PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM
NYAMUK DEWASA
(Skripsi)
Oleh
FEBRINA DWIYANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRACT
INFLUENCE OF Vitex trifolia L. LEAF EXTRACTS ON LARVA DEVELOPMENT OF Aedes aegypti INTO ADULT
By
FEBRINA DWIYANTI
WHO has reported Dengue has become one of fastest growing mosquito-borne
disease and their control depends largely on preventive measures against mosquito
vectors. Aedes aegypti is the main Dengue vector. The natural insecticides such as
plant derived compounds are generally pest specific, biodegradable and harmless
to the environment. Phytochemicals constituents from leaf extracts of Vitex
trifolia include terpenoid, flavonoid, and alkaloid can act as insect growth
regulators. This research aimed to investigate the adults emergence inhibition of
ethanol extracts from leaves of Vitex trifolia against Aedes aegypti larva.
The period of the research was from June to December 2012. Insect growth
regulators activity of Vitex trifolia leaf extract was carried out using WHO
protocol, third instar larvae are used for testing. At the end of the observation
number of larvae that do not develop successfully into adults at various
concentration (0,025-0,125%). Probit analysis was used for determination of IE50
and IE90.
The result show 50% and 90% of adult emergence inhibition (IE50 and IE90) were
0,042% and 0,112% against third instar larvae of Aedes aegypti. These results
suggest that the leaf extract of Vitex trifolia has influence as adult emergence
inhibitor against Aedes aegypti larva.
Keywords: Vitex trifolia leaf, ethanol extract, Aedes aegypti, insect growth
ABSTRAK
PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM
NYAMUK DEWASA
Oleh
FEBRINA DWIYANTI
WHO melaporkan Dengue merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui nyamuk yang tercepat pertumbuhannya dan upaya pengendaliannya sangat bergantung pada langkah-langkah pencegahan yaitu melawan vektor penyakitnya. Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Dengue. Insektisida alami seperti senyawa derivat tumbuhan umumnya bersifat spesifik, mudah terurai secara alami, dan tidak berbahaya terhadap lingkungan. Kandungan fitokimia ekstrak daun legundi meliputi terpenoid, alkaloid, dan flavonoid dapat berperan sebagai pengatur perkembangan serangga. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh ekstrak etanol daun legundi (Vitex trifolia L.) dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa.
Waktu penelitian yaitu pada bulan Nopember sampai Desember 2012. Pengujian aktivitas pengatur perkembangan ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) mengikuti pedoman WHO (2005), pengujian dilakukan terhadap larva instar III Aedes aegypti. Pada akhir penelitian, pengaruhnya dinilai sebagai IE% (Adult Emergence Inhibition) berdasarkan jumlah larva yang tidak dapat berkembang menjadi stadium dewasa pada berbagai konsentrasi (0,025-0,125%). Analisis probit digunakan untuk menentukan IE50 dan IE90.
Hambatan perkembangan larva instar III Aedes aegypti menjadi stadium dewasa sebesar 50% dan 90% (IE50 dan IE90) didapatkan pada konsentrasi 0,042%
dan 0,112%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun legundi memiliki pengaruh sebagai penghambat perkembangan terhadap larva Aedes aegypti.
PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI (Vitex trifolia L.) TERHADAP PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti MENJADI STADIUM
NYAMUK DEWASA
Oleh
FEBRINA DWIYANTI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi : PENGARUH EKSTRAK DAUN LEGUNDI
(Vitex trifolia L.) TERHADAP
PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti
MENJADI STADIUM NYAMUK DEWASA
Nama Mahasiswa : Febrina Dwiyanti
Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011044
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed dr. Syazili Mustofa
NIP. 196405171988032001 NIP.198307132008121003
2. Dekan Fakultas Kedokteran Unila
Dr. Sutyarso, M.Biomed
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed
Sekretaris : dr. Syazili Mustofa
Penguji
Bukan Pembimbing : dr. Betta Kurniawan, M.Kes
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 21 Januari 2013
Dr. Sutyarso, M.Biomed
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Februari 1992, sebagai anak kedua
dari dua bersaudara, pasangan Bapak Fauzie dan Ibu Sukanti.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 01 Pagi Karet Tengsin,
Jakarta Pusat pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 40
Jakarta Pusat diselesaikan pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
di SMAN 35 Jakarta Pusat pada tahun 2009, dan pada tahun yang sama penulis
diterima sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter FK UNILA melalui jalur
SNMPTN.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten laboratorium Anatomi
dan aktif pada sejumlah organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa
Skripsi Ini Saya Persembahkan Untuk
Allah SWT
MY BELOVED
Umi
–
Abi
Nenek Mario
Kakak Putri
Dede Fatih
Big Family
MY LOVELY
Friends and FK Unila 2009
My Almamater
SANWACANA
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.
Skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.)
terhadap Perkembangan Larva Aedes aegypti Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa”
ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
2. Ibu Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed., selaku Pembimbing I atas
kesediaannya dan ketelatenannya memberikan bimbingan, bantuan, saran,
dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga
selesai;
3. dr. Syazili Mustofa, selaku Pembimbing II atas kesediaan meluangkan waktu
dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis
4. dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Pembahas atas kesediaan meluangkan
waktu dan memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun dan
bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
5. Ibu Soraya Rahmanisa, M.SC., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan saran dan masukkan kepada penulis;
6. Almarhum dr. H. Nurlis Mahmud, MM yang telah banyak memberikan
nasehat yang berharga;
7. Umi dan Nenek yang selalu menyebut nama saya dalam doanya,
membimbing, mendukung, dan memberikan yang terbaik;
8. Kakak saya (Putri Utami) yang selalu memberi doa, bantuan, dan semangat,
serta Dede Fatih yang telah memberikan semangat;
9. Seluruh Keluarga besar almarhum Kakek Mario atas perhatian, dukungan,
dan doa yang telah diberikan;
10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis
untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
11. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang
turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;
12. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FMIPA Unila, serta pegawai
yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;
13. Ka Ibnu, Mba Giska, Mba Ima, Mbak Ani, dan Agnesi yang sudah banyak
memberikan bantuan, arahan, serta koreksi dalam skripsi ini;
14. Sahabat-sahabat saya yang merangkap sebagai Tim Bantuan Skripsi, Bian,
Agnesi, Aya, Ajo, Riska, Reza Kanjeng, Hawania, Loven, Nabila, Dicky,
15. Nora, Fajar, Eka, Nanang, dan Sulaiman yang telah membantu dan menemani
selama penelitian;
16. Teman-teman angkatan 2009 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini,
semangat, bantuan dan kebahagiaan yang telah diberikan;
17. Teman-teman asdos Anatomi 2009, Umi, Debora, Nola, DM, Muslim, Iqbal,
dan Kharisma atas kerjasama, kekompakan, dan bantuannya selama ini;
18. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002–2012) yang sudah
memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi
yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi
rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.
