasi pabrik sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.

Keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh ITTARA memicu kelemahan ekonomi yang terjadi pada industri tersebut, kelemahan ekonomi ini terjadi akibat sistem pengelolaan industri yang kurang baik sehingga dari sekian banyak ITTARA yang berdiri, hanya ada beberapa industri saja yang mampu bertahan. Letak pabrik ITTARA yang pada umumnya berdekatan dengan pemukiman penduduk mengharuskan kegiatan industri tidak menimbulkan masalah terhadap lingkungan terutama dari limbah yang dihasilkan.

Penggunaan teknologi tepat guna sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan semua sumber daya yang ada, tidak hanya terhadap ubi kayu sebagai bahan baku tapioka tetapi juga terhadap limbah yang dihasilkan agar dapat diberdayakan menjadi sumber pendapatan baru bagi industri tersebut dan tidak memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan. Penggunaan teknologi yang tepat harus bersifat aplikatif dan cocok secara teknologi serta tidak memerlukan biaya dan tenaga kerja dalam jumlah besar agar dapat diperoleh keuntungan yang optimal.

(24)

6

onggok dapat diolah menjadi onggok kering dan tepung onggok, limbah meniran berupa kulit dan potongan singkong dapat dijadikan pakan ternak, serta limbah kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk kompos. Sistem pemanfaatan dengan teknologi dan metode yang tepat guna tidak hanya dapat berpotensi meningkatkan keuntungan bagi industri tersebut, akan tetapi juga akan membentuk sistem industri yang ramah lingkungan.

Gambar 1. Skema potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat terpadu

Bahan Bakar

Peternakan

Sapi

Onggok basah

Onggok giling

Onggok kering

Kompos Limbah Cair Limbah Padat

Onggok Meniran

ITTARA

Biogas

(25)

7

D. Hipotesis

(26)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Proses Pengolahan Tapioka

Industri tapioka merupakan salah satu industri yang dominan di Provinsi Lampung. Bahan baku utama industri ini adalah singkong yang biasanya diperoleh dari petani dan perkebunan inti rakyat yang dimiliki oleh industri tersebut (Prayati, 2005). Proses produksi tepung tapioka merupakan suatu mata rantai yang dimulai dari proses penerimaan bahan baku, pembersihan, pemotongan, pemarutan, penyaringan, pemurnian, pengeringan, pengayakan, pengemasan, dan penggudangan. Proses pengolahan tepung tapioka di industri skala kecil pada umumnya dapat dilihat pada Gambar 2.

(27)

9

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di skala kecil (Dimodifikasi)

Sumber : MENLH RI (2009)

Ubi Kayu

Pengupasan kulit Kulit + kotoran

Ubi Kayu

Pengupasan kulit

Pencucian umbi

Pemarutan

Pencucian

Penyaringan + air

Endapan pati

Penjemuran

Penggilingan

Pengayakan

Tepung Tapioka

Air Air buangan

Air Air buangan

Air buangan Onggok Kulit + kotoran Ubi Kayu

(28)

10

Tahap selanjutnya pengekstraksian yang bertujuan untuk memisahkan antara cairan yang mengandung pati dengan ampas. Pada tahap ini didapatkan ampas singkong yang disebut onggok dengan jumlah yang relatif banyak. Setelah tahap ekstraksi maka akan dilakukan tahap pemurnian yang bertujuan untuk memperoleh suspensi pati yang bebas dari komponen-komponen non pati seperti protein, lemak, serat, asam-asam terlarut, dan kotoran-kotoran lain yang tersisa. Pada tahap pemurnian ini dihasilkan suspensi pati dengan kemurnian berkisar antara 70-80% kandungan patinya. Tingginya kemurnian suspensi pati yang dihasilkan maka akan semakin baik pula mutu tapioka yang dihasilkan. Hasil pemurnian ini akan ditampung dalam tangki yang kemudian akan dipompakan untuk diproses ketahapan selanjutnya yaitu penurunan kadar air. Dalam tahapan ini bertujuan untuk memisahkan pati dengan air pada suspensi pati sehingga dihasilkan sagu basah dengan kadar air 30-35%.

Setelah dilakukan penurunan kadar air maka dilakukan tahapan pengeringan yang bertujuan untuk menurunkan kadar air tapioka basah menjadi tepung tapioka yang memiliki kadar air sekitar 12,5% kemudian diteruskan dengan dilakukannya pengayakan. Produk yang dihasilkan dari proses pengayakan berupa tepung halus yang kemudian akan dilakukan tahapan akhir proses yaitu pengemasan dengan menggunakan karung yang terbuat dari nilon (Prayati, 2005).

(29)

11

air. Selain untuk kelancaran proses produksi air bersih ini juga digunakan sebagai pembersihan alat dan lantai pabrik, sehingga dapat dikatakan limbah cair yang dihasilkan berasal dari proses pencucian, pembersihan alat produksi, lantai pabrik, serta dari proses pengolahan tepung tapioka (Prayati, 2005).

