NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH
ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH
MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula,Sagala, Kabupaten. Samosir)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi
Disusun Oleh :
MELDA E. S
060905026
DEPARTEMENT ANTROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:
Nama : Melda E. S.
Nim : 060905026.
Judul : Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba.
(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir).
Medan, 11 April, 2011 Pembimbing Skripsi Ketua Departemen
(Drs. Yance, MSi) ( Dr. Fikarwin Zuska ) Nip. 19580315 198803 1 003 Nip. 19621220 198903 1 005
Dekan FISIP USU
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia penguji Departemen Antropologi Sosial Pada :
Hari :
Tanggal : Pukul :
ABSTRAK
Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah : Nilai/Makna Bentuk Dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten Samosir).
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang penulis cintai, mereka adalah : Orang tua saya, F. Simanjuntak/ T. Matanari yang telah merawat dan membesarkan saya, juga telah memberikan dana untuk penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Badarrudin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Dr. Fikarwin Zuska, sebagai ketua Departemen Antopologi FISIP USU, Drs. Agustrisno, MSP sebagai sekretaris Departemen Antopologi FISIP USU. Drs. Yance sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini. Drs. Lister Berutu, MA selaku ketua penguji pada saat penulis ujian komprehensif dan sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Seluruh dosen-dosen antropologi yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam perkuliahan. Juga teman-teman stambuk 2006, Eni, Ruli, Gaby, Aros, dan lain-lain. Serta adik-adik stambuk 2007, 2008, 2009, penulis ucapkan terimakasih atas bantuannya selama ini.
juga teman-teman lainnya, terima kasih karena secara tidak langsung telah menguatkan mental penulis dan menjauhkan penulis dari rasa bosan dan penyakit stres dan depresi dalam proses pembuatan skripsi ini.
Akhir kata, penulis banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu penulis selama ini. Seseorang-orang pernah mengatakan kepada penulis : “Tiada guna menyesali masa lalu,tiada guna sibuk mencemaskan masa depan, berhasillah dan nikmatilah kehidupan dalam
kedamaian masa kini, karena waktu tidak akan pernah terulang dan kembali”.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Melda Elysah. Simanjuntak, lahir di Medan 6 Oktober 1986, pada usia 1-3 tahun tinggal di Aceh Selatan, 3-4 tahun tinggal di Parapat. Pada usia 4,5 tahun sekolah di Tk. Santa Maria di Sibolga, SD. Negeri di Sibolga Baru, Sibolga, SMP.Negeri 1 di Sibolga, dan SMA. GKPI PAMEN di Medan. Lulus SMA (Jurusan IPA1) pada tahun 2004, dan bekerja di toko Rivaldo ponsel.
Pada tahun 2005, kuliah Diploma1 di AMIK TRIGUNA DHARMA sambil bekerja. Pada tahun 2006, kuliah di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU), Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Jurusan Antropologi Sosial. Selama menjadi Mahasiswi Antropologi, lalu mengambil keputusan untuk berhenti bekerja karena sedang menyelesaikan Tugas Akhir Diploma1, dan lulus pada September/2006 dan juga sedang menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
Adapun kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti selama menjadi mahasiswi Antropologi, FISIP/USU adalah :
1. Tari Tradisional di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari Pembantu Rektor (PR III), bagian kemahasiswaan (Beni), periode (2006-2008).
2. Ketua Club Dansa USU di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari : Prof. Basuki Widosensono di Jurusan KIMIA/MIPA dan Ketua IODI (Ikatan Olahraga Dansa Indonesia), periode (2008-2010). 3. Anggota tidak tetap KOMPAS USU, Volly USU dan UKM. Taekwondo
KATA PENGANTAR
Rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga” atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Pada posisi rumah, terdapat kepercayaan akan : banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru
(dunia bawah/dunia para makhluk halus). Pada konsep tradisional, sebuah rumah
tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam.
Rumah bolon selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga
berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi tersebut juga berubah. Perubahan tersebut menyebabkan rumah Adat tidak dibangun lagi. Pada satu sisi, sumber daya manusia untuk membangun rumah Adat itu sudah mulai berkurang, di sasi lain bahan sulit di dapat, bila di dapatkan maka harganya akan jauh lebih mahal, sehingga penduduk memilih membangun rumah yang sederhana dengan bahan-bahan yang terjangkau harga dan kualitasnya lumayan (bahan-bahan-bahan-bahan modern).
Kata nilai adalah kata benda abstrak yang berarti ”keberhargaan”. Nilai memiliki bobot kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sehingga nilai dapat dipandang secara positif dan negatif dengan tidak terlepas dari sumber daya yang tersedia. Nilai berbeda corak sesuai dengan tempat dan sosiokultural lingkungan tertentu. Makna berkaitan dengan suatu objek atau lingkungan. Kadang kala, makna juga berkaitan dengan kualitas emosional si pengamat yang dirasakan berkenaan dengan objek atau lingkungan tertentu. Imaji, simbol dan tanda (image, symbol ,dan sign).
berubah. Pada umumnya orang yang mengenal betul identitas serta kebudayaannya akan merancang dan membangun rumahnya sesuai dengan kaidah-kaidah kearifan lokal masyarakat setempat.
Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Akhir kata penulis sampaikan sekian dan terimakasih.
Medan, April 2011 Hormat saya,
DAFTAR ISI
A. SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA 18
B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM 23
C. KEADAAN PENDUDUK 24
9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi 38
10. Sarana Umum 39
E. SISTEM KEMASYARAKATAN 39
BAB III RUMAH ADAT BATAK TOBA 41 A. SEJARAH RUMAH ADAT
DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 41 B. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI
RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 43
1. Penggolongan ”Gorga” 44
2. Jenis-Jenis Ornamen Pada Anatomi Rumah 63
3. Rumah Adat 64
BAB IV APLIKASI RUMAH ADAT PADA RUMAH MODERN
PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 77
D. PERKEMBANGAN BENTUK RUMAH
DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 83
E. ADAT PADA PROSES MEMBANGUN RUMAH 88
1. Tahap Perencanaan Bangunan (Denah Rumah Modern) 90
2. Pondasi/Peletakan Batu Pertama 92
3. Dinding 93 F. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSIRUMAH ADAT
YANG DI APLIKASIKAN PADA RUMAH MODERN 94
1. Falsafah Masyarakat Batak Toba Tentang Rumah 94 2. Fungsi dan Makna Rumah 95 3. Fungsi Makna Rumah Menurut Agama Kristen 103 G. UNSUR KEMODERNISASIAN
PADA APLIKASI RUMAH ADAT BATAK TOBA
PADA RUMAH MODERN 104
BAB V PENUTUP 109
• Interview guide (Instrument Penelitian) • Daftar Informan
DAFTAR TABEL
Tabel. 1 (Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ) 25 Tabel. 2 (Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan) 27 Tabel. 3 (Pengkategorian rumah berdasarkan jenisnya) 30 Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan dari Kepala Tukang
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gorga Iran-iran (Tidak terdapat pada lokasi) 47
Gambar 2. Gorga Gaja Dompak (Tidak terdapat pada lokasi) 52
Gambar 3. Gorga Hariara Sudung Di Langit (Tidak terdapat pada lokasi) 55
Gambar 4. Gorga Sitompi 58
Gambar 5.Gorga Simeol-eol (Tidak terdapat pada lokasi) 58
Gambar 6.Gorga Simeol-eol Marsialoan 59
Gambar 7.Gorga Simata Ni Ari 61
Gambar 8.Gorga Sijongging (Tidak terdapat pada lokasi) 62
Gambar 9.Gorga Hoda-hoda (Tidak terdapat pada lokasi) 62
Gambar 10. Penyambungan lantai dengan tiang (bagian bawah) 71
Gambar 11. Pembagian ruang pada rumah adat Batak Toba 75
DAFTAR FOTO
Foto 1. Gorga Dalihan Na Tolu 45
Foto 2. Gorga Sitangan 46
Foto 3. Gorga Simarogung-ogung 48
Foto 4. Gorga Silintong 49
Foto 5. Gorga Jengger atau Jorngom 50
Foto 6. Gorga Ulu Paung 51
Foto 7. Gorga Singa – Singa 53
Foto 8. Gorga Desa Na Ualu 56
Foto 9. Gorga Boraspati 57
Foto 10. Gorga Susu 57
Foto 11. Gorga Ipon-ipon 60
Foto 12. Anatomi Rumah Adat Batak toba 67
Foto 13. Tempat Pargocci 70
Foto 14. Pintu rumah adat Batak Toba 72
ABSTRAK
Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.
