• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS SERAT DARI LIMBAH BATANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKU PAPAN SERAT

SKRIPSI

Oleh :

Rizki Syahputra Hasibuan 051203007

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat

Nama : Rizki Syahputra Hasibuan

Nim : 051203007

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Arif Nuryawan, S. Hut, M. Si Irawati Azhar, S. Hut, M. Si Ketua Anggota

Mengetahui,

A.n Ketua Departemen Kehutanan Sekretaris,

(3)

Rizki Syahputra Hasibuan, Fibre Quality of Waste Oil Palm Trunk Board

Fibre Raw Material under the guidance of Arif Nuryawan and Irawati Azhar

ABSTRACT

Composite products can be used as a wood substitute material with huge potential. Products made of composite materials berlignoselulosa, developed for the diversification of forest products also improve the properties of wood. This study used waste oil palm trunks were used as raw materials for fiberboard. The research method adopted from CTMP (Chemical Thermo-Mechanical pulping) with simpler equipment. Waste oil palm trunks can be used as raw material in the form of pulp, fiberboard and characterized from its quality, including in class II. The yield of low fiber but only 32.22% when compared to wood fiber based on the dimensions do not have much of a difference.

(4)

Rizki Syahputra Hasibuan, Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat di bawah bimbingan Arif Nuryawan dan Irawati Azhar

ABSTRAK

Produk komposit dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu yang sangat potensial. Produk komposit dibuat dari bahan baku berlignoselulosa, dikembangkan untuk diversifikasi produk hasil hutan juga menyempurnakan sifat kayu. Penelitian ini digunakan limbah batang kelapa sawit untuk dijadikan sebagai bahan baku papan serat. Metode penelitian mengadopsi dari CTMP

(Chemical-Thermo Mechanical Pulping) dengan peralatan sederhana. Limbah batang kelapa

sawit dapat dijadikan bahan baku papan serat yang berupa pulp dan ditandai dari kualitasnya termasuk pada kelas II. Rendemen serat rendah hanya 32,22% tetapi jika dibandingkan dengan kayu berdasarkan dimensi serat tidak memiliki banyak perbedaan.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Merbau – SUMUT pada tanggal 04 Oktober 1986 dari ayahanda Muslihat Hasibuan dan Ibunda Florida Khairani Siregar. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Riwayat pendidikan yang ditempuh selama ini yaitu Pendidikan Dasar di SD Negeri 112310 Merbau lulus tahun 1999, Pendidikan Lanjutan di MTs. Swasta Al - Wasliyah Merbau lulus tahun 2002 dan Pendidikan Menengah di SMA Negeri 1 Merbau lulus tahun 2005. Tahun 2005 penulis lulus ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkah, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi ini dengan tepat waktu yang telah ditentukan dan Shalawat beriring salam kepada Rasulullah SAW semoga di hari kelak kita mendapatkan syafaatnya. Judul dari penelitian ini adalah Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak melibatkan pihak, mendapatkan bantuan, dorongan dan motivasi sehingga memberi kesan yang berarti di hati penulis. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Arif Nuryawan, S. Hut, M. Si dan Ibu Irawati Azhar, S. Hut, M. Si selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, motivasi, arahan, serta masukan yang sangat bermanfaat selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam hal penulisan ataupun dalam hal lainnya.

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Sawit ... 4

Limbah Batang Kelapa Sawit ... 4

Sifat Fisis ... 7

Sifat Kimia ... 8

Proses Pulping ... 10

Papan Komposit Berbahan Baku Serat ... 12

Serat ... 12

Karakteristik Serat ... 13

Dimensi Serat ... 14

Turunan Dimensi Serat ... 15

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

Alat dan Bahan ... 16

Prosedur Penelitian ... 16

Proses Pemisahan Serat ... 16

Pengamatan dan Pengukuran Dimensi ... 20

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pemisahan Serat ... 24

Pengukuran Dimensi Serat ... 27

Panjang Serat ... 27

Diameter Serat ... 29

Diameter Lumen ... 30

Tebal Dinding Serat ... 30

Nilai Turunan Serat Batang Kelapa Sawit ... 31

Perbandingan Dimensi Serat Batang Sawit dengan Dimensi Serat Kayu .... 35

KESIMPULAN DAN SERAT Kesimpulan ... 39

Saran ... 39 DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sifat-sifat Dasar Batang Sawit ... 7

Tabel 2. Klasifikasi Panjang Serat ... 22

Tabel 3. Klasifikasi Diameter Serat ... 22

Tabel 4. Klasifikasi Serat Berdasarkan Bilangan Runkel ... 22

Tabel 5. Klasifikasi Serat berdasarkan Bilangan Muhlstep ... 23

Tabel 6. Klasifikasi Serat Berdasarkan Daya Tenun, Koefisien Kekakuan dan Nilai Fleksibilitas ... 23

Tabel 7.Nilai Mutu Serat ... 23

Tabel 8. Persentase Produktifitas Pembuatan Serat ... 26

Tabel 9. Rata-rata Dimensi Serat Batang Kelapa Sawit ... 27

Tabel 10. Nilai Turunan Dimensi Serat Batang Kelapa Sawit ... 31

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pembuatan Limbah Batang Sawit ... 17

Gambar 2. Skema Proses Pemisahan Serat ... 19

Gambar 3. Metode Pengukuran Serat ... 20

Gambar 4.(a) Kumpulan Serat Basah, (b) Serat yang dihasilkan ... 25

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel pengukuran Diameter Serat Lampiran 2. Tabel perhitungan Rendemen

Lampiran 3. Grafik dimensi serat berdasarkan panjang pada Atlas Kayu Indonesia Lampiran 4. Grafik dimensi serat berdasarkan diameter pada Atlas Kayu

Indonesia

Lampiran 5. Grafik dimensi serat berdasarkan diameter lumen pada Atlas Kayu Indonesia

Lampiran 6. Gambar Bahan baku Lampiran 7. Gambar soda api (NaOH)

(12)

Rizki Syahputra Hasibuan, Fibre Quality of Waste Oil Palm Trunk Board

Fibre Raw Material under the guidance of Arif Nuryawan and Irawati Azhar

ABSTRACT

Composite products can be used as a wood substitute material with huge potential. Products made of composite materials berlignoselulosa, developed for the diversification of forest products also improve the properties of wood. This study used waste oil palm trunks were used as raw materials for fiberboard. The research method adopted from CTMP (Chemical Thermo-Mechanical pulping) with simpler equipment. Waste oil palm trunks can be used as raw material in the form of pulp, fiberboard and characterized from its quality, including in class II. The yield of low fiber but only 32.22% when compared to wood fiber based on the dimensions do not have much of a difference.