B. Karakteristik Limbah Industri Tapioka

1. Limbah Cair Industri Tapioka

Limbah cair industri tapioka merupakan limbah yang bersumber dari proses pencucian singkong, pencucian alat, dan pemisahan larutan pati (Ciptadi dan Nasution, 1978). Pengolahan 1 ton singkong menjadi tepung tapioka menghasikan sekitar 4.000-6.000 liter limbah cair (Djarwati et al., 1993). Kualitas limbah cair industri tapioka biasanya diukur dari konsentrasi padatan tersuspensi, pH, COD, dan BOD. Spesifikasi mutu standar limbah cair industri tapioka didasarkan pada ketetapan Mentri Lingkungan Hidup tahun 1995. Baku mutu untuk limbah cair industri tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku mutu air limbah industri tapioka

(30)

12

Menurut Fajarudin (2002), karakteristik limbah cair industri tapioka meliputi: a. Warna

Warna limbah cair industri tapioka transparan disertai suspensi berwarna putih. Zat terlarut dan tersuspensi akan mengalami penguraian hayati dan kimia yang akan mengakibatkan perubahan warna. Hal ini disebabkan karena kadar oksigen di dalam limbah cair menjadi nol, sehingga air limbah berubah menjadi warna hitam. Untuk parameter warna, bau dan kekeruhan tidak tercantum dalam Standar Baku Mutu Limbah karena ketiga parameter tersebut sulit untuk dihilangkan sehingga membutuhkan biaya yang mahal untuk dapat mencapai suatu standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

b. Bau

Limbah industri tapioka menimbulkan bau yang tidak enak, hal ini disebabkan oleh adanya pemecahan zat organik oleh mikroba. Bau menyengat yang timbul di perairan atau saluran, biasanya timbul apabila kondisi limbahnya sudah menjadi anaerob atau tidak ada oksigen yang terlarut. Bau tersebut timbul karena penyusun protein dan karbohidrat terpecah, sehingga timbul bau busuk dari gas alam sulfida.

c. Kekeruhan

(31)

13

d. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Limbah cair industri tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan zat organik lainnya yang ditandai banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal. Jumlah zat organik yang terlarut dalam limbah cair tapioka dapat diketahui dengan melihat nilai BOD. Jumlah zat organik yang terlarut dalam limbah cair tapioka dapat diketahui dengan melihat nilai BOD. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di dalam limbah cair. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/l atau ppm (part per million) dan biasanya pula dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram per satuan waktu.

e. COD (Chemical Oxygen Demand)

COD merupakan parameter limbah cair yang menunjukkan jumlah zat organik biodegradasi dan non biodegradasi dalam air limbah. Zat tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asam, misalnya sulfat, nitrit kadar tinggi, dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya dua sampai tiga kali lebih besar dari BOD.

f. pH

(32)

14

g. Padatan Tersuspensi

Padatan tersuspensi akan mempengaruhi kekeruhan air dan warna air. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukkan zat-zat tersebut di dalam badan perairan penerima limbah cair, maka akan mengurangi nilai guna perairan tersebut.

h. Sianida

Industri tapioka kebanyakan menggunakan bahan baku singkong beracun, karena harganya murah. Singkong beracun adalah jenis singkong yang banyak mengandung sianida. Sianida sangat beracun, namun sejauh ini kandungan sianida bukan merupakan penyebab utama timbulnya kasus pencemaran oleh buangan industri tapioka.

Ubi kayu mengandung senyawa sianogenik linamarin. Komponen ini apabila terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). HCN terhidrolisa jika kontak dengan udara (O2), oleh karena itu kandungan sianida bukan penyebab utama timbulnya pencemaran. Menurut Barana dan Cereda (2000), limbah cair industri tapioka memiliki kandungan sianida sebanyak 33,59 ppm.

2. Limbah Padat Industri Tapioka

a. Meniran kulit singkong

(33)

0,5-15

2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit singkong bagian dalam (berwarna putih kemerah-merahan dan halus) sebesar 8-15% (Hikmiyati et al., 2009).

Tabel 2. Komposisi kimia kulit singkong

Komposisi kimia Nilai (%)

Sumber: *) Laboratorium Fakultas Peternakan,Universitas Diponegoro (2008) dalam Hikmiyati,et al. (2009)

**) Ikawati,et al. (2009)

b. Ampas tapioka (onggok)

Limbah padat industri tapioka selain meniran kulit singkong adalah ampas tapioka (onggok) yang bersumber dari pengekstraksian dan pengepresan. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Onggok juga mengandung air dan karbohidrat yang cukup tinggi serta kandungan protein kasar dan lemak yang rendah. Jumlah kandungan ini berbeda dan dipengaruhi oleh daerah tempat tumbuh, jenis ubikayu, dan teknologi pengolahan yang digunakan dalam pengolahan ubikayu menjadi tapioka.

(34)

16

pengetahuan dan teknologi yang dimiliki masih sangat rendah maka onggok masih mengandung pati dengan konsentrasi yang cukup tinggi (Chardialani, 2008).

C. Pengolahan Limbah Industri Tapioka

1. Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Biogas

a. Proses pembentukan biogas secara anaerobik

Limbah cair memiliki nilai kebutuhan oksigen kimia (COD) yang cukup tinggi yaitu sebesar 13.500–22.000 mg/l (Manik, 1994). Untuk menurunkan nilai COD yang cukup tinggi diperlukan waktu yang cukup lama dalam pengolahannya. Jenie (1993) menyatakan bahwa limbah dengan kandungan bahan-bahan organik dalam konsentrasi tinggi merupakan limbah yang sesuai untuk diproses dalam sistem fermentasi anaerobik. Pengolahan limbah cair secara anaerobik pada dasarnya merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir.

Efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi: suhu, derajat keasaman (pH), konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi (terutama nisbah karbon dan nitrogen), zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan bahan organik, dan konsentrasi amonia (Hermawanet al.,2007). Kondisi optimum pada produksi biogas dapat dilihat pada Tabel 3.

(35)

17

ini disebabkan apabila pH turun akan menyebabkan pengubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Nilai pH yang terlalu tinggipun harus dihindari, karena akan menyebabkan produk akhir yang dihasilkan adalah CO2 sebagai produk utama. Begitupun dengan nutrien, apabila rasio C/N tidak dikontrol dengan cermat, maka terdapat kemungkinan adanya nitrogen berlebih (terutama dalam bentuk amonia) yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Hermawanet al.,2007).

Tabel 3.Kondisi optimum produksi biogas

Parameter Kondisi Optimum Sumber : Hermawanet al, 2007)

(36)

18

Tahap kedua melibatkan bakteri untuk merombak komponen yang dihasilkan pada tahap pertama menjadi hasil antara (asidogenesis). Monomer-monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi senyawa organik sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida.

Pada tahap kedua dalam fermentasi metana dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif. Hasil pada tahap ini kemudian dikonversi menjadi hasil antara bagi produksi metana berupa asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Sekitar 70 % dari COD (Chemical Oxygen Demand) semula diubah menjadi asam asetat.

(37)

19

Makromolekul/bahan organik kompleks (lipida, polisakarida, protein)

Mikromolekul/bahan organik sederhana (as. lemak, gliserin, mono & disakarida, as. amino)

oleh enzim ekstraseluler hasil

(38)

20

b. Biogas sebagai sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), limbah agroindustri, sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, sangat tinggi dan cepat daya nyalanya, sehingga sejak biogas berada pada bejana pembuatan sampai penggunaannya untuk penerangan atau memasak, harus selalu dihindarkan dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan (Suriawiria, 2005). Sifat Biogas adalah 20 % lebih ringan dari udara dan mempunyai satu suhu nyala di sekitar 650ºC sampai dengan 750ºC. Nilai kalor dari biogas adalah 20 Mega Joules (MJ) per m3dan membakar dengan efisiensi 60 persen di suatu dapur biogas yang konvensional.

(39)

21

pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan (Hermawanet al.,2007).

Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas methan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Satu mol metana memerlukan dua mol oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan air, akibatnya setiap produksi 16 gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram. Pada suhu dan tekanan standar, setiap stabilisasi 1 pound COD dapat menghasilkan 5,62 ft3 metana atau 0,35 m3 metana/kg COD (Grady dan Lim, 1980). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 4. Sumber : Hermawanet al. (2007)

c. Berbagai reaktor yang digunakan dalam pengolahan limbah menjadi biogas

(40)

22

Berbagai jenis bioreaktor telah digunakan untuk pengolahan air limbah secara anaerobik menurut Yusmiati (2009), antara lain :

1). Reaktor Filter Anaerobik (Anaerobic Filter Reactor)

Reaktor ini diisi dengan material pendukung inert seperti batu kerikil, karang, polimer dan beberapa jenis plastik yang dimiliki luas permukaan yang besar untuk mengikat mikroorganisme. Reaktor ini tidak memerlukan pemisahan dan daur ulang biomasa.

2). Reaktor Kontak Anaerobik (Anaerobic Contact Reactor)

Air limbah diolah didalam reaktor tangki berpengaduk secara sinambung (continuous stirred tank reactor). Dalam reaktor ini terjadi kontak antara biomassa aktif dengan air limbah kemudian menghasilkan gas metana dan karbondioksida. Aliran keluar reaktor dimasukkan ke tangki pemisah (clarifier) dan biomassanya dikembalikan kedalam reaktor.

3). Bioreaktor Unggun Fluidisasi (Fluidized-bed Reactor)

(41)

23

4). Upflow Anaerobic Sludge Blanket(UASB)

Air limbah diumpankan dari bagian bawah dan keluar dari puncak reaktor melalui penyekat-penyekat yang berfungsi untuk memisahkan gas, lumpur dan cairan. Lumpur-lumpur yang terpisah dari cairan dan gas terendapkan kembali didalam reaktor. Gas-gas yang terbentuk dikumpulkan pada bagian puncak reaktor melalui sistem perpipaan.

5). Bioreaktor Berpenyekat Anaerobik

Bioreaktor berpenyekat anaerobik pada prinsipnya merupakan reaktor yang memiliki sederetan sekat yang dipasang secara vertical. Limbah yang masuk kedalam reaktor ini dipisahkan oleh sekat-sekat dan proses fermentasi berlangsung pada sekat-sekat tersebut dan kemudian biogas yang terbentuk akan mengalir melalui pipa yang dipasang pada sekat-sekat yang ada pada reaktor tersebut.

6).Covered in Ground Anaerobic Reactor(CIGAR)

(42)

24

Bahan penutup yang biasa digunakan adalah plastic jenis HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1 mm. Plastik jenis ini dapat digunakan karena sifatnya yang tahan lama terhadap cuaca panas maupun hujan dengan proyeksi waktu 15-20 tahun masa pakai. Untuk membangun reaktor jenis ini tidak memerlukan biaya yang mahal karena sistem penggunaannya yang mudah yaitu kolam yang telah ditutup hanya dialiri limbah melalui lubang inlet dan setelah fermentasi anaerobik berlangsung limbah akan keluar melalui lubang outlet. Biogas yang terperangkap pada reaktor dialiri melalui pipa yang dipasang pada reaktor untuk kemudian ditampung dan digunakan sebagai bahan bakar. (Philipine Bio-Science, 2007)

2. Limbah Padat Industri Tapioka Sebagai Pakan Ternak

Limbah padat industri tapioka berupa onggok memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, yaitu berkisar 68%. Namun tingginya kandungan karbohidrat tersebut tidak diimbangi dengan kandungan proteinnya. Protein dalam limbah ini tidak lebih dari 3,6 %, tetapi hal ini dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi. Karena kandungan karbohidrat dalam bentuk bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) inilah, onggok jika digunakan sebagai bahan pakan ternak akan mudah dicerna bagi ternak, serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Tarmudji, 2004).