BAB I
PENDAHULUAN
A.MASALAH DAN LATAR BELAKANG.
Kehidupan kelompok masyarakat tidak bisa terlepas dari kebudayaannya,
sebab kebudayaan ada karena masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari
kebudayaan adalah adat-istiadat, sedangkan upacara adalah wujud nyata aktifitas
adat-istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu
aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Pada masyarakat tradisional,
kegiatan untuk mengaktifkan kebudayaan itu memang menjadi sarana sosialisasi
bagi kebutuhan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi, dalam arti lain
kebudayaan adalah : “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2002). Menurut Malinowski, Kebudayaan dan
organisasi sosial juga adalah : “respons-respons terhadap kebutuhan-kebutuhan
biologis dan psikologis” (Saifuddin, 2005).
Kebudayaan menandakan ciri etnisitas, dimana etnisitas sebagai unsur
identitas. Etnisitas menunjuk kepada pemisahan antara kami dan mereka. Salah
satu faktor utamanya adalah manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Selain itu,
terdapat faktor penting lainnya yang turut mempengaruhi terbentuknya
kebudayaan adalah :
2. Kontak antara bangsa sebagai akibat migrasi, dan
3. Keyakinan atau kepercayaan yang telah berurat akar.
Unsur-unsur kebudayaan juga sangat berpengaruh atas terbentuknya kebudayaan.
Adapun unsur-unsur tersebut adalah :
1. Bahasa,
2. Sistem Pengetahuan,
3. Organisasi sosial,
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,
5. Sistem matapencaharian hidup,
6. Sistem religi, dan
7. Sistem kesenian.
Pemikiran ini bertitik tolak pada pemahaman tentang kepribadian. Dalam
banyak hal karya budaya manusia akan dipertanyakan perihal identitas (tanda
pribadi), kalau identitas itu ditunjukkan pada manusianya, maka dapat segera
dijawab tentang nama, asal-usul (keturunan), kebangsaan dan ciri khas yang
dimilikinya. Berarti dalam karya budaya yang tidak lain adalah karya manusia itu
sendiri, dimana selalu berkaitan dengan ”Bentuk dan Karya seni”, disatu sisi
bentuk atau karya seni dianggap sebagai Arsitektur.
Menurut Van Romondt, Arsitektur adalah : ”Ruang tempat hidup manusia
dengan bahagia” (Laporan Seminar Tatalingkungan Mahasiswa Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1985).
unsur-Arsitektur sering dikaitkan dengan bahasa, kepercayaan, ekonomi, keilmuan dan
profesi (keprofesionalan). Pada zaman dahulu hingga zaman sekarang ini,
arsitektur tidak terlepas dari makna, manfaat, dan kepentingan-kepentingan
manusia sebagai penciptanya.
Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak masukan baru yang berasal dari kebudayaan
asing yang sekiranya dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan
bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia
(Ronald, 2005). Dapat dicatat beberapa hal penting dari pernyataan itu, bahwa
kebudayaan itu tidak ”statis”, yang berarti berkembang dengan tidak menolak
pengaruh kebudayaan yang datang dari luar.
Salah satu dari sekian banyak peninggalan budaya adalah ”Rumah Adat”.
Adapun rumah adat yang ingin diteliti adalah rumah adat Batak Toba, khususnya
di desa Hutaurat dan Hutabalian, di Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Sagala,
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia.
Kebudayaan adalah pola bagi kelakuan, artinya kebudayaan mengatur
manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya dapat bertindak, berbuat,
menentukan sikap bagaimana berhubungan dengan orang lain. Adanya
kebudayaan, terwujud suatu kelakuan untuk memahami dan mentafsirkan
lingkungan yang dihadapi. Kelakuan ini menghasilkan benda-benda kebudayaan
Rumah adat pada masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari banyak
karya arsitektur. Adapun arsitek disebut sebagai orang yang merancang dan
membangun suatu bangunan pada zaman modern ini, sedangkan pada zaman
dahulu di Hutaurat dan Hutabalian orang yang memiliki kemampuan seperti
arsitek ini disebut sebagai ”orang pande”. Perbedaannya, gelar arsitek pada
zaman sekarang diperoleh dengan belajar di perguruan tinggi, sedangkan ”orang
pande” keahliannya diperoleh dari hasil berhubungan dengan orang lain dan
pengalaman pribadi orang tersebut. Adapun ”orang pande”, dia tidak pernah
bekerja sendiri dalam membangun rumah adat. Selalu saja bekerja sama dengan
”datu” (orang yang mengerti kehidupan gaib dan spritual yang dipercaya oleh
masyarakat), juga ”tokoh bius/raja bius” (tokoh adat/raja adat), juga para
pengetua kampung (orang-orang tua yang mengerti tentang rumah adat).
Pada penelitian yang akan dilakukan ini, bukan meneliti bagaimana desain
rumah adat Batak Toba yang sebenarnya, akan tetapi lebih mengarah pada
penjelasan apa yang melatarbelakangi pola fikir masyarakat suku Batak Toba,
sehingga membangun rumah dengan bentuk dan ukiran seperti yang terdapat pada
rumah adat Batak Toba. Selain dari pada itu, rumah adat-rumah adat di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan kepercayaan, demikian juga rumah adat Batak Toba.
Agama, adat-istiadat, dan aturan-aturan pada masyarakat suku Batak Toba selalu
saling melengkapi satu sama lain, sehingga terwujud suatu keseimbangan didalam
Ruma/Jabu (rumah) pada suku Batak Toba berbeda-beda nama dan
penyebutannya. Rumah juga dibedakan berdasarkan :
1. Berdasarkan Bentuknya.
Ruma dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.1 Ruma Gorga (Jabu Batara Guru).
1.2 Ruma Tanpa Gorga (Jabu Batara Siang).
1.3 Ruma Berukuran Kecil dan sederhana (Sibaba Ni
Amporik/masyarakat tidak mampu).
2. Berdasarkan Besar/kecilnya.
2.1 Ruma Besar (Ruma Bolon).
2.2 Ruma Kecil (Jabu Parbale-balean).
3. Ruma Adat (Jabu Sibaganding Tua, Jabu Batara Guru, Jabu Sari
Munggu : Ruma Gorga yang penuh ukiran dan makna).
4. Ruma yang tidak sesuai dengan adat dan norma
4.1 Jabu Ereng : Rumah tak berukiran.
4.2 Jabu Bontean : dindingnya dari tepas.
5. Ruma Sekeluarga (“Ruma Parsantiang”).
Bangunan ini didirikan oleh satu keluarga dan diwariskan ke pada
anak paling bungsu (Adat Balige). Sedangkan menurut Adat di Sianjur
Mula-Mula diwariskan ke pada anak sulung.
