• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Zamilah Asrul

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 11 September 1994

Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Perwira/ Jl. Kesatria Gg V No.5 Medan Nomor Handphone : 081269999311

Alamat Email : zamilahasrul11@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Sandhi Putra (1999 - 2000)

2. SD MIN (Madrasah Ibtidayyah Negeri) Medan (2000 - 2006) 3. SMPN 9 Medan (2006- 2009)

4. SMAN 15 Medan (2009 - 2012)

5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2012 - sekarang)

Riwayat Organisasi :

1. Anggota HMI Komisariat FK USU 2012-2014 2. Anggota PHBI FK USU 2012-2014

(2)

Riwayat Pelatihan : 1. MOP HMI FK USU 2012

2. Peseta Pekan Ilmiah Mahasiswa 2012 “Doing a Research, Healing the world” SCORE FK USU

3. Peserta LK 1 HMI Cabang Medan 2013 4. Sirkumsisi HMI FK USU 2013

5. Seminar dan Workshop Basic Medical Emergency for Volunters MER-C 2013 6. Pengabdian Masyarakat HMI Komisariat FK USU 2013

7. Simposium dan Workshop Breast Cancer-Diagnosis and Therapy SCORA FK USU 2014

8. Panitia LK 1 HMI Cabang Medan 2014 9. Pengabdian Masyarakat LKMI USU 2015

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)

52 Pr Lanjut Usia Awal 2011 48 Pr Lanjut Usia Awal 2011 48 Pr Lanjut Usia Awal 2011 54 Pr Lanjut Usia Awal 2011 61 Pr Lanjut Usia Akhir 2012 55 Pr Lanjut Usia Awal 2012 65 Lk Lanjut Usia Akhir 2013 54 Pr Lanjut Usia Awal 2012 63 Pr Lanjut Usia Akhir 2013 49 Pr Lanjut Usia Awal 2013 49 Lk Lanjut Usia Awal 2013 56 Pr Lanjut Usia Akhir 2013

43 Lk Dewasa Akhir 2013

(54)

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Pediatric Ophthalmology and Strabismus, American Academy of Ophthalmology. Policy statement: Eye examination in infants, children and young adults by pediatricians. Pediatrics. 2007; 111:902-07.

Bastanta, T., 2010. Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik 7 Juli 2008-7 Juli 2010. Available from: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21388 [Accessed 17 April 2015].

Borchert, M.S. et al., 2011. Studies Estimate Prevalence of Vision Disorders in Children. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/751258. [Accessed 21 April 2015].

Cao, H., Sun, Y., Yan, Z.G., 2008. Prevalence of Refractive Errors in Middle School Students in Lanzhou City. Available from: www.ijo.cn/en_publish/2008/2/2008020122 [Accessed 21 April 2015].

Cao, W.J , Shi Y.N, Zhao H.Y,.2005. The cross-sectional study of dynamic

refractive status of senior middle school students in urban school of Xi'an city.

International Journal Ophthalmology (Guoji Yanke Zazhi)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Gangguan Penglihatan Masih Menjadi Masalah Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Available from:

(55)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Mata Sehat di Segala Usia untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia . Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Available from:

http://www.depkes.go.id/article/view/2082/mata-sehat-di-segala-usia-untuk-peningkatan-kualitas-hidup-masyarakat-indonesia.html [Accessed 15 Mei 2015].

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2010. Menkes Meresmikan Program Orbis Flying Eye Hospital. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Available from:

http://www.depkes.go.id/article/view/1112/menkes-meresmikan-program-orbis-flying-eye-hospital-.html [Accessed 15 Mei 2015]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Menkes Resmikan Pembangunan Cicendo LASIK Center dan Poliklinik Mata 4 Lantai. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia .Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/2191/menkes-resmikan-pembangunan-cicendo-lasik-center-dan-poliklinik-4-lantai.html. [Accessed 15 Mei 2015]

Dorland, 2010. Kamus Saku Kedokteran. ed. ke-25. Jakarta: EGC.

Eroschenko, V.P. 2010. Atlas Histologi diFiore. ed. ke-11. Jakarta: EGC

Ganong, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

(56)

Hollwich, 2005. Oftalmologi Buku Panduan.ed. ke-2 (terjemahan). Surabaya: Binarupa Aksara.

Ilyas, H. S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. ed. ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Investigative Opthalmology and Visual Science (IOVS), 2014. Prevalence of astigmatism in school-aged children: a multi-country refractive error study in children. RESC (Refractive Error Study in Children) Group. Available from:

http://iovs.arvojournals.org/article.aspx?articleid=2269078. [Accessed 31 Oktober 2015]

Junqueira, L.C., 2011. Histologi dasar: teks dan atlas. ed. ke-12. Jakarta: EGC.

Khurana, A.K., 2007. Comprehensive Ophthalmology. ed. ke-4.India: New Age International (P) Ltd.

Madiyono, B., et al, 2013. Perkiraan Besar Sampel. In: Sastroasmoro, S. & Ismael, S., ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta

Manolette R Roque. 2008. Ocular Immunology and Uveitis, Refractive Surgery.

Harvard Medical School. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1220485-overview [Accesed 26 November 2015]

Marieb, E.N. & Hoehn, K., 2007. Human Anatomy and Physiology. ed ke-7. San Francisco: Pearson.

Mecias, B., et al. 2009. Astigmatism, Lasik. University of Minnesota. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1220489-overview. [Accesed 15

(57)

Olver, J & Cassidy, l., 2011. At a Glance Oftalmologi. Jakarta: Erlangga

Riordan-Eva, P. & Whitcher, J.P. 2014. Vaughan dan Asbury: Oftalmologi Umum. ed. ke-17. Jakarta: EGC, pp: 382-395.

Saboe, A., 2009. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Kelainan Refraksi pada Anak Kelas Dua SMP di Kota Bandung. Available from: http://repository.maranatha.edu/2081/1/0610057_Abstract.pdf

Sherwood, L., 2010. Human Physiology From Cells to Systems. Canada: Cengage Learning.

Sherwood, L., 2012. Fisiologi Manusia. ed. ke-6. Jakarta: EGC.

Siregar, N.H, 2009. Kelainan Refraksi yang Menyebabkan Glaukoma,

Universitas Sumatera Utara. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3438/1/09E01854.pdf. [Accessed 14 Mei 2015].

Siregar, N.H., 2012. Karakteristik Penderita Miopia yang Datang Berobat ke RS

H. Adam Malik. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33675/4/Chapter%20I.pdf. [Accessed 19 Mei 2015].

.

Smith, T., 2009. Potential lost productivity resulting from the global burden of uncorrected refractive error. Available from:

(58)

Supartoto, A., 2007. Lama di Depan Komputer Bisa akibatkan Miopia. Fakultas Kedokteran UGM. Available from:

http://www.suaramerdeka.com/harian/0702/13/ked07.htm. [accesed 5 Nopember 2015]

Tsai, J.C. et al, 2011. Oxford American Handbook of Ophthalmology. New York: Oxford University Press.