(43)

25

panas matahari atau sun drying. Tempat pengeringan yang baik biasanya

menggunakan lantai rabatan cor, sehingga hasil jemurannya tidak kotor. Selain

itu pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dryer yaitu

dengan menggunakan udara panas yang dihasilkan dari uap boiler. Setelah

dilakukan penurunan kadar air selanjutnya onggok digiling. Kemudian onggok

difermentasikan dengan menggunakan kapang Aspergillus niger sebagai

inokulum, ditambah campuran urea dan ammonium sulfat sebagai sumber

nitrogen anorganik.

Untuk setiap 10 kg bahan baku pakan dibutuhkan 80 gram kapang Aspergillus

niger dan 584,4 gram campuran mineral anorganik. Sedang untuk preparasinya,

10 kg onggok kering giling dimasukkan ke dalam baskom besar berukuran 50 kg.

Selanjutnya ditambah 584,4 gram campuran mineral dan diaduk sampai rata.

Kemudian ditambah air hangat sebanyak 8 liter, diaduk rata dan dibiarkan selama

beberapa menit. Setelah agak dingin baru ditambahkan 80 gramAspergillus niger

dan diaduk kembali. Setelah tercampur rata kemudian dipindahkan ke dalam baki

plastik dan ditutup. Fermentasi berlangsung selama empat hari. Setelah terbentuk

miselium yang terlihat seperti fermentasi tempe, maka onggok terfermentasi

dipotong- potong, diremas-remas dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC

dan selanjutnya digiling (Hidayah et al., 2010). Untuk standar kualitas pakan

(44)

26

Tabel 5. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering

Komposisi Kimia Jenis Pakan

Aflatoksin Maks (ppb atau μ g/kg)

Total digestible nutrient min (%) Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2009)

D. Pengolahan Pupuk Organik dari Limbah Peternakan

Kotoran ternak yang tercampur sisa-sisa pakan merupakan bahan organik yang

biasa digunakan petani sebagai pupuk kandang. Namun demikian, ketersediaan

pupuk ini belum dapat memenuhi kebutuhan, karena memperoleh pupuk kandang

dalam jumlah besar. Kotoran sapi merupakan bahan yang baik untuk kompos

karena relatif tidak terpolusi logam berat dan antibiotik. Kandungan Posfor yang

rendah pada pupuk kandang dapat dipenuhi dari sumber lain. Prinsip pembuatan

kompos adalah penguraian limbah organik menjadi pupuk organik melalui

aktivitas mikroorganisme (BPTP Jabar, 2008).

Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat

kimia, fisika dan biologi tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, menambah

kemampuan tanah menahan air, meningkatkan ketersediaan unsure mikro, serta

tidak menimbulkan polusi bagi lingkungan. Menurut Isroi (2005), untuk

(45)

27

a. Rasio Karbon-Nitrogen (C/N)

C/N rasio bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Hal tersebut disebabkan pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel dan bersamaan dengan nitrogen untuk pembentukan selnya. C/N rasio yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 30 : 1 hingga 40 : 1. Pada rasio di antara 30 - 40, mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Jika C/N rasio tinggi maka aktivitas biologi mikroorganisme berkurang dan diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan kompos, sehingga waktu pengomposan akan lebih lama dan kompos yang akan dihasilkan bermutu rendah (Murbandono, 2000).

b. Ukuran partikel dan porositas

Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang menjadi ukuran yang kecil dan permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dan bahan sehingga proses dekomposisi akan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antara bahan (porositas). Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara.

c. Aerasi

(46)

28

mikroorganisme sangat tergantung pada kelembaban lingkungan dan oksigen dari rongga udara yang terdapat diantara pertikel-partikel bahan kompos. Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk kedalam tumpukan kompos. Aerasi ditetentukan oleh porositas dan kandungan air bahan.

Menurut Budiman (2008), pembalikan pada tumpukan kompos akan mengembalikan kondisi tumpukan menjadi normal kembali untuk menjaga agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan kondisi anaerob dapat dihindari. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Kadar oksigen yang ideal adalah 10% - 18% (kisaran yang dapat diterima adalah 5% - 20%).

(47)

29

Sedangkan pengomposan aerobik adalah pengomposan yang memerlukan oksigen. Proses tersebut menurut Crawford (1984), tidak menimbulkan bau dan menghasilkan energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengomposan anaerobik (energi pengomposan anaerobik sebesar 26 kkal per mol glukosa sedangkan proses aerobik menghasilkan energi sebesar 484 – 674 kkal per mol glukosa). Reaksi yang terjadi selama proses pengomposan aerobik adalah sebagai berikut :

(48)

30

d. Kelembaban

Kadar air atau kelembaban yang ideal untuk proses pengomposan adalah antara 40% - 60% dengan kadar air yang terbaik adalah 50% (Rochaeni dkk, 2003). Kondisi kelembaban ideal harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati.