(13)

Rizki Syahputra Hasibuan, Kualitas Serat dari Limbah Batang Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku Papan Serat di bawah bimbingan Arif Nuryawan dan Irawati Azhar

ABSTRAK

Produk komposit dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu yang sangat potensial. Produk komposit dibuat dari bahan baku berlignoselulosa, dikembangkan untuk diversifikasi produk hasil hutan juga menyempurnakan sifat kayu. Penelitian ini digunakan limbah batang kelapa sawit untuk dijadikan sebagai bahan baku papan serat. Metode penelitian mengadopsi dari CTMP

(Chemical-Thermo Mechanical Pulping) dengan peralatan sederhana. Limbah batang kelapa

sawit dapat dijadikan bahan baku papan serat yang berupa pulp dan ditandai dari kualitasnya termasuk pada kelas II. Rendemen serat rendah hanya 32,22% tetapi jika dibandingkan dengan kayu berdasarkan dimensi serat tidak memiliki banyak perbedaan.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kondisi hutan yang rusak berakibat terhadap penurunan suplai kayu kepada industri-industri perkayuan di Indonesia. Sejak tahun 1997, produksi kayu bulat (log) dan kayu olahan (plywood, woodworking, dan blockboard) mengalami penurunan. Kayu bulat yang sebelumnya diproduksi hampr 30 juta m³/th, pada tahun 2001 produksi kayu bulat hanya tinggal 10 juta m³/th. Pada tahun yang sama, ekspor kayu gergajian juga mengalami penurunan dari US$ 40,52 juta menjadi US$ 5,19 juta, sedangkan ekspor plywood turun dari US$ 881 juta menjadi US$ 315 juta (APHI, 2002 dalam Azhar, 2009).

(15)

Produk komposit secara garis besar dibuat dari bahan baku berlignoselulosa yang mengalami perlakuan kimiawi, fisis, dan mekanis. Teknologi pembuatan produk komposit dikembangkan selain dalam rangka diversifikasi produk hasil hutan, juga untuk menyempurnakan sifat kayu sehingga memenuhi persyaratan teknis penggunaan tertentu.

(16)

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi proses pemisahan serat limbah batang kelapa sawit sebagai bahan baku papan serat.

2. Mengevaluasi dimensi serat limbah batang kelapa sawit yaitu panjang serat, diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding serat yang dibandingkan dengan serat kayu yang biasa digunakan untuk bahan baku papan serat.

Manfaat penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan anggota famili Palmae, subfamili Cocoideae yang termasuk ke dalam kelompok tumbuhan monokotil. Tanaman ini berasal dari Nigeria, Afrika Barat dan tumbuh baik di luar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini.

Sawit dalam klasifikasi botanis dapat diuraikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Angiospermae

Ordo : Palmales

Familia : Arecaceae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis

Elaeis odora (tidak ditanam di Indonesia)

Elaeis melanococca (Elaeis oleivera) Varietas : Dura, Psifera, Tenera (Fauzi, 2005). Limbah Batang Kelapa Sawit

(18)

A. Limbah perkebunan kelapa sawit

Limbah perkebunan kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan dari sisa tanaman yang tertinggal pada saat pembukaan areal perkebunan, peremajaan dan panen kelapa sawit. Jenis limbah ini antara lain kayu, pelepah dan gulma. Dalam setahun setiap satu hektar perkebunan kelapa sawit rata-rata menghasilkan limbah pelepah daun sebanyak 10,4 ton bobot kering.

B. Limbah industri kelapa sawit

Limbah industri kelapa sawit adalah limbah yang dihasilkan pada saat proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini digolongkan dalam tiga jenis yaitu limbah padat, limbah cair dan limbah gas.

1) Limbah padat hasil pengolahan kelapa sawit berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan tempurung kelapa sawit. Limbah padat mempunyai ciri khas pada komposisinya, dengan komponen terbesarnya adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun lebih kecil seperti abu dengan komposisi 15 %, selulosa 40%, hemisulosa 24 % dan lignin dengan komposisi 21%. 2) Limbah cair ini berasal dari kondensat, stasiun klarifikasi, dan dari

(19)

3) Limbah gas ini antara lain gas cerobong dan uap air buangan pabrik kelapa sawit. Dengan banyaknya jumlah limbah kelapa sawit maka salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan pemanfaatan limbah tersebut untuk berbagai kebutuhan sehingga mempunyai nilai ekonomis.

Kelapa sawit setelah berumur 25-30 tahun sudah tidak produktif lagi sehingga akan menjadi potensi limbah. Berdasarkan data luas areal tanaman dan randemen penggergajian kelapa sawit bagian tepi, diketahui bahwa potensi batang kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sekitar 2.782.060 m3 per tahun. Jumlah ini akan meningkat dengan semakin luasnya perkebunan kelapa sawit (Bakar, 2003). Menurut Lubis et al (1994), limbah padat kelapa sawit yang tersedia adalah berupa batang, tandan kosong, serat buah dan cangkang, limbah tersebut mengandung lignoselulosa. Lignoselulosa yang terkandung dalam limbah kelapa sawit memungkinkan kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan baku produk-produk serat.

(20)

Sifat Fisis

Sifat fisis merupakan sifat-sifat yang berhubungan dengan kadar air, kerapatan, berat jenis, kembang susut, sifat panas, keawetan alami, warna, kelistrikan kayu, penampilan kayu, ketahanan kayu pada suatu zat, ketahanan kayu terhadap cuaca, ketahanan kayu terhadap organisme perusak kayu, sifat pengerjaan kayu, dan sifat penyerapan kayu terhadap air (Dumanauw, 2001). Beberapa sifat penting dari setiap bagian batang sawit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat-Sifat Dasar Batang Sawit

Sifat-sifat Penting Bagian Dalam Batang

Tepi Tengah Pusat

Berat Jenis 0,35 0,28 0,20

Kadar Air, % 156 257 365

Kekuatan Lentur, kg/cm2 29996 11421 6980

Keteguhan Lentur, kg/cm2 295 129 67

Susut Volume 26 39 48

Kelas Awet V V V

Kelas Kuat III-V V V

Sumber : Bakar (2003)

(21)

Berat jenis kayu dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada suhu 4ºC, dimana pada suhu standar tersebut kerapatan air sebesar 1 g/cm³. Makin tinggi berat jenis kayu tersebut, umumnya makin kuat pula kayunya. Semakin kecil berat jenis kayu, maka akan berkurang pula kekuatannya. Berat jenis ditentukan antara lain oleh tebal dinding sel dan kecilnya rongga sel yang membentuk pori-pori. Perhitungan berat jenis banyak disederhanakan dalam sistem metrik karena 1 cm³ air beratnya tetap 1 gram. Jadi berat jenis dapat dihitung secara langsung dengan membagi berat dalam gram dengan volume dalam cm³, maka nilai kerapatan dan berat jenis adalah sama jika menggunakan massa oven (Bowyer et.al, 2003).

Kerapatan merupakan perbandingan berat suatu benda dengan volume benda itu sendiri. Kerapatan kayu umumnya dihitung dengan menggunakan berat total sebenarnya, termasuk berat air. Dalam penentuan kerapatan dinding sel, volume umumnya ditentukan oleh pemindahan suatu cairan. Cairan yang berbeda bervariasi dalam kemampuannya untuk menembus rongga-rongga dalam dinding dan persatuan fisiknya dengan komponen-komponen kimia kayu (Bowyer et.al, 2003).

