DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert N., Vijay Govindarajan, 2005. Management Control System. Jakarta: Salemba Empat.
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesa. Pedoman Penagihan Pajak.
Erlina, 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.
Erwis, Nana Adriana, 2012. Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Teguran dan
Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Makassar Selatan. Jurnal Akuntansi. Universitas Hassanudin
Makassar.
Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariative dengan SPSS. Semarang: BP UNDIP.
Irigandi. 2014. Pengaruh Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Terhadap Pencairan
Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung.
Skripsi. Fakultas Ekonomi Tridinanti Palembang.
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 2014. Buku Petunjuk Teknis Penulisan Proposal Penelitian dan Penulisan Skripsi. Medan.
Paseleng, Agustinus., Agus T. Poputra, Steven J. Tangkuman, 2013. Efektivitas
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado. Jurnal Akuntansi. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 68/PMK.03/2010 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor: 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pitnawati, 2009. Efektivitas Pelaksanaan Penagihan Aktif Dalam Pencairan
Tunggakan Pajak Pada KPP Pasar Minggu. Jurnal Akuntansi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Suandy, Erly, 2011. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.
Tampubolon, Karianton, 2013. Praktek, Gugatan, dan Kasus-Kasus Pemeriksaan
Undang-undang pasal 18 ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Velayati, Mala Rizkika., Siti Ragil Handayani, Achmad Husaini, 2013. Analisis
Efektivitas dan Kontribusi Tindakan Penagihan Pajak Aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa Sebagai Upaya Pencairan Tunggakan Pajak. Jurnal
Administrasi Bisnis. Universitas Brawijaya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitan dengan metode kuantitatif karena
pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan
prosedur statistik (Erlina, 2011:12-14). Jenis penelitian adalah penelitian asosiatif
dengan hubungan kausal karena merupakan penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh ataupun juga hubungan antara dua variabel atau lebih dan
mempunyai hubungan yang bersifat sebab-akibat antara satu variabel (independen)
mempengaruhi variabel yang lain (dependen).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Medan Kota,
Medan, Sumatera Utara. Waktu penelitian dimulai dari bulan April 2015 sampai
dengan penelitian skripsi ini diselesaikan.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah menjelaskan karakter dari obyek ke dalam elemen
yang dapat diobservasi yang menyebabkan konsep dapat diukur dan dioperasikan ke
dalam penelitian (Erlina, 2011:48). Dengan definisi operasional, peneliti dapat
3.4 Pengukuran Variabel
3.4.1 Variabel Dependen dan Variabel Independen
Variabel dependen atau variabel terikat merupakan variabel yang
tidak bebas, menjadi perhatian utama dalam sebuah pengamatan, dijelaskan
atau dipengaruhi oleh variabel independen (Erlina, 2011:36)
sedangkanvariabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi variabel dependen atau penyebab variasi bagi variabel
dependen (Erlina, 2011:37).
Sesuai dengan judul penelitian ini yaitu, “Analisis Pengaruh Surat
Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP)
Terhadap Efektvitas Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan
Pajak Medan Kota)” maka variabel dependen dalam penelitian ini adalah
efektivitas penagihan pajak sedangkan variabel independen dari penelitian ini
adalah Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan
(SPMP).
3.5 Populasi dan Sampel
Populasi adalah sekelompok entitas yang lengkap yang dapat berupa
orang, kejadian, atau benda yang mempunyai karakteristik tertentu, yang
berada dalam suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang
Populasi pada penelitian ini adalah data sekunder berupa jumlah Surat
Teguran, Surat Paksa, serta Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang
diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Medan Kota yang ditujukan
baik kepada Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT), Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha
Tertentu (OPSPT), maupun Wajib Pajak Badan atas PPh Pasal 21, PPh Pasal
22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final (4 ayat 2), PPh Pasal
15, PPN, PPnBM, serta PBB.
Sampel adalah bagian populasi yang digunakan untuk memperkirakan
karakteristik populasi. Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini
dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Jogiyanto (2004: 79)
dalam Edginarda (2012) pengambilan sampel menggunakan metode
purposive sampling dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi
berdasarkan suatu kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dapat
berdasarkan pertimbangan (judgement) tertentu atau jatah (quota) tertentu.
Adapun kriteria yang ditetapkan oleh penulis adalah sebagai berikut:
Surat Teguran, Surat Paksa, serta Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
yang diterbitkan oleh KPP Medan Kota pada periode tahun 2012 – 2014
untuk menagih pajak baik WP Badan maupun WP Orang Pribadi ; termasuk
- Surat Teguran yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2014 yang
mampu menagih pajak sampai pada tanggal 21 Januari 2015.
- Surat Paksa yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2014 yang
mampu menagih pajak sampai pada 2 x 24 jam setelah surat tersebut
diterbitkan.
- Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) yang diterbitkan per
tanggal 31 Desember 2014 disertai tindakan penyitaan pada tanggal
tersebut.
Secara ringkas populasi dan sampel dapat dilihat lebih lanjut pada
Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Populasi Kriteria Sampel
Surat Teguran, Surat Paksa,
dan SPMP yang diterbitkan
KPP Medan Kota dan
ditujukan baik kepada WP
Badan maupun WP Orang
Pribadi.
Surat Teguran, Surat Paksa,
dan SPMP yang diterbitkan
oleh KPP Medan Kota pada
periode tahun 2012 – 2014
termasuk:
- Surat Teguran per
tanggal 31 Desember
2014 yang mampu
menagih pajak sampai
Surat Teguran, Surat
Paksa, dan SPMP yang
diterbitkan KPP Medan
Kota periode 2012 –2014
dengan penambahan cut
off yang disesuaikan dengan kemampuan ketiga
jenis surat dalam menagih
pada tanggal 21 Januari
2015.