Menurut Crawford (1984), kelembaban pengomposan yang ideal tergantung jenis bahan organik yang digunakan. Jadi, kisaran kelembaban yang ideal harus dipertahankan dan apabila kelembaban dibawah 40% aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15% karena bahan akan menjadi kering dan mikroorganisme akan sulit tumbuh. Apabila kelembaban lebih dari 60% hara akan tercuci mengakibatkan bahan semakin lembek, melarutkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroorganisme, dan oksigen yang masuk akan terhambat, bila volume udara berkurang dan akibatnya aktivitas mikroba akan menurun selain itu pula kelebihan kandungan air menutupi rongga udara di dalam tumpukan, sehingga membatasi kadar oksigen dalam tumpukan. Kadar oksigen yang ideal berkisar antara 10%–18%.

Kondisi air yang baik adalah sedang, tidak terlalu kering, dan tidak terlalu basah.

(49)

31

menyebabkan penguapan sedangkan hujan dapat menyebabkan kadar air berlebih (Yuwono, 2005).

e. Suhu

Pengomposan akan berjalan optimal pada temperatur yang sesuai dengan temperatur yang optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (2000), suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 30oC

–45oC. Pada suhu 55oC - 65oC, perkembangbiakan mikroorganisme adalah yang paling baik sehingga populasinya tiga kali dibandingkan dengan suhu dibawah 55oC. Disamping itu, pada kisaran tersebut enzim yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik, mempunyai daya urai paling efektif. Suhu tinggi berfungsi untuk membunuh bibit penyakit (patogen), menetralisir hama (lalat) dan mematikan bibit rumput atau melokul organik yang resisten.

Keseimbangan antara panas yang dihasilkan dan dilepas akan tergantung pada kemampuan tumpukan untuk menghambat panas keluar. Besarnya kemampuan tersebut tergantung pada ukuran tumpukan. Dengan demikian, cara yang paling efektif untuk mengendalikan suhu adalah dengan ukuran tumpukan yang sesuai.

(50)

32

berperan memperkecil ukuran partikel zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah sedangkan mikroorganisme termofilik yang tumbuh pada waktu terbatas berfungsi untuk mengkomsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat.

f. pH

Kisaran pH optimum untuk memperoleh kecepatan pengomposan berkisar antara 6,5 – 7,5 (Yuwono, 2005). Proses pengomposan akan menyebabkan perubahan pada bahan dan pH. Pada awal proses pengomposan, derajat keasaman akan selalu menurun karena sejumlah mikroorganisme mengubah bahan organik menjadi asam organik. Dalam proses selanjutnya, mikroorganisme jenis lainnya akan mengkonversi asam organik tersebut sehingga pH akan naik kembali mendekati netral.

pH tinggi menyebabkan konsumsi oksigen meningkat dan menyebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi NH3 (amoniak) yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Sebaliknya pH rendah dapat menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme (Murbandono, 2000).

g. Kandungan hara

(51)

33

h. Kandungan hara berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nikel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

(52)

34

III BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Agroindustri Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung untuk karakterisasi limbah dan observasi penelitian lapangan dilakukan di PD. Semangat Jaya Kecamatan Negeri Katon Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan September 2010 sampai dengan November 2010.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk analisis karakterisasi limbah meliputi mikropipet, vial, reaktor unit DBR200, HACH Spectrofotometri DR 4000, gelas ukur,box ice, pengaduk, botol semprot, sarung tangan, masker. Alat yang digunakan pada kegiatan observasi di lapangan meliputi seperangkat kamera, alat hitung (calculator) dan seperangkat komputer.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain, reagen COD (kalium dikromat (K2Cr2O7), H2SO4, kristal merkuri sulfat (HgSO4), dan silver sulfat (Ag2SO4)) dan

(53)

35

C. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan yang dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan pemanfaatan limbah pada ITTARA terpadu. Pemilihan lokasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive atau dilakukan secara sengaja, di mana lokasi yang diambil sesuai dengan kriteria tujuan penelitian yaitu ITTARA dengan kapasitas produksi 80 ton/hari yang menerapkan pola usaha terpadu dengan penggemukan sapi dan merupakan satu-satunya ITTARA yang menerapkan sistem usaha tersebut di Provinsi Lampung. Pengamatan karakterisasi COD limbah dilakukan sebanyak 6 kali dengan 6 minggu masa pengamatan. Setiap minggu dilakukan pengambilan sampel air limbah lalu dianalisis nilai COD. Setiap analisis dilakukan satu kali sebanyak 1 sampel air limbah.

D. Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu:

(54)

36

Gambar 4. Diagram alir penelitian

yang dihasilkan, fasilitas dan proses pengolahan limbah yang telah diterapkan.

b. Pengambilan data sekunder, yaitu semua data dan informasi, fakta, petunjuk, dan indikasi yang didapat dari hasil penyelidikan secara tidak langsung. Data diperoleh dari lokasi penelitian, penelusuran pustaka, dan lembaga yang berkaitan dengan penelitian.

Tabel 6. Metode pengumpulan data dan analisis data penelitian

No. Variabel Penelitian Metode Pengumpulan Potensi manfaat ekonomi Potensi manfaat terhadap

(55)

37

E. Pengamatan

1. Perhitungan Potensi Biogas

Limbah cair industri tapioka yang berpotensi sebagai sumber energi ditentukan karakteristiknya dengan menganalisis parameter yang berkaitan langsung dengan pembentukan gas metana yaitu nilai COD (Chemical Oxygen Demand) (HACH Company, 2004).

