• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium Obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan Batang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium Obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan Batang"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK ADENIUM (Adenium obesum)

DENGAN PEMBERIAN IBA (Indole Butyric Acid)

DAN CARA PENYAYATAN BATANG

ESTERINA PRATIWI SILITONGA 060301045/BDP-AGRONOMI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK ADENIUM (Adenium obesum)

DENGAN PEMBERIAN IBA (Indole Butyric Acid)

DAN CARA PENYAYATAN BATANG

SKRIPSI

Oleh:

ESTERINA PRATIWI SILITONGA 060301045/BDP-AGRONOMI

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

PERTUMBUHAN SETEK PUCUK ADENIUM (Adenium obesum)

DENGAN PEMBERIAN IBA (Indole Butyric Acid)

DAN CARA PENYAYATAN BATANG

SKRIPSI

Oleh:

ESTERINA PRATIWI SILITONGA 060301045/AGRONOMI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Judul Skripsi : Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium Obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan Batang

Nama : Esterina Pratiwi Silitonga NIM : 060301045

Departemen : Budidaya Pertanian Program Studi : Agronomi

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. JA. Napitupulu, MSc Ir. Balonggu Siagian, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

Prof. Edison Purba

(5)

ABSTRAK

ESTERINA PRATIWI SILITONGA: Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan Batang. Dibimbing oleh J.A Napitupulu dan Balonggu Siagian.

Adenium adalah salah satu tanaman hias yang bernilai ekonomi relatif tinggi. Namun keberhasilan dari perbanyakan yang dilakukan dengan setek relatif rendah. Penyayatan batang dengan kedalaman yang berbeda selama 14 hari sebelum ditanam dan pemberian IBA (Indole Butyric Acid) diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan setek pucuk. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, pada bulan Januari sampai Mei 2010. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah penyayatan batang (P) yang terdiri atas: 0,25 diameter (P1), 0,5 diameter (P2), 0,75 diameter (P3), 1 diameter (P4). Faktor kedua adalah konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) yang terdiri atas: 0 ppm (K0), 100 ppm (K1), 200 ppm (K2). Parameter yang diamati adalah persentase setek hidup, jumlah akar primer, panjang akar primer, pertambahan panjang tunas, pertambahan jumlah daun dan jumlah tunas adventif.

Hasil yang diperoleh adalah penyayatan batang berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun umur 8, 10 dan 12 MST, pertambahan panjang tunas umur 8, 10 dan 12 MST, jumlah akar primer, panjang akar primer, persentase setek hidup dan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas adventif. Penyayatan terbaik adalah 0,5-0,75 diameter. Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh nyata terhadap jumlah akar primer, panjang akar primer dan berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan jumlah daun, pertambahan panjang tunas, persentase setek hidup, dan jumlah tunas adventif. Konsentrasi terbaik pada konsentrasi 133,68 ppm.

(6)

ABSTRACT

ESTERINA PRATIWI SILITONGA: The Shoot Cutting Growth of Adenium (Adenium obesum) With IBA (Indole Butyric Acid) Application and Stem Slicing. Under the supervision of J.A Napitupulu and Balonggu Siagian.

Adenium is one of outdoor ornamental crops that have potential economic value. Success of cutting propagation is relativity low. Stem slicing with a different depth 14 days before planting and IBA (Indole Butyric Acid) Application, expected can increase shoot cutting propagation success. The research was conducted at the Sub-district Tanjung Gusta, District Medan Helvetia, from January to May 2010. The experiment was arranged in factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors. The first factors were different stem slicing depth consist of: 0,25 diameter (P1), 0,5 diameter (P2), 0,75 diameter (P3), 1 diameter (P4). The second

factors were concentration of IBA (Indole Butyric Acid) Application which consist of: 0 ppm (K0), 100 ppm (K1), 200 ppm (K2). Observed parameter were percentage

of growth cuttings, number of primary roots, primary roots length, increment number of leaves, increment of shoots length, number of adventive shoots.

The result showed that stem slicing was significantly effect increment number of leaves at 8, 10 and 12 weeks after planted, increment of shoots length at 8, 10 and 12 week after planted, number of primary roots, primary roots length, percentage of growth cuttings, but not significantly effect the number of adventif shoots. The best stem slicing is 0,5-0,75 diameters. IBA (Indole Butyric Acid) application was significantly effect on tall primary roots length, number of primary roots, but not significantly effect on number of leaves, increment of shoots length, percentage of growth cutting and number of adventve shoots. The best concentration is 133,68 ppm.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 22 Desember 1988. Anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. S.P. Silitonga dan Ibunda S. Hutabarat.

Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 12 Medan dan pada tahun 2006 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui Jalur SPMB dan memilih program studi Agronomi Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium

obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan

Batang”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada orang tua penulis, ayahanda Drs. S.P Silitonga dan ibunda S. Hutabarat yang telah memberi semangat dan dukungan moril maupun materil kepada penulis untuk terus berbuat lebih baik dalam hidup ini. Kepada keluarga besar penulis yang telah memberikan semangat kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. J.A. Napitupulu MSc. dan Bapak Ir. Balonggu Siagian, MS. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran mulai dari penentuan judul, penelitian, hingga skripsi ini selesai. Kepada Fenny, Hanna, Ira dan Dedy yang selalu membantu dan memberi semangat yang tiada henti kepada penulis.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Yang Mempengaruhi Setek Pucuk ... 13

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode Penelitian ... 16

Pelaksanaan Penelitian ... 18

Penyiapan Lahan ... 18

Penyiapan Media Tanam ... 18

Penyiapan Bahan Tanaman ... 19

Penyayatan Batang ... 19

Aplikasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 19

Penanaman Setek ... 19

Pemeliharaan ... 20

Penyiraman ... 20

Penyiangan ... 20

Pengamatan Parameter... 20

Persentase setek hidup (%) ... 20

(10)

Pertambahan Panjang Tunas (mm) ... 21 Pertambahan Jumlah Daun (helai) ... 21 Jumlah Tunas Adventif (Samping) ... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ... 22 Pembahasan ... 35 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 42 Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal. 1. Persentase setek hidup (%) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 23

2. Jumlah akar primer umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 24 3. Panjang akar primer (cm) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 27 4. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 29 5. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 29 6. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 29 7. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 32 8. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 32 9. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) . 32 10. Jumlah tunas adventif umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal. 1. Hubungan persentase setek hidup (%) dengan penyayatan batang ... 23 2. Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan penyayatan

batang ... 25 3. Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan konsentrasi

IBA (Indole Butyric Acid) ... 26 4. Hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan

penyayatan batang ... 27 5. Hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan

konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 28 6. Hubungan pertambahan panjang tunas umur 10 dan 12 MST

dengan penyayatan batang ... 31 7. Hubungan pertambahan jumlah daun (helai) umur 8, 10 dan 12

MST dengan penyayatan batang ... 34

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal. 1. Denah penelitian ... 45

2. Persentase setek hidup umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 46 3. Sidik ragam persentase setek hidup umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) .... 46 4. Jumlah akar primer umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan

dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 47 5. Sidik ragam jumlah akar primer umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) .... 47 6. Panjang akar primer (cm) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ... 48 7. Sidik ragam panjang akar primer umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) .... 48 8. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 4 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....49 9. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 4 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...49 10. Sidik ragam pertambahan panjang tunas umur 4 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....49

11. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 6 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....50 12. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 6 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...50 13. Sidik ragam pertambahan panjang tunas umur 6 MST pada kombinasi

(14)

14. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 8 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....51 15. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 8 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...51 16. Sidik ragam pertambahan panjang tunas umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....51 17. Pertambahan panajang tunas (mm) umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....52 18. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 10 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...52 19. Sidik ragam pertambahan panjang tunas umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....52 20. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...53 21. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...53 22.Sidik ragam pertambahan panjang tunas umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...53 23.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 4 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...54 24.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 4 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi √(x+0,5))...54 25.Sidik ragam pertambahan jumlah daun umur 4 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...54 26.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 6 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....55 27.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 6 MST pada kombinasi

(15)

28.Sidik ragam pertambahan jumlah daun umur 6 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....55 29.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....56 30.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi √(x+0,5))...56 31.Sidik ragam pertambahan jumlah daun umur 8 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....56 32.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...57 33.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi √(x+0,5))...57 34.Sidik ragam pertambahan jumlah daun umur 10 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....57 35.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....58 36.Pertambahan jumlah daun (helai) umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi √(x+0,5))...58 37.Sidik ragam pertambahan jumlah daun umur 12 MST pada kombinasi

perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ....58 38.Jumlah tunas adventif umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) ...59 39.Jumlah tunas adventif umur 12 MST pada kombinasi perlakuan

penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (Transformasi

√(x+0,5)) ...59 40.Sidik ragam jumlah tunas adventif umur 12 MST pada kombinasi

(16)

ABSTRAK

ESTERINA PRATIWI SILITONGA: Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dan Cara Penyayatan Batang. Dibimbing oleh J.A Napitupulu dan Balonggu Siagian.

Adenium adalah salah satu tanaman hias yang bernilai ekonomi relatif tinggi. Namun keberhasilan dari perbanyakan yang dilakukan dengan setek relatif rendah. Penyayatan batang dengan kedalaman yang berbeda selama 14 hari sebelum ditanam dan pemberian IBA (Indole Butyric Acid) diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan setek pucuk. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, pada bulan Januari sampai Mei 2010. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah penyayatan batang (P) yang terdiri atas: 0,25 diameter (P1), 0,5 diameter (P2), 0,75 diameter (P3), 1 diameter (P4). Faktor kedua adalah konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) yang terdiri atas: 0 ppm (K0), 100 ppm (K1), 200 ppm (K2). Parameter yang diamati adalah persentase setek hidup, jumlah akar primer, panjang akar primer, pertambahan panjang tunas, pertambahan jumlah daun dan jumlah tunas adventif.

Hasil yang diperoleh adalah penyayatan batang berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun umur 8, 10 dan 12 MST, pertambahan panjang tunas umur 8, 10 dan 12 MST, jumlah akar primer, panjang akar primer, persentase setek hidup dan berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah tunas adventif. Penyayatan terbaik adalah 0,5-0,75 diameter. Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh nyata terhadap jumlah akar primer, panjang akar primer dan berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan jumlah daun, pertambahan panjang tunas, persentase setek hidup, dan jumlah tunas adventif. Konsentrasi terbaik pada konsentrasi 133,68 ppm.

(17)

ABSTRACT

ESTERINA PRATIWI SILITONGA: The Shoot Cutting Growth of Adenium (Adenium obesum) With IBA (Indole Butyric Acid) Application and Stem Slicing. Under the supervision of J.A Napitupulu and Balonggu Siagian.

Adenium is one of outdoor ornamental crops that have potential economic value. Success of cutting propagation is relativity low. Stem slicing with a different depth 14 days before planting and IBA (Indole Butyric Acid) Application, expected can increase shoot cutting propagation success. The research was conducted at the Sub-district Tanjung Gusta, District Medan Helvetia, from January to May 2010. The experiment was arranged in factorial Randomized Block Design (RBD) with two factors. The first factors were different stem slicing depth consist of: 0,25 diameter (P1), 0,5 diameter (P2), 0,75 diameter (P3), 1 diameter (P4). The second

factors were concentration of IBA (Indole Butyric Acid) Application which consist of: 0 ppm (K0), 100 ppm (K1), 200 ppm (K2). Observed parameter were percentage

of growth cuttings, number of primary roots, primary roots length, increment number of leaves, increment of shoots length, number of adventive shoots.

The result showed that stem slicing was significantly effect increment number of leaves at 8, 10 and 12 weeks after planted, increment of shoots length at 8, 10 and 12 week after planted, number of primary roots, primary roots length, percentage of growth cuttings, but not significantly effect the number of adventif shoots. The best stem slicing is 0,5-0,75 diameters. IBA (Indole Butyric Acid) application was significantly effect on tall primary roots length, number of primary roots, but not significantly effect on number of leaves, increment of shoots length, percentage of growth cutting and number of adventve shoots. The best concentration is 133,68 ppm.

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman adenium dikalangan awam disebut kamboja jepang, merupakan tanaman hias bernilai ekonomi relatif tinggi karena keindahan bunga (kurang lebih terdapat 100 jenis) dan keunikan bentuk bonggol batang di pangkal akar. Penampilan adenium yang seperti tanaman kerdil (bonsai), pada umumnya juga dibudidayakan dalam pot, sehingga tanaman ini mempunyai masa depan menjanjikan dalam agrobisnis tanaman hias. Pengembangan teknologi budidaya tanaman adenium diperlukan untuk memenuhi tuntutan selera konsumen yang sering kali dalam jumlah besar. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman ditentukan oleh bahan tanam, kondisi lingkungan dan faktor media tanam (Hardjanti, 2005) .

Adenium termasuk kedalam tanaman sukulen, yaitu tanaman yang memiliki batang yang tidak berkayu. Semua sel dalam batang adenium adalah sel hidup atau meristematik, dengan kandungan air yang sangat tinggi, yang juga sebagai cadangan untuk kehidupannya. Itulah mengapa adenium mampu tumbuh didaerah yang sangat kering

(19)

Batang yang indah menampilkan kesan kokoh dan kuat. Batang bisa dibentuk sehingga akan tampak lebih unik dan eksklusif

Pembiakan tanpa kawin (setek, grafting, cangkok dan okulasi), biasa dilakukan orang untuk memperbanyak suatu varietas secara mudah dan cepat. Setek dan cangkok, adalah perbanyakan untuk secepatnya mendapatkan tanaman dengan tajuk yang lebat, tetapi cara ini tidak cepat menghasilkan caudex atau bonggol yang besar dan indah. Untuk menghasilkan tanaman adenium dengan caudex atau bonggol yang besar dan indah dapat menggunakan perbanyakan dari biji, dan untuk mendapatkan tajuk tanaman yang identik sifat atau karakteristiknya dengan induk yang dikehendaki dapat menggunakan cara setek dan grafting

Penggunaan bahan setek dari pangkal paling baik diantara asal bahan setek yang lain yang ditunjukkan oleh jumlah tunas dan daun, serta jumlah akar dan bobot segar tanaman tertinggi. Hal ini sebagian disebabkan oleh bahan setek yang berasal dari pangkal memiliki nisbah C dan N yang ideal. Namun bahan setek yang berasal dari pucuk dan tengah masih dapat digunakan walaupun pertumbuhannya tidak sebaik yang berasal dari pangkal batang (Hardjanti, 2005). Pada batang yang panjang, penggunaan bahan setek pangkal, tengah dan pucuk, akan dapat menghasilkan tiga setek sekaligus.

(20)

regenerasi akar dan pucuk adalah sifat genetis, cadangan makanan, dan fitohormon. Zat pengatur tumbuh yang paling berperan pada pengakaran setek adalah kelompok auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-acetic acid (IAA), indole butyric acid (IBA) dan nepthalene acetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif dibandingkan IAA yang merupakan auksin alami, sedangkan yang berperan dalam pembentukan tunas adalah sitokinin yang terdiri dari zeatin, zeatin riboside, kinetin, isopentenyl adenin, thidiazurron (TBZ), dan benzyladenine (BA atau BAP) (Widiarsih, dkk, 2008).

Perbanyakan adenium melalui setek sering gagal tumbuh karena batang membusuk oleh karena kandungan air yang tinggi dan getah yang keluar dari tempat batang diiris/dipotong/disayat belum kering dan juga jika media tanam memiliki kandungan air yang tinggi (Hardjanti, 2005). Dari pengalaman para petani, keberhasilan perbanyakan adenium dengan cara setek dapat ditingkatkan dengan melakukan penyayatan batang dan dibiarkan selama 10-15 hari, baru dapat ditanam (Komunikasi Pribadi). Pada penelitian ini penyayatan dilakukan berbeda-beda kedalamannya untuk melihat pengaruhnya, sejauh mana berpengaruh pada ketersediaan atau penumpukan cadangan makanan dan fitohormon.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui pertumbuhan setek pucuk adenium (Adenium obesum) dengan pemberian ZPT IBA (Indole Butyric Acid) dan cara penyayatan batang.

(21)

Tujuan Penelitian

Menemukan tingkat konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan cara penyayatan batang yang paling sesuai untuk pertumbuhan setek pucuk adenium (Adenium obesum).

Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan pertumbuhan setek pucuk adenium (Adenium obesum) akibat perbedaan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid), cara penyayatan batang serta ada interaksi antara kedua faktor tersebut.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, dan diharapkan dapat pula berguna sebagai informasi bagi semua pihak yang tertarik dengan tanaman hias adenium (Adenium

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Adenium

Menurut berikut:

Kingdom : Plantae Divisio : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Apocynales Famili : Apocynaceae Genus : Adenium

Spesies : Adenium obesum (Forssk.) Roem & Schult

Adenium berakar tunggang dengan bentuk akar yang semakin lama akan semakin membesar seperti umbi yang digunakan sebagai tempat menyimpan air. Akar yang membesar ini bila dimunculkan diatas tanah akan membentuk kesan unik seperti bonsai. Sedangkan batangnya lunak tidak berkayu, namun dapat membesar

(23)

Daunnya berada pada ujung-ujung ranting, berupa helaian daun, bertangkai 0,5-1 cm, berwarna hijau, memanjang berbentuk lanset, ujungnya berbentuk bulat telur sampai bentuk spatel atau solet, panjangnya 9-13 cm, lebar 2-3 cm (Suryowinoto, 1997).

Bunganya berupa malai, menggerombol pada ujung ranting dan berbentuk terompet. Mahkota bunga berbentuk corong, diameter 1-1,5 cm, sisi dalam berambut, sisi luar berwarna merah muda, tajuk bunga menutup ke kiri, panjangnya 1,5-2 cm, sisi dalam berwarna merah muda, bentuk tumpul, lebar 1-1,5 cm. Benang sari berjumlah lima berambut halus (Suryowinoto, 1997).

Biji adenium dibekali bulu layang, berkulit tipis dan berongga, agar menjadi ringan dan mudah melayang di udara kala tertiup angin. Disisi lain, kulit tipis membuat biji rentan terhadap pengaruh luar, baik fisik, biologi dan kimia. Akibatnya kualitas biji adenium cepat menurun seiring dengan berjalannya waktu

Syarat Tumbuh Iklim

(24)

Ada tiga sifat utama dari adenium, tidak menyukai air berlebih, perlu sinar matahari yang penuh, dan menyukai media porus. Oleh karena itu, adenium disebut desert rose atau mawar gurun yang identik dengan panas, jarang air dan kondisi tanah yang porus

Pemberian air berlebihan dapat menyebabkan akar busuk, namun pada sisi lain, air yang tidak cukup dapat menyebabkan daun gugur. Sehingga perlu diatur secukupnya saja karena pada dasarnya sangat toleran terhadap kekeringan

Tanah

Umumnya pH yang diperlukan tanaman sekitar 5–6,5. Mengetahui derajat keasaman media tanam (pH) sangat diperlukan sebelum dan sesudah menanam suatu tanaman. Karena derajat keasaman sangat menentukan ketersediaan nutrisi di dalam media yang akan dipergunakan oleh tanaman. Seringkali kondisi media tanam sesudah ditanam dan telah lama dibudidayakan mengalami kenaikkan atau penurunan pH yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman

Media tanam yang baik harus memiliki persyaratan-persyaratan berikut: - Tidak mengandung bibit hama dan penyakit dan bebas gulma

- Mampu menampung air, tetapi juga mampu membuang/mengalirkan kelebihan air

(25)

sekam pada media tanam campuran tanah dan pupuk kandang hanya meningkatkan diameter batang. Penggunaan media tanam untuk setek adenium cukup dengan campuran tanah dan pupuk kandang.

Bahan Setek

Adenium termasuk tanaman sukulen. Untuk menyeteknya tidak boleh langsung ditanam setelah dipotong. Potongan batang itu harus disimpan dulu ditempat yang teduh selama 10 hari atau 2 minggu, sampai bekas luka potongannya mengering. Hal ini untuk mencegah agar tidak busuk, dan setelah dipotong bekas luka pada batang yang akan disetek itu sebaiknya dioles dengan fungisida, seperti Dithane M-45 dan akan lebih baik lagi kalau diolesi pula dengan zat perangsang akar untuk merangsang keluarnya akar (Hasim, 1995).

Penelitian Hardjanti (2005) menghasilkan bahwa kemunculan tunas dari bahan setek yang berasal dari bagian pucuk dan tengah lebih cepat sekitar seminggu daripada setek yang berasal dari bagian pangkal (tidak berbeda nyata). Jumlah akar dari setek yang berasal dari pangkal dan tengah lebih banyak daripada setek yang berasal dari pucuk.

(26)

Setek dipotong dengan pisau yang tajam dekat daun sebab disitu berkumpul cadangan makanan yang terbanyak. Disitulah akan mudah terjadi akar. Sebelum setek ditanam, daun yang dibawah sekali dan daun diatasnya separuh dibuang supaya penguapan berkurang. Setek tanaman yang batangnya lunak karena banyak mengandung air harus dikeringkan sebelum ditanam untuk menjaga supaya tidak mudah menjadi busuk. Sebaiknya menanam setek dalam pot yang berisi pasir (Atjung, 1988).

Bahan tanam menentukan keberhasilan pertumbuhan tanaman yang diperbanyak dengan setek. Keberhasilan setek terbaik terdapat pada bahan setek yang ditiriskan hanya 8 jam. Sehingga dugaan adanya hambatan getah kemungkinannya hanya terjadi bila bahan setek ditanam langsung. Penirisan 10 hari hanya paling baik pada jumlah akar dan tunas, sedangkan kecepatan tumbuh dan panjang tunas, serta jumlah daun tertinggi pada setek yang ditiriskan 8 jam (Hardjanti, 2005).

Peranan daun dalam proses perakaran setek meranti putih juga penting karena daun berfungsi sebagai sumber bahan makanan, rhizokalin, auksin dan tempat terjadinya proses fotosintesis. Dari pengamatan yang dilakukan, setek yang menggugurkan daun, tidak memiliki perakaran walaupun masih dalam keadaan segar (Irwanto, 2001).

(27)

pucuk-pucuk cabang yang rajin berbunga. Panjang setek cukup 10-15 cm ± dipotong tepat dibawah tangkai daun. Ditempat ini biasanya banyak tersimpan banyak makanan. Dalam memilih cabang diusahakan jangan terlalu besar cukup dengan diameter 0,5 cm saja. Cabang yang telah dipotong, dibuang daun-daun yang bagian bawah dan disisakan dua lembar daun pada bagian pucuk. Dapat juga disisakan empat lembar daun asalkan daun-daun ini dibuang separuhnya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi penguapan pada daun, sedang daun yang disisakan diharapkan dapat melakukan pengolahan bahan makanan sehingga dapat mempercepat pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar dapat dipercepat dengan memberikan hormon pada pangkal setek. Cara pemberiannya adalah dengan mencelupkan setek pada cairan zat perangsang tumbuh setinggi 2 cm selama lebih kurang 1 menit. Kemudian setek ditanam dalam media, dengan terlebih dahulu membuat lubang tanam (Wudianto, 1999).

Auksin banyak dibentuk di jaringan meristem di dalam ujung-ujung tanaman seperti tunas, kuncup bunga, pucuk dan lain-lain. Juga ujung akar dapat membentuk auksin (Dwidjoseputro, 1980).

IBA (Indole Butyric Acid)

ZPT (zat pengatur tumbuh) diberi agar tanaman memacu pembentukan

fitohormon (hormon tumbuhan) yang sudah ada dalam tanaman atau menggantikan

fungsi dan peran hormon bila tanaman kurang dapat memproduksi hormon dengan

baik. Hormon yang berasal dari bahasa Yunani yaitu hormaein ini mempunyai arti:

merangsang, membangkitkan, atau mendorong timbulnya suatu aktivitas biokimia

(28)

tanaman yang bekerja aktif dalam jumlah sedikit, ditransportasikan ke seluruh

bagian tanaman sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan atau proses-proses

fisiologi tanaman (Heddy, 1996).

Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan kebagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis. Ketika semakin banyak hormon dicirikan dan efek serta konsentrasi endogennya dikaji, dua hal menjadi jelas. Yang pertama, setiap hormon mempengaruhi respon pada banyak bagian tumbuhan. Kedua, respon itu bergantung pada spesies, bagian tumbuhan, fase perkembangan, konsentrasi hormon, interaksi antar hormon yang diketahui, dan berbagai faktor lingkungan. Oleh karena itu adalah terlalu gegabah bila dikatakan bahwa efek hormon berlaku umum pada proses pertumbuhan dan perkembangan suatu organ atau jaringan tumbuhan tertentu. Jadi, konsep Sachs yang mengatakan bahwa jaringan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap zat kimia yang berbeda, memang dapat diterima (Salisbury dan Ross, 1995).

Selain auksin yang terjadi secara alami, banyak senyawa sintetik memiliki struktur kimia serupa dengan IAA, dan sangat aktif sebagai zat perangsang pertumbuhan. Zat-zat sintetik ini berbeda dengan auksin alami dalam hal sifatnya yang sangat beracun jika kelebihan sedikit saja dalam penggunaannya. Lebih lanjut diketahui ambang konsentrasi sebagai racun sangat bervariasi menurut jenis tumbuhan, jadi memungkinkan penggunaan zat-zat ini sebagai pemberantas gulma yang sangat efisien dan selektif (Loveless, 1999).

(29)

dan sering pula dengan satu atau lebih vitamin B yang sebenarnya tidak terlalu bermanfaat. Banyaknya kegagalan auksin ini berkaitan dengan penggunaan setek yang berasal dari tumbuhan dewasa. Ketika pohon atau tumbuhan semak masih dalam fase juwana (menjelang berbunga), setek batangnya lebih mudah berakar dengan adanya auksin, khususnya IBA (Salisbury dan Ross, 1995).

IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif dari pada IAA dan NAA. Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang perakaran, karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama. IAA biasanya mudah menyebar ke bagian lain serta menghambat perkembangan serta pertumbuhan tunas dan NAA dalam mempergunakannya harus benar-benar tahu konsentrasi yang tepat yang diperlukan oleh suatu jenis tanaman, bila tidak tepat akan memperkecil batas konsentrasi optimum perakaran (Wudianto, 1999).

Banyak penelitian menunjukkan pengaruh positif ZPT IBA pada perakaran misalnya 500 ppm IBA pada kemenyan (Danu, dkk, 2008), 100 ppm IBA pada meranti putih (Irwanto, 2001).

Akar lateral, seperti halnya kuncup lateral, juga dipengaruhi oleh auksin,

dan pemakaian zat-zat ini dari luar sangat mendorong pembentukan akar lateral.

Penggunaan praktis yang sangat penting adalah dalam menggalakkan pembentukan

akar pada perbanyakan tanaman dengan setek. Pada kenyataannya penggunaan ini

merupakan yang pertama dari banyak kegunaan auksin secara komersial

(Loveless, 1999).

Tujuan memperlakukan setek dengan zat pengatur tumbuh tipe auksin

(30)

2. Mempercepat pembentukan akar

3. Meningkatkan jumlah dan kualitas akar yang terbentuk

4. Meningkatkan keseragaman perakaran

(Hartmann, et al, 2002).

Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Setek Pucuk

Hartmann, et al (2002) menyatakan faktor intern yang paling penting dalam mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk pada stek adalah faktor genetik. Jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan regenerasi akar dan pucuk yang berbeda pula. Untuk menunjang keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara stek, tanaman sumber seharusnya mempunyai sifat-sifat unggul serta tidak terserang hama dan/atau penyakit. Selain itu, manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi. Kondisi lingkungan dan status fisiologi yang penting bagi tanaman sumber diantaranya adalah:

1. Status air. Stek lebih baik diambil pada pagi hari dimana bahan stek dalam

kondisi turgid.

2. Temperatur. Tanaman stek lebih baik ditumbuhkan pada suhu 12°C hingga

27°C.

3. Cahaya. Durasi dan intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman sumber

(31)

4. Kandungan karbohidrat. Untuk meningkatkan kandungan karbohidrat bahan

stek yang masih ada pada tanaman sumber bisa dilakukan pengeratan untuk menghalangi translokasi karbohidrat. Pengeratan juga berfungsi menghalangi translokasi hormon dan substansi lain yang mungkin penting untuk pengakaran, sehingga terjadi akumulasi zat-zat tersebut pada bahan stek. Karbohidrat digunakan dalam pengakaran untuk membangun kompleks makromolekul, elemen struktural dan sebagai sumber energi. Walaupun kandungan karbohidrat bahan stek tinggi, tetapi jika rasio C/N rendah maka inisiasi akar juga akan terhambat karena unsur N berkorelasi negatif dengan pengakaran stek.

Tidak semua jenis tanaman dapat dibiakkan dengan setek. Keberhasilan dengan setek bergantung pada kesanggupan jenis tersebut untuk berakar. Ada jenis yang mudah berakar dan ada yang sulit. Kandungan lignin yang tinggi dan kehadiran cincin sklerenkim yang kontinyu merupakan penghambat anatomi pada jenis-jenis sulit berakar, dengan cara menghalangi tempat munculnya akar adventif (Kramer, 1960 dalam Huik 2004).

Persediaan bahan makanan sering dinyatakan dengan perbandingan antara persediaan karbohidrat dan nitrogen (C/N ratio). Ratio C/N yang tinggi sangat diperlukan untuk pembentukan akar setek yang diambil dari tanaman dengan C/N ratio yang tinggi akan berakar lebih cepat dan banyak dari pada tanaman dengan C/N ratio rendah (Haber, 1957 dalam Huik, 2004).

(32)
(33)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia, dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai Mei 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah setek pucuk adenium, topsoil tanah andisol, sekam bakar dan pasir, IBA (Indole Butyric Acid), polibek ukuran 2 kg, fungisida Dithane M-45, insektisida Sevin dan air.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, meteran, jangka sorong, pisau, handsprayer, kalkulator, penggaris, gelas ukur, spidol, label penelitian, ember, gunting, tali plastik dan alat tulis.

Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor perlakuan yaitu:

Faktor I : Cara penyayatan batang dengan 4 taraf yaitu: P1 : 0,25 diameter

(34)

Faktor II : Penggunaan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dengan 3 taraf yaitu:

K0 : 0 ppm K1 : 100 ppm K2 : 200 ppm Sehingga diperoleh 12 kombinasi yaitu:

P1K0 P1K1 P1K2 P2K0 P2K1 P2K2 P3K0 P3K1 P3K2 P4K0 P4K1 P4K2

Jumlah ulangan : 3

Jumlah plot : 36 plot

Ukuran plot : 100 cm x 20 cm

Jumlah tanaman/plot : 5 tanaman/plot Jumlah seluruh tanaman : 180 tanaman Jumlah tanaman sampel/plot : 4 tanaman Jumlah seluruh sampel : 144 tanaman Jarak antar polibag : 5 cm

Jarak antar blok : 50 cm

Denah penelitian dilampirkan pada Lampiran1.

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut:

(35)

Yijk = Hasil pengamatan dari unit percobaan dalam blok ke-i dengan

konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) (K) pada taraf ke-j dan dalamnya penyayatan batang (P) pada taraf ke-k.

µ = Nilai tengah

ρi = Efek blok ke-i

αj = Efek dalamnya penyayatan batang pada taraf ke-j.

βk = Efek konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) pada taraf ke-k

(αβ)jk = Interaksi dalamnya penyayatan batang pada taraf ke-j dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) pada taraf ke-k.

εijk = Efek galat pada blok ke-i yang mendapat perlakuan dalamnya penyayatan batang pada taraf ke-j dan konsentrasi IBA (Indole Butyric

Acid) pada taraf ke-k.

Jika data yang dianalisis dengan sidik ragam berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncant dengan taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian Penyiapan Lahan

Areal pertanaman yang akan digunakan, dibersihkan dari gulma yang tumbuh pada areal tersebut. Kemudian dibuat petak ulangan dengan ukuran 100 cm x 240 cm sebanyak 3 ulangan, dengan jarak antar ulangan 50 cm. Dibuat naungan massal dengan menggunakan plastik transparan untuk menghindari kelebihan air (hujan) dengan ukuran 5 x 3 x 1,5 m.

Penyiapan Media Tanam

(36)

sebanyak 0,25% dari berat media tanam, kemudian dimasukkan ke dalam polibek sesuai dengan jumlah populasi perlakuan masing-masing.

Penyiapan Bahan Tanaman

Bahan tanaman berasal dari tanaman yang berumur lebih dari 1 tahun dengan warna bunga merah jambu. Setek pucuk dengan panjang 12 cm, berdiameter 0,5-1,5 cm, yang dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan diameter dan masing-masing kelompok ditempatkan untuk tiap ulangan.

Penyayatan Batang

Batang disayat menggunakan pisau dengan kedalaman yang telah ditetapkan sesuai dengan perlakuan masing-masing, dibiarkan selama 14 hari di tempat teduh. Untuk peneyetekan 0,75, pucuk ditopang dengan bambu.

Aplikasi IBA (Indole Butyric Acid)

Setelah 2 minggu, setek pucuk dipotong mengikuti arah sayatan batang, daun pada pucuk disisakan hanya 2 helai. Perendaman pangkal setek sedalam 2 cm dilakukan sesuai dengan perlakuan konsentrasi IBA selama 2 menit. Setelah itu dikeringanginkan kemudian ditanam ke polibek.

Penanaman Setek

(37)

Pemeliharaan Penyiraman

Penyiraman diberikan jika media terlalu kering dengan menggunakan handsprayer, jika kelembaban media masih cukup, penyiraman tidak perlu dilakukan.

Penyiangan

Untuk menghindari persaingan antara gulma dengan tanaman maka dilakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan secara manual di dalam dan di luar polibek.

Pengamatan Parameter

Persentase Setek Hidup (%)

Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah setek yang hidup sampai akhir penelitian.

Jumlah Akar Primer

Penghitungan jumlah akar dilakukan pada akhir penelitian dengan menghitung jumlah seluruh akar primer yang terdapat pada satu setek tanaman pada dua sampel destruksi.

Panjang Akar Primer (cm)

Penghitungan panjang akar dilakukan pada akhir penelitian yaitu dengan mengukur panjang akar primer pada dua sampel destruksi, setelah itu dihitung rata-ratanya.

Pertambahan Panjang Tunas (mm)

(38)

menggunakan penggaris dikurangi panjang setek sebelumnya. Pengukuran dilakukan dengan interval 2 minggu sekali.

Pertambahan Jumlah Daun (helai)

Penghitungan jumlah daun terbentuk dilakukan dengan menghitung berapa jumlah daun yang baru terbentuk pada setiap setek dengan interval 2 minggu sekali yaitu dengan menghitung daun yang telah memiliki panjang 1,5 cm.

Jumlah Tunas Adventif (Samping)

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Perlakuan penyayatan berpengaruh nyata pada pertambahan jumlah daun pada umur 8, 10 dan 12 MST, pertambahan panjang tunas pada umur 12 MST, jumlah akar, panjang akar, persentase setek hidup dan berpengaruh tidak nyata pada jumlah tunas adventif.

Perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh nyata pada panjang akar, jumlah akar dan berpengaruh tidak nyata pada pertambahan jumlah daun, pertambahan panjang tunas, persentase setek hidup, dan jumlah tunas adventif.

Tidak terdapat interaksi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole

Butyric Acid) terhadap semua parameter.

Persentase Setek Hidup (%)

(40)

Tabel 1. Persentase setek hidup (%) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 93,33 100,00 86,67 66,67 86,67 K1 = 100 80,00 100,00 93,33 46,67 80,00 K2 = 200 86,67 100,00 100,00 40,00 81,67

Rataan 86,67 ab 100,00 a 93,33 a 51,11 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Perlakuan penyayatan menghasilkan persentase setek hidup tertinggi pada taraf perlakuan P2 yaitu 100% dan menurun secara tidak nyata pada taraf perlakuan P3 dan P1, dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan P4 yaitu 51,11% yang hanya berbeda nyata dengan P2 dan P3. Selanjutnya dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata, perlakuan konsentrasi IBA pada K0 menghasilkan persentase setek hidup tertinggi yaitu 86,67%, menurun pada K2 dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K1 yaitu 80,00%. Terlihat bahwa pemberian IBA agak menurunkan persentase setek hidup.

Grafik hubungan persentase setek hidup (%) dengan penyayatan batang dapat dilihat pada Gambar 1.

= 41,667 + 232,44x - 222,22x2

Gambar 1. Hubungan persentase setek hidup (%) dengan penyayatan batang

(41)

Gambar 1 menunjukkan bahwa pengaruh penyayatan batang terhadap persentase setek hidup membentuk hubungan yang bersifat kuadratik positif, dengan persamaan ŷ = 41,667 + 232,44x – 222,22x2, maksimum 100% pada penyayatan 0,52 diameter (sekitar 0,5 diameter).

Jumlah Akar Primer

Hasil pengamatan jumlah akar primer tidaklah banyak, hanya berkisar antara 1-8, namun sebagian akar primer mempunyai akar sekunder, bahkan sudah ada yang mempunyai akar tersier. Data pengamatan jumlah akar primer umur 12 MST dapat dilihat pada Lampiran 4 dan sidik ragam pada Lampiran 5. Dari sidik ragam dapat dilihat perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric

Acid) berpengaruh nyata terhadap jumlah akar primer pada umur 12 MST dan tidak

ada interaksi nyata antara perlakuan penyayatan dengan konsentrasi IBA (Indole

Butyric Acid). Jumlah akar primer umur 12 MST dari kombinasi perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah akar primer umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 1,50 3,00 1,67 1,50 1,92 b

K1 = 100 2,17 3,50 3,83 1,67 2,79 a

K2 = 200 2,83 3,00 3,67 1,17 2,67 a

Rataan 2,17 b 3,17 a 3,06 a 1,45 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

(42)

K1 menghasilkan jumlah akar primer terbanyak yaitu 2,79, menurun pada K2 yang berbeda tidak nyata dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 1,92 yang berbeda nyata dengan K1 dan K2. Diperoleh pemberian IBA nyata meningkatkan jumlah akar primer.

Grafik hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan penyayatan batang dapat dilihat pada Gambar 2.

= -0,2361 + 12,144x - 10,444x2

Gambar 2. Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan penyayatan batang

Gambar 2 menunjukkan bahwa pengaruh penyayatan batang terhadap jumlah akar primer membentuk hubungan yang bersifat kuadratik positif, dengan persamaan ŷ = -0,2361 + 12,14x – 10,444x2, terbanyak 3,29 pada penyayatan 0,58 (sekitar 0,5 diameter).

Grafik hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dapat dilihat pada Gambar 3.

(43)

= 2,0833 + 0,0037x

Gambar 3. Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

Gambar 3 menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi IBA (Indole Butyric

Acid) terhadap jumlah akar primer membentuk hubungan yang bersifat linier

positif, dengan persamaan ŷ= 2,0833 + 0,0037x. Diperoleh peningkatan konsentrasi IBA hingga 200 ppm masih meningkatkan jumlah akar primer.

Panjang Akar Primer

Data pengamatan panjang akar primer umur 12 MST dapat dilihat pada Lampiran 6 dan sidik ragam pada Lampiran 7. Dari sidik ragam dapat dilihat perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) berpengaruh nyata terhadap panjang akar primer pada umur 12 MST dan tidak ada interaksi nyata antara perlakuan penyayatan dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid). Panjang akar primer umur 12 MST dari kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.

ŷ

(44)

Tabel 3. Panjang akar primer (cm) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 7,05 14,60 14,73 11,88 12,07 b

K1 = 100 15,55 53,57 42,97 11,80 30,97 a

K2 = 200 22,17 34,98 54,08 4,25 28,87 a

Rataan 14,92 b 34,38 a 37,26 a 9,31 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%..

Perlakuan penyayatan menghasilkan akar primer terpanjang pada taraf perlakuan P3 yaitu 37,26 cm dan menurun secara tidak nyata pada taraf perlakuan P2 dan keduanya berbeda nyata dengan P1 dan P4 (9,31 cm), sedangkan antara P1 dan P4 berbeda tidak nyata. Selanjutnya dapat dilihat perlakuan konsentrasi IBA pada K1 menghasilkan akar primer terpanjang yaitu 30,97 cm, menurun pada K2 yang berbeda tidak nyata dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 12,07 cm yang berbeda nyata dengan K1 dan K2.

Grafik hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan penyayatan batang dapat dilihat pada Gambar 4.

= - 31,806 + 231,47x - 189,64x2

Gambar 4. Hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan penyayatan batang

(45)

Gambar 4 menunjukkan bahwa pengaruh penyayatan batang terhadap panjang akar primer membentuk hubungan yang bersifat kuadratik positif, dengan persamaan ŷ= -31,806 + 231,47x – 189,64x2, terpanjang 38,82 cm pada penyayatan 0,61 diameter (sekitar 0,5 dan 0,75 diameter).

Grafik hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dapat dilihat pada Gambar 5.

= 12,067 + 0,2941x - 0,0011x2

Gambar 5. Hubungan panjang akar primer (cm) umur 12 MST dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

Gambar 5 menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi IBA (Indole Butyric

Acid) terhadap panjang primer membentuk hubungan yang bersifat kuadratik

positif, dengan persamaan ŷ= 12,067 + 0,2941x - 0,0011x2, terpanjang 31,72 pada konsentrasi 133,68 ppm IBA.

Pertambahan Panjang Tunas (mm)

Dari data pengamatan pertambahan panjang tunas (mm) pada Lampiran 8, 11, 14, 17 dan 20, dan analisa sidik ragam pada Lampiran 10, 13, 16, 19 dan 22, pengaruh perlakuan baru mulai nyata pada minggu ke 8. Perlakuan penyayatan

(46)

berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang tunas pada umur 8, 10 dan 12 MST sedangkan perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) tidak berpengaruh nyata dan tidak ada interaksi nyata antara penyayatan batang dan IBA (Indole Butyric Acid). Pertambahan panjang tunas umur 8, 10 dan 12 MST dari kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4, 5, 6.

Tabel 4. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 8 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 1,83 6,17 3,33 0,78 3,03

K1 = 100 1,5 5,33 5,67 3,17 3,92

K2 = 200 4,5 5,83 5,00 3,17 4,62

Rataan 2,61 b 5,78 a 4,67 a 2,37 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Tabel 5. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 10 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 4,00 6,50 6,00 2,89 4,85

K1 = 100 3,83 7,67 7,67 1,00 5,04

K2 = 200 5,17 5,50 5,17 3,67 4,88

Rataan 4,33 ab 6,56 a 6,28 a 2,52 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Tabel 6. Pertambahan panjang tunas (mm) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 4,67 7,00 5,50 2,67 4,96

K1 = 100 4,33 8,83 7,50 3,17 5,96

K2 = 200 6,17 7,00 7,00 4,00 6,04

Rataan 5,06 ab 7,61 a 6,67 a 3,28 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

(47)

antara P1 dan P4 berbeda tidak nyata. Selanjutnya dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata perlakuan konsentrasi IBA pada K2 menghasilkan pertambahan panjang tunas tertinggi yaitu 4,62 mm, menurun pada K1 dan terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 3,03 mm. Terlihat pemberian IBA (Indole Butyric Acid) meningkatkan pertambahan panjang tunas. Dari Tabel 5 dan 6 diperoleh perlakuan penyayatan menghasilkan pertambahan panjang tunas tertinggi pada perlakuan P2 yaitu masing-masing 6,56 mm dan 7,61 mm dan menurun berturut-turut pada taraf perlakuan P3 dan P1 yang berbeda tidak nyata satusama lain, P4 adalah yang terendah (masing-masing 2,52 mm dan 3,28 mm), yang hanya berbeda nyata dengan P2 dan P3. Selanjutnya dari Tabel 5 dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata, perlakuan konsentrasi IBA pada K1 menghasilkan pertambahan panjang tunas tertinggi yaitu 5,04 mm menurun pada K2 dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 4,85 mm. Dari Tabel 6 dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata, perlakuan konsentrasi IBA pada K2 menghasilkan pertambahan panjang tunas tertinggi yaitu 6,04 mm menurun pada K1 dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 4,96 mm. Terlihat pemberian IBA (Indole

Butyric Acid) meningkatkan pertambahan panjang tunas.

(48)

12 M ST = 1,047 + 6,453x - 5,7435x2

Gambar 6. Hubungan pertambahan panjang tunas umur 10 dan 12 MST dengan penyayatan batang

Gambar 6 menunjukkan bahwa pengaruh penyayatan batang terhadap pertambahan panjang tunas membentuk hubungan yang bersifat kuadratik positif, pada 8 MST dengan persamaan ŷ= 0,2435 + 7,238x – 5,9549x2 terpanjang 2,44 mm (setelah retransformasi = 5,45 mm) pada penyayatan 0,61 diameter, pada 10 MST dengan persamaan ŷ = 0,8953 + 6,4261x – 5,737x2 terpanjang 2,69 mm (setelah retransformasi = 6,74 mm) pada penyayatan 0,56 diameter dan pada 12 MST ŷ= 1,047 + 6,453x – 5,7435x2 terpanjang 2,86 mm (setelah retransformasi = 7,68 mm) pada penyayatan 0,61 diameter, ketiganya terdapat pada penyayatan 0,56-0,61 diameter (sekitar 0,5 dan 0,75 diameter).

Pertambahan Jumlah Daun (helai)

Dari data pengamatan pertambahan jumlah daun (helai) pada Lampiran 23, 26, 29, 32 dan 35 dan analisa sidik ragam pada Lampiran 25, 28, 31, 34 dan 37, pengaruh perlakuan baru mulai nyata pada minggu ke 8. Perlakuan penyayatan berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada umur 8 MST, 10 MST dan 12 MST, sedangkan perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) dan

ŷ

(49)

interaksi antara penyayatan batang dan IBA (Indole Butyric Acid) tidak berpengaruh nyata. Pertambahan jumlah daun umur 8, 10 dan 12 MST dari kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 8 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 0,75 3,08 1,67 0,56 1,52

K1 = 100 0,75 2,67 2,83 1,58 1,96

K2 = 200 1,92 2,92 2,50 1,58 2,23

Rataan 1,14 b 2,89 a 2,33 a 1,24 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Tabel 8. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 10 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 2,00 3,25 3,00 1,44 2,42

K1 = 100 1,92 4,00 3,92 0,50 2,59

K2 = 200 2,58 2,75 2,58 1,83 2,44

Rataan 2,17 ab 3,33 a 3,17 a 1,26 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Tabel 9. Pertambahan jumlah daun (helai) umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

ZPT IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 2,33 3,42 2,75 1,25 2,44

K1 = 100 2,17 4,08 4,17 1,58 3,00

K2 = 200 2,83 3,42 3,42 2,00 2,92

Rataan 2,44 ab 3,64 a 3,45 a 1,61 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

(50)

pada taraf perlakuan P1 yaitu 1,14 helai yang berbeda nyata dengan P2 dan P3. Selanjutnya dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata perlakuan konsentrasi IBA pada taraf perlakuan K2 menghasilkan pertambahan jumlah daun tertinggi yaitu 2,23 helai, menurun pada K1 dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu 1,52 helai. Terlihat IBA (Indole Butyric Acid) meningkatkan pertambahan jumlah daun. Dari Tabel 8 dan 9 diperoleh perlakuan penyayatan menghasilkan pertambahan jumlah daun tertinggi terdapat pada taraf perlakuan P2 yaitu masing-masing 3,33 helai dan 3,64 helai, menurun berturut-turut pada taraf perlakuan P3 dan P1 yang berbeda tidak nyata satu sama lain, P4 adalah yang terendah (masing-masing 1,26 mm dan 1,61 mm), yang hanya berbeda nyata dengan P2 dan P3. Selanjutnya dapat dilihat walaupun berbeda tidak nyata perlakuan konsentrasi IBA pada taraf perlakuan K1 menghasilkan pertambahan jumlah daun tertinggi yaitu masing-masing 2,59 helai dan 3,00 helai menurun pada K2 dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K0 yaitu masing-masing 2,42 helai dan 2,44 helai. Terlihat IBA (Indole Butyric Acid) meningkatkan pertambahan jumlah daun.

(51)

12 M ST = 0,8087 + 4,4037x - 3,8499x2

Gambar 7. Hubungan pertambahan jumlah daun (helai) umur 8, 10 dan 12 MST dengan penyayatan batang

Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh penyayatan batang terhadap pertambahan jumlah daun membentuk hubungan yang bersifat kuadratik positif, pada 8 MST dengan persamaan ŷ= 0,2753 + 4,9145x – 3,9634x2 terbanyak 1,80 helai (setelah retransformasi = 2,74 helai) pada penyayatan 0,62 diameter, pada 10 MST ŷ= 0,7609 + 4,3245x – 3,8427x2 terbanyak 1,98 helai (setelah retransformasi

= 3,42 helai) pada penyayatan 0,56 diameter, pada 12 MST

ŷ= 0,8087 + 4,4037x – 3,8499x2 terbanyak 2,99 helai (setelah retransformasi = 8,44 helai) pada penyayatan 0,57 diameter, ketiganya terdapat pada penyayatan 0,56-0,62 (sekitar 0,5 dan 0,75 diameter).

Jumlah Tunas Adventif (Samping)

Hasil pengamatan di lampiran terlihat bahwa yang membentuk tunas samping hanya sedikit (3,35%) dari yang hidup. Data pengamatan jumlah tunas adventif dapat dilihat pada Lampiran 38 dan sidik ragam pada Lampiran 40. Dari

ŷ

ŷ

(52)

Acid) serta interaksi antara perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole

Butyric Acid) tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas adventif 12 MST.

Jumlah tunas adventif umur 12 MST dari kombinasi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah tunas adventif umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

IBA (ppm) Penyayatan (diameter) Rataan

P1 = 0,25 P2 = 0,5 P3 = 0,75 P4 = 1

K0 = 0 0,00 0,08 0,11 0,00 0,05

K1 = 100 0,11 0,00 0,00 0,00 0,03

K2 = 200 0,00 0,00 0,17 0,00 0,04

Rataan 0,04 0,03 0,09 0,00

Perlakuan penyayatan menghasilkan jumlah tunas adventif terbanyak pada perlakuan P3 yaitu 0,09 dan menurun diikuti oleh taraf perlakuan P1 dan P2, dan yang terendah terdapat pada perlakuan P4 yaitu 0,00. Selanjutnya dapat dilihat perlakuan IBA (Indole Butyric Acid) pada K0 menghasilkan jumlah tunas adventif terbanyak yaitu 0,05, dan yang terendah terdapat pada taraf perlakuan K1 yaitu 0,03. Terlihat konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) sedikit menurunkan jumlah tunas adventif.

Pembahasan

Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium obesum) Dengan Penyayatan Batang

(53)

fitohormon dan ZPT. Adenium tidak menyukai keadaan terlalu lembab. Kelembaban media yang terlalu tinggi akan menyebabkan pembusukan pada bagian bahan setek yang berada didalam tanah. Perakaran akan tumbuh dengan baik jika lingkungan sesuai dan tidak ada faktor penghambat.

Dari data yang diperoleh, penyayatan 0,5 diameter (P2) unggul dengan persentase hidup 100%. Pada penyayatan batang 0,75 diameter (P3) dan 0,5 diameter (P2), getah pada bekas sayatan sudah mengering karena dibiarkan selama 14 hari di tempat teduh. Namun pada penyatan 0,25 diameter (P1), kandungan getah masih cukup banyak sehingga menghambat keluarnya akar. Sedangkan pada penyayatan 1 diameter (P4), getah memang sudah mengering namun pucuk ini sudah terisolasi dari tanaman induknya selama 14 hari sehingga tidak lagi memperoleh asupan hara dan air selama masa pendiaman sebelum ditanam ke polibek. Pada keadaan ini kebanyakan daun pada setek juga sudah gugur. Hardjanti (2005) melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa bahan setek batang adenium yang telah diisolasi dari tanaman induknya harus ditiriskan terlebih dahulu sebelum ditanam dan diperoleh juga bahwa penirisan 10 hari adalah yang paling baik untuk parameter jumlah akar dan tunas.

(54)

0,75diameter (P3), namun pengangkutan makanan dari pucuk ke bawah juga lebih banyak, sehingga cadangan makanan yang ada pada setek juga akan lebih sedikit, sedangkan penyayatan 1 diameter (P4), tidak lagi memperoleh asupan air dari bawah sehingga bagian pucuk akan kekurangan air dan daun akan gugur walaupun pengangkutan makanan dari pucuk ke bawah terputus. Maka pengangkutan air dan makanan yang seimbang terdapat pada penyayatan 0,5 diameter (P2). Cadangan makanan yang tertimbun sangat penting selama setek belum mempunyai akar.

Dari data yang diperoleh, penyayatan 0,5 diameter (P2) unggul dengan jumlah akar primer 3,17. Pada penyayatan 1 diameter (P4), dimasa pendiaman 14 hari, daun awal pada bahan setek kebanyakan gugur oleh karena minimnya kandungan air yang dimiliki bahan setek karena sudah terisolasi dari tanaman induknya maka terjadi pengguguran daun untuk mengurangi penguapan itu. Sehingga bahan setek yang berasal dari penyayatan 1 diameter (P4), kebanyakan ditanam dengan hanya memiliki 1 daun. Penguapan memang akan berkurang, namun bahan setek juga mengalami krisis makanan karena 2 daun awal yang sengaja disisakan untuk diharapkan dapat berfotosintesis dan sumber auksin telah berkurang. Irwanto (2001) dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian setek meranti putih menyimpulkan bahwa setek yang menggugurkan daun, tidak memiliki perakaran walaupun masih dalam keadaan segar.

(55)

diameter (P2) berbeda nyata bila dibandingkan dengan 0,25 diameter (P1) dan 1 diameter (P4) hal ini dikarenkan penyayatan 0,75 diameter (P3) dan 0,5 diameter (P2) mempunyai kondisi yang relatif seimbang dalam hal toleransi hambatan getah dan tersedianya cadangan makanan dan jumlah air juga masih cukup. Hartmann, et al (2002) menyatakan pengeratan berfungsi menghalangi translokasi hormon dan substansi lain yang mungkin penting untuk pengakaran sehingga terakumulasi pada bahan stek, dalam hal ini salah satunya adalah karbohidrat yang digunakan dalam pengakaran untuk membangun kompleks makromolekul, elemen struktural dan sebagai sumber energi.

Faktor yang turut menentukan keberhasilan dari perbanyakan setek adalah

faktor genetik. Selain itu faktor lain yang juga menentukan adalah lingkungan dan

keadaan fisiologis bahan setek. Dari data yang diperoleh, penyayatan 0,5 diameter (P2) unggul dengan pertambahan panjang tunas di akhir penelitian sebesar 10,86 mm. Hal ini dipengaruhi oleh kerja akar, telah disebutkan diatas pada akhir

penelitian yakni 12 minggu pengamatan, jumlah akar primer yang terbanyak juga

terdapat pada penyayatan 0,5 diameter (P2) maka dapat dikatakan pertumbuhan

(56)

penting diantaranya adalah status air, temperatur, cahaya dan kandungan karbohidrat.

Dari data pertambahan jumlah daun yang diperoleh, penyayatan 0,5 diameter (P2) unggul hingga akhir penelitian, dengan pertambahn jumlah daun pada pengamatan akhir sebesar 3,64 helai. Hal ini dipicu oleh tersedianya kebutuhan adenium sehingga pertumbuhannya jauh lebih baik dinbandingkan dengan penyayatan lain. Setelah terbentuknya akar, maka daun-daun baru akan muncul karena kebutuhan hara dan air tanaman sudah terpenuhi oleh kerja akar dan tanaman akan mampu membentuk fitohormon.

Pengaruh penyayatan tidak signifikan terhadap jumlah tunas adventif karena jumlah tunas adventif ini lebih dipengaruhi oleh sifat genetis dari tanaman induk dan juga karena kecenderungan dari bahan setek yang berasal dari setek pucuk adalah melanjutkan pertumbuhan dari tunas pucuknya.

Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium obesum) Dengan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid)

(57)

stabil dan daya kerjanya lebih lama. Banyak penelitian menunjukkan pengaruh positif IBA pada perakaran misalnya 500 ppm IBA pada kemenyan (Danu, dkk, 2008), 100 ppm IBA pada meranti putih (Irwanto, 2001). Loveless (1999)

menyatakan akar lateral, seperti halnya kuncup lateral, juga dipengaruhi oleh

auksin, dan pemakaian zat-zat ini dari luar sangat mendorong pembentukan akar

lateral.

Dari penelitian ini diperoleh panjang akar dengan perlakuan konsentrasi IBA 100 ppm dan 200 ppm tidak berbeda nyata namun keduanya berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi IBA 0 ppm, konsentrasi IBA optimum untuk panjang akar adenium diperoleh 133,68 ppm. Auksin banyak dibentuk di jaringan meristem di dalam ujung-ujung tanaman seperti tunas, kuncup bunga, pucuk dan lain-lain. ZPT (zat pengatur tumbuh) diberi untuk menggantikan peran hormon bila tanaman kurang dapat memproduksi hormon dengan baik. Berdasarkan konsep Sachs yang mengatakan bahwa jaringan yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap zat kimia yang berbeda maka konsentrasi optimum untuk setiap tanaman juga berbeda-beda. Hartmann, et al (2002) menyatakan tujuan memperlakukan setek dengan zat pengatur tumbuh tipe auksin adalah

meningkatkan persentase setek berakar, mempercepat pembentukan akar,

meningkatkan jumlah dan kualitas akar yang terbentuk dan meningkatkan

keseragaman perakaran.

(58)

parameter yang lain terbentuk belakangan, sehingga pengaruh IBA yang dimulai pada akar, baru kemudian terlihat pada parameter yang lain.

Pertumbuhan Setek Pucuk Adenium (Adenium obesum) Dengan Interaksi Penyayatan Batang dan Pemberian IBA (Indole Butyric Acid)

(59)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penyayatan dengan kedalaman sayatan yang berbeda, nyata menghasilkan perbedaan pertumbuhan, dengan penyayatan 0,5 diameter menghasilkan persentase hidup tertinggi yaitu 100%, jumlah akar primer terbanyak yatu 3,17, pertambahan panjang tunas tertinggi yaitu 7,61 mm dan pertambahan jumlah daun terbanyak yaitu 3,64 helai. Penyayatan dengan kedalaman 0,75 diameter menghasilkan akar terpanjang yaitu 37,26 cm.

Pemberian IBA (Indole Butyric Acid), nyata meningkatkan jumlah akar primer dengan jumlah akar tertinggi 2,79, peningkatan panjang akar primer dengan akar terpanjang 30,97 cm. Pemberian IBA terbaik dari pengamatan parameter terdapat pada 133,68 ppm.

Secara umum perlakuan terbaik kombinasi antara penyayatan batang dan IBA (Indole Butyric Acid) terdapat pada perlakuan penyayatan batang sekitar 0,5 diameter dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid) sekitar 100 ppm.

Saran

(60)

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI. Press. Jakarta.

Atjung. 1988. Tanaman Hias-Memelihara, Menanam dan Gunanya. CV Yasaguna. Jakarta. Halaman 9-10.

Danu, K.P. Putri, dan A.Z. Abidin. 2008. Pertumbuhan Setek Pucuk Kemenyan dengan Penambahan Zat Pengatur Tumbuh. Balai Penelitian Perbenihan. Bogor. Info Benih Vol. 12 No. 2: 117-124.

Dwidjoseputro, D.D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta. Halaman 184-185.

Hardjanti, S. 2005. Pertumbuhan Setek Adenium Melalui Penganginan, Asal Bahan Setek, Penggunaan Pupuk Daun dan Komposisi Media. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Agrosains 7(2): 108-114.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Geneve. 2002. Plant Propagation Principles and Practices. 6th ed. Prentice Hall, Engelwood Cliffs. New Jersey. Pp 302-355.

Hasim, I. 1995. Aneka Permasalahan Tanaman Hias dan Pemecahannya. Penebar Swadaya. Jakarta. Halaman 108.

Heddy, S. 1996. Hormon Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Halaman 61-65.

Adenium. Diakses tanggal 9 November 2009. 16 halaman.

http://adenium.blogsome.com. 2006. Perbanyakan Adenium dengan Cara Grafting. Diakses tanggal 9 November 2009. 8 halaman.

2009. 5 halaman.

Grafting Adenium. Diakses tanggal 9 November 2009. 4 halaman.

________________________ 2008b. Tips dan Trik Lebatkan Bunga Adenium. Diakses tanggal 9 November 2009. 5 halaman.

(61)

Huik, E.M. 2004. Penelitian Pengaruh Rootone F dan Ukuran Diameter Setek Batang Jati (Tectona grandis L.F). Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura. Ambon. Halaman 19-21.

Irwanto. 2001. Pengaruh Hormon IBA (Indole Butyric Acid) Terhadap Persen Jadi Setek Pucuk Meranti Putih (Shorea montigena). Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura. Ambon. Halaman 18-21.

Loveless, A.R. 1999. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. PT Gramedia. Jakarta. Halaman 367-368.

Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Terjemahan Diah, R., Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. Halaman 33-45.

Suryowinoto, S.M. 1997. Flora Eksotika, Tanaman Hias Berbunga. Kanisius. Yogyakarta. Halaman 13-14.

Widiarsih, S., Minarsih, Dzurrahmah, B. Wirawan, N.B. Suwarno. 2008. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif. Diakses tanggal 9 November 2009. 14 halaman.

Wudianto, R. 1999. Membuat Setek, Cangkok dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Halaman 69-70.

2009. 4 halaman.

(62)

Gambar

Gambar 1. Hubungan persentase setek hidup (%) dengan penyayatan batang
Tabel 2.  Jumlah akar primer umur 12 MST pada kombinasi perlakuan penyayatan dan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)
Gambar 2.  Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan penyayatan batang
Gambar 3.  Hubungan jumlah akar primer umur 12 MST dengan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Model yang dikembangkan pada struktur produk family disusun berdasarkan daftar komponen dari setiap varian produk dan urutan perakitan dalam bentuk precedence

Penelitian ini berupaya memotret sebuah fenomena peran divisi kepatuhan dalam pembiayaan mudharabah Bank Syariah “X” dan mengungkap adanya sikap-sikap konvensional yang

Pelatihan bagi fasilitator PUSPAGA sebagai 2P dalam Pencegahan Perkawinan Anak Jumlah Kecamatan/ Desa/Kelurahan yang memiliki fasilitator PUSPAGA 2P Pencegahan Perkawinan Anak

(Kalau Gus Jalil sering bicara ke kita atau para santri biar anak-anak itu kompak, bisa saling kenal bahkan bisa menjaga antar santri kalau ada masalah. Ini sudah dicontohkan sama

Berdasarkan data yang dikumpulkan peneliti di lapangan dan analisis yang telah dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab perumusan masalah

Adapun hambatan-hambatan dan upaya yang dilakukan dalam penerapan pendidikan antikorupsi menurut I Putu Hedi Sasrawan adalah: 1) Penegakan hukum yang tidak konsisten dan

Ketidakkonsistenan dari hasil beberapa penelitian terdahulu memberikan motivasi untuk meneliti kembali “pengaruh struktur modal, growth, profitabilitas dan risiko

Alamat Jalan Kertanegara Nomor 37 telp.. Wira