TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENJAMIN DALAM
KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PT)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
EVA KRISNAWATI
060200115
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENJAMIN DALAM
KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PT)
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
EVA KRISNAWATI
060200115
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
NIP.195603291986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
2010
Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum
NIP. 195302151989032002 NIP. 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
penyertaan-Nya sehingga penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala penulis
dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti yang kita ketahui bahwa
skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi Mahasiswa pada umumnya dan
khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana.
Adapun judul penulisan skripsi ini adalah “Tanggung Jawab dan Wewenang
Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT).”
Tak ada gading yang tak retak, kira-kira pepatah tersebut sangat cocok
untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata
sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
dalam penulisan skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi yang tidak luput
dari kesalahan, dengan segala hormat penulis meminta maaf. Oleh karenanya
saran, kritik dan ide-ide yang membangun dalam penulisan skripsi ini sangat
penulis harapkan dan karenanya akan diterima dengan senang hati serta dengan
bijaksana. Diatas semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan
1. Bapak Prof. Dr.Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, M.Hum selaku Ketua Departemen
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang berkenan
membantu dan memperhatikan Mahasiswa Hukum Ekonomi.
6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen
Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama
menulis skripsi ini.
7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang
banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi yang
dengan kesabaran menuntun menghadapi penulis dalam penulisan skripsi.
8. Bapak Muhammad Nuh, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik
selama perkuliahan.
9. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk
10. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yaitu ayahanda M.Silaban dan ibunda tercinta
M.Manalu yang selalu memberikan cinta kasihnya bagi penulis, dan juga
kepada kedua abangku bang Tanzya dan bang Rodgrays yang selalu
mensupport penulis. Dan kepada seluruh keluarga besar, khususnya opung
Ale yang selalu memberikan nasehat dan kepada seluruh sepupuku lina,
yunus, butet, kori, eve, masri, ria, kak iyo, bang patar, bang resman, bang
sintong, bang bekman, kak nova, krismen, dona, maruli, modi, kak meta dan
yang lainnya yang telah memberikan semangat kepada penulis.
2. Sahabat terdekatku duMaRIa ManaLu yang selalu mendengar keluh kesahku
dan yang selalu berbagi suka dan duka dan pengertian kepada penulis yang
juga turut membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
3. Sahabatku yang Manis dan Cantik (MaCan): Sonti souLmateku, teRe yg
sLalu m’brikan tumpangan rumahnya, wiNda ceZ, Ika dgN teruskanLah, eVi
yg hrs sLalu ditemenin, atHa yg dgN banyoLanNa, nomika si caberawit dan
kak deWi sang Leader.
4. temaN-teman AAP Law Firm bu Astuti, pa bona, aNdy, eRicK, cHoky, boNi,
Rizky, mba emil, pa ruswin, ka Kitin terima kasih semua buat bimbingannya
dan buat putusannya kLo ga da putusannya gak mungkin penulisan skripsi
5. teman stambuk 2006 giseLa teman b’gosip aQ, inggRid, maria kiBo,
pauLina, Lusi tmN ekonomiku, HeLen, agnes guLo, marta, yuLi apiriku,
andri cina, kariNa, witra twinsku dan semua senior khususnya kak eveLyn yg
sLalu menjadi inspiratorku dan kepada semua junior FH USU yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
6. Teman koZ girls 7A, ani-cHe, nety Nene, eva keciL, ka diaNa, aNez, ima,
tiKa, yosi, ayu, indaH yang sLalu menemaNi daLam keseharian penulis.
7. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan
membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang
membacanya.