Pengukuran karakteristik limbah berupa COD dilakukan dengan cara : Sampel diaduk terlebih dahulu kemudian diambil sebanyak 0,2 ml atau 200 µl menggunakan mikropipet. Masukkan ke dalam vial yang berisi reagen COD, kemudian dipanaskan dengan reactor unit DRB200 pada suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan dibiarkan sampai suhunya sama dengan suhu ruang kemudian diukur nilai COD-nya dengan HACH Spektrofotometri DR4000 (HACH Company, 2004). Penghitungan potensi biogas dilakukan dengan menganalisis data primer, data sekunder dan hasil karakterisasi limbah. Adapun tahapan dalam menghitung potensi biogas dari pengolahan limbah cair adalah sebagai berikut:

a. Produksi gas metan

CH4 = CODr/hari x 0,3**

CODr/hari = (CODinlet–CODoutlet) mg/L X Laju alir umpan Keterangan:

CH4 = Jumlah produksi metan (m3/kg COD/hari) *) CODr sistem CIGAR

(56)

38

Laba = Total Pendapatan - Total biaya (biaya tetap + biaya variabel) b. Produksi biogas

Biogas = CH4/ % konsentrasi metana dalam biogas Keterangan:

Biogas = Jumlah produksi biogas (m3/hari)

CH4 = Jumlah produksi metan (m3/kg COD/hari) % metana = Konsentrasi gas metan dalam biogas

2. Potensi Ekonomi dari Pemanfaatan Limbah

Manfaat pengelolaan limbah industri tapioka ITTARA terpadu menggunakan metode perhitungan Gross Value Added (nilai tambah kotor) dengan analisis Laba-Rugi dari sistem pengolahan menjadi suatu produk. Komponen biaya terdiri dari biaya investasi dan operasional, pendapatan diperoleh dari nilai konversi biogas yang dihasilkan dengan harga bahan bakar untuk limbah cair dan untuk limbah padat nilai pendapatan diperoleh dari potensi penjualan limbah yang telah dilakukan pengolahan. Estimasi perhitungan dilakukan dengan mengkalkulasikan total biaya yang nilainya dikurangi dengan total pendapatan sehingga didapatkan nilai laba (Lal, 1999).

3. Potensi Pemanfaatan Limbah Terhadap Lingkungan

(57)

39

dilakukan dengan menghitung reduksi pencemaran gas rumah kaca CO2 setelah dilakukan pengolahan. Estimasi reduksi gas CO2 didapatkan setelah dilakukan pengurangan jumlah emisi setelah proyek penangkapan biogas berjalan dengan basis emisi apabila tidak dilakukan proyek penangkapan biogas. Metode perhitungan reduksi emisi menggunakan metode UNFCCC (United Nations Framework Convention for Climate Change) tentang reduction emission di pengolahan limbah dan penggunaan reaktor dengan bahan bakar terbaharui melalui modifikasi IPCC Tools (2006) dalam Purwati (2010).

Total emisi yang direduksi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

PE

BE

RE

Keterangan :

RE :Reduction Emission(Reduksi emisi dari limbah cair ) BE :Baseline emission(emisi yang ditimbulkan apabila tidak ada

pemanfaatan)

PE :Project emission(emisi yang ditimbulkan oleh adanya pemanfaatan)

Nilai basis emisi (BE) didapatkan dari perhitungan sebagai berikut : CODr/hari : (CODinlet–CODoutlet) X Laju alir umpan

Produksi CH4 : CODr X 0,3 m3*

Berat CH4 : Mol CH4** X Berat Molekul CH4 Emisi CO2 : 21 kali dari berat CH4**

Keterangan :

*) Nilai realistis untuk produksi CH4/1 kg COD

**) Mol CH4gas dalam keadaan STp yaitu setara dengan 22,4 L ***) 1 molekul CH4= 21 kali molekul CO2e (IPCC Tools (2006)

dalam Purwati (2010)

(58)

74

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diambil adalah pemanfaatan limbah di Industri Tapioka Rakyat terpadu dengan rata-rata bahan baku 57 ton/hari berpotensi memberikan peningkatan keuntungan ekonomi yang signifikan dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Adapun penjabaran potensi keuntungan yang diperoleh adalah sebagai berikut :

1. Potensi produksi biogas dari pemanfaatan limbah cair adalah sebesar 265.747,6 m3/tahun.

2. a) Potensi keuntungan ekonomi dari biogas pada tahun pertama adalah Rp654.913.030,- dan pada tahun kedua adalah sebesar Rp741.761.030,-b) Potensi keuntungan yang diperoleh dari onggok antara lain, onggok

basah sebesar Rp267.030.400,- keuntungan pengolahan onggok kering pada tahun pertama Rp231.419.000,- dan pada tahun ke dua Rp343.669.000,- keuntungan dari pengolahan onggok giling pada tahun pertama Rp515.109.400,- dan pada tahun kedua Rp604.609.400,-. c) Potensi keuntungan yang diperoleh dari penggunaan meniran sebagai

(59)

75

d) Keuntungan yang diperoleh dari pupuk kandang adalah Rp37.175.000,-pada tahun pertama dan Rp55.775.000,- Rp37.175.000,-pada periode tahun ke dua. 3. Pengelolaan limbah cair dapat mereduksi emisi gas CO2 sebesar 1.620,53

ton CO2e/tahun.

