• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (.) Nielsen)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia Salisb) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (.) Nielsen)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

ULTRASTRUKTUR KAYU REAKSI

PADA DAMAR (

Agathis loranthifolia

Salisb.) DAN

SENGON (

Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen)

I KETUT NURIDJA PANDIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DISERTASI

ULTRASTRUKTUR KAYU REAKSI

PADA DAMAR (

Agathis loranthifolia

Salisb.) DAN

SENGON (

Paraserianthes falcataria (L.)

Nielsen)

I KETUT NURIDJA PANDIT

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

ULTRASTRUKTUR KAYU REAKSI

PADA DAMAR (

Agathis loranthifolia Salisb.

) DAN

SENGON (

Paraserianthes falcataria

(L.)

Nielsen)

I KETUT NURIDJA PANDIT

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Disertasi : Ultrastruktur Kayu Reaksi pada Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Nama : I Ketut Nuridja Pandit NIM : IPK E061040101

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan Ketua

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS.

Tanggal Ujian : 14 Mei 2007

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2004 ini adalah Ultrastruktur kayu reaksi pada damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Kurnia Sofyan, Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng MF. dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Soenardi Prawirohatmodjo, Bapak Dr. Ir. Ronny Rachman Noor MRur. Sc. dan Ir. Widyanto Dwi Nugroho yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah I Gede Mangku (almarhum), ibu Ni Luh Mertha (almarhumah) dan istri Ir.Kuswiati Nuridja MSc. serta anak pertama Putu Fajar Ariyanti S.Sos., anak kedua Made Decee Ariyani S.TP MBA. dan anak ketiga Pande Ariwibawa S.TP. atas doa dan pengorbanan yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2007

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Singaraja, Bali pada tanggal 9 April 1945 sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari pasangan ayah I Gede Mangku dan ibu Ni Luh Mertha. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada bulan Desember 1973. Pada tahun 1986, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta dan menamatkannya pada tahun 1988. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun kuliah 2004/2005. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis selama ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan mengasuh mata kuliah Anatomi dan Identifikasi Kayu; Struktur dan Sifat Kayu untuk program Sarjana (S1). Pada program Pascasarjana (S2) mengasuh mata kuliah Struktur Mikro Jaringan Berkayu. Selama pengabdiannya penulis telah menulis beberapa buku antara lain : (1) Pedoman Teknis Pengenalan Kayu, diterbitkan oleh Departemen Kehutanan Jakarta Maret 1992; (2) Seri Manual Pedoman Identifikasi Kayu di Lapangan diterbitkan oleh Yayasan PROSEA (Plant Resource of South East Asia) tahun 1997 dan telah dicetak ulang tahun 2002; (3) Buku Anatomi Kayu, Pengantar sifat kayu sebagai bahan, diterbitkan oleh Yayasan Fakultas Kehutanan IPB April tahun 2002; (4) Buku Variabilitas Sifat Dasar Kayu, diterbitkan oleh Fakultas Kehutanan IPB April 2006. Di samping itu penulis juga aktif dalam pengabdian kepada masyarakat sebagai konsultan identifikasi kayu di perusahaan kayu di Jakarta antara lain di PT Sewang Korea Selatan.

Karya ilmiah yang merupakan bagian dari hasil penelitian program S3 telah ditulis dalam dua makalah masing-masing berjudul Penyebaran noktah berbatas pada kayu Agathis loranthifolia Salisb. telah diseminarkan pada Seminar Nasional MAPEKI VIII di Tenggarong Kalimantan Timur, 2-5 September 2005. Makalah berjudul Ultrastruktur kayu tekan pada damar hubungannya dengan sifat fisik, juga telah diseminarkan pada Seminar Nasional MAPEKI IX di Banjarmasin Kalimantan Selatan, 11-13 Agustus 2006.

Bogor, Mei 2007

(7)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Ultrastruktur kayu reaksi pada damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2007

(8)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(9)

SEMINAR PENELITIAN

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Nama : I Ketut Nuridja Pandit

Nomor Pokok : E 061040101

Prgram Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Judul Penelitian : Ultra-Struktur Kayu Reaksi pada damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan sengon

(Paraserianthes falcataria Nielsen ).

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Kurnia Sofyan

Prof. Dr. Rudy C. Tarumingkeng MF. Prof. Dr. Cecep Kusmana MS.

Hari/Tanggal : Kamis,

Waktu : 11.00 S/D 12.00 WIB.

(10)
(11)

ABSTRACT

I KETUT NURIDJA PANDIT. Ultrastructure of Reaction Wood on damar ( Agathis loranthifolia Salisb. ) and sengon ( Paraserianthes falcataria Nielsen ). Supervited by: KURNIA SOFYAN, RUDI C. TARUMINGKENG and CECEP KUSMANA.

Wood scientists and technologists have been interested in understanding the ultrastructure and composition of the S2 layer of wood cell walls for a long time. The S2 layer occupies a large proportion of wood cell walls, providing important contributions to strength properties of both solid wood and fiber products. Reaction wood is one of the defected of wood which commonly occurred in soft wood and hard wood. Reaction wood which occurs on soft wood is called compression wood, and when it occurs on hard wood is called tension wood. The reaction woods have been found in large quantity and widely spread in both natural forest and also plantation forest. Therefore it needs to get attention from wood scientists to have it as the research object.

The objective of this research was to investigate the untrastructure characteristics of compression wood tracheids on Agathis loranthifolia Salisb. and tension wood fibers on Paraserianthes falcataria Nielsen. Several methods were applied to obstain complementary results. Observations were made using scanning electron microscopy (SEM) and light microscopy (LM).

The experimental results showed that ultrastructures of cell walls of compression wood on damar are characterited by: (1) The crossed-section tracheids cells is circular in shape.change of shape; (2) Contacts between three or four tracheids cells on crossed-section create intercellular space; (3) The Microfibril angle (MFA) on tracheids cell walls becomes bigger, almost 40o-45o to cell length axle; Ultrastructure characteristics ultrastructure of tension wood on sengon are characterited by: (1) Ultrastructure of secondary wall S3 (DsS3) is modified by gelatinous layer (G layers); (2) The length of fibers cells becomes shorter. (3) The MFA on fibers cells walls becomes bigger, almost 40o-54o; (4) The change in shape of aperture of bordered pit in vessels cell walls.

Reaction woods are one of the serious defected woods, therefore we need prefentive efforts to decrease the defects. In general, fast growing tree species from plantations is more susceptible to becomes a reaction wood.

Based on the finding of this research above it could be recommended that: (1) necessary to make collaboration between wood technologiest and silviculturiest to develop good quality forest in the future; (2) Necessary to provide more attention especially on the initial stages in developing the plantation forest.

--- Key words: Agathis loranthifolia Salisb. ,Paraserianthes falcataria Nielsen,

(12)

ABSTRAK

I KETUT NURIDJA PANDIT. Ultrastruktur kayu reaksi pada damar ( Agathis loranthifolia Salisb.) dan sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen).Dibimbing oleh:KURNIA SOFYAN, RUDY C. TARUMINGKENG, dan CECEP KUSMANA.

Para ilmuan dan orang-orang yang berkecimpung dalam teknologi kayu sangat tertarik untuk memahami ultrastruktur dan komposisi lapisan S2 dari dinding sekunder sel-sel kayu untuk waktu yang lama. Dinding sekunder S2 mempunyai proporsi yang besar yang menyusun dinding sel kayu sehingga mempunyai kontribusi penting yang menentukan sifat kekuatan baik untuk kayu solid dan produk-produk dari serat kayu. Kayu reaksi adalah salah satu bentuk cacat pada kayu yang banyak ditemukan pada kayu daun jarum (KDJ), maupun kayu daun lebar (KDL). Kayu reaksi yang terjadi pada KDJ disebut kayu tekan dan bila terjadi pada KDL disebut kayu tarik. Cacat kayu reaksi jumlahnya sangat banyak dan penyebaran cukup luas baik di hutan alam maupun di hutan tanaman. Oleh karena itu perlu mendapat perhatian dari para peneliti kayu untuk dijadikan objek dalam penelitiannya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian karakteristik ultrastruktur sel-sel trakeida kayu tekan pada kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb.) dan sel-sel serabut kayu tarik pada sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen). Beberapa metode penelitian telah dipakai untuk memperoleh hasil dalam penelitian ini. Observasi ultrastruktur dilakukan dengan menggunakan mikroskop payaran dan observasi sifat mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya.

Hasil penelitian ini menunjukkan hasil bahwa ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar dicirikan oleh: (1) Penampang melintang sel-sel trakeida bentuknya bulat; (2) Kontak tiga atau empat sel-sel trakeida pada penampang melintang menyebabkan terbentuknya ruang-ruang antar sel; (3) Orientasi mikrofibril dinding sekunder S2 bertambah besar, menjadi sekitar 40o-45o terhadap sumbu panjang sel. Karakteristik ultrastruktur dinding sekunder kayu tarik pada sengon dicirikan oleh: (1) Ultrastruktur dinding sekunder S3 termodifikasi dengan adanya lapisan gelatin (G layer); (2) Panjang sel-sel serabut kayu tarik bertambah pendek; (3) Sudut mikrofibril dinding sekunder sel-sel serabut bertambah besar menjadi sekitar 40o-54o; (4) Terjadi perubahan bentuk mulut noktah berbatas dinding sel-sel pembuluh.

Kayu reaksi merupakan cacat kayu yang serius, sehingga perlu ada usaha prefentif untuk menguranginya. Hutan tanaman dari jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh, umumnya lebih mudah untuk mengalami cacat kayu reaksi.

Dari hasil penemuan yang telah dihasilkan dalam penelitian ini dapat disarankan bahwa: (1) Perlunya untuk melakukan kolaborasi antara ilmuan yang berkecimpung dalam bidang perkayuan dan kaum silvikurturis untuk secara sinergis membangun hutan yang lebih berkualitas untuk masa yang akan datang; (2) Perlu memberi perhatian yang lebih besar pada tegakan hutan tanaman terutama pada masa tegakan yang masih muda.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Hipotesis Penelitian ... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Pengertian Kayu Reaksi ... 8

B. Pembentukan Kayu Reaksi ... 8

C. Sifat Makroskopik Kayu Reaksi ... 10

D. Sifat Mikroskopik Kayu Reaksi ... 11

E. Ultra Struktur Kayu Reaksi ... 13

F. Kelemahan Sifat Kayu Reaksi ... 14

G. Pertumbuhan Batang Pohon ... 16

H. Struktur Sel Kambium ... 17

I. Pembelahan Sel Fusiform ... 17

J. Pengaruh Anatomi Kayu Terhadap Sifat Fisik ... 19

K. Botani dan Habitus ... 20

1. Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) ... 20

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb.) ... 22

L. Penyebaran dan Tempat Tumbuh ... 23

1. Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) ... 23

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb) ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 25

A. Kerangka Pendekatan Penelitian ... 25

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

C. Variabel yang Diamati ... 28

D. Bahan dan Alat Penelitian ... 28

E. Teknik Pengambilan Contoh ... 29

F. Tahapan Kegiatan Penelitian ... 32

G. Analisis Data ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

Aspek 1. Kemiringan Batang Hubungannya dengan Persentase ... 34

Kayu Reaksi ... 34

(14)

Aspek 2. Karakterisrik Kayu Reaksi dan Mekanisme

Pembentukannya ... 38

A. Karakteristik kayu tekan pada damar... 38

B. Karakteristik kayu tarik pada sengon ... 41

C. Mekanisme pembentukan kayu rekasi ... 43

Aspek 3. Struktur Anatomi Kayu Damar dan Sengon ... 46

A. Struktur anatomi kayu damar ... 46

B. Struktur anatomi kayu sengon ... 48

Aspek 4. Karakteristik Ultrastruktur Dinding Sel Kayu Reaksi ... 55

A. Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar ... 55

B. Karakteristik ultrastruktur kayu tarik pada sengon ... 62

Aspek 5. Ultra Struktur Kayu Reaksi dan Dampaknya Terhadap Teknologi Pengolahan kayu tekan damar dan kayu tarik sengon ... 69

A. Perubahan bantuk penampang melintang batang ... 69

B. Perubahan panjang sel trakeida dan sel serabut ... 70

C. Perubahan bentuk penampang melintang sel-sel trakeida 70

D. Perubahan sudut mikrosfibril (MFA) kayu reaksi ... 72

E. Lapisan gelatinous (G. layers) pada kayu tarik ... 74

F. Dampak perubahan ultrastruktur terhadap teknologi pengolahan ... 75

G. Pembahasan umum ... 77

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Rekomendasi ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Jumlah batang pohon yang ditebang untuk bahan penelitian ... 30 Tabel 2 Hubungan antara kemiringan batang dengan persentase kayu rekasi

pada kayu damar dan sengon ... 37 Tabel 3 Hasil pengukuran diameter tangensial sel pembuluh kayu normal,

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Diagram alir kerangka pendekatan masalah penelitian

ultra-struktur kayu reaksi pada kayu damar dan sengon ... 25 Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Kegiatan Penelitian Ultrastruktur

Kayu Reaksi pada (Agathis loranthifolia) dan sengon

(Paraserianthes falcataria). ... 32 Gambar 3 Persentase cacat kayu tarik ringan, berat dan kayu normal tegakan

sengon umut 6 tahun di BKPH Banjarsari Ciamis ... 35 Gambar 4 Persentase cacat kayu tarik pada tegakan sengon di Daramaga 35 Gambar 5 Contoh batang kayu damar yang tumbuh normal dan abnormal 36 Gambar 6 Penampang melintang kayu normal Agathis loranthifolia Salisb. 39 Gambar 7 Penampang melintang kayu tekan Agathis loranthifolia Salisb. 39 Gambar 8 Penampang melintang batang kayu normal (A), penampang

melintang kayu tarik ringan (B), dan penampang melintang

kayu tarik berat (C) ... 43 Gambar 9 Sketsa riap tumbuh batang pohon kayu normal (A), sketsa riap

tumbuh batang kayu tarik (B), dan sketsa riap tumbuh batang

kayu tekan (C)... 45 Gambar 10 Penampang radial kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb.) (A)

Penampang tangensial kayu damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

(B) ... 47 Gambar 11 Sel pembuluh kayu sengon hasil proses maserasi ... 49

Gambar 12 Sel-sel pembuluh kayu sengon yang masih tersambung, pada

Penampang tangensial ... 49 Gambar 13 Liqulate extension pada sel pembuluh hasil proses maserasi (A),

Liqulate extension yang mengkait dua sel pembuluh kayu kuku. 50 Gambar 14 Diagram variasi panjang sel serabut sengon umur 20 tahun ... 51

(17)

Gambar 17 Penampang radial kayu Paraserianthes falcataria Nielsen ... 54 Gambar 18 Penampang tangensial kayu Paraserianthes falcataria Nielsen 55 Gambar 19 Ultrastruktur penampang melintang kayu tekan damar ... 56 Gambar 20 Ultrastruktur penampang melintang kayu tekan damar ... 57 Gambar 21 Penampang melintang dan radial ultrastruktur kayu normal ... 58 Gambar 22 Ultrastruktur penampang melintang dan radial kayu tekan Agathis Loranthifolia Salisb. ... 59 Gambar 23 Pola penyebaran noktah berbatas pada bidang radial damar ... 59 Gambar 24 Ultrastruktur penampang radial sel trakeida kayu tekan pada

Agathis loranthifolia Salisb. ... 60 Gambar 25 Penampang melintang ultrastruktur kayu normal pada

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. ... 63 Gambar 26 Penampang melintang ultra-struktur dinding sel kayu tarik pada

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. ... 64 Gambar 27 Pola penyebaran noktah pada dinding samping sel pembuluh

kayu tarik sengon ... 65 Gambar 28 Ultrastruktur lapisan gelatin pada sel parenkim kayu tarik pada

sengon ... 65 Gambar 29 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

normal pada sengon ... 67 Gambar 30 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

normal pada sengon ... 67 Gambar 31 MFA dan arah orientasi mikrofibril dinding sel serabut kayu

sengon yang mengalami cacat kayu tarik ringan ... 68 Gambar 32 MFA dinding sel serabut kayu tarik berat sengon ... 68 Gambar 34 Berat jenis kayu tarik dan kayu normal pada sengon ... 72 Gambar 35 Penyusutan longitudinal kayu tarik dibanding kayu normal pada

(18)

Gambar 36 Dampak kayu tarik terhadap kualitas kayu gergajian ... 76 Gambar 39 Dampak adanya cacat kayu tarik terhadap hasil proses penyerutan

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerusakan hutan alam di Indonesia periode antara tahun 1985-1997 mencapai 1,6 juta ha setiap tahunnya. Pada periode antara tahun 1997-2000 kerusakan hutan mencapai rata-rata 2,84 juta ha setiap tahunnya, sehingga total kerusakan hutan sampai tahun 2005 diperkirakan telah mencapai jumlah sekitar 59,1 juta ha. (Badan Planologi Kehutanan 2005). Laporan terakhir yang diperoleh dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI 2007) bahwa Jatah Produksi Tebangan (JPT) dari hutan alam tahun 2007 yang ditetapkan Departemen Kehutanan, hanya sebesar 9,1 juta m3 dan JPT tahun sebelumnya bahkan hanya sebesar 8,1 juta m3. Konsumsi bahan baku kayu untuk industri perkayuan tahun 2005 mencapai 44,5 juta m3. (Departemen Kehutanan 2005). Kondisi seperti ini menyebabkan produksi hutan alam tidak lagi mampu untuk memenui kebutuhan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri.

Untuk mengatasi kekurangan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri, pemerintah sebenarnya sejak tahun 1978 telah mencanangkan program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), tapi sampai saat ini hasilnya belum seperti yang diharapkan. Oleh karena itu pembangunan HTI harus terus dibenahi, disempurnakan dan dikembangkan sehigga mampu memenuhi kebutuhan bahan baku kayu yang terus meningkat.

Pembangunan HTI mempunyai banyak kelebihan, di samping karena produksifitasnya tinggi umumnya juga mempunyai daur yang pendek. Pembanguan HTI terutama yang memberi prioritas pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh (fast growing tree species) di samping memberikan banyak keuntungan, juga mempunyai beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan hutan tanaman terutama untuk jenis-jenis pohon cepat tumbuh, umumnya kualitas kayunya terutama dalam bentuk kayu solid mempunyai banyak kelemahan dan di samping itu hutan tanaman mengandung persentase kayu reaksi yang tinggi..

(20)

Angiospermae (hardwood) yang sering disebut kayu daun lebar (KDL). Cacat kayu reaksi yang terjadi pada KDJ disebut kayu tekan ( compression wood ) dan bila terjadi pada KDL disebut kayu tarik (tension wood) (Panshin 1980;

Haygreen 1982: Tsoumis 1991 dan Bowyer 2003).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan penulis pada tahun 2004, tegakan hutan tanaman sengon di kampus IPB Darmaga diketahui bahwa jumlah batang pohon yang mengalami cacat kayu tarik ringan sebesar 55,36%, dan mengalami cacat kayu tarik berat sebesar 42,86%. Kayu reaksi berkembang sangat pesat, terutama pada jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh. Kayu reaksi sulit ditemukan pada suatu tegakan hutan KDJ jika tidak mempunyai sedikit cacat kayu yang disebut kayu tekan (Kartal 2000). Hutan Pinus resinosa yang ditanam di New York yang mempunyai kecenderungan

batangnya tumbuh miring 5o dapat mengandung 5%-40% kayu tekan, dan bila kemiringannya mencapai 10o dapat mengandung 40%-70% kayu tekan (Kartal 2000). Dapat ditambahkan lagi menurut Kartal (2000) bahwa: pada tegakan hutan KDJ yang dikelola dengan manajemen baik sekalipun, tidak ada jaminan batang pohon bebas dari adanya kayu tekan.

Kayu adalah suatu bahan yang berasal dari proses metabolisme organisme hidup yaitu pohon, dimana dalam perjalanan hidupnya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Faktor genetik merupakan faktor yang paling dominan yang menyebabkan adanya variasi sifat dasar kayu antar jenis. Variasi sifat dasar kayu dalam satu jenis antara lain dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang sangat kompleks seperti kondisi iklim, kesuburan tanah, ketersediaan air dan hara mineral, serta perlakuan silvikultur, di samping juga oleh faktor kedewasaan pohon waktu ditebang (Panshin 1980; Bodig 1982; Tsoumis 1991; Bowyer 2003).

(21)

Gaya dari berbagai pengaruh lingkungan dapat menyebabkan batang pohon tumbuhnya menyimpang dari keadaan yang normal, misalnya batang pohon tumbuh miring, melengkung atau bengkok. Faktor eksternal yang terlibat disini dapat bekerja secara mekanis seperti pengaruh angin, adanya gaya berat atau oleh faktor fisiologis seperti cahaya, kerusakan tajuk akibat serangan hama dan kerusakan oleh ulah manusia. Kayu reaksi terjadi sebagai mekanisme reaksi internal dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak ke arah vertikal (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Torges 2005 dan Gilman 2005).

Sifat-sifat kayu reaksi mempunyai banyak kelemahan dibanding kayu normal dan jumlahnya sangat banyak, sehingga merupakan cacat kayu yang memerlukan perhatian serius. Kayu reaksi pada papan atau dolok kayu tarik umumnya dapat dicirikan oleh adanya permukaan yang berserabut (woolly grain) terutama bila digergaji dalam kondisi basah, dan sering bilah gergaji macet sehingga membuat gergaji cepat panas (Panshin 1980). Panshin(1980) juga melaporkan hasil penelitiannya pada jenis kayu Pseudotsuga taxifolia (Poir.) Britt. adanya kayu reaksi menyebabkan corak kayu menjadi kurang menarik, karena perbedaan antara struktur kayu awal (early-wood; spring-wood) dan kayu akhir (late-wood; summer-wood) menjadi kurang nyata. Kelemahan lain juga nampak jelas pada sifat pengeringannya. Kayu reaksi sering mengalami cacat collapse yang tidak dapat dikembalikan, sehingga papan atau dolok menjadi melengkung ke arah luar sebagai akibat dari penyusutan longitudinal yang sangat besar (Panshin 1980).

(22)

Selama ini penelitian sifat-sifat dasar kayu di Indonesia lebih banyak dilakukan pada kayu yang berasal dari batang pohon yang tumbuh normal, sedangkan penelitian kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh abnormal masih jarang. Padahal potensi batang pohon yang tumbuh abnormal, ternyata sangat besar. Di samping itu, sifat-sifat kayu abnormal seperti kayu reaksi mempunyai banyak kelemahan, sehingga nilai ekonominya menjadi lebih rendah dibanding kayu normal. Atas dasar hal-hal tersebut di atas upaya penelitian ultrastruktur kayu reaksi ini perlu mendapat perhatian yang serius.

B. Perumusan Masalah

Produksi hutan alam ternyata tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri di dalam negeri. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industri akhir-akhir ini jauh lebih tinggi dari kemampuan produksi hutan yang ada, sehingga usaha peningkatan pengembangan HTI dan efisiensi pemanfaatan kayu, seyogianya dilakukan secara sinergis dan berkelanjutan. Salah satu kekuatiran pada tegakan cepat tumbuh adalah pertumbuhan tidak normal seperti terbentuknya kayu reaksi yang secara potensial dapat merugikan.

Pendekatan awal untuk merumuskan permasalahan ini dimulai dari usaha untuk memperoleh informasi tentang karakteristik sifat-sifat dasar kayu reaksi terutama untuk mengetahui hal-hal berikut :

1. Berapa besar potensi cacat kayu reaksi yang terjadi pada tegakan kayu damar dan sengon, serta bagaimana mekanisme pembentukan kayu reaksi di dalam batang pohon yang tumbuhnya abnormal.

2. Bagaimana karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi pada kayu damar dan kayu sengon dan apakah ada perbedaan dengan ultrastruktur dinding sel kayu normal.

3. Apakah ultrastruktur kayu reaksi ini mempunyai dampak terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatan kayu sebagai bahan baku industri.

(23)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian sifat makroskopik, sifat mikroskopik, ultrastruktur dinding sel kayu reaksi dan melihat dampaknya terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatannya. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui potensi cacat kayu tekan yang terjadi pada tegakan damar dan cacat kayu tarik yang terjadi pada tegakan sengon serta mencoba menjelaskan mekanisme internal pembentukan kayu reaksi dalam batang pohon yang tumbuhnya abnormal. Adapun untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai kajian dengan tujuan khusus sebagai berikut :

Aspek1 : Kemiringan pohon, hubungannya dengan persentase kayu reaksi. Aspek 2 : Karakteristik kayu reaksi dan mekanisme pembentukannya dalam

batang pohon yang tumbuhnya abnormal. Aspek 3 : Struktur anatomi kayu damar dan sengon

Aspek 4 : Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu tekan pada damar dan kayu tarik pada sengon.

Aspek 5 : Ultrastruktur kayu reaksi dan dampaknya terhadap teknologi pengolahan dan pemanfaatannya.

D. Hipotesis Penelitian

Atas dasar permasalahan dan tujuan tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Pertumbuhan pohon dapat menghasilkan batang yang mengandung kayu normal dan kayu abnormal. Struktur anatomi kayu dari batang pohon yang tumbuhnya normal, akan berbeda dengan struktur kayu dari batang pohon yang tumbuhnya abnormal.

2. Karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi berbeda dengan karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu normal.

(24)

4. Hasil observasi dengan mikroskop payaran (Scanning Electron Microscope) mampu memberi data objektif karakteristik ultrastruktur dinding sel kayu reaksi dan dampaknya terhadap sifat-sifat dasar kayu sebagai bahan.

Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: sifat makroskopik, sifat mikroskopik dan ultrastruktur elemen-elemen atau sel-sel penyusun kayu terutama mengenai bentuk, ukuran dan modifikasi dinding sel yang terjadi pada kayu normal dan kayu reaksi yang terjadi pada kayu damar maupun kayu sengon yang diteliti.

E. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan mempunyai tiga manfaat penting sebagai berikut :

1. Manfaat bagi pengembangan iptek

a. Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terutama dalam struktur anatomi dan teknologi kayu yang berkaitan dengan karakteristik ultrastruktur kayu reaksi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat dipakai bahan referensi atau bahan rujukan dalam pengembangan ilmu dan penelitian yang berkaitan dengan struktur anatomi kayu.

2. Manfaat bagi praktisi

Penelitian ultrastruktur dinding sel kayu reaksi ini diharapkan juga mempunyai manfaat praktis, antara lain dapat memberikan informasi tentang karakteristik kayu reaksi di lapangan sehingga dapat memberi inspirasi untuk membuat inovasi baru dalam memanfaakan kayu reaksi yang lebih efisien. Di samping itu adanya informasi tentang cacat kayu reaksi diharapkan dapat dipakai dasar untuk tindakan prefentif dan antisipasi sehingga kerugian akibat dampak adanya kayu reaksi dapat dikurangi.

3. Manfaat bagi pengambilan keputusan

a. Informasi tentang persentase cacat kayu reaksi yang terjadi terutama pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh, dapat dipakai dasar untuk mulai

(25)

b. Adanya indikasi hubungan derajat kemiringan batang dengan besarnya persentase kayu reaksi, dapat sebagai dasar untuk mengambil langkah-langkah preventif atau tindakan silvikultur yang lebih tepat dalam pengelolaan hutan tanaman industri, terutama yang terjadi pada jenis-jenis pohon cepat tumbuh.

c. Perlunya melakukan kolaborasi penelitian yang sinergis antara masyarakat peneliti kayu (wood technologist) dan masyarakat silviculturist. Hal ini penting dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu tegakan untuk menghasilkan kayu yang lebih berkualitas, sehingga hutan sebagai sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kayu Reaksi

Lazimnya pohon yang pertumbuhannya normal batangnya tumbuh vertikal dengan bentuk batang silindris dan mempunyai bentuk penampang melintang yang bulat (Panshin 1980 dan Haygreen 1982). Penyimpangan dari struktur normal kayu bukanlah hal yang tidak umum terjadi, karena pohon adalah organisme hidup, sehingga menerima segala pengaruh sepanjang hidupnya. Struktur abnormal kayu dapat terjadi seperti adanya penyimpangan dari pertumbuhan batang yang vertikal, bentuk batang tidak silindris dan bentuk penampang melintang batang tidak bulat.