Medan, Maret 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan...11
E. Tinjauan Kepustakaan ... 12
G. Metode Penulisan...15
F. Sistematika Penulisan ...18
BAB II PENGATURAN HUKUM KEPAILITAN TERHADAP PENJAMIN A. Sejarah, Pengertian dan Asas-Asas Hukum Kepailitan ...20
B. Tentang Penjamin ...37
C. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) ...52
D. Kaitan Antara Kepailitan dengan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) ...57
B.Syarat Pelaksanaan Kepailitan Penjamin ...80
C.Mekanisme Kepailitan Penjamin ...84
BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PENJAMIN
A. Akibat Hukum Hubungan Perjanjian Penjamin (Borgtocht/
Personal Guarantee) ...89
B. Akibat Hukum Kepailitan Penjamin Dalam Perseroan
Terbatas (PT)...94
C.Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan
Perseroan Terbatas (PT) ... 104
D.Analisis Putusan PailitNo.25/Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst jo
No.07/PKPU 2006/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 124
B. Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... vii
ABSTRAKSI
Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum* Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**
Eva Krisnawati***
Perseroan Terbatas dalam menangani masalah kesulitan finansialnya sering melakukan perjanjian penjaminan pribadi/ borgtocht dengan kreditur untuk mendapatkan pinjaman. borgtocht merupakan suatu perjanjian jaminan yang diberikan kepada kreditur berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) bahwa debitur akan melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, dan apabila debitur lalai maka penjamin dapat dituntut untuk melakukan kewajiban debitur. Akan tetapi perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan mambayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Dan konsekuensi dari perjanjian penjaminan ini yaitu bahwa penjamin dapat diajukan pailit.
Bertolak di masalah tersebut maka penulis mengangkat judul “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT). Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui penelititan kepustakaan.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penjamin dapat dipailitkan apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. karena berdasarkan Pasal 1831-1850 KUH Perdata menunjukkan bahwa penjamin adalah debitur. Sehingga penjamin dapat dipailitkan apabila telah memenuhi syarat pailit berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan yaitu debitur memiliki lebih dari dua kreditur dan harus ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam pengajuan permohonan pailit penjamin, syarat dan mekanisme kepailitan penjamin sama dengan persyaratan dan mekanisme pengajuan permohonan pailit debitur. Akibat hukum kepailitan penjamin, yaitu bahwa penjamin tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit karena kewenangannya beralih kepada kurator Dan dalam Perseron Terbatas, penjamin yang dinyatakan pailit tidak dapat menjadi anggota direksi berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan juga tidak bisa menjadi anggota komisaris berdasarkan Pasal 110 ayat (1) UUPT.
Keyword: Penjamin, Kepailitan, Perseroan Terbatas
*
Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU **
Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU ***
ABSTRAKSI
Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum* Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**
Eva Krisnawati***
Perseroan Terbatas dalam menangani masalah kesulitan finansialnya sering melakukan perjanjian penjaminan pribadi/ borgtocht dengan kreditur untuk mendapatkan pinjaman. borgtocht merupakan suatu perjanjian jaminan yang diberikan kepada kreditur berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) bahwa debitur akan melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, dan apabila debitur lalai maka penjamin dapat dituntut untuk melakukan kewajiban debitur. Akan tetapi perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan mambayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Dan konsekuensi dari perjanjian penjaminan ini yaitu bahwa penjamin dapat diajukan pailit.
Bertolak di masalah tersebut maka penulis mengangkat judul “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT). Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui penelititan kepustakaan.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penjamin dapat dipailitkan apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. karena berdasarkan Pasal 1831-1850 KUH Perdata menunjukkan bahwa penjamin adalah debitur. Sehingga penjamin dapat dipailitkan apabila telah memenuhi syarat pailit berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan yaitu debitur memiliki lebih dari dua kreditur dan harus ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam pengajuan permohonan pailit penjamin, syarat dan mekanisme kepailitan penjamin sama dengan persyaratan dan mekanisme pengajuan permohonan pailit debitur. Akibat hukum kepailitan penjamin, yaitu bahwa penjamin tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit karena kewenangannya beralih kepada kurator Dan dalam Perseron Terbatas, penjamin yang dinyatakan pailit tidak dapat menjadi anggota direksi berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan juga tidak bisa menjadi anggota komisaris berdasarkan Pasal 110 ayat (1) UUPT.
Keyword: Penjamin, Kepailitan, Perseroan Terbatas
*
Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU **
Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU ***
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu
memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga
kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.2
“Dalam kepustakaan banyak ditulis bahwa unsur pertanggungjawaban yang terbatas itulah yang dijadikan orang acap kali memilih bentuk PT. Dengan menggunakan konstruksi PT itu dapat memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul. Atas dasar motivasi ini dalam beberapa hal orang sengaja untuk satu jenis usaha memilih satu bentuk PT tersendiri. Bahkan kadang kala untuk satu jenis usaha diselenggarakan dalam dua atau tiga PT tersendiri. Keadaan seperti ini dapat mendatangkan kefaedahan. Sekalipun pada hakikatnya secara ekonomis PT-PT tadi merupakan satu kesatuan ekonomis, namun karena secara yuridis setiap badan hukum itu dipandang sebagai subjek hukum yang mandiri, maka suatu tagihan kepada PT tidak dapat dituntut kepada harta pribadi
Banyak pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dalam bentuk badan
hukum Perseroan Terbatas (PT). Pemilihan badan hukum PT untuk menjalankan
roda bisnisnya dikarenakan terdapatnya beberapa keuntungan dari karakteristik
kebadanhukuman dari PT, seperti pertanggungjawaban yang terbatas terhadap
para pemegang sahamnya, keharusan dalam urusan administratif dan lain-lainnya.
Rudhi Prasetya dalam disertasinya mengemukakan teorinya mengenai alasan
pemilihan badan hukum PT dalam lalu lintas bisnis sebagai berikut:
2
orangnya, baik pengurusnya maupun pemegang sahamnya, atau kepada PT-PT lainnya, sekalipun saham-sahamnya berada dalam satu tangan pemegang saham.”3
Kehadiran Perseroan Terbatas sebagai salah satu kendaraan bisnis
memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan
Terbatas telah menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan
ekonomi dan sosial.4
a. Badan hukum
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan,
adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 butir (1) UUPT No. 40 Tahun
2007).
Apabila diuraikan lebih lanjut, maka definisi PT harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut ini:
Setiap perseroan adalah badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai
pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan pendiri
atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan
perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas menyatakan
bahwa perseroan adalah badan hukum.
3
Rudhi Prasetya, pada Disertasinya Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas disertai
dengan Ulasan menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996) dikutip dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.14.
4
b. Didirikan berdasarkan perjanjian
Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian (kontrak), artinya harus ada
dua orang atau lebih pemegang saham yang setuju mendirikan perseroan yang
dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk anggaran dasar,
kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat didepan notaris. Setiap
pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan.
Dengan demikian tidak ada perseroan yang hanya didirikan oleh satu orang
pemegang saham dan tanpa akta notaris.
c. Melakukan kegiatan usaha
Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang
ekonomi (industri, dagang, jasa) yang bertujuan memperoleh keuntungan dan
atau laba. Supaya kegiatan itu sah harus memperoleh izin usaha dari pihak
yang berwenang
d. Modal dasar
Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham. Modal dasar5
e. Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan UUPT dan peraturan
pelaksanaannya
merupakan harta kekayaan perseroan (badan
hukum), yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan,
atau pemegang saham.
5
Ketentuan ini menunjukkan bahwa UUPT menganut sistem tertutup (closed
system). Persyaratan yang wajib dipenuhi mulai dari pendiriannya,
beroperasinya, dan berakhirnya. Diantara syarat mutlak yang wajib dipenuhi
oleh pendiri perseroan adalah akta pendirian harus dibuat didepan notaris dan
harus memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman.6
Setiap perseroan pasti terlibat dalam suatu transaksi, tiada satu
perseroanpun yang tanpa transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan
perseroan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya terbuka, maka
perseroan dalam berhubungan dengan pihak ketiga mengadakan suatu transaksi.
Transaksi dilakukan karena transaksi itu sebagai tempat untuk menampung
bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.7
Perjanjian kredit dilakukan antara kreditur (pihak yang memberikan
pinjaman) dan debitur (pihak yang menerima pinjaman) untuk memenuhi
kekurangan uang agar dapat melaksanakan kegiatan usahanya. Pemberian
pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena
adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut
kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayaan dari kreditur,
tidaklah mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. Pinjaman Salah satu perjanjian
yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam
perseroan untuk memenuhi permodalan perseroan tersebut.
6
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perseroan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5-7.
7
Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di
ini disebut kredit (credit).8 Kredit mempunyai banyak arti, dimana dalam dunia
bisnis pada umumnya kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan akan
pinjaman uang atau kesanggupan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh
penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.”9
Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan di bidang ekonomi.
Dengan demikian perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek
pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi,
dan lain sebagainya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan
modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah
merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.
Dengan demikian kredit dapat pula berarti bahwa pihak kesatu
memberikan prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain,
sedangkan kontraprestasinya akan diterima kemudian (dalam jangka waktu
tertentu).
10
Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit sangatlah sulit.
Namun setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu
mengandung risiko. Oleh karena itu perlu unsur pengamanan dalam
pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar
dalam peminjaman kredit selain unsur keserasiannya (suitability) dan keuntungan
8
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Failissementverordening Juncto
Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pusat Utama Grafiti, 2002), hal.2.
9
Muhammad Djumhana, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Alumni, 1983), hal.21.
10
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, (Jakarta: 2000), hal.2 dikutip dalam Inggrid Kusuma Dewi, Tesis, Kedudukan Hukum Bank sebagai Pemegang
Jaminan Kebendaan pada Perjanjian Kredit dalam Keadaan Debitur Pailit, Universitas Sumatera
(profitability).11
Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan
perorangan (borgtocht/personal guarantee) dan jaminan kebendaan. Pada jaminan
kebendaan, debitur atau pihak yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda
kepada kreditur atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang
yang dipinjam debitur. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat
jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah
dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam
jaminan perorangan (borgtocht/ personal guarantee) adalah jaminan yang
diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh
seorang pihak ketiga (penjamin) yang tidak mempunyai kepentingan apapun baik
terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan
melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur
tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk
melaksanakan kewajiban debitur tersebut. Dengan adanya jaminan perorangan
maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang
debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. Bentuk pengamanan kredit dalam prakteknya dilakukan dalam
pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan debitur
tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam
memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan.
12
11
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.
12
Keberadaan penjamin merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana
jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian
hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur
atau oleh penjamin debitur.13
Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal
1820 sampai dengan Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH perdata
tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah
seorang debitur.14
Apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditur,
maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang
piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak
terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada
pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam
peraturan kepailitan Stb.1095 No.217 jo Stb. 1906 No. 348 sebagimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan
kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa:
“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”
13
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain
yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996), hal.23. 14
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat
Undang-Undang Kepailitan).15
Perseroan yang tidak dapat melakukan kewajibannya kepada kreditur,
dapat dinyatakan pailit. Terjadinya kepailitan dalam perseroan, membawa akibat
bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurusi harta kekayaan Prinsip dasar hukum kepailitan sebenarnya berdasarkan pada ketentuan
Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa semua barang, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan perorangan
debitur tersebut.
Tanggung jawab debitur berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata inilah, yang
kemudian bermuara pada lembaga kepailitan karena dalam lembaga kepailitan
sebenarnya mengatur bagaimanakah halnya jika seorang debitur tidak dapat
membayar utang-utangnya, serta bagaimanakah pertanggungjawaban debitur
tersebut, dalam kewenangannya dengan harta kekayaan yang masih atau yang
akan dimilikinya.
Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya
dilakukan oleh penjamin dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya
perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur
tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur. Dan apabila penjamin
tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh
kreditur.
15
perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan
untuk menyelenggarakan perusahaan, kepailitan dapat mengakibatkan perseroan
tidak dapat lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Apabila perseroan tidak
melaksanakan kegiatan usaha, tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya
bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham
perseroan, belum lagi kepentingan para kreditur yang tidak dapat dibayar lunas
dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan.16
1. Bagaimana dasar hukum untuk mempailitkan penjamin?
Dan juga kepailitan
perseroan akan menyebabkan kerugian bagi penjamin dalam perseroan karena
penjamin juga dapat dinyatakan pailit apabila debitur tidak dapat melakukan
kewajibannya. Hal ini akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi penjamin
selaku pemberi jaminan terhadap debitur kepada kreditur.
Bertolak dari masalah tersebut diatas, judul skripsi yang akan diteliti
adalah: “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan
Perseroan Terbatas (PT)”.
B. Perumusan Masalah
Agar tidak melebar dan lebih terarahnya pembahasan dalam skripsi ini, maka
perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau
acuan dari pokok materi penulisan sehingga suatu kesimpulan dapat diperoleh.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
16
2. Bagaimana syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin?
3. Bagaimana akibat hukum kepailitan penjamin?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi
tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai kepailitan penjamin
b. Untuk mengetahui syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin
c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan penjamin
2. Manfaat Penulisan
Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara
lain:
a. Secara Teoritis
Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan ini akan
memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya pemahaman dan pandangan mengenai hukum kepailitan.
b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat:
1. Menambah wawasan ilmiah dan masukan bagi para kalangan praktisi
2. Memberikan informasi bagi masyarakat terutama kalangan dunia usaha
tentang hukum kepailitan khususnya tentang pertanggungjawaban
penjamin dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT).
D. Keaslian Penulisan
“Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan
Terbatas (PT)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti
melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum dan belum pernah ditulis di
Fakults Hukum Universitas Sumatera Utara kalaupun terdapat judul yang hampir
sama dengan judul ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun
judul yang hampir yaitu “Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam
perkara Kepailitan” yang ditulis oleh Stefanus V. Sebayang pada tahun 2006,
Program Studi Hukum Ekonomi.
Sedangkan judul skripsi penulis yaitu “Tanggung Jawab dan Wewenang
Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)” berbeda dengan judul skripsi
“Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam perkara Kepailitan“ karena
dalam judul skripsi penulis membahas mengenai penjamin berupa orang
(borgtocht/Personal Guarantee) yang mana merupakan suatu jaminan yang
diberikan seseorang secara pribadi bukan badan hukum untuk menjamin utang
orang/badan hukum lain kepada seseorang/ beberapa kreditur. Sedangkan dalam
(badan hukum) untuk menjamin utang orang/ badan hukum lain kepada seseorang
atau beberapa kreditur.17
“Penjamin adalah para pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitur.”
E. Tinjauan Kepustakaan
Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Pengertian
penjamin menurut Rasjin Wiraatmadja seorang advokat senior mengatakan
bahwa:
18
Penjamin adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh
debitur.19
Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak
ketiga, guna kepentingan berutang, mengikatkan dirinya untuk memenuhi Penjamin berkewajiban untuk membayar utang debitur kepada kreditur
manakala sidebitur lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi debitur atau
berkewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung
cidera janji dan harta benda milik debitur utama atau debitur utama yang
ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup
untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai atau cidera janji sudah tidak
mempunyai harta apapun.
17
http://www.hukumonline.com/klinik, diakses tgl 5 Januari 2010 18
Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 21.
19
Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta
kewajiban debitur apabila debitur bersangkutan tidak dapat memenuhi
kewajibannya (Pasal 1820 KUH Perdata).20
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.”
Pengertian penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa:
“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berutang, mengiktkan diri untuk memenuhi
perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”
Pengertian pailit dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan
dalam Pasal 1 angka (1) adalah:
21
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukann oleh Kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang
ini.”
Pengertian Kepailitan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang dalam Pasal
1 angka (1) adalah:
22
20
Ibid, hal. 30. 21
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 22
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kepailitan adalah keadaan
atau kondisi badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya
(dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.
Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian
kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari
beberapa sarjana antara lain:
Retnowulan menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.”23
Siti Soematri Hartono dalam bukunya “Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata yang tercantumkan dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”24
Kartono mengemukakan, “Kepailitan adalah suatu sitaan umum dan
eksekusi atas seluruh kekayaan semua debitur-debiturnya bersama-sama, yang
pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah
piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu.”25
Sudarsono dalam kamus hukum mengatakan istilah pailit, yaitu suatu
keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya
berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Kepailitan.
26
23
Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit, (Varia Peradilan: Tahun II No.19, April 1987), hal.85.
24
Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.1.
25
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya, 1992), hal.7. 26
Sudarsono, Kamus Hukum Cetakan Ketiga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Lebih lanjut Sudargo mengatakan bahwa: “Kepailitan pada intinya
sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda
daripada sipailit”.27
“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Pengertian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam
Pasal 1 angka (1) adalah:
28
27
Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailtan Baru untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998). Hal.3.
28
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
F. Metode Penulisan
Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatn ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam
terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian
terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Metode
penelitian yuridis normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan
peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan yang dilaksanakan di
Indonesia.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan hukum normatif,
yaitu penelitian dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan
kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya
melihat kenyataan melalui putusan hakim Pengadilan Niaga.
3. Bahan Hukum
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan
hukum mulai dari undang Nomor 1 Tahun 1995 Jo
Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan tentang kepailitan
penjamin dalam Perseroan Terbatas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
ensiklopedi, kamus bahasa maupun kamus hukum.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu
yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
5. Analisis Data
Setelah pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder selanjutnya data
tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan
mengadakan pengamatan terhadap data maupun informasi yang diperoleh.
Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian akan dipilah-pilah sehingga
diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang tanggung jawab dan wewenang penjamin jika perseroan yang
dijaminkannya pailit. Kemudian bahan hukum tersebut disistematisasikan
sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan sengan permasalahan tentang
tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam keadaan pailitnya perseroan.
Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara kualitatif
Diharapkan melalui penelititan ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas
lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban dan wewenang penjamin
sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kaidah-kaidah hukum
guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai tanggung
jawab dan wewenang penjamin dalam kepailitan suatu perseroan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar
memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan
skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:
BAB I : Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar
belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan
sistematika penulisan penulisan.
BAB II : Bab kedua akan membahas mengenai pengaturan hukum mengenai
hukum kepailitan terhadap penjamin. Pembahasan bab kedua ini
akan dimulai dengan pembahasan tentang kepailitan. Kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan tentang penjamin, pembahasan
tentang ketentuan hukum yang mengatur tentang kepailitan dan
penjamin, dan selanjutnya pembahasan mengenai kaitan antara
BAB III : Bab ketiga akan membahas mengenai syarat dan mekanisme
pelaksanaan kepailitan penjamin. Pembahasan bab ketiga ini akan
dimulai dengan pembahasan mengenai pihak-pihak yang terkait
dalam kepailitan. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai syarat pelaksanaan kepailitan penjamin dan pembahasan
mengenai mekanisme kepailitan penjamin.
BAB IV : Bab keempat akan membahas mengenai akibat hukum dari
kepailitan penjamin. Pembahasan bab ini terdiri dari pembahasan
mengenai akibat hukum hubungan perjanjian penjamin (Borgtocht/
Personal Guarantee), akibat hukum kepailitan penjamin dalam
Perseroan Terbatas (PT), tanggung jawab dan wewenang penjamin
dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT), dan kemudian analisis
terhadap putusan pailit penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee).
BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan
penulisan dan saran yang berfungsi untuk memberikan masukan
bagi perkembangan hukum kepailitan di masa yang akan datang.
BAB II
PENGATURAN HUKUM KEPAILITAN TERHADAP PENJAMIN
A. Sejarah, Pengertian dan Asas – Asas Hukum Kepailitan
1. Sejarah Kepailitan
a. Sejarah Kepailitan di Belanda
Pada mulanya dalam hukum Belanda tidak dikenal perbedaan antara
kooplieden (pedagang) dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam
kepailitan. Namun, pada permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda
dijajah Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du
Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d 30 September 1838). Pada masa Code du
Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara kooplieden dengan niet
kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden. Kemudian
sesudah Belanda merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel
(WvK) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 (tiga)
buku dan buku III adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen ven
kooplieden, yang diatur dalam Pasal 764 – Pasal 943 dan dibagi dalam 2 (dua)
titel yaitu:29
1. Van Faillisement, dan
2. Van Surseance van Betaling.
29
Sedangkan Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering buku III titel 8
mengatur tentang Van de toestand van kennelijk onvermogen, yang diatur dalam
Pasal 882-Pasal 899 yang hanya berlaku bagi niet kooplieden.
Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet
kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para
sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda
bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan
satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda. Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan
oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan
berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang dengan nama Faillisementwet dan mulai berlaku pada 1
September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini
sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III titel 8 Wetboek van
Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang
berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden.30
b. Sejarah Kepailitan di Indonesia
Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi
menjadi tiga masa, yakni:
1. Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur
dalam dua tempat yaitu dalam:
30
a. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de
voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan
tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan
kepailitan untuk pedagang.
b. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku
ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen
atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan
pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan
tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:
1) Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya,
2) Biaya tinggi,
3) Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
4) Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak
perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217)
untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.
2. Masa berlakunya Faillisements Verordening
Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening
(Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya
berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing
Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja menggunakan
Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam
masa ini untuk kepalitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang
berlaku bagi semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik
perseorangan maupun badan hukum.
Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan
dengan apa yang terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131
IS), yakni dimulai dengan berlakunya Code du Commerce (tahun 1811-1838)
kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku
pada 1 Spetember 1896.
3. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional
Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo
Stb. 1906-348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan,
yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum
nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan yang
kemudian diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18
November 2004 disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
a. Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan No. 4 Tahun
1998
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa negara di Asia
kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama
kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi
dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para
kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai
dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih
luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan
efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam
Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum
prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namum
sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian
berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk
menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka
dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar
penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian
dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements
Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang
kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4
Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19
September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998
No. 135.31
31
b. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004
Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya
UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang
luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat
untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:
1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian
utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh
waktu.
2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di
dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan
putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran
utang.32
2. Pengertian Kepailitan
Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberi suatu
solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar
utang kepada kreditur. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua)
fungsi sekaligus, yakni:
32
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur
tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua
utang-utangnya kepada semua kreditur.
2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur
terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.33
Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah
pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan
atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet
atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa
Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata
benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail
dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.34
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan
kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap
perusahaan-perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar
utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan.
33
http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern, diakses tgl 5 Januari 2010
34
kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang
mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah
ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan
kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan
tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk
membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte)
dan sesuai dengan struktur kreditur.35
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah “the state or
conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is
unable to pay its debt as they are, or became due. The term includes a person
against whom am involuntary petition has been field, or who has field a voluntary
petition, or who has been adjudged a bankrupt.”36
Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di
atas diketahui bahwa pengertian pailit adalah ketidakmampuan untuk membayar
dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak
dibayarannya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus
disertai dengan pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitur sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selanjutnya pengadilan
akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitur.
Keputusan tentang pailitnya debitur haruslah berdasarkan keputusan pengadilan,
35
Hadi Subhan, Op.Cit.,hal 1. 36
dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk
menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampua debitur. Keputusan
pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal
ketidakmampuan seorang debitur itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitur
tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.
Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan
keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum
atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu
pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk
kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang
berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk:
a. Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara
perorangan.
b. Ditujukan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi
debitur tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.37
Hakikat sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur adalah bahwa
dengan adanya kepailitan dapat menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit
oleh para krediturnya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta
pailit oleh debitur yang kemungkinan akan merugikan para krediturnya. Dengan
adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari
37
segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut
diurus oleh kurator.
Pengertian kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan
umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau
tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena
itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara
apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur
dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar.
Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penggelapan terhadap
hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur.
Mengenai definisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam
Faillisement Verordening maupun dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998
tentang Kepailitan. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang
lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang
pengertian pailit tersebut:
1. R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta
kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta
Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan
boedel dari orang yang pailit.38
2. Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah suatu lembaga
hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok
38
dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.39
3. Menurut Memorie Van Toelichting (Penjelasan Umum)
Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta
kekayaan siberutang guna kepentingannya bersama para yang
mengutangkan.40
4. Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa:
Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta
pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah
pengawasan pemerintah.41
1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis
kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20
Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak
kreditur si pailit.
Dalam pengertian kepailitan menurut Mohammad Chaidir Ali maka unsur-unsur
kepailitan, yaitu:
2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut
posisi piutang dari para kreditur yaitu:
a. Golongan kreditur separatis.
b. Golongan kreditur preferen.
c. Golongan kreditur konkuren.
39
Victor M. Situmorang, Loc.Cit. 40
R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal.264. 41
3. Dengan dibawah pengawasan pemerintah, artinya bahwa Pemerintah ikut
campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan
penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat
perlengkapannya yaitu:
a. Hakim Pengadilan Niaga
b. Hakim Komisaris
c. Kurator
Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, pailit diartikan sebagai debitur
(yang berutang) yang berarti membayar utang-utangnya. Hal ini tercermin dalam
Pasal 1 Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan:
“Setiap pihak yang berutang (debitur) yang berada dalam keadaan berhenti
membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (krediturnya),
dinyatakan dalam keadaan pailit.”42
1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitur sudah tidak
mampu lagi membayar utang-utangnya.
Dari rumusan Pasal 1 Faillissement Verordening di atas dapat diketahui
bahwa agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditur, dan salah seorang dari mereka itu
piutangnya sudah dapat ditagih.
42
“Istilah berhenti membayar tidak mutlak diartikan debitur sama sekali
berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke Pengadilan,
debitur berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya.”43
Perihal “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya baik di dalam Undang-Undang, Yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya pedoman umum yang disetujui, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditujukan bahwa debitur tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.44
“Debitur pailit mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan pailit sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.”
Dalam Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998, pengertian pailit
tercermin dalam Pasal 1 angka (1) yang menyatakan:
45
“Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.”