Sifat Kimia

(22)

berbeda pada kayu lunak dan kayu keras, sedangkan selulosa merupakan komponen yang seragam pada semua kayu. Disamping komponen-komponen dinding sel terdapat juga sejumlah zat-zat yang disebut bahan tambahan atau ekstraktif kayu. Komponen ini dapat memberikan pengaruh yang besar pada sifat-sifat dan kualitas pengolahan kayu (Fengel dan Wegener, 1995).

Lignin merupakan salah satu komponen penyusun kayu baik untuk jenis kayu jarum (Gymnospermae) maupun kayu daun lebar (Angiospermae) selain komponen polisakarida dan ekstraktif. Lignin berasal kata “lignum” yang berarti kayu, merupakan suatu polimer yang mempunyai bobot molekul tinggi, tersusun dari unit-unit fenil propane yang terjadi secara biologi, biokimia, dan kimia. Struktur senyawa lignin sangat kompleks, merupakan suatu jaringan aromatik, mudah teroksidasi dengan fenol dan tiol dan larut dalam alkali panas, mempunyai afinitas yang kuat terhadap molekul air dan bersifat menolak air. Lignin non-kayu mempunyai kandungan metoksil dengan kisaran antara lignin kayu lunak dan kayu keras (Fengel dan Wegener, 1995).

(23)

Proses Pulping

Pada umumnya produksi pulp masih menggunakan proses yang berorientasi pada kecepatan proses dan kurang memperhatikan masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia, baik pada proses pulping (proses pembuatan pulp) maupun pada proses bleaching (proses pemutihan pulp). Pada proses konvensional terdapat beberapa proses pembuatan pulp yaitu proses pembuatan pulp secara mekanis, kimia, dan gabungan antara proses mekanis dan kimia (Suschland, 1986).

Beberapa proses pulping yang biasa digunakan antara lain adalah : 1. Proses mekanis

Proses mekanis merupakan metode mengubah serpihan kayu log secara mekanis yakni dengan pengikisan maupun penekanan ke dalam digunakan dalam pembuatan kertas maupun bahan komposit dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Teknik pembuatan pulp secara mekanis memberikan sifat kekuatan lembaran pulp yang rendah dan penggunaan energi yang cukup tinggi, proses mekanis pulp dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu proses groundwood dan proses Thermo Mechanical Pulping (TMP).

(24)

Sehingga panas yang dihasilkan karena gesekan dapat melunakkan lignin dan memungkinkan pemisahan yang lebih besar dari serat selulosa, dengan kontribusi kerusakan serat kurang.

2. Proses semi-mekanis

Merupakan proses pulping menggunakan kombinasi bahan kimia, panas dan tindakan mekanik, proses ini dilakukan seperti proses mekanis, tetapi dibantu dengan bahan kimia untuk lebih melunakkan, sehingga serat-serat selulosa mudah terpisah dan tidak rusak. Pada proses pembuatan pulp gabungan antara mekanis dan kimia didapatkan kekuatan lembaran pulp yang lebih baik, tetapi proses ini masih mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan energi yang besar baik pada proses pemisahan serat, sehingga biaya produksi juga semakin besar. Disamping itu, adanya pemakaian bahan kimia yang mempunyai potensi untuk mencemari lingkungan.

3. Proses kimia

(25)

Komposit Ber bahan Baku Ser at

Komposit kayu merupakan istilah untuk menggambarkan setiap produk yang terbuat dari lembaran atau potongan-potongan kecil kayu yang direkat bersama-sama. Komposit dapat didefinisikan sebagai campuran makroskopis dari serat dan matrik. Serat merupakan material yang umumnya jauh lebih kuat dari matriks dan berfungsi memberikan kekuatan tarik. Sedangkan matriks berfungsi untuk melindungi serat dari efek lingkungan dan kerusakan akibat benturan. Manfaat utama dari penggunaan komposit adalah mendapatkan kombinasi sifat kekuatan serta kekakuan tinggi dan berat jenis yang ringan. Dengan memilih kombinasi material serat dan matriks yang tepat, kita dapat membuat suatu material komposit dengan sifat yang sama dengan kebutuhan sifat untuk struktur tertentu dan tujuan tertentu ( Hakim, 2007).

Ser at

(26)

Kar akter istik Ser at Kekuatan serat

Kekuatan tarik serat diakui memiliki peranan yang penting dalam membentuk kekuatan kertas dan papan serat. Walaupun kekuatan tarik serat pada setiap individu sangat tinggi, hanya fraksi dari setiap serat yang digunakan untuk membentuk konfigurasi struktur suatu lembaran kertas atau papan serat.

Pada papan serat dengan kerapatan rendah atau sedang (low and medium-density-fiberboard), kegagalan umumnya terjadi pada ikatan. Tetapi, pada papan serat dengan kerapan tinggi (high-board-denstities), kegagalan terjadi pada seratnya sendiri. Hal ini disebabkan refleksi kontak yang lebih dalam antara serat pada kerapatan tinggi dengan modifikasi karekteristik serat pada kondisi pengempaan yang lebih tinggi ( Suschland dan Woodson, 1986).

Mor fologi ser at.

(27)

Morfologi serat juga memiliki peranan penting dalam membantu pembentukan lembaran basah. Serat panjang yang dibasahi air dengan cepat, memungkinkan terbentuknya garis yang lebih cepat. Serat panjang juga akan cenderung membentuk gumpalan pada saat proses pembuatan berlangsung, yang mungkin menyebabkan terbentuknya distorsi kecil permukaan, khususnya pada permukaan papan serat dengan kerapatan tinggi ( Suschland dan Woodson, 1986).

Dimensi Ser at

Serat sebagai pemberi tenaga mekanik pada batang, sehingga mempunyai dinding sel yang relatif tebal. Bahan baku serat yang mengandung lignoselulosa yang berasal dari tumbuhan kayu dan non kayu. Serat digunakan secara umum untuk menyatakan semua sel kayu yang terpisahkan dalam proses pembuatan pulp. Serat menyatakan tipe sel yang spesifik karenanya serat atau trakeid serabut adalah xylem kayu keras yang panjang, meruncing dan biasanya berdinding tebal. Serat yang berdinding tebal memiliki luas permukaan yang lebih kecil per satuan berat daripada serat yang berdinding lebih tipis, sehingga kekuatan sobek, kekuatan jebol dan kekuatan tarik mempengaruhi oleh besarnya ikatan antar serat (Boywer et.al. 2003).

(28)

Turunan dimensi serat

Adapun turunan dimensi serat diantaranya adalah :

1. Runkel Ratio, adalah perbandingan antara dua kali tebal dinding serat dengan

diameter lumen. Perbandingan Runkel Ratio (bilang runkel) rendah, berarti memiliki dinding sel tipis dan lumen lebar, pada waktu pembentukan lembaran serat akan membentuk pita akan memperluas permukaan kontak serat memungkinkan terjadinya ikatan antar serat yang tinggi melalui gugus hidroksilnya.

2. Felting Power Slederness (daya tenun), adalah perbandingan antara panjang

serat dengan diameter serat. Daya tenun serat sangat berpengaruh terhadap kekuatan sobek kertas, sedangkan bilangan flesibilitas mempunyai hubungan parabolis terhadap kekuatan panjang putus, tetapi berkorelasi negatif dengan koefisien kekakuan serat.

3. Muhlstep Ratio, adalah perbandingan antara luas penampang tebal dinding

serat dengan luas penampang lintang serat. Muhlstep Ratio akan memberikan sifat kekuatan ledak dan kekuatan tarik yang tinggi.

4. Coefficient of Rigidity, adalah perbandingan antara tebal dinding serat dengan

diameter serat.

5. Flexibility Ratio, adalah perbandingan antara diameter lumen dengan

(29)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dari bulan April sampai dengan Juli 2010.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah chainsaw, mesin serut, timbangan elektrik, saringan kawat , blender, bak plastic, cover glass, preparat, mikroskop mikrometer, kamera digital dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan untuk penelitian ini antara lain limbah batang kelapa sawit, soda api, alkohol, safranin, asam asetat, asam peroksida dan larutan xylol.

Prosedur Penelitian

Proses pemisahan serat dapat dijelaskan dari skema berikut : 1. Persiapan bahan baku

(30)

Proses pembuatan balok limbah batang sawit dapat dilihat pada skema yang ditampilkan Gambar 1.

Pengulitan dan pemotongan batang menjadi 5 bagian

1me 1 meter

5 meter

20 cm

Pembelahan batang

sawit menjadi 4

30 cm bagian

1 meter

10 cm

Hasil akhir

15 cm

1 meter

1 meter

Gambar 1. Pembuatan limbah batang sawit

2. Penyerutan balok sawit.

(31)

3. Pemisahan partikel.

Pada tahapan ini partikel sawit yang terdiri atas vascular bundle (ikatan pembuluh) dan pati sawit tersebut dipisahkan menggunakan saringan kawat dengan ukuran 20-30 mesh. Pemisahan partikel ini dilakukan dengan cara menyaring pati sawit sehingga terpisah dari vascular bundle. Dari tahapan ini diharapkan pati yang bergabung pada vascular bundle sawit tersebut dapat terbuang. Pemisahan partikel ini dilakukan untuk mempermudah pengerjaan pemisahan serat dan untuk mendapatkan serat secara keseluruhan.

4. Perendaman

Partikel sawit yang telah dipisahkan dari pati, selanjutnya direndam dalam air yang dicampur NaOH selama 15-24 jam. NaOH yang digunakan untuk perendaman ini adalah berbentuk komersil yang memiliki nama dagang soda api. Dari penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, diperoleh dosis soda api sebagai berikut:

5. Pemblenderan

Setelah perendaman ini dilakukan selama 15-24 jam, selanjutnya partikel sawit tersebut dimasukkan ke dalam tabung blender dan dilakukan pemblenderan partikel selama 4-7 menit. Tahap ini merupakan proses pemisahan serat dengan bantuan alat mekanis, dari tahap ini diharapkan partikel tersebut dapat terpisah menjadi kumpulan serat-serat.

% NaOH = berat (g) x 100 % volume (ml)

= 12,5 g x 100 % =1,56 % 800 ml

(32)

6. Evaluasi

Kumpulan serat yang diperoleh dikeringkan sampai mendapatkan kering udara. Selanjutnya untuk menyempurnakan serat dilakukan kembali pemblenderan dengan waktu 2-5 menit, tahapan ini dimaksudkan agar antar serat dapat terpisah sempurna.

Berikut diberikan bagan proses pemisahan serat ditunjukkan Gambar 2.

Gambar 2. Skema proses pemisahan serat.

Batang kelapa sawit

Proses penyerutan

Pemisahan partikel

Pemblenderan

Perendaman partikel Dengan soda api

1,56%

Evaluasi

Partikel basah dengan air 2:1 terhadap sawit

Perendaman selama 15-24 jam dengan air 800 ml :

100 g sawit

Pengeringan serat dilapangan terbuka selama 2x24 jam

Pemblenderan kembali, agar serat terpisah sempurna

Serat kering dengan lama pemblenderan 2-5 menit

Dengan waktu 4-7 Menit setiap sekali pemblenderan

Serat dalam keadaan kering udara

(33)

Pengamatan dan Pengukuran Dimensi Serat

Pengamatan dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode Schultze (TAPPI, 1989). Pengamatan ini menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah dikoreksi skalanya dengan mikrometer objektif. Pengamatan menggunakan perbesaran 40 kali untuk diameter serat dan diameter lumen dan pembesaran 10 kali untuk pengukuran panjang serat.. Jumlah serat yang diamati dan diukur pada preparat maserasi adalah sebanyak 100 serat.

Proses pemisahan serat dimulai dengan mempersiapkan tabung reaksi yang sudah berisi partikel sawit ditambahkan H2O2 dan CH3COOH (1:20) sampai dengan terendam sempurna. Tabung reaksi dipanaskan pada suhu 100ºC selama 3 jam. Setelah 3 jam tabung reaksi dikocok sehingga serat dapat terpisah secara sempurna. Serat batang kelapa sawit yang diperoleh kemudian disaring dan selanjutnya untuk menghilangkan air dilakukan dengan cara memberikan alcohol 70 % selama 2 menit. Kemudian serat dipindahkan ke dalam cawan petri dan diberi beberapa tetes safranin untukpewarnaan sehingga mempermudahkan pengukuran. Selanjutnya serat dipindahkan ke gelas objek dan diberi larutan xylol. Serat dipisahkan dengan bantuan jarum agar mudah dilihat seratnya satu persatu, kemudian ditutup dengan cover glass. Setelah kering siap untuk diukur. Adapun variable yang diamati dan diukur adalah sebagai berikut:

(34)

l

d

w L

Gambar 3. Metode pengukuran serat

Adapun variable yang dihitung adalah : 1. Runkel Ratio (Bilangan runkel) = 2w

3. Muhlsteph Ratio (Bilangan Muhlsteph) = (d2 – l2/d2) x 100 %) Keterangan :

(35)

Perbandingan Dimensi Serat dan Nilai Turunan Serat Limbah Batang Sawit terhadap Klasifikasi Kualitas Serat.

Nilai kualitas serat sebagai bahan baku papan serat dapat ditentukan dengan membandingkan nilai-nilai dimensi serat dan turunannya yang didapatkan dari hasil pengukuran dan perhitungan terhadap nilai-nilai dimensi serat dan turunannya yang terdapat dalam Tabel Persyaratan dan Nilai Serat. Selain itu akan dibandingkan juga dengan dimensi serat dan nilai turunan beberapa serat kayu lain. Persyaratan nilai serat dapat dilihat dari beberapa tabel berikut:

Tabel 2. Klasifikasi Panjang Serat

Kelas Sub Kelas Selang Kelas (ìm)

Pendek Teramat Pendek

Sangat Pendek

panjang Cukup Panjang

Sangat Panjang

Tabel 3. Klasifikasi Diameter Serat

Kelas Nilai Interval (ìm)

(36)

Tabel 4. Klasifikasi Serat Berdasarkan Bilangan Runkel

Kelas Runkel Ratio Dinding Serat Kualitas Serat

I

Table 5. Klasifikasi Serat Berdasarkan Daya Tenun, Koefisien Kekakuan, dan Nilai Fleksibilitas

Sumber : Anonim (1976)

Tabel 6. Nilai Kelas Mutu Serat

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pemisahan Serat

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, diperoleh serat batang kelapa sawit yang diperlihatkan pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4 . (a) Kumpulan serat basah, (b) Serat yang dihasilkan.

Hasil penelitian menunjukkan serat batang kelapa sawit memiliki bentuk yang baik dalam keseragaman ukurannya dan memiliki bentuk dengan ciri-ciri yaitu ukuran yang kecil, berbentuk rambut-rambut halus dan bergumpal. Menurut Casey (1960), komposit dengan penguat serat (fibrous composite) sangat efektif, bahan dalam bentuk serat jauh lebih kuat dan kaku dibanding bahan yang sama dalam bentuk padat (bulk). Kekuatan serat terletak pada ukurannya yang sangat kecil, kadang-kadang dalam ukuran micron.

(38)

pada alat yang dipakai. Blender ini digunakan sebagai pemecah serat yang cara kerjanya yaitu dengan pengadukan dibantu dengan pisau sehingga serat dapat terpisah secara merata. Cara kerja metode yang digunakan pada penelitian ini mengadopsi dari proses CTMP (Chemical-Thermo-Mechanical Pulping).

Proses pemisahan serat dilakukan dengan dua tahap yaitu pemblenderan I yaitu dari hasil partikel yang telah direndam dengan NaOH 1,56 % dan pemblenderan II yaitu partikel kering setelah pemblenderan pertama. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan serat individu dan sudah terpisah secara sempurna. Dari kedua tahapan ini harus sangat diperhatikan untuk mendapatkan serat yang akan dihasilkan, salah satu yang paling mempengaruhi adalah waktu dalam pemblenderan. Dalam pemblenderan I diperlukan waktu 4-7 menit untuk memisahkan partikel sawit menjadi serat. Pemblenderan I merupakan pemisahan partikel menjadi serat sehingga apabila ini tidak diperhatikan maka hasil yang akan diperoleh akan berupa serat yang masih berupa partikel dan serat tersebut memiliki ukuran yang belum beragam. Oleh karena itu waktu pada pemblenderan ini memiliki selang waktu sehingga diharapkan mendapatkan serat yang telah terpisah sempurna.

(39)

Dari penelitian yang telah dilakukan , persentase produktivitas pembuatan serat dapat dilihat pada tabel.

Tabel 7. Persentase Produktivitas Pembuatan Serat

Ulangan Sawit

Pada tabel 8 terlihat bahwa rata-rata serat yang dihasilkan berkisar antara 27,53 - 36,06% dengan nilai rata-rata sebesar 32,22%. Data ini menunjukkan bahwa keberhasilan untuk mendapatkan serat sangat kecil, hal ini dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi besarnya persen serat yang dihasilkan antara lain adalah kondisi batang kelapa sawit yang akan dijadikan serat. Hal ini tidak sesuai dengan standar Mc Govern (1980) dalam Siagian et al (2000) yang menyatakan rendemen pulping dengan metode panas mekanis (TMP/Thermo

Mechanical Pulping) berkisar 80-90%. Demikian juga penelitian Onggo & Astuti

(40)

Pengukuran Dimensi Serat

Dimensi serat dan turunannya merupakan salah satu sifat penting yang dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Peranan dimensi serat seperti panjang, diameter , dan tebal dinding serat mempunyai hubungan satu sama lain yang kompleks dan mempunyai pengaruh terhadap tujuan penggunaannya. Hasil pengukuran dimensi serat seperti panjang serat, diameter serat dan tebal dinding serat disajikan pada tabel.

Tabel 8. Rata-rata dimensi serat batang kelapa sawit

Dimensi serat Rerata (µm) Standart deviasi

Panjang serat

Keterangan : data di atas merupakan rata-rata dari 100 kali pengukuran

Panjang serat batang kelapa sawit

Dari hasil pengukuran yang telah dilakukan diperoleh panjang serat batang kelapa sawit adalah 1288,1 µm. Berdasarkan penilaian serat kayu Indonesia pada tabel klasifikasi panjang serat, maka nilai rata-rata panjang serat batang kelapa sawit termasuk dalam kelas sedang yaitu 901-1600 µm.

(41)

Dalam hal ini serat batang kelapa sawit merupakan termasuk kelas sedang sehingga diduga memiliki kelebihan dalam menghasilkan permukaan kertas yang halus dan memiliki keteguhan sobek, kekuatan jebol, daya lipat dan ketahanan tarik yang sedang.

Panjang serat batang kelapa sawit jika dibandingkan dengan serat Acacia

mangium penelitian Tambunan (2010) lebih tinggi dengan hasil berkisar 834,53

µm, hal ini menunjukkan bahwa serat batang kelapa sawit tergolong lebih panjang dari serat akasia. Sedangkan bila dibandingkan dengan kayu karet maka serat batang kelapa sawit relatif tidak berbeda yang memiliki rerata panjang berkisar 1234,42 µm (Safitri, 2003). Menurut Hidayat (1995), bahwa besarnya rentang kepercayaan pada panjang serat diduga karena ketidakseragaman pola pertumbuhan sel. Hal ini terjadi karena beberapa sel melanjutkan pembelahan dan konsekwensinya pertumbuhan memanjang sel menjadi terhambat, sedangkan sel-sel lainnya berhenti membelah dan mengalami pemanjangan sel-sel.

Diameter serat batang kelapa sawit

(42)

Gambar 5. Pengukuran diameter serat

Serat batang kelapa sawit jika dibandingkan dengan serat kayu yang biasa digunakan sebagai bahan baku papan serat yaitu Acacia mangium penelitian Tambunan (2010) lebih rendah dengan hasil yang diperoleh dari Tabel 9. Pada

Acacia mangium diameter serat yang diperoleh berkisar 17,71 µm sedangkan pada

batang kelapa sawit dengan rerata 38,1 µm yang termasuk dalam kategori lebar. Sedangkan bila dibandingkan dengan kayu karet dari penelitian Safitri (2003) yang rerata diameter seratnya berkisar 23,06 µm, hal ini menunjukkan bahwa serat kayu karet lebih sempit dibanding serat batang kelapa sawit.

(43)

Diameter lumen

Diameter lumen berpengaruh sebagai perbandingan dengan diameter serat yang disebut sebagai fleksibility ratio (tingkat fleksibilitas ratio) yang menunjukkan hubungan parabolis dengan kekuatan tarik dan panjang putus. Hasil rata-rata diameter lumen batang kelapa sawit adalah 29,8 µm, termasuk ke dalam serat yang lebar. Sahwalita et.al (2005) mengatakan bahwa, peningkatan dan penurunan pada diameter serat dan diameter lumen disebabkan oleh resistensi karena bentuk serat dan komposisi kimia dari dinding serat. Sedangkan untuk penurunan diameter lumen disebabkan oleh air yang digunakan dalam proses pemukulan serat dan menyebabkan pembengkakan diameter lumen menjadi tipis.

Tebal dinding serat

(44)

Nilai Turunan Serat Batang Kelapa Sawit

Dimensi serat dan turunannya merupakan salah satu sifat penting kayu yang dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Turunan dimensi serat yaitu Runkel Ratio (bilangan runkel), Felting Power (daya tenun),

Flexibility Ratio (bilangan fleksibilitas), Muhsteph Ratio (bilangan muhsltep) dan

Coofficient of Rigidity (koefisien kekuan). Hasil perhitungan turunan dimensi

serat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 9. Nilai turunan dimensi serat batang kelapa sawit

No Uraian

(45)

tarik yang rendah. Berdasarkan sifat ini, serat batang kelapa sawit termasuk serat dengan bilangan Runkle kecil sehingga akan memiliki kemampuan dalam pembentukan lembaran yang baik dan memiliki kekuatan yang tinggi. Hal ini menunjukkan juga bahwa serat batang kelapa sawit sangat baik dan layak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas maupun sebagai bahan baku produk komposit khususnya papan serat.

Serat batang kelapa sawit memiliki felting power (daya tenun) sebesar 34,27 yang termasuk kelas III berdasarkan klasifikasi serat menurut daya tenun. Daya tenun serat berpengaruh terhadap kekuatan serat, artinya semakin tinggi daya tenun maka semakin tinggi pula kekuatan serat. Bila dibandingkan dengan serat akasia pada penelitian Tambunan (2010) yang memiliki rerata daya tenun sebesar 47,99, maka nilai ini tidak jauh berbeda dengan serat batang kelapa sawit karena kedua serat masih sama-sama dalam kategori daya tenun kelas III. Sedangkan bila dibandingkan dengan serat kayu karet yang memiliki daya tenun berkisar antara 96,68-116,02, maka nilai ini menunjukkan bahwa karet termasuk dalam kelas I (tertinggi). Serat batang kelapa sawit tergolong memiliki daya tenun yang kecil sehingga untuk penggunaanya sebagai bahan baku pulp maupun bahan baku papan serat masih memiliki kelemahan karena apabila serat dengan daya tenun kecil akan menyebabkan kelenturan yang rendah sehingga sulit untuk dilengkungkan dan kekuatan sobek yang rendah juga. Dengan adanya felting

power, papan serat maupun pulp yang dihasilkan akan memiliki lembaran yang

(46)

Muhlstep ratio merupakan perbandingan antara luas penampang tebal dinding serat dengan luas penampang lintang serat. Hasil penilitian diperoleh untuk Muhlstep ratio ini adalah 38,32 yang termasuk dalam kelas II yang artinya bahwa serat batang kelapa sawit ini memiliki Muhlstep ratio yang relatif kecil. Untuk penggunaan sebagai bahan baku papan serat, serat batang kelapa sawit memiliki kelebihan karena dengan Muhlstep ratio yang kecil akan menghasilkan kerapatan lembaran yang baik dengan sifat kekuatan yang baik juga. Sebaliknya apabila Muhlstep ratio yang tinggi akan menghasilkan lembaran dengan kerapatan rendah dan kekuatan yang rendah juga.

Menurut Kasmudjo (1989) dalam Desmantoro (2006), serat yang memiliki

Muhlstep ratio kecil akan menghasilkan kertas yang plastis (tidak mudah robek

saat diremas atau dilipat) dengan permukaan yang lebih halus dan rata. Kecilnya

Muhlstep ratio menggambarkan kemungkinan bahwa papan maupun kertas yang

dihasilkan dari serat batang kelapa sawit ini bersifat plastis dan rata/halus permukaannya serta memiliki keteguhan dan daya lipat yang cukup tinggi.

Nilai fleksibility ratio adalah perbandingan antara diameter lumen dengan diameter serat. Dari hasil penelitian, serat batang kelapa sawit memiliki nilai

fleksibility ratio adalah sebesar 0,78. Berdasarkan penilaian serat kayu Indonesia

untuk bahan baku pulp dan kertas maka serat batang kelapa sawit termasuk kelas mutu II (0,50-0,80) dengan nilai 50. Menurut Tambunan (2010) serat dengan

fleksibility ratio tinggi berarti serat tersebut mempunyai tebal dinding yang tipis

(47)

maka serat yang dihasilkan dari penelitian merupakan serat yang baik karena mempunyai fleksibility ratio yang tinggi. Bila dibandingkan dengan serat kayu

Acacia mangium penelitian Tambunan (2010) yang nilai fleksibility ratio berkisar

0,70, dapat disimpulkan bahwa kedua serat memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Sedangkan pada kayu karet pada penelitian Safitri (2003), nilai

fleksibility ratio berkisar rerata 0,52 yang termasuk kedalam kelas II juga

sehingga tidak berpengaruh besar.

Coefficient of rigidity (kefisien kekakuan) merupakan perbandingan antara

tebal dinding serat dengan diameter serat. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di dapat nilai Coefficient of rigidity adalah 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa serat batang kelapa sawit termasuk kedalam kelas mutu II, artinya bahwa serat batang kelapa sawit diduga layak dijadikan sebagai bahan baku papan serat maupun sebagai bahan baku kertas. Salah satu penyebabnya dikarenakan serat batang kelapa sawit memiliki nilai Coefficient of rigidity yang rendah sehingga memiliki kekuatan yang tinggi. Menurut Syafii dan Siregar (2006), nilai

Coefficient of rigidity berbanding terbalik dengan sifat kekuatan tarik kertas,

(48)

Perbandingan dimensi serat limbah batang sawit dengan dimensi serat kayu. Perbandingan dimensi serat limbah batang sawit dengan dimensi serat kayu sangat perlu dilakukan, hal ini dikarenakan tanaman kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yang artinya tidak berkayu dan sangat berbeda dengan tanaman dikotil yang susunan batangnya merupakan kayu. Perbandingan dimensi serat ini menggunakan data dari jenis kayu dalam Atlas Kayu Indonesia yang diperlihatkan pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 10. Dimensi serat Kayu

No Jenis Kayu P D DL TDS

1 Agathis spp (dammar) 5.737 49,4 32,4 8,5

2 Bruguiera spp (bakau) 1.612 30 10,4 9,8

3 Shorea spp (balau) 1.327 16,1 9,4 3,3

4 Shorea laevis Ridl (bangkirai) 1.203 19,9 16,1 1,9

5 Pterospermum spp (bayur) 1.509 32 15,4 3,3

6 Shorea balangeran (Korth.)(belangeran) 1.343 13,9 na na

7 Octomeles sumatrana Miq (benuang) 1.536 42,5 36,3 3,1

8 callophyllum spp (bintangur) 1.563 22,5 15,7 3,4

9 Lagerstroemia speciosa Pers (bungur) 1.238 29 na na

10 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq (cempaga) 1.895 23 na na

11 Dracontomelon spp (dahu) 1.390 17 11 3

12 Durio spp (durian) 1.730 35 23,4 5,8

13 Diospyros celebica Bakh (eboni) 1.101 15,5 8,8 3,3

14 Bischofia javanica Bl (gadog) 1.280 40 na na

15 Cratoxylon arborescens BI (gerunggang) 855 19 14,2 2,4

16 Homalium foetidum (Roxb.) Benth (gia) 1.369 22,1 12,1 5

17 Cotylelobium spp (giam) 1.364 16 na na

18 Anthocephalus chinensis (jabon) 1.979 54 47,6 3,2

19 Tectona grandis (jati) 1.316 24,8 18,2 3,3

20 Dyera spp (jelutung) 1.470 35 28 3,2

21 Dryobalanops spp (kapur) 1.736 20,5 11,3 4,6

22 Aleurites moluccana (kemiri) 1.443 25,9 20,9 2,5

23 Koompassia malaccensis Maing (kempas) 1.313 14,3 na na

24 Dipterocarpus spp (keruing) 1.452 20,3 14,4 3

25 Maranthes corymbosa (kolaka) 1.508 21,5 na na

(49)

No Jenis Kayu P D DL TDS

28 Swietenia macrophylla King (mahoni) 1.362 27 10,2 3,4

29 Cinnamomum parthenoxylon (medang) 1.553 26,3 19,7 3,3

30 Podocarpus spp (melur) 5.156 54,8 na na

31 Dactylocladus stenostachys (mentibu) 1.494 27,7 21,1 3,3

32 Shorea johorensis Foxw (meranti merah) 1.451 26 16,8 4,6

33 Shorea bracteolata (meranti putih) 1.252 22,8 14,4 4,2

34 Hopea dryobalanoides Miq (merawan) 978 20,7 14,3 3,2

35 lntsia palembanica Miq (merbau) 1.181 21,6 na na

36 Anisoptera costata Korth (mersawa) 1.466 22,4 9,6 6,4

37 Melia azedarach (mindi) 1.323 27 21 2,8

38 Ganua motleyana Pierre (nyatoh) 1.600 26,2 19,2 3,5

39 Heritiera javanica (palapi) 1.507 20,6 15,8 2,4

40 Lithocarpus spp (pasang) 1.578 22 15,8 3,1

41 Lophopetalum spp (perupuk) 1.125 19,5 14,8 2,4

42 Alstonia pneumatophora Back (pulai) 1.171 38,2 29,4 4,4

43 Schima wallichii Korth (puspa) 1.062 20 8 11

44 Gonystylus velutinus (ramin) 1.112 20,8 17,6 1,6

45 Vatica venulosa (resak) 1.600 18 8 6

46 Dillenia grandifolia (simpur) 2.852 30,8 na na

47 Dalbergia latifolia Roxb (sonokeling) 858 28,4 23,4 2,5

48 Pterocarpus indicus (sonokembang) 1.327 24 16,8 3,6

49 Peronema canescens Jack (sungkai) 1.093 19 12 3,5

50 Toona sureni Merr(surian) 981 27 na na

51 Mimusops elegi (tanjung) 1.254 18,6 na na

52 Fagraea fragrans Roxb (tembesu) 1.438 24 na na

53 Pinus merkusii Jungh (tusam) 5.457 49 na 4

54 Eusideroxylon zwageri (ulin) 1.525 20 9 5,4

Sumber : Atlas Kayu Indonesia (2004)

Keterangan : P = Panjang serat, D = Diameter serat, DL = Diameter lumen, TDL = Tebal dinding serat, na = Tidak ada data (not available)

Dimensi serat limbah batang sawit dari segi panjang serat jika dibandingkan dengan beberapa jenis kayu dalam Atlas Kayu Indonesia pada Tabel 11 yang memiliki panjang serat tertinggi yaitu pada kayu damar sebesar 5.737 μm, menunjukkan bahwa panjang serat limbah batang sawit masih jauh dibawah

(50)

dibandingkan dengan persentase terbanyak nilai panjang serat dalam Atlas Kayu Indonesia adalah antara 1000-2000 μm sebesar 85%, maka panjang serat limbah batang sawit masih termasuk dalam nilai persentase terbanyak. Hal ini membuktikan bahwa panjang serat limbah batang sawit dapat disamakan dengan nilai panjang serat kayu yang ada pada Atlas Kayu Indonesia.

Jika dilihat dari diameter serat, serat sawit merupakan berdiameter serat sebesar 38,10 μm yang artinya memiliki diameter lebar (26,00 – 40,00 μm). Bila dibandingkan dengan persentase nilai diameter serat terbanyak dalam Atlas Kayu Indonesia yaitu untuk diameter lebar (26,00 - 40,00 μm) sebesar 26,4%, diameter sedang (11,00 -25,00) sebesar 58,5 % dan diameter serat >40 sebesar 9,4%. Dengan diameter serat limbah batang sawit sebesar 38,1 μm, maka diameter serat batang sawit tergolong kedalam diameter lebar yang artinya memiliki kesamaan 26,4% dengan beberapa diameter serat kayu dari berbagai jenis kayu yang ada pada Atlas Kayu Indonesia.

Pada Tabel 11 dari segi diameter lumen, serat yang tertinggi adalah berasal dari jenis kayu Anthocephalus chinensis atau kayu jabon yang nilainya sebesar 47,6 μm. Dari data ini menunjukkan bahwa diameter serat limbah batang sawit masih dibawah kayu tersebut. Sedangkan untuk kayu yang berdiameter paling rendah dalam Atlas Kayu Indonesia adalah berasal dari jenis kayuVatica venulosa

(51)

Sedangkan bila dibandingkan dengan beberapa jenis kayu berdasarkan kelas kuatnya seperti kayu mindi (kelas III), pulai (kelas IV), merbau (kelas II) dan bakau (kelas I) maka nilai dimensi serat limbah batang sawit sangat tidak jauh berbeda. Jika dilihat dari segi panjang serat, kayu mindi dan kayu pulai memiliki nilai masing-masing yaitu 1.171 μm dan 1.323 μm sedangkan pada kayu merbau sebesar 1.181 μm dan untuk kayu bakau sebesar 1.627 μm. Hal ini menunjukkan bahwa panjang serat limbah batang sawit sangat tidak berbeda dengan beberapa jenis kayu yang memiliki nilai panjang serat sebesar 1288,1 μm yang artinya masih sama-sama dalam kategori kelas mutu II (1000-2000 μm).

Untuk diameter serat, kayu mindi, kayu pulai dan kayu bakau tergolong dalam diameter lebar (26,00 - 40,00 μm) yang masih sama dengan serat limbah batang sawit. Dengan nilai diameter serat kayu mindi yaitu 27 μm, kayu pulai sebesar 38,2 μm dan kayu bakau sebesar 30 μm sedangkan diameter serat kayu merbau sebesar 21,6 μm yang termasuk dalam diameter sedang (11,00-25,00 μm). Dan jika dibandingkan dari segi nilai diameter lumen dari beberapa jenis kayu tersebut maka nilai diameter lumen serat limbah batang sawit juga tidak jauh berbeda. Dengan nilai diameter lumen kayu pulai dan kayu mindi masing-masing sebesar 29,4 μm dan 21 μm sedangkan serat limbah batang sawit sebesar 29,8 μm. Tetapi pada kayu bakau terlihat perbedaan yang memiliki nilai diameter lumen sebesar 10,4 μm dan sedangkan untuk kayu merbau tidak memiliki data (not

availailable). Dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa dimensi serat asal

(52)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

1. Metode yang digunakan pada penelitian ini dapat menghasilkan serat asal limbah batang kelapa sawit untuk dijadikan sebagai bahan baku papan serat. 2. Serat batang kelapa sawit termasuk dalam kelas mutu II (225-449)

berdasarkan penilaian serat kayu Indonesia, artinya serat batang kelapa sawit ini layak dijadikan bahan baku pulp dan kertas maupun sebagai bahan baku papan serat dan diduga serat batang kelapa sawit akan menghasilkan kualitas yang baik.

3. Dimensi Serat batang kelapa sawit tidak memiliki banyak perbedaan bila dibandingkan dengan dimensi serat dari kayu dalam Atlas Kayu Indonesia yang ditunjukkan dari nilai dimensinya yang masih dalam kategori kelas yang sama.

Saran

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. Jakarta.

Azhar, I. 2009. Potensi Pemanfaatan Limbah Batang Sawit Sebagai Pengganti Papan Parikel di Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Tesis. Medan.

Bakar, E. S. 2003. Kayu Sawit Sebagai Substitusi Kayu Dari Hutan Alam. Forum Komunikasi dan Teknologi dan Industri Kayu 2 : 5-6. Bogor.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction. Four Edition. Iowa: Iowa State Press.

Casey, J. P. 1960. Pulp and Paper: chemistry and chemical technology. 3th ed. Vol I. Jhon Willey and sons. New York.

Desmantoro . 2006. Analisis Dimensi Serat Batang Poros Tandan kosong sawit (elaeis guineensis jack) Varietas dura dan tenera Sebagai bahan baku kertas. Bengkulu; Universitas Bengkulu.

Dumanauw, J.F. 2001. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang

Erwinsyah, K. Parmin., dan P. Guritno. 1997. Pemanfaatan Tandan Kosong Sawit untuk Pot Tanaman Kelapa Sawit di Pembibitan Awal. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5 (3): 179-189 Th. 1997.

Fauzi, E. 2005. Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.

Fengel, D and G. Wegener. 1995). Kimia dan Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hadi, M. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karyanusa. Yogyakarta.

(54)

Haygreen J.G. dan J.L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Terjemahan S.A. Handikusumo, S. Prawirohadmojo. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haroen, K. W. 2008. Pulp Termo Mekanis (TMP) dan Kimia Termo Mekanis (CTMP) dari Limbah Batang Kenaf. J. Tropical Wood Science and

Technology Vol. 6 ● No. 2.

Lubis, A. U., Purboyo Guritno, Darnoko. 1994. Prospek Industri Dengan Bahan

Baku Limbah Padat Kelapa Sawit di Indonesia. Berita PPKS 2.

LPPH. 1976. Laporan Penelitian Hasil Hutan. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Nurahman, A. dan T. Silitonga. 1973. Dimensi Serat beberapa Jenis Kayu Sumatera Selatan. Laporan Lembaga Penelitian Hasil Hutan No. 13. Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian. Bogor.

Onggo H, Astuti JT. 2005.Pengaruh sodium hidroksida dan hydrogen peroksida terhadap rendemen dan warna pulp dari serat daun nenas. J.Ilmu & Teknologi Kayu Tropis. Vol.3 (1)

Pasaribu, G dan Sahwalita. 2006. Analisis Morfologi serat dan sifat fisis kimia beberapa jenis bambu sebagai bahan baku pulp dan kertas. UPT Balai penelitian dan pengembangan biomaterial-LIPI.

Safitri, E. S. 2003. Analisis Komponen Kimia Dan Dimensi Serat Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) Hasil Klon. Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Setyawati, D. dan Y.M. Massijaya. 2005. Pengembangan papan komposit berkualitas tinggi dari sabut kelapa dan polipropilena daur ulang (I): Suhu dan waktu kempa panas. Jurnal Teknologi Hasil Hutan 18(2): 91-101.

Sjostrom, E. 1999. Kimia Kayu. Dasar-Dasar Penggunaan. Edisi 2. FMIPA Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Siagian RM, Purba K, Roliadi H, Noorhajiyanto MY. 2000. Pemanfaatan limbah

pembalakan untuk pembuatan MDF (papan serat berkerapatan sedang). Buletin penelitian hasil Hutan Vol 17 (3)

(55)

Syafii, W dan Siregar, I. 2006. Sifat Kimia dan Dimensi Serat Kayu Mangium (Acacia Mangium) dari Tiga Provenances. Departemen Hasil Hutan. Yayasan Penerbit Kehutanan Bogor. Bogor.

Tambunan, H. D. 2010. Evaluasi Papan Serat Akasia Berkerapatan Sedang dengan Perekat Isosianat. Departemen Kehutanan Fakultas pertanian USU. Skripsi. Medan

(56)

LAMPIRAN Lampiran 1. Tabel Pengukuran Dimensi Serat

(57)
(58)
(59)
(60)

Lampiran 5. Grafik dimensi serat berdasarkan diameter lumen pada Atlas Kayu Indonesia

Lampiran 6. Gambar bahan baku

Lampiran 7. Gambar soda api (NaOH)

(61)

Lampiran 8. Gambar perendaman dan Pemblenderan

Gambar

Tabel 1. Sifat-Sifat Dasar Batang Sawit Bagian Dalam Batang
Gambar 2. Skema proses pemisahan serat.
Gambar 3. Metode pengukuran serat
Tabel 2. Klasifikasi Panjang Serat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepemimpinan dalam suatu organisasi berkaitan langsung dengan kedisiplinan aparatur pemerintah, dan dengan observasi awal yang telah dilakukan penulis pada kantor Kecamatan

Bagi kelompok tertentu seperti KPI Kota Tangerang dan SPN, kegiatan seperti public hearing juga dapat menjadi forum dengar pendapat dan lobbying untuk membawa

Karya Tulis Ilmiah ini disusun guna memenuhi salah satu syarat kelulusan Program Studi Diploma III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

[r]

Pada uji heller, urin yang ditambahkan asam nitrat pekat, dapat diperoleh hasil pengamatan bahwa urin tersebut ketika dicampurkan dengan asam nitrat pekat tidak terbentuk cincin

Disebut demikian karena dengan adanya lemak Disebut demikian karena dengan adanya lemak yang tidak larut dalam air itu, maka terbentuk yang tidak larut dalam air itu, maka

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui sejauh mana penggunaan teknologi informasi, terutama komputer, dalam proses operasi perusahaan; (2) mengetahui pengaruh langsung

Berdasarkan urain di atas, penulis tertarik untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas berbentuk perbaikan pembelajaran WHQWDQJ ³3HQ ggunaan Pendekatan Kontekstual