Kayu reaksi adalah salah satu bentuk abnormalitas pada batang pohon yang dapat dicirikan oleh adanya pertumbuhan batang yang miring, melengkung atau bengkok. Kayu reaksi timbul sebagai reaksi dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak vertikal (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Torges 2005). Kayu reaksi dapat ditemui baik pada kelompok Kayu Daun Jarum (KDJ) maupun Kayu Daun Lebar (KDL).

Kayu reaksi yang terjadi pada kelompok KDL disebut kayu tarik (tension-wood), sedangkan bila terjadi pada KDJ disebut kayu tekan (compression-wood)

Panshin (1980); Tsoumis (1991); Torges (2005). Biasanya kayu tekan dibentuk pada bagian bawah dari suatu lengkungan batang pohon KDJ, sedangkan kayu tarik biasanya dibentuk pada sisi atas dari bagian batang pohon KDL yang tumbuhnya miring (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Gilmen 2005; Torges 2005).

B. Pembentukan Kayu Reaksi

(27)

gaya gravitasi bukan satu-satunya penyebab terjadinya kayu reaksi. Hal ini telah dibuktikan secara efektif dalam suatu percobaan dengan batang muda yang dibengkokkan sempurna, sesaat sebelum musim pertumbuhan dan kemudian diamati setelah satu periode tumbuh (Ewart dan Mason-Jones 1906; Jaccard 1938) dalam Haygreen (1982).

Pertumbuhan batang KDJ di bawah kondisi ini mengakibatkan pembentukan kayu tekan sepanjang sisi bawah lengkungan , dan hasil sebaliknya didapatkan pada uji dengan KDL. Dalam suatu percobaan yang berhubungan dengan hal di atas, batang kayu pinus dibengkokkan, dan direbahkan ke arah samping hingga horizontal. Keadaan ini mengakibatkan pembentukan kayu tekan bukan pada sisi tekanan ataupun sisi tarikan, kesimpulannya adalah bahwa gaya berat lebih mengakibatkan pembentukan kayu reaksi dari pada gaya lengkungan Haygreen (1982).

Bagaimana kerja gaya berat untuk menimbulkan pembentukan kayu reaksi telah ditunjukkan di mana bahwa auksin yang diberikan secara buatan seperti asam indol-asetat (IAA) dan asam giberelat dapat menyebabkan pembentukan kayu tekan (Fraser 1952; Wardrop dan Davies 1964) dalam Haygreen (1982). Di samping itu juga telah ditunjukkan bahwa injeksi IAA ke dalam satu sisi suatu batang KDJ yang tumbuh vertikal menyebabkan batang tersebut menjadi miring (Wardrop dan Davies 1964 dalam Haygreen 1982).

(28)

Kayu reaksi juga telah ditemukan pada batang yang tidak miring pada Pinus loblolly (Zobel dan Haught 1962), yellow poplar (Taylor 1968), dan

beberapa jenis Populus (Krempl 1975 dalam Haygreen 1982). Tsoumis (1991) menerangkan hal ini dengan menujukkan bahwa pohon-pohon yang sangat muda mungkin miring membentuk kayu tarik dan dapat pulih kembali ke posisi tegak, tetapi gaya berat bukan satu-satunya faktor lingkungan yang menyebabkan pembentukan kayu reaksi.

Penelitian-penelitian terhadap kayu tropika menunjukkan bahwa kayu tarik mungkin berfungsi untuk menggerakkan tajuk-tajuk ke ruang-ruang terbuka dalam suatu lapisan tajuk hutan yang lebat (Panshin 1980). Terdapat bukti yang kuat bahwa pembentukan kayu reaksi berhubungan dengan pertumbuhan yang cepat (Isebrands 1972; Crist 1977 dalam Haygreen 1982). Kemiringan batang lebih besar dari 2o dapat menyebabkan pembentukan kayu tekan, jumlah persentase kayu reaksi yang terbentuk berhubungan langsung dengan sudut kemiringannya (Haygreen 1982). Penelitian telah pula menunjukkan kayu reaksi tumbuh dan berkembang dalam jangka waktu kurang dari 24 jam setelah batang memperoleh tekanan (Kennedy 1965 dalam Haygreen 1982).

C. Sifat Makroskopik Kayu Reaksi

Kayu reaksi baik yang terjadi pada kelompok KDJ maupun KDL secara makroskopik dicirikan oleh adanya bentuk penampang melintang batang yang eksentrik artinya pusat batang atau empulur (pith) tidak lagi berada di tengah, dan bagian kayu reaksi menempati bagian batang yang riap tumbuhnya terlebar, sehingga kelihatan seperti bulan sabit (Panshin, 1980; Torges 2005).

(29)

Adanya kayu tarik juga dapat dikenal secara makroskopik yaitu pada papan yang diserut dalam kondisi basah akan sulit mengahasilkan permukaan halus dan umumnya permukaan papan tampak berbulu halus (woolly grain) Haygreen (1982). Berbeda dengan KDL kayu reaksi yang terjadi pada KDJ (compression-wood) dicirikan oleh bentuk penampang melintang batang yang eksentrik, dan riap tumbuhnya yang besar terdapat pada bagian sisi bawah lengkungan. Secara makroskopik kayu tekan umumnya mempunyai warna yang lebih gelap dibanding kayu normalnya, sehingga di Jerman kayu tekan sering juga disebut kayu merah (rotholz) Panshin (1980).

Penelitian tentang kayu tekan sudah cukup banyak dilakukan terutama dari jenis-jenis Pinaceae, akan tetapi tidak demikian halnya dengan penelitian sifat-sifat kayu tarik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, kayu tekan banyak ditemukan pada Ginkgoales, Coniferales dan Taxales, namun cacat kayu tekan tidak ditemukan pada Cycadales dan Gnetales (Westing 1965; Timel 1983 dalam Yoshizawa 1986).

D. Sifat Mikroskopik Kayu Reaksi

Kayu reaksi baik yang terjadi pada KDJ (kayu tekan) maupun yang terjadi pada KDL (kayu tarik) mempunyai struktur mikroskopik yang berbeda dengan bagian kayu normalnya. Perubahan struktur anatomi selama transisi dari kayu normal ke posisi kayu tekan telah diteliti. Karakteristik struktur mikroskopik kayu tekan dicirikan oleh bentuk penampang melintang sel-sel trakeida yang bulat, ultra-struktur dinding sekunder S2 (DsS2) menjadi lebih tebal dan absennya dinding sekunder S3 (DsS3) (Panshin 1980; Yoshizawa 1986; Tsoumis 1991; Kartal 2000).

(30)

Sifat mikroskopik kayu tekan lainnya adalah sel-sel trakeida kayu tekan 10-40% lebih pendek daripada sel trakeida kayu normal pada riap tumbuh yang sama, dan ujung trakeida kayu tekan kerap kali terganggu. Kadar lignin kayu tekan umumnya 9% lebih tinggi daripada kayu normal, kadar selulosenya 10% lebih rendah daripada kayu normal (Panshin 1980).

Sel-sel pembuluh (vessel cells) dalam zone kayu tarik tidak berubah sifatnya dari struktur sel pembuluh kayu normalnya, tetapi biasanya diameter sel pembuluh menjadi lebih kecil dan jumlahnya menjadi lebih banyak. Perubahan yang paling nyata dari modifikasi ultrastruktur kayu tarik terutama dicirikan oleh adanya perubahan ultrastruktur dinding sel serabutnya (fiber cells), dinding sel serabut kadang-kadang hampir memenuhi seluruh rongga selnya, sehingga rongga sel hanya kelihatan berupa celah yang sempit. Dinding sel bagian dalam kelihatan seperti kaca dan bersifat gelatinous sehingga sering disebut gelatinous layer (G layer) (Panshin 1980; Clair et al. 2005).

Ada tiga kemungkinan modifikasi dinding sel serabut akibat kayu tarik, tergantung dari besar kecilnya sudut kemiringan batang (Panshin 1980; Haygreen 1982):

1. Pada kayu tarik ringan (mild tension wood), lapisan G dapat dibentuk pada bagian dalam dinding sekunder S3 (Ds S3), sehingga struktur dinding sel menjadi: Dp, Ds S1, Ds S2, Ds S3, G.

2. Lapisan G dapat juga dibentuk menggantikan Ds S3, sehingga susunan dinding sel menjadi : Dp, Ds S1, Ds S2, G, ini terjadi pada kayu tekan sedang. 3. Lapisan G dibentuk dapat menggantikan Ds S1, Ds S2 dan Ds S3, sehingga

susunan dinding sel akan menjadi : Dp dan G., ini terjadi umumnya pada kayu tarik berat (severe tension wood).

(31)

atau lumen sel serabut. Adanya lapisan G ini menyebabkan dinding sel selalu lebih tebal dibanding kayu normal, dan dengan pewarnaan kimia tidak menunjukkan adanya lignin. Permulaan pembentukan kayu tarik terjadi segera sesudah batang pohon dimiringkan, dan seel-sel serabut gelatinous nampak dalam anakan Populus yang dirangsang oleh kemiringan batang, setelah selama 24 jam (Panshin 1980).

Tingkat kemiringan batang ternyata merupakan faktor yang paling penting dalam perkembangan sejumlah serabut gelatinous terutama pada jenis Populus (Panshin 1980). Dalam semua kondisi tempat tumbuh, persentase jumlah kayu tarik akan naik dengan kenaikan kemiringan batang, dan bentuk eksentrisitas penampang melintang batang (Panshin 1980).

E. Ultrastruktur Kayu Reaksi

Penggunaan pertama Transmission Electron Microscopy (TEM) untuk mempelajari arah orientasi mikrofibril selulose (MFs) terhadap sel-sel trakeida dimulai sejak tahun 1950 (Wardrop dan Dadswell 1953; Wardrop 1954; 1957; 1958; Harada et al. 1958; Wardrop 1964; Wardrop and Harada 1965) dalam Abe (2005). Arah orientasi MFs lapisan dinding sekunder S2 dipelajari lebih rinci karena lapisan ini paling tebal dan mempengaruhi karakteristik sifat fisik kayu dan kertas yang dihasilkan (Chafe 1974; Scallan 1974; Meylan dan Butterfield 1978; Ruel et al. 1978; Hirakawa dan Fujisawa 1995 dalam Donaldson 2001).

Perkembangan teknologi SEM dengan resolusi yang lebih tinggi yang disebut Field Emission-Scanning Electron Microscopy (FE-SEM), memungkinkan untuk pengujian secara lebih detail struktur dan orientasi sudut mikrofibril (MFA) dinding sel trakeida, dan pemecahan permasalahannya dapat dilakukan dengan apa yang disebut Transmission Electron Microscopy (TEM). Hasil observasi orientasi MFA tanaman berkayu (woody plants) yang sangat terinci telah dilaporkan oleh (Hirakawa & Ishida 1984; Bookers and Sell 1998; Yoshida et al. 2000; Awano et al. 2000; 2001; Hosoo et al. 2002; Sano 2004 dalam Abe 2005).

(32)

dan dinding sekunder S3 (Ds S3). Di antara Dp sel yang satu dengan Dp sel di sebelahnya terdapat lamella tengah sejati (true middle lamella) ( Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991 dan Bowyer 2003). Dua Dp dengan lamella tengah sejati di bagian tengah disebut juga lamella tengah majemuk (compound middle lamella).

Lapisan terluar dari Ds yaitu Ds S1, tebalnya sekitar 0,12 mikron pada bagian kayu awal (earlywood), dan 0,38 mikron pada bagian kayu akhir (latewood) pada kayu Norway spruce (Picea abies (L.) Karst.) demikian Brandstrom (2003). Dinding sekunder S1 (Ds S1) secara keseluruhan tebalnya sekitar 16% dengan orientasi MFA sekitar 50-70o terhadap sumbu panjang sel (Panshin 1980). Dinding sekunder S2 (DsS2) ternyata paling tebal, yaitu sekitar 74% dengan orientasi sudut MFA sekitar 10-30o terhadap sumbu panjang sel. Sedangkan dinding sekunder S3 (Ds S3) lebih tipis dibanding Ds S1, dan tebalnya sekitar 8% dengan orientasi MFA sekitar 60-90o (Panshin 1980).

Penelitian tentang orientasi MFA selulose di dalam dinding sel-sel trakeida beberapa jenis kayu konifer telah diteliti dengan Field Emission-Scanning Electron Microscopy (Fe-SEM) oleh Hisashi (2005). Hasilnya antara lain

dinyatakan arah orientasi MFA Ds S1 membentuk arah hurup S (S-helik), dan arah orientasi MFA Ds S2 membentuk arah huruf Z (Z-helik) dengan besaran sudut sekitar 15o terhadap sumbu panjang sel. Sedangkan orientasi MFA Ds S3 besarnya sekitar 40o dengan arah huruf Z dan sudut sekitar 20o menurut arah huruf S (Hisashi 2005).

F. Kelemahan Sifat Kayu Reaksi

(33)

Sebagai kayu solid adanya kayu tekan juga mempunyai kelemahan, antara lain penyusutan longitudinalnya menjadi sangat besar dan dapat mencapai 6-10% lebih besar dibanding kayu normalnya (Panshin 1980; Tsoumis 1991), sehingga mudah mengalami cacat bentuk. Kayu tekan umumnya banyak terdapat pada bagian kayu juvenil karena bagian kayu ini umumnya mengalami pertumbuhan yang cepat (Pillow dan Luxford 1937; Burdon 1975; Harris 1977 dalam Donaldson 2004). Kayu tekan pada Pinus radiata D.Don. mempunyai penyusutan longitudinal yang lebih besar dibandingkan bagian kayu normalnya terutama pada bagian kayu juvenilnya (Donaldson 2004). Keteguhan kayu tekan umumnya akan menjadi lebih rendah dibanding bagian kayu normalnya.

Kebanyakan kayu normal sifat keteguhannya akan bertambah secara cepat apabila air terikat (bound water) pada dinding sel berkurang, sifat keteguhan kayu juga akan naik dengan naiknya berat jenis (specific gravity). Tetapi hubungan seperti ini ternyata tidak terjadi pada kayu tekan, oleh karena itu kayu tekan dinyatakan merupakan salah satu cacat kayu yang penting (Panshin 1980). Kayu tekan juga mempunyai hubungan dengan sifat kekakuan kayu (stiffness), makin miring kedudukan batang makin rendah sifat kekakuannya, dan terakhir dilaporkan bahwa sifat kekakuan kayu akan meningkat lima kali lipat bila sudut kemiringan batang menurun dari 40o menjadi 10o (Andersson 2000).

Adanya kayu tekan akan meningkatkan kerapatan kayunya, pada kayu tekan yang berat (severe compression wood) menunjukkan bahwa kerapatan meningkat 22% dibanding bagian kayu normalnya (Donaldson 2004). Kelemahan lain dari sifat kayu reaksi ini juga telah dilaporkan ditemukan pada kayu gergajian yang sering mengalami cacat bentuk seperti melengkung (bowing) sehingga sangat mengganggu dalam proses pengolahan dan pemanfaatannya (Panshin, 1980; Haygreen 1982; Gilman, 2005).

(34)

G. Pertumbuhan Batang Pohon

Batang pohon tumbuh dua arah yaitu ke arah vertikal batang dan transversal. Batang pohon yang dibentuk oleh proses pertumbuhan memanjang batang akan menyebabkan pohon tumbuh bertambah tinggi (pertumbuhan vertikal), dan proses pertambahan diameter batang disebabkan oleh proses pertumbuhan ke arah transversal. Pertumbuhan memanjang batang dapat terjadi oleh proses pertumbuhan primer yang berlangsung pada titik-titik tumbuh pada ujung tanaman (apical growing points).

Pembentukan sel-sel secara aktif selama musim tumbuh umumnya terjadi pada musim semi, terjadi pada bagian ujung-ujung tanaman, ini disebut sebagai daerah pertumbuhan primer atau daerah promeristem (Panshin, 1980; Haygreen, 1982; Bowyer et al. 2003). Di bawah daerah dimana terjadi pembentukan se-sel secara aktif (promeristem), sel-sel yang telah terbentuk di dalam titik-titik tumbuh mengalami perubahan bentuk, ukuran dan fungsinya sehingga akhirnya membentuk jaringan permanen.

Jaringan promeristem yang sudah berdiferensiasi berubah menjadi tiga lapisan yaitu: meristem dasar (ground meristem), procambium dan protoderm. Meristem dasar akan membentuk empulur (pith) di bagian tengah, dan procambium akan membentuk jaringan vascular berupa xylem primer dan phloem primer. Pembentukan xylem primer dan phloem primer hanya beberapa saat saja dan kemudian di antara xylem primer dan phloem primer akan ditinggalkan lapisan baru yang disebut kambium kayu (cambium vascular; cambium lateral). Protoderm kelak akan membangun lapisan luar sebagai sistem epidermis, di mana pada bagian batang yang masih muda bagian ini dilapisi zat cutin untuk mengurangi penguapan dari jaringan di bawahnya.

(35)

H. Struktur Sel Kambium

Kambium kayu terdiri atas dua tipe sel yaitu : Sel-sel inisial fusiform (fusiform initials) dan sel-sel inisial jari-jari (ray initials). Sel-sel inisial fusiform kelak mengasilkan sel longitudinal seperti sel trakeida pada KDJ dan sel-sel pembuluh dan sel-sel serabut pada KDL. Sedangkan sel-sel-sel-sel inisial jari-jari kelak membentuk sel-sel jari-jari kayu. Sel-sel inisial fusiform adalah sel yang bentuknya seperti gelendong, panjang dan ujung-ujungnya menyempit dan runcing.

Pada KDJ dan KDL yang tingkat spesialisasinya rendah, sel-sel inisial fusiform ini sangat bervariasi dalam panjang, ujung-ujungnya berangsur menyempit dan tersusun tumpang dindih pada bidang tangensial. Pada KDJ panjangnya tidak kurang dari 2000-9000 mikrometer dan diameternya sekitar 30 mikrometer. Pada KDL yang spesialisasinya rendah, panjangnya sekitar 1000-2000 mikrometer, dan KDL yang spesialisasinya tinggi, sel inisial fusiform ini panjangnya relative lebih pendek dan hampir beragam, yaitu panjangnya hanya 300-600 mikrometer. Sel-sel inisial fusiform ini bertambah panjang menurut umur pohon sampai mencapai pohon dewasa, sesudah itu panjangnya menjadi agak konstan.

Penambahan panjang sel induk fusiform pada KDJ sangat nyata yaitu dapat mencapai 100-400% dalam masa 40-60 tahun. Sedangkan pada KDL penambahan panjang sel-sel inisial fusiform ini jarang mencapai lebih dari 100% dan biasanya hanya mencapai sekitar 50%. Sel-sel induk jari-jari bentuknya agak bulat pada penampang tangensial, sedikit bervariasi dalam bentuk dan ukurannya pada penampang radial, dan sel-sel ini terkumpul dalam bentuk jari-jari kayu. Dinding-dinding dari sel-sel kambium yang berdekatan dipisahnya oleh zat-zat antar sel yang amorf dan isotropic ini disebut lamella tengah yang benar (true middle lamella). Setiap sel-sel inisial kambium diselimuti oleh dinding primernya

masing-masing (Panshin, 1980).

I. Pembelahan Sel Fusiform

(36)

secara periclinal. Disamping itu sel-sel inisial fusiform juga membelah secara anticlinal yaitu menurut bidang yang tegak lurus dengan permukaan batang atau

membelah secara pseudotransverse yaitu membelah miring menurut bidang transversal.

Bailey dalam Panshin (1980), menjelaskan secara detail pembelahan sel di dalam kambium Pinus strobus L. Penjelasan ini disetujui berlaku untuk sebagian terbesar KDJ dan dapat juga berlaku untuk beberapa KDL. Pada fase istirahat setiap sel inisial kambium berisi cytoplasma dengan satu inti di tengah dengan sumbu panjangnya kira-kira sejajar dengan sumbu panjang sel. Selama mitosis sumbu polar pembelahan bergerak sedemikian rupa sehingga terletak diagonal melintang sel. Lempeng sel dibentuk antara kedua belahan inti, lempeng kemudian secara perlahan-lahan bertambah luas dan membagi dua sel asal. Protoplasma dibagi dua dan masing-masing mengandung satu belahan inti.

Pembelahan pseudotransverse dari sel-sel inisial fusiform untuk memproduksi sel-sel yang baru secara teoritis akan mengasilkan dua sel inisial baru yang sama panjangnya. Tetapi hasil penelitian Bannan dalam Panshin (1980) menunjukkan bahwa kedua sel anak itu tidak selalu sama panjangnya, dan bahwa sel anak yang lebih panjang akan mempunyai kesempatan lebih baik untuk meneruskan fungsinya sebagai sel inisial kambium. Hal ini disebabkan karena hasil potongan sel-sel yang lebih panjang mempunyai kemungkinan lebih banyak kontak dengan sel-sel jari-jari. Jadi panjang rata-rata sel-sel inisial kambium pada suatu periode merupakan fungsi kecepatan pembelahan pseudotransverse dan persentase hidupnya (Panshin, 1980).

Jari-jari kayu juga mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan kayu teras, karena berfungsi sebagai jaringan penyimpan hasil-hasil fotosintesis seperti dikatakan Magel et al. 1991 dalam Zhang (2004). Lebih lanjut dikatakan (Sachs et al. 1966; Kuo and Arganbright 1980; Nobuchi et al. 1984; Hillis 1987) dalam Zhang bahwa: bahan-bahan kayu teras di dalam jari-jari akan bergerak dari

sel-sel parenkim jari-jari yang kontak dengan sel-sel pembuluh, sel-sel serabut, sel-sel parenkim aksial, dan sel-sel trakeida melalui pasangan noktahnya.

(37)

Sel-mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh bahan makanan dan bahan lainnya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (Zhang, 2004). Itulah sebabnya sel-sel inisial fusiform baru yang kontak dengan sel-sel parenkim jari-jari mempunyai peluang lebih besar untuk meneruskan hidupnya (Bannam, 1951; Bannam and Bayly 1956; Evert 1961; Cumbie 1967) dalam Zhang 2004. Ditambahkan lagi menurut Zhang (2004) bahwa sel-sel yang sangat panjang biasanya akan terus survive dan sebaliknya sel-sel yang sangat pendek akan gagal untuk meneruskan hidupnya.

Dalam tahun-tahun pertama pertumbuhan batang yaitu sesudah terbentuknya cambium vascular, kecepatan pembelahan pseudotransverse adalah sangat cepat dan persentase hidup sangat besar, sehingga panjang rata-rata sel-sel inisial kambium dan sel-sel turunannya menjadi pendek, ini dikenal sebagai pola juvenile. Kecepatan pembelahan pseudotransverse dan persentase sel-sel yang

dihasilkan semakin turun dengan semakin tuanya kambium, keadaan ini mengahasilkan sel-sel yang lebih panjang.

Kecepatan pertumbuhan akan menghambat pertumbuhan panjang sel-sel inisial kambium dan menunda saat produksi sel-sel dengan panjang maksimum. Dalam pembentukan kayu awal yang dihasilkan saat pertumbuhan yang cepat, akan dihasilkan sel-sel berukuran lebih pendek. Pengurangan panjang sel juga sebanding dengan kecepatan pertumbuhan, artinya pertumbuhan yang lebih lambat cenderung akan menghasilkan sel-sel yang lebih panjang (Panshin, 1980).

J. Pengaruh Anatomi Kayu Terhadap Sifat Fisik

Sifat fisik kayu merupakan resultante dari struktur anatomi dan sifat kimianya, dan adanya perubahan bentuk dan ukuran sel bagaimanapun kecilnya akan menyebabkan adanya perubahan sifat kayunya sebagai bahan (Haygreen, 1982). Jadi sifat fisik kayu sesungguhnya merupakan pengejawantahan dari struktur anatomi kayu yang bersangkutan.

Lebih jauh dikatakan (Panshin, 1980) bahwa: sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor inherent dalam struktur sel-sel penyusunnya seperti:

1. Jumlah bahan penyusun dinding sel. 2. Jumlah air di dalam dinding sel.

(38)

K. Botani dan Habitus

1. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) yang dahulu dikenal dengan Albizzia falcata (L.) Backer atau Albizia falcataria (L.) Fosberg, di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikenal dengan nama sengon sabrang atau sengon laut, di Jawa Barat lebih dikenal dengan nama jeungjing, dan di Madura dikenal dengan nama jing-laut (Hildebrand, 1951). Kayu ini di Malaysia Barat, Sabah, Philippina, Inggeris, Amerika Serikat, Perancis, Spanyol, Italia, Belanda dan Jerman dikenal dengan nama batai, dan di Brunai dikenal dengan nama kayu puah, sedangkan di Serawak dikenal dengan kayu machis (Martawijaya 1977).

Di kalangan para rimbawan sebelum tahun 1986 timbul banyak pertanyaan, nama mana yang benar, Albizzia (zz double) atau Albizia (z single), falcataria (+ ria) atau falcata (-ria). Fosberg (1965) mengungkapkan

bahwa namanya yang tepat adalah Albizia falcataria, sehingga nama inilah yang harus dipakai dalam komunikasi international. Selanjutnya Fosberg (1965) menyatakan bahwa sebetulnya nama marga Albizia diangkat oleh Durazz dari nama Cavalier Filippo Albizzi sebagai penghormatan atas jasanya, namun ahli botani Durazz telah dengan sengaja memberikan nama marga itu Albizia (z single) dan bukan Albizzia (zz double). Selanjutnya Fosberg (1965)

lebih jauh menyatakan bahwa jenis tumbuhan ini sebelumnya telah secara luas dikenal sebagai Albizzia moluccana Miquel, sampai saat Backer dalam tahun 1908 mempopulerkan dengan nama yang tidak tepat yaitu Albizzia falcata Backer.

(39)

daerah Banda, kemudian dibawa ke Kebun Raya Bogor, dan dari Kebun Raya Bogor disebar luaskan ke seluruh Nusantara sejak tahun 1871.

Buku Tree Flora of Indonesia, check list for Sumatera (Whitmore, 1986) mengungkapkan bahwa baik Albizzia falcata (L.)Backer, maupun Albizia falcataria (L.) Fosberg, sebenarnya namanya adalah Paraserianthes

falcataria (L.) Nielsen. Nama Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen sebenarnya sudah lebih dahulu diberikan oleh Nielsen, tetapi tidak banyak dikenal orang, sehingga menurut aturan tata nama international nama yang lebih dahulu diberikan itulah yang diakui. Oleh karena itu sejak tahun 1986 mulai diperkenalkan nama kayu sengon sebagai Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.

Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen termasuk jenis pohon yang

cepat tumbuh dan dapat mencapai tinggi sampai 45 m dengan diameter batang mencapai 100cm. Batangnya tidak berbanir, kulit berwarna kelabu muda, licin batang lurus dengan batang bebas cabang dapat mencapai tinggi 20 m, tajuknya berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau (Griffioen 1954). Sengon termasuk jenis pohon yang pertumbahannya sangat cepat sehingga disebut “miracle tree” (Prosea 1994). Perakarannya terbentang melebar dan di samping susunan akar yang agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang masuk agak dalam. Pohon kayu sengon umumnya berbunga dalam bulan Juni-Nopember dan umumnya berbuah terutama pada akhir musim kemarau (Griffioen 1954). Jumlah biji kering ada sekitar 40.000-55.000 per kg atau sekitar 36.000 per liter, dan daya kecambah rata-rata sekitar 80%. Bijinya berkulit keras dan dapat mempertahankan daya kecambahnya selama beberapa tahun (Griffioen 1954).

(40)

sekitar 1,5 cm. Polongan bentuk pita, lurus di atas tenda bekas mahkota dengan tangkai yang panjangnya 0,5-1 cm. Di atas biji terdapat sedikit melembung lebar lebih-kurang 2 cm, membuka dengan dua katup, dan jumlah biji sekitar 16 buah atau kurang.

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb.)

Agathis loranthifolia Salisb. termasuk famili Araucariaceae, seksi Microbracteatae (Team Reboisasi LPH Bogor 1971). Buah berbentuk conus

yang khas, sisik berlapis seperti atap genteng (imbricatus) dan membentuk suatu spiral mengelilingi suatu poros berbentuk ganda yang berdaging tebal. Biji berbentuk telur terbalik, panjang 10-11 mm, lebar 8 mm, bersayap. Daun dewasa berhadap-hadapan, pada dahan muda daun berbentuk bulat panjang hingga berbentuk telur; panjang 7,5 -12 cm, lebar 2-3,5 cm, pada dasarnya sedikit membulat; tangkai daun jelas kelihatan.

Agathis loranthifolia termasuk pohon besar, tingginya dapat mencapai

60 m, dan diameter setinggi dada dapat mencapai 200 cm. Batang monopodial, lurus, tidak berbanir, kulit kayu tebalnya 1-2 cm berwarna coklat kelabu (Prosea 1995). Tajuk tidak lebar, berbentuk kerucut dan agak rapat terutama pada pohon yang masih muda, menjadi agak jarang dan sedikit mendatar bila sudah tua. Sistem perakaran pada pohon yang masih muda selalu terdapat akar tunggang dengan akar mendatar yang kecil, dan baru setelah pohon mulai dewasa dikembangkan akar-akar tenggelam (zinkers) dan akar-akar mendatar yang kuat.

Pohon damar umumnya mempunyai dua sistem perakaran yaitu system perakar mendatar yang dalamnya hanya beberapa desimeter, tapi menjalar sampai jauh ke semua jurusan. Sedangkan sistem perakaran vertikal (akar tunggang) berbentuk kerucut di kelilingi akar-akar tenggelam besar yang tumbuh lurus ke bawah. Pohon damar dikenal mempunyai sistem perakaran yang kuat, sehingga jarang ditemukan ada pohon damar yang tumbang, kecuali disebabkan keadaan tanah tertentu, sebaliknya banyak pohon roboh karena pangkal batang busuk (Team Reboisasi LPH Bogor 1971).

(41)

L. Penyebaran dan Tempat Tumbuh

1. Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Pohon ini secara alami ditemukan di Maluku (Griffioen 1954) dan pada tahun 1871 mulai di masukkan ke Jawa. Lain daripada itu pohon ini juga terdapat di Toampala, Sulawesi Selatan dan di daerah Irianpun terdapat jenis ohon ini (Hildebrand 1951). Selain di Indonesia pohon ini juga ditanam di Serawak, Brunai dan Kepong (Anonymous 1953). Troup (1921) seperti dikutip Alrasjid (1973) di Sri Langka maupun di India (Assam) jenis pohon ini sering dipakai peneduh di perkebunan-perkebunan teh. Di Jawa pohon ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m. di atas pemukaan laut (Griffioen 1954), dan bahkan pada 1600 m di atas permukaan laut pohon ini masih dapat tumbuh (Hildebrand 1951).

Batas terendah pohon ini masih dapat tumbuh adalah 10 m dpl. Di Serawak dan Brunai pohon ini tumbuh pada berbagai jenis tanah, bahkan pada tanah yang berdrainase jelek (Anonymous 1953). Di Jawa Barat jenis pohon ini sudah menjadi tanaman rakyat, dan biasa di tanam di pekarangan rumah, tegalan dan di pematang sawah. Di daerah Cibinong Bogor telah dilaporkan bahwa kayu sengon dapat tumbuh dengan baik pada tanah berkapur (Pandit 1988).

2. Damar (Agathis loranthifolia Salisb)

(42)

Damar merah yang dideterminasi sebagai Agathis loranthifolia Salisb., dikumpulkan oleh Dr. F. Buwalda dari tempat yang tingginya lebih-kurang 300 m dpl. dan tidak pernah ditemukan dekat pantai, tepi sungai, tanah-tanah becek atau di rawa-rawa. Pada tempat-tempat yang miring dalam hutan alam banyak ditemukan. Tanaman damar memerlukan iklim basah sepanjang tahun, dengan curah hujan 3000-4000 mm, mengendaki tanah yang sarang, agak dalam dan subur. Pertumbuhan yang paling baik di temukan pada lereng-lereng yang drainasenya baik pada ketinggian 300m-1200m dpl. Menurut penyelidikan Coster dan Verhoef dalam Team Reboisasi LPH Bogor (1971), dinyatakan bahwa tanaman damar memerlukan oksigen agak tinggi, dalam suatu percobaan tanaman muda yang perakarannya dimasukkan ke dalam air menggenang, tanaman akan mati dalam waktu sekitar16 hari.

Damar merupakan salah satu genus Coniferales yang menghuni hutan dataran rendah hutan hujan tropika (Prosea 1994). Damar dapat ditemukan mulai dari dataran rendah sampai ketinggian lebih dari 2000m dpl. Kayu damar juga dikenal dengan nama perdagangan kauri pine mempunyai daerah penyebaran alami mulai dari Semenanjung Malaysia, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Philippina, Moluccas, New Guinea, Australia, Kepulauan Salamon, New Caledonia, Vanuatu, Fiji dan New Zealand.

(43)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Pendekatan Penelitian

[image:43.612.105.509.381.684.2]

Kerangka pendekatam penelitian ultrastruktur kayu reaksi ini pertama dimulai dari adanya keinginan dalam rangka untuk mengatasi kekurangan kayu untuk bahan baku industri di dalam negeri. Salah satu usaha yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan pembangunan dan pengembangan hutan tanaman. Akan tetapi hutan tanaman umumnya menghasilkan batang yang mengandung kayu normal dan kayu abnormal. Salah satu bentuk abnormalitas pada batang pohon yang sering menimbulkan cacat serius adalah adanya kayu reaksi sehingga perlu dilakukan penelitian mendalam terhadap masalah ini. Untuk lebih jelasnya kerangka pendekatan penelitian dijelaskan dalam bentuk diagram alir seperti pada Gambar 1. di bawah ini.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pendekatan Masalah Penelitian Ultrastuktur Kayu Reaksi pada Damar dan Sengon

HUTAN TANAMAN

BATANG POHON TUMBUH NORMAL DAN ABNORMAL

KAYU REAKSI

MAKROSKOPI S MI KROSKOPI S ULTRA STRUKTUR

KARAKTERI STI K ULTRA STRUKTUR KAYU REAKSI

SOLUSI PEMECAHAN MASALAH

(44)

Dipilihnya kedua jenis kayu ini sebagai objek dalam penelitian ini karena berbagai pertimbangan antara lain :

1. Kayu sengon merupakan salah satu jenis KDL, dimana evolusinya dianggap lebih modern karena baru muncul di muka bumi pada zaman Tertier (Farb 1978). Sedangkan kayu damar tergolong KDJ yang lebih primitif, karena muncul di muka bumi sejak jaman Triasik (Farb 1978). Kayu damar pertama kali herbariumnya dikumpulkan oleh Dr. Buwalda dan nama Agathis loranthifolia Salisb. diberikan oleh Salisbury (Team Reboisasi LPH Bogor

1971). Penelitian jenis-jenis ini diharapkan dapat mewakili kedua kelompok kayu tropik yang struktur anatominya sangat berbeda (Brown 1949; Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991; Hoadley 2000).

2. Kayu sengon merupakan jenis asli yang tumbuh di bumi Indonesia, pertama kali ditemukan oleh Teysmann tahun 1870 di Kepulauan Banda, Maluku dan tahun 1871 untuk pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor (Heyne 1950). 3. Sengon merupakan jenis kayu yang pertumbuhannya sangat cepat,

bahkan dikatakan merupakan jenis kayu yang tumbuhnya paling cepat untuk daerah tropik sehingga disebut “miracle tree” (Prosea 1994).

4. Sengon mempunyai bentuk tajuk seperti perisai yang tipis ( Prosea 1994) sehingga sebagian sinar matahari yang melalui tajuk dapat menembus tajuk sampai ke permukaan tanah, memberi kesempatan tanaman bawah tumbuh, sehingga sangat baik untuk dikembangkan dalam agroforestry.

5. Sengon merupakan salah satu jenis famili Leguminosae umumnya kaya akan unsur nitrogen sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah yang kurang subur (Alrasjid 1973).

6. Kayu sengon juga dikenal sifat dasar kayunya sangat moderat, sehingga mempunyai prospek yang baik untuk terus dikembangkan sebagai bahan baku industri kayu di masa depan. Di samping itu penelitian ultrastruktur kayu sengon juga belum pernah dilakukan.

Kayu damar dipilih sebagai objek dalam penelitian ini antara lain karena : 1. Kayu damar merupakan salah satu jenis kayu daun jarum (KDJ) asli daerah

(45)

2. Kayu damar mempunyai sifat yang sangat baik untuk bahan baku industri pulp dan kertas, di samping karena kayunya berwarna putih, juga mempunyai serat (tracheids) yang panjang dan persentase seratnya juga sangat tinggi.

3. Kayu damar juga baik dipakai untuk bahan baku industri mebel dan alat musik karena struktur anatominya homogen, tidak terlampau keras tetapi mempunyai kekuatan cukup dan teksturnya cukup halus.

4. Pohon damar juga diketahui mempunyai sistem perakaran yang kuat karena mempunyai akar jangkar yang dalam sehingga pohonnya tidak mudah roboh (Team Reboisasi LPH Bogor 1971), bentuk tajuknya simetris, evergreen dan indah, sehingga sangat cocok untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan kota terutama untuk ditanam di sisi jalan.

5. Surjokusumo (1995) menyatakan bahwa kayu damar merupakan jenis kayu yang sangat baik untuk bahan baku industri pesawat terbang ringan, sehingga mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian ultrastruktur kayu damar sebagian dilaksanakan pada bulan September 2000 di Laboratorium For Structure of Plant Cells Faculty of Agricultural, Kyoto University di bawah

bimbingan Prof. Fujita Minoru, D. Agr. Penelitian tahap kedua mulai dilakukan bulan Mei 2005 sampai dengan Agustus 2006, dan dilaksanakan di empat laboratorium yaitu :

1. Laboratorium Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) di Cimanggu, Bogor.

2. Laboratorium Kayu Solid Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian (IPB), Bogor.

3. Laboratorium Struktur dan Sifat Kayu, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

(46)

C. Variabel yang Diamati

Variabel yang dimati dalam penelitian ini meliputi elemen-elemen atau sel-sel penyusun kayu mulai dari macam elemen, bentuk, ukuran dan modifikasi yang terjadi baik bersifat makroskopik, mikroskopik maupun ultramikroskopik yang terjaddi pada kayu normal dan kayu reaksi pada damar dan sengon.

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Pembangunan hutan tanaman yang dilakukan oleh Perum Perhutani beberapa tahun terakhir lebih banyak dilakukan dengan pola Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), sehingga penanamannya kebanyakan dilakukan dengan pola agroforestry. Keadaan ini menyebabkan agak sulit untuk mendapatkan tegakan sengon monokultur yang betul-betul murni dan di samping itu umur tegakan juga jarang mencapai umur cukup dewasa.

Pohon contoh tegakan hutan tanaman damar untuk bahan penelitian diambil dari hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB di Gunung Walat Sukabumi. Sedangkan tegakan sengon diambil dari dua tempat yang berbeda yaitu: tegakan berumur 6 tahun diambil dari BKPH Banjarsari, KPH Ciamis Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dan tegakan berumur 10 tahun dari tegakan hutan tanaman di Kampus IPB Darmaga Bogor.

Di samping bahan berupa kayu, dalam penelitian ini juga dibutuhkan beberapa macam bahan kimia untuk membantu dalam proses penyiapan sediaan atau preparat untuk bahan observasi. Bahan-bahan kimia yang dibutuhkan meliputi: gliserin untuk membantu dalam proses pelunakan kayu, alkohol dalam berbagai konsentrasi dan xylene untuk bahan dehidrasi sediaan, safranin 2% untuk bahan pewarna, canada balsem untuk bahan mounting , dan emas 18 K untuk coater. 2. Alat Penelitian

Dalam penelitian ini di samping alat yang diperlukan untuk pengambilan bahan penelitian di lapangan seperti: gergaji, pita ukur, busur derajat dan alat lain, juga dibutuhkan beberapa alat penting untuk penelitian di laboratorium antara lain:

(47)

2. Fluoresence Microscope type Olympus Bx 51 dari Laboratorium Struktur dan sifat Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

3. Scanning Electron Microscope type JEOL 5200 dari Laboratorium

Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

E. Teknik Pengambilan Contoh

1. Pengambilan contoh bahan penelitian

Dari tegakan hutan tanaman damar maupun sengon monokultur dan seumur yang telah ditentukan lokasinya, dibuat petak-petak contoh sebanyak empat buah masing-masing berukuran 40x25 m dan 20x25 m. Semua batang pohon dalam petak contoh dihitung jumlahnya, diukur kelilingnya untuk mendapatkan diameter batangnya (dbh), dan sudut kemiringannya. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran disusun dalam bentuk tabulasi. Masing-masing dua batang pohon yang mengalami cacat kayu reaksi dan satu batang pohon yang tumbuhnya normal dipilih secara acak, untuk kemudian ditebang. Pada bagian batang yang mengalami cacat kayu reaksi, batangnya dipotong berupa lempengan tipis (disk) setebal sekitar 10 cm, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk bahan penelitian selanjutnya.

Penelitian di laboratorium dilakukan pertama dengan membuat contoh kayu berbentuk lempengan yang permukaan melintangnya (cross section) dibuat halus untuk memudahkan identifikasi cacat kayu reaksi yang terjadi. Identifikasi kayu reaksi baik untuk kayu tekan maupun kayu tarik didasarkan atas metode yang telah dipakai olehbeberapa peneliti (Panshin 1980; Haygreen 1982; Tsoumis 1991). Contoh kayu reaksi yang sudah diidentifikasi dan telah dihitung persentasenya, selanjutnya dipakai untuk bahan penelitian sifat mikroskopik, ultrastruktur dan penelitian sifat fisiknya.

(48)
[image:48.612.108.474.255.614.2]

mengikuti metoda yang sudah umum dipakai di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB (Sarajar 1975). Bahan untuk penelitian sifat fisik, contoh kayunya juga diambil dari bahan yang sama, dan dibuat dalam tiga bidang orientasi masing-masing berukuran 5x5x5 cm. Banyaknya batang pohon yang ditebang untuk bahan dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 pohon, dan rinciannya disajikan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Batang Pohon yang Ditebang untuk Bahan Penelitian Jenis Kayu No.

Pohon

Diameter Batang (Cm)

Kemiringan

batang (o) Keterangan

4 42.2 0 Normal

15 46.1 5 Tekan Ringan

Kayu Damar Gunung Walat

24 35.3 4 Tekan Ringan

8 28.3 8 Tarik Ringan

12 17.2 8 Tarik Ringan

19 30.9 12 Tarik Berat

33 34.7 21 Tarik Berat

Kayu Sengon Kampus IPB

4 13.4 2 Normal 15 13.4 5 Tarik Ringan

2 12.7 11 Tarik Berat 10 15.3 11 Tarik Berat Kayu Sengon

KPH Ciamis

17 13.7 9 Tarik Ringan

Keterangan: (Kartal, 2000)

• Kayu normal adalah batang pohon yang mempunyai kemiringan < 2o

• Kayu Tekan /Tarik Ringan adalah batang pohon mempunyai kemiringan 3-10o • Kayu Tekan /Tarik Berat adalah batang pohon yang mempunyai kemiringan>10o

2. Pembuatan bahan penelitian

(49)

1. Bahan untuk observasi karakteristik kayu reaksi berupa lempengan kayu (disk) dan potongan melintangnya dibuat halus untuk memudahkan observasi. Pengamatan sifat makroskopik dibantu dengan lensa tangan atau loupe pembesaran 10 x. Sifat-sifat yang diamati meliputi karakteristik kayu reaksi, terutama melihat adanya bentuk eksentrisitas penampang melintang batang, mengamati posisi empulur (pith) dalam batang, dan menghitung persentase kayu reaksi yang terjadi.

2. Bahan untuk observasi sifat mikroskopik dibuat dari bahan yang sama untuk pengamatan sifat makroskopik yang telah dilakukan. Bahan penelitian sifat mikroskopik dibuat berukuran 1.5x1.5x5cm dalam tiga bidang orientasi. Dari contoh kayu berukuran kecil tersebut, kemudian dibuat dua macam preparat atau slide mikrotom dan slide maserasi. Pelunakan contoh kecil kayu dilakukan dengan gliserin, pembuatan sayatan tipis dilakukan setebal 15-20 mikron dengan bantuan alat sliding microtome, dehidrasi sayatan dilakukan dengan alkohol bertingkat terakhir dengan xylene, pewarnaan dilakukan dengan safranin 2%. Mounting dilakukan dengan canada balsam dan pengeringan sediaan dilakukan

di atas alat pengeringan slide Fisher pada temperature 45-50o C. Di samping preparat mikrotom, juga dibuat preparat maserasi berdasarkan metode Schultze (Sarajar 1975). Observasi sifat mikroskopik dilakukan dengan bantuan Flourescens Microscope Olympus type Bx 51. Prosedur pembuatan slide

mikrotom dan slide maserasi secara rinci disajikan dalam Lampiran.

(50)

specimen holder untuk dilapisi (coating) dengan emas 18 karrat. Lamanya

coating memerlukan waktu sekitar 4 meni

Gambar

Gambar 36 Dampak kayu tarik terhadap kualitas kayu gergajian ................
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pendekatan Masalah Penelitian  Ultrastuktur                   Kayu Reaksi pada Damar dan Sengon
Tabel 1.  Jumlah Batang Pohon yang Ditebang untuk Bahan Penelitian
Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Kegiatan Penelitian Ultrastruktur Kayu Reaksi  pada                   Damar  (Agathis loranthifolia) dan Sengon (Paraserianthes falcataria)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Atas dasar pertimbangan nilai rata-rata ujian sekolah dan hasil wawancara tersebut, penulis berkeinginan menggunakan model pembelajaran MMI dalam pembelajaran IPA fisika

The guidelines have therefore been adapted for educational multimedia, and distilled into four key steps that, when applied, will facilitate the design of e-learning

Pengaruh peran suami dalam melakukan Pijat Oksitosin terhadap Kelancaran ASI pada Ibu Nifas Berdasarkan tabel 10 tabulasi silang Pengaruh Peran Suami Dalam Melakukan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan video dapat meningkatkan keterampilan berbicara dan hasil belajar siswa kelas 1 SD N Puren tahun pelajaran

[r]

[r]

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur akan melaksanakan Pelelangan Umum (Ulang) dengan pascakualifikasi secara elektronik untuk paket