Setelah keluarnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit dapat dilihat
dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan:
46
43
Mohammad Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Dagang, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 475.
44
Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 8.
45
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
46
Pasal 1 angka (1) ini menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita
individual, oleh karena itu diisyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa
untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur.
Seorang debitur yang hanya memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan
pailit. Hal ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Bila hanya satu kreditur
maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam
kepailitan. Dalam sita umum maka seluruh harta kekayaan debitur akan berada di
bawah penguasaan dan pengurusan Kurator. Debitur tidak memiliki hak untuk
mengurus dan menguasai harta kekayaannya.
Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus
didahului dengan pernyataan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan sendiri
secara sukarela maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selama
debitur belum dinyatakan pailit oleh Pengadilan, selama itu pula yang
bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh
tempo. Pernyataan pailit ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan dan
eksekusi perseorangan atas harta kekayaan debitur yang tidak mampu melunasi
utang-utangnya lagi. Dengan adanya pernyataan pailit disini, penyitaan dan
eksekusi harta kekayaan debitur dilakukan secara umum untuk kepentingan
kreditur-krediturnya. Semua kreditur mempunyai hak yang sama terhadap
pelunasan utang-utang debitur, harta kekayaan yang telah disita dan dieksekusi
masing-masing. Dengan demikian pernyataan pailit hanya menyangkut harta
kekayaan milik debitur saja, tidak termasuk status dirinya.47
3. Asas-asas Hukum Kepailitan
Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi
penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal
1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya.
Dalam kedua pasal ini memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa
kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan dari kekayaan
debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pasal 1131
dan 1132 KUH Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian
pembayaran atas transaksi- transaksi yang telah diadakan.
Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur
(Pasal 1131 KUH Perdata) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya
(Pasal 1132 KUH Perdata) secara proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak
mendahului (hak preferen).
Jadi pada dasarnya asas yang terkandung di dalam Pasal 1131
KUHPerdata dan Pasal 1132 KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang
mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-kreditur terhadap
transaksinya dengan debitur.
Bertolak dari asas tersebut diatas sebagai lex generalis, maka ketentuan
kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.
47
Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya
mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa
debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua
utang-utangnya kepada semua krediturnya.
2. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi
massal oleh kreditur-krediturnya.
Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga
atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat
asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata.
Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam
rangka memberikan kepastian hukum.
Dari situlah kemudian timbul lembaga kepailitan yang berusaha untuk
mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditur
dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata. Jadi Pasal
1131 KUH Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan.
Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement
Verordening maupun UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara
khusus, namun pada UU No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam
penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan
pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh
kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan
mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur
lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa
sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.48
48
B. Tentang Penjamin
Pengertian penjamin atau penanggung dalam Pasal 1820 KUH Perdata
yang menyebutkan bahwa:
“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak
ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”49
Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki oleh
kreditur, karena perjanjian utang piutang bukan perjanjian jual beli yang
mengakibatkan perpindahan hak milik atas sesuatu barang. Barang jaminan
dipergunakan untuk melunasi utang, dengan cara sebagaimana peraturan yang Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Kata
“jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 1131
KUH Perdata dan penjelasan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan.
Akan tetapi dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud
dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Biasanya
dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur
agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya atau perorangan
yang merupakan pihak ketiga yang disepakati dalam perjanjian untuk kepentingan
pelunasan utang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata debitur
tidak melunasi.
49
berlaku, yaitu barang jaminan dijual dengan cara dilelang. Hasilnya untuk
melunasi utang dan apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada debitur.
Barang jaminan juga tidak selalu milik debitur, Undang-Undang
memperbolehkan barang milik pihak ketiga asalkan pihak yang bersangkutan
merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan utang debitur.
Dari penjelasan diatas, dapat diberikan pengertian bahwa jaminan adalah
suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan
sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan
pembayaran utang si debitur.50
50
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 56.
Yang menjadi fungsi utama jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau
kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang
diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati
bersama.
Setiap ada perjanjian jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya,
yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak
mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini
disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan yang dapat berdiri
sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian
pokoknya telah selesai, maka perjanjian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian
Kedudukan perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir
(tambahan) mempunyai ciri-ciri:
1. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok;
2. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;
3. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.51
Karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan
mengamankan kredit, jaminan yang ideal (baik) itu adalah:
1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukannya;
2.