B. Saran

Setelah melakukan penelitian ini, maka penulis menyarankan :

1. Industri tapioka rakyat agar dapat melakukan sistem industri terpadu karena sistem ITTARA terpadu berdasarkan prospek pengembangannya memiliki potensi untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dan dapat mengurangi dampak pencemaran.

2. Penelitian lanjut tentang analisis teknis dan ekonomi dari ITTARA hendaknya dilakukan agar dapat dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari pengolahan tapioka dan dari pengolahan limbah.

(60)

DAFTAR PANDUAN WAWANCARA

Data Responden :

Nama Lengkap :………

Alamat :………

Posisi/Jabatan :………

1. Pada bagian apakah saudara bekerja?

2. Jenis kegiatan apa yang menjadi tanggung jawab saudara?

3. Apa yang saudara ketahui tentang manfaat pengolahan limbah di bagian saudara bekerja?

4. Berapakah jumlah personil di bagian saudara kerja?

(61)

6. Apakah saudara memahami tentang prosedur pengolahan limbah di bagian saudara bekerja?

7. Apa saja yang dibutuhkan dalam memproses limbah yang saudara tangani?

8. Apakah fungsi setiap penambahan bahan di setiap proses (jika ada)?

9. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengolah limbah yang anda olah?

10. Apa saja yang mempengaruhi proses pengolahan limbah tersebut?

(62)

12. Dimanfaatkan untuk apakah hasil olahan limbah tersebut?

13. Kepada siapakah hasil olahan limbah tersebut dijual?

14. Berapakah harga jual olahan limbah tersebut?

15. Apa saja kendala yang dihadapi dalam mengolah limbah tersebut?

Catatan :

(63)

76

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. Jakarta. Diakses pada tanggal 11 September 2010.

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Pakan Standar Untuk Peternakan. http//:www.bsn.go.id. Diunduh pada Tanggal 23 Juli 2010.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2008. Membuat Kompos Kotoran Sapi Lebih Berkualitas. BPTP Jawa Barat. Bandung

Barana, C. A., and P. M. Cereda. 2000. Cassava Wastewater (Manipuera) Treatment Using A Two-Phase Anaerobic Biodigestor. J. Cienc. Tecnol. Aliment. Vol. 20. No. 2. Campinas. May/Aug. Brazil. http: // goegle.com/cassava wastewater. Diakses tanggal 2 Agustus 2010.

Bewick,M.W.P. 1980. Handbook of Organic Waste Conversion. Van Nostrand Reindhold Company. New York. 490 Pgs.

Budiman, M.E. 2008. Pengaruh Frekuensi Waktu Pembalikan Tumpukan Kompos Terhadap Kinerja Pengomposan Ampas Tebu (bagasse) di PT. Gunung Madu Plantation (GMP). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Chardialani, A. 2008. Studi Pemanfaatan Oggok sebagai Bioimmobilizer

Mikroorganisme dalam Produksi Biogas dari Limbah Cair Industri Tapioka. Skripsi. Universitas Lampung.

Ciptadi dan Z. Nasution. 1978. Pengolahan Umbi Ketela Pohon. IPB. Bogor. 43 Hal.

Crawford, J.H. 1984. Composting of Agricultural Wastes. Dalam Cheremisinoff, P.N. dan R.P. Oullette (ed.). 1984. Biotechnology. Application and Research. Techonomic Publishing Co., Inc., USA. 232-241 Pgs.

Darwin, R. 2004.Effects of Greenhouse Gas Emissions on World Agriculture, Food Consumption, and Economic Welfare. Journal of Climate Change , 66(2004) page 191-238.

(64)

77

Ditjen PPHP Departemen Pertanian RI. 2009. Biogas Skala Rumah Tangga, Program Bio Energi Pedesaan (BEP). Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian-Ditjen PPHP Departeman Pertanian RI. Jakarta.

Djarwati, I.F. dan Sukani. 1993. Pengolahan Air Limbah Industri Tapioka Secara Kimia Fisika, Laporan Penelitian. Departemen Perindustrian RI. Semarang.

Fajarudin. 2002. Pengaruh Jumlah Air Ekstraksi dan Lama Pengendapan Terhadap Karakteristik Limbah Cair Tapioka Pada Sistem Batch. Skripsi. Universitas Lampung.

Firdaus, F. 2005. Studi Pendahuluan Pembuatan Biogas Dari Sampah Buah-buahan. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 63 Hal. Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rular Composting. FAO Journal. The United

Nations. New York. 11.815-823.

Grady Jr. C.P.L. and H.C. Lim. 1980. Biological Wastewater Treatment, Theory and Applications. Marcel Dekker Inc. New York. 180 Pgs.

HACH Company. 2004. DR/4000 Spectrophotometer Models 48000 and 481000 User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Colorado. 115 p.

Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif. Wartazoa 16(3): 160-169.

Hermawan, B., Q. Lailatul, P. Candrarini, dan P. S. Evan. 2007. Sampah Organik sebagai Bahan Baku Biogas. Artikel. http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=31. Diakses tanggal 28 Mei 2010.

Hidayah, S dan B. Triono. 2010. Produksi Pakan Ternak dari Onggok sebagai Income Alternatif Pengusaha Tepung Tapioka yang Peduli Peternak Ayam. PKM-GT. Universitas Negeri Malang. Malang.

Hikmiyati, Nopita, dan N.S. Yanie. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Kulit Singkong Melalui Proses Hidrolisa Asam dan Enzimatis. Jurnal penelitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. 1-9 hal.

Ikawati, dan Melati. 2009. Pembuatan Karbon Aktif dari Limbah Kulit Singkong UKM Tapioka Kabupaten Pati. Jurnal Penenlitian Teknik Kimia. Universitas Diponegoro. Semarang.

(65)

78

Jenie, B. S. L., W.P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. 42 Hal.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Pengolahan Tapioka. Jakarta. 46 Hal.

Kurniarto, A.T. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan Pengelolaan Limbah Industri Kecil Tapioka/Aci: Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) (Kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kurniawati, D.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Padat Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif Sumber Energi Listrik. Tesis. Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia

Lal, K. 1999.Value Added by Industry - A Problem of International. System of National Accounts Branch Statistics. Canada. 9 Pgs.

Malau, L. 2000. Pengaruh Jenis Bahan Kimia dan Jumlah Air Ekstraksi terhadap Mutu dan Rendemen Tepung Tapioka (Manihot esculenta crantz). Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Manik, K.E.S. 1994. Industri Tapioka dan Lingkungan Hidup. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Murbandono Hs, L. 2000. Membuat Kompos (edisi refisi). Penebar Swadaya : Jakarta

Nugroho, C.P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia. Jilid 3 Untuk SMK. Direktorat Pembinaan SMK. Kemendiknas RI. Jakarta. 132 hal.

Nurhasanah dan B. Pramudyanto. 1993. Penanganan Limbah Cair Industri Kecil Tapioka. Yayasan Bina Karya Lestari. Jakarta.

Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7. 2010. Baku Mutu Air Limbah Tapioka. Dinas Lingkungan Hidup. Pemerintah Provinsi Lampung.

Pertamina. 2011. Daftar Harga Bahan Bakar untuk Kegiatan Industri. www.pertamina.go.id. Diakses tanggal 23 Juni 2011.

Philipne Bio-Science. 2007.Waste To Energy Project. Philipne Bio-Science. Inc. Philipines.

Prayati, P. U. 2005. Mempelajari Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka PT. Umas Jaya Terbanggi Besar Lampung Tengah. Laporan Praktik Umum. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

(66)

79

Berbahan Kotoran Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta.

Purwati, E. 2010. Penerapan Konsep Zero Waste Pada Pengelolaan Limbah Industri Tapioka. Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia. 93 hal.

Rukaesih, R. 2004.Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penebar Swadaya. 145 hal.

Serasi. 2009.Clean Development Mechanism(CDM) dan Implementasinya di Indonesia. Edisi 02/2009. Kementerian Lingkungan Hidup RI. Jakarta Suriawiria, U. 2005. Menuai Biogas dari Limbah. Artikel. http

://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/07/cakrawala/penelitian 03.html. Diakses tgl 27 Maret 2011

Tarmudji. 2004. Pemanfaatan Onggok untuk Pakan Unggas. Artikel. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/171/. Diakses Tanggal 21 Agustus 2010.

Tchobanoglous G. 1991. Waste Water Engineering : Treatment, Disposal, and Re-Use. McGraw-Hill International Edition. Singapore.

Tjiptadi W. 1985. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka serta Cara Pengendaliannya di Daerah Bogor. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor

Winarno, F.G. 1992. Kimia pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta.

Wulandari, P. 2010. Inventarisasi Potensi Limbah Kegiatan Peternakan Sapi Sebagai Sumber Energi. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar lampung. 56 Hal.

Usman, M. 2011. Evaluasi Kinerja Bioreaktor Sistem Cigar (Covered in Ground Anaerobic Reactor) Di Industri Tapioka Rakyat. Universitas Lampung. Bandar lampung. 56 Hal.

Gambar

Tabel :Halaman
Gambar :
Gambar 1. Skema potensi pemanfaatan limbah industri tapioka rakyat terpadu
Gambar 2.  Diagram alir proses pengolahan tepung tapioka di skala kecil(Dimodifikasi)Sumber : MENLH RI (2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul “ Adsorpsi Sianida Pada Limbah Industri Tepung Tapioka Menggunakan Serbuk Sekam Padi” adalah benar-benar

EVALUASI PARAMETER PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA DALAM BIOREAKTOR ANAEROBIK 2

Industri pengolahan tepung tapioka menghasilkan limbah cair dalam

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah cair industri tapioka yang diperkaya dengan penambahan glukosa dan amonium sulfat sebagai media alternatif starter bakteri asam laktat

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah padat industri tepung tapioka (ampas ubi kayu/onggok) dan industri tahu (ampas tahu) sebagai bahan baku pembuatan bioetanol,

Penelitian dengan judul “ Pemanfaatan Limbah Padat Tapioka sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik Mudah Ter ur a i ( Biodegradable ) ” dengan tujuan untuk membuat plastik

Rata-rata industri tahu menghasilkan limbah cair sebanyak 17 m 3 /ton kedelai (Suprihatin, 2009). Dengan asumsi tersebut, industri tahu yang menjadi objek pada penelitian ini

Pengolahan limbah cair tapioka menggunakan membrane ultrafiltrasi mampu memisahkan padatan tersuspensi sebesar 57% di dalam larutan retentat dengan waktu proses efektif rata-rata