Berdasarkan keterangan tersebut, hal yang menjadi latar belakang masalah adalah
situasi ataupun keadaan yang menuntut suatu perubahan. Situasi ataupun keadaan
yang sudah mempunyai keterbatasan dalam menyediakan sumber daya alam, dan
bentuk-bentuk Interaksi yang membuat perubahan rumah adat dalam aplikasinya
ke dalam rumah modern, sehingga terbentuklah rumah modern yang memiliki
nilai-nilai budaya.
B. PERUMUSAN MASALAH.
Hutaurat dan Hutabalian adalah salah satu desa yang mengalami
perubahan secara perlahan. Perubahan itu terjadi disebabkan proses Interaksi,
dimana keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah salah satu
penyebabnya. Adapun kebutuhan hidup tersebut adalah : pangan, sandang, dan
papan. Bilamana ketiganya harus diuraiakan, maka semuanya akan selalu
mempunyai pengertian jasmani dan rohani, material maupun spritual dan nyata
maupun hanya dalam bentuk lambang (simbolik).
Berdasarkan penjelasan di atas, rumah juga adalah salah satu kebutuhan
hidup. Selain sebagai tempat tinggal, tempat untuk berteduh, juga sebagai tempat
untuk dapat memenuhi kebutuhan seharí-hari. Rumah juga dipakai sebagai tempat
untuk melakukan setiap upacara-upacara adat, ini biasanya disebut dengan rumah
adat. Rumah adat biasanya memiliki nilai keindahan spritual, dimana terdapat
lambang bentuk ukiran-ukiran yang memiliki nilai/makna yang memiliki arti
religius dan biasanya dijadikan sebagai simbol identitas.
Adapun yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Bagaimana Hubungan Pandangan Hidup Orang Batak Toba di
2. Bagaimana Hubungan Kepribadian Orang Batak Toba dengan
Arsitektur Rumah Adat pada zaman dahulu yang diaplikasikan
ke dalam Rumah Modern dimasa sekarang?
3. Faktor mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian
dimasa sekarang?
Faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab perubahan, yaitu :
1) Faktor Sumber Daya Manusia.
Sumber daya manusia sangat berperan penting dalam
mempengaruhi variabel-variabel terjadinya perubahan. Pola fikir
masyarakat dan kepribadian yang mengalami perubahan secara
perlahan dan keinginan untuk selalu memenuhi kebutuhan hidup,
menjadikan sumber daya manusia selalu berkembang. Oleh karena itu,
rumah adat terbentuk. Pada zaman modern Sekarang ini, manusia di
satu sisi ingin mengikuti perkembangan zaman, di sisi lain juga ingin
melestarikan budaya mereka. Sehigga, adaya keinginan untuk
menjadikan rumah modern bernuansa tradisional dengan cara
mengaplikasikan rumah adat pada rumah modern atau rumah adat yang
dibangun secara modern.
2) Faktor Psikologi.
Faktor psikologi adalah salah satu penyebab terjadinya perubahan.
Tingkah laku dan gaya hidup yang semakin lama semakin berubah,
menyebabkan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan mulai
dilakukan. Hal ini berhubungan dengan pola pengasuhan anak dan
lingkungan sosial yang perlahan mulai berubah. Selain itu, kebiasaan
merantau dan kembali ke kampungnya, menyebabkan pola fikir, cara
pandang, arah tujuan kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang
dipegang oleh orang-orang zaman dahulu mulai berubah perlahan ke
arah yang lebih modern.
3) Faktor Ekonomi.
Kemampuan untuk membangun rumah adat tersebut disertai juga
dengan kemampuan untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan
dalam membangun rumah adat. Pada zaman dahulu, bahan-bahan di
peroleh dari hutan tidak sepenuhnya secara gratis, asalkan “harus
melakukan syarat-syarat secara ritual adat dalam poses pengambilan
kayunya ke hutan”. Suatu penjelasan bahwa, ada harga (tidak secara
tunai dan tidak secara langsung yang harus dibayar kepada raja huta).
Pada zaman sekarang, bahan-bahan sangat sulit diperoleh, apabila
dapat diperoleh bahan-bahan tersebut, harganya lebih mahal dari pada
kayu biasa. Hal inilah yang menjadikan rumah modern selalu dipilih,
karena memiliki bahan-bahan yang mudah dicari dan biaya lebih
terjangkau dari pada membangun kembali rumah adat. Waktu dan
proses lama pembangunan rumah modern tersebut berdasarkan si
4) Faktor Religi (kepercayaan).
Kepercayaan penduduk pada zaman dahulu adalah “Kepercayaan
Parmalim” (menyembah leluhur-leluhur batak) dan kepercayaan
kepada ilmu-ilmu gaib. Seiring perubahan yang terjadi, penduduk
beralih kepada agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Oleh
karena itu, rumah bolon “ruma gorga” sudah tidak lagi dibangun
seiring dengan peralihan agama yang dilakukan oleh penduduk di
lokasi penelitian.
5) Faktor Teknologi.
Adapun faktor teknologi adalah disesuaikan dengan iklim dan
keadaan alam, kebiasaan atau cara hidup masyarakat, sumber daya
alam, peralatan yang digunakan, ilmu pengetahuan dan akal manusia.
“Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat dalam Aplikasinya Pada
Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba”, adalah judul penelitian yang
tercermin dari keinginan untuk meneliti segala permasalahan yang muncul. Salah
satu diantaranya adalah keinginan untuk meneliti bagaimana orang Batak Toba
memenuhi rasa keindahan, status sosial, identitas, dan lain-lain. Terutama untuk
melestarikan budaya yang ada, karena budaya adalah salah satu hal yang unik,
berbeda-beda dan dipakai sebagai identitas apabila berinteraksi dengan orang
C. LOKASI PENELITIAN.
Penelitian dilakukan di kecamatan Sianjur Mula-Mula, Hutaurat dan
Hutabalian. Transportasi yang ada ke daerah tersebut hanya dua saja dari Medan.
Mobil angkutan kecil SAMPRI dan PSN, SAMPRI tidak selamanya diturunkan ke
tempat lokasi langsung, sedangkan dengan menaiki PSN kita akan diturunkan
langsung ke tempat tersebut. Ada sekitar 6 jam dari Medan ke daerah lokasi
penelitian. Jumlah penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah 148 Kepala
Keluarga (KK), agamanya mayoritas Kristen Protestan 147 KK dan 1 KK
beragama Katolik. Gereja ada 3 di lokasi, 2 Gereja GKPI dan 1 Gereja HKBP.
Sedangkan Gereja Katolik ada di Hutabagas. Matapencaharian adalah bertani.
Hasil utama daerah tersebut adalah beras siboru tambun, bawang merah, kopi, dan
kacang.
Alasan memilih lokasi ini adalah Hutaurat dan Hutabalian (balian galung)
masih memiliki sisa-sisa peninggalan kebudayaan suku Batak Toba, terutama
rumah adatnya. Adapun daerah Sianjur Mula-Mula ini terkenal dengan pusat
spritual suku Batak Toba, dimana terkenal juga sebagai sejarah asal-muasal suku
Batak Toba. Hal yang menarik lagi, hewan ternak seperti kerbau pada pagi hari di
lepas di Pusuk Buhit (perbukitan yang ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon
yang tidak terlalu besar, seperti : pohon pinus) dengan begitu saja, karena kerbau
akan mencari makanannya sendiri di Pucuk Buhit dan pada sore harinya,
anak-anak pengembala kerbau mendaki Pusuk Buhit untuk membawa kerbaunya
Lokasi penelitian ini sangat unik, karena desa dapat dilihat langsung
apabila kita mendaki Pucuk Buhit (perbukitan), dimana bentuknya seperti kuali.
Desa yang dikelilingi oleh Pucuk Buhit ini, memiliki seni bangunan yang religius.
Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan seni ukir dan seni hias yang terdapat pada
bangunan rumah dan tugu-tugu yang ada disana. Udara dan air sungai yang bersih
dapat memberikan ketenangan bagi orang kota yang berkunjung ke sana.
D. TUJUAN PENELITIAN.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui atau untuk mencari tahu
penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas,
dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin
mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan
tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang
mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di
lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja, penulis mengetahui dari
berbagai sumber tulisan-tulisan tentang rumah adat Batak Toba dan membaca
sekilas mengenai rumah adat tersebut (toba.com, 6 Juni-2010), dan penulis tertarik
untuk mengetahui keterkaitan antara rumah adat dan pengaplikasiannya pada
rumah modern.
Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu
memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat
modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya
1. Susunan dan corak masyarakat Heterogen.
2. Sangat ketergantungan terhadap alam sekitar, akan tetapi kurangnya
kepedulian terhadap alam.
3. Interaksi sempit, cenderung untuk bersifat individualis, egois dan
kompetitip.
4. Kehidupan rumah tangganya tertutup, mementingkan privacy.
5. Kecenderungan mengagungkan kebendaan dan Ketergantungan pada
peralatan yang sophisticated yang bersifat instan dan cepat.
6. Kemampuan berfikir relatif tinggi, menggunakan ratio dan logika.
7. Cepat menerima pengaruh dari luar.
8. Cenderung mencari nilai-nilai yang baru, dan lain-lain.
Adapun budaya masyarakat tradisional adalah :
1. Susunan dan corak masyarakat homogen.
2. Menghargai dan akrab dengan alam sekitarnya.
3. Interaksi luas, selalu bekerja sama (gotong-royong).
4. Dipengaruhi kepercayaan religius dan mystis.
5. Sangat menikmati suasana kebersamaan.
6. Banyak menggunakan tenaga fisik.
7. Kebutuhan yang relatif sederhana.
8. Membuat jarak dengan pengaruh dari luar.
9. Kemampuan berfikir mulai ditingkatkan,dan lain sebagainya.
E. MANFAAT PENELITIAN.
Manfaat penelitian adalah sebagai sumber pengetahuan budaya dan bahan
pustaka untuk penduduk generasi muda di daerah tersebut, dimana kebanyakan
penduduk usia muda di lokasi penelitian tersebut sudah tidak banyak (kurang
mengetahui) tentang asal usul daerah, perbedaan bentuk rumah, tradisi, konflik
masa lampau, dan lain-lain.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengembalikan semangat dan rasa
kecintaan melestarikan budaya Indonesia, terutama budaya asal bagi masyarakat,
khususnya generasi muda. Juga sebagai bahan pertimbangan bagi penduduk untuk
membangun rumah sesuai dengan kondisi alam setempat dengan tidak
meninggalkan budaya mereka. Hal yang paling penting adalah sebagai bahan
pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat proyek pembangunan sesuai
dengan khasanah budaya masyarakat lokal.
F. TINJAUAN PUSTAKA.
Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat
pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat,
kebudayaan mempunyai arti yang penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara
berfikir para anggota kelompoknya. Kebudayaan menurut Suparlan adalah
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk
menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapinya serta untuk
menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Mintargo, 2000).
demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut
(Koentjaraningrat, 1981).
Menurut Clifford Geertz (Saifuddin, 2005) mengemukakan suatu defenisi
kebudayaan sebagai berikut:
1. Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan
makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia
mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat
penilaian mereka;
2. Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang
terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk
simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan
mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap
kehidupan;
3. Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol prilaku, sumber-sumber
ekstrasomatik dari informasi; dan
4. Oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses
kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan di interpretasikan.
Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang
diberikan makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia
adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomuniasi dengan
mempergunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik
memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek, yang berkaitan
dengan pikiran, gagasan dan emosi.
Salah satu karya tulis yang berhubungan dengan tulisan ini adalah,
”Perspektif Kultural dan Gejala Urbanisasi” karya : Irwan. Dimana, proses
Urbanisasi yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di Hutaurat dan Hutabalian dan
sekembalinya mereka (pulang kampung) dari kota, sedikit banyak mengubah
pemikiran penduduk Hutaurat dan Hutabalian mengenai kebiasaan hidup mereka.
Menurut Philip M. Hauser, Urbanisasi merupakan proses yang membawa
transformasi besar dalam pandangan hidup manusia, dalam hal ini yang dimasud
adalah pergeseran dari rural ke urban (Irwan, 1982).
Menurut Bruner, pada daerah pedesaan sikap patuh adat dijaga sangat
ketat, namun di kota sikap itu menjadi berkurang, dalam kasus orang Batak Toba
di Medan, Bruner berpendapat bahwa orang Batak Toba, malah sangat patuh
kepada adat, yang menurut kesimpulan yang diambilnya disebabkan karena di
Medan, persaingan antara suku-bangsa (yaitu : antara orang Batak Toba, dengan
Batak Karo, Minangkabau, Melayu, Cina, dan lain-lain), untuk meraih
kesempatan-kesempatan ekonomi, politik, dan pendidikan yang terbatas, orang
Batak Toba perlu memperkuat rasa solidaritas dan identitas kekerabatan maupun
suku-bangsa. (Koentjaraningrat, 1981a).
Menurut Krober, bahwa setiap unsur peradaban mengalami proses
perubahan yang berbeda-beda dalam kebudayaan induknya masing-masing.
berlainan dan adakalanya terdorong oleh kekuatan dari dalam, namun adakalanya
karena pengaruh peradaban dari luar dan lain sebagainya (Koenjaraningrat,
1981a).
G. METODE PENELITIAN.
Metodologi dalam arti luas menunjuk ke pada proses, prinsip, serta
prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban atas
masalah tersebut (Bogdan & Taylor, 1992).
Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang mengumpulkan data kualitatif
yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas
nantinya. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data kuantitatif. Menurut
Whitney, bahwa penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
Masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam Masyarakat serta situasi-situasi
tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung serta pengaruh-pengaruh
dari suatu fenomena (Arikunto, 1998).
Data kualitatif diperoleh dari hasil pencatatan deskriptif yang dibuat
berdasarkan atas hasil observasi, pengamatan dan wawancara (pemilihan informan
kunci, informan biasa, informan pokok dan informan pangkal). Data kuantitatif
dalam hal ini, merupakan data pendukung yang diperoleh sebagai pengembangan
H. ANALISA DATA.
Data yang diperoleh di lapangan akan disajikan secara kualitatif dan
dianalisis secara taxonomi kebudayaan (klasifikasi). Data yang dikumpulkan
melalui kuesioner, pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan
kategori-kategori tertentu. Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari
setiap bagian telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya.
Deskripsi dilakukan secara holistik yaitu semua data yang diperoleh akan
diklasifikasikan berdasarkan aspek geografis, sosial dan budaya, dan juga secara
aspek ekonomis. Setelah itu, akan dianalisis aspek-aspek tersebut secara
mendalam sesuai dengan data yang diperoleh. Data diperoleh sesuai situasi dan
kondisi di lapangan. Peneliti akan menganalisis data sesuai dengan pendekatan ke
arah pemikiran penduduk dan cara pandang penduduk tentang konsep ”rumah
tradisional, pelestarian dan kondisi alam daerah setempat”. Hal ini, penulis akan
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.ASAL-USUL DAN SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA.
Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur mula-mula adalah tempat pertama
sekali leluhur Suku Batak bermukim. Sejarah si raja Batak, yaitu leluhur Suku
Batak, Sangat rumit untuk dibahas. Mengapa membahas si raja Batak?, karena
pertama sekali si raja Batak bermukim itu di Hutaurat dan Hutabalian, kecamatan
Sianjur Mula-mula.
Adapun kawasan Hutaurat adalah kawasan dusun 1 (Batu-batu;
Lingkungan kode/lingga tonga; Siattar-attar; Parhobon; Sok-sok, dan Sitabo-tabo),
dusun 2 (Hutalobu; Lumban ganda dan Simanampang), sedangkan Hutabalian
adalah dusun 3 (Balian galung; Banjar; dan Bagas limbong). Sebenarnya ada 3
cerita yang dituliskan tentang si raja Batak. Akan tetapi, cerita ini yang sangat
dipercayai oleh masyarakat di Sianjur mula-mula.
Sejarah si raja Batak ini, menurut tokoh bius (bius adalah pada zaman
dahulu disebut sebagai kepala desanya/kepala kampung, sedangkan pada zaman
sekarang disebut kepala adat atau tokoh masyarakat) Buhit Sagala (55 tahun) yang
sekarang dianggap tokoh bius di Hutaurat dan Hutabalian dan keturunan Bius
Sejarah si raja Batak itu sangat panjang. Secara detail (keseluruhan)
menceritakannya bisa sampai berbulan-bulan, dan kalau dituliskan bisa sampai
puluhan buku tebal yang dihasilkan.
Secara singkat, sejarah si raja Batak dapat dijelaskan dalam skema garis keturunan
berikut ini :
RAJA ODAP-ODAP / SIBORU DEAK PARUJAR
↓
RAJA IHAT / SIBORU ITAM ↓
PATUNDAL BEGU AJULAPAS / R.MIOK-MIOK ↓
RAJA ENGBANUA / (istri nya tak diketahui)
R. UJUNG R. JAU R.BONAGIG-BONAGIG
R. TANTAN DEBATA
RAJA BATAK
Guru Tatea Bulan adalah leluhur dari marga Sagala yang berada
dikawasan Sagala, kecamatan. Sianjur mula-mula, dimana Guru Tatea Bulan ini
memiliki anak sepuluh orang. Masing-masing kembar sepasang (laki-laki dan
perempuan, dimana masing-masing memiliki kemampuan dan keahlian). Mereka
tinggal di ”Simanampang” salah satu nama lokasi di Hutaurat. Pada cerita sejarah
ini, perempuan tidak terlalu diceritakan, karena garis keturunan berasal dari
laki-laki.
Mereka adalah :
1. Raja buneleng atau dikenal dengan nama raja uti atau raja bias-bias
kembar dengan Biding laut yang pergi ke laut pantai selatan, Jawa.
2. Saribu raja kembar dengan Si boro pareme.
3. Limbong mulana kembar dengan Si pinta haomason.
4. Sagala raja kembar dengan Si anting sabungan.
5. Silau raja atau Malau raja kembar dengan Natinjo Nabolon “Banci”.
Sejarah Hutaurat dan Hutabalian ini berawal dari Sagala raja, “mengapa
demikian?”, karena Raja Buneleng yang dikenal ilmunya paling sakti, seharusnya
sebagai pewaris harta kekayaan keluarga yang paling banyak, karena dia anak
sulung (pertama), tiba-tiba menghilang dan kabar keberadaannyapun sampai saat
ini tidak jelas. Saribu raja yang seharusnya menggantikan Raja buneleng untuk
mengelola harta keluarga, dia mengawini saudara kembarnya sendiri, oleh karena
sebab itu, maka tanah yang ditempati menjadi milik Sagala raja (rumah keluarga
beserta tanahnya), karena saudara-saudaranya lebih memilih daerah lain sebab
mereka merasa sudah betah hidup di perantauan mereka.
Adapun Sagala raja dikabarkan mempunyai dua istri, masyarakat tidak
jelas mengetahui siapa istri-istri dari Sagala raja. Sagala raja dikabarkan dulunya
susah mempunyai keturunan, oleh karena itu dia menikah lagi. Anak pertamanya
lahir dari istri ke dua, yang bernama “Hutaruar” (yang artinya : anak dari istri ke
dua yang diambil dari luar), anak ke dua lahir dari istri pertama, anak tersebut
bernama “Hutabagas” (yang artinya : masih di “bagas”/dalam perut ibunya).
Masyarakat tidak mengetahui dengan jelas umur berapa “Hutaruar” ketika
“Hutabagas” dilahirkan. Menurut ke dua sumber ini, yaitu ”Buhit Sagala”
(Bius/raja adat/raja kampung) dan Tahe Sagala (tokoh adat Batak di Jakarta yang
juga keturunan Bius di Sianjur mula-mula) mengatakan bahwa, sebelum
”Hutabagas” dilahirkan (ketika masih di dalam kandungan). Nama anak ke tiga
sudah diberikan, yaitu ”Hutaurat” (yang artinya : masih di urat nadi ayahnya). Hal
ini dilakukan, karena Sagala raja yang juga salah seorang yang mempunyai ilmu
mistik/meramal yang tinggi, sudah meramalkan anak laki-lakinya kelak hanya 3
orang saja.
Singkat cerita, ketiga anak dari Sagala raja sudah besar, terjadi perebutan
tanah oleh anak pertama dan kedua. Sebenarnya rumah dan tanah, menurut adat
diberikan kepada anak pertama dari istri pertama, akan tetapi ”Hutabagas”
mengalah sama abangnya ”Hutaruar”. Sehingga, sebagian besar tanah
dari ”Hutaruar” yang suka berjudi dan menjual tanah sebagai taruhannya dengan
diam-diam, ”Hutabagas” membeli (Balian Galung, Banjar dan Bagas Limbong)
tanah keluarganya sendiri yang diwakili oleh orang lain untuk membeli tanah
keluarganya dari abangnya ”Hutaruar”. Akhirnya, tanah tersebut menjadi milik
”Hutabagas”. Sedangkan ”Hutaruar” karena tingkah laku buruknya dia di usir dari
kampung tersebut ”Simanampang”.
Adapun ”Hutaurat”, setelah menikah dia memilih tinggal di Simanampang
lalu dia sempat pindah ke Simaibang dekat Hutabagas , lalu kembali menetap di
tanah abangnya ”Hutabagas”, yaitu ”Hutalobu”. Secara singkat, dia meminta
pembagian tanah kepada abangnya. Lalu ”Hutabagas” memberikan syarat kepada
adiknya. ”Hutaurat” akan diberikan tanah seperti : Batu-batu, Lingkungan Kode,
Siatar-atar, Parhobon, Hutalobu, Lumban Ganda, dan Simanampang, yang akan
menjadi milik ”Hutaurat”, apabila dia berhasil mengusir ”Burung pemakan
manusia” yang bertempat di sekitar sumber mata air ”Sungai Bintangor”. Maka
tanah yang dijanjikan tersebut akan menjadi miliknya.
”Hutabagas” melakukan perjanjian tersebut dengan alasan karena burung
tersebut sudah banyak memakan korban manusia. Singkat cerita, ”Hutaurat”
berhasil membunuh burung tersebut atas bantuan ”Guru Natinanda” (Guru yang
dikenal), yaitu : Guru Tahandangan dan si Boro. Setelah berhasil, ”Hutabagas”
menepati janjinya, lalu dia pindah dari ”Simanampang” ke Balian Galung yang
berada didekat sungai ”Bintangor”, karena pada zaman dahulu sumber mata air
mata air kepada adiknya. Tanah tersebut adalah (Balian galung, Banjar, dan Bagas
Limbong).
Akhirnya, keturunan mereka hidup ditanah masing-masing yang sesuai
dengan perjanjian yang mereka buat. Adapun nama ”Hutaurat” dan ”Hutabagas”
diberikan oleh keturunan mereka ”yang bermarga Sagala”. Tujuannya untuk
menghormati nama leluhur mereka. Desa Hutabagas adalah tanah si Hutabagas
yang berada di dekat ”Simanampang”. Adapun ”Hutabalian” dinamakan karena
tanah tersebut dibeli dari ”Hutaruar” dan nama itu diambil dari nama salah satu
anak laki-laki Hutabagas yaitu ”Hutabalian”.
B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM.
Secara geografis desa Sianjur mula-mula (Samosir) terletak pada koordinat
2°24’-2°45’LU dan 98°21’- 99°55’BT (Defri Elias Simatupang, Berkala
Arkeologi “SANGKHAKALA”, Vol. XI No. 22, Oktober 2008, hal : 34). Desa
Sianjur mula-mula berbatasan dengan dengan desa-desa disekitarnya yaitu :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Limbong/Pangururan.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Pucuk Buhit.
3. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Boho/desa Tanjung bunga dekat
kawasan Hutan Dairi.
4. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Ginolat dan HutaBagas.
Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang disebut dengan desa Sianjur
mula-mula, yang berada di kawasan Kecamatan Sianjur mula-mula, Sagala,
kemarau dan berangin kencang, sedangkan pada bulan agustus-desember angin
kencang tersebut terkadang disertai hujan deras. Adapun sejarahnya mengapa
dinamakan desa Sianjur mula-mula sama dengan nama kecamatannya adalah
karena Hutaurat dulu adalah kampung asal mula orang Batak pertama (kampung
pertama si raja Batak). Mengapa “Sagala”?, karena “Sagala” adalah cucu si raja
Batak dari Ompu Guru Tatea Bulan. Mengapa Hutaurat dan Hutabalian?, karena
nama itu diambil dari nama-nama anak “Sagala”. Hutabagas adalah nama anak
yang ke-2 dari istri pertama, sedangkan Hutaurat adalah nama anak yang ke-3 dari
istri yang pertama, sedangkan anak pertama bernama Hutaruar dari istri kedua.
Pemberian nama desa ”Hutabalian” oleh keturunannya diberikan
berdasarkan sejarah, yaitu ”Hutabalian” diberikan karena ”Hutabagas” membeli
tanah tersebut (Balian galung, Banjar, dan Bagas Limbong) dari ”Hutaruar”, lalu
menamainya dengan nama salah satu nama anak laki-lakinya. Sedangkan
”Hutaurat”, karena desa tersebut diberikan ke pada ”Hutaurat” oleh ”Hutabagas”.
Pemberian nama ini di buat pada tahun 1930. Sedangkan penyatuan kedua
desa/daerah menjadi desa Sianjurmula-mula yaitu sekitar tahun 1957.
C. KEADAAN PENDUDUK.
1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.
Penduduk yang masih menetap/tinggal di “Hutaurat” dan “Hutabalian”
berjumlah ±622 Jiwa (Sumber : Buku Catatan Sekretaris Desa tahun 2010).
Adapun data yang diperoleh dari sensus penduduk (penduduk yang menetap
jumlahnya) berjumlah ±1500 jiwa (Sumber : Berdasarkan Foto copy Kartu
Keluarga di Kepala Desa dan Polindes yang ditinjau oleh tim sensus penduduk
2010).
Adapun Jumlah penduduk berdasarkan Umur dan jenis kelamin, yaitu :
Umur Laki – Laki/Jiwa Perempuan/Jiwa Jumlah
0 - 10 tahun 45 Jiwa 55 Jiwa 100 Jiwa
11 - 20 tahun 60 75 135
21 – 30 tahun 98 65 163
+ 31 tahun 124 100 224
Jumlah 327 Jiwa 295 Jiwa ± 622 Jiwa
Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”, 15-9/2010)
2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.
Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah mayoritas suku Batak
Toba. Dapat dikatakan bahwa Hutaurat dan Hutabalian adalah masyarakat
“homogen” (hanya satu suku saja, yaitu : Batak Toba). Hal ini dihitung
berdasarkan penduduk yang tinggal/menetap di Hutaurat dan Hutabalian.
Adapun suku luar, seperti : “suku Jawa” yang menikah dengan salah satu
warga masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, kebanyakan dari mereka
tinggal di kota, seperti : Jakarta, Medan, Bandung, dan lain-lain. Biasanya
laki-laki (pemberian marga kepada orang luar, dimana syarat untuk menjadi
satu kelompok/satu identitas)
Penduduk yang berjumlah 148 KK, dimana mereka (“suku luar yang
sudah diberi marga”) yang menetap/tinggal di Hutaurat dan di Hutabalian ada
3 orang saja. Satu orang tinggal di Balian galung (suku Jawa menjadi boru
Sagala), ada juga yang tinggal di Simanampang (kata masyarakat setempat,
dia berasal dari suku Bugis menjadi boru Sihotang), dan satu lagi tinggal di
Banjar (suku Madura menjadi boru Situkkir).
3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama.
Mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan, yaitu 147 Kepala
Keluarga (KK) dan 1 KK beragama Khatolik, dimana ada ±50 KK menjadi
warga jemaat Gereja HKBP dan 80 KK menjadi warga jemaat di 2 Gereja
GKPI yang berbeda, 1 KK beragama Khatolik, dan lainnya adalah Menjadi
warga jemaat Gereja Pentakosta.
4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.
Penduduk yang menetap di Hutaurat dan Hutabalian pada umumnya
tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebenarnya, penduduk asli Hutaurat
dan Hutabalian (Penduduk Perantauan), mayoritas tamatan Diploma dan
Sarjana. Akan tetapi, tidak menetap/tinggal di desa tersebut. Bila warga
perantauan juga dihitung jumlahnya, mayoritas penduduk asli Hutaurat dan
Hal ini disebabkan oleh karena sakitnya dan jauhnya sekolah dari desa.
Terutama sekolah SMP dan SMA, dimana siswa/siswi harus berjalan jauh dan
mendaki bukit untuk dapat berangkat ke sekolah. Pada zaman dahulu hanya
dapat dilakukan dengan berjalan kaki, akan tetapi pada zaman sekarang
siswa/siswi yang mampu (orang tuanya berkecukupan), pergi ke sekolah
dengan menggunakan Sepeda Motor, karena jalan sudah ada walaupun tidak
semulus jalan raya yang berada di kota.
Adapun distribusi penduduk berdasarkan pendidikan adalah :
Tabel 2. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan. (Sumber : Sekretaris Desa, 15-9/2010).
5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.
Mayoritas Mata pencaharian penduduk adalah bertani, berladang, juga
berdagang. Adapun orang-orang pendatang pada umumnya bekerja sebagai
tukang bangunan, guru, bidan, dan lain-lain.
Menurut Kepala Desa di Hutaurat dan Hutabalian, penduduk mayoritas
yang memiliki tanah ada 75% (40% mengerjai sawahnya sendiri dan 35 %
menyewa petani upahan), 20% petani upahan (memiliki tanah tapi tidak punya
modal dan ada juga sebagian tidak memiliki tanah), dan 5% memilih untuk
Nama :
Hutaurat/Jiwa 12 Jiwa 55 Jiwa 150 Jiwa 40 Jiwa
membuka warung kopi dan kedai, juga pekerjaan lain seperti Guru, PNS,
tukang bangunan, dan lain-lain.
D. SARANA DAN PRASARANA. 1. Pola Pemukiman.
Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang dikelilingi perbukitan
dan terletak di bawah kaki gunung Pucuk Buhit. Pola pemukiman penduduk
adalah mengelompok. Dimana, pintu depan saling berhadap-hadapan dan
memiliki halaman yang luas. Adapun beberapa rumah yang tidak
“mengelompok” adalah rumah yang rata-rata baru dibangun. Halaman pada
penduduk Hutaurat dan Hutabalian berfungsi sebagai tempat pesta. Apabila
ada pesta pernikahan atau pesta adat, biasanya dibuat tenda dan tikar di
halaman untuk tempat duduk para tamu undangan dan kerabat lainnya.
Adapun batas kampung biasanya ditandai oleh pohon bambu dan kalau
tidak ada, biasanya dibuat bentuknya seperti jembatan kecil dipinggir jalan.
Adapun bambu ditanam di perbatasan kampung, hal itu tidak sembarangan,
karena selain berfungsi sebagai pembatas kampung, juga sebagai penahan
angin yang kencang, supaya rumah-rumah disana tidak cepat roboh (Hancur)
di terbangkan angin, bambu juga pada zaman dahulu berfungsi sebagai senjata
bagi penduduk, apabila diserang oleh penduduk kampung sebelah. Sedangkan
jembatan kecil dibangun di perbatasan kampung berfungsi juga sebagai tempat
bahwa tempat duduk yang terbuat dari batu bata, pasir dan semen yang seperti
jembatan kecil itulah perbatasan antara dua kampung.
Biasanya, ladang mereka berada di belakang atau di samping kiri atau
kanan rumah. Parit-parit dibangun juga sebagai pembatas antara kampung (di
belakang rumah). Rumah-rumah penduduk mayoritas tidak memiliki kamar
mandi dan tempat buang kotoran, karena mereka memiliki tempat permandian
umum (pancuran) yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk mandi,
mencuci dan juga sebagai tempat buang kotoran. Adapun aliran
pembuangannya dialirkan melalui parit-parit menuju persawahan, dimana
sawah penduduk juga ada ikan lele di dalamnya. Pancuran ini tidak jauh
letaknya dari setiap kampung. Biasanya, setiap kampung memiliki Pancuran
atau tempat permandian umum masing-masing.
Adapun sungai Bintangor memang airnya bersih, akan tetapi penduduk
menggunakannya sebagai tempat untuk memandikan ternak dan terkadang
para laki-laki yang pulang dari sawah, langsung mandi di sungai Bintangor
tersebut.
Pada setiap dusun di Hutaurat dan Hutabalian, pembagian
penduduknya tidak merata jumlahnya. Hal ini dapat dilihat dari
bangunan-bangunan rumah yang tidak sama jumlahnya antara tempat yang satu dan
lainnya, terutama di Sok-sok, hanya ada 3 rumah yang berada dikawasan
tersebut, akan tetapi hanya terhitung 1 Kepala keluarga saja, karena ketiga
lapangan, pengkategorian rumah pada setiap dusun dapat dilihat dengan jelas
pada tabel berikut :
Rumah di Hutaurat dan Hutabalian dihuni oleh kebanyakan keluarga
inti. Sebagian penduduk juga ada yang satu rumah dengan orang tuanya.
Biasanya yang memilih tinggal bersama orang tuanya adalah anak laki-laki,
terutama anak laki-laki yang pertama atau satu-satunya, karena pada akhirnya
peninggalan orang tuanya akan diberikan kepadanya. Apabila anak
laki-lakinya tidak berniat tinggal dikampung, karena pekerjaannya sudah bagus di
kota, maka diberikan pada saudara laki-lakinya yang lain, kalau tidak ada lagi
maka orang tuanya dan rumahnya diserahkan kepada saudara perempuan.
Kebanyakan rumah adat yang pewarisnya tinggal di kota, akan mencarikan
seseorang (masih keluarga) untuk mengurus rumah tersebut dan diberikan
upah dan biaya perawatan rumah kepada si pengurus (Biasanya setahun
sekali). Beberapa orang ada juga yang membiarkan rumah tidak terurus, salah
satu alasannya karena tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Sampai pada
akhirnya rusak perlahan (rumah panggung yang mayoritas dari kayu).
2. Sistem Pemerintahan.
Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian pada tahun
2010 adalah :
Kepala Desa : Pardingotan Sagala.
Sekretaris Desa : J. Sihotang.
Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :
1. Kaur Pemerintahan : Sagala.
2. Kaur Pembangunan : Sagala.
Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu
1. Ramli Sagala.
2. Oloan Sagala.
3. Manganar Sigalingging.
4. Robinson Sagala.
5. Jahunta Sagala.
Kepala Dusun :
Dusun 1 : Poldiner Sagala.
Dusun 2 : Kesman Sagala.
Dusun 3 : Josmen Sagala.
Sistem pemerintahan di atas, dipilih setiap 5 tahun sekali, dimana
masyarakat mengadakan musyawarah dan pemilihan kepala desa berdasarkan
suara terbanyak. Sedangkan para bawahannya dipilih berdasarkan kesepakatan
bersama.
3. Sarana Organisasi Masyarakat.
Organisasi masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, di bedakan
berdasarkan kepentingannya. Secara umum, kegiatan gotong-royong
dinamakan ”marrodi”. Adapun organisasi yang ada disana adalah :
a. Organisasi Marga.
Organisasi marga adalah organisasi orang-orang yang satu
keturunan/satu nenek moyang, garis keturunan berdasarkan
Tatea Ni Bulan. Organisasi marga ini terdiri dari beberapa marga.
Misalnya, Limbong, Situkkir, dan lain-lain.
Adapun marga, pada zaman dahulu adalah nama dari nenek
moyang itu sendiri. Biasanya marga masih dibagi lagi berdasarkan
penggolongan-penggolongannya dan nomornya. Tidak semua marga
memiliki nomor. Biasanya nomor berguna untuk tanda panggilan bagi
diri seseorang.
b. Serikat Tolong Menolong.
Organisasi ini adalah organisasi oleh karena satu lingkungan
(dongan sabutuha). Organisasi ini berfungsi untuk membantu
tetangga-tetangga yang sedang membutuhkan pertolongan. Misalnya,
pada ada yang kemalangan (anggota keluarganya ada yang meninggal),
atau dalam acara pesta pernikahan, juga dalam pesta adat, dan lain
sebagainya.
c. Organisasi Tani.
Organisasi tani ada beberapa macam, yaitu :
1. Saunduran (sama ke atas, sama ke bawah).
2. Dosroha (satu hati).
3. Berdikari.
4. Karya.
d. Organisasi Gereja.
Kumpulan-Kumpulan Koor Ama (koor Bapak-bapak), koor
Ina( koor ibu-ibu dan Naposobulung (pemuda-pemudi dan remaja
gereja). Kumpulan ini biasanya berfungsi untuk menyatukan hati
seluruh anggota satu gereja. Misalnya ada yang kemalangan, anggota
satu gereja wajib turut serta dalam berpartisipasi untuk membantu
anggota yang kemalangan tersebut, apabila ada anggota gereja yang
mengadakan syukuran, pesta adat, dan lain sebagainya. Para anggota
jemaat satu gereja wajib turut serta menghadirinya.
Kumpulan ini (koor Ama dan koor Ina), biasanya dua minggu
sekali mengadakan partamiangan (kebaktian di rumah anggota
jemaat). Naposobulung biasanya mengadakan kebaktian sekali
seminggu di gereja pada malam minggu.
4. Sarana Peribadatan.
Tempat peribadatan yang terletak di Hutaurat dan Hutabalian ada 3,
yaitu :
Gereja : 2 bangunan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI),
1 bangunan di dekat Batu-Batu (dusun1; Hutaurat),
dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas
Limbong (dusun 3; Hutabalian).
1 bangunan Gereja Huria Kristen Batak Protestan
Musola/Mesjid : -
Wihara/Klenteng : -
Pura : -
5. Sarana Transportasi.
Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian, pada zaman dahulu biasanya
memakai kerbau, sapi, atau kuda sebagai alat transportasi. Setelah jalan mulai
dibangun, perlahan-lahan sapi tidak digunakan lagi, sehingga sudah tidak ada
lagi di temui, sedangkan kuda, hanya beberapa orang saja yang memilikinya.
Adapun kerbau, masih bisa kita temui di lokasi tersebut, akan tetapi jumlahnya
menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada zaman sekarang, penduduk mayoritas menggunakan transportasi
sepeda motor ke berbagai tempat. Adapun PSN dan SAMPRI adalah mobil
angkutan umum menuju kota, misalnya : Medan, Sidikalang, Berastagi, dan
lain-lain. Sedangkan ke Pangururan (Onan/Pajak besar yang di langsungkan 1
kali seminggu, yaitu setiap hari rabu), ada mobil angkutan KOPJ yang
berwarna biru yang selalu datang setiap hari rabu pagi ke Hutaurat dan
Hutabalian. Ada juga mobil Truk yang datang ke Hutaurat dan Hutabalian
untuk mengangkut bahan bangunan dari Pangururan atau dari kota lain,
apabila ada penduduk yang sedang membangun rumah atau ada proyek
pemerintah (seperti : membangun jalan) yang sedang berlangsung di Hutsaurat
6. Sarana Pendidikan.
Sarana pendidikan yang terdapat di Hutaurat dan Hutabalian adalah
SD. Negeri : No. 173786 Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten.
Samosir. Adapun sekolah SMP Negeri dan SMA Negeri Sianjur Mula-mula,
berada di atas (arah menuju ke Limbong), di dekat Batu Hobon dan Tugu si
raja Batak. Menuju ke sana harus berjalan jauh dan mendaki bukit, apabila
berjalan kaki. Selama 40 menit, bila menggunakan sepeda motor hanya 10
menit saja, kalau angkutan umum tidak ada.
7. Sarana Kesehatan Masyarakat.
Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian adalah :
Polindes, yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho.
Dahulu bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), tetapi sekarang pindah
ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun
patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Penduduk di
Hutaurat dan Hutabalian yang sakit parah biasanya dibawa oleh polindes
langsung ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke
rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya
di rumah sakit Adam Malik, Medan.
8. Sarana Informasi dan Komunikasi.
Sarana Informasi dan Komunikasi yang berada di Hutaurat dan
Hutabalian adalah :
Adapun koran di peroleh dari PSN atau Sampri (pemilik warung kopi
meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan).
Terkadang, pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli
koran atau majalah tentang pertanian dengan mengendarai sepeda motor.
Perjalanan ke Pangururan memakan waktu selama ± 1jam dengan
mengendarai sepeda motor.
Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk
berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga
menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita.
Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau
Pangururan. Penduduk menggunakan Parabola atau alat digital untuk dapat
menonton siaran Televisi dari luar kota dan luar negeri, tanpa alat ini televisi
tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Biasanya Parabola atau
alat digital ini juga dapat menangkap siaran radio dari kota manapun. Oleh
sebab itu, penduduk tidak ketinggalan berita dan informasi.
Beberapa rumah, juga ada yang menggunakan komputer atau laptop.
Jaringan Telkomunikasi yang didapat sangat cepat di Hutaurat dan Hutabalian
adalah jaringan Telkomsel seperti Simpati, As, dan Fleksi. Adapun jaringan
Indosat atau Xl sangat susah untuk mendapatkan jaringannya. Kita harus
keluar dan cari tempat yang tinggi untuk dapat jaringan telekomunikasi
tersebut. Warung Internet juga tidak ada di desa ini. Adapun yang memakai
Internet itu hanya milik pribadi saja seperti modem, tetapi hanya produk
9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi.
Sarana Olahraga tidak terdapat didesa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan
orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola,
dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.
“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba),
dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara
desa, apabila menang akan diikut sertakan di kecamatan dan seterusnya.
Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang
menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk
menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain,
oleh karena itu pemuda-pemudi yang mengikuti perlombaan ini di tangani
oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan
pada bulan November.
Rekreasi di desa ini adalah rumah si raja Batak dan Aek Bintatar (mata
air bintatar). Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun
Batu Hobon dan Tugu si raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur
mula-mula dan Limbong.
Rumah si raja Batak adalah rumah pertama sekali si raja Batak
membangun rumahnya di Hutaurat (pertama sekali kampung berdiri). Adapun
Aek Bintatar adalah Sumber Mata Air yang di buat dengan menggunakan
ilmu-ilmu mistik, dimana terdapat pohon beringin yang kerdil setinggi tongkat
ular dan sangat mengganggu masyarakat. Penduduk tidak seorangpun yang
pernah melihat langsung ular penjaga Aek Bintatar tersebut, akan tetapi ada
seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut
melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber
mata air Aek Bintatar.
10.Sarana Umum.
Sarana Umum seperti Listrik baru dibangun pada tahun 1990. Cara
pembayarannya, ada seseorang yang datang mengutip ke setiap rumah di desa
tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos
sebesar Rp. 4500 untuk ke Pangururan pada setiap rumah.
Adapun air (Pancuran, kamarmandi, dan tempat permandian umum
lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal
dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan/biaya (gratis) untuk
air tersebut.
E. SISTEM KEMASYARAKATAN.
Sistem kemasyarakatan di suku Batak Toba adalah sistem “Dalihan Na
Tolu”. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga Tungku” (Dalihan =
tungku, Na= yang, Tolu = tiga), yang dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku
yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha,
hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah
marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga Laki-laki.
yakni setiap anggota dalam masyarakat itu, termasuk ke dalan sesuatu “marga”
dari garis keturunan laki-laki. Oleh sebab itu, perkawinan dalam lingkungan
sesama marga dilarang, sehingga perkawinan terjadi dengan orang yang termasuk
lingkungan marga lain (exogami).
Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba
di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga
batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat
keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari
pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu,
ketiganya harus bekerjasama dan saling tolong-menolong.
Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan
tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan
bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing
BAB III
RUMAH ADAT BATAK TOBA
A. SEJARAH RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN.
Rumah adat di Hutaurat dan Hutabalian sudah ada sejak dari dahulu.
Rumah adat ini selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu
kepada putera tertua. Adapun rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga”
atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki
penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Sebelum berbicara mengenai
aplikasi rumah adat terhadap rumah modern di Hutaurat dan Hutabalian,
hendaklah terlebih dahulu diketahui bagaimana rumah adat Batak Toba yang
berada di Hutaurat dan Hutabalian.
Adapun sejarah dari ”ruma gorga” itu sendiri adalah : kembali lagi
membahas sejarah marga Batak, istilah ”gorga” dikenal sejak orang Batak Toba
menyadari akan keberadaan banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia
tengah/bumi), dan banua toru (dunia bawah/dunia para makhluk halus). Hal
tersebut adalah salah satu pandangan hidup suku Batak yang ada di
Sianjurmula-mula pada zaman dahulu, yakni menyadari akan adanya kekuatan lain di luar
batas akal pikiran mereka sendiri.
Bermula dari mitos,yang menceritakan si Boru deak parujar (putri yang
turun dari dunia atas) dianggap sebagai ibu manusia pertama di Toba dan
mempunyai kisah cinta dengan pemuda khayangan yaitu : si Tuan ruma uhir/si