Bandar Lampung, 21 Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR GRAFIK ... vii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum ... 5
2. Tujuan Khusus ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori ... 6
2. Kerangka Konsep ... 7
F. Hipotesis ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti
1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti ... 8
ii
3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan ... 14
B. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.) 1. Taksonomi Tanaman ... 16
2. Deskripsi Tanaman ... 17
3. Kegunaan Tanaman Legundi dalam Masyarakat ... 19
4. Kandungan Kimiawi dan Mekanisme Kerja ... 19
C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi 1. Insektisida ... 21
2. Insect Growth Regulator ... 23
3. Efek Juvenile Hormon Mimics Daun Legundi ... 25
E. Ekstraksi ... 26
III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 28
B. Tempat dan Waktu ... 28
C. Populasi dan Sampel ... 28
D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian ... 30
2. Alat Penelitian ... 30
E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 31
2. Tahap Penelitian ... 33
F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel ... 35
iii G. Analisis Data ... 38
H. Diagram Alir ... 39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 40
B. Pembahasan ... 48
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... 57
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ... 29
2. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan dalam Penelitian ... 33
3. Definisi Operasional ... 35
4. Hasil Perhitungan Jumlah Larva Aedes aegypti yang Berhasil Menjadi
Stadium Nyamuk Dewasa ... 41
5. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 41
6. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence
Inhibition, IE%) ... 43
7. Hasil Uji Normalitas Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang
Tidak Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence
Inhibition, IE%) ... 44
8. Hasil Uji Post Hoc Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence
Inhibition, IE%) ... 46
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori ... 6
2. Hubungan Antar Variabel ... 7
3. Larva Instar I Aedes aegypti ... 9
4. Larva Instar II Aedes aegypti ... 10
5. Larva Instar III Aedes aegypti ... 10
6. Larva Instar IV Aedes aegypti ... 11
7. Pupa Aedes aegypti ... 11
8. Nyamuk Aedes aegypti ... 12
9. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 13
10. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.) ... 18
11. Diagram Alir Penelitian ... 39
12. Penyaringan Hasil Maserasi ... 71
13. Evaporasi ... 71
14. Larutan Uji ... 71
15. Larva Perlakuan ... 71
16. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0% ... 71
17. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,025% ... 71
vi
19. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,075% ... 72
20. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,100% ... 72
21. Adult Emergence Konsentrasi Ekstrak Daun Legundi 0,125% ... 72
22. Penghitungan Pupal Case Kosong ... 72
23. Mikroskopis Pupal Case Kosong ... 72
24. Larva Kontrol ... 73
25. Larva Perlakuan ... 73
26. Pupal Case Kosong ... 73
27. Pupa Aedes aegypti yang Tidak Mencapai Stadium Dewasa ... 73
vii
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
1. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa ... 42
2. Hasil Perhitungan Persentase Jumlah Larva Aedes aegypti yang Tidak
Berhasil Menjadi Stadium Nyamuk Dewasa (Adult Emergence
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
WHO melaporkan Dengue merupakan mosquito-borne disease yang
tercepat pertumbuhannya. Terdapat 1 juta kasus terkonfirmasi dilaporkan
pada World Health Organization setiap tahun, akan tetapi WHO
mengestimasi jumlahnya lebih dari 50 juta setiap tahun, dengan 20 ribu
kematian setiap tahunnya (WHO, 2010). Demam Berdarah Dengue (DBD)
atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dunia dalam
waktu yang sangat pendek (beberapa hari) (Ridad et al., 1999). Aedes
aegypti berperan sebagai vektor utama arbovirus yang menyebabkan
penyakit Dengue (Farnesi et al., 2012).
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan
digunakan oleh program pengendalian Dengue di tingkat pusat dan di
daerah. Metode pengendalian vektor Dengue tersebut yaitu: manajemen
lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi
masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan (Sukowati,
2
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam
pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa
menguntungkan sekaligus merugikan. Insektisida jika digunakan secara
tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan mampu
mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan
dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan insektisida dalam jangka
tertentu akan menimbulkan resistensi vektor (Sukowati, 2010).
Data penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 di Jakarta dan Denpasar
pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Shinta et al., menunjukkan resistensi
vektor terhadap insektisida yang digunakan oleh program pengendalian
vektor Dengue (Sukowati, 2010). Residu insektisida sintetik pada ekosistem
dapat mengurangi sensitivitas larva nyamuk terhadap larvasida. Berkaitan
dengan biodegradabilitasnya, ekstrak insektisida dari tanaman dianggap
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan insektisida sintetik (Ghosh et
al., 2012). Oleh karena itu, diperlukan pengembangan insektisida nabati
yang efektivitasnya setara dengan insektisida kimiawi, namun mudah
didapat oleh masyarakat, murah, dan sederhana (Pidiyar et al., 2004; Gionar
et al., 2005).
Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah mempengaruhi hormon
pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth Regulation). Mekanisme
3
pematangan insekta, sehingga insekta tidak mampu moulting dan
berkembang menjadi stadium selanjutnya atau dewasa sehingga akhirnya
mati (Campbell et al., 2003). Penelitian yang dilakukan Elimam et al.
(2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan bahwa senyawa seperti
phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki aktivitas Juvenile
Hormone sehingga memiliki pengaruh pada perkembangan serangga.
Tanaman tradisional seperti legundi dapat menjadi alternatif insektisida
alami. Legundi dipilih oleh karena tanaman ini mudah diperoleh dan banyak
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bagian tanaman yang
terpenting adalah daun. Daun legundi mengandung senyawa bioaktif seperti
alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol, dan terpenoid (Sudarsono et al.,
2002; Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva
Aedes aegypti. Penelitian pendahuluan yang dilakukan Anpalakan (2012),
memberikan hasil bahwa konsentrasi 0,1% daun legundi menyebabkan
kematian 50% larva nyamuk Aedes aegypti. Mengacu pada penelitian
tersebut maka peneliti menggunakan konsentrasi 0,025%; 0,050%; 0,075%;
0,100%; dan 0,125% dari ekstrak daun legundi untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium
4
B. Rumusan Masalah
Dengue merupakan mosquito-borne disease yang tercepat pertumbuhannya
(WHO, 2010). Pengendalian secara kimiawi masih menjadi metode
pengendalian vektor Dengue yang paling populer. Data mengenai resistensi
vektor terhadap insektisida telah banyak dilaporkan, resistensi dapat terjadi
karena residu insektisida di lingkungan menyebabkan berkurangnya
sensitivitas larva terhadap insektisida. Insektisida nabati lebih ramah
lingkungan karena biodegradabilitasnya yang baik (Sukowati, 2010; Ghosh
et al., 2012). Salah satu daya kerja dari insektisida nabati adalah
mempengaruhi hormon pengatur pertumbuhan serangga (Insect Growth
Regulation). Tanaman legundi dapat menjadi alternatif insektisida.
Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) dan Sudarsono et al. (2002)
menyebutkan bahwa legundi memiliki senyawa bioaktif seperti alkaloid,
saponin, flavonoid, polifenol, dan terpenoid. Hasil penelitian yang
dilakukan Elimam et al. (2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan
bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid memilki
aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga.
Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu:
Bagaimana pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva
5
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan
larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk dewasa.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) yang
paling efektif dalam menghambat perkembangan larva Aedes aegypti
menjadi stadium nyamuk dewasa.
b. Mengetahui 50% dan 90% inhibition of adult emergence (IE50 dan
IE90) dari ekstrak daun legundi (Vitex trifolia L.) dalam menghambat
perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium nyamuk
dewasa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah
mengenai khasiat ekstrak daun legundi terhadap larva nyamuk Aedes
aegypti dan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu parasitologi
khususnya entomologi dalam lingkup pengendalian vektor penyebab
6
2. Bagi Peneliti
Sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari
sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.
3. Bagi Masyarakat/Institusi
Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya pembaca
mengenai manfaat dan khasiat daun legundi.
4. Bagi Penelitian Lebih Lanjut
Sebagai referensi atau acuan bagi penelitian serupa.
E. Kerangka Penelitian
1. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori (Sumber: Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) Ekstrak Ethanol Daun Legundi
(Vitex trifolia L.)
Terpenoid, Alkaloid, dan Flavonoid
Larva Tidak Berhasil Mencapai Stadium
Nyamuk Dewasa
Aktivitas Juvenile Hormone Mimics
7
2. Kerangka Konsep
Gambar 2. Hubungan Antar Variabel
F. Hipotesis
Terdapat pengaruh ekstrak daun legundi terhadap perkembangan larva Aedes
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aedes aegypti
Salah satu spesies nyamuk yang paling sering ditemukan di wilayah tropis
dan subtropis di dunia, termasuk Indonesia. Aedes aegypti merupakan vektor
primer penyakit virus, yaitu demam dengue, cikungunya, dan yellow fever
(CDC, 2012).
1. Morfologi Larva, Pupa, dan Dewasa Aedes aegypti
1) Larva Aedes aegypti
Ciri-ciri larva Aedes aegypti yaitu memilki corong udara pada segmen
terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai adanya
rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs), pada corong udara
terdapat pekten, adanya sepasang rambut serta jumbai pada corong
udara (siphon), pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat
comb scale sebanyak 8 sampai 21 atau berjejer 1 sampai 3, bentuk
individu dari comb scale seperti duri. Larva nyamuk bernafas
terutama pada permukaan air, biasanya melalui satu buluh pernafasan
pada ujung posterior tubuh (siphon). Saluran pernafasan pada Aedes
9
hampir tegak lurus dengan permukaan air. Segmen anal pelana tidak
menutupi segmen (Prianto et al., 1994).
Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan
pertumbuhan larva, yaitu (Hoedojo, 1993):
a. Larva instar I; berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satu
sampai dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada
belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum menghitam
(Hoedojo, 1993).
Gambar 3. Larva Instar I Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
b. Larva instarII; berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari
setelah telur menetas, duri-duri dada belum jelas, corong
10
Gambar 4. Larva Instar II Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
c. Larva instarIII; berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari
setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman (Hoedojo, 1993).
Gambar 5. Larva Instar III Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
d. Larva instar IV; berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur
empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala
11
Gambar 6. Larva Instar IV Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., et al., 2010)
2) Pupa Aedes aegypti
Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air.
Pada pupa terdapat kantong udara yang terletak diantara bakal sayap
nyamuk dewasa dan terdapat sepasang sayap pengayuh yang saling
menutupi sehingga memungkinkan pupa untuk menyelam cepat dan
mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsang.
Bentuk nyamuk dewasa timbul setelah sobeknya selongsong pupa
oleh gelembung udara karena gerakan aktif pupa. Pupa bernafas pada
permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil
pada toraks (Aradilla, 2009).
Gambar 7. Pupa Aedes aegypti
12
3) Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil daripada ukuran
nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus) (Djakaria, 2006). Nyamuk
Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger
mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan
adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di atas dasar
warna hitam. Sedangkan yang menjadi ciri khas utamanya adalah ada
dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi
lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari
punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking)
(Soegijanto, 2006).
Gambar 8. Nyamuk Aedes aegypti
13
2. Siklus Hidup Aedes aegypti
Gambar 9. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
(Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2010)
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, terdiri atas 4
stadium yaitu diawali dengan stadium telur, larva, pupa, dan akhirnya
dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup di dalam air, sedangkan
stadium dewasa hidup di udara (Ridad, 1999).
Nyamuk betina meletakkan telur-telurnya di batas atas permukaan air
dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukkannya. Seekor
nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur setiap
kali bertelur. Telur-telur Aedes aegypti diletakkan satu persatu terpisah,
biasanya pada lubang pohon dan benda-benda yang dapat menampung air
(Ridad, 1999).
Setelah 2-3 hari telur menetas menjadi larva (jentik) yang selalu hidup di
dalam air. Selama proses pertumbuhannya larva nyamuk mengadakan
pengelupasan kulit (moulting) sebanyak 4 kali (Ridad, 1999).
14
berlangsung selama 5-7 hari. Perkembangan dari instar I ke instar II
berlangsung dalam 2-3 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam
waktu 2 hari, dan perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2-3
hari (Aradilla, 2009). Larva mengambil makanan dari tumbuhan atau
mikroba di tempat perindukannya (CDC, 2012).
Larva instar IV kemudian tumbuh menjadi pupa kurang lebih selama 3
hari (Aradilla, 2009). Pupa merupakan stadium yang tidak makan tetapi
masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui corong pernapasan
(breathing trumpet). Diperlukan waktu 1-2 hari agar pupa menjadi
dewasa. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa memerlukan waktu
sekitar 14 hari (Ridad, 1999).
3. Hormon Pertumbuhan sebagai Pengatur Perkembangan
Semua kelompok artropoda mempunyai sistem endokrin yang ekstensif.
Serangga mempunyai eksoskeleton yang tidak bisa meregang. Serangga
terlihat tumbuh secara bertahap, dengan melepaskan eksoskeleton lama
dan mengekskresikan eksoskeleton baru pada setiap pergantian kulit. Pada
serangga pergantian kulit dipicu oleh hormon yang disebut ekdison
(ecdysone). Pada serangga ekdison disekresi oleh sepasang kelenjar
endokrin, yang disebut kelenjar protoraks, terletak persis dibelakang
kepala. Selain merangsang pergantian kulit, ekdison juga merangsang
perkembangan karakteristik dewasa, seperti perubahan larva menjadi
15
Pada serangga produksi ekdison itu sendiri dikontrol oleh hormon yang
disebut sebagai hormon otak (brain hormone, BH). Sel-sel neurosekretori
di otak menghasilkan hormon otak (brain hormone, BH), namun hormon
tersebut disimpan dan dikeluarkan dari organ yang disebut korpus
kardiakum. Hormon tersebut mendorong perkembangan dengan cara
merangsang kelenjar protoraks untuk mensekresikan ekdison. Sekresi
ekdison secara bertahap, dan setiap pembebasan hormon tersebut akan
merangsang pergantian kulit (Campbell, 2004).
Hormon otak dan ekdison diseimbangkan oleh hormon juvenil (juvenile
hormone, JH). JH disekresikan oleh sepasang kelenjar kecil persis
dibelakang otak, yaitu korpus allata. Hormon juvenil menyebabkan
karakteristik larva tetap dipertahankan. Kadar hormon juvenil dalam tubuh
serangga pada stadium larva awal akan cukup tinggi, sedangkan pada
stadium larva akhir mulai berkurang. Demikian juga pada stadium pupa,
kadar hormon juvenil sedikit. Pada stadium dewasa kadar hormon juvenil
meningkat kembali, hal ini berhubungan dengan fungsinya dalam proses
reproduksi (Gilbert, 2004).
Pada konsentrasi JH yang relatif tinggi, pergantian kulit yang dirangsang
oleh ekdison akan menghasilkan tahapan larva sekali lagi sehingga
produknya adalah larva yang lebih besar. Dengan demikian JH
menghambat metamorfosis. Ketika kadar hormon juvenil semakin
16
menghasilkan suatu tahapan perkembangan yang disebut sebagai pupa. Di
dalam pupa tersebut, metamorfosis mengubah anatomi larva menjadi
bentuk serangga dewasa. Serangga yang sudah dewasa tersebut kemudian
keluar dari pupa. Versi sintetik JH sekarang sedang digunakan sebagai
insektisida untuk mencegah perkembangan atau pematangan serangga
menjadi serangga dewasa yang bereproduksi (Campbell, 2004).
B. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.)
1. Taksonomi Tanaman
Berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan, tanaman legundi
termasuk ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Lamiales
Family : Lamiaceae
Genus : Vitex L–Chastetree
Spesies : Vitex trifolia L.–Simpleleaf chastetree
17
2. Deskripsi Tanaman
Tanaman legundi mempunyai nama yang beragam. Misalnya gendarasi
(Palembang), lagondi (Sunda), legundi (Jawa), langghundi (Madura),
galumi (Sumbawa), sangari (Bima), dunuko (Sulawesi), lanra (Makasar),
lawarani (Bugis), ai tuban (Ambon), lagundi, lilegundi (Melayu). Legundi
juga memiliki beberapa nama asing yaitu simpleleaf chastetree dan man
jing (Dalimartha, 2008).
Tanaman legundi tumbuh pada ketinggian 1.100 m di atas permukaan laut,
dan umumnya tumbuh liar pada daerah hutan jati, hutan sekunder, tepi
jalan dan pematang sawah (Warta, 2010). Tumbuhan ini mudah tumbuh di
segala jenis tanah, namun lebih menyukai tempat yang agak kering dan
pada daerah yang terbuka. Tumbuh dengan baik pada media tumbuh yang
terdiri dari campuran pasir, pupuk kandang dan lempung (Direktorat
Jederal Perkebunan, 2006). Penyebaran tanaman legundi di Indonesia
terdapat di berbagai daerah diantaranya Minang, Palembang, Lampung,
Sunda, Bima, Makasar dan Bugis. Selain di Indonesia, tanaman legundi
dapat juga tumbuh pada ketinggian 100-1.700 m dpl yang tersebar di
Taiwan, Yunan, Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan
Pasifik (Warta, 2010).
Habitus : Tanaman legundi merupakan tumbuhan perdu berbatang
segi empat, tajuk tidak beraturan, bercabang banyak dan
18
Batang : Batang pokok jelas, kulit batang berwarna cokelat muda
atau cokelat tua, batang muda berbentuk segiempat, dan
memiliki banyak cabang (Agromedia, 2008).
Daun : Daun majemuk, menjari, letak berhadapan, jumlah anak
daun 1-3, anak daun bagian ujung bertangkai dengan
panjang kurang dari 0,5 cm. Daun berbentuk bulat telur,
oval, bulat memanjang, atau bulat telur terbalik
(Agromedia, 2008).
Bunga : Bunga berbentuk malai dengan struktur dasar menggarpu,
ukuran malai 3,5-24 cm, ukuran garpu 2-6,5 cm serta terdiri
atas 15 bunga yang rapat. Tinggi daun kelopak sekitar
3-4,5 mm. Tabung mahkota berukuran 7-8 mm dengan
diameter segmen median dari bibir bawah sekitar 4-6 mm.
(Agromedia, 2008). Bunga berwarna ungu kebiruan
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006).
Buah : Buah tipe drupa, duduk, berair atau kering, dindingnya
keras (Agromedia, 2008).
Gambar 10. Tanaman Legundi (Vitex trifolia L.)
19
3. Kegunaan Tanaman Legundi dalam Masyarakat
Daun berbau aromatik khas dan dapat digunakan untuk menghalau
serangga atau kutu lemari. Daun digunakan untuk mengatasi influenza,
demam, batuk, migren, nyeri kepala, sakit gigi, sakit perut, rematik, diare,
mata merah, beri-beri, menormalkan siklus haid, germisida (membunuh
kuman), obat luka, prolapsus uteri, menghilangkan nyeri (analgesik),
menurunkan panas (antipiretik), meluruhkan kencing (diuretik), pereda
kejang dan membunuh serangga. Akar berkhasiat mencegah kehamilan
dan perawatan setelah melahirkan. Buah berkhasiat sebagai antipiretik,
menghilangkan nyeri (analgesik), menyegarkan badan, merawat rambut,
obat cacing, dan melancarkan haid (Dalimartha, 2008; Agromedia, 2008;
Hariana, 2008).
4. Kandungan Kimiawi dan Mekanisme Kerja
Tanaman legundi (Vitex trifolia L.) banyak mengandung zat aktif. Zat
tersebut tersebar luas di seluruh bagian tanaman misalnya daun, kulit
batang, bunga, buah, biji, dan akar. Menurut Syamsuhidayat Hutapea
(1991) daun legundi mengandung alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol,
terpenoid, dan minyak atsiri. Daun legundi mengandung minyak atsiri
yang tersusun dari seskuiterpen, terpenoid, senyawa ester, alkaloid
(vitrisin), glikosida flavon (artemetin dan 7-desmetil artemetin) serta
komponen nonflavonoid yang terdiri atas friedelin, β-sitosterol, glukosida,
dan senyawa hidrokarbon (Agromedia, 2008; Sudarsono et al., 2002).
20
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Biji legundi mengandung
senyawa-senyawa hidrokarbon dan asam lemak (Sudarsono et al., 2002).
Sejak lama tanaman ini sudah dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk
menyembuhkan berbagai penyakit dan tanaman ini juga digunakan untuk
membunuh serangga (Sudarsono et al., 2002). Aminah (1995)
mengemukakan bahwa senyawa bioaktif, seperti alkaloid, fenilpropan,
terpenoid, steroid dan tanin merupakan senyawa biologi terpenting pada
berbagai jenis racun dan pada konsentrasi tinggi bersifat depresan, serta
mengakibatkan eksitasi, sehingga menyebabkan gangguan pada tubuh
serangga (Darmansjah dan Gan, 1995).
Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif flavonoid,
phenylpropane derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid,
gossypol, dan alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH).
Perkembangan kematangan insekta tergantung pada JH yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa
perubahan bentuk yang radikal (Wigglesworth, 1974). Serangga akan
terganggu pada proses pergantian kulit, ataupun proses perubahan dari
telur menjadi larva, atau dari larva menjadi pupa, atau dari pupa menjadi
dewasa. Biasanya kegagalan dalam proses ini seringkali mengakibatkan
21
Saponin akan menghasilkan gula dan sapogenin yang berfungsi
menghemolisis sel darah merah, sebagai antifungi dan antimikroba,
mengikat kolesterol (Robinson, 1991) dan menghambat pertumbuhan sel
kanker (Davidson, 2004). Menurut Davidson (2004) pada konsentrasi
tinggi saponin bersifat toksin.
Polifenol menurut Arif dan Sjamsudin (1995) bersifat korosif dan kaustik
pada saluran pencernaan dan pada akhirnya menyebabkan kematian pada
serangga. Senyawa polifenol bersifat racun bagi serangga (insektisida)
(Robinson, 1991).
C. Pengendalian Vektor secara Kimiawi
1. Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang
digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai
sifat yaitu, mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak
berbahaya bagi binatang vertebra termasuk manusia dan ternak, murah
harganya dan mudah di dapat dalam jumlah besar, mempunyai susunan
kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah dipergunakan dan
dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut, dan tidak berwarna
22
Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah (Ridad,
1999):
1) Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur
2) Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva/nimfa
3) Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa
4) Akarisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungau
5) Pedikulisida, yaitu insektisida untuk membunuh tuma
Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada
bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam bahan kimia,
konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam upaya membunuh serangga dengan insektisida ialah
mengetahui spesies serangga yang akan dikendalikan, ukurannya, susunan
badannya, dan stadiumnya (Hoedojo, 2006).
Klasifikasi insektsida dibagi dalam (Hoedojo, 2006; Ridad, 1999):
1) Berdasarkan cara masuknya ke dalam badan serangga, yaitu:
a. Racun kontak, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan
serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu
istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida.
b. Racun perut, yaitu insektisida yang masuk ke dalam badan
serangga melalui mulut, jadi insektisida ini harus dimakan.
c. Racun pernapasan, yaitu insektisida yang masuk melalui sistem
23
2) Berdasarkan macam bahan kimia, yaitu:
a. Insektisida anorganik, terdiri dari golongan sulfur dan merkuri,
golongan arsenikum, dan golongan flour.
b. Insektisida organik berasal dari alam, terdiri dari golongan
insektsida berasal dari tumbuh-tumbuhan dan golongan insektisida
berasal dari bumi (minyak tanah dan minyak).
c. Insektisida organik sintetik, terdiri dari golongan organik klorin
(DDT, dieldrin, klorden, BHC, linden), golongan organik fosfor
(malation, paration, diazinon, fenitrotion, temefos, DDVP,
ditereks), golongan organik nitrogen (dinitrofenol), golongan sulfur
(karbamat) dan golongan tiosinat (letena, tanit).
2. Insect Growth Regulator
Insect Growth Regulator (IGR) merupakan salah satu bahan yang
digunakan dalam kegiatan larvaciding. IGR adalah sejenis bahan kimia
yang dapat menghambat pertumbuhan larva sejak dari instar I sampai IV
dan dapat menggangu hormon pertumbuhan larva agar tidak berhasil
menjadi pupa atau nyamuk dewasa. Kematian nyamuk disebabkan karena
ketidakmampuan nyamuk untuk melakukan metamorfosis. Telur gagal
menetas, larva gagal menjadi pupa, pupa gagal menjadi nyamuk dewasa
24
Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem
endokrin dan yang menghambat sintesis kitin. Juvenile Hormone Mimics
merupakan tiruan hormon juvenil endogen, mencegah metamorfosis
menjadi stadium dewasa yang viabel ketika diberikan pada stadium larva.
Sampai sekarang, terdapat dua target primer juvenoid yang telah diketahui,
yaitu menghambat juvenile hormone esterase sehingga tidak terjadi
degradasi hormon juvenil endogen dan dengan cara efek agonis pada
reseptor hormon juvenil. Pada stadium dewasa serangga, hormon juvenil
terlibat dalam regulasi vitelogenesis telur. Perubahan pada homeostasis
pada tahap perkembangan ini dapat menyebabkan telur yang steril
(Mehlhorn, 2008).
Hormon juvenil dan juvenile hormon mimics bertindak sebagai suppressor
atau stimulator terhadap ekspresi gen yang tergantung pada tahap
perkembangan dan tipe protein pengatur. Hal ini menjelaskan variasi efek
yang terjadi pada serangga yang diberikan juvenoid. Fenoxycarb adalah
insect growth regulator dengan aksi sebagai racun kontak dan pencernaan.
Kandungannya memperlihatkan aktivitas hormon juvenil yang kuat,
menghambat metamorfosis menjadi stadium dewasa dan menghambat
proses moulting. Methoprene merupakan insect growth regulator yang
mencegah metamorfosis menjadi stadium dewasa yang viable ketika
25
Insektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari golongan
benzoylurea seperti lufenuron, diflubenzuron (Dimilin), teflubenzuron
(Nomolt) dan hexaflumuron (Sentricon). Kitin adalah komponen utama
eksoskeleton serangga. Terganggunya proses pembentukan kitin larva
tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya mati
(Sudarmo, 1991).
3. Efek Juvenile Hormone Mimics Daun Legundi
Daun legundi mengandung terpenoid, flavonoid, dan alkaloid (Sudarsono
dkk, 2002). Elimam et al. (2009) dan Rajkumar et al. (2005) melaporkan
bahwa senyawa seperti phenolic, terpenoid, flavonoid, dan alkaloid
memilki aktivitas Juvenile Hormone sehingga memiliki pengaruh pada
perkembangan serangga.
Tanaman yang mempunyai kandungan bahan aktif phenylpropane
derivates, nonsteroidal terpenoid, steroidal terpenoid, gossypol dan
alkaloid mempunyai aktivitas Juvenile hormone (JH). Perkembangan
kematangan insekta tergantung pada JH yang menyebabkan terjadinya
pertumbuhan dan pertambahan ukuran tanpa perubahan bentuk yang
radikal (Wigglesworth, 1974).
Penelitian oleh Tandon et al. (2008) mengenai aktivitas insect growth
regulator daun Vitex trifolia L. pada larva instar V Spilosoma obliqua
26
memperpanjang periode larva dan periode pupa, meningkatkan mortalitas
larva dan deformitas pada stadium dewasa, dan menurunkan kemampuan
menjadi stadium dewasa (adult emergence), daya fekunditas, dan fertilitas
telur pada serangga percobaan (Tandon et al., 2008).
Penelitian yang dilakukan Fitriani (2004) melaporkan bahwa ekstrak daun
legundi yang diujikan pada larva Culex quinquefasciatus menyebabkan
terjadinya perpanjangan waktu yang diperlukan dalam perkembangan
larva menjadi pupa. Pada penelitian tersebut juga dilaporkan pemberian
ekstrak daun legundi meningkatkan mortalitas pada stadium larva dan
pupa (Fitriani, 2004).
D. Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode umum yang digunakan untuk mengambil produk
dari bahan alami, seperti jaringan tumbuhan, hewan, mikroorganisme, dan
sebagainya. Ekstraksi dapat dianggap sebagai langkah awal dalam rangkaian
kegiatan pengujian aktivitas biologi tumbuhan yang dianggap atau diduga
mempunyai pengaruh biologi pada suatu organisme. Untuk menarik
komponen nonpolar dari suatu jaringan tumbuhan tertentu dibutuhkan pelarut
nonpolar, seperti petroleum eter atau heksana, sedangkan untuk komponen
yang lebih polar dibutuhkan pelarut yang lebih polar juga, seperti etanol atau
27
Terdapat beberapa metode ekstraksi. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan
beberapa faktor seperti sifat dari bahan yang akan diekstrak, daya
penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam
memperoleh ekstrak yang sempurna. Metode pembuatan ekstrak yang umum
digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, soxhletasi, partisi, dan
ekstraksi ultrasonik. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara
dingin dan panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi,
sedangkan cara panas antara lain yaitu metode refluk, soxhlet, digesti,
destilasi uap, dan infus (Kurnia, 2010).
Maserasi merupakan proses pengambilan komponen target yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut yang sesuai dalam
jangka waktu tertentu. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan dengan konsentrasi tinggi
akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah
(proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi kesetimbangan
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi
sesekali dilakukan pengadukan dan juga pergantian pelarut (Harborne, 1998).
Residu yang diperoleh dipisahkan kemudian filtratnya diuapkan. Filtrat yang
diperoleh dari proses tersebut diuapkan untuk menguapkan pelarut dengan
alat penguap (rotary evaporator) hingga menghasilkan ekstrak pekat (Dadang
28
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium, dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Syaratnya adalah hanya ada
satu peubah bebas (variabel independen) yang disebut perlakuan, jadi tidak
ada peubah lain selain perlakuan yang mempengaruhi respon hasil penelitian
(variabel dependen).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Lampung pada
bulan Nopember sampai Desember 2012.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes
aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 (Penelitian
dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang) Ciamis
29
2. Sampel Penelitian
a. Kriteria Inklusi
1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III, dan
2) Larva bergerak aktif
b. Kriteria Eksklusi
1) Larva mati sebelum perlakuan
2) Larva berasal dari alam bebas
3. Besar Sampel
Berdasarkan pedoman WHO (2005), penelitian mengenai uji larvasida
menggunakan 20 larva sampai 30 larva pada setiap kelompok uji. Peneliti
menggunakan 25 larva pada setiap kelompok uji. Pada penelitian ini
terdapat 6 kelompok uji dengan 4 kali pengulangan pada setiap kelompok
uji, maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 600 larva.
Rincian jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian
Perlakuan
Perlakuan III: 0,075% 25 larva x 4 100 larva
Perlakuan IV: 0,1% 25 larva x 4 100 larva
Perlakuan V: 0,125% 25 larva x 4 100 larva
Jumlah total larva yang
dipakai dalam penelitian
30
D. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun legundi (Vitex
trifolia L.) yang telah dihancurkan sebanyak 3 g, ethanol 96% sebanyak 3
ml sebagai pelarut dan aquades untuk tempat berkembang larva serta
untuk melakukan pengenceran ekstrak. Waktu penelitian yang cukup
panjang sehingga penelitian ini juga memerlukan pelet kelinci dalam
bentuk padat sebagai makanan larva. Pakan berupa pelet kelinci digunakan
untuk menghindari terjadinya kekeruhan pada tempat pertumbuhan larva.
Pelet diberikan sebanyak 10 mg/l (WHO, 2005).
2. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alat untuk preparasi bahan uji, yaitu:
1) Nampan plastik ukuran 30 x 15 cm untuk tempat memelihara larva.
2) Kain kasa untuk memisahkan larva dengan air.
3) Gelas plastik ukuran ±400 ml untuk tempat meletakkan larva uji.
4) Sangkar nyamuk untuk meletakkan gelas tersebut pada waktu
dilakukan uji.
b. Alat untuk pembuatan ekstrak daun legundi, yaitu:
1) Timbangan untuk menimbang daun legundi yang diperlukan.
2) Blender untuk menghaluskan daun legundi.
31
4) Gelas plastik untuk merendam daun legundi yang telah dihaluskan
dengan ethanol 96%.
5) Alumunium foil untuk menutup gelas saat melakukan ekstraksi.
6) Saringan untuk memisahkan ekstrak etanol daun legundi dengan
ampasnya.
7) Pipet ukuran 1 ml untuk mengambil ekstrak daun legundi.
c. Alat untuk Uji Efektivitas
1) Gelas ukur untuk mengukur jumlah air yang diperlukan.
2) Kasa nilon untuk menutup gelas tempat pertumbuhan larva.
3) Pipet larva untuk mengambil larva.
4) Lidi untuk mengetahui larva yang mati.
5) Termometer untuk mengukur suhu lingkungan.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian dibagi dalam 2 tahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Preparasi Bahan Uji
Telur nyamuk Aedes aegypti yang dipakai pada penelitian ini
diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan
Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran,
Jawa Barat. Daun legundi diperoleh dari kota Solo.
b. Rearing Larva
Telur nyamuk dipindahkan ke dalam sebuah nampan yang berisi
32
Larva akan berkembang dari stadium I sampai III yang berlangsung
selama 4-5 hari. Selama masa perkembangannya larva tersebut diberi
pakan berupa pelet.
c. Pembuatan Ekstrak Daun Legundi
Disiapkan ekstrak daun legundi yang diperoleh dari kota Solo.
Pembuatan ekstrak daun legundi ini menggunakan pelarut berupa
ethanol 96%. Daun legundi sebanyak 3 g yang telah didapat kemudian
dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah halus atau
diblender (tanpa air). Setelah diblender potongan daun legundi
ditimbang terlebih dahulu baru kemudian dikeringkan dengan cara
diangin-anginkan. Setelah kering, potongan daun legundi direndam
selama 24 jam di dalam ethanol 96% sebanyak 3 ml. Setelah direndam
selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya
berupa ekstrak daun legundi dengan konsentrasi 100%. Untuk
membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan
rumus:
Keterangan:
V1 = volume larutan mula-mula
M1 = konsentrasi mula-mula
V2 = volume larutan sesudah diencerkan
33
Tabel 2. Jumlah Ekstrak Daun Legundi yang Dibutuhkan pada Penelitian
X1 V2 X2
Pengulangan
(V1 x 4)
100% 200 ml 0,025% 0,05 ml 0,2 ml
100% 200 ml 0,050% 0,10 ml 0,4 ml
100% 200 ml 0,075% 0,15 ml 0,6 ml
100% 200 ml 0,1% 0,20 ml 0,8 ml
100% 200 ml 0,125% 0,25 ml 1 ml
Total 3 ml
d. Disiapkan aquades ±4800 ml sebagai media dalam penelitian ini.
e. Disiapkan 24 buah gelas plastik ukuran ±400 ml sebagai wadah media
dalam penelitian ini.
f. Disiapkan gelas ukur dengan ukuran 100 ml untuk mengukur media.
g. Disiapkan pipet ukur dengan ukuran 1 ml untuk mengukur ekstrak
daun legundi
h. Disiapkan 6 buah lidi yang digunakan untuk menyentuh larva agar
diketahui ada respon gerakan atau tidak.
2. Tahap Penelitian
Larutan uji merupakan ekstrak ethanol daun legundi (Vitex trifolia L.)
dengan konsentrasi 0% sebagai kontrol negatif dan konsentrasi 0,025%;
0,050%; 0,075%; 0,1%; 0,125% sebagai perlakuan yang ditambahkan pada
masing-masing gelas uji. Kontrol negatif hanya menggunakan aquades
sebanyak 200 ml dengan kedalaman 5-10 cm. Efek daun legundi dalam
34
dengan mengikuti pedoman standar pengujian Insect Growth Regulators
(WHO, 2005).
Menurut pedoman WHO (2005) larva instar III Aedes egypti yang
digunakan dalam pengujian ini. Durasi pengujian yang panjang maka larva
harus diberi makan (pelet kelinci) 10 mg/l dengan cara yang sama pada
masing-masing perlakuan dengan interval pemberian selama 2 hari. Larva
kontrol juga diberi makan dengan cara yang sama denga larva perlakuan.
Gelas-gelas uji dan kontrol ditutup dengan menggunakan kasa nilon agar
terhindar dari kotoran dan serangga yang masuk kemudian disimpan di
dalam sangkar nyamuk selama waktu uji untuk mencegah stadium dewasa
terbang ke lingkungan luar. Mortalitas larva dan pupa dicatat setiap 24 jam
(WHO, 2005).
Pada akhir pengamatan pengaruh daun legundi terhadap perkembangan
larva Aedes aegypti dinilai sebagai persentase jumlah larva yang tidak
berhasil berkembang menjadi nyamuk dewasa yang viabel (Adult
Emergence Inhibition, IE%). Eksperimen selesai ketika semua larva atau
pupa pada kontrol mati atau berubah menjadi stadium dewasa. Kemudian
35
F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
1. Identifikasi Variabel
a. Variabel Independen
Variabel independen adalah konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex
trifolia L.).
b. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah persentase jumlah larva yang tidak berhasil
menjadi stadium nyamuk dewasa (Adult Emergence Inhibiton, IE%).
2. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Alat
trifolia L.) yang telah
dipotong-36
ciri larva Aedes aegypti
37
terpisah dari pupal case
38
G. Analisis Data
Data yang diperoleh di uji analisis statistik menggunakan program SPSS versi
17.0. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan:
1. Uji normalitas data yaitu uji Saphiro-Wilk, jika hasilnya > 0,05 maka
distribusi data normal maka dapat menggunakan uji parametrik ANOVA,
tapi jika distribusi data tidak normal (hasilnya < 0,05) menggunakan uji
alternatif yaitu uji Kruskal Wallis.
2. Analisis varians (Analysis of Variance / ANOVA)
Dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai IE%
Aedes aegypti antar kelompok uji. Uji ini di pilih untuk melihat perbedaan
pada data variabel numerik lebih dari 2 kelompok (Dahlan, 2008).
3. Least Significance Difference (LSD)
Dilanjutkan dengan pengujian LSD untuk mengetahui pasangan nilai mean
yang perbedaannya signifikan. Uji ini dilakukan setelah uji ANOVA, uji
ini di maksudkan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna pada
kelompok variabel (Dahlan, 2008).
4. Analisis Probit
Dianalisis seberapa besar daya hambat ekstrak daun legundi terhadap
perkembangan larva Aedes aegypti menjadi stadium dewasa yang
39
H. Diagram Alir
Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian dibuat
diagram alir seperti dibawah ini:
Kelompok I Kelompok II Kelompok
III
Kelompok IV
Kelompok V Kelompok
IV
Setiap kelompok perlakuan dilakukan dengan empat kali pengulangan
Diamati setiap 24 jam
Hitung jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada setiap kelompok perlakuan dan jumlah larva yang berhasil menjadi dewasa pada kelompok kontrol
Hitung IE% pada setiap kelompok perlakuan
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Aminah, N.S. 1995. Evaluasi Tiga Jenis Tumbuhan Sebagai Insektisida dan Repelan terhadap Nyamuk di Laboratorium. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anpalakan, T. 2012. Uji Pengaruh Ekstrak Vitex Trifolia L. Sebagai Larvasida pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.
Aradilla, A.S. 2009. Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Ethanol Daun Mimba (Azadirachta indica) tehadap Larva Aedes Aegypti. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.
Arif, A., Syamsudin, U. 1995. Obat Lokal. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara S.G., Setiabudy R., Suyatna F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Arivoli, S. dan Tennyson, S. 2011. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Activity of Abutilon indicum (Linn.) (Malvaceae) Leaf Extracts Against Vector Mosquitoes (Diptera: Culicidae). Journal Of Biopesticides. 4 (1): 27 - 35 (2011).
Arnason, J.T. dan Bernards, M.A. 2010. Impact of Constituent Plant Natural Products on Herbivores and Pathogens. Can J. Zool. 88(615-627).
Becker, N., Petric, D., Zgomba, M., Boase, C., Dahl, C., Lane, J., dan Kaiser, A. 2003. Mosquitos and Their Control. Kluwer Academic/Plenum Publisher. New York.
Campbell, J.R., Kenealy, M.D., dan Campbell, K.L. 2003. Animal Sciences The Biology, Care and Production of Domestic Animals4th Edition. Mc Graw-Hill Higher Education. Singapore.
60
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2012. Dengue and the Aedes aegypti Mosquito. San Juan.
Dadang dan Prijono, D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahlan, M.S. 2008. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta
Darmansjah, I., Gan, S. 1995. Kolinergik. Di dalam: Farmakologi dan Terapi. Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi, editor. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Davidson, M.V. 2004. Phytochemical. Http://micro.Magnet.fsu.edu? phytochemicals/pages/saponin.html (16 Agustus 2004)
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006. Daftar Komoditi Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Nomor 511/Kpts/Pd.310/9/2006. Jakarta
Elimam, A.M., Elmalik, K. H., dan Ali, F.S. 2009. Larvicidal, Adult Emergence Inhibition and Oviposition Deterrent Effects of Foliage Extract from Ricinus communis L. against Anopheles arabiensis and Culex quinquefasciatus in Sudan. Tropical Biomedicine. 26(2): 130–139.
Farnesi, L.C., Brito, J.M., Linss, J.T., Marcelo, P.M., Valle, D., Rezende, G.L. 2012. Physiological and Morphological Aspects of Aedes aegypti Developing Larvae: Effects of the Chitin Synthesis Inhibitor Novaluron. PLoS One. 7(1): e30363.
Fitriani, F. 2004. Pengaruh Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia L.) dalam Konsentrasi yang Sangat Rendah terhadap Perkembangan Stadium Pradewasa Nyamuk Culex quinquefasciatus. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gama, Z. P., Yanuwiadi, B., Kurniati T.H. 2010. Strategi Pemberantasan Nyamuk Aman Lingkungan: Potensi Bacillus thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1: 2087-3522.
61
Gionar, Y.R., Zubaidah, S., Stoops, C.A., and Bangs, M.J. 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida OP pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Parasitologi dan Entomologi dalam Peringatan Hari Nyamuk V, Bandung, 19 Agustus 2005.
Gunasekaran, K., Vijayakumar, T., Kalyanasundaram, M. 2009. Larvicidal & Emergence Inhibitory Activities of Neemazal T/S 1.2 PerCent Ec Against Vectors of Malaria, Filariasis & Dengue. Indian J Med Res. 130(2):138-45.
Harborne, J.B. 1998. Phytochemical Methods a Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall. London.
Hariana, A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hernández, M.M., Heraso, C., Villarreal, M.L., Vargas-Arispuro, I., Aranda, E. 1999. Biological Activities of Crude Plant Extracts from Vitex trifolia L. (Verbenaceae). J Ethnopharmacol. 67(1):37-44.
Hoedojo. 1993. DBD dan Penanggulangannya. Majalah Parasitologi Indonesia. 6:31-45.
Kabir, K.E., Tariq, M.R., Ahmed, S., Choudhary, M.I. 2011. A Potent Larvicidal and Growth Disruption Activities of Apium graveolans (Apiaveae) Seed Extract on The Dengue Fever Moquito, Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). Higher Education Commission. 20(20): 1-18.
Kannathasan, K., Venkatesalu, V., Senthilkumar. 2011. Mosquito Larvicidal Activity of Methyl-P-Hydroxybenzoate Isolated from The Leaves of Vitex trifolia Linn. Acta Tropica. 120(1–2);115–118.
Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue. Pusat Data dan Surveilan Epidemiologi. Jakarta.
Krishnan, K., Senthilkumar, A., Chandrasekaran, M., Venkatesalu, V. 2007. Differential Larvicidal Efficacy of Four Species of Vitex Against Culex quinquefasciatus Larvae. Parasitology Research. 101(6);1721-1723.
Kurnia, R. 2010. Ekstraksi dengan Pelarut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
62
Mehlron, H. 2008. Encyclopedia of Parasitology the 3th Edition. Springer-Verlag berlin Heidelberg. New York.
Natadisastra, D dan Ridad, A. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. EGC. Jakarta.
Pidiyar, V.J., Jangid, K., Patole, M.S., and Shouche, Y.S. 2004. Studies on Cultured and Uncultured Microbiota of Wild Culex Quinquefasciatus Mosquito Midgut Based on 16S Ribosomal RNA Gene Analysis. Am. J. Trop. Med. Hyg., 70(6): 597-603.
Prianto, Juni L.A., Tjahaya, P.U. dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rajkumar, S., dan Jebanesan, A. 2005. Larvicidal and Adult Emergence Inhibition Effect of Centella asiatica Brahmi (Umbelliferae) against Mosquito Culex quinquefasciatus Say (Diptera : Culicidae). African Journal of Biomedical Research. Vol. 8 (2005); 31 – 33.
Resh, V.H., dan Carde, R.T. 2009. Encyclopedia Of Insects. Elsevier. New York.
Ridad A., Ochadian H., Natadisastra D. 1999. Bunga Rampai Entomologi Medik. Edisi ke-2. Bagian Parasitologi FK Unpad.
Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi 6. Padmawinata K. Terjemahan dari: The Organic Constituens of Higher Plants. ITB. Bandung.
Shaalan, E.A.S., Canyonb, D., Younesc, M.W.F., Wahaba, H.A. and Mansoura, A.H. 2005. A Review of Botanical Phytochemicals with Mosquitocidal Potential. Environment International.31: 1149-1166.
Soegijanto, S. 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya
Sudarmo, S. 1991. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Yogyakarta.
Sudarsono, P.N., D. Gunawan, S. Wahyuono, I.A. Donatus, dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II. Pusat Studi Obat Tradisional, 159, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
63
Syamsuhidayat, S.S., dan Hutapea, J.R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Tandon, S., Mittal, A.K., Pant, A.K. 2008. Insect Growth Regulatory Activity of Vitex trifolia and Vitex agnus-castus Essential Oils against Spilosoma obliqua. Fitoterapia. 79(4):283–286.
Tunaz, H., dan Uygun, N. 2004. Insect Growth Regulators For Insect Pest Control. Turk J Agric For. 28: 377-387.
USDA. 2006. National Plant Database, Simpleleaf Chastetree. http://plants.usda.gov/about_plants.html
Warta. 2010. Pemanfaatan Legundi sebagai Tanaman Obat. Bogor.
WHO. 2005. Guidelines for Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. Geneva.
WHO. 2010. Dengue: The Fastest Growing Mosquito-Borne Disease in The World. Geneva.
Wigglesworth V.B. 1974. The Principles of Insect Physiology. The 7th Edition. London Chapman and Hall. Britain.