Vitale, S. et al, 2008. Prevalence of refractive error in the United States. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2772054/. [Accessed 18 April 2015].

(59)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

3.2.Definisi Operasional 1. Jenis Kelainan Refraksi

Definisi Operasional : Kelainan refraksi respondens saat didiagnosa dan dicatat dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan. Cara Ukur : Analisa rekam medik

Alat Ukur : Rekam medik

Hasil Ukur : Miopia, hipermetropia, dan astigmatisme Skala Pengukuran : Nominal

2. Jenis Kelamin

Definisi Operasional :Jenis kelamin respondens yang didiagnosa menderita kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik di RSUP H. Adam Malik Medan

Cara Ukur : Analisa rekam medik

Alat Ukur :Rekam medik

Hasil Ukur : Laki-laki dan perempuan Skala Pengukuran : Nominal

- Jenis kelamin - Kelompok umur - Jenis kelainan refraksi Prevalensi kelainan

(60)

3. Kelompok Umur

Definisi Operasional : Umur respondens yang didiagnosa menderita kelainan refraksi dan dicatat dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan. Umur pasien akan dikategorikan menjadi klasifikasi umur menurut Depkes RI tahun 2009, yaitu anak-anak (5-11 tahun), remaja awal (11-16 tahun), remaja akhir (17-25 tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun), lansia awal (46-55 tahun), lansia akhir (56-65 tahun), manula (>65 tahun)

Cara Ukur : Analisa rekam medik Alat Ukur : Rekam Medik Hasil Ukur : Usia dalam tahun Skala Pengukuran : Ordinal

(61)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan desain penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011-2014.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Unit Rekam Medik RSUP Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini dipilih karena RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit rujukan provinsi di Sumatera Utara dan RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki banyak kasus kelainan refraksi.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini diawali dari menentukan judul, menyusun proposal hingga seminar hasil yang berlangsung dari Maret-Desember 2015. Pengambilan data telah dilakukan dari Agustus-November 2015

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medik pasien rawat jalan yang didiagnosis menderita kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014.

Sampel adalah seluruh populasi, yaitu seluruh data rekam medik pasien rawat jalan yang didiagnosis menderita kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014.

(62)

Adam Malik Medan yang memiliki kriteria berupa jenis kelamin dan umur yang lebih dari 5 tahun.

Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah semua data rekam medis pasien rawat jalan yang tidak hanya menderita kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan atau data rekam medis pasien rawat jalan yang menderita kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan, tetapi tidak memiliki kriteria berupa jenis kelamin, kelainan refraksi murni, dan umur yang lebih dari 5 tahun.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan rumus tertentu sehingga dapat dideskripsikan hasil yang diperoleh. Data diperoleh dari unit rekam medis RSUP Haji Adam Malik Medan dari 1 Januari 2011 sampai 31 Desember 2014, yaitu berupa data rekam medis tentang kelainan refraksi yang memiliki kriteria berupa jenis kelamin dan usia yang sesuai kriteria.

4.5. Pengolahan Data

(63)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Jalan Bunga Lau No. 17 km 12 yang berada di Wilayah Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini merupakan pusat rujukan pembangunan wilayah A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggore Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No 502/ Menkes/ IX/ 1991 tanggal 6 September 1991, RSUP H. Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Data penelitian ini diambil dari Unit Rekam Medis RS Haji Adam Malik. Unit Rekam Medis tersebut merupakan tempat basis data dan pusat riwayat kesehatan pasien di rumah sakit tersebut.

5.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2011-2014 yang didiagnosis menderita kelainan refraksi murni yang berumur lebih dari 5 tahun.

5.3. Hasil Pengolahan Data

(64)

Tabel 5.1. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelamin di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

Distribusi berdasarkan karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa penderita kelainan refraksi di Adam Malik pada tahun 2011-2014 paling banyak diderita jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 1.234 kasus (63,42%) sedangkan laki-laki hanya sebanyak 708 kasus (36,58%).

(65)

Tabel 5.2. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Kelompok Usia di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

Dari tabel 5.2 terdapat pola umum sebagai berikut: Kelompok usia lansia awal 390 kasus (20,08%), remaja akhir 364 kasus (18,1%), lansia akhir 273 kasus (14,1%), manula 191 kasus (13,2%), dewasa akhir 249 kasus (12,8%), remaja awal 241 kasus (12,4%), dewasa awal 148 kasus (7,52%), anak-anak 86 kasus (4,43%).

(66)

Tabel 5.3. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

Distribusi berdasarkan karakteristik jenis kelainan refraksi menunjukkan bahwa jenis kelainan refraksi di Adam Malik pada tahun 2011-2014 terbanyak adalah miopia sejumlah 1.104 kasus atau 56,84%, kemudian astigmatisme dengan jumlah 516 kasus atau 26,56%, dan yang terendah terdapat pada hiperopia dengan jumlah 322 kasus atau 16,6%.

Tabel di atas juga menunjukkan bahwa miopia memiliki jumlah terbanyak pada tahun 2011 dengan jumlah 381 kasus (34,51%). Jumlah kasus miopia terus mengalami penurunan sampai tahun 2014 dengan jumlah kasus sebanyak 115 kasus (10,41%).

Astigmatisme memiliki jumlah terbanyak pada tahun 2014 dengan jumlah sebanyak 156 kasus (30,23%). Fluktuasi distribusi frekuensi jumlah kasus astigmatisme berdasarkan tahun 2011-2014 dapat dikatakan menaik. Pada tahun 2011 dan 2012 dengan jumlah 105 dan 104 kasus (20,34% dan 20,16%), kemudian ini terus meningkat sampai tahun 2014.

(67)

Tabel 5.4. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Jenis Kelamin di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

Jenis Kelamin

Distribusi berdasarkan karakteristik jenis kelamin dan jenis kelainan refraksi menunjukkan bahwa miopia paling banyak diderita perempuan, yaitu sejumlah 714 kasus atau 64,67% sedangkan laki-laki sebanyak 390 kasus atau 35,33%. Astigmatisme memiliki penderita yang lebih banyak pada perempuan dengan jumlah 325 kasus atau 62,98% sedangkan laki-laki hanya 191 kasus atau 37,02%. Hal yang sama juga terdapat pada hiperopia yang penderitanya lebih banyak pada perempuan dengan jumlah 195 kasus atau 60,56% sedangkan pada laki-laki ditemukan 127 kasus atau 39,44%.

Tabel 5.5. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Kelompok Usia di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

(68)

Manula (>65 tahun)

93 8,4 72 14 26 8,1 191 9,8

Total 1.104 100 516 100 322 100 1.942 100

Distribusi berdasarkan karakteristik kelompok usia dan jenis kelainan refraksi menunjukkan bahwa miopia memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia remaja akhir sebanyak 282 kasus (25,5%) sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 76 kasus (6,9%). Astigmatisme memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia awal sebanyak 124 kasus (24%) sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 8 kasus (1,6%). Kemudian, hiperopia memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia awal sebanyak 140 kasus (43,5%) sedangkan jumlah terendah terdapat pada kelompok usia anak-anak sebanyak 2 kasus (0,6%).

5.4. Pembahasan

5.4.1. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi berdasarkan karakteristik jenis kelamin selama periode tahun 2011-2014 menunjukkan bahwa kelainan refraksi paling banyak diderita jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 1.234 kasus (63,42%) sedangkan laki-laki hanya sebanyak 708 kasus (36,58%).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Bastanta (2010) di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik dari 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 yang menunjukkan bahwa secara umum kasus kelainan refraksi lebih banyak diderita oleh perempuan daripada laki-laki. Pada penelitiannya juga didapatkan dari 283 kasus kelainan refraksi, terdapat kasus pada perempuan sebanyak 165 orang sedangkan pada laki-laki terdapat 118 orang.

(69)

Penelitian Launardo (2010) yang dilakukan di Kec Talo, Makassar pada kelompok usia 10-20 tahun menunjukkan bahwa yang lebih tinggi menggunakan kacamata adalah jenis kelamin perempuan.

Menurut penelitian Supartoto (2007), jumlah penderita kelainan refraksi juga lebih banyak diderita oleh perempuan. Perbandingan jumlah perempuan yang menderita kelainan refraksi terhadap laki-laki sebesar 1,4:1. Penelitian ini diperoleh dari 2.268 anak-anak yang berusia 7-13 tahun yang diperiksa dari 23 Sekolah Dasar di Yogyakarta.

5.4.2. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Kelompok Usia

Pada penelitian yang juga ditemukan di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik periode 7 Juli 2008 sampai 7 Juli 2010 menyatakan bahwa distribusi kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 45-64 tahun. Penelitiannya menunjukkan dari 283 kasus kelainan refraksi, terdapat 34,28% yang termasuk kategori lansia diikuti kelompok usia 15-24 tahun dengan persentase sebesar 16,6% (Bastanta, 2010). Penelitian ini hampir serupa dengan isi tabel 5.2, tetapi berbeda untuk kelompok usia remaja. Isi tabel 5.2 menunjukkan kelompok usia remaja akhir sedangkan penelitian Bastanta menunjukkan kelompok usia remaja awal.

Berdasarkan tabel 5.2, terdapat 86 kasus atau 4,43 % yang menderita kelainan refraksi pada kelompok usia anak-anak. Menurut AA0 (American Academy of Ophthalmology) (2007), keadaan visual anak dapat mempengaruhi perkembangan psikologis, fisik, dan intelektual. Gangguan penglihatan yang diakibatkan kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab morbiditas yang signifikan pada anak-anak di seluruh dunia. Jadi, persentase yang kecil pada penderita kelainan refraksi anak-anak sudah dapat menjadi masalah program kesehatan mata di dunia.

(70)

Berdasarkan tabel 5.2, usia 5-7 tahun dan 8-10 tahun masih dikategorikan anak-anak, 11-12 tahun dan 12-17 tahun dapat dikategorikan remaja awal (Depkes RI, 2009). Jadi, dari tabel 5.2 terdapat prevalensi kelompok usia anak-anak sebesar 4.43 % dan remaja awal sebesar 12,4%. Sementara menurut AAO (2012), kelompok usia anak-anak 8-10 tahun sekitar 8 % dan anak-anak usia 5-7 tahun sekitar 3% sehingga didapatkan hasil 11% yang menderita kelainan refraksi yang termasuk kategori anak-anak, hal ini berbeda dengan penelitian ini yaitu sekitar 4.43%. Berdasarkan penelitian AAO (2012), untuk kelompok usia remaja awal, 11-12 tahun sekitar 14% ditambah 12-17 tahun sekitar 25% sehingga total untuk remaja awal sekitar 39%. Sementara berdasarkan tabel 5.2, prevalensi kelainan refraksi kelompok usia remaja awal sebesar 12,4%. Hal ini berbeda dari isi tabel 5.2.

Hasil penelitian AAO yang berbeda bisa disebabkan karena kurangnya diagnosa penyakit yang lebih dini pada masyarakat di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, kelompok usia yang paling banyak didiagnosa adalah kelompok usia lansia awal (46-55 tahun).

5.4.3. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi

Berdasarkan tabel 5.3, terdapat kasus miopia yang paling banyak dengan jumlah 1.104 atau 56,84%, diikuti kasus astigmatisme sejumlah 516 atau 26,56%, dan kasus yang paling sedikit terdapat pada hiperopia sejumlah 322 atau 16,6%. Hal ini serupa menurut Perdami (2006) yang menunjukkan bahwa miopia dengan jumlah kasus terbanyak selalu menduduki urutan teratas dibandingkan kelainan refraksi lainnya.

Kelainan refraksi yang paling sering ditemukan adalah miopia. Hal ini juga dibuktikan oleh penelitian Wahyuni (2012). Penelitian ini dilakukan di RSUD dr Zainul Abidin dengan sampel pada anak usia sekolah dengan rentang usia 6-17 tahun sebanyak 70 orang. Hasilnya diperoleh bahwa miopia memiliki persentase 65,7%.

(71)

Nepal, dan Afrika menunjukkan bahwa prevalensi astigmatisme sebesar 13,3%. Persentase ini setengah dari tabel hasil yaitu 26,56%.

Menurut penelitian Bastanta (2010), dari 283 kasus yang ditelitinya tahun 2008-2010 terdapat 199 orang atau 70,31% yang menderita miopia, diikuti 62 orang atau 21,91% yang menderita hiperopia, dan jumlah yang paling terendah terdapat pada kasus astigmatisme sebanyak 22 orang atau 7,77%. Hasil penelitiannya berbeda dari tabel 5.3. Kemungkinan disebabkan besar sampel yang berbeda.

Menurut Madiyono et al (2013), perbedaan hasil klinis yang kecil dapat bermakna secara statistika apabila jumlah subyeknya sangat banyak. Sebaliknya, perbedaan klinis yang sangat mencolok dapat tidak bermakna secara statistika apabila subyeknya terlalu sedikit. Oleh karena itu sebagian penelitian dengan hasil secara statistika tidak bermakna, sebenarnya semata-mata disebabkan oleh kurangnya subyek yang disertakan dalam penelitian.

5.4.4. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Jenis Kelamin

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ihsanti et al (2014) yang dilakukan di RS Poliklinik Mata Anak Cicendo Bandung bahwa miopia lebih banyak diderita pada anak perempuan sebesar 64,8%, diikuti astigmatisme yang juga lebih banyak diderita pada anak perempuan sebesar 63,6%, tetapi pada jenis kelainan refraksi hiperopia lebih banyak diderita pada anak laki-laki sebesar 66,7%.

Menurut Siregar (2014), jumlah kasus miopia dan hiperopia lebih banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki.

5.4.5. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Kelompok Usia

(72)

dengan tabel 5.5, tetapi tidak sesuai untuk jenis kelainan refraksi miopia dan astigmatisme.

Menurut data Infocus Center for Primary Eye Care Development (2008), prevalensi hipermetropia di Amerika, Eropa Barat, dan Australia untuk kelompok umur 40 tahun ke atas adalah 9.9%, 11.6%, dan 5.5%. Data ini tidak sesuai dengan isi tabel 5.5. Prevalensi hiperopia pada tabel 5.5 cukup tinggi perbedaannya dengan data Infocus Center for Primary Eye Care Development. Kemungkinan ini dapat terjadi disebabkan adanya perbedaan negara.

Menurut penelitian Dunaway (2009), prevalensi miopia setidaknya terus meningkat sampai kelompok usia remaja. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian bahwa prevalensi miopia sebesar 1% pada umur 5 tahun, 8% pada umur 10 tahun, 15% pada umur 15 tahun. Menurut hasil penelitiannya juga, kelainan refraksi hiperopia normal jika terjadi pada bayi. Gejala hiperopia berkurang hingga usia 4 tahun. Kemudian, prevalensi hiperopia sebesar 4-7% terjadi pada kelompok usia 5-20 tahun, kemudian menetap pada dewasa muda, selanjutnya akan bertambah pada kelompok usia 45 tahun lebih. Menurut penelitian Mecias et al (2009), jenis kelainan refraksi astigmatisme memiliki derajat yang semakin berat seiring dengan peningkatan usia.

Penelitian Dunaway pada miopia dan hiperopia sesuai dengan isi tabel 5.5, yang menunjukkan miopia memiliki prevalensi yang terus meningkat sampai kelompok usia remaja. Kemudian, hiperopia meningkat pada kelompok usia lansia. Penelitian Mecias et al juga sesuai dengan isi tabel 5.5 yang menunjukkan kelainan refraksi astigmatisme memiliki jumlah terbanyak pada kelompok usia lansia.

Penelitian Saw et al (2005) meneliti di Sumatera yang menyatakan prevalensi miopia di Sumatera mencapai 26,1% dan juga menyatakan bahwa prevalensi miopia yang paling tinggi dijumpai pada kelompok usia 21-29 tahun. Penelitian ini hampir serupa dengan isi tabel 5.5 yang menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi miopia dijumpai pada remaja akhir (26-35) tahun sebesar 25,5% dan prevalensi yang juga cukup tinggi dijumpai pada remaja awal (17-21 tahun) sebesar 16,9%.

(73)

hiperopia paling banyak diderita anak-anak usia 5 tahun ke bawah, kemudian semakin berkurang seiring mereka memasuki usia 10 tahun disebabkan adanya proses emetropisasi pada mata mereka. Hiperopia yang di atas usia tersebut terlihat pada penderita presbiopia yang terjadi pada kelompok lansia. Diabetes Melitus, riwayat pemakaian kontak lensa yang sudah terlalu lama, riwayat penyakit tumor mata merupakan faktor resiko terjadinya hiperopia pada kelompok lansia. Oleh karena itu, hiperopia mendominasi pada kelompok usia lansia.

5.4.6. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Prevalensinya Berdasarkan Jumlah Seluruh Kasus Penyakit Mata di Poliklinik Mata Prevalensi adalah jumlah total kasus penyakit tertentu yang terjadi pada waktu tertentu di wilayah tertentu (Dorland, 2010). Prevalensi merupakan hasil perhitungan berbentuk angka dari hasil pembagian antara pembilang dan penyebut yang biasanya dikalikan dengan 100% (Nasution, 2012). Pembilang dari perhitungan hasil penelitian ini adalah jumlah seluruh kasus kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014 sedangkan penyebutnya adalah jumlah seluruh kasus jenis penyakit mata di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014, termasuk kasus kelainan refraksi.

Jumlah seluruh kasus kelainan refraksi pada penelitian ini adalah 1.942 sedangkan jumlah seluruh kasus jenis penyakit mata pada penelitian ini adalah 7.193. Maka, prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014 sebesar 26.99% atau 27%.

(74)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RS H. Adam Malik tahun 2011-2014, didapati:

1. Prevalensi kelainan refraksi pada penelitian ini sebesar 27% 2. Kelainan refraksi lebih sering terjadi pada perempuan

3. Kelainan refraksi paling sering diderita oleh kelompok usia lansia awal

4. Kelainan refraksi yang paling sering diderita adalah miopia yang diikuti astigmatisme, dan terendah adalah hiperopia.

6.2. Saran

Saran yang ingin peneliti sampaikan sehubungan dengan penelitian ini: 1. Miopia merupakan jenis kelainan refraksi terbanyak. Oleh karena itu,

disarankan untuk menghindari faktor-faktor resiko terjadinya miopia.

2. Masyarakat harus lebih sering memeriksa mata ke klinik mata atau tempat lainnya yang dapat mendiagnosa kelainan refraksi lebih awal sehingga tatalaksana dapat diberikan lebih awal agar kelainan refraksi tidak lebih parah dan menyebabkan daya penglihatan berkurang.

3. Pelayanan RSUP H. Adam Malik harus terus meningkat khususnya poliklinik mata karena merupakan rumah sakit rujukan juga untuk penyakit mata

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan untuk penelitian yang berkaitan dengan ini.

(75)
(76)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Mata

Gambar 2.1. Anatomi Mata

Sumber: Oftalmologi Umum, Riordan, 2014

Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm (Riordan, 2014). Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan dua kelengkungan yang berbeda (Ilyas, 2010).

(77)

Keliling : 75 mm

Volume : 6,5 mm

Berat : 7 mg

(Khurana, 2007)

Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu: 1. Sklera

Sklera merupakan lapisan terluar dari bola mata. Sklera terdiri dari jaringan yang padat. Sklera terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Sklera anterior dan sklera posterior. Sklera posterior berbatasan dengan khoroid sedangkan sklera anterior akan termodifikasi menjadi kornea (Eroschenko, 2010).

2. Lapisan Vaskular (Uvea)

Lapisan ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu:  Khoroid (Choroidea)

 Badan Siliar (Corpus Ciliare)  Iris

Di khoroid terdapat banyak pembuluh darah yang akan memberikan nutrisi ke retina dan struktur bola mata (Junquiera, 2011).

3. Retina

(78)

2.2. Media Refraksi

Gambar 2.2. Refraksi pada mata

Sumber: Fisiologi Manusia, Sherwood, 2012

Refraksi cahaya adalah auatu fenomena dari perubahan jalan cahaya ketika melewati dari suatu medium ke medium yang lain. Penyebab yang mendasari adanya pembiasan adalah perubahan kecepatan cahaya yang melewati dari suatu medium ke medium yang lain (Khurana, 2007).

Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga berlaku). Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan) (Sherwood, 2012).

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, vitreous humor (badan kaca), dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata sangat seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea (Marieb dan Hoehn, 2007).

(79)

udara-kornea jauh lebih besar daripada perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea tidak rata sehingga berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama. Kemampuan refraktif kornea seseorang tidak berubah karena kelengkungan kornea tidak berubah. Sebaliknya, kemampuan refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungan sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2012).

2.2.1. Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapisan, yaitu:

1. Epitel

2.2.2. Aquous Humor (Cairan Mata)

Rongga anterior antara kornea dan lensa mengandung cairan jernih encer yang disebut aquous humor. Aquous humor membawa nutrien untuk kornea dan lensa, yaitu dua struktur yang tidak memiliki aliran darah karena adanya pembuluh darah akan mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor (Tsai, 2012).

Aquous humor dihasilkan dengan kecepatan sekitar 5 ml/hari oleh suatu jaringan kapiler di dalam badan siliar (suatu turunan khusus lapisan khoroid anterior). Cairan ini mengalir ke suatu kanalis di tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah (Junquiera, 2011).

(80)

lensa ke belakang (ke arah vitreous humor), yang selanjutnya akan menekan lapisan saraf di retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan retina dan nervus optikus yang dapat menyebabkan kebutaan jika keadaan ini tidak diatasi (Sherwood, 2012).

2.2.3. Lensa

Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Eroschenko, 2010).

Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:

• Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung

• Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,

• Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous humor dan berada di sumbu mata

(Tsai, 2011)

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa:

• Tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia, • Keruh atau apa yang disebut katarak,

• Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi (Tsai, 2011)

2.2.4. Vitreous Humor (Badan Kaca)

(81)

humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata agar berbentuk bulat (Junqueira, 2011)

2.2.5. Panjang Bola Mata

Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada mekula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia, hipermetropia, atau astigmatisma (Ilyas, 2010).

2.3. Fisiologi Penglihatan

Fisiologi penglihatan merupakan fenomena yang kompleks yang masih sedikit dimengerti. Mekanisme penglihatan terdiri dari:

 Inisiasi Penglihatan (Fototransduksi), sebuah fungsi dari fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut)

 Pengolahan dan transmisi sensasi penglihatan

 Persepsi penglihatan, yang merupakan fungsi dari korteks penglihatan dan berhubungan dengan area-area korteks serebri (Khurana, 2007)

Mata mengubah energi dari spektrum yang dapat terlihat menjadi potensial aksi di saraf optikus. Panjang gelombang cahaya yang dapat terlihat berkisar dari sekitar 397-723 mm. Bayangan suatu benda di lingkungan difokuskan di retina. Berkas cahaya yang mencapai retina akan mencetuskan potensial di dalam sel kerucut dan dan sel batang. Kemudian, impuls yang timbul di retina dihantarkan ke korteks serebri (tempat impuls tersebut menimbulkan sensasi penglihatan) (Ganong, 2008).

2.4. Daya Akomodasi

(82)

melihat jelas benda pada jarak yang berbeda-beda sehingga bayangan benda akan tetap terfokus pada retina. Daya akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat daya akomodasi, pembiasan lensa menjadi bertambah kuat (Sherwood, 2011).

Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina. Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi hipermetropia, maka mata tersebut akan berakomodasi terus-menerus walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan fungsi akomodasi yang baik (Ganong, 2008).

(83)

2.5. Emetropia

Gambar 2.3. Emetropia

Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011

Agar dapat melihat, mata harus menngkap pola pencahayaan di lingkungan sebagai “gambar atau bayangan optis” di suatu lapisan sel peka sinar, yaitu retina (seperti kamera nondigital menangkap bayangan pada film). Seperti film yang dapat diproses menjadi salinan visual dari bayangan asli, citra tersandi di retina yang disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual yang semakin rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli (Sherwood, 2012).

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya sumbu bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Hollwich, 2005).

(84)

panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibandingkan media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat (Ilyas, 2010).

Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Riordan, 2014).

Pada sebagian besar bayi baru lahir, bola matanya terlalu pendek sehingga mata bayi dan anak-anak adalah hipermetropia. Bersama-sama dengan pertumbuhan anak, panjang sumbu mata bertambah sehingga pada umur kira- kira 6 tahun mata menjadi emetropia. Sebaliknya, mata bayi yang dilahirkan emetropia biasanya menjadi miopia setelah mencapai usia sekolah (Hollwich, 2005).

Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anak-anak dapat mencapai + 12-18 D. Akibatnya, pada anak-anak-anak-anak yang sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat. Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik atau sulfat atrofin tetes mata selama tiga hari. Sulfat atrofin bersifat parasimpatolitik, yang bekerja selain untuk melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil (Ilyas, 2010).

2.6.Ametropia

Pada ametropia atau kelainan refraksi tidak terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan media penglihatan dengan panjangnya bola mata. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan, yaitu:

1. Miopia

(85)

Kelainan pembiasan atau kelainan refraksi ini dapat dikoreksi dengan memakai kacamata atau lensa kontak. Bedah refraktif pun dapat dilakukan untuk kelainan refraksi dengan syarat -syarat tertentu (Ilyas, 2010).

Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pungtum Proksimum atau Pungtum Remotum pada penderita kelainan refraksi akan berbeda dari mata yang normal (Khurana, 2007).

2.6.1. Miopia

Gambar 2.4. Miopia

Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011

Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata saat tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami miopia atau nearsighted (Riordan-Eva, 2014). Oleh karena itu, diperlukan lensa koreksi negatif atau cekung atau konkaf untuk penderita miopia agar sinar yang datang setelah melalui pembiasan lensa cekung dapat tergeser ke belakang sehingga dapat difokuskan pada bintik kuning. Dikenal beberapa bentuk miopia, yaitu (Olver dan Cassidy, 2011). a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi

(86)

yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat.

b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengn kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri. b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri. c. Miopia berat, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri. Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:

a. Miopia stasioner, miopi yang menetap setelah dewasa

b. Miopia progesif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata

c. Miopia maligna atau miopia degeneratif, miopia yang berjalan progesif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa. Miopia degeneratif biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi skelera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Brunch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina (Hollwich, 2005)

Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat jarak penglihatannya sedangkan melihat jauh kabur atau keadaan ini disebut rabun jauh (Olver dan Cassidy, 2011).

(87)

2.6.2. Hipermetropia

Gambar 2.5. Hipermetropia

Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011

Hiperopia (Hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hipermetropia refraktif), seperti pada afakia (Khurana, 2007)

(88)

remaja, tetapi pada usia yang lebih lanjut mungkin memerlukan kacamata walaupun hiperopianya tidak meningkat. Apabila hiperopianya terlalu tinggi, mata mungkin tidak mampu mengoreksi bayangan dengan akomodasi. Hiperopia yang tidak dapat dikoreksi oleh akomodasi disebut hiperopia manifes. Hal ini merupakan salah satu penyebab ambliopia deprivasi pada anak-anak dan dapat bilateral. Terdapat korelasi refleks antara akomodasi dan konvergensi kedua mata. Dengan demikian, hiperopia sering menjadi penyebab esotropia (crossed eyes) dan ambliopia monokular (Hollwich, 2005).

Sebagian besar bayi saat lahir mengalami hiperopia ringan. Hiperopia tersebut secara perlahan berkurang, dengan sedikit akselerasi saat remaja, untuk mencapai emetropia. Kelengkungan kornea jauh lebih curam (r = radius = 6,59 mm) saat lahir dan mendatar sampai mendekati kelengkungan dewasa (7,71 mm) pada usia sekitar 1 tahun. Lensa jauh lebih sferis pada saat lahir dan mencapai bentuk dewasa pada usia sekitar 6 tahun. Panjang sumbu pada neonatus itu pendek (17,3 mm), memanjang dengan cepat dalam 2 sampai 3 tahun pertama (mencapai 24,1 mm), kemudian tak terlalu cepat (0,4 mm per tahun) sampai usia 6 tahun, lalu dengan lambat (total sekitar 1 mm) sampai stabil pada usia sekitar 10-15 tahun. Prsbiopia mulai muncul pada dekade kelima (Riordan, 2014).

Seseorang yang menderita presbiopia ditambah dengan adanya hiperopia mungkin dapat memperoleh bayangan yang jelas di retina dengan melakukan akomodasi. Derajat hiperopia yang diatasi oleh akomodasi disebut sebagai hiperopia laten. Pemeriksaan refraksi dengan sikloplegik sangat penting dilakukan pada pasien berusia muda yang mengalami kelelahan mata saat membaca dan penting pada esotropia karena koreksi atas hiperopia dapat menyembuhkan esotropia (Ilyas, 2010).

(89)

mengalami kekaburan penglihatan untuk objek dekat dan jauh dan memerlukan kacamata untuk penglihatan dekat dan jauh (Ilyas, 2010).

Hipermetropia dapat disebabkan:

a. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.

b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.

c. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata (Yani, 2008).

Hiperopia yang masih bisa diatasi dengan akomodasi disebut hiperopia laten. Hiperopia manifes adalah hiperopia yang tidak dapat diatasi lagi dengan akomodasi. Seiring bertambahnya usia, hiperopia manifes juga bertambah dalam kaitannya dengan hiperopia laten (Hollwich, 2005).

Hiperopia dikoreksi dengan lensa plus atau lensa cembung. Yang diresepkan adalah lensa terkuat yang masih memberikan tajam penglihatan yang terbaik. Pada penderita usia muda, pemeriksaan hiperopia dilakukan setelah mata ditetesi atropin 1% beberapa kali dan selama beberapa hari (Yani, 2008).

2.6.3. Astigmatisme

Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik, tetapi lebih dari satu titik (Yani, 2008).

Menurut Ilyas (2010), bentuk astigmatisme terdiri dari:  Astigmatisme reguler

Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme reguler dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran,

 Astigmatisme ireguler

(90)

terjadi akibat infeksi kornea, trauma, dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.

Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi sebagai berikut:

1. Astigmatisme Miopia Simpleks 2. Astigmatisme Miopia Kompositus 3. Astigmatisme Hiperopia Simpleks 4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus 5. Astigmatisme Mixtus

(Ilyas, 2010)

Pada astigmatisme reguler, terdapat dua meridian utama, dengan orientasi dan kekuatan konstan di sepanjang lubang pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya, astigmatisme didefinisikan berdasarkan posisi garis-garis fokus ini terhadap retina (Gambar 2.6) (Riordan, 2014).

Gambar 2.6. Jenis-jenis astigmatisme reguler seperti yang ditentukan oleh posisi kedua garis fokus terhadap retina

(91)

Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu-sumbunya terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal, astigmatismenya dibagi lagi menjadi astigmatism with the rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian vertikal; dan astigmatism against the rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian horizontal. Astigmatism with the rule lebih sering ditemukan pada pasien berusia muda dan astigmatism against the rule lebih sering pada orang tua (Gambar 2.7) (Riordan, 2014).

Gambar 2.7. Jenis astigmatisme seperti yang ditentukan oleh orientasi meridian- meridian utama dan orientasi sumbu silinder pengoreksi

Sumber: Oftalmologi Umum, Riordan, 2014

Astigmatisme oblik adalah astigmatisme reguler yang meridian-meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal. Pada astigmatisme ireguler, daya atau orientasi meridian-meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (Riordan, 2014).

Gejala klinis astigmatisme:

1. Pengelihatan kabur atau terjadi distorsi

2. Pengelihatan mendua atau berbayang - bayang 3. Nyeri kepala

(92)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ indera manusia yang mempunyai fungsi sangat besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hiperopia atau hipermetropia, dan astigmatisme (Ilyas, 2010).

Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah pada kesehatan mata yang paling sering dijumpai. Kelainan refraksi terjadi ketika mata tidak dapat memfokuskan bayangan dari sesuatu yang dilihat. Ketika seseorang menderita kelainan refraksi, penglihatannya menjadi kabur dan kadang-kadang sangat berat sehingga sangat mengganggu penglihatan. Masalah kelainan refraksi tidak hanya mengganggu secara fisik tetapi juga dari segi ekonomi. Tidak hanya itu, kelainan refraksi pada anak-anak yang tidak segera dikoreksi sangat berpengaruh terhadap tingkat prestasi dalam belajar (WHO, 2013).

WHO mengungkapkan tentang masalah penglihatan pada tahun 2006, sekaligus WHO menyatakan penemuannya tentang kelainan refraksi yang tidak terkoreksi yang merupakan masalah penyebab 153 juta orang buta ataupun terjadinya gangguan penglihatan (Holden, 2007).

Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah pasien yang menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa (Handayani, Supradnya, Dewayani, 2012).

(93)

Kebutaan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan 1,5% penduduk Indonesia, sekitar 3,6 juta mengalami kebutaan dengan penyebab utama: katarak, glaukoma, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, gangguan retina, kelainan kornea, dan penyakit lain yang berhubungan dengan usia lanjut. Mengutip data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2011 menunjukkan bahwa jumlah pasien rawat jalan untuk penyakit mata adalah 672.168. Berdasarkan data tersebut, dilaporkan pula jumlah gangguan refraksi (198.036), katarak (94.582), dan glaukoma (25.176) (Depkes, 2013).

Menurut Menkes, saat ini 1,5% penduduk Indonesia mengalami kebutaan (Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996) dengan prevalensi utama katarak (0,78%), glaukoma (0,20%), kelainan refraksi yang tidak dikoreksi (0,14%), gangguan retina (0,13%), kelainan kornea (0,10%), dan penyakit mata lain-lain (0,15%) (Depkes, 2010).

Sedangkan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, menunjukkan adanya penurunan angka kebutaan di Indonesia yaitu rata-rata kebutaan nasional adalah 0,9% walaupun angka ini belum bisa dibandingkan dengan hasil survei kesehatan indera penglihatan tahun 1993-1996 karena metode dan teknik yang dilakukan berbeda (Depkes, 2010).

Prevalensi kelainan refraksi di Amerika Serikat yang dilakukan pada tahun 1999-2004 pada 14.213 masyarakat sipil dengan usia ≥ 20 tahun ditemukan 12.010 orang (84,5 %) yang menderita kelainan refraksi (Vitale et al, 2008)

Penelitian tentang penyakit mata yang pernah dilakukan pada 2.256 murid SMA yang berusia 15-19 tahun di Kota Lanzhou, Provinsi Gansu, China dengan desain cross-sectional, menemukan 90,3% yang menderita kelainan refraksi dan 95,3% murid dengan kelainan refraksi memakai kacamata sebelum dilakukan survei tersebut. Para peneliti juga menemukan di antara yang mengalami kelainan refraksi tersebut, ditemukan penderita miopia (1.951/ 2.256, 86,5 %), astigmatisme (921/2.256, 40,8 %), hiperopia (4/2.256, 0,2 %) (Sun, Cao, Yan, 2008).

(94)

Menurut penelitian yang dilakukan pada anak yang berusia pra sekolah di Amerika Serikat yang dilakukan oleh National Institutes of Health, dari anak-anak tersebut terdapat 4% menderita miopia, 21% menderita hiperopia, 10% menderita astigmatisme, Penelitian tersebut juga menemukan adanya faktor resiko yang mempengaruhi hasil penelitian tersebut, seperti usia, paparan rokok atau merokok, dan etnis (Borchert et al., 2011).

Kelainan refraksi dapat ditentukan secara subyektif dengan menempatkan lensa di depan masing-masing mata atau secara obyektif dapat ditentukan dengan retinoskopi atau dengan refrakstometer. Untuk menentukan refraksi pada anak-anak dianjurkan untuk melumpuhkan atau melemahkan daya akomodasi (sikloplegia) dengan menggunakan obat tetes mata (atropin, siklogil) (Hollwich, 2005).

Data-data yang banyak dan valid memang diperlukan untuk mengetahui jumlah penderita kelainan refraksi agar para ahli kesehatan dan masyarakat mendapatkan informasi yang tepat. Informasi yang tepat tersebut dapat menjadi pedoman untuk koreksi yang lebih baik pada waktu yang akan datang agar prevalensi penderita penyakit mata tidak semakin meningkat.

1.2.Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, yang menjadi rumusan masalah yaitu: Berapa prevalensi penderita kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di RSUP H. Adam Malik tahun 2011-2014.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

(95)

4. Mengetahui perkembangan kelainan refraksi dari tahun 2011-2014.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk para pelaksana kebijakan pelayanan kesehatan dan para klinisi di Sumatera Utara, antara lain:

1. Perbaikan pelayanan kesehatan mata terutama kelainan refraksi.

2. Peningkatan kewaspadaan terhadap kesehatan mata terutama kelainan refraksi. 3. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan mata terutama

kelainan refraksi.

Hasil penelitian ini juga dapat memberikan manfaat untuk saya sebagai peneliti, yaitu:

1. Sebagai upaya edukasi dan pencegahan dari terjadinya kelainan refraksi. 2. Menambah pengalaman dalam meneliti dan membuat karya tulis ilmiah.

(96)

ABSTRAK

Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah kesehatan mata yang paling sering dijumpai. Kelainan refraksi terdiri dari tiga jenis, yaitu miopia, astigmatisme, dan hiperopia. Menurut Depkes RI 2012, prevalensi kelainan refraksi di Indonesia sebanyak 22,1%. WHO menyatakan pada tahun 2006 bahwa kelainan refraksi yang tidak dikoreksi telah menyebabkan 153 juta terjadinya kebutaan ataupun terjadinya gangguan penglihatan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan desain penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2014. Sampel penelitian diambil dengan mengobservasi data yang sesuai dengan kriteria penelitian. Adapun kriteria penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik yang menderita kelainan refraksi tahun 2011-2014. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan metode total sampling dengan jumlah 1.942 kasus. Pengambilan sampel diambil dari data Unit Rekam Medik RS H. Adam Malik Medan.

Berdasarkan penelitian, jumlah seluruh kasus penyakit mata sebanyak 7.193 sedangkan jumlah seluruh kasus kelainan refraksi sebanyak 1.942 orang. Jadi, prevalensi kelainan refraksi tersebut sebesar 27%.

Adapun hasil penelitian ini menyatakan bahwa miopia memiliki jumlah kasus yang paling banyak dengan jumlah 1.104 kasus atau 56,84%. Astigmatisme memiliki peringkat kedua terbanyak dengan jumlah 516 atau 26,56%. Kemudian, hiperopia memiliki jumlah terendah sebanyak 322 atau 16,6%.

Penelitian ini juga menganalisa kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian ini, kelompok usia yang tergolong lansia awal (46-55 tahun) memiliki jumlah kasus terbanyak sebesar 390 atau 20,08%. Jenis kelamin perempuan memiliki kasus terbanyak sebesar 1.234 atau 63,42% sedangkan laki-laki sejumlah 708 atau 36,58%.

(97)

ABSTRACT

Refractive disorder is one of eye health problem frequentl. Refractive disorder is consisted of myopia, astigmatism, and hyperopia. According to Department of Health RI 2012, prevalence of refractive disorder in Indonesia was 22,1%. In 2006 WHO declared that uncorrected refractive disorder had caused 153 millions people blind or low vision.

This research is observational and descriptive study with retrospective design to know prevalence of refractive disorder in Eye Polyclinic Adam Malik Hospital from 2011 to 2014. The sample for this research was taken by obeserving data. Data must be suitable for this study criteria. The study criteria is all outpatient patients in Eye Polyclinic Adam Malik Hospital who had refractive disorder from 2011-2014. The sample was taken with a total sampling method. The sample is 1.942 cases and taken from medical record data in Adam Malik Hospital.

According to this study result, the sum of whole eye disease cases is 7.193 people while the sum of whole refractive disorder cases is 1.942 people. So, prevalence of refractive disorder in this research is 27%.

The result of this research also declares that myopia had most sum in 1.104 cases or 56,84%. Astigmatism had second rank in 516 cases or 26,56%. Then, hyperopia had least sum in 322 cases or 16,6%.

This research also analyzes age categories and genders. Based on this study, aged 46-55 was 390 cases or 20,08%. The women has most cases that consist of 1.234 cases or 63,42% while the men consist of 708 cases or 36,58%.

(98)

PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2014

Oleh:

ZAMILAH ASRUL 120100167

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(99)

PREVALENSI KELAINAN REFRAKSI DI POLIKLINIK MATA RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2011-2014

KARYA TULIS ILMIAH

Karya tulis ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

ZAMILAH ASRUL 120100167

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(100)

LEMBAR PENGESAHAN

Prevalensi Kelainan Refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

Nama : Zamilah Asrul

NIM : 120100167

Pembimbing Penguji I

dr. Nurchaliza H. Siregar, SpM NIP. 19460406 196902 1 001

dr. Yunita Sari Pane, Msi NIP. 19710620 200212 2 001

Penguji II

dr. Yetty Machrina, M.Kes NIP. 19790324 200312 2 002

Medan, 7 Januari 2016

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(101)

ABSTRAK

Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah kesehatan mata yang paling sering dijumpai. Kelainan refraksi terdiri dari tiga jenis, yaitu miopia, astigmatisme, dan hiperopia. Menurut Depkes RI 2012, prevalensi kelainan refraksi di Indonesia sebanyak 22,1%. WHO menyatakan pada tahun 2006 bahwa kelainan refraksi yang tidak dikoreksi telah menyebabkan 153 juta terjadinya kebutaan ataupun terjadinya gangguan penglihatan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan desain penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2011-2014. Sampel penelitian diambil dengan mengobservasi data yang sesuai dengan kriteria penelitian. Adapun kriteria penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik yang menderita kelainan refraksi tahun 2011-2014. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan metode total sampling dengan jumlah 1.942 kasus. Pengambilan sampel diambil dari data Unit Rekam Medik RS H. Adam Malik Medan.

Berdasarkan penelitian, jumlah seluruh kasus penyakit mata sebanyak 7.193 sedangkan jumlah seluruh kasus kelainan refraksi sebanyak 1.942 orang. Jadi, prevalensi kelainan refraksi tersebut sebesar 27%.

Adapun hasil penelitian ini menyatakan bahwa miopia memiliki jumlah kasus yang paling banyak dengan jumlah 1.104 kasus atau 56,84%. Astigmatisme memiliki peringkat kedua terbanyak dengan jumlah 516 atau 26,56%. Kemudian, hiperopia memiliki jumlah terendah sebanyak 322 atau 16,6%.

Penelitian ini juga menganalisa kelompok usia dan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian ini, kelompok usia yang tergolong lansia awal (46-55 tahun) memiliki jumlah kasus terbanyak sebesar 390 atau 20,08%. Jenis kelamin perempuan memiliki kasus terbanyak sebesar 1.234 atau 63,42% sedangkan laki-laki sejumlah 708 atau 36,58%.

(102)

ABSTRACT

Refractive disorder is one of eye health problem frequentl. Refractive disorder is consisted of myopia, astigmatism, and hyperopia. According to Department of Health RI 2012, prevalence of refractive disorder in Indonesia was 22,1%. In 2006 WHO declared that uncorrected refractive disorder had caused 153 millions people blind or low vision.

This research is observational and descriptive study with retrospective design to know prevalence of refractive disorder in Eye Polyclinic Adam Malik Hospital from 2011 to 2014. The sample for this research was taken by obeserving data. Data must be suitable for this study criteria. The study criteria is all outpatient patients in Eye Polyclinic Adam Malik Hospital who had refractive disorder from 2011-2014. The sample was taken with a total sampling method. The sample is 1.942 cases and taken from medical record data in Adam Malik Hospital.

According to this study result, the sum of whole eye disease cases is 7.193 people while the sum of whole refractive disorder cases is 1.942 people. So, prevalence of refractive disorder in this research is 27%.

The result of this research also declares that myopia had most sum in 1.104 cases or 56,84%. Astigmatism had second rank in 516 cases or 26,56%. Then, hyperopia had least sum in 322 cases or 16,6%.

This research also analyzes age categories and genders. Based on this study, aged 46-55 was 390 cases or 20,08%. The women has most cases that consist of 1.234 cases or 63,42% while the men consist of 708 cases or 36,58%.

(103)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan izin-Nya sehingga penulis bisa menyeleaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini pun bisa menjadi ibadah untuk mendapatkan ridha-Nya.

Dalam proses penyelesaian karya tulis ilmiah ini, penulis menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penuli mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Yang terhormat dr Nurchaliza H. Siregar, Sp M selaku dosen pembimbing yang telah membimbing saya dalam menyusun karya tulis ilmiah ini. 2. Yang terhormat dr Yunita Sari Pane, M.Si dan dr Yetty Machrina, M. Kes

untuk setiap kritik dan saran yang membangun.

3. Yang teristemewa orang tua saya, Ir. Asrul dan Zaitun Nisa, yang selalu memberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. Senior-senior dan teman-teman penulis dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang sudah memberikan motivasi dan masukan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.

5. Serta pihak-pihak lainnya yang sudah berperan membantu penelitian ini. Meskipun upaya dan kerja keras telah dilakukan selama penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini, tentu masih saja ada kemungkinan karya tulis ilmiah ini masih belum terbentuk sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun selalu penulis harapkan untuk penyempurnaannya. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Medan, 9 Desember 2015

(104)
(105)

2.6.1. Miopia... 14

5.2 Deskripsi Karakteristik Sampel... 25

5.3 Hasil Pengolahan Data... 25

5.4 Pembahasan... 30

5.4.1. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelamin... 30

5.4.2. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Kelompok Usia ... 31

5.4.3. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi... 32

5.4.4. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Jenis Kelamin... 33 5.4.5. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan

(106)

Kelompok Usia... 33

5.4.6. Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan Prevalensinya Berdasarkan Jumlah Seluruh Kasus Penyakit Mata di Poliklinik Mata ... 35

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 36

6.1. Kesimpulan... 36

6.2. Saran... 36

(107)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

5.1 Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan 26 Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelamin di Poliklinik Mata

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

5.2 Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan 27 Distribusinya Berdasarkan Kelompok Usia di Poliklinik Mata

RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

5.3 Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan 27 Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi di Poliklinik

Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

5.4 Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan 28 Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Jenis

Kelamin di Poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2014

5.5 Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan 29 Distribusinya Berdasarkan Jenis Kelainan Refraksi dan Kelompok

Gambar

Tabel 5.1. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan
Tabel 5.2. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan
Tabel 5.3. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan
Tabel 5.4. Jumlah Kasus Rawat Jalan Penderita Kelainan Refraksi dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : membuat alat, melakukan pengujian alat untuk mengetahui apakah alat tersebut sudah berfungsi atau belum, setelah alat berfungsi

Dalam rangka mencapai sasaran hasil berupa peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan

Pasal 3 (1) Obat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dapat dimasukkan ke wilayah Indonesia melalui Mekanisme Jalur

Posisi pembelian spot & forward yang masih

e-Logistik (Untuk Penyerahan Laporan Penyaluran Produk Jadi Laporan Penyerahan Produk Jadi SIPNAP (Untuk Narkotika dan Psikotropika e-Logistik (Untuk Penyaluran di IF Provinsi

Pengembalian Dana Kebajikan

hipoglikemik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi. yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug

[r]