- Surat Paksa per tanggal
31 Desember 2014
yang mampu menagih
pajak sampai pada 2 x
24 jam dari surat
tersebut diterbitkan.
- SPMP per tanggal 31
Desember 2014 disertai
tindakan penyitaan
pada tanggal tersebut.
3.6 Metode Pengumpulan Data 3.6.1 Metode Telaah Kepustakaan
Tahap awal dari penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh
data sekunder berupa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pengumpulan data Studi Kepustakaan (Library Research) dilakukan dengan
pajak, artikel perpajakan, jurnal perpajakan, peraturan perundang-undangan
perpajakan, dan bahan lain seperti surat kabar, internet serta media massa
yang memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan.
3.6.2 Metode Dokumentasi
Metode ini dilakukan untuk memperoleh data, mempelajari serta
menggunakan catatan-catatan yang tersusun dalam arsip Penagihan pada KPP
Medan Kota yang berkaitan dengan penelitian meliputi laporan penagihan
aktif berupa laporan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah
Melakukan Penyitaan (SPMP) dan laporan pencairan tunggakan pajak pada
KPP Medan Kota periode 2012 – 2014 atas PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final (4 ayat 2), PPh Pasal 15,
PPN, PPnBM, serta PBB yang ditujukan baik kepada WP Badan maupun WP
Orang Pribadi.
3.7 Metode Analisis 3.7.1 Uji Asumsi Klasik 3.7.1.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regresi, variabel dependen, variabel independen, ataupun keduanya
mempunyai distribusi normal atau tidak dengan menggunakan P-Plot. Model
regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal.
Error of Skewness atau bisa juga dengan melihat rasio antara Kurtosis dengan Standart Error of Kurtosis. Ukuran yang digunakan yaitu apabila nilai rasio
berada pada rentangan antara -2 sampai dengan 2 maka dapat dikatakan
bahwa variabel yang diteliti terdistribusi secara normal.
3.7.1.2 Uji Multikolinieritas
Menurut Erlina (2011:103) multikolinearitas adalah keadaan dimana
terdapat hubungan linear atau korelasi antara masing-masing variabel
independen dalam model regresi. Adanya hubungan yang linier antarvariabel
independen akan menimbulkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Oleh
karena itu kita harus benar-benar dapat menyatakan, bahwa tidak terjadi
adanya hubungan linier diantara variabel-variabel independen tersebut.
Penilaian uji multikolinearitas dapat menggunakan koefisien
signifikansi yang dibandingkan dengan nilai alpha yang ditetapkan dalam
penelitian. Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu yaitu
uji dua sisi (two tailed) atau satu sisi (one tailed). Apabila koefisien
signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi multikolinearitas
diantara variabel independen yang satu dengan lainnya.
3.7.1.3 Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan atau
pengganggu di dalam penelitian mempunyai varian yang sama atau tidak. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model
regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi
heterokedastisitas.
Uji heterokedastisitas dapat menggunakan koefisien signifikansi
(probabilitas). Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu
yaitu uji dua sisi (two tailed) atau satu sisi (one tailed). Koefisien signifikansi
nilai probabilitas harus dibandingkan dengan tingkat alpha yang ditetapkan
dalam penelitian (peneliti menetapkan alpha 5%). Apabila koefisien
signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi heterokedastisitas
pada data.
3.7.1.4 Autokorelasi
Autokorelasi merupakan suatu kondisi di mana terdapat korelasi atau
hubungan antar pengamatan atau observasi, baik itu dalam bentuk observasi
deret waktu atau observasi cross-section. Jika terdapat autokorelasi dalam
sebuah penelitian maka varians tidak minimum dan uji-t tidak dapat
digunakan karena dapat memberikan kesimpulan yang salah.
Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya
autokorelasi adalah dengan Uji Durbin Watson (DW Test). Pengambilan
Jika hipotesis nol (H0) menyatakan bahwa tidak ada serial autokorelasi
yang positif, maka:
1. d < dl : Menolak H0
2. d > dl : Tidak menolak H0
3. dl ≤ d ≤ du: Pengujian tidak meyakinkan
3.7.2 Uji Hipotesis
3.7.2.1 Analisis Regresi Linier Berganda
Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dari
penelitian ini adalah metode regresi linier berganda, yaitu metode analisis
data yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel
indepeden terhadap variabel dependennya yang dilakukan baik secara
kuantitatif dengan bantuan statistik. Adapun rumus persamaan regresinya
adalah sebagai berikut:
Y = a + b1x1 + b2x2 + b3x3 + e
Keterangan:
Y = Variabel Dependen ( Efektivitas Penagihan Pajak )
x1 = Variabel Independen ( Surat Teguran )
x2 = Variabel Independen ( Surat Paksa )
x3 = Variabel Independen ( Surat Perintah Melakukan Penyitaan )
e = Error yang ditolerir ( 5% )
b1,b2,b3 = Koefisien regresi
3.7.2.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Untuk menguji seberapa jauh kemampuan model penelitian dalam
menerangkan variabel dependen (goodness- fit), yaitu dengan menghitung
koefisien determinasi (adjusted R2). Semakin besar adjusted R2 suatu variabel independen, maka menunjukkan semakin dominan pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 yang telah disesuaikan adalah antara nol dan sampai dengan satu. Nilai adjusted R2 yang mendekati satu berarti kemampuan variabel-variabel independen memberikan hampir
semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen.
Nilai adjusted R2 yang kecil atau dibawah 0,5 berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel-variabel dependen sangat kecil.
Apabila terdapat nilai adjusted R2 bernilai negatif, maka dianggap bernilai nol.
3.7.2.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen yang dimaksud dalam penelitian secara simultan merupakan
penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan
dengan level signifikansi 0,05 atau α = 5%. Pengambilan keputusan dilakukan
a. Jika nilai F hitung < F tabel, maka berarti bahwa secara simultan variabel
independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen.
b. Jika nilai F hitung > F tabel, maka koefisien regresi bersifat signifikan, dan
secara simultan variabel independen merupakan penjelas yang signifikan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota 4.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya KPP Pratama Medan Kota
Kantor Pelayanan Pajak pada masa penjajahan belanda bernama
Belasting, yang kemudian berubah setelah kemerdekaan Republik Indonesia
menjadi Kantor Inspeksi Keuangan. Kemudian berubah lagi menjadi Kantor
Inspeksi Pajak dengan induk organisasinya adalah Direktorat Jenderal Pajak.
Di Sumatera Utara pada tahun 1976 berdiri tiga kantor inspeksi pajak, yaitu:
1. Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan
2. Kantor Inspeksi Pajak Medan Utara
3. Kantor Inspeksi Pajak Pematang Siantar
Pada tahun 1978 Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dipecah
menjadi dua, yaitu Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan dan Kantor Inspeksi
Pajak Kisaran. Untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat, dan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat,
maka didirikanlah Kantor Inspeksi Pajak Medan Timur. Dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan pajak kepada masyarakat, maka dibuatlah
perubahan secara menyeluruh pada Direktorat Jenderal Pajak yang
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
yang diganti nama menjadi Kantor Pelayanan Pajak, sekaligus mendirikan
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Berdasarkan pada Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 758/KMK.01/1993
tertanggal 3 Agustus 1993, maka pada tanggal 1 April 1994 didirikanlah
Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur. Kantor Pelayanan Pajak Medan
Timur merupakan pecahan dari tiga Kantor Pelayanan Pajak, yaitu:
1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Selatan
2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat
3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara
Terhitung mulai tanggal 1 April 1994, Kantor Pelayanan Pajak di kota
Medan berubah menjadi empat wilayah kerja, yaitu:
1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur
2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat
3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Utara
4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 443/KMK.01/2001 tentang “Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak”, maka Kantor Pelayanan Pajak di kota
Medan menjadi enam wilayah kerja,yaitu:
1. Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, dengan ruang lingkup meliputi
wilayah :
b. Kecamatan Medan Tembung
c. Kecamatan Medan Perjuangan
2. Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat, dengan ruang lingkup meliputi
wilayah :
a. Kecamatan Medan Barat
b. Kecamatan Medan Sunggal
c. Kecamatan Medan Petisah
d. Kecamatan Medan Helvetia
3. Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota, dengan ruang lingkup meliputi
wilayah :
a. Kecamatan Medan Kota
b. Kecamatan Medan Denai
c. Kecamatan Medan Johor
d. Kecamatan Medan Amplas
e. Kecamatan Medan Area
4. Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia, dengan ruang lingkup
meliputi wilayah :
a. Kecamatan Medan Polonia
b. Kecamatan Medan Maimun
c. Kecamatan Medan Baru
d. Kecamatan Medan Tuntungan
5. Kantor Pelayanan Pajak Medan Belawan, dengan ruang lingkup
meliputi wilayah :
a. Kecamatan Medan Belawan
b. Kecamatan Medan Marelan
c. Kecamatan Medan Labuhan
d. Kecamatan Medan Deli
6. Kantor Pelayanan Pajak Medan Binjai, dengan ruang lingkup meliputi
wilayah :
a. Kota Binjai
b. Kabupaten Langkat
KPP Medan Kota adalah institusi pemerintah yang mempunyai tugas
pokok dalam menyelenggarakan urusan perpajakan. KPP Pratama Medan Kota
berada di gedung Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah SUMUT I lantai III
di jalan sukamulia no. 17 A Medan. Adapun sejarah singkat dari KPP Pratama
Medan Kota sebagai berikut:
1. KPP Medan Kota merupakan pecahan dari KPP Medan Timur yang
berdasarkan:
a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
b. 443/KMKK/01/2001 tanggal 23 Juli 2001
c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Berdasarkan penjelasan sejarah KPP Medan Kota, KPP Medan Kota
berganti nama menjadi KPP Pratama Medan Kota pada tanggal 27
Mei 2008 sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Keuangan yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor: 54/PMK.01/2007 dan berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 132/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
telah di ubah dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor:
67/PMK.01/2008.
4.1.2 Visi Dan Misi KPP Pratama Medan Kota
Peningkatan kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Medan Kota
merupakan tujuan KPP Pratama Medan Kota untuk peningkatan penerimaan
pajak di KPP Pratama Medan Kota. Peningkatan kepatuhan wajib pajak tersebut,
maka Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan visi dan misi sebagai
pedoman bagi setiap Kantor Pelayanan Pajak.
Adapun visi dan misi tersebut sebagai berikut:
VISI
“Menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem
administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya
MISI
“Menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu
menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan
undang-undang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi.”
4.1.3 Struktur Organisasi KPP Pratama Medan Kota
Struktur organisasi yang digunakan KPP Pratama Medan Kota adalah
struktur organisasi lini (garis) dan staf yang berada di bawah koordinasi
Kepala Kantor Wilayah 1 Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Bagian
Utara.Seluruh Pegawai dalam lingkungan KPP Pratama Medan Kota adalah
Pegawai Negeri Sipil yang seluruhnya ada di bawah naungan Departemen
Keuangan Republik Indonesia.
Adapun struktur organisasi KPP Pratama Medan Kota tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Pimpinan yaitu Kepala Kantor
b. Pembantu Pimpinan yaitu Kepala Sub Bagian Umum
c. Pelaksana yaitu sejumlah Kepala Seksi, yang terdiri dari:
1. Kasi Ekstensifikasi
2. Kasi Pengolahan Data dan Informasi (Kasi PDI)
3. Kasi Pelayanan
4. Kasi Pengawasan dan Konsultasi I (Kasi Waskon I)
5. Kasi Pengawasan dan Konsultasi II (Kasi Waskon II)
7. Kasi Pengawasan dan Konsultasi IV (Kasi Waskon IV)
8. Kasi Pemeriksaan
9. Kasi Penagihan
d. Kelompok Jabatan Fungsional, terdiri dari:
1. Supervisor I
2. Supervisor II
3. Supervisor III
4. Supervisor IV
Sesuai dengan informasi di atas, struktur organisasi KPP Pratama
Medan Kota dapat dibuatkan bagan seperti pada Gambar 4.1 berikut:
Gambar 4.1
*Terdapat 4 (empat) Seksi Wakson KPP Pratama Medan Kota
5 Uraian Tugas Pokok Kepegawaian
Adapun uraian tugas pokok Pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Medan Kota adalah sebagai berikut:
a. Tugas Kepala KPP Pratama Medan Kota adalah melaksanakan
kewenangan di bidang perpajakan dan melakukan koordinasi dengan
seluruh pihak yang terkait.
b. Tugas Kepala Sub Bagian Umum: Kasubbag Umum mempunyai tugas
melakukan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan dan rumah tangga.
c. Tugas Kepala Seksi (Kasi) adalah melaksanakan kegiatan ekstensifikasi
perpajakan, pelayanan, pengolahan data dan informasi perpajakan,
pengawasan dan pemeriksaan serta penagihan pajak.
1. Kasi Ekstensifikasi mempunyai tugas untuk urusan penambahan
jumlah Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak.
2. Kasi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) mempunyai tugas
melakukan urusan pencarian, pengurusan serta pengolahan data dan
informasi, pembuatan monografi pajak, penggalian potensi
perpajakan, pelayanan dukungan teknis komputer, pemantauan
aplikasi e-SPT dan e-filing serta penyiapan laporan kinerja.
3. Kasi Pelayanan mempunyai tugas untuk melakukan penetapan dan
dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat
Pemberitahuan dan surat Wajib Pajak lainnya, penyuluhan
perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak serta pelaksanaan
kerjasama perpajakan.
4. Kasi Pengawasan dan Konsultasi I (Waskon I), Kasi Pengawasan dan
Konsultasi II (Waskon II), Kasi Pengawasan dan Konsultasi III
(Waskon III), Kasi Pengawasan dan Konsultasi IV (Waskon IV)
masing-masing mempunyai tugas melakukan pengawasan kepatuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak, bimbingan/ himbauan kepada
Wajib Pajak dan konsultasi teknis pajak, penyusunan profil Wajib
Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib
Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi serta melakukan evaluasi
hasil banding.
5. Kasi Pemeriksaan mempunyai tugas melakukan urusan penyusunan
rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan, aturan pemeriksaan,
penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta
administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya.
6. Kasi Penagihan mempunyai tugas untuk urusan penatausahaan
piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak, penagihan
7. Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas untuk melakukan
kegiatan sesuai jabatan masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4.2Tunggakan Pajak Serta Realisasi Penerimaan Pajak
Berdasarkan data yang diberikan oleh Seksi Penagihan KPP Medan Kota
pada tahun 2012, KPP Medan kota mampu menagih sekitar 12,3% dari nilai
tunggakan yang ada pada Surat Teguran, Surat Paksa serta SPMP yang
diterbitkan. Dimana realisasi pada tahun tersebut adalah Rp. 2.887.082.355 dari
total tunggakan sebesar Rp. 23.385.454.934, pada tahun 2013 nilai tunggakan
pada Surat Teguran, Surat Paksa serta SPMP yang diterbitkan menurun menjadi
Rp. 16.964.966.309 namun realisasi penagihan pajak meningkat menjadi Rp.
3.652.990.866 sehingga persentase pencapaian target meningkat menjadi 21,5%.
Pada tahun 2014 nilai tunggakan melejit sampai dengan angka Rp.
66.892.867.587 namun realisasi penagihan pajak hanya Rp. 10.770.793.335 Atau
Tabel 4.1
Tahun Jenis Surat
Nilai
2012 Surat Teguran 1.786.915.262
23.385.454.934 2.887.082.355 12,3% Surat Paksa 11.674.886.309
SPMP 9.923.653.363
2013 Surat Teguran 9.065.420.844
16.964.966.309 3.652.990.866 21,5% Surat Paksa 4.061.045.376
SPMP 3.838.500.089
2014 Surat Teguran 20236525012
66.892.867.587 10.770.793.335 16%
Surat Paksa 23.985.366.312
SPMP 22.670.976.263
sumber: Data Seksi Penagihan yang diolah oleh penulis
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur
atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Pada
tahun 2012, KPP Medan Kota menerbitkan sebanyak 625 lembar Surat Teguran
yang ditujukan baik kepada WP Badan maupun WP Orang Pribadi. Nilai
keseluruhan dari Surat Teguran yang diterbitkan pada tahun tersebut adalah
sebesar Rp. 1.786.915.262. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah Surat
Teguran yang diterbitkan menjadi 850 lembar yang nilai keseluruhannya adalah
Rp. 9.065.420.844 , dan pada tahun 2014 lembar dari Surat Teguran yang
diterbitkan menurun menjadi 773 namun nilainya meningkat dari tahun
sebelumnya menjadi Rp. 20.236.525.007. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel
Tabel 4.2
Tahun Triwulan Lembar Surat Nilai Tunggakan
2012 Triwulan I 253 1.107.435.838
Triwulan II 177 345.839.999
Triwulan III 34 54.757.015
Triwulan IV 161 278.882.410
Total 625 1.786.915.262
2013 Triwulan I 113 1.206.658.127
Triwulan II 130 1.389.957.836
Triwulan III 257 2.734.653.806
Triwulan IV 350 3.734.151.075
Total 850 9.065.420.844
2014 Triwulan I 363 9.526.219.020
Triwulan II 146 3.838.555.198
Triwulan III 230 6.085.950.786
Triwulan IV 34 785.800.003
Total 773 20.236.525.007
sumber: Laporan Seksi Penagihan yang diolah oleh penulis
Surat Paksa adalah lanjutan dari penagihan aktif jika dalam 21 hari Wajib
Pajak masih belum melunasi utang pajaknya setelah Surat Teguran diterbitkan.
Berdasarkan data yang diberikan, pada tahun 2012, KPP Medan Kota
menerbitkan sebanyak 288 lembar Surat Paksa yang ditujukan baik kepada WP
Badan maupun WP Orang Pribadi. Nilai keseluruhan dari Surat Paksa yang
diterbitkan pada tahun tersebut adalah sebesar Rp. 11.674.886.309. Pada tahun
2013 terjadi peningkatan jumlah Surat Paksa yang diterbitkan menjadi 353
lembar yang nilai keseluruhannya menurun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar
diterbitkan kembali meningkat menjadi 797 lembar yang nilai keseluruhannya
adalah Rp. 23.985.366.312. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.3.
Tabel 4.3
Tahun Triwulan Lembar Surat Nilai Tunggakan
2012 Triwulan I 52 1.226.612.114
Triwulan II 10 246.518.339
Triwulan III 17 356.903.715
Triwulan IV 209 9.844.852.141
Total 288 11.674.886.309
2013 Triwulan I - -
Triwulan II 46 534.914.162
Triwulan III 130 1.497.348.429
Triwulan IV 177 2.028.783.144
Total 353 4.061.045.735
2014 Triwulan I 48 693.158.594
Triwulan II 239 7.136.151.844
Triwulan III 295 6.197.576.553
Triwulan IV 215 9.958.479.321
Total 797 23.985.366.312
sumber: Laporan Seksi Penagihan yang diolah oleh penulis
Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) adalah lanjutan penagihan
aktif dari Surat Paksa. Jika dalam 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diterbitkan
Wajib Pajak masih belum membayar pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan
dengan SPMP. Pada tahun 2012, KPP Medan Kota menerbitkan sebanyak 20
lembar SPMP yang ditujukan baik kepada WP Badan maupun WP Orang
Pribadi. Nilai keseluruhan dari SPMP yang diterbitkan pada tahun tersebut adalah
menjadi 15 lembar yang nilai keseluruhannya adalah Rp. 3.838.500.089, dan
pada tahun 2014 lembar dari SPMP meningkat menjadi 33 lembar, yang nilai
keseluruhannya adalah Rp. 22.670.976.263. Secara ringkas dapat dilihat pada
tabel 4.4.
Tabel 4.4
Tahun Triwulan Lembar Surat Nilai Tunggakan
2012 Triwulan I 3 1.041.983.603
sumber: Laporan Seksi Penagihan yang diolah oleh penulis
4.3Hambatan Dalam Pencairan Utang Pajak
Dalam pelaksanaan tugasnya untuk menagih utang pajak, seksi
penagihan KPP Medan Kota juga menghadapi kendala atau hambatan.
lingkungan KPP. Berikut peneliti akan membahas mengenai
hambatan-hambatan yang dialami dalam penagihan utang pajak yang dialami oleh jurusita
KPP Medan Kota.
a. Hambatan dari luar (eksternal)
Hambatan ini pada umumnya berasal dari Wajib Pajak (WP)
yang tidak bekerja sama dengan baik dengan fiskus dimana mereka
tidak meng-update informasi baik itu perubahan mengenai tempat
tinggal, maupun nomor telepon yang dapat dihubungi sehingga
jurusita tidak dapat menghubungi serta melaksanakan prosedur
penagihan aktif karena tidak dapat menemukan alamat WP.
Adanya sifat menutup diri dari WP demi menghindari
penagihan pajak, seperti menutup-nutupi harta kekayaannya sehingga
jurusita pajak kesulitan dalam melakukan perhitungan utang pajak
serta tidak dapat melakukan penyitaan karena tidak jelasnya
informasi mengenai harta dari WP yang menunggak pembayaran
pajaknya.
Yang terakhir adalah itikad tidak baik dari WP untuk
menghalangi jurusita menyita hartanya baik oleh WP secara langsung
ataupun menggunakan karyawannya jika WP merupakan WP Badan
atau WP OPPT.
Hambatan ini sering dialami oleh jurusita pajak dimana
minimnya pengetahuan WP mengenai undang-undang pajak, bukan
hanya karena minimnya sosialisasi akan undang-undang pajak
tersebut, namun juga karena adanya suatu peraturan yang tidak
dimengerti secara jelas dikarenakan kesenjangan antara peraturan
yang sifatnya tertulis dengan pemahaman dari WP, atau memang
peraturan tersebut yang sulit untuk dimengerti karena memiliki
pengertian yang berbeda-beda menurut bahasa yang ada sehingga
memunculkan sifat bias. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu
cara untuk menapsirkan undang-undang tersebut secara jelas
sehingga mampu mengatasi ketidakjelasan dan menyatukan
pandangan tentang peraturan tersebut agar tidak lagi bias bagi WP.
c. Hambatan dari dalam (internal)
Hambatan ini muncul dari kuantitas jurusita yang ada pada
KPP, pada umumnya setiap KPP memiliki 4-5 jurusita yang
melaksanakan penagihan secara aktif, sedangkan WP Badan maupun
WP Orang Pribadi jumlahnya jauh lebih besar. Hal ini menyulitkan
jurusita dalam mengelola waktu untuk melakukan penagihan aktif
yang efektif dan efisien, serta akan menyita banyak waktu dan
memangkas waktu bekerja jurusita di KPP untuk meng-update serta
4.4Hasil Penelitian
4.4.1 Uji Normalitas
Statistics
ST SP SPMP
N Valid 12 12 12
Missing 0 0 0
Skewness ,223 ,357 ,458
Std. Error of Skewness ,637 ,637 ,637
Kurtosis -,648 -1,491 -1,490
Std. Error of Kurtosis 1,232 1,232 1,232
Uji normalitas dilakukan dengan melihat rasio antara Skewness
dengan Standart Error of Skewness atau bisa juga dengan melihat rasio antara
Kurtosis dengan Standart Error of Kurtosis. Ukuran yang digunakan yaitu
apabila nilai rasio berada pada rentangan antara -2 sampai dengan 2 maka
dapat dikatakan bahwa variabel yang diteliti terdistribusi secara normal.
Untuk variabel Surat Teguran (ST) rasio Skewness adalah 0,35 dan
rasio Kurtosisnya adalah -0,5, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini
terdistribusi secara normal.
Untuk variabel Surat Paksa (SP) rasio Skewness adalah 0,56 dan rasio
Kurtosisnya adalah -0,12, maka dapat dinyatakan bahwa variabel ini
Untuk variabel Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) rasio
Skewness adalah 0,71 dan rasio Kurtosisnya adalah -1,20, maka dapat
dinyatakan bahwa variabel ini terdistribusi secara normal.
4.4.2 Uji Multikolinearitas
Correlations
ST SP SPMP ST Pearson Correlation 1 ,070 -,073
Sig. (2-tailed) ,828 ,821
N 12 12 12
SP Pearson Correlation ,070 1 ,954** Sig. (2-tailed) ,828 ,000
N 12 12 12
SPMP Pearson Correlation -,073 ,954** 1 Sig. (2-tailed) ,821 ,000
N 12 12 12
**. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Penilaian uji multikolinearitas dapat menggunakan koefisien
signifikansi yang dibandingkan dengan nilai alpha yang ditetapkan dalam
penelitian. Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu yaitu
uji dua sisi (two tailed) atau satu sisi (one tailed). Apabila koefisien
signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi multikolinearitas
diantara variabel independen yang satu dengan lainnya.
Hasil dari perbandingan koefisien signifikansi dengan alpha dapat
Variabel Signifikansi Alpha Kondisi Simpulan
ST – SP 0,828 0,05 Sig > Alpha Tidak terjadi
multikolinearitas
kecuali untuk SP
dengan SPMP
ST – SPMP 0,821 0,05 Sig > Alpha
SP – SPMP 0,000 0,05 Sig < Alpha
Pada uji multikolinearitas antara ST dan SP serta ST dan SPMP
koefisiean signifikansi lebih besar daripada alpha sehingga dapat
disiumpulkan tidak terdapat multikolinearitas, namun pada SP – SPMP
koefisien signifikansi lebih kecil daripada alpha sehingga dapat disimpulkan
antara SP dan SPMP terdapat hubungan multikolinearitas. Uji
multikolinaritas merupakan salah satu syarat dapat digunakannya analisis
regresi berganda. Jika tujuan regresi linier berganda hanya untuk pemodelan
nilai variabel dependen dan tidak mengkaji hubungan atau pengaruh antara
variabel independen dengan dependen untuk peramalan maka masalah
multikolinearitas bukan masalah yang serius dan pemodelan pada regresi
4.4.3 Uji Heterokedastisitas
Correlations
ST SP SPMP Ares Spearman's rho ST Correlation Coefficient 1,000 ,158 ,049 -,042
Sig. (2-tailed) . ,625 ,879 ,897
N 12 12 12 12
SP Correlation Coefficient ,158 1,000 ,924** -,224 Sig. (2-tailed) ,625 . ,000 ,484
N 12 12 12 12
SPMP Correlation Coefficient ,049 ,924** 1,000 -,106 Sig. (2-tailed) ,879 ,000 . ,743
N 12 12 12 12
Ares Correlation Coefficient -,042 -,224 -,106 1,000 Sig. (2-tailed) ,897 ,484 ,743 .
N 12 12 12 12
**. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Uji heteroskedastisitas ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah
variasi residual absolut sama atau tidak sama untuk semua pengamatan atau
dengan kata lain uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel
pengganggu di dalam penelitian mempunyai varian yang sama atau tidak. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model
regresi yang baik adalah homokedastisitas.
Uji heterokedastisitas dapat menggunakan koefisien signifikansi
(probabilitas). Output harga koefisien significance dapat dipilih salah satu
nilai probabilitas harus dibandingkan dengan tingkat alpha yang ditetapkan
dalam penelitian (peneliti menetapkan alpha 5%). Apabila koefisien
signifikansi lebih besar daripada alpha maka tidak terjadi heterokedastisitas
pada data. Hasil dari perbandingan koefisien signifikansi dengan alpha dapat
dilihat sebagai berikut:
Variabel Signifikansi Alpha Kondisi Simpulan
ST 0,897 0,05 Sig > Alpha
Tidak terjadi
heterokedastisitas
SP 0,484 0,05 Sig > Alpha
SPMP 0,743 0,05 Sig > Alpha
Koefisien signifikansi ketiga variabel lebih besar dari alpha yang telah
ditetapkan oleh karena itu pada data tidak terjadi heterokedastisitas.
4.4.4 Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson 1 ,891a ,794 ,717 11,36148 ,985
Model Summaryb
Model
R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson 1 ,891a ,794 ,717 11,36148 ,985
a. Predictors: (Constant), SPMP, ST, SP b. Dependent Variable: EPP
Autokorelasi merupakan suatu kondisi di mana terdapat korelasi atau
hubungan antar pengamatan atau observasi, baik itu dalam bentuk observasi
deret waktu atau observasi cross-section. Salah satu cara yang digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan Uji Durbin
Watson (DW Test). Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi adalah:
Jika hipotesis nol (H0) menyatakan bahwa tidak ada serial autokorelasi
yang positif, maka:
1. d < dl : Menolak H0
2. d > dl : Tidak menolak H0
Hasil SPSS menunjukkan bahwa d bernilai 0,985 sedangkan nilai dl
menurut tabel DW dengan alpha 5% adalah 0,6577. Maka dapat disimpulkan
bahwa d > dl dan tidak terdapat autokorelasi positif pada data.
4.4.5 Uji Hipotesis Analisis Regresi Berganda
Metode analisis data ini digunakan untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh variabel indepeden terhadap variabel dependennya yang
dilakukan baik secara kuantitatif dengan bantuan statistik beserta melakukan
pemodelan penelitian dengan rumus. Hasil dari SPSS dalam analisis regresi
berganda adalah sebagai berikut:
Coefficientsa a. Dependent Variable: EPP
Dengan menggunakan model analisis berganda yang telah
ditetapkan dalam penelitian, maka rumus dari penelitian ini disesuaikan
dengan hasil pengolahan data dari SPSS untuk analisis regresi berganda
adalah:
Keterangan:
Y = Variabel Dependen ( Efektivitas Penagihan Pajak )
x1 = Variabel Independen ( Surat Teguran )
x2 = Variabel Independen ( Surat Paksa )
x3 = Variabel Independen ( Surat Perintah Melakukan Penyitaan )
a = Konstanta
e = Error yang ditolerir ( 5% )
4.4.6 Uji Hipotesis Koefisien Determinasi (R2)
Untuk menguji seberapa jauh kemampuan model penelitian
dalam menerangkan variabel dependen (goodness- fit), yaitu dengan
menghitung koefisien determinasi (adjusted R2). Semakin besar adjusted R2 suatu variabel independen, maka menunjukkan semakin dominan pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 yang telah disesuaikan adalah antara nol dan sampai dengan satu. Nilai adjusted R2 yang mendekati satu berarti kemampuan variabel-variabel independen
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variabel dependen. Nilai adjusted R2 yang kecil atau dibawah 0,5 berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel
Hasil yang diperoleh dari pengolahan data menggunakan SPSS
adalah:
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 ,891a ,794 ,717 11,36148
a. Predictors: (Constant), SPMP, ST, SP b. Dependent Variable: EPP
Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi dapat
digolongkan sebagai berikut:
0,00 - 0,199 = sangat rendah
0,20 - 0,399 = rendah
0,40 - 0,599 = sedang
0,60 - 0,799 = kuat
0,80 - 1,000 = sangat kuat
Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai adjusted R2 adalah 0,717, maka dapat disimpulkan bahwa variabel ST, SP dan SPMP memiliki pengaruh
4.4.7 Uji Hipotesis Simultan F
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen yang dimaksud dalam penelitian secara simultan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Pengujian dilakukan
dengan level signifikansi 0,05 atau α = 5%. Pengambilan keputusan
dilakukan berdasarkan pengujian berikut ini :
a. Jika nilai F hitung < F tabel, maka berarti bahwa secara simultan variabel
independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen.
b. Jika nilai F hitung > F tabel, maka koefisien regresi bersifat signifikan, dan
secara simultan variabel independen merupakan penjelas yang signifikan
terhadap variabel dependen.
ANOVAb
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 3985,000 3 1328,333 10,291 ,004a
Residual 1032,666 8 129,083 Total 5017,667 11
a. Predictors: (Constant), SPMP, ST, SP b. Dependent Variable: EPP
Dari hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa nilai F hitung adalah
10,291. Sedangkan F tabel diperoleh menggunakan tabel F statistik 5%
merupakan jumlah variabel independen yaitu 3 dan n pada penelitian ini
adalah 12, maka F tabel adalah 4,26.
F hitung yang bernilai sebesar 10,291 lebih besar daripada F tabel
yang bernilai 4,26 , sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel yaitu
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan
berdasarkan penelitian Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektvitas Penagihan Pajak
Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota adapun kesimpulan itu
ialah sebagai berikut:
1. Penagihan pajak aktif menggunakan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) merupakan upaya yang dilakukan
untuk mencairkan tunggakan pajak yang akan membantu pemerintah dalam
belanja negara. Prosedur penagihan ini dimulai dari tujuh hari sejak tanggal
jatuh tempo lalu diterbitkan Surat Teguran, dan jika dalam 21 hari kemudian
utang pajak masih belum dilunasi oleh Wajib Pajak akan dilanjutkan dengan
penyampaian Surat Paksa yang memberi Wajib Pajak waktu 2 x 24 jam
untuk melunasi utang pajaknya. Prosedur berikutnya jika utang pajak masih
belum dilunasi ialah penyampaian SPMP dimana dapat dilakukan penyitaan
aset milik Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
2. Hasil uji hipotesis koefisien determinasi (R2) menunjukkan bahwa nilai
termasuk kuat maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, dimana Surat
Teguran, Surat Paksa dan Surat Perintah Melaukan Penyitaan (SPMP)
memiliki pengaruh signifikan yang kuat terhadap Efektivitas Penagihan
Pajak.
3. Hasil uji hipotesis simultan F menunjukkan bahwa nilai F hitung adalah
10,291. Sedangkan F tabel yang diperoleh adalah 4,26. F hitung yang
bernilai sebesar 10,291 lebih besar daripada F tabel yang bernilai 4,26 ,
sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, dimana Surat Teguran,
Surat Paksa dan Surat Perintah Melaukan Penyitaan (SPMP) memiliki
pengaruh signifikan yang kuat terhadap Efektivitas Penagihan Pajak.
4. Terdapat hambatan yang berakibatkan munculnya kondisi tidak tercapainya
realisasi secara maksimal dari pencairan utang pajak jika dibandingkan
dengan nominal utang pajaknya yang berasal baik dari luar (eksternal) KPP
Medan Kota, dari peraturan perundang-undangan perpajakan, serta dari
dalam (internal) KPP Medan Kota.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis akan
mencoba memberikan saran yang mungkin akan dapat dipakai sebagai masukan
untuk pihak-pihak yang terkait, yaitu:
1. Perlunya peningkatan frekuensi diadakannya sosialisasi mengenai
dengan membayar pajak kepada Wajib Pajak guna menunjang kesadaran
membayar pajak serta kerja sama yang baik antara Wajib Pajak dengan
fiskus.
2. Direktorat Jenderal Pajak ada baiknya menaruh perhatian lebih pada Seksi
Penagihan mungkin dengan menambah jumlah jurusita atau memikirkan dan
mengimplementasikan strategi-strategi penagihan pajak baru sehingga
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Perpajakan
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus
menerus dan bergerak secara berkesinambungan. Pembangunan nasional
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun
spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut maka perlu perhatian
utama ditujukan kepada masalah pembiayaan pembangunan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau
negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negara berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna baik untuk kepentingan bersama.
2.1.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
Pengertian pajak menurut buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite
de la Science des Finances, 1906:
L’impot et la contribution, soit directe soit dissimule, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens subvenir aux depenses du Government.
(“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”.)
Karianton (2013:6) mengemukakan pengertian pajak menurut
Soemitro yang dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomis dan aspek
hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari
swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat
ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan sebagai
pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di
luar bidang keuangan negara. Sedangkan dari aspek hukum, pajak adalah
perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang
memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk membayar uang kepada
negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur utama
pajak adalah kepada siapa pajak tersebut dikenakan, obyek pajak adalah atas
apa pajak tersebut dapat dikenakan, sementara tarif pajak adalah seberapa
besar pajak yang akan dibebankan kepada subyek pajak atas obyek pajaknya.
2.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Erly Suandy dalam buku “Hukum Pajak” (2011:12) ada 2
fungsi pajak, yaitu:
a) Fungsi Finansial (Budgetair)
Pajak berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
b) Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam
contoh sebagai berikut:
a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat)
dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun
investasi asing.
b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk
produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk
Di samping kedua fungsi di atas, pajak masih mempunyai
tujuan-tujuan lain seperti untuk redistribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi.
2.1.3 Pengelompokan Pajak
Pengelompokan pajak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Menurut golongannya
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipakai sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya
a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut lembaga pemungutannya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : PPh, PPN, dan
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PBB,
PKB, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu :
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.
Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan
yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari
stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan setelah penghasilan diketahui pada
akhir periode.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari
sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang
besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Stelsel ini mengombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan
stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai
anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun
berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat
dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila
ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus
menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak
berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak
yaitu :
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah
(petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi
perpajakan pada tahun 1983. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah
(i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat
pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak
untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri
pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh
wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan
membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii)
pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat
kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat
melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang
seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
3. With Holding System
Sistem pengumutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalahwewenang menentukan besarnya pajak yang
2.1.6 Tarif Pajak
Tarif pajak dibagi kedalam 4 jenis, yaitu:
1. Tarif proporsional atau sebanding, berupa persentase yang tetap, terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh: Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10%
Jumlah Penjualan Tarif Pajak
Rp. 500.000,- 10% Rp. 50.000,-
Rp. 1.000.000,- 10% Rp. 100.000,-
Rp. 5.000.000,- 10% Rp. 500.000,-
Rp. 10.000.000,- 10% Rp.
1.000.000,-2. Tarif tetap, berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Pajak materai atau bea materai yang besar tarifnya tidak berubah
(tetap) dengan tarif senilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-.
3. Tarif progresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin besar bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,- 15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- 25%
Diatas Rp. 500.000.000,- 30%
4. Tarif degresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
dikenakan tarif degresif yaitu;
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 10.000.000,- 30%
di atas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,- 28%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,- 26%
di atas Rp 100.000.000,- 24%
2.1.7 Pembayaran Pajak
1. Membayar sendiri pajak yang terutang:
a. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib
Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada
akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap
bulan.
Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber
penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran
PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
1. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib
pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan
barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha
penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat
usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah
peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing
2. Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu
(OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja
bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT :
Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,- 15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,- 25%
Diatas Rp. 500.000.000,- 30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25
yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan
tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang
Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU
PPh adalah 25%.
sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,-
2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh
Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan; Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak
yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau
nilai lainnya.
4. Pembayaran pajak-pajak lainnya:
o Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang
NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-
o Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) diatas Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- adalah Rp.
3.000,-. Untuk dokumen yang menyebut jumlah diatas Rp. 1.000.000,-
dan surat-surat perjanjian, terutang materai tempel sebesar Rp. 6.000,-.
5. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan
yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan
oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak
yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,
antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam
negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah
sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
2. Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
3. Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
4. Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
5. Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah.
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
tertentu (jasa servis mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseorangan maupun badan ditunjuk
untuk memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalti) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang
dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri
oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai
dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan
pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat
(2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima
Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong
tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan
adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh
pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang
menggunakan norma penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau
penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15
dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong),
maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara
Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM
adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi Rp.
4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) selama 1 (satu)
tahun bukuatau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan
juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari
pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN
dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena
Pajak.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan
untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi