• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba. (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba. (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir)."

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH

ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH

MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula,

Sagala, Kabupaten. Samosir)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh :

MELDA E. S

060905026

DEPARTEMENT ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Melda E. S.

Nim : 060905026.

Judul : Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba.

(Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir).

Medan, 11 April, 2011 Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Yance, MSi) ( Dr. Fikarwin Zuska ) Nip. 19580315 198803 1 003 Nip. 19621220 198903 1 005

Dekan FISIP USU

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia penguji Departemen Antropologi Sosial Pada :

Hari :

Tanggal : Pukul :

(4)

ABSTRAK

Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.

(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah : Nilai/Makna Bentuk Dan Fungsi Rumah Adat Dalam Aplikasinya Pada Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten Samosir).

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada orang-orang yang penulis cintai, mereka adalah : Orang tua saya, F. Simanjuntak/ T. Matanari yang telah merawat dan membesarkan saya, juga telah memberikan dana untuk penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada : Prof. Dr. Badarrudin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Dr. Fikarwin Zuska, sebagai ketua Departemen Antopologi FISIP USU, Drs. Agustrisno, MSP sebagai sekretaris Departemen Antopologi FISIP USU. Drs. Yance sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini. Drs. Lister Berutu, MA selaku ketua penguji pada saat penulis ujian komprehensif dan sebagai dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Seluruh dosen-dosen antropologi yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam perkuliahan. Juga teman-teman stambuk 2006, Eni, Ruli, Gaby, Aros, dan lain-lain. Serta adik-adik stambuk 2007, 2008, 2009, penulis ucapkan terimakasih atas bantuannya selama ini.

(6)

juga teman-teman lainnya, terima kasih karena secara tidak langsung telah menguatkan mental penulis dan menjauhkan penulis dari rasa bosan dan penyakit stres dan depresi dalam proses pembuatan skripsi ini.

Akhir kata, penulis banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu penulis selama ini. Seseorang-orang pernah mengatakan kepada penulis : “Tiada guna menyesali masa lalu,tiada guna sibuk mencemaskan masa depan, berhasillah dan nikmatilah kehidupan dalam

kedamaian masa kini, karena waktu tidak akan pernah terulang dan kembali”.

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Melda Elysah. Simanjuntak, lahir di Medan 6 Oktober 1986, pada usia 1-3 tahun tinggal di Aceh Selatan, 3-4 tahun tinggal di Parapat. Pada usia 4,5 tahun sekolah di Tk. Santa Maria di Sibolga, SD. Negeri di Sibolga Baru, Sibolga, SMP.Negeri 1 di Sibolga, dan SMA. GKPI PAMEN di Medan. Lulus SMA (Jurusan IPA1) pada tahun 2004, dan bekerja di toko Rivaldo ponsel.

Pada tahun 2005, kuliah Diploma1 di AMIK TRIGUNA DHARMA sambil bekerja. Pada tahun 2006, kuliah di UNIVERSITAS SUMATERA UTARA (USU), Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP), Jurusan Antropologi Sosial. Selama menjadi Mahasiswi Antropologi, lalu mengambil keputusan untuk berhenti bekerja karena sedang menyelesaikan Tugas Akhir Diploma1, dan lulus pada September/2006 dan juga sedang menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.

Adapun kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti selama menjadi mahasiswi Antropologi, FISIP/USU adalah :

1. Tari Tradisional di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari Pembantu Rektor (PR III), bagian kemahasiswaan (Beni), periode (2006-2008).

2. Ketua Club Dansa USU di Lembaga Kemahasiswaan (LK) USU, bimbingan dari : Prof. Basuki Widosensono di Jurusan KIMIA/MIPA dan Ketua IODI (Ikatan Olahraga Dansa Indonesia), periode (2008-2010). 3. Anggota tidak tetap KOMPAS USU, Volly USU dan UKM. Taekwondo

(8)

KATA PENGANTAR

Rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga” atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Pada posisi rumah, terdapat kepercayaan akan : banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah/bumi), dan banua toru

(dunia bawah/dunia para makhluk halus). Pada konsep tradisional, sebuah rumah

tidak hanya memiliki dimensi fungsional sebagai tempat hunian, tetapi juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk tertentu menampilkan pandangan kosmologis dan filosofis yang mendalam.

Rumah bolon selain sebagai rumah adat dan simbol status sosial, juga

berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara adat yang bersifat religius. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi tersebut juga berubah. Perubahan tersebut menyebabkan rumah Adat tidak dibangun lagi. Pada satu sisi, sumber daya manusia untuk membangun rumah Adat itu sudah mulai berkurang, di sasi lain bahan sulit di dapat, bila di dapatkan maka harganya akan jauh lebih mahal, sehingga penduduk memilih membangun rumah yang sederhana dengan bahan-bahan yang terjangkau harga dan kualitasnya lumayan (bahan-bahan-bahan-bahan modern).

Kata nilai adalah kata benda abstrak yang berarti ”keberhargaan”. Nilai memiliki bobot kebaikan, kebenaran, dan keindahan, sehingga nilai dapat dipandang secara positif dan negatif dengan tidak terlepas dari sumber daya yang tersedia. Nilai berbeda corak sesuai dengan tempat dan sosiokultural lingkungan tertentu. Makna berkaitan dengan suatu objek atau lingkungan. Kadang kala, makna juga berkaitan dengan kualitas emosional si pengamat yang dirasakan berkenaan dengan objek atau lingkungan tertentu. Imaji, simbol dan tanda (image, symbol ,dan sign).

(9)

berubah. Pada umumnya orang yang mengenal betul identitas serta kebudayaannya akan merancang dan membangun rumahnya sesuai dengan kaidah-kaidah kearifan lokal masyarakat setempat.

Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan, apabila ada kesalahan dalam penulisan ini mohon dimaafkan. Akhir kata penulis sampaikan sekian dan terimakasih.

Medan, April 2011 Hormat saya,

(10)

DAFTAR ISI

A. SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA 18

B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM 23

C. KEADAAN PENDUDUK 24

(11)

9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi 38

10. Sarana Umum 39

E. SISTEM KEMASYARAKATAN 39

BAB III RUMAH ADAT BATAK TOBA 41 A. SEJARAH RUMAH ADAT

DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 41 B. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI

RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 43

1. Penggolongan ”Gorga” 44

2. Jenis-Jenis Ornamen Pada Anatomi Rumah 63

3. Rumah Adat 64

BAB IV APLIKASI RUMAH ADAT PADA RUMAH MODERN

PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 77

D. PERKEMBANGAN BENTUK RUMAH

DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN 83

E. ADAT PADA PROSES MEMBANGUN RUMAH 88

1. Tahap Perencanaan Bangunan (Denah Rumah Modern) 90

2. Pondasi/Peletakan Batu Pertama 92

3. Dinding 93 F. NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSIRUMAH ADAT

YANG DI APLIKASIKAN PADA RUMAH MODERN 94

1. Falsafah Masyarakat Batak Toba Tentang Rumah 94 2. Fungsi dan Makna Rumah 95 3. Fungsi Makna Rumah Menurut Agama Kristen 103 G. UNSUR KEMODERNISASIAN

PADA APLIKASI RUMAH ADAT BATAK TOBA

PADA RUMAH MODERN 104

BAB V PENUTUP 109

Interview guide (Instrument Penelitian) Daftar Informan

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 (Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ) 25 Tabel. 2 (Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan) 27 Tabel. 3 (Pengkategorian rumah berdasarkan jenisnya) 30 Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan dari Kepala Tukang

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gorga Iran-iran (Tidak terdapat pada lokasi) 47

Gambar 2. Gorga Gaja Dompak (Tidak terdapat pada lokasi) 52

Gambar 3. Gorga Hariara Sudung Di Langit (Tidak terdapat pada lokasi) 55

Gambar 4. Gorga Sitompi 58

Gambar 5.Gorga Simeol-eol (Tidak terdapat pada lokasi) 58

Gambar 6.Gorga Simeol-eol Marsialoan 59

Gambar 7.Gorga Simata Ni Ari 61

Gambar 8.Gorga Sijongging (Tidak terdapat pada lokasi) 62

Gambar 9.Gorga Hoda-hoda (Tidak terdapat pada lokasi) 62

Gambar 10. Penyambungan lantai dengan tiang (bagian bawah) 71

Gambar 11. Pembagian ruang pada rumah adat Batak Toba 75

(14)

DAFTAR FOTO

Foto 1. Gorga Dalihan Na Tolu 45

Foto 2. Gorga Sitangan 46

Foto 3. Gorga Simarogung-ogung 48

Foto 4. Gorga Silintong 49

Foto 5. Gorga Jengger atau Jorngom 50

Foto 6. Gorga Ulu Paung 51

Foto 7. Gorga Singa – Singa 53

Foto 8. Gorga Desa Na Ualu 56

Foto 9. Gorga Boraspati 57

Foto 10. Gorga Susu 57

Foto 11. Gorga Ipon-ipon 60

Foto 12. Anatomi Rumah Adat Batak toba 67

Foto 13. Tempat Pargocci 70

Foto 14. Pintu rumah adat Batak Toba 72

(15)

ABSTRAK

Melda Elysah Simanjuntak, 2010. Judul: “NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA” (Study Kasus : Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan. Sianjur Mula-mula, Sagala, Kabupaten. Samosir). Skripsi ini terdiri dari 5 Bab + 112 halaman + 4 daftar tabel + 27 daftar gambar + daftar pustaka + lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui atau untuk mencari tahu penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas, dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya masih pemikiran masyarakat tradisional.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, untuk mengumpulkan data tentang arti dari rumah Adat dan gorganya di suku Batak yang berada di Hutaurat dan Hutabalian. Juga untuk mengumpulkan data tentang sejauh apa kebiasaan, kebiasaan, ekonomi, dan sistem mata pencaharian, pesta tahunan untuk menyambut perantau, pola pikir penduduk dan sistem kekerabatan yang mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian, sehingga rumah Adat dan rumah panggung tidak dibangun lagi, yang dibangun rumah sederhana yang berbahan modern.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.MASALAH DAN LATAR BELAKANG.

Kehidupan kelompok masyarakat tidak bisa terlepas dari kebudayaannya,

sebab kebudayaan ada karena masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari

kebudayaan adalah adat-istiadat, sedangkan upacara adalah wujud nyata aktifitas

adat-istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu

aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Pada masyarakat tradisional,

kegiatan untuk mengaktifkan kebudayaan itu memang menjadi sarana sosialisasi

bagi kebutuhan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi, dalam arti lain

kebudayaan adalah : “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia

dengan belajar” (Koentjaraningrat, 2002). Menurut Malinowski, Kebudayaan dan

organisasi sosial juga adalah : “respons-respons terhadap kebutuhan-kebutuhan

biologis dan psikologis” (Saifuddin, 2005).

Kebudayaan menandakan ciri etnisitas, dimana etnisitas sebagai unsur

identitas. Etnisitas menunjuk kepada pemisahan antara kami dan mereka. Salah

satu faktor utamanya adalah manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Selain itu,

terdapat faktor penting lainnya yang turut mempengaruhi terbentuknya

kebudayaan adalah :

(17)

2. Kontak antara bangsa sebagai akibat migrasi, dan

3. Keyakinan atau kepercayaan yang telah berurat akar.

Unsur-unsur kebudayaan juga sangat berpengaruh atas terbentuknya kebudayaan.

Adapun unsur-unsur tersebut adalah :

1. Bahasa,

2. Sistem Pengetahuan,

3. Organisasi sosial,

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,

5. Sistem matapencaharian hidup,

6. Sistem religi, dan

7. Sistem kesenian.

Pemikiran ini bertitik tolak pada pemahaman tentang kepribadian. Dalam

banyak hal karya budaya manusia akan dipertanyakan perihal identitas (tanda

pribadi), kalau identitas itu ditunjukkan pada manusianya, maka dapat segera

dijawab tentang nama, asal-usul (keturunan), kebangsaan dan ciri khas yang

dimilikinya. Berarti dalam karya budaya yang tidak lain adalah karya manusia itu

sendiri, dimana selalu berkaitan dengan ”Bentuk dan Karya seni”, disatu sisi

bentuk atau karya seni dianggap sebagai Arsitektur.

Menurut Van Romondt, Arsitektur adalah : ”Ruang tempat hidup manusia

dengan bahagia” (Laporan Seminar Tatalingkungan Mahasiswa Arsitektur

Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1985).

(18)

unsur-Arsitektur sering dikaitkan dengan bahasa, kepercayaan, ekonomi, keilmuan dan

profesi (keprofesionalan). Pada zaman dahulu hingga zaman sekarang ini,

arsitektur tidak terlepas dari makna, manfaat, dan kepentingan-kepentingan

manusia sebagai penciptanya.

Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya dan

persatuan, dengan tidak menolak masukan baru yang berasal dari kebudayaan

asing yang sekiranya dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan

bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia

(Ronald, 2005). Dapat dicatat beberapa hal penting dari pernyataan itu, bahwa

kebudayaan itu tidak ”statis”, yang berarti berkembang dengan tidak menolak

pengaruh kebudayaan yang datang dari luar.

Salah satu dari sekian banyak peninggalan budaya adalah ”Rumah Adat”.

Adapun rumah adat yang ingin diteliti adalah rumah adat Batak Toba, khususnya

di desa Hutaurat dan Hutabalian, di Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Sagala,

Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Indonesia.

Kebudayaan adalah pola bagi kelakuan, artinya kebudayaan mengatur

manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya dapat bertindak, berbuat,

menentukan sikap bagaimana berhubungan dengan orang lain. Adanya

kebudayaan, terwujud suatu kelakuan untuk memahami dan mentafsirkan

lingkungan yang dihadapi. Kelakuan ini menghasilkan benda-benda kebudayaan

(19)

Rumah adat pada masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari banyak

karya arsitektur. Adapun arsitek disebut sebagai orang yang merancang dan

membangun suatu bangunan pada zaman modern ini, sedangkan pada zaman

dahulu di Hutaurat dan Hutabalian orang yang memiliki kemampuan seperti

arsitek ini disebut sebagai ”orang pande”. Perbedaannya, gelar arsitek pada

zaman sekarang diperoleh dengan belajar di perguruan tinggi, sedangkan ”orang

pande” keahliannya diperoleh dari hasil berhubungan dengan orang lain dan

pengalaman pribadi orang tersebut. Adapun ”orang pande”, dia tidak pernah

bekerja sendiri dalam membangun rumah adat. Selalu saja bekerja sama dengan

”datu” (orang yang mengerti kehidupan gaib dan spritual yang dipercaya oleh

masyarakat), juga ”tokoh bius/raja bius” (tokoh adat/raja adat), juga para

pengetua kampung (orang-orang tua yang mengerti tentang rumah adat).

Pada penelitian yang akan dilakukan ini, bukan meneliti bagaimana desain

rumah adat Batak Toba yang sebenarnya, akan tetapi lebih mengarah pada

penjelasan apa yang melatarbelakangi pola fikir masyarakat suku Batak Toba,

sehingga membangun rumah dengan bentuk dan ukiran seperti yang terdapat pada

rumah adat Batak Toba. Selain dari pada itu, rumah adat-rumah adat di Indonesia

sangat erat kaitannya dengan kepercayaan, demikian juga rumah adat Batak Toba.

Agama, adat-istiadat, dan aturan-aturan pada masyarakat suku Batak Toba selalu

saling melengkapi satu sama lain, sehingga terwujud suatu keseimbangan didalam

(20)

Ruma/Jabu (rumah) pada suku Batak Toba berbeda-beda nama dan

penyebutannya. Rumah juga dibedakan berdasarkan :

1. Berdasarkan Bentuknya.

Ruma dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1.1 Ruma Gorga (Jabu Batara Guru).

1.2 Ruma Tanpa Gorga (Jabu Batara Siang).

1.3 Ruma Berukuran Kecil dan sederhana (Sibaba Ni

Amporik/masyarakat tidak mampu).

2. Berdasarkan Besar/kecilnya.

2.1 Ruma Besar (Ruma Bolon).

2.2 Ruma Kecil (Jabu Parbale-balean).

3. Ruma Adat (Jabu Sibaganding Tua, Jabu Batara Guru, Jabu Sari

Munggu : Ruma Gorga yang penuh ukiran dan makna).

4. Ruma yang tidak sesuai dengan adat dan norma

4.1 Jabu Ereng : Rumah tak berukiran.

4.2 Jabu Bontean : dindingnya dari tepas.

5. Ruma Sekeluarga (“Ruma Parsantiang”).

Bangunan ini didirikan oleh satu keluarga dan diwariskan ke pada

anak paling bungsu (Adat Balige). Sedangkan menurut Adat di Sianjur

Mula-Mula diwariskan ke pada anak sulung.

Berdasarkan keterangan tersebut, hal yang menjadi latar belakang masalah adalah

situasi ataupun keadaan yang menuntut suatu perubahan. Situasi ataupun keadaan

(21)

yang sudah mempunyai keterbatasan dalam menyediakan sumber daya alam, dan

bentuk-bentuk Interaksi yang membuat perubahan rumah adat dalam aplikasinya

ke dalam rumah modern, sehingga terbentuklah rumah modern yang memiliki

nilai-nilai budaya.

B. PERUMUSAN MASALAH.

Hutaurat dan Hutabalian adalah salah satu desa yang mengalami

perubahan secara perlahan. Perubahan itu terjadi disebabkan proses Interaksi,

dimana keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah salah satu

penyebabnya. Adapun kebutuhan hidup tersebut adalah : pangan, sandang, dan

papan. Bilamana ketiganya harus diuraiakan, maka semuanya akan selalu

mempunyai pengertian jasmani dan rohani, material maupun spritual dan nyata

maupun hanya dalam bentuk lambang (simbolik).

Berdasarkan penjelasan di atas, rumah juga adalah salah satu kebutuhan

hidup. Selain sebagai tempat tinggal, tempat untuk berteduh, juga sebagai tempat

untuk dapat memenuhi kebutuhan seharí-hari. Rumah juga dipakai sebagai tempat

untuk melakukan setiap upacara-upacara adat, ini biasanya disebut dengan rumah

adat. Rumah adat biasanya memiliki nilai keindahan spritual, dimana terdapat

lambang bentuk ukiran-ukiran yang memiliki nilai/makna yang memiliki arti

religius dan biasanya dijadikan sebagai simbol identitas.

Adapun yang menjadi pertanyaan adalah :

1. Bagaimana Hubungan Pandangan Hidup Orang Batak Toba di

(22)

2. Bagaimana Hubungan Kepribadian Orang Batak Toba dengan

Arsitektur Rumah Adat pada zaman dahulu yang diaplikasikan

ke dalam Rumah Modern dimasa sekarang?

3. Faktor mempengaruhi bentuk rumah di Hutaurat dan Hutabalian

dimasa sekarang?

Faktor-faktor yang menjadi sebab-sebab perubahan, yaitu :

1) Faktor Sumber Daya Manusia.

Sumber daya manusia sangat berperan penting dalam

mempengaruhi variabel-variabel terjadinya perubahan. Pola fikir

masyarakat dan kepribadian yang mengalami perubahan secara

perlahan dan keinginan untuk selalu memenuhi kebutuhan hidup,

menjadikan sumber daya manusia selalu berkembang. Oleh karena itu,

rumah adat terbentuk. Pada zaman modern Sekarang ini, manusia di

satu sisi ingin mengikuti perkembangan zaman, di sisi lain juga ingin

melestarikan budaya mereka. Sehigga, adaya keinginan untuk

menjadikan rumah modern bernuansa tradisional dengan cara

mengaplikasikan rumah adat pada rumah modern atau rumah adat yang

dibangun secara modern.

2) Faktor Psikologi.

Faktor psikologi adalah salah satu penyebab terjadinya perubahan.

Tingkah laku dan gaya hidup yang semakin lama semakin berubah,

menyebabkan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan mulai

(23)

dilakukan. Hal ini berhubungan dengan pola pengasuhan anak dan

lingkungan sosial yang perlahan mulai berubah. Selain itu, kebiasaan

merantau dan kembali ke kampungnya, menyebabkan pola fikir, cara

pandang, arah tujuan kehidupan, dan prinsip-prinsip hidup yang

dipegang oleh orang-orang zaman dahulu mulai berubah perlahan ke

arah yang lebih modern.

3) Faktor Ekonomi.

Kemampuan untuk membangun rumah adat tersebut disertai juga

dengan kemampuan untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan

dalam membangun rumah adat. Pada zaman dahulu, bahan-bahan di

peroleh dari hutan tidak sepenuhnya secara gratis, asalkan “harus

melakukan syarat-syarat secara ritual adat dalam poses pengambilan

kayunya ke hutan”. Suatu penjelasan bahwa, ada harga (tidak secara

tunai dan tidak secara langsung yang harus dibayar kepada raja huta).

Pada zaman sekarang, bahan-bahan sangat sulit diperoleh, apabila

dapat diperoleh bahan-bahan tersebut, harganya lebih mahal dari pada

kayu biasa. Hal inilah yang menjadikan rumah modern selalu dipilih,

karena memiliki bahan-bahan yang mudah dicari dan biaya lebih

terjangkau dari pada membangun kembali rumah adat. Waktu dan

proses lama pembangunan rumah modern tersebut berdasarkan si

(24)

4) Faktor Religi (kepercayaan).

Kepercayaan penduduk pada zaman dahulu adalah “Kepercayaan

Parmalim” (menyembah leluhur-leluhur batak) dan kepercayaan

kepada ilmu-ilmu gaib. Seiring perubahan yang terjadi, penduduk

beralih kepada agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Oleh

karena itu, rumah bolon “ruma gorga” sudah tidak lagi dibangun

seiring dengan peralihan agama yang dilakukan oleh penduduk di

lokasi penelitian.

5) Faktor Teknologi.

Adapun faktor teknologi adalah disesuaikan dengan iklim dan

keadaan alam, kebiasaan atau cara hidup masyarakat, sumber daya

alam, peralatan yang digunakan, ilmu pengetahuan dan akal manusia.

“Nilai/Makna Bentuk dan Fungsi Rumah Adat dalam Aplikasinya Pada

Rumah Modern Pada Masyarakat Batak Toba”, adalah judul penelitian yang

tercermin dari keinginan untuk meneliti segala permasalahan yang muncul. Salah

satu diantaranya adalah keinginan untuk meneliti bagaimana orang Batak Toba

memenuhi rasa keindahan, status sosial, identitas, dan lain-lain. Terutama untuk

melestarikan budaya yang ada, karena budaya adalah salah satu hal yang unik,

berbeda-beda dan dipakai sebagai identitas apabila berinteraksi dengan orang

(25)

C. LOKASI PENELITIAN.

Penelitian dilakukan di kecamatan Sianjur Mula-Mula, Hutaurat dan

Hutabalian. Transportasi yang ada ke daerah tersebut hanya dua saja dari Medan.

Mobil angkutan kecil SAMPRI dan PSN, SAMPRI tidak selamanya diturunkan ke

tempat lokasi langsung, sedangkan dengan menaiki PSN kita akan diturunkan

langsung ke tempat tersebut. Ada sekitar 6 jam dari Medan ke daerah lokasi

penelitian. Jumlah penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah 148 Kepala

Keluarga (KK), agamanya mayoritas Kristen Protestan 147 KK dan 1 KK

beragama Katolik. Gereja ada 3 di lokasi, 2 Gereja GKPI dan 1 Gereja HKBP.

Sedangkan Gereja Katolik ada di Hutabagas. Matapencaharian adalah bertani.

Hasil utama daerah tersebut adalah beras siboru tambun, bawang merah, kopi, dan

kacang.

Alasan memilih lokasi ini adalah Hutaurat dan Hutabalian (balian galung)

masih memiliki sisa-sisa peninggalan kebudayaan suku Batak Toba, terutama

rumah adatnya. Adapun daerah Sianjur Mula-Mula ini terkenal dengan pusat

spritual suku Batak Toba, dimana terkenal juga sebagai sejarah asal-muasal suku

Batak Toba. Hal yang menarik lagi, hewan ternak seperti kerbau pada pagi hari di

lepas di Pusuk Buhit (perbukitan yang ditumbuhi rerumputan dan pohon-pohon

yang tidak terlalu besar, seperti : pohon pinus) dengan begitu saja, karena kerbau

akan mencari makanannya sendiri di Pucuk Buhit dan pada sore harinya,

anak-anak pengembala kerbau mendaki Pusuk Buhit untuk membawa kerbaunya

(26)

Lokasi penelitian ini sangat unik, karena desa dapat dilihat langsung

apabila kita mendaki Pucuk Buhit (perbukitan), dimana bentuknya seperti kuali.

Desa yang dikelilingi oleh Pucuk Buhit ini, memiliki seni bangunan yang religius.

Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan seni ukir dan seni hias yang terdapat pada

bangunan rumah dan tugu-tugu yang ada disana. Udara dan air sungai yang bersih

dapat memberikan ketenangan bagi orang kota yang berkunjung ke sana.

D. TUJUAN PENELITIAN.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui atau untuk mencari tahu

penjelasan dari suatu objek penelitian. Penjelasan itu bisa berupa benda, aktivitas,

dan gagasan. Selain itu, ada ketertarikan khusus yang membuat peneliti ingin

mengetahui proses perubahan rumah adat tradisional itu seperti apa, perubahan

tersebut lebih banyak disebabkan oleh agama, adat-istiadat, dan kepercayaan yang

mulai berubah. Peneliti ingin mengetahui, apakah rumah adat Batak Toba di

lokasi penelitian sebagai simbol atau sebatas tanda saja, penulis mengetahui dari

berbagai sumber tulisan-tulisan tentang rumah adat Batak Toba dan membaca

sekilas mengenai rumah adat tersebut (toba.com, 6 Juni-2010), dan penulis tertarik

untuk mengetahui keterkaitan antara rumah adat dan pengaplikasiannya pada

rumah modern.

Peneliti juga ingin mengetahui apakah penduduk dilokasi penelitian itu

memiliki pemikiran dan budaya yang dapat dikatakan sebagai masyarakat

modern, atau hanya sebatas meniru budaya dari luar, akan tetapi pemikirannya

(27)

1. Susunan dan corak masyarakat Heterogen.

2. Sangat ketergantungan terhadap alam sekitar, akan tetapi kurangnya

kepedulian terhadap alam.

3. Interaksi sempit, cenderung untuk bersifat individualis, egois dan

kompetitip.

4. Kehidupan rumah tangganya tertutup, mementingkan privacy.

5. Kecenderungan mengagungkan kebendaan dan Ketergantungan pada

peralatan yang sophisticated yang bersifat instan dan cepat.

6. Kemampuan berfikir relatif tinggi, menggunakan ratio dan logika.

7. Cepat menerima pengaruh dari luar.

8. Cenderung mencari nilai-nilai yang baru, dan lain-lain.

Adapun budaya masyarakat tradisional adalah :

1. Susunan dan corak masyarakat homogen.

2. Menghargai dan akrab dengan alam sekitarnya.

3. Interaksi luas, selalu bekerja sama (gotong-royong).

4. Dipengaruhi kepercayaan religius dan mystis.

5. Sangat menikmati suasana kebersamaan.

6. Banyak menggunakan tenaga fisik.

7. Kebutuhan yang relatif sederhana.

8. Membuat jarak dengan pengaruh dari luar.

9. Kemampuan berfikir mulai ditingkatkan,dan lain sebagainya.

(28)

E. MANFAAT PENELITIAN.

Manfaat penelitian adalah sebagai sumber pengetahuan budaya dan bahan

pustaka untuk penduduk generasi muda di daerah tersebut, dimana kebanyakan

penduduk usia muda di lokasi penelitian tersebut sudah tidak banyak (kurang

mengetahui) tentang asal usul daerah, perbedaan bentuk rumah, tradisi, konflik

masa lampau, dan lain-lain.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengembalikan semangat dan rasa

kecintaan melestarikan budaya Indonesia, terutama budaya asal bagi masyarakat,

khususnya generasi muda. Juga sebagai bahan pertimbangan bagi penduduk untuk

membangun rumah sesuai dengan kondisi alam setempat dengan tidak

meninggalkan budaya mereka. Hal yang paling penting adalah sebagai bahan

pertimbangan bagi pemerintah untuk membuat proyek pembangunan sesuai

dengan khasanah budaya masyarakat lokal.

F. TINJAUAN PUSTAKA.

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat

pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Dalam kenyataan hidup bermasyarakat,

kebudayaan mempunyai arti yang penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara

berfikir para anggota kelompoknya. Kebudayaan menurut Suparlan adalah

keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk

menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapinya serta untuk

menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan (Mintargo, 2000).

(29)

demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut

(Koentjaraningrat, 1981).

Menurut Clifford Geertz (Saifuddin, 2005) mengemukakan suatu defenisi

kebudayaan sebagai berikut:

1. Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan

makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia

mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat

penilaian mereka;

2. Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang

terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk

simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan

mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap

kehidupan;

3. Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol prilaku, sumber-sumber

ekstrasomatik dari informasi; dan

4. Oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses

kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan di interpretasikan.

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang

diberikan makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia

adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomuniasi dengan

mempergunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik

(30)

memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek, yang berkaitan

dengan pikiran, gagasan dan emosi.

Salah satu karya tulis yang berhubungan dengan tulisan ini adalah,

”Perspektif Kultural dan Gejala Urbanisasi” karya : Irwan. Dimana, proses

Urbanisasi yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di Hutaurat dan Hutabalian dan

sekembalinya mereka (pulang kampung) dari kota, sedikit banyak mengubah

pemikiran penduduk Hutaurat dan Hutabalian mengenai kebiasaan hidup mereka.

Menurut Philip M. Hauser, Urbanisasi merupakan proses yang membawa

transformasi besar dalam pandangan hidup manusia, dalam hal ini yang dimasud

adalah pergeseran dari rural ke urban (Irwan, 1982).

Menurut Bruner, pada daerah pedesaan sikap patuh adat dijaga sangat

ketat, namun di kota sikap itu menjadi berkurang, dalam kasus orang Batak Toba

di Medan, Bruner berpendapat bahwa orang Batak Toba, malah sangat patuh

kepada adat, yang menurut kesimpulan yang diambilnya disebabkan karena di

Medan, persaingan antara suku-bangsa (yaitu : antara orang Batak Toba, dengan

Batak Karo, Minangkabau, Melayu, Cina, dan lain-lain), untuk meraih

kesempatan-kesempatan ekonomi, politik, dan pendidikan yang terbatas, orang

Batak Toba perlu memperkuat rasa solidaritas dan identitas kekerabatan maupun

suku-bangsa. (Koentjaraningrat, 1981a).

Menurut Krober, bahwa setiap unsur peradaban mengalami proses

perubahan yang berbeda-beda dalam kebudayaan induknya masing-masing.

(31)

berlainan dan adakalanya terdorong oleh kekuatan dari dalam, namun adakalanya

karena pengaruh peradaban dari luar dan lain sebagainya (Koenjaraningrat,

1981a).

G. METODE PENELITIAN.

Metodologi dalam arti luas menunjuk ke pada proses, prinsip, serta

prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan mencari jawaban atas

masalah tersebut (Bogdan & Taylor, 1992).

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang mengumpulkan data kualitatif

yang merupakan data utama untuk menjelaskan permasalahan yang akan dibahas

nantinya. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data kuantitatif. Menurut

Whitney, bahwa penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam

Masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam Masyarakat serta situasi-situasi

tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,

pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung serta pengaruh-pengaruh

dari suatu fenomena (Arikunto, 1998).

Data kualitatif diperoleh dari hasil pencatatan deskriptif yang dibuat

berdasarkan atas hasil observasi, pengamatan dan wawancara (pemilihan informan

kunci, informan biasa, informan pokok dan informan pangkal). Data kuantitatif

dalam hal ini, merupakan data pendukung yang diperoleh sebagai pengembangan

(32)

H. ANALISA DATA.

Data yang diperoleh di lapangan akan disajikan secara kualitatif dan

dianalisis secara taxonomi kebudayaan (klasifikasi). Data yang dikumpulkan

melalui kuesioner, pengamatan dan wawancara akan disusun sesuai dengan

kategori-kategori tertentu. Kemudian dilakukan penganalisaan hubungan dari

setiap bagian telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya.

Deskripsi dilakukan secara holistik yaitu semua data yang diperoleh akan

diklasifikasikan berdasarkan aspek geografis, sosial dan budaya, dan juga secara

aspek ekonomis. Setelah itu, akan dianalisis aspek-aspek tersebut secara

mendalam sesuai dengan data yang diperoleh. Data diperoleh sesuai situasi dan

kondisi di lapangan. Peneliti akan menganalisis data sesuai dengan pendekatan ke

arah pemikiran penduduk dan cara pandang penduduk tentang konsep ”rumah

tradisional, pelestarian dan kondisi alam daerah setempat”. Hal ini, penulis akan

(33)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.ASAL-USUL DAN SEJARAH TERJADINYA HUTAURAT DAN HUTABALIAN DI SIANJUR MULA-MULA.

Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur mula-mula adalah tempat pertama

sekali leluhur Suku Batak bermukim. Sejarah si raja Batak, yaitu leluhur Suku

Batak, Sangat rumit untuk dibahas. Mengapa membahas si raja Batak?, karena

pertama sekali si raja Batak bermukim itu di Hutaurat dan Hutabalian, kecamatan

Sianjur Mula-mula.

Adapun kawasan Hutaurat adalah kawasan dusun 1 (Batu-batu;

Lingkungan kode/lingga tonga; Siattar-attar; Parhobon; Sok-sok, dan Sitabo-tabo),

dusun 2 (Hutalobu; Lumban ganda dan Simanampang), sedangkan Hutabalian

adalah dusun 3 (Balian galung; Banjar; dan Bagas limbong). Sebenarnya ada 3

cerita yang dituliskan tentang si raja Batak. Akan tetapi, cerita ini yang sangat

dipercayai oleh masyarakat di Sianjur mula-mula.

Sejarah si raja Batak ini, menurut tokoh bius (bius adalah pada zaman

dahulu disebut sebagai kepala desanya/kepala kampung, sedangkan pada zaman

sekarang disebut kepala adat atau tokoh masyarakat) Buhit Sagala (55 tahun) yang

sekarang dianggap tokoh bius di Hutaurat dan Hutabalian dan keturunan Bius

(34)

Sejarah si raja Batak itu sangat panjang. Secara detail (keseluruhan)

menceritakannya bisa sampai berbulan-bulan, dan kalau dituliskan bisa sampai

puluhan buku tebal yang dihasilkan.

Secara singkat, sejarah si raja Batak dapat dijelaskan dalam skema garis keturunan

berikut ini :

RAJA ODAP-ODAP / SIBORU DEAK PARUJAR

RAJA IHAT / SIBORU ITAM ↓

PATUNDAL BEGU AJULAPAS / R.MIOK-MIOK

RAJA ENGBANUA / (istri nya tak diketahui)

R. UJUNG R. JAU R.BONAGIG-BONAGIG

R. TANTAN DEBATA

RAJA BATAK

(35)

Guru Tatea Bulan adalah leluhur dari marga Sagala yang berada

dikawasan Sagala, kecamatan. Sianjur mula-mula, dimana Guru Tatea Bulan ini

memiliki anak sepuluh orang. Masing-masing kembar sepasang (laki-laki dan

perempuan, dimana masing-masing memiliki kemampuan dan keahlian). Mereka

tinggal di ”Simanampang” salah satu nama lokasi di Hutaurat. Pada cerita sejarah

ini, perempuan tidak terlalu diceritakan, karena garis keturunan berasal dari

laki-laki.

Mereka adalah :

1. Raja buneleng atau dikenal dengan nama raja uti atau raja bias-bias

kembar dengan Biding laut yang pergi ke laut pantai selatan, Jawa.

2. Saribu raja kembar dengan Si boro pareme.

3. Limbong mulana kembar dengan Si pinta haomason.

4. Sagala raja kembar dengan Si anting sabungan.

5. Silau raja atau Malau raja kembar dengan Natinjo Nabolon “Banci”.

Sejarah Hutaurat dan Hutabalian ini berawal dari Sagala raja, “mengapa

demikian?”, karena Raja Buneleng yang dikenal ilmunya paling sakti, seharusnya

sebagai pewaris harta kekayaan keluarga yang paling banyak, karena dia anak

sulung (pertama), tiba-tiba menghilang dan kabar keberadaannyapun sampai saat

ini tidak jelas. Saribu raja yang seharusnya menggantikan Raja buneleng untuk

mengelola harta keluarga, dia mengawini saudara kembarnya sendiri, oleh karena

(36)

sebab itu, maka tanah yang ditempati menjadi milik Sagala raja (rumah keluarga

beserta tanahnya), karena saudara-saudaranya lebih memilih daerah lain sebab

mereka merasa sudah betah hidup di perantauan mereka.

Adapun Sagala raja dikabarkan mempunyai dua istri, masyarakat tidak

jelas mengetahui siapa istri-istri dari Sagala raja. Sagala raja dikabarkan dulunya

susah mempunyai keturunan, oleh karena itu dia menikah lagi. Anak pertamanya

lahir dari istri ke dua, yang bernama “Hutaruar” (yang artinya : anak dari istri ke

dua yang diambil dari luar), anak ke dua lahir dari istri pertama, anak tersebut

bernama “Hutabagas” (yang artinya : masih di “bagas”/dalam perut ibunya).

Masyarakat tidak mengetahui dengan jelas umur berapa “Hutaruar” ketika

“Hutabagas” dilahirkan. Menurut ke dua sumber ini, yaitu ”Buhit Sagala”

(Bius/raja adat/raja kampung) dan Tahe Sagala (tokoh adat Batak di Jakarta yang

juga keturunan Bius di Sianjur mula-mula) mengatakan bahwa, sebelum

”Hutabagas” dilahirkan (ketika masih di dalam kandungan). Nama anak ke tiga

sudah diberikan, yaitu ”Hutaurat” (yang artinya : masih di urat nadi ayahnya). Hal

ini dilakukan, karena Sagala raja yang juga salah seorang yang mempunyai ilmu

mistik/meramal yang tinggi, sudah meramalkan anak laki-lakinya kelak hanya 3

orang saja.

Singkat cerita, ketiga anak dari Sagala raja sudah besar, terjadi perebutan

tanah oleh anak pertama dan kedua. Sebenarnya rumah dan tanah, menurut adat

diberikan kepada anak pertama dari istri pertama, akan tetapi ”Hutabagas”

mengalah sama abangnya ”Hutaruar”. Sehingga, sebagian besar tanah

(37)

dari ”Hutaruar” yang suka berjudi dan menjual tanah sebagai taruhannya dengan

diam-diam, ”Hutabagas” membeli (Balian Galung, Banjar dan Bagas Limbong)

tanah keluarganya sendiri yang diwakili oleh orang lain untuk membeli tanah

keluarganya dari abangnya ”Hutaruar”. Akhirnya, tanah tersebut menjadi milik

”Hutabagas”. Sedangkan ”Hutaruar” karena tingkah laku buruknya dia di usir dari

kampung tersebut ”Simanampang”.

Adapun ”Hutaurat”, setelah menikah dia memilih tinggal di Simanampang

lalu dia sempat pindah ke Simaibang dekat Hutabagas , lalu kembali menetap di

tanah abangnya ”Hutabagas”, yaitu ”Hutalobu”. Secara singkat, dia meminta

pembagian tanah kepada abangnya. Lalu ”Hutabagas” memberikan syarat kepada

adiknya. ”Hutaurat” akan diberikan tanah seperti : Batu-batu, Lingkungan Kode,

Siatar-atar, Parhobon, Hutalobu, Lumban Ganda, dan Simanampang, yang akan

menjadi milik ”Hutaurat”, apabila dia berhasil mengusir ”Burung pemakan

manusia” yang bertempat di sekitar sumber mata air ”Sungai Bintangor”. Maka

tanah yang dijanjikan tersebut akan menjadi miliknya.

”Hutabagas” melakukan perjanjian tersebut dengan alasan karena burung

tersebut sudah banyak memakan korban manusia. Singkat cerita, ”Hutaurat”

berhasil membunuh burung tersebut atas bantuan ”Guru Natinanda” (Guru yang

dikenal), yaitu : Guru Tahandangan dan si Boro. Setelah berhasil, ”Hutabagas”

menepati janjinya, lalu dia pindah dari ”Simanampang” ke Balian Galung yang

berada didekat sungai ”Bintangor”, karena pada zaman dahulu sumber mata air

(38)

mata air kepada adiknya. Tanah tersebut adalah (Balian galung, Banjar, dan Bagas

Limbong).

Akhirnya, keturunan mereka hidup ditanah masing-masing yang sesuai

dengan perjanjian yang mereka buat. Adapun nama ”Hutaurat” dan ”Hutabagas”

diberikan oleh keturunan mereka ”yang bermarga Sagala”. Tujuannya untuk

menghormati nama leluhur mereka. Desa Hutabagas adalah tanah si Hutabagas

yang berada di dekat ”Simanampang”. Adapun ”Hutabalian” dinamakan karena

tanah tersebut dibeli dari ”Hutaruar” dan nama itu diambil dari nama salah satu

anak laki-laki Hutabagas yaitu ”Hutabalian”.

B. LOKASI DAN KEADAAN ALAM.

Secara geografis desa Sianjur mula-mula (Samosir) terletak pada koordinat

2°24’-2°45’LU dan 98°21’- 99°55’BT (Defri Elias Simatupang, Berkala

Arkeologi “SANGKHAKALA”, Vol. XI No. 22, Oktober 2008, hal : 34). Desa

Sianjur mula-mula berbatasan dengan dengan desa-desa disekitarnya yaitu :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Limbong/Pangururan.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Pucuk Buhit.

3. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Boho/desa Tanjung bunga dekat

kawasan Hutan Dairi.

4. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Ginolat dan HutaBagas.

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang disebut dengan desa Sianjur

mula-mula, yang berada di kawasan Kecamatan Sianjur mula-mula, Sagala,

(39)

kemarau dan berangin kencang, sedangkan pada bulan agustus-desember angin

kencang tersebut terkadang disertai hujan deras. Adapun sejarahnya mengapa

dinamakan desa Sianjur mula-mula sama dengan nama kecamatannya adalah

karena Hutaurat dulu adalah kampung asal mula orang Batak pertama (kampung

pertama si raja Batak). Mengapa “Sagala”?, karena “Sagala” adalah cucu si raja

Batak dari Ompu Guru Tatea Bulan. Mengapa Hutaurat dan Hutabalian?, karena

nama itu diambil dari nama-nama anak “Sagala”. Hutabagas adalah nama anak

yang ke-2 dari istri pertama, sedangkan Hutaurat adalah nama anak yang ke-3 dari

istri yang pertama, sedangkan anak pertama bernama Hutaruar dari istri kedua.

Pemberian nama desa ”Hutabalian” oleh keturunannya diberikan

berdasarkan sejarah, yaitu ”Hutabalian” diberikan karena ”Hutabagas” membeli

tanah tersebut (Balian galung, Banjar, dan Bagas Limbong) dari ”Hutaruar”, lalu

menamainya dengan nama salah satu nama anak laki-lakinya. Sedangkan

”Hutaurat”, karena desa tersebut diberikan ke pada ”Hutaurat” oleh ”Hutabagas”.

Pemberian nama ini di buat pada tahun 1930. Sedangkan penyatuan kedua

desa/daerah menjadi desa Sianjurmula-mula yaitu sekitar tahun 1957.

C. KEADAAN PENDUDUK.

1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin.

Penduduk yang masih menetap/tinggal di “Hutaurat” dan “Hutabalian”

berjumlah ±622 Jiwa (Sumber : Buku Catatan Sekretaris Desa tahun 2010).

Adapun data yang diperoleh dari sensus penduduk (penduduk yang menetap

(40)

jumlahnya) berjumlah ±1500 jiwa (Sumber : Berdasarkan Foto copy Kartu

Keluarga di Kepala Desa dan Polindes yang ditinjau oleh tim sensus penduduk

2010).

Adapun Jumlah penduduk berdasarkan Umur dan jenis kelamin, yaitu :

Umur Laki – Laki/Jiwa Perempuan/Jiwa Jumlah

0 - 10 tahun 45 Jiwa 55 Jiwa 100 Jiwa

11 - 20 tahun 60 75 135

21 – 30 tahun 98 65 163

+ 31 tahun 124 100 224

Jumlah 327 Jiwa 295 Jiwa ± 622 Jiwa

Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”, 15-9/2010)

2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.

Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian adalah mayoritas suku Batak

Toba. Dapat dikatakan bahwa Hutaurat dan Hutabalian adalah masyarakat

“homogen” (hanya satu suku saja, yaitu : Batak Toba). Hal ini dihitung

berdasarkan penduduk yang tinggal/menetap di Hutaurat dan Hutabalian.

Adapun suku luar, seperti : “suku Jawa” yang menikah dengan salah satu

warga masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, kebanyakan dari mereka

tinggal di kota, seperti : Jakarta, Medan, Bandung, dan lain-lain. Biasanya

(41)

laki-laki (pemberian marga kepada orang luar, dimana syarat untuk menjadi

satu kelompok/satu identitas)

Penduduk yang berjumlah 148 KK, dimana mereka (“suku luar yang

sudah diberi marga”) yang menetap/tinggal di Hutaurat dan di Hutabalian ada

3 orang saja. Satu orang tinggal di Balian galung (suku Jawa menjadi boru

Sagala), ada juga yang tinggal di Simanampang (kata masyarakat setempat,

dia berasal dari suku Bugis menjadi boru Sihotang), dan satu lagi tinggal di

Banjar (suku Madura menjadi boru Situkkir).

3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama.

Mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan, yaitu 147 Kepala

Keluarga (KK) dan 1 KK beragama Khatolik, dimana ada ±50 KK menjadi

warga jemaat Gereja HKBP dan 80 KK menjadi warga jemaat di 2 Gereja

GKPI yang berbeda, 1 KK beragama Khatolik, dan lainnya adalah Menjadi

warga jemaat Gereja Pentakosta.

4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.

Penduduk yang menetap di Hutaurat dan Hutabalian pada umumnya

tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebenarnya, penduduk asli Hutaurat

dan Hutabalian (Penduduk Perantauan), mayoritas tamatan Diploma dan

Sarjana. Akan tetapi, tidak menetap/tinggal di desa tersebut. Bila warga

perantauan juga dihitung jumlahnya, mayoritas penduduk asli Hutaurat dan

(42)

Hal ini disebabkan oleh karena sakitnya dan jauhnya sekolah dari desa.

Terutama sekolah SMP dan SMA, dimana siswa/siswi harus berjalan jauh dan

mendaki bukit untuk dapat berangkat ke sekolah. Pada zaman dahulu hanya

dapat dilakukan dengan berjalan kaki, akan tetapi pada zaman sekarang

siswa/siswi yang mampu (orang tuanya berkecukupan), pergi ke sekolah

dengan menggunakan Sepeda Motor, karena jalan sudah ada walaupun tidak

semulus jalan raya yang berada di kota.

Adapun distribusi penduduk berdasarkan pendidikan adalah :

Tabel 2. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan. (Sumber : Sekretaris Desa, 15-9/2010).

5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.

Mayoritas Mata pencaharian penduduk adalah bertani, berladang, juga

berdagang. Adapun orang-orang pendatang pada umumnya bekerja sebagai

tukang bangunan, guru, bidan, dan lain-lain.

Menurut Kepala Desa di Hutaurat dan Hutabalian, penduduk mayoritas

yang memiliki tanah ada 75% (40% mengerjai sawahnya sendiri dan 35 %

menyewa petani upahan), 20% petani upahan (memiliki tanah tapi tidak punya

modal dan ada juga sebagian tidak memiliki tanah), dan 5% memilih untuk

Nama :

Hutaurat/Jiwa 12 Jiwa 55 Jiwa 150 Jiwa 40 Jiwa

(43)

membuka warung kopi dan kedai, juga pekerjaan lain seperti Guru, PNS,

tukang bangunan, dan lain-lain.

D. SARANA DAN PRASARANA. 1. Pola Pemukiman.

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang dikelilingi perbukitan

dan terletak di bawah kaki gunung Pucuk Buhit. Pola pemukiman penduduk

adalah mengelompok. Dimana, pintu depan saling berhadap-hadapan dan

memiliki halaman yang luas. Adapun beberapa rumah yang tidak

“mengelompok” adalah rumah yang rata-rata baru dibangun. Halaman pada

penduduk Hutaurat dan Hutabalian berfungsi sebagai tempat pesta. Apabila

ada pesta pernikahan atau pesta adat, biasanya dibuat tenda dan tikar di

halaman untuk tempat duduk para tamu undangan dan kerabat lainnya.

Adapun batas kampung biasanya ditandai oleh pohon bambu dan kalau

tidak ada, biasanya dibuat bentuknya seperti jembatan kecil dipinggir jalan.

Adapun bambu ditanam di perbatasan kampung, hal itu tidak sembarangan,

karena selain berfungsi sebagai pembatas kampung, juga sebagai penahan

angin yang kencang, supaya rumah-rumah disana tidak cepat roboh (Hancur)

di terbangkan angin, bambu juga pada zaman dahulu berfungsi sebagai senjata

bagi penduduk, apabila diserang oleh penduduk kampung sebelah. Sedangkan

jembatan kecil dibangun di perbatasan kampung berfungsi juga sebagai tempat

(44)

bahwa tempat duduk yang terbuat dari batu bata, pasir dan semen yang seperti

jembatan kecil itulah perbatasan antara dua kampung.

Biasanya, ladang mereka berada di belakang atau di samping kiri atau

kanan rumah. Parit-parit dibangun juga sebagai pembatas antara kampung (di

belakang rumah). Rumah-rumah penduduk mayoritas tidak memiliki kamar

mandi dan tempat buang kotoran, karena mereka memiliki tempat permandian

umum (pancuran) yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk mandi,

mencuci dan juga sebagai tempat buang kotoran. Adapun aliran

pembuangannya dialirkan melalui parit-parit menuju persawahan, dimana

sawah penduduk juga ada ikan lele di dalamnya. Pancuran ini tidak jauh

letaknya dari setiap kampung. Biasanya, setiap kampung memiliki Pancuran

atau tempat permandian umum masing-masing.

Adapun sungai Bintangor memang airnya bersih, akan tetapi penduduk

menggunakannya sebagai tempat untuk memandikan ternak dan terkadang

para laki-laki yang pulang dari sawah, langsung mandi di sungai Bintangor

tersebut.

Pada setiap dusun di Hutaurat dan Hutabalian, pembagian

penduduknya tidak merata jumlahnya. Hal ini dapat dilihat dari

bangunan-bangunan rumah yang tidak sama jumlahnya antara tempat yang satu dan

lainnya, terutama di Sok-sok, hanya ada 3 rumah yang berada dikawasan

tersebut, akan tetapi hanya terhitung 1 Kepala keluarga saja, karena ketiga

(45)

lapangan, pengkategorian rumah pada setiap dusun dapat dilihat dengan jelas

pada tabel berikut :

(46)

Rumah di Hutaurat dan Hutabalian dihuni oleh kebanyakan keluarga

inti. Sebagian penduduk juga ada yang satu rumah dengan orang tuanya.

Biasanya yang memilih tinggal bersama orang tuanya adalah anak laki-laki,

terutama anak laki-laki yang pertama atau satu-satunya, karena pada akhirnya

peninggalan orang tuanya akan diberikan kepadanya. Apabila anak

laki-lakinya tidak berniat tinggal dikampung, karena pekerjaannya sudah bagus di

kota, maka diberikan pada saudara laki-lakinya yang lain, kalau tidak ada lagi

maka orang tuanya dan rumahnya diserahkan kepada saudara perempuan.

Kebanyakan rumah adat yang pewarisnya tinggal di kota, akan mencarikan

seseorang (masih keluarga) untuk mengurus rumah tersebut dan diberikan

upah dan biaya perawatan rumah kepada si pengurus (Biasanya setahun

sekali). Beberapa orang ada juga yang membiarkan rumah tidak terurus, salah

satu alasannya karena tidak memiliki biaya untuk mengurusnya. Sampai pada

akhirnya rusak perlahan (rumah panggung yang mayoritas dari kayu).

2. Sistem Pemerintahan.

Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian pada tahun

2010 adalah :

Kepala Desa : Pardingotan Sagala.

Sekretaris Desa : J. Sihotang.

Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :

1. Kaur Pemerintahan : Sagala.

2. Kaur Pembangunan : Sagala.

(47)

Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu

1. Ramli Sagala.

2. Oloan Sagala.

3. Manganar Sigalingging.

4. Robinson Sagala.

5. Jahunta Sagala.

Kepala Dusun :

Dusun 1 : Poldiner Sagala.

Dusun 2 : Kesman Sagala.

Dusun 3 : Josmen Sagala.

Sistem pemerintahan di atas, dipilih setiap 5 tahun sekali, dimana

masyarakat mengadakan musyawarah dan pemilihan kepala desa berdasarkan

suara terbanyak. Sedangkan para bawahannya dipilih berdasarkan kesepakatan

bersama.

3. Sarana Organisasi Masyarakat.

Organisasi masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, di bedakan

berdasarkan kepentingannya. Secara umum, kegiatan gotong-royong

dinamakan ”marrodi”. Adapun organisasi yang ada disana adalah :

a. Organisasi Marga.

Organisasi marga adalah organisasi orang-orang yang satu

keturunan/satu nenek moyang, garis keturunan berdasarkan

(48)

Tatea Ni Bulan. Organisasi marga ini terdiri dari beberapa marga.

Misalnya, Limbong, Situkkir, dan lain-lain.

Adapun marga, pada zaman dahulu adalah nama dari nenek

moyang itu sendiri. Biasanya marga masih dibagi lagi berdasarkan

penggolongan-penggolongannya dan nomornya. Tidak semua marga

memiliki nomor. Biasanya nomor berguna untuk tanda panggilan bagi

diri seseorang.

b. Serikat Tolong Menolong.

Organisasi ini adalah organisasi oleh karena satu lingkungan

(dongan sabutuha). Organisasi ini berfungsi untuk membantu

tetangga-tetangga yang sedang membutuhkan pertolongan. Misalnya,

pada ada yang kemalangan (anggota keluarganya ada yang meninggal),

atau dalam acara pesta pernikahan, juga dalam pesta adat, dan lain

sebagainya.

c. Organisasi Tani.

Organisasi tani ada beberapa macam, yaitu :

1. Saunduran (sama ke atas, sama ke bawah).

2. Dosroha (satu hati).

3. Berdikari.

4. Karya.

(49)

d. Organisasi Gereja.

Kumpulan-Kumpulan Koor Ama (koor Bapak-bapak), koor

Ina( koor ibu-ibu dan Naposobulung (pemuda-pemudi dan remaja

gereja). Kumpulan ini biasanya berfungsi untuk menyatukan hati

seluruh anggota satu gereja. Misalnya ada yang kemalangan, anggota

satu gereja wajib turut serta dalam berpartisipasi untuk membantu

anggota yang kemalangan tersebut, apabila ada anggota gereja yang

mengadakan syukuran, pesta adat, dan lain sebagainya. Para anggota

jemaat satu gereja wajib turut serta menghadirinya.

Kumpulan ini (koor Ama dan koor Ina), biasanya dua minggu

sekali mengadakan partamiangan (kebaktian di rumah anggota

jemaat). Naposobulung biasanya mengadakan kebaktian sekali

seminggu di gereja pada malam minggu.

4. Sarana Peribadatan.

Tempat peribadatan yang terletak di Hutaurat dan Hutabalian ada 3,

yaitu :

Gereja : 2 bangunan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI),

1 bangunan di dekat Batu-Batu (dusun1; Hutaurat),

dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas

Limbong (dusun 3; Hutabalian).

1 bangunan Gereja Huria Kristen Batak Protestan

(50)

Musola/Mesjid : -

Wihara/Klenteng : -

Pura : -

5. Sarana Transportasi.

Penduduk di Hutaurat dan Hutabalian, pada zaman dahulu biasanya

memakai kerbau, sapi, atau kuda sebagai alat transportasi. Setelah jalan mulai

dibangun, perlahan-lahan sapi tidak digunakan lagi, sehingga sudah tidak ada

lagi di temui, sedangkan kuda, hanya beberapa orang saja yang memilikinya.

Adapun kerbau, masih bisa kita temui di lokasi tersebut, akan tetapi jumlahnya

menurun dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada zaman sekarang, penduduk mayoritas menggunakan transportasi

sepeda motor ke berbagai tempat. Adapun PSN dan SAMPRI adalah mobil

angkutan umum menuju kota, misalnya : Medan, Sidikalang, Berastagi, dan

lain-lain. Sedangkan ke Pangururan (Onan/Pajak besar yang di langsungkan 1

kali seminggu, yaitu setiap hari rabu), ada mobil angkutan KOPJ yang

berwarna biru yang selalu datang setiap hari rabu pagi ke Hutaurat dan

Hutabalian. Ada juga mobil Truk yang datang ke Hutaurat dan Hutabalian

untuk mengangkut bahan bangunan dari Pangururan atau dari kota lain,

apabila ada penduduk yang sedang membangun rumah atau ada proyek

pemerintah (seperti : membangun jalan) yang sedang berlangsung di Hutsaurat

(51)

6. Sarana Pendidikan.

Sarana pendidikan yang terdapat di Hutaurat dan Hutabalian adalah

SD. Negeri : No. 173786 Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten.

Samosir. Adapun sekolah SMP Negeri dan SMA Negeri Sianjur Mula-mula,

berada di atas (arah menuju ke Limbong), di dekat Batu Hobon dan Tugu si

raja Batak. Menuju ke sana harus berjalan jauh dan mendaki bukit, apabila

berjalan kaki. Selama 40 menit, bila menggunakan sepeda motor hanya 10

menit saja, kalau angkutan umum tidak ada.

7. Sarana Kesehatan Masyarakat.

Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian adalah :

Polindes, yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho.

Dahulu bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), tetapi sekarang pindah

ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun

patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Penduduk di

Hutaurat dan Hutabalian yang sakit parah biasanya dibawa oleh polindes

langsung ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke

rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya

di rumah sakit Adam Malik, Medan.

8. Sarana Informasi dan Komunikasi.

Sarana Informasi dan Komunikasi yang berada di Hutaurat dan

Hutabalian adalah :

(52)

Adapun koran di peroleh dari PSN atau Sampri (pemilik warung kopi

meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan).

Terkadang, pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli

koran atau majalah tentang pertanian dengan mengendarai sepeda motor.

Perjalanan ke Pangururan memakan waktu selama ± 1jam dengan

mengendarai sepeda motor.

Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk

berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga

menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita.

Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau

Pangururan. Penduduk menggunakan Parabola atau alat digital untuk dapat

menonton siaran Televisi dari luar kota dan luar negeri, tanpa alat ini televisi

tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Biasanya Parabola atau

alat digital ini juga dapat menangkap siaran radio dari kota manapun. Oleh

sebab itu, penduduk tidak ketinggalan berita dan informasi.

Beberapa rumah, juga ada yang menggunakan komputer atau laptop.

Jaringan Telkomunikasi yang didapat sangat cepat di Hutaurat dan Hutabalian

adalah jaringan Telkomsel seperti Simpati, As, dan Fleksi. Adapun jaringan

Indosat atau Xl sangat susah untuk mendapatkan jaringannya. Kita harus

keluar dan cari tempat yang tinggi untuk dapat jaringan telekomunikasi

tersebut. Warung Internet juga tidak ada di desa ini. Adapun yang memakai

Internet itu hanya milik pribadi saja seperti modem, tetapi hanya produk

(53)

9. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi.

Sarana Olahraga tidak terdapat didesa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan

orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola,

dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.

“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba),

dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara

desa, apabila menang akan diikut sertakan di kecamatan dan seterusnya.

Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang

menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk

menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain,

oleh karena itu pemuda-pemudi yang mengikuti perlombaan ini di tangani

oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan

pada bulan November.

Rekreasi di desa ini adalah rumah si raja Batak dan Aek Bintatar (mata

air bintatar). Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun

Batu Hobon dan Tugu si raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur

mula-mula dan Limbong.

Rumah si raja Batak adalah rumah pertama sekali si raja Batak

membangun rumahnya di Hutaurat (pertama sekali kampung berdiri). Adapun

Aek Bintatar adalah Sumber Mata Air yang di buat dengan menggunakan

ilmu-ilmu mistik, dimana terdapat pohon beringin yang kerdil setinggi tongkat

(54)

ular dan sangat mengganggu masyarakat. Penduduk tidak seorangpun yang

pernah melihat langsung ular penjaga Aek Bintatar tersebut, akan tetapi ada

seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut

melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber

mata air Aek Bintatar.

10.Sarana Umum.

Sarana Umum seperti Listrik baru dibangun pada tahun 1990. Cara

pembayarannya, ada seseorang yang datang mengutip ke setiap rumah di desa

tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos

sebesar Rp. 4500 untuk ke Pangururan pada setiap rumah.

Adapun air (Pancuran, kamarmandi, dan tempat permandian umum

lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal

dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan/biaya (gratis) untuk

air tersebut.

E. SISTEM KEMASYARAKATAN.

Sistem kemasyarakatan di suku Batak Toba adalah sistem “Dalihan Na

Tolu”. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga Tungku” (Dalihan =

tungku, Na= yang, Tolu = tiga), yang dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku

yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha,

hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah

marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga Laki-laki.

(55)

yakni setiap anggota dalam masyarakat itu, termasuk ke dalan sesuatu “marga”

dari garis keturunan laki-laki. Oleh sebab itu, perkawinan dalam lingkungan

sesama marga dilarang, sehingga perkawinan terjadi dengan orang yang termasuk

lingkungan marga lain (exogami).

Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba

di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga

batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat

keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari

pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu,

ketiganya harus bekerjasama dan saling tolong-menolong.

Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan

tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan

bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing

(56)

BAB III

RUMAH ADAT BATAK TOBA

A. SEJARAH RUMAH ADAT DI HUTAURAT DAN HUTABALIAN.

Rumah adat di Hutaurat dan Hutabalian sudah ada sejak dari dahulu.

Rumah adat ini selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yaitu

kepada putera tertua. Adapun rumah adat sering disebut dengan ”ruma gorga”

atau juga sering disebut dengan ”ruma bolon”, yaitu : rumah besar yang memiliki

penuh ukiran-ukiran dan makna-makna simbolik. Sebelum berbicara mengenai

aplikasi rumah adat terhadap rumah modern di Hutaurat dan Hutabalian,

hendaklah terlebih dahulu diketahui bagaimana rumah adat Batak Toba yang

berada di Hutaurat dan Hutabalian.

Adapun sejarah dari ”ruma gorga” itu sendiri adalah : kembali lagi

membahas sejarah marga Batak, istilah ”gorga” dikenal sejak orang Batak Toba

menyadari akan keberadaan banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia

tengah/bumi), dan banua toru (dunia bawah/dunia para makhluk halus). Hal

tersebut adalah salah satu pandangan hidup suku Batak yang ada di

Sianjurmula-mula pada zaman dahulu, yakni menyadari akan adanya kekuatan lain di luar

batas akal pikiran mereka sendiri.

Bermula dari mitos,yang menceritakan si Boru deak parujar (putri yang

turun dari dunia atas) dianggap sebagai ibu manusia pertama di Toba dan

mempunyai kisah cinta dengan pemuda khayangan yaitu : si Tuan ruma uhir/si

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Tabel 2. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan.
Tabel 3. Pengkategorian rumah berdasarkan jenisnya.
Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan dari Kepala Tukang

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja makna dari Pohon hariara dalam sanggul marata pada upacara adat kematian Saur matua di Batak Toba, untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergeseran fungsi uang jujur (sinamot) pada perkawinan adat masyarakat Batak Toba dan untuk mengetahui tindakan yang

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Debora (2014) dalam skripsinya yang berjudul Makna Simbolik Upacara Adat Mangulosi (Pemberian Ulos) pada Siklus Kehidupan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan

Penelitian ini berjudul Subordinasi Perempuan dalam Adat Batak Toba (Studi Kasus Terhadap Perempuan sebagai Orangtua Tunggal dalam Filosofi Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat

Ornamen Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bagian luar dan bagian depan dari rumah adat Batak

Ornamen Gorga Batak adalah ukiran atau pahatan tradisional yang biasanya terdapat di dinding rumah bagian luar dan bagian depan dari rumah adat Batak

NILAI/MAKNA BENTUK DAN FUNGSI RUMAH ADAT DALAM APLIKASINYA PADA RUMAH MODERN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA?. BAB TOPIK PENELITIAN Pertanyaan Kegunaan